II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Irigasi Curah Irigasi curah atau siraman (sprinkler) adalah metode penggunaan air terhadap permukaan tanah dalam bentuk percikan, seperti hujan biasa. Metode pemberian air ini dimulai sekitar tahun 1900. Pertanian sistem siraman yang pertama adalah perkembangan dari penyiraman lapangan rumput kota. Sebelum 1920, penyiraman terbatas pada tanaman sayur-sayuran, kebun bibit, dan kebun buahbuahan. (Hansen et al, 1979) Ada beberapa jenis penyiram dalam metode irigasi curah, yaitu penyiram berputar (revolving head sprinklers), penyiram tetap yang dipasang pada pipa (fixed head sprinklers), barisan nozzle (nozzle lines), dan pipa yang dilubangi (perforated pipes). (Wiesner, 1970)
Gambar 1. Jenis penyiram berputar pada ladang tomat (Hansen et al, 1979)
Gambar 2. Jenis penyiram tetap (Hansen et al, 1979)
Gambar 3. Jenis penyiram perforated pipes di kebun jeruk (Hansen et al, 1979) Pada metoda irigasi curah, pemberian air irigasi dilakukan dari bagian atas tanaman terpancar menyerupai hujan (Prastowo, 2002). Penyemprotan dibuat dengan mengalirkan air bertekanan melalui orifice kecil atau nozzle. Tekanan biasanya didapatkan dengan pemompaan. Untuk mendapatkan penyebaran air yang seragam diperlukan pemilihan ukuran nozzle, tekanan operasional, spasing sprinkler, dan laju infiltrasi tanah yang sesuai. Keuntungan menggunakan metode irigasi curah menurut Prastowo (2002) antara lain : 1. Efisiensi pemakaian air cukup tinggi 2. Dapat digunakan untuk lahan dengan topografi bergelombang dan kedalaman tanah (solum) yang dangkal, tanpa diperlukan perataan lahan (land grading) 3. Cocok untuk tanah berpasir di mana laju infiltrasi biasanya cukup tinggi. 4. Aliran permukaan dapat dihindari sehingga memperkecil kemungkinan terjadinya erosi. 5. Pemupukan terlarut, herbisida dan fungisida dapat dilakukan bersama-sama dengan air irigasi. 6. Biaya tenaga kerja untuk operasi biasanya lebih kecil daripada irigasi permukaan 7. Dengan tidak diperlukannya saluran terbuka, maka tidak banyak lahan yang tidak dapat ditanami 8. Tidak mengganggu operasi alat dan mesin pertanian Sedangkan kekurangan metode irigasi curah menurut Prastowo (2002) antara lain : 1. Memerlukan biaya investasi dan biaya operasional yang tinggi, antara lain untuk operasi pompa air dan tenaga pelaksana yang terampil. 2. Perencanaan dan tata letaknya harus teliti agar diperoleh tingkat efisiensi yang tinggi. Sistem irigasi curah dapat digunakan untuk hampir semua tanaman kecuali padi dan yute, dan dapat diaplikasikan pada hampir semua jenis tanah. Akan tetapi tidak cocok untuk tanah bertekstur liat halus, dimana laju infiltrasi kurang dari 4 mm/jam dan atau kecepatan angin lebih besar dari 13 km/jam (Keller, 1990). Beberapa kriteria kelayakan penerapan dan perencanaan irigasi curah disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria kesesuaian lokasi penerapan irigasi curah (Prastowo, 2002) Parameter
Kriteria Penerapan 1. Zona Geoklimat E, D, C3
Iklim
2. Arah angin tidak berubah-ubah 3. Kecepatan angin kurang dari 4,4 m/s 1. Tekstur kasar, solum dangkal, laju infiltrasi tinggi, peka terhadap erosi. 2. Jenis tanah Regoisol, Rendzina, Litosol, Grumusol, dan Andosol
Lahan
3. Laju infiltrasi lebih dari 4 mm/jam 4. Luas dan bentuk petakan lahan yang teratur 1. Air tanah, mata air, air permukaan (danau, embung, dll)
Air
2. Tersedia sumber air yang cukup sepanjang tahun 3. Kualitas air yang bebas kotoran dan tidak mengandung besi (Fe)
Tanaman
1. Jenis tanaman yang dibudidayakan bernilai ekonomis tinggi 1. Motivasi petani tinggi
Sosial ekonomi
2. Kemampuan teknis dan finansial petani memadai 3. Kelembagaan usaha tani yang siap
Natural Resources Conservation Service (NRCS) dari Idaho mengklasifikasikan sistem irigasi curah berdasarkan tekanan operasional pencurah yang digunakan. Klasifikasi tersebut disajikan pada Tabel 2. Sedangkan Hansen et al (1979) mengklasifikasikan sistem irigasi sprinkler berdasarkan tekanan operasional unit pompa yang digunakan. Klasifikasi tersebut disajikan pada Tabel 3. Tabel 2. Klasifikasi sistem irigasi curah berdasarkan tekanan operasional pencurah (NRCS, 2004) Tekanan
Sistem Irigasi Curah
psi
Bar
Rendah
2.00 – 35.00
0.13 – 2.33
Sedang
36.00 – 50.00
2.40 – 3.33
Menengah
51.00 – 75.00
3.40 – 5.00
Tinggi
> 75.00
> 5.00
Tabel 3. Klasifikasi sistem irigasi sprinkler berdasarkan tekanan air (Hansen et al, 1979) Sistem Irigasi Sprinkler
Tekanan (m)
Sangat Rendah
3.50 – 10.00
Rendah
10.00 – 20.00
Sedang
20.00 – 40.00
Tinggi
40.00 – 70.00
B. Komponen Irigasi Curah Menurut Prastowo (2010), komponen penyusun sistem irigasi curah terdiri atas : (1) sumber air irigasi, (2) pompa air dan tenaga penggeraknya, (3) jaringan perpipaan, dan (4) pencurah. 1. Sumber air irigasi Air untuk irigasi dapat berasal dari mata air, sumber air yang permanen (sungai, danau, dsb), sumur, atau suatu sistem suplai air regional.
2. Pompa air dan tenaga penggeraknya Sistem irigasi curah dapat dioperasikan dengan menggunakan sumber energi yang berasal dari gravitasi, pemompaan pada sumber air, atau penguatan tekanan dengan menggunakan booster pump. Sumber tenaga penggerak pompa dapat berupa motor listrik atau motor bakar. Jenis pompa yang biasa digunakan pada suatu sistem irigasi curah adalah pompa sentrfugal dan pompa turbin. Keller dan Bliesner (1990) menyatakan bahwa pompa sentrifugal digunakan apabila debit dan tekanan yang dibutuhkan relatif kecil, sedangkan pompa turbin digunakan apabila debit dan tekanan yang dibutuhkan relatif besar. 3. Jaringan perpipaan, terdiri dari : a. Pipa lateral, merupakan pipa tempat diletakkannya pencurah sprinkler yang memberikan air ke tanah b. Pipa manifold, merupakan pipa dimana pipa-pipa lateral dihubungkan c. Valve line, merupakan pipa tempat diletakkan katup air d. Pipa utama (mainline), merupakan pipa yang dihubungkan dengan valve line e. Supply line, merupakan pipa yang menyalurkan air dari sumber air. 4. Pencurah (Penyiram berputar tekanan tinggi) Penyiram bertekanan tinggi mampu melingkupi daerah yang luas dan besar presipitasi untuk jarak yang dianjurkan cukup tinggi. Pola distribusi air sangat baik untuk udara yang tenang, tapi sangat rentan terganggu oleh angin (Hansen et al, 1979). Dengan presitipasi rate sebesar 8 – 10 mm/hari, penyiram tekanan tinggi dapat diaplikasikan untuk tanaman tropical dengan jarak tanam rapat seperti tebu dan kelapa sawit. Salah satu jenis sprinkler yang tergolong high pressure sprinkler adalah big gun sprinkler. Peralatan irigasi curah berupa big gun sprinkler yang ada di Indonesia cukup bervariasi, baik tipe, bentuk, ukuran, maupun konstruksinya. Secara umum, konstuksi big gun sprinkler terdiri atas beberapa komponen seperti ditunjukkan pada Gambar 4 berikut.
Keterangan : 1. Ujung lengan pengayun (drive vane) 2. Lengan pengayun (drive arm) 3. Pemberat lengan pengayun (arm weight) 4. Nozzle 5. Tuas pemindah arah 6. Pengatur sudut putaran Gambar 4. Big gun sprinkler merk KOMET Model Twin 140/Plus 24 (www.kometirrigation.com)
Big gun sprinkler merk KOMET Model Twin 140/Plus 24 memiliki spesifikasi sudut trajectory sebesar 24o dan dapat diaplikasikan untuk penyiraman baik putaran penuh (full circle) maupun sebagian putaran (part circle). Nozzle yang dapat dipasang pada big gun sprinkler hanya yang berukuran diameter 16-30 mm. Sangat cocok untuk diterapkan pada tanaman perkebunan seperti tebu, kopi, dan teh (www.jains.com). Skema jaringan irigasi curah secara umum disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Skema jaringan irigasi curah sistem berpindah
C. Hidrolika Dalam Irigasi Curah Kehilangan tekanan dalam aliran pipa tergantung pada kekasaran pipa, debit aliran, diameter, dan panjang pipa. Kekasaran pipa akan bertambah seiring tingkat keausan dan umur dari pipa tersebut. Kehilangan energi gesekan pipa umumnya dihitung dengan rumus dari Hazen-William :
ℎ = hf Q C D L
.
10.684 .
.
Keterangan : = Kehilangan head (m) = Debit aliran (m3/detik) = Koefisien gesekan pipa = Diameter dalam pipa (m) = Panjang pipa (m)
Sedangkan menurut Scobey (1930), kehilangan head dihitung dengan menggunakan persamaan berikut : .
ℎ =
hf
Keterangan : = Kehilangan head (m)
.
(4.10 10 )
Ks L Q D
= Koefisien Scobey (0,40 untuk pipa besi dan alumunium dengan coupler ; 0,42 untuk pipa galvanis dengan coupler) = Panjang pipa (m) = Debit aliran (m3/detik) = Diameter dalam pipa (m)
Nilai C pada rumus Hazen-William tergantung pada derajat kehalusan pipa bagian dalam, jenis bahan pembuat pipa, dan umur pipa. Nilai C berdasarkan jenis dan kondisi pipa menurut HazenWilliam ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4. Kondisi pipa dan nilai C (Hazen-William) Jenis pipa
Koefisien kehalusan “C”
Pipa besi cor, baru
130
Pipa besi cor, tua
100
Pipa baja, baru
120 – 130
Pipa baja, tua
80 – 100
Pipa dengan lapisan semen
130 – 140
Pipa dengan lapisan aspal
130 – 140
Pipa PVC
140 – 150
Pipa besi galvanis
110 – 120
Pipa beton, baru
120 – 130
Pipa beton, lama
105 – 110
Alumunium
135 – 140
Pipa bambu (betung, wuluh, tali)
70 – 90
Melalui kehilangan head tersebut, besarnya Total Dynamic Head (TDH) yang dibutuhkan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut : TDH = SH + E + Hf1 + Hm + Hf2 + Hv + Ha + Hs Keterangan : TDH = Total Dynamic Head (m) SH = Beda elevasi sumber air dengan pompa (m) E = Beda elevasi pompa dengan lahan tertinggi (m) Hf1 = Kehilangan head akibat gesekan pada pipa (m) Hm = Kehilangan head pada katup dan belokan (m) Hf2 = Kehilangan head pada sub unit (besarnya 20% dari Ha) (m) Hv = Velocity head (umumnya sebesar 0,3 m) Ha = Tekanan operasi rata-rata sprinkler (m) Hs = Head untuk faktor keamanan (besarnya 20%) (m)
D. Kebutuhan Air Irigasi Penggunaan konsumtif adalah jumlah total air yang dikonsumsi tanaman untuk penguapan (evaporasi), transpirasi dan aktivitas metabolisme tanaman, biasanya disebut juga evapotranspirasi
tanaman. Jumlah evapotranspirasi kumulatif selama pertumbuhan tanaman yang harus dipenuhi oleh air irigasi, dipengaruhi oleh jenis tanaman, radiasi surya, sistem irigasi, lamanya pertumbuhan, hujan dan faktor lainnya. Jumlah air yang ditranspirasikan tanaman tergantung pada jumlah lengas yang tersedia di daerah perakaran, suhu dan kelembaban udara, kecepatan angin, intensitas dan lama penyinaran, tahapan pertumbuhan, tipe dedaunan. Terdapat dua metoda untuk mendapatkan angka penggunaan konsumtif tanaman, yakni (a) pengukuran langsung dengan lysimeter bertimbangan (weighing lysimeter) atau tidak bertimbangan, dan (b) secara tidak langsung dengan menggunakan rumus empirik berdasarkan data unsur cuaca. Secara tidak langsung dengan menggunakan rumus empirik berdasarkan data unsur cuaca, pertama menduga nilai evapotranspirasi tanaman acuan (ETo). ETo adalah jumlah air yang dievapotranspirasikan oleh tanaman rumputan dengan tinggi 15-20 cm, tumbuh sehat, menutup tanah dengan sempurna, pada kondisi cukup air. Ada berbagai rumus empirik untuk pendugaan evapotranspirasi tanaman acuan (ETo) tergantung pada ketersediaan data unsur cuaca, antara lain: metoda Blaney-Criddle, Penman, Radiasi, Panci evaporasi (FAO, 1987). Akhir-akhir ini (1999) FAO merekomendasikan metoda PenmanMonteith untuk digunakan jika data iklim tersedia (suhu rerata udara harian, jam penyinaran rerata harian, kelembaban relatif rerata harian, dan kecepatan angin rerata harian. Selain itu diperlukan juga data letak geografi dan elevasi lahan di atas permukaan laut. Selanjutnya untuk mengetahui nilai ET tanaman tertentu maka ETo dikalikan dengan nikai Kc yakni koefisien tanaman yang tergantung pada jenis tanaman dan tahap pertumbuhan. Nilai Kc tersedia untuk setiap jenis tanaman. ETc = Kc x ETo Nilai ET tanaman yang diperoleh adalah jumlah air untuk evapotranspirasi yang dibutuhkan oleh tanaman agar diperoleh hasil yang maksimum, artinya nilai ini adalah nilai kebutuhan air bagi tanaman (air konsumtif). Koefisen tanaman memiliki nilai yang beragam tergantung pada jenis tanaman dan fase pertumbuhan tanaman, sehingga nilai ET tanaman juga akan berubah sejalan dengan hal tersebut. Nilai Kc tanaman tebu menurut Inman-Bamber dan Smith (2005) ditunjukkan Tabel 5. Tabel 5. Nilai Kc berdasarkan fase pertumbuhan (Inman-Bamber dan Smith, 2005) Umur tanaman (bulan)
Fase pertumbuhan
Nilai kc
0–1
Perkecambahan – pertumbuhan tunas
0,55
1–2
Pembentukan anakan
0,80
2–3
Pembentukan anakan
0,90
2,5 – 4
Pertumbuhan anakan – kanopi penuh
1,00
4 – 10
Pertumbuhan puncak (pemanjangan batang)
1,05
10 – 11
Pematangan – awal senesen
0,80
11 – 12
Matang
0,60
E. Derajat Keseragaman Penyiraman Derajat keseragaman merupakan salah satu faktor petunjuk efisiensi irigasi terutama dalam distribusi penyebaran air. Derajat keseragaman distribusi air biasanya dinyatakan dalam koefisien keseragaman (CU) (Michael, 1974 dalam Latiyono, 1985)
Keseragaman distribusi penyemprotan air dari sprinkler dapat ditentukan melalui pengukuran di lapangan, yaitu dengan menempatkan wadah-wadah pada titik-titik tertentu. Air yang tertampung di setiap wadah kemudian diukur ketebalannya, yaitu volume yang tertampung dibagi dengan luas penampangnya. Wadah umumnya ditempatkan pada setiap jarak 1 m atau 2 m (Prastowo, 2003). Pengukuran dapat dilakukan untuk satu sprinkler, satu pipa lateral, atau diantara beberapa sprinkler. Gambar 6 menyajikan suatu lapangan pengujian distribusi penyemprotan air.
Gambar 6. Tata letak wadah untuk satu sprinkler (a), satu pipa lateral (b), dan diantara beberapa sprinkler (c) Menurut Christiansen (1942), koefisien keseragaman (CU) dapat dihitung dengan persamaan berikut :
∑ Xi − X CU = 1,0 − X ×n dimana :
Xi
= Nilai masing-masing pengamatan (mm)
X = Nilai rata-rata pengamatan (mm)
n
= Jumlah total pengamatan
F. Unjuk Kerja Big Gun Sprinkler Unjuk kerja big gun sprinkler dimaksudkan untuk menguji unjuk kerja penyiram berputar tekanan tinggi sesuai dengan syarat mutu yang ditetapkan Standar SNI 7710-2011. Pengujian ini dilakukan dengan pengukuran beberapa parameter unjuk kerja penyiram tekanan tinggi, yaitu : 1. Tekanan kerja, adalah besar tekanan air dalam kisaran tekanan efektif yang digunakan untuk menguji penyiram, yaitu berupa besar tekanan dari pusat putaran atau mesin irigasi laeral yang diukur pada bagian hiir pengeluaran air dari sambungan siku atau sambungan T di atas bagian pemasukan ke jalur pipa. 2. Debit penyiraman, adalah besar volume air yang dikeluarkan dari nozzle penyiram per satuan waktu. 3. Radius penyiraman, adalah jarak terukur paling jauh ketika penyiram sedang berputar normal, yang diukur dari garis pusat penyiram ke titik dimana penyiram mengalirkan air dengan kecepatan aliran minimum tertentu untuk besar debit penyiraman tertentu. 4. Arah putaran penyiraman, adalah sudut penyiraman air di atas suatu bidang horizontal yang dikeluarkan dari nozzle penyiram pada tekanan kerja. 5. Sudut perpindahan arah putaran penyiraman adalah besar sudut pergerakan penyiram tekanan tinggi pada setiap putaran penyiramannya berpindah arah. Syarat mutu parameter unjuk kerja big gun sprinkler seperti ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6. Parameter unjuk kerja big gun sprinkler (SNI 7710-2011)* Jenis penyiram
Parameter unjuk kerja
Nilai
Satuan
Maksimum 900
kPa
Debit penyiraman
6,6 – 274,0
m3/jam
Radius penyiraman
23,5 – 94,0
m
0 – 360
o
Tekanan kerja
Big gun sprinkler
Arah putaran penyiraman
Sudut perpindahan arah putaran o 12 – 43 penyiraman *) SNI 7710-2011 : Peralatan irigasi pertanian – Penyiram berputar tekanan sedang dan tinggi – Syarat mutu dan metode uji
G. Biaya Operasional Big Gun Sprinkler Irigasi curah merupakan metode irigasi yang membutuhkan biaya operasional yang tinggi (Prastowo, 2002). Kebutuhan biaya operasional irigasi curah dengan menggunakan big gun sprinkler dapat diukur secara ekonomi teknik dengan menggunakan data hasil pengamatan dan persamaan (1) berikut :
= B Bt Btt x
+
........................................................(1)
Keterangan : = Biaya total (Rp/jam) = Biaya tetap (Rp/tahun) = Biaya tidak tetap (Rp/jam) = Jam kerja rata-rata per tahun (jam/tahun) (Pramudya, 1991).
Komponen yang termasuk dalam biaya tetap adalah bunga modal serta biaya penyusutan pompa, big gun sprinkler, jaringan instalasi pipa, bangunan, bunga modal, serta pajak. Sedangkan
yang termasuk biaya tidak tetap adalah bahan bakar, upah operator, dan biaya perawatan. Perhitungan biaya penyusutan menggunakan persamaan (2) berikut : D = (P-S) x (A/P,i,N) ....................................................(2) Keterangan : D = Biaya penyusutan (Rp) P = Harga awal mesin (Rp) S = Harga akhir mesin (Rp) i = Tingkat bunga modal (%) (Pramudya, 1991).