II. TINJAUAN PUSTAKA A. LIMBAH TANAMAN JAGUNG Tanaman jagung (Zea mays L.) termasuk ke dalam famili rumput-rumputan (Graminaceae). Tanaman ini di Indonesia sudah dikenal sejak 400 tahun yang lalu, yang pertama kali dibawa oleh bangsa Portugis dan Spanyol. Jagung merupakan tanaman penting kedua setelah padi yang sebagian besar ditanam di Pulau Jawa, terutama di Jawa Timur (Suprapto, 2001). Limbah jagung sebagian besar adalah bahan berlignoselulosa yang memiliki potensi untuk pengembangan produk masa depan. Pada dasarnya limbah tidak memiliki nilai ekonomi, bahkan mungkin bernilai negatif karena memerlukan biaya penanganan. Namun demikian, limbah lignoselulosa sebagai bahan organik memiliki potensi besar sebagai bahan baku industri pangan, minuman, pakan, kertas, tekstil, dan kompos. Di samping itu, fraksinasi limbah ini menjadi komponen penyusun yang akan meningkatkan daya gunanya dalam berbagai industri (Richana et al. 2005). Menurut McCutcheon (2002), limbah tanaman jagung terdiri dari batang 50% (BK), daun 20% (BK), tongkol 20% (BK), kelobot 10% (BK) (Gambar 1). Limbah tanaman jagung mengandung selulosa (36.81%), hemiselulosa (27.01%), lignin (15.70%), abu (6.04%) dan lainlain (14.44%) (Anonim, 2009). Klobot 10%
Daun 20%
Tongkol 20% Batang 50%
Gambar 1. Persentase limbah tanaman jagung (McCutcheon, 2002)
B. STRUKTUR DINDING SEL TANAMAN Lignoselulosa merupakan komponen utama tanaman yang menggambarkan jumlah sumber bahan organik yang dapat diperbaharui. Lignoselulosa terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin dan beberapa bahan ekstraktif lain. Kadar komponen-komponen tersebut di dalam tanaman berkisar antara 23-53 % selulosa; 20-35 % hemiselulosa, 10-25 % lignin (Knauf dan Moniruzzaman, 2004). Selain tiga komponen utama, terdapat pula komponen yang dapat diekstrak, disebut dengan zat ekstraktif yang kadarnya 1-7 % (Demirbas, 2005). Perbedaan kandungan komponen pada lignoselulosa dipengaruhi oleh tempat tumbuh dan umur tanaman sumbernya (Buranov dan Mazza, 2008). Pada LTJ, komposisi ketiga komponen utama lignoselulosa dapat dilihat pada Tabel 1. Semua komponen lignoselulosa terdapat pada dinding sel tanaman. Susunan dinding sel tanaman terdiri dari lamella tengah (M), dinding primer (P) serta dinding sekunder (S) yang terbentuk selama pertumbuhan dan pendewasaan sel yang terdiri dari lamela transisi (S1), dinding sekunder utama (S2) dan dinding sekunder bagian dalam (S3) (Gambar 2). Dinding primer mempunyai ketebalam 0.1-0.2μm dan mengandung jaringan mikrofibril selulosa yang mengelilingi dinding sekunder yang relatif lebih tebal (Chahal dan Chahal 1998). Selulosa pada setiap lapisan dinding sekunder terbentuk sebagai lembaran tipis yang tersusun oleh rantai panjang residu β-D-glukopiranosa yang berikatan melalui ikatan β-1,4 glukosida yang disebut serat dasar (elementary fiber). Sejumlah serat dasar jika terjalin secara lateral akan
2
membentuk mikrofibril. Mikrofibril mempunyai struktur dan orientasi yang berbeda pada setiap lapisan dinding sel (Perez et al. 2002). Tabel 1. Komposisi kimia limbah tanaman jagung* Negara/Negara Lignin Selulosa Bagian (%) (%)
Hemiselulosa (%)
Amerika Serikat
17.2
36.1
21.4
Itali
21.2
36.8
22.2
Colorado
17.6
37.5
20.8
Iowa
17.6
38.6
20.6
China
15
Td
28
td: tidak dilaporkan *modifikasi dari Buranov dan Mazza (2008)
Gambar 2. Konfigurasi dinding sel tanaman (Perez et al. 2002) Lapisan dinding sel sekunder terluar (S1) mempunyai struktur serat menyilang, lapisan S2 mempunyai mikrofibril yang paralel terhadap poros lumen dan lapisan S3 mempunyai mikrofibril yang berbentuk heliks. Mikrofibril dikelilingi oleh hemiselulosa dan lignin. Bagian antara dua dinding sel disebut lamela tengan (M) dan diisi dengan hemiselulosa dan lignin. Hemiselulosa dihubungkan oleh ikatan kovalen dengan lignin. Selulosa secara alami terproteksi dari degradasi dengan adanya hemiselulosa dan lignin. Lignoselulosa dapat diperoleh dari beberapa residu atau limbah, diantaranya adalah limbah pertanian seperti limbah tanaman jagung, jerami gandum dan padi, serta limbah hasil hutan. Lignoselulosa juga dapat diperoleh dari limbah perindustrian, seperti pada industri pulp dan kertas (Demirbas, 2005; Knauf dan Moniruzzaman, 2004). Selain itu, lignoselulosa juga dapat berupa tanaman yang sengaja dibudidaya untuk tujuan energi, seperti switchgrass. Secara teoritis, 1 ton kering lignoselulosa dari bagas (hasil samping industri gula) dapat menghasilkan 112 galon (424.48 L) etanol (Knauf dan Moniruzzaman, 2004).
1. Selulosa Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman. Kandungan selulosa pada dinding sel tanaman tingkat tinggi sekitar 35-50% dari berat kering tanaman (Lynd et al. 2002). Selulosa merupakan polimer glukosa dengan ikatan β-1,4 glukosida dalam rantai lurus. Bangun dasar selulosa berupa suatu selobiosa yaitu dimer dari glukosa. Rantai panjang
3
selulosa terhubung secara bersama melalui ikatan hidrogen dan gaya van der Waals (Perez et al. 2002). Pasangan antara molekul selulosa yang berdekatan terjadi karena ikatan hidrogen dan gaya van der Waals menghasilkan susunan paralel sejajar dan struktur kristalin (Gambar 3b) (Zhang dan Lynd, 2004). Molekul-molekul selulosa seluruhnya berbentuk linier dan memiliki kecenderungan membentuk ikatan –OH intramolekul (antara monomer glukosa dalam 1 rantai selulosa yang sama) dan intermolekul (antara monomer glukosa dari 2 rantai selulosa yang berdekatan). Pada kedua ujung rantai selulosa terdapat gugus OH tetapi dengan perilaku yang berbeda. Gugus C1-OH adalah gugus hidrat aldehida yang mempunyai sifat pereduksi, sedangkan gugus OH pada akhir C4 merupakan gugus hidroksil alkohol yang bersifat non pereduksi (Fengel dan Wegener, 1995).
(a)
(b)
Gambar 3. a. Struktur selulosa dengan pengulangan unit selobiosa (Atalla, 1999), dan (b) Selulosa kristalin (Mosier et al. 1999 dalam Zhang dan Lynd, 2004). Selulosa mengandung sekitar 50-90% bagian berkristal dan sisanya bagian amorf (Aziz et al. 2002). Ikatan β-1,4 glukosida pada serat selulosa dapat dipecah menjadi monomer glukosa dengan cara hidrolisis asam atau enzimatis. Ikatan-ikatan glikosida dalam selulosa terlarut atau amorf mudah dihidrolisis oleh semua tipe asam dan hidrolisis enzimatis. Tetapi dalam prakteknya terdapat dua hambatan umum pada hidrolisis selulosa dari serbuk kayu yaitu karena adanya kandungan lignin di dalam kayu sebagai bahan lignoselulosa dan karena adanya struktur kristalin dari selulosa (Fengel dan Wegener, 1995).
2. Hemiselulosa Hemiselulosa merupakan kelompok polisakarida heterogen dengan berat molekul rendah. Jumlah hemiselulosa biasanya antara 15 dan 30% dari berat kering bahan lignoselulosa (Taherzadeh, 1999). Hemiselulosa relatif lebih mudah dihidrolisis dengan asam menjadi monomer yang mengandung xilosa, asam glukuronat, arabinosa, galaktosa, asam ferulat, dan asetil (Gambar 4) . Hemiselulosa mengikat lembaran serat selulosa membentuk mikrofibril yang meningkatkan stabilitas dinding sel. Hemiselulosa juga berikatan silang dengan lignin membentuk jaringan kompleks dan memberikan struktur yang kuat. Hemiselulosa merupakan matriks penggabung antar mikrofibril selulosa dalam dinding sel kayu. Hemiselulosa juga bersifat tidak mudah larut di dalam air, akan tetapi dapat larut dalam basa kuat. Hemiselulosa lebih mudah terhidrolisis dalam asam dibanding selulosa, hal ini karena struktur hemiselulosa yang amorfous dan derajat polimerisasinya yang lebih rendah dibanding selulosa (Lewin dan Goldstein, 1991).
4
Gambar 4. Hemiselulosa (arabinoxylan) pada tanaman sereal (deVries dan Visser, 2001).
3. Lignin Lignin merupakan polimer dengan struktur aromatik yang terbentuk melalui unit-unit penilpropan (Sjorberg, 2003) yang berhubungan secara bersama oleh beberapa jenis ikatan yang berbeda (Perez et al. 2002). Lignin sulit didegradasi karena strukturnya yang kompleks dan heterogen yang berikatan dengan selulosa dan hemiselulosa dalam jaringan tanaman. Lebih dari 30% tanaman tersusun atas lignin yang memberikan bentuk yang kokoh dan memberikan proteksi terhadap serangga dan patogen (Orth et al. 1993). Disamping memberikan bentuk yang kokoh terhadap tanaman, lignin juga membentuk ikatan yang kuat dengan polisakarida yang melindungi polisakarida dari degradasi mikroba dan membentuk struktur lignoselulosa. Lignin terutama terkonsentrasi pada lamela tengah dan lapisan S2 (Gambar 2) dinding sel yang terbentuk selama proses lignifikasi jaringan tanaman (Chahal dan Chahal 1998; Steffen 2003). Lignin tidak hanya mengeraskan mikrofibril selulosa, juga berikatan secara fisik dan kimia dengan hemiselulosa. Lignin terbentuk melalui polimerasi tiga dimensi derivate (Gambar 5) dari sinamil alkohol terutama ρ-kumaril, coniferil dan sinafil alkohol (Perez et al. 2002) dengan bobot molekul mencapai 11.000 (Gambar 5). Lignin yang melindungi selulosa bersifat tahan terhadap hidrolisis karena adanya ikatan arilalkil dan ikatan eter.
Para Kumaril
Alkohol Koniferil
Alkohol Sinapil Alkohol
Model Kerangka C
Gambar 5. Satuan penyusun lignin (Steffen, 2003) Pembentukan lignin terjadi secara intensif setelah proses penebalan dinding sel terhenti. Pembentukan dimulai dari dinding primer dan dilanjutkan ke dinding sekunder. Faktor lignin dalam membatasi permeabilitas dinding sel tanaman dapat dibedakan menjadi efek kimia dan efek fisik. Efek kimia, yaitu hubungan lignin-karbohidrat dan asetilisasi hemiselulosa. Lignin secara fisik membungkus mikrofibril dalam suatu matriks hidrofobik dan terikat secara kovalen dengan hemiselulosa. Hubungan antara lignin karbohidrat tersebut berperan dalam mencegah hidrolisis polimer selulosa (Chahal dan Chahal, 1998). Sebagai bagian dari lignoselulosa, lignin merupakan komponen ketiga terbanyak di bumi. Lignin dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu lignin kayu keras (hardwood), lignin kayu lunak (softwood), dan lignin rerumputan (herbaceous). Secara literatur, pembahasan tentang struktur lignin dari bahan berkayu telah cukup banyak, tetapi untuk lignin dari bahan non-kayu belum banyak diketahui, meskipun akhir-akhir ini komoditas ini menjadi fokus para peneliti (Buranov dan Mazza, 2008).
5
Pada tanaman jenis rerumputan, lignin terikat pada karbohidrat (arabinoxilan) melalui asam ferulat. Asam ferulat ini terikat pada lignin dengan ikatan eter dan terikat pada karbohidrat dengan ikatan ester. Struktur ini dikenal dengan kompleks lignin/fenolik-karbohidrat (Gambar 6) (Buranov dan Mazza, 2008). Tanaman jagung memiliki ikatan ester pada asam fenoliknya dengan jumlah mencapai lebih dari 90% ikatan totalnya (Lozovaya et al. 2000).
Gambar 6. Kompleks lignin/fenolik-karbohidrat (Buranov dan Mazza, 2008) Lignin tahan terhadap degradasi oleh sebagian besar mikroorganisme. Meskipun demikian, kapang tertentu mampu menguraikan lignin secara selektif. Karena strukturnya yang kompleks dan jenis ikatan pada lignin bersifat tahan terhadap air, maka hal ini menyebabkan lignin menjadi sulit didegradasi. Masa molekul lignin adalah 100 kDa atau lebih, hal ini dapat mencegah masuknya sel mikrobial seperti kapang. Oleh karena itu biodegradasi lignin biasanya terjadi melalui aktivitas enzim ekstraseluler dari organisme pendegradasi lignin.
4. Zat Ekstraktif Zat ekstraktif terdiri dari berbagai jenis komponen senyawa organik seperti minyak yang mudah menguap, terpen, asam lemak dan esternya, lilin, alkohol polihidrat, mono dan polisakarida, alkaloid, dan komponen aromatik (asam, aldehid, alkohol, dimer fenilpropana, stilben, flavanoid, tannin dan quinon). Zat ekstraktif adalah komponen diluar dinding sel kayu yang dapat dipisahkan dari dinding sel yang tidak larut menggunakan pelarut air atau organik (Lewin dan Goldstein, 1991). Kayu teras secara khas mengandung zat ekstraktif jauh lebih banyak dari pada kayu gubal. Kandungan zat ekstraktif dalam kayu biasanya kurang dari 10% (Sjostrom, 1995). Kandungan dan komposisi zat ekstraktif berubah-ubah diantara spesies kayu, dan bahkan terdapat juga variasi dalam satu spesies yang sama tergantung pada tapak geografi dan musim. Sejumlah kayu mengandung senyawa-senyawa yang dapat diekstraksi yang bersifat racun atau mencegah bakteri, kapang dan rayap. Selain itu zat ekstraktif juga dapat memberikan warna dan bau pada kayu (Fengel dan Wegener, 1995).
C. PERLAKUAN AWAL DAN DELIGNIFIKASI Salah satu kesulitan yang dihadapi dalam memanfaatkan lignoselulosa untuk bahan baku bioetanol adalah rendahnya tingkat digestibilitas enzim dalam proses depolimerisasi selulosa (hidrolisis). Kesulitan ini disebabkan karena kompleksitas struktur lignoselulosa (Classen et al. 1999; Szczodrak dan Fiedurek, 1996). Untuk mengatasi kesulitan ini, maka perlu dilakukan perlakuan awal terhadap lignoselulosa. Perlakuan awal akan mengubah struktur rumit lignoselulosa sehingga akan meningkatkan digesitibilitas enzim (Kim dan Holtzapple, 2006 a; Knauf dan Moniruzzaman, 2004; Mosier et al. 2005; Kaar dan Holtzapple, 2000). Perubahan yang terjadi pada struktur lignoselulosa yang telah diberi perlakuan awal dapat berupa pemisahan antara selulosa dengan materi yang melindunginya (hemiselulosa dan lignin) dan perubahan struktur selulosa yang pada awalnya berbentuk kristal menjadi amorf, sehingga mudah untuk dihidrolisis (Gambar 7). Komposisi hasil proses perlakuan awal sangat tergantung
6
dari sumber lignoselulosa yang digunakan dan proses perlakuan awal yang dilakukan (Knauf dan Moniruzzaman, 2004).
Gambar 7. Skema perlakuan awal (Mosier et al. 2005). Secara umum terdapat tiga pengelompokan proses perlakuan awal, yaitu perlakuan awal secara fisik, biologi, dan kimia (Taherzadeh dan Karimi, 2008; Knauf dan Moniruzzaman, 2004), selain itu ada juga jenis perlakuan awal secara fisiko-kimia yang menggabungkan antara perlakukan fisik dengan kimiawi (Taherzadeh dan Karimi, 2008; Mosier et al. 2005). Di antara perlakuan awal secara fisik adalah penggilingan, iradiasi (dengan sinar gama, gelombang elektron, dan gelombang mikro) (Taherzadeh dan Karimi, 2008), akan tetapi hampir semua perlakuan awal secara fisik tidak cukup efektif untuk menghilangkan lignin dan seringkali memerlukan biaya besar (Knauf dan Moniruzzaman, 2004). Perlakuan awal secara biologis dilakukan dengan menumbuhkan organisme pada media lignoselulosa sehingga terjadi pengurangan lignin dan selulosa. Dalam perlakuan awal secara biologis, kapang pelapuk putih yang dianggap paling efektif. Beberapa literatur menyebutkan bahwa perlakuan pendahuluan dengan kapang berpotensi mengurangi kebutuhan yang tinggi terhadap asam, suhu, dan waktu. Pengurangan ini juga diduga mengurangi degradasi biomassa dan akibatnya mengurangi konsentrasi penghambat dibandingkan dengan perlakuan pendahuluan termokimia konvensional (Keller et al. 2003). Perlakuan awal mengurangi jumlah lignin yang berperan di dalam lignoselulosa sebagai penjaga struktur, dan pencegah lignoselulosa mengembang yang mengakibatkan kerja enzim penghidrolisis terhambat. Oleh sebab itu, delignifikasi terhadap lignoselulosa akan meningkatkan efektivitas hidrolisis enzim. Pemisahan lignin juga akan mengakibatkan pengembangan pada lignoselulosa. Meskipun demikian, pengembangan yang terjadi tidak mengakibatkan perubahan ukuran pori-pori yang dapat mempermudah masuknya enzim, walaupun tetap terjadi peningkatan efektivitas hidrolisis. Oleh sebab itu, pengaruh pemisahan lignin terhadap hidrolisis lebih karena peningkatan akses enzim pada permukaan lignoselulosa setelah lignin dihilangkan (Taherzadeh dan Karimi, 2008). Temperatur yang tinggi dan penambahan asam umumnya digunakan dalam degradasi selulosa secara kimiawi dan termasuk dalam perlakuan pendahuluan pada bahan berlignoselulosa yang digunakan pada skala industri. Akan tetapi, perlakuan pendahuluan ini dinilai mahal dan tidak efisien. Yield dari proses fermentasi berkurang karena perlakuan pendahuluan secara kimia menghasilkan inhibitor, seperti asam lemah, furan, dan fenol (Dashtban et al. 2009). Teknologi yang digunakan dalam perlakuan pendahuluan pengolahan bahan berlignoselulosa harus memenuhi kriteria tertentu. Teknologi tersebut harus ekonomis dalam perlakuan pendahuluan konversi bahan berselulosa menjadi bahan bakar dan bahan kimia (Mosier et al. 2005). Selain ekonomis, perlakuan pendahuluan yang dipilih harus memerlukan konsumsi energi yang rendah, dengan kata lain teknologi tersebut membutuhkan energi yang efisien (Mtui, 2009). Proses biologis cukup menjanjikan dibandingkan proses lainnya karena dapat dilakukan dalam kondisis proses lebih mudah dan murah. Salah satu proses biologis biomassa
7
berlignoselulosa dalam pemisahan lignin dan bahan adalah dengan menggunakan kapang pelapuk putih (white-rot fungi). Penggunaan kapang pelapuk putih bertujuan untuk merombak kadar lignin bahan berlignoselulosa sehingga memudahkan perombakan selulosa menjadi gula sederhana yang selanjutnya difermentasi menjadi etanol (Fitria et al. 2007). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Fatriasari (2007), perlakuan kapang mengurangi konsumsi energi dan mengurangi polusi lingkungan. Aktivitas biologis kapang pelapuk putih menyebabkan pengembangan dan pelunakan dinding sel akibat modifikasi dan depolimerisasi lignin. Kapang ini memproduksi serangkaian enzim yang terlibat langsung dalam perombakan lignin, sehingga sangat membantu proses delignifikasi pada biomassa lignoselulosa. Biodelignifikasi merupakan teknologi yang ramah lingkungan. Salah satu mikroorganisme yang digunakan pada proses biodelignifikasi adalah kapang pelapuk putih (white-rot fungi) Pleurotus ostreatus. Menurut Kerem et al. (1992) kapang ini memiliki daya delignifikasi yang lebih selektif dibanding kapang pelapuk putih lainnya. Secara biokimiawi, proses perombakan lignin diawali dengan pertumbuhan fungi yang kemudian memasuki fase stasioner. Fungi secara aktif mengambil dan memanfaatkan karbohidrat selama masa pertumbuhannya untuk mempertahankan metabolisme primernya (fase logaritmik). Metabolisme fungi akan mengalami penurunan jika ketersediaan nitrogen dalam substrat menjadi terbatas, miselia memasuki fase metabolisme sekunder (fase stasioner) dan sistem degradasi lignin dimulai (Eaton dan Hale, 1993). Pertumbuhan mikroba di dalam suatu kultur mempunyai kurva pertumbuhan seperti terlihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Kurva pertumbuhan kultur mikroba (Fardiaz, 1992)
D. KAPANG PELAPUK PUTIH (Pleurotus ostreatus) Salah satu spesies fungi pelapuk kayu yang sangat potensial adalah Pleurotus ostreatus. Stamets (2000) mengemukakan, bahwa Pleurotus ostreatus bersama shiitake (Lentinula edodes) dan King Stopharia (Stopharia rugosoannulata) merupakan decomposer primer, yaitu fungi pertama yang menyerang ranting (a twig), a blade of grass, chip (serpih kayu), log kayu atau tunggal (stump). Dekomposer primer mempunyai ciri khas yaitu berkembang cepat, perkembangan ujung miselium yang menyerang secara cepat menuju dan mendekomposisi jaringan tanaman. Sebagian besar dari dekomposer dapat mendegradasi kayu. Strultur mikroskopis Pleurotus ostreatus dapat dilihat pada Gambar 9. Pleurotus ostreatus diklasifikasikan oleh beberapa peneliti dalam Alexopoulus et al. (1996) adalah sebagai berikut: Super Kingdom: Eukaryota; Kingdom: Mycetes (Fungi); Divisi: Mycota; Sub Divisi: Eumycotina; Phylum: Basidiomycota; Kelas: Hymenomycetes (Basidiomycetes); Sub Klas: Holobasidiomycetidae; Ordo: Agaricales; Famili: Tricholomataceae; Genus: Pleurotus; Spesies: Pleurotus ostreatus. Menurut Suriawiria (2002), syarat tumbuh Pleurotus ostreatus pada pembentukan miselium yaitu pada kisaran suhu 7-37 oC dan optimum pada suhu 26-28 oC, dan memiliki waktu tumbuh 10-14 hari. Pleurotus ostreatus mampu mendegradasi bahan-bahan berlignoselulosa secara efisien dan selektif menguraikan lignin tanpa perlakuan pendahuluan secara kimiawi atau biologis (Hadar
8
et al. 1993). Oleh karena kemampuannya dalam mendegradasi lignin maka fungi ini mempunyai potensi untuk digunakan pada proses biodelignifikasi. Kemampuan kapang dalam mendegradasi lignin disebabkan karena adanya enzim ekstraseluler yang disekresikan oleh hifa kapang. Menurut Eaton dan Hale (1993) berbagai enzim yang berperan dalam proses degradasi lignin yang disekresikan oleh kapang pelapuk putih adalah lignin peroksidase (LiP), mangan peroksidase (MnP), lakase, demetoksilase, H2O2-generating enzyme dan enzim pendegradasi monomer seperti selobiosa dehidrogenase, asam vanilat hidrolase dan trihidroksi benzen dioksigenase. Namun enzim lignolitik yang utama adalah lignin peroksidase (LiP), mangan peroksidase (MnP) dan lakase.
Gambar 9. Struktur mikroskopis Pleurotus ostreatus (Michel, 1999) Proses degradasi lignin oleh kapang dapat dibagi menjadi 2 tipe, yaitu tipe preferensi dan tipe simultan. Kapang tipe preferensi akan mendegradasi lignin terlebih dahulu sebelum menguraikan hemiselulosa dan selulosa, sedangkan kapang tipe simultan mampu mendegradasi selulosa, hemiselulosa dan lignin pada waktu dan kecepatan yang sama (Eaton dan Hale, 1993). Enzim yang berperan dalam proses degradasi adalah enzim ekstraseluler. Kapang yang hidup pada bahan lignoselulosa, mengeluarkan enzim yang dapat mendegradasi bahan tersebut sebagai nutrisinya. Bahan lignoselulosa yang terdiri atas selulosa, hemiselulosa dan lignin merupakan bahan polimer sehingga enzim yang disekresikan kapang akan mengubah bahan lignoselulosa menjadi monomernya agar mudah masuk ke dalam sel. Ligninolitik berhubungan dengan produksi enzim ekstraseluler pendegradasi lignin yang dihasilkan oleh kapang pelapuk putih. Dua enzim yang berperan dalam proses tersebut adalah fenol oksidase (lakase) dan peroksidase (lignin peroksidase/LiP dan manganese peroksidase/MnP). Mekanisme degradasi lignin oleh Pleurotus belum banyak dipelajari seperti pada P. chrysosporium. Namun dari beberapa studi yang dilakukan, terlihat enzim yang bertanggungjawab untuk degradasi lignin dalam Pleurotus cukup bervariasi. Enzim-enzim yang dihasilkan P. ostreatus yang merupakan enzim ekstraseluler adalah Laccase, puncak terbentuknya pada 6-8 hari masa inkubasi, berfungsi untuk memecahkan fenolik pada substruktur bahan lignin. Tidak ada peroksidase lignin. Enzim-enzim lainnya adalah peroksidase acidic, peroksidase netral. P. ostreatus telah diketahui menghasilkan glikoprotein yang mengandung FAD, oksidase aryl alcohol, dan aksidase polyphenol (Kerem et al. 1992; Hadar et al. 1993). Fengel dan Wegener (1995) jmenyatakan bahwa reaksi-reaksi pemecahan menghasilkan senyawa monomer dan dimer yang kebanyakan mengandung gugus karboksil. Pemecahan cicin aromatik adalah dimaksudkan agar senyawa-senyawa degradasi lignin tersebut dapat masuk ke dalam metabolisme internal kapang. Monomer-monomer lain yang ditemukan sebagai hasil degradasi kapang adalah asam vanilat dan asam veratrat. Skema degradasi lignin oleh kapang pelapuk putih disajikan pada Gambar 10.
9
Gambar 10. Skema lignolitik dari kapang pelapuk putih (Kirk dan Cullen, 1998)
10