11
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Efisiensi Produksi Isu in-efisiensi pada dasarnya timbul dari anggapan bahwa petani dan usahatani
berperilaku
memaksimalkan
keuntungan.
In-efisiensi
dapat
diinterpretasikan sebagai suatu titik atau tahapan dimana tujuan dari pelaku ekonomi belum secara penuh dimaksimalkan (Adiyoga, 1999). Farrell (1957) menyatakan alasan pentingnya pengukuran efisiensi karena beberapa hal : (1) Masalah pengukuran efisiensi produksi suatu industri dan usaha tani adalah penting untuk ahli teori ekonomi maupun pengambil kebijakan ekonomi; (2) Jika alasan-alasan teoritis efisiensi relatif dari berbagai sistem ekonomi harus diuji, maka penting untuk mampu membuat pengukuran efisiensi aktual hal ini sebagai pebanding antara kondisi ril dan aktual yang dialami oleh perusahaan (firm) ; (3) Jika perencanaan ekonomi sangat terkait dengan industri tertentu, adalah penting untuk meningkatkan output tanpa menyerap sumberdaya-sumberdaya tambahan atau menaikkan efisiensinya. Dalam teori ekonomi mikro yang standar, konsep fungsi produksi membentuk dasar untuk deskripsi hubungan input-output bagi petani. Jika diasumsikan faktor produksi homogen dan informasi lengkap tentang teknologi yang ada, fungsi produksi mewakili sejumlah metode untuk menghasilkan output. Untuk situasi tertentu, fungsi produksi akan memberikan gambaran tentang teknologi produksi. Penghitungan efisiensi selanjutnya dapat dibuat relatif terhadap fungsi produksi. Secara khusus, in-efisiensi teknis akan ditentukan oleh jumlah
penyimpangan
dari
fungsi
produksi
aktual.
Byerlee
(1987),
mengemukakan bahwa dalam istilah ekonomi, inefisiensi teknis mengacu pada kegagalan untuk beroperasi pada fungsi produksi tersebut. Penyebab potensial inefisensi teknis adalah informasi tidak sempurna, kapabilitas teknis yang rendah dan motivasi yang tidak memadai (Daryanto, 2000). Farrell (1957) memperkenalkan metode sederhana untuk mengukur efisiensi petani langsung dari data observasi, dalam kasus output tunggal, dengan melibatkan banyak input. Efisiensi teknis didefinisikan sebagai kemampuan petani mencapai output maksimum yang mungkin tercapai dari sejumlah penggunaan input pada teknologi yang tersedia. Lau dan Yotopoulus (1971) mengemukakan, seorang produsen lebih efisien secara teknis daripada produsen lainnya, apabila secara konsisten mampu menghasilkan produk yang
12
lebih tinggi, dengan menggunakan faktor produksi yang sama. Sementara itu, efisiensi alokatif mengacu pada kemampuan petani merespon sinyal ekonomi dan memilih kombinasi input optimal pada harga-harga input yang berlaku. Farrell (1957) mengembangkan literatur untuk melakukan estimasi empiris untuk efisiensi
teknis
(tehcnical
efficiency/TE),
efisiensi
alokatif
(alocative
efficiency/AE), dan efisiensi ekonomi (economic efficiency/EE). Tylor, et al., (1986), serta Ogundari dan Ojo, (2006) menggunakan penggunaannya lebih lanjut dalam analisis efisiensi usaha tani. Efisiensi teknis (TE) didefinisikan sebagai kemampuan seorang produsen atau petani untuk mendapatkan output maksimum dari penggunaan sejumlah input. Efisiensi teknis (TE) berhubungan dengan kemampuan petani untuk berproduksi pada kurva batas isoquan (frontier isoquan).
Dapat
juga
didefinisikan
sebagai
kemampuan
petani
untuk
memproduksi pada tingkat output tertentu dengan menggunakan input minimum pada tingkat teknologi tertentu. Efisiensi alokatif (AE) adalah kemampuan seorang petani untuk menggunakan input pada proporsi yang optimal pada harga faktor dan teknologi produksi yang tetap (given). Dapat juga didefinisikan sebagai kemampuan petani untuk memilih tingkat penggunaan input minimum di mana harga-harga faktor dan teknologi tetap. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa AE menjelaskan kemampuan petani dalam menghasilkan sejumlah output pada kondisi minimisasi rasio biaya input. Gabungan kedua efisiensi ini disebut efisiensi ekonomi (EE), artinya bahwa produk yang dihasilkan baik secara teknik maupun alokatif efisien. Jadi effisiensi ekonomis sebagai kemampuan yang dimiliki oleh petani dalam berproduksi untuk menghasilkan sejumlah output yang telah ditentukan sebelumnya. Secara ekonomik efisien bahwa kombinasi inputoutput akan berada pada fungsi produksi frontier dan jalur pengembangan usaha (expantion path). Pendekatan yang digunakan untuk mengestimasi tingkat efisiensi teknis dalam perkembangan selanjutnya menggunakan fungsi stochastic production frontier (SPF). Berdasarkan artikel, ketiga pendekatan tersebut diperkenalkan secara lebih luas oleh Aigner, Lovell dan Schmidt (1977) maupun Meeusen dan Broeck (1977). Ellis (1993) dan (2003) mengembangkan empat implikasi kebijakan yang dapat dihasilkan dari bahasan tentang efisiensi teknis, alokatif, dan ekonomis, yakni: (1) Jika petani memang dibatasi oleh teknologi yang tersedia, maka hanya perubahan teknologi maju yang dapat meningkatkan kesejahteraan petani, (2) Dengan asumsi bahwa petani secara alokatif responsif
13
terhadap perubahan harga, maka memanipulasi harga input dan output (skema kredit, subsidi pupuk) mungkin mempunyai pengaruh yang sama pada biaya yang lebih rendah, (c) Jika inefisiensi adalah akibat dari ketidaksempurnaan pasar, maka kinerja pasar seharusnya diperbaiki, dan (d) Jika petani secara teknis adalah inefisien maka pendidikan petani dan penyuluhan pertanian perlu ditingkatkan.
2.2. Pengukuran Efisiensi Berorientasi Input dan Output Berbagai metode telah dicoba untuk mengukur efisiensi. Coelli, et al., (1998) bahwa pengukuran efisiensi secara konseptual terdapat dua metode yaitu pengukuran berorientasi input (input-oriented measures) dan pengukuran berorientasi output (output-oriented measures). Konsep efisiensi frontier sudah sering dipakai, di mana deviasi dari frontier diasumsikan mewakili inefisiensi. Model frontier telah banyak dipakai dalam mengukur tingkat efisiensi produksi usahatani. Beberapa alasan penggunaan model frontier adalah : (1) Istilah frontier adalah konsisten dengan teori ekonomi perilaku optimisasi; (2) Deviasi dari frontier dengan tujuan efisiensi teknis dan perilaku unit ekonomi memiliki interpretasi alami sebagai pengukuran efisiensi; dan (3) Informasi tentang efisiensi relatif unit ekonomi memiliki banyak implikasi kebijakan yang dapat diimplementasikan (Bauer, 1990). 2.2.1. Pengukuran Berorientasi Input (Input-Oriented Measures) Berbagai metode telah dikembangkan untuk mengukur efisiensi. Coelli, et al., (1998) mengatakan bahwa pengukuran efisiensi secara konseptual terdapat dua metode yaitu pengukuran berorientasi input (input-oriented measures) dan pengukuran berorientasi output (output-oriented measures). Konsep efisiensi frontier sudah sering dipakai, di mana deviasi dari frontier diasumsikan mewakili inefisiensi. Model frontier telah banyak dipakai dalam mengukur tingkat efisiensi produksi usahatani. Beberapa alasan penggunaan model frontier adalah : (1) Istilah frontier adalah konsisten dengan teori ekonomi perilaku optimisasi; (2) Deviasi dari frontier dengan tujuan efisiensi teknis dan perilaku unit ekonomi memiliki interpretasi alami sebagai pengukuran efisiensi; dan (3) Informasi tentang efisiensi relatif unit ekonomi memiliki banyak implikasi kebijakan yang dapat diimplementasikan (Bauer, 1990).
14
Untuk mengilustrasikan konsep efisiensi, Farrell (1957) dan Coelli, et al., (1998) menggunakan contoh sederhana di mana petani hanya menggunakan dua input (x1 dan x2), untuk menghasilkan output tunggal (y). dimana y=f((x1, x2) dengan asumsi constant return to scale (CRTS). Konsep efisiensi dari sisi input diilustrasikan oleh Farrell (1957) pada Gambar 5. Konsep efisiensi ini diasumsikan pada kondisi Constant Return to Scale. Pada Gambar 5, kurva isoquant frontier SS’ menunjukkan kombinasi input per output (x1/y dan x2/y) yang efisien secara teknis untuk menghasilkan output 0
Y = 1. Titik P dan Q menggambarkan dua kondisi suatu perusahaan dalam berproduksi menggunakan kombinasi input dengan proporsi input x1/y dan x2/y yang sama. Keduanya berada pada garis yang sama dari titik O untuk 0
memproduksi satu unit Y . Titik P berada di atas kurva isoquant, sedangkan titik Q menunjukkan perusahaan beroperasi pada kondisi secara teknis efisien (karena beroperasi pada kurva isoquant frontier). Titik Q mengimplikasikan bahwa
perusahaan
memproduksi
sejumlah output
yang
sama dengan
perusahaan di titik P, tetapi dengan jumlah input yang lebih sedikit. Jadi, rasio OP/OQ menunjukkan efisiensi teknis (TE) perusahaan P, yang menunjukkan proporsi dimana kombinasi input pada P dapat diturunkan, rasio input per output (x1/y : x2/y) konstan, sedangkan output tetap.
S
x2/y
P
A Q R
Q’ S’
A` O
xi
x1/y
Gambar 5. Ukuran Efisiensi Berorientasi Input Sumber: Farrell (1957)
15
Jika harga input tersedia, efisiensi alokatif (AE) dapat ditentukan. Garis isocost (AA’) digambarkan menyinggung isquant SS’ di titik Q’ dan memotong garis OP di titik R. Titik R menunjukkan rasio input-output optimal yang meminimumkan biaya produksi pada tingkat output tertentu karena slope isquant sama dengan slope garis isocost. Titik Q secara teknis efisien tetapi secara alokatif inefisien karena perusahaan di titik Q berproduksi pada tingkat biaya yang lebih tinggi dari pada di titik Q’.Jarak OR-OQ menunjukkan penurunan biaya produksi jika produksi terjadi di titik Q’ (secara alokatif dan teknis efsien), sehingga efisiensi alokatif (AE) untuk perusahaan yang beroperasi di titik P adalah rasio OR/OQ. Oleh Farrell (1957), efisiensi alokatif ini juga disebut sebagai efisiensi harga (price efficiency). Total efisiensi ekonomi (EE) adalah sama dengan perkalian efsiensi teknis dengan efisiensi alokatif, yaitu: EE = TE x AE = (OQ/OP) x (OR/OQ) = OR/OP. Dapat disimpulkan bahwa efisiensi teknis dan alokatif bisa diukur dari segi fungsi produksi frontier dan asosiasi first order condition (FOC) atau dengan menggunakan dual fungsi biaya (Taylor, et al., 1986). Pada Gambar 3 diperlihatkan bahwa TE tidak harus berimplikasi total EE, maupun minimisasi biaya. Petani bisa mencapai TE dengan menggunakan input tanpa mempertimbangkan harga input. Terlepas dari tingkat produksi yang relative tinggi, produsen yang mengikuti strategi ini tidak akan mungkin meminimalkan biaya. Pengukuran efisiensi menurut Farrel semula sah untuk teknologi restriktif yang dicirikan oleh CRS atau homogenitas linier. Analisis Farrel tidak mempertimbangkan level produksi optimal karena skala produksi tidak terbatas pada CRS. Tetapi, pengukuran Farrel (1957) telah digeneralisir menjadi teknologi yang kurang restriktif.
2.2.2. Pengukuran Berorientasi output (Output-Oriented Measures) Metode pengukuran berorientasi output (output-oriented measures) seperti yang diilustrasikan Gambar 6 (Coelli, et al., 1998), dijelaskan dengan menggunakan kurva kemungkinan produksi (production possibility frontier/PPF) yang direpresentasikan garis AA’. Garis AA’ adalah garis isocost yang ditarik secara tangensial ke kurva kemungkinan produksi. Sementara itu, titik P menunjukkan petani yang berada dalam kondisi in-efisien secara teknis. Garis OP menggambarkan kondisi yang in-efisien secara teknis, yang ditunjukkan oleh adanya tambahan output tanpa membutuhkan tambahan input.
16
P
Y1/x A R S
Q
Q’
S’ O
A`
xi
Y2/x
Gambar 6. Ukuran Efisiensi Berorientasi Output Sumber: Farrell (1957)
Berkenaan dengan kondisi tersebut, pada pendekatan ini rasio efisiensi teknis didefinisikan sebagai : OB=TExOA. Dengan adanya informasi harga output yang digambarkan oleh garis isorevenue AA’ maka efisiensi alokatif dituliskan dalam bentuk : OC= AE xOB. Sehingga EE=TExAE 2.3. Pengukuran Efisiensi Parametrik Menurut Debertin (1986) fungsi produksi menggambarkan hubungan teknis (technical relationship) antara sejumlah input yang digunakan dengan output yang dihasilkan dalam proses produksi. Coelli, et al., (1998) menyatakan bahwa fungsi produksi frontier adalah fungsi produksi yang menggambarkan output maksimum yang dapat dicapai dari setiap penggunaan input. Apabila suatu kegiatan usahatani berada pada titik pada fungsi produksi frontier artinya usahatani tersebut efisien secara teknis. Jika fungsi produksi frontier diketahui maka dapat diestimasi in-efisiensi teknis melalui perbandingan posisi aktual relatif terhadap frontier-nya. Pendekatan parametrik mengacu pada setiap metode frontier yang dikonstruksi adalah parametrik, misalnya fungsi produksi frontier Cobb-Douglas atau translog. Pendekatan parametrik dapat dibedakan menjadi pendekatan parametrik deterministik dan frontier stokastik (Bravo-Ureta dan Pinherio,1993), sedangkan Kumbhakar dan Lovell (2000) pendekatan parametrik untuk data cross-sectional dibedakan menjadi pendekatan parametrik deterministik, frontier stokastik, dan frontier distance. Pendekatan ini memerlukan spesifikasi eksplisit teknologi produksi. Sampai akhir 1960-an sebagaian besar studi menggunakan
17
metodologi least-squares tradisional untuk mengestimasi fungsi produksi. Coelli (1995) dan Coelli, et al., (1998) berpendapat bahwa mengestimasi fungsi produksi
frontier
memiliki
dua
keuntungan
utama
dibanding
dengan
mengestimasi fungsi produksi rata-rata. Pertama, estimasi fungsi produksi ratarata hanya memberikan fungsi teknologi rata-rata petani, sedangkan estimasi fungsi produksi frontier sangat dipengaruhi oleh petani yang mempunyai kinerja terbaik yang mencerminkan teknologi yang digunakan. Kedua, fungsi produksi frontier mewakili hasil estimasi metode praktek terbaik di mana efisiensi petani dalam industri tersebut bisa diukur. Misalnya, proses produksi atau teknologi dituliskan sebagai berikut : i=1,2… n …….……...............................................(2.1) di mana
adalah tingkat produksi untuk petani contoh ke-i;
bentuk fungsi yang sesuai;
adalah vektor input untuk petani ke-i;
vektor parameter tidak diketahui yang akan diukur;
adalah adalah
adalah variabel acak; dan
N adalah jumlah petani. Fungsi produksi mewakili output maksimum yang mungkin tercapai pada kombinasi input tertentu. Tetapi, estimasi model di atas mengasumsikan
~N(0,σs2) menghasilkan fungsi produki rata-rata. Untuk
pengukuran efisiensi, diupayakan bisa menentukan standar atau fungsi produksi dari perilaku yang diamati bisa diukur. Dalam realita, petani mungkin tidak mencapai tingkat output maksimum, sebagai akibat terjadinya inefisiensi teknis. Muller (1974) melakukan modifikasi fungsi cobb-douglas dalam rangka melakukan studi empiris dalam upaya mengukur dampak informasi terhadap efisiensi teknis yang dikaitkan dengan fungsi produksi frontier. Perbedaan inefisiensi teknis yang terjadi pada petani disebabkan ketidakmampuan petani berproduksi pada fungsi produksi frontier. Hal tersebut dikarenakan : (1) teknologi produksi yang digunakan oleh petani dapat berbeda, dengan demikian jika hal ini benar, maka tidak ada alasan kuat untuk membandingkannya; (2) perbedaan pengamatan yang dapat disebabkan gangguan acak, kemungkinan yang kedua ini jelas dan tidak sukar dijelaskan; dan (3) terjadi perbedaan efisiensi teknis, dalam hal situasi ini semua produsen telah menggunakan teknologi yang sama tetapi produsen yang satu lebih efisien menggunakannya daripada yang lain.
18
2.3.1. Frontier Parametrik Deterministik Disebut frontier parametrik deterministik karena output di batasi dari atas oleh fungsi produksi yang tidak bersifat stokastik. Di mana galad satu sisi (onesided error term) akan memaksa output (y) lebih kecil dari fungsi produksi frontier atau f(x). Hal ini berbeda dengan pendekatan non-parametrik karena teknologi yang ada diekspresikan dengan bentuk fungsi spesifik. Aigner dan Chu (1968) mengikuti pendapat Farrel (1957) menyarankan penggunaan bentuk fungsi spesifik, berbentuk fungsi produksi Cobb-Douglas homogenus. Model ini ditulis sebagai berikut : , i=1,2… n …….……..............................................(2.2) di mana:
=output petani ke-i;
fungsi Cobb-Douglas; diukur;
= vektor input untuk petani ke-i;
= bentuk
= vektor parameter yang tidak diketahui yang akan
= variabel acak non-negatif terkait dengan efisiensi teknis.
adalah
galat satu sisi, yang mempunyai implikasi semua observasi terletak pada atau di bawah frontier, yaitu : , i=1,2… n …….……..........................................................(2.3) Aigner dan Chu (1968) menyarankan parameter
fungsi frontier diukur
dengan programasi linier atau kuadratik. Dalam aplikasi empiris, Aigner dan Chu (1968) menggunakan linier programing dimana parameter diestimasi dengan meminimalkan jumlah
dengan syarat
fungsi frontier > 0, untuk semua
ke-i. Efisiensi teknis dari petani ke-i dapat didefinisikan sebagai rasio aktual output terhadap output frontier terkait : ] = exp(- ).................................................................(2.4) Ukuran efisiensi teknis yang dikembangkan menggunakan pendekatan berorientasi output. Keuntungan utama pendekatan ini dibanding pendekatan non-parametrik bahwa lebih sedikit retsriksi yang di-impose dan non-constant return to scale bisa diakomodasi tetapi, salah satu kelemahan pendekatan ini adalah memiliki sensitivitas estimasi parameter terhadap pencilan (outlier) karena frontier jenis ini diestimasi berdasarkan subset data. Aigner dan Chu (1968) menyarankan bahwa tehnik programing dengan kendala peluang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah outlier, dengan membiarkan sebagian pengamatan berada di atas frontier estimasi. Saran ini dilakukan oleh Timmer (1971) untuk mendapatkan frontier probabilistik. Teknik ini
19
dilakukan dengan mengestimasi parameter model dengan secara berurutan membuang persentase pengamatan (outlier) sampai perubahan estimasi parameter cukup kecil. Kelemahan pendekatan ini adalah bersifat acak dari seleksi pengamatan untuk dihilangkan dari sampel. Kelemahan lainnya adalah tidak adanya asumsi galat, hasil estimasi parameter tidak memiliki sifat statistik dan pengujian hipotesis tidak mungkin dilakukan.
2.3.2. Frontier Statistik Deterministik Membuat beberapa asumsi statistik tentang galat dalam persamaan (2) adalah motif pengembangan model ini. Dalam persamaan (2.8), Ui diasumsikan terdistribusi secara independen dan identik (iid) dan nilai Xi diasumsikan exogenous (independen dari Ui). Karena galat Ui adalah satu sisi, estimator OLS untuk parameter tidak bisa diterima untuk mengukur parameter di dalam model (10). Secara ringkas persamaan fungsi produksi frontier statistik deterministic dalam bentuk logaritma dapat diformulasikan sebagai berikut :
,
…......................................(2.5)
Metode ini menggunakan teknik statistika untuk mengestimasi frontier statistik determenistik. Metode estimasi untuk frontier statistik deterministic dapat dilakukan dengan corrected ordinary least Squares (COLS) dan parametric linier programming (PLP), Aigner dan Chu (1968). Richmond (1974) memberikan pendekatan alternatif untuk mengestimasi fungsi produksi frontier statistic deterministik yang dikemukakan oleh Afriat (1972). Pendekatan ini, yang disebut OLS terkoreksi (COLS), mudah diaplikasikan dan tidak memerlukan asumsi khusus tentang galat. Selanjutnya Kumbhakar dan Lovell (2000) memperluas metode estimasi untuk frontier statistik deterministik dapat dilakukan dengan goal programming (GP), corrected ordinary least Squares (COLS), dan modified ordinary least squares (MOLS). Afriat (1972) memodifikasi model Aigner dan Chu (1968)
dengan dimana
mengasumsikan
distribusi
dua
parameter
beta
untuk
adalah galat, dan diusulkan bahwa model diestimasi dengan
maximum likelihood estimation (MLE). Richmond (1974) juga mengemukakan metode modifikasi OLS (MOLS), yang membuat asumsi tentang bentuk distribusi inefisiensi non-negatif ( ). Asumsi paling populer adalah setengah normal, yang memerlukan estimasi satu parameter tambahan, varian distribusi normal yang terpotong diatas nol. Distribusi parameter tunggal lainnya yang sudah banyak
20
digunakan adalah eksponensial. Menurut prosedur MOLS, model tersebut pertama diestimasi menggunakan OLS dan intersepnya dikoreksi dengan estimasi untuk mean Ui, diturunkan dari momen residual OLS, dan bukan mengadopsi prosedur penyesuaian COLS (Lovell, 1993). Keuntungan dari penggunaan pendekatan frontier statistik deterministic adalah hasil analisis untuk model menggunakan data sampel yang memadai dapat diuji kelayakan statistiknya (Aigner dan Chu, 1968; Richmond, 1974; Scmidt, 1976). Scmidt (1976) mengemukakan bahwa pendekatan frontier statistik deterministik mempunyai kelemahan yang sama dengan pendekatan nonparametrik dan pendekatan parametrik deterministik, yaitu terletak pada diperlukannya bentuk fungsional tertentu dan semua penyimpangan dari frontier dikategorikan sebagai inefisiensi teknis. Pendekatan ini mempunyai asumsi implisit bahwa semua variasi acak adalah karena inefisiensi teknis dan tidak diperbolehkan adanya variasi acak diluar kontrol petani. 2.3.3. Frontier Statistik Stokastik Salah satu metode estimasi tingkat produksi dan efisiensi teknis yang banyak digunakan adalah melalui pendekatan frontier statistik stokastik atau frontier stokastik, yang dalam implementasinya menggunakan stochastic production frontier (SPF). Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Aigner, et al., (1977); dan dalam saat yang bersamaan juga dilakukan oleh Meeusen dan van den Broeck (1977). Pengembangan pada tahun-tahun berikutnya banyak dilakukan seperti oleh Battese dan Coelli (1988, 1992, 1995), Coelli, et al., (1998), Kumbhakar and Lovell (2000). Pendekatan frontier deterministik yang telah diuraikan terdahulu, ternyata belum mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan bahwa kinerja usahatani dapat juga dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal yang berada di luar control petani. Dalam model frontier statistik stokastik atau sering hanya disebut frontier stokastik, output diasumsikan dibatasi dari atas oleh suatu fungsi produksi stokastik. Pada kasus Cobb-Douglas, model tersebut dalat dituliskan sebagai berikut : …………..……………………….…………..….(2.6) Di mana : simpangan (
-
) terdiri atas dua bagian, yaitu : (1)
komponen error simetrik yang memungkinkan keragaman acak dari frontier antar pengamatan dan menangkap pengaruh kesalahan pengukuran atau kejutan
21
acak, dan (2) komponen kesalahan satu-sisi (one-sided error) dari simpangan yang menangkap pengaruh inefisiensi teknis. Pada setiap model frontier statistik stokastik, simpangan yang mewakili gangguan statistik (statistical noise) diasumsikan independen dan identik (iid) yang terdistribusi secara normal. Asumsi distribusi yang paling sering digunakan adalah setengah normal (half normal). Jika dua simpangan (
-
) diasumsikan
bersifat independen satu sama lain serta independen terhadap input produksi (xi), dan dipasang asumsi distribusi spesifik (secara berturut-turut : normal dan setengah normal), maka fungsi likelihood (maximum likelihood estimators) dapat dihitung. Metode estimasi lain yang dapat digunakan adalah melalui estimasi model dengan OLS (Ordinary Least Square) dan mengkoreksi konstanta dengan menambahkan suatu penduga konsisten dari E( ) berdasarkan momen yang lebih tinggi (dalam kasus setengah normal, digunakan momen ke dua dan ke tiga) dari residual kuadratik terkecil atau disebut CLOS (Corected Ordinary Least Square). Setelah model diestimasi, nilai-ninai (
-
) juga dapat diperoleh. Pada
pengukuran efisiensi, penduga untuk uj juga diperlukan. Jondrow, et al., (1982) menyarankan kemungkinan yang paling relevan adalah E( │ dievaluasi berdasarkan nilai-nilai (
-
-
) yang
) dan parameter-parameternya.
Dalam makalahnya, Jondrow, et al., (1982) mengemukakan bahwa formula E( │(
-
) untuk kasus normal dan setengah normal. Struktur dasar
model frontier statistik stokastik pada persamaan (11 dan 12) dapat diilustrasikan pada
Gambar
7.
Keunggulan
pendekatan
frontier
stokastik
adalah
dimasukkannya gangguan acak (disturbance term), kesalahan pengukuran dan kejutan eksogen yang berada di luar kontrol petani. Sementara itu, beberapa keterbatasan dari pendekatan ini adalah : (1) Teknologi yang dianalisis harus diformulasikan oleh struktur yang cukup rumit, (2) Distribusi dari simpangan satusisi harus dispesifikasi sebelum mengestimasi model, (3) Struktur tambahan harus dikenakan terhadap distribusi inefisiensi teknis, dan (4) Sulit diterapkan untuk usahatani yang memiliki lebih dari satu output. Komponen yang pasti dari model frontier adalah f(xi;β) digambarkan dengan asumsi memiliki karakteristik skala pengembalian yang menurun (decreasing return to sclale). Kegiatan produksi dari dua orang petani diwakili dengan simbul i dan j. Dalam hal ini, petani i dalam kegiatan usahataninya menggunakan input produksi sebesar xi dan memperoleh output sebesar yi.
22
Output batas (yi*), y = F(xi;β) exp(vi), jika vi>0 y = F(xi;β)
Output observasi
Output observasi
(yi)
(yj)
xi
Output batas (yj*), y = F(xj;β) exp(vj), jika vj>0
xj
Gambar 7. Fungsi Produksi Stochastic Frontier Sumber: Coelli, et al., (1998) Output frontier petani i adalah yi*, melampaui nilai output dari fungsi produksi deterministik yaitu
Hal ini dapat terjadi karena kegiatan
produksinya dipengaruhi oleh kondisi yang menguntungkan (misalnya : curah hujan yang cukup, sinar matahari yang memadai, tidak adanya serangan organisme pengganggu tanaman),
sehingga variabel
vi
bernilai
positif.
Sementara itu, petani j menggunakan input produksi sebesar xj dan memperoleh output sebesar yj, akan tetapi output frontier peta ni j adalah yj* yang berada di bawah bagian yang pasti dari fungsi produksi. Hal ini dikarenakan kegiatan produksi usahatani dipengaruhi oleh kondisi yang kurang menguntungkan (misalnya : curah hujan terlalu tinggi, kekeringan, atau serangan), yaitu vi bernilai negatif. Output frontier yang tidak dapat diobservasi ini berada di bawah output dari fungsi produksi determisnistik yaitu
Pada kasus kedua, hasil
produksi yang dicapai petani j berada di bawah fungsi produksi frontier
.
2.4. Studi Efisensi pada Berbagai Usahatani Komoditas Pertanian Efisiensi merupakan salah satu studi terbaru yang mencoba untuk melihat manfaat diberbagai bidang dengan memadukan antar metode yang digunakan sebagai alat analisis (Bravo-Ureta, et al., 2007). Secara terperinci, studi tersebut
23
mencoba mengkaji beberapa hal, yakni : (1) analisis dengan metode parametrik (baik deterministik maupun stokastik) apakah menghasilkan nilai TE yang berbeda dengan metode non parametric (DEA); (2) Apakah bentuk fungsi memiliki pengaruh atau efek pada TE; (3) Dengan model data panel apakah menghasilkan nilai rata-rata (mean) TE yang sama dengan yang dihasilkan model frontier dengan data cross section; (4) Apakah nilai TE dari pendekatan primal berbeda dengan pendekatan dual; (5) Apakah model dengan ukuran contoh besar dan jumlah variabel (banyak atau sedikit) memiliki pengaruh pada nilai TE; (6) Apakah nilai TE bervariasi antar jenis komoditas yang dianalisis; (7) Apakah lokasi geografis (negara) menghasilkan rata-rata TE yang spesifik; dan (8) Apakah tingkat pendapatan (negara) mempengaruhi nilai estimasi TE. Untuk mendapatkan atas jawaban tersebut, Bravo-Ureta, et al., (2007) mengkaji studi empiris dengan dengan menggunakan metode non parametric, baik metode parametrik deterministik atau metode frontier parametric stokastik. Analisis menyimpulkan bahwa nilai estimasi yang dihasilkan oleh model frontier parametrik stokastik lebih tinggi dibandingkan model parametrik deterministik. Hasil kajian juga menunjukkan bahwa model frontier parametrik stokastik adalah metode yang banyak digunakan oleh para peneliti di bidang pertanian. Beberapa peneliti juga mengkaji efisiensi teknis beberapa komoditas pertanian di negara maju (Wilson, et al., 1998; Fogasari dan Latruffe, 2007; dan Lambarraa, et al., 2007). Battese (1992) memberikan ulasan komprehensif tentang aplikasi frontier produksi parametrik untuk usaha pertanian, khususnya padi. Ogundari dan Ojo (2006) melakukan studi efisiensi teknis, alokatif dan efisiensi ekonomi untuk ubikayu di Osun State, Nigeria. Sedangkan Qayyum dan Ahmad (2006) melakukan analisis efisiensi dan keberlanjutan kelembagaan keuangan mikro di Asia Selatan (Pakistan, India dan Banglades). Sementara itu, Wilson, et al., (1998) memberikan ulasan tentang aplikasi frontier produksi kentang di Inggris dengan menggunakan data sekunder dari Departemen Pertanian, Perikanan, dan
Pangan.
Bravo-Ureta
dan
Pinheiro
(1993)
menyampaikan
ulasan
komprehensif tentang aplikasi berbagai metode frontier untuk usaha pertanian negara berkembang. Bravo-Ureta dan Pinheiro (1993) dan Coelli (1995) menunjukkan bahwa frontier parametrik lebih populer dari frontier non parametrik. Fogasari dan Latruffe (2007) mengkaji efisiensi teknis dan teknologi pertanian di Eropa Timur (Hungaria) dan Eropa Barat (Perancis) dengan
24
membandingkan komoditas pangan dan susu dengan pendekatan Data Envelopment Analysis (DEA). Lambarraa, et al., (2007) menganalisis efisiensi usahatani jeruk di Spanyol dengan menggunakan pendekatan Total Factor Productivity dan Stochastic Frontier Model. Sementara itu, Bravo-Ureta, et al., (2007) melakukan analisis TE pertanian dengan analisis meta regression yang bersifat lintas negara (negara berkembang dan negara maju) dan lintas komoditas. Kajian efisiensi di Indonesia berkembang dengan aplikasi model frontier khsusnya usahatani padi. Beberapa studi oleh Tabor (1992), Erwidodo (1990), Erwidodo (1992a), Erwidodo (1992b) dan Trewin, et al., (1995), Daryanto (2000), Sumaryanto (2001) dan Sumaryanto, et al., (2003), serta Wahida (2005) menggunakan frontier stokastik untuk analisis efisiensi untuk usahatani padi, Sukiyono (2004) menganalisis efisiensi komoditas cabai, Fauziyah (2010) menggunakan model fungsi produksi frontier stokastik yang memfokuskan pada pengaruh perilaku petani dalam menghadapi risiko produksi terhadap alokasi input usahatani tembakau. Studi produksi frontier stokastik umumnya mengasumsikan produksi Cobb-Douglas (CD) atau Translog adalah model yang memadai dalam analisis data tingkat petani padi. TE usahatani padi sangat bervariasi dari 50 persen di India (Kalirajan, 1981), 76-85 persen untuk padi konvensional dan 87-94 persen untuk padi hibrida di Jiangsu China (Xu dan Jeffrey, 1998), 71,30 persen (Sumaryanto, et al., 2003) dan 76,00 persen (Wahida, 2005) di DAS Brantas, Jawa Timur, serta 91,86 persen untuk usahatani padi di lima daerah sentra produksi padi di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan (Kusnadi, et al., 2011) pada input dan teknologi yang digunakan. Sementara itu, untuk komoditas non padi, seperti komoditas kentang di Inggris 0,90 (Wilson, et al., 1998), cabai merah di Rejang Lebong Bengkulu nilai TE 0.65-0.99 (Sukiyono, 2005), tembakau di Pamekasan, Jawa Timur 0.89 (Fauziyah, 2010). Prosedur dua langkah telah banyak digunakan untuk eksplorasi faktorfaktor yang menerangkan inefisiensi (Bravo-Ureta, et al., 2007). Dengan memasukan variabel sosio-ekonomi secara langsung dalam model frontier produksi akan mempengaruhi terhadap efisiensi secara langsung. Lebih lanjut Bravo-Ureta, et al., (2007) melakukan studi tentang sumber TE pada usahatani dengan memperhatikan peran keputusan manajerial yang dipengaruhi oleh
25
variabel-variabel sosio-ekonomi. Keputusan manajerial menentukan kemampuan seorang petani sebagai manajer untuk memilih kombinasi input produksi dan pola output usahatani yang dipandang tepat, seperti penggunaan varietas dan jumlah benih, dosis dan jenis pupuk, waktu aplikasi pemupukan dan pestisida, teknik berproduksi, sistem tanam, serta teknik panen dan pasca panen. Variabel sosio-ekonomi bukan bagian dari proses produksi fisik, tetapi mempunyai efek terhadap variabel keputusan manajemen. Variabel sosioekonomi paling banyak digunakan untuk menerangkan variasi tingkat usahatani baik padi maupun non padi dalam hal TE, yaitu ukuran lahan usahatani, pendidikan, umur dan pengalaman petani, kontak petani dengan petugas penyuluhan,
pendapatan,
ketersediaan
dan
aksessibilitas
air
irigasi,
aksessibilitas terhadap kelembagaan koperasi, rotasi tanaman dan lain sebagainya. Peranan ukuran usahatani adalah bermacam-macam. Xu dan Jeffrey (1998) menemukan hubungan signifikan antara inefisiensi teknis dan ukuran usahatani. Kontak dengan pelayanan penyuluhan adalah penting dalam menerangkan inefisiensi teknis. Penyuluhan ternyata berhubungan negatif dengan inefisiensi teknis dalam studi yang dilakukan oleh Kalirajan (1981); Kalirajan dan Shand (1989). Aksessibilitas terhadap kelembagaan koperasi berhubungan negatif dengan inefisiensi teknis pada usahatani kentang di Inggris (Wilson, et al., 1998). Demikian juga akses terhadap kredit juga berhubungan negatif dengan inefisiensi teknis pada usahatani padi (Kalirajan dan Shand, 1989). Pendapatan non usahatani mempunyai hubungan yang negatif dengan inefisiensi teknis usahatani (Xu dan Jeffrey, 1998), demikian juga pendapatan perkapita (Sumaryanto et al., 2003) dan pendapatan dari usahatani padi (2005). Pendidikan umumnya memiliki dampak positif dan nyata terhadap TE dan berhubungan negatif dengan inefisiensi teknis pada berbagai usahatani. Beberapa variabel teknis yang sering dimasukkan sebagai variabel dummy yang diduga mempengaruhi inefisiensi teknis dan TE adalah jenis irigasi, musim tanam,
varietas
yang
digunakan,
penggunaan
mekanisasi
pertanian,
pengetahuan teknik budidaya, sistem tanam, dan rotasi tanaman. Sementara itu, beberapa variabel sosial ekonomi yang diduga mempengaruhi inefisiensi teknis dan TE adalah variabel umur petani, pendidikan petani, pengalaman bertani, jumlah anggota rumah tangga, kontak dengan penyuluh pertanian lapang, sistem penguasaan
lahan,
ukuran
luas
lahan
garapan,
keikutsertaan
dalam
26
keorganisasian (kelompok tani, gabungan kelompok tani, dan koperasi), aksessibilitas terhadap sumber-sumber kredit, aksessibilitas terhadap pasar input, aksessibilitas terhadap pasar output, pendapatan non usahatani. 2.5. Produksi Garam Rakyat Garam adalah suatu senyawa kimia sederhana yang terdiri dari atomatom yang membawa ion positif maupun ion negatif, dengan rumus kimia NaCl; untuk setiap gram garam hampir 40 persen terdiri dari natrium (Na) dan 60 persen lebih klor (Cl). Secara fisik, garam adalah benda padatan berwarna putih berbentuk kristal yang memiliki toksisitas rendah yang tidak dapat terbakar, Garam biasa ditambahkan pada makanan sebagai penguat rasa (garam meja). Garam digunakan sebagai bahan baku klor dan soda caustic untuk pembuatan polyvinyl chloride (PVC), plastik berbahan baku klor, kertas, di negara beriklim sub tropis, garam juga digunakan untuk menghilangkan lapisan es di jalan (USGS, 2007). Usaha industri garam rakyat di Indonesia turun temurun menggunakan teknologi kristalisasi air laut. Pengelolaan garam pada masa kolonial Belanda (1700-1870) disewakan kepada orang Cina oleh raja-raja di Madura. Penduduk di
sekitar
lahan
garam
hanya
berperan
sebagai
tenaga
kerja
rodi
(Rochwulaningsih, 2012). Nasionalisasi pengelolaan garam dilakukan pada periode kemerdekaan (1945-1961) dengan berubahnya jawatan Regie Tjandu dan garam dari badan usaha milik Pemerintah Belanda menjadi milik negara Republik Indonesia. Menurut Hernanto
dan Kwartatmono (2000) faktor produksi yang
menentukan dalam produksi garam diantaranya adalah : (1) Air laut, (2) Tanah/daratan, (3) Iklim (cuaca), (4) modal , (5) Teknologi dan (6) Tenaga kerja. Sedangkan Wirjodirjo (2003) mengembangkan model produksi garam dengan pendekatan dinamik dimana faktor yang mempengaruhi terhadap usaha garam yaitu : (1) lahan, (2) curah hujan, serta (3) net evaporasi sangat mempengaruhi terhadap produksi. Variable curah hujan yang ada di pesisir Madura sangat mempengaruhi terhadap produktifitas garam. Curah hujan yang berbeda-beda di wilayah pesisir sangat mempengaruhi tingkat produktifitas garam rakyat (Purbani, 2000).
Sedangkan
menurut
Rachman
(2011)
beberapa
faktor
yang
mempengaruhi produksi garam adalah : (1) lahan tambak garam. Lahan tambak merupakan penentu dari pengaruh faktor produksi produk garam rakyat. Secara
27
umum dikatakan,semakin luas lahan (yang digarap / ditanami), semakin besar jumlah produksi yang dihasilkan oleh lahan tersebut. (2) tenaga kerja dalam hal ini petani garam merupakan faktor penting dalam proses produksi garam. (3) modal untuk melakukan produksi terutama untuk persiapan pengelolaan lahan tambak untuk menjadi meja kristal (4) teknologi, dalam meningkatkan mutu garam, meliputi teknologi pengelolaan lahan, teknologi kristalisasi dan peralatan lain seperti kincir dan pompa. Teknologi pasca produksi meliputi teknologi pemurnian yaitu pencucian garam untuk membersihkan kotoran yang terkandung dalam garam berupa pasir dan lumpur serta untuk mengurangi kadar ion – ion seperti Ca, Mg, dan SO4. Serta Ion-ion dan senyawa tak larut lainnya.