9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hutan dalam Konteks Pengembangan Masyarakat 2.1.1 Pengertian Dasar tentang Hutan Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Sedangkan yang dimaksud dengan sumberdaya hutan adalah benda hayati, non hayati dan jasa yang terdapat di dalam hutan yang telah diketahui nilai pasar, kegunaan dan teknologi pemanfaatannya (Pasal 1, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, tentang Kehutanan). Hutan secara singkat dan sederhana didefinisikan sebagai suatu ekosistem yang didominasi oleh pohon. Dalam buku The Dictionary of foretry yang diedit oleh John A. Helms (998:70) dalam Didik (2000), forest (hutan) diberi pengertian sebagai berikut : “ An ecosystem characterized by a more or less dense and extensive tree cover, often consisting of stands varying in characteristics such as species composition, structure, age class, and associated processes, and commonly including meadows, steams, fish, and wildlife ( suatu ekosistem yang dicirikan oleh penutupan pohon yang kurang lebih padat dan tersebar, seringkalai terdiri dari tegakkan-tegakkan yang beragam ciri-cirinya seperti komposisi jenis, struktur, klas umur, dan proses-proses yang terkait, dan umumnya mencakup padang rumput, sungai-sungai kecil, ikan, dan satwa liar ) “ Definisi tersebut menekankan komponen pohon yang dominan terhadap komponen lainnya dari ekosistem itu, dan mensyaratkan adanya (akibat dari pohon-pohon itu) kondisi iklim dan ekologi yang berbeda dengan kondisi luarnya. Penekanan hutan sebagai suatu ekosistem mengandung maksud bahwa di dalam hutan terjadi hubungan saling tergantung satu komponen dengan komponen lainnya yang terjalin sebagai suatu sistem. Satu komponen dari sistem itu rusak (atau tidak berfungsi) menyebabkan komponen lain terganggu, dan akibatnya sistem itu tidak dapat berjalan normal. Hutan itu sendiri sebagi bagian atau komponen dari ekosistem yang lebih besar, sehingga apabila hutan rusak akan mengganggu sistem yang lebih besar itu.
10 Simon (1993) menyatakan bahwa hutan dapat didefinisikan sebagai asosiasi masyarakat tumbuh-tumbuhan dan binatang yang didominasi oleh pohon-pohon atau vegetasi berkayu, yang mempunyai luasan tertentu sehingga dapat membentuk suatu iklim mikro dan kondisi ekologi spesifik. Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Dalam kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, hutan telah memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia, oleh karena itu harus dijaga kelestariannya. Hutan mempunyai peranan sebagai penyerasi dan penyeimbang lingkungan global, sehingga keterkaitannya dengan dunia internasional menjadi sangat penting, dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional. Sejalan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional yang mewajibkan agar bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat, maka penyelenggaraan kehutanan senantiasa mengandung jiwa dan semangat kerakyatan, berkeadilan dan berkelanjutan. Oleh karena itu penyelengaraan kehutanan harus dilakukan dengan asas manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan dengan dilandasi akhlak mulia dan bertanggung-gugat. Untuk menjaga terpenuhinya keseimbangan manfaat lingkungan, manfaat sosial budaya dan ekonomi, pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dalam daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Sumber daya hutan mempunyai peran penting dalam penyediaan bahan baku industri, sumber pendapatan, menciptakan lapangan dan kesempatan kerja. Hasil hutan merupakan komoditi yang dapat diubah menjadi hasil olahan dalam upaya mendapat nilai tambah serta membuka peluang kesempatan kerja dan kesempatan berusaha.
11 Dilihat dari sisi fungsi produksinya, keberpihakan kepada rakyat banyak merupakan kunci keberhasilan pengelolaan hutan. Oleh karena itu praktik-praktik pengelolaan
hutan
yang
hanya
berorientasi
pada
kayu
dan
kurang
memperhatikan hak dan melibatkan masyarakat, perlu diubah menjadi pengelolaan yang berorientasi pada seluruh potensi sumber daya kehutanan dan berbasis pada pemberdayaan masyarakat. Sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang Pemerintahan Daerah, maka pelaksanaan sebagian pengurusan hutan yang bersifat operasional diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/ kota, sedangkan pengurusan hutan yang bersifat nasional atau makro, wewenang pengaturannya dilaksanakan oleh pemerintah pusat. 2.1.2 Permasalahan Mengenai Kehutanan Keselamatan hutan dan kawasannya di pulau Jawa sesungguhnya merupakan perkara penting dalam kehidupan kita, namun tidak banyak pihak yang benar-benar memahami persoalan sederhana yang tampak rumit ini. Permasalahan yang dominan dalam agenda kegiatan penyelamatan kawasan hutan adalah tindakan penebangan pohon secara berlebihan (illegal loging) sebagai dampak antusiasme pengambilan kayu yang merupakan salah satu nilai langsung manfaat hutan aspek ekonomi. Padahal, hutan dan kawasan hutan memiliki manfaat yang jauh lebih besar daripada nilai ekonomi yang secara langsung mudah diperoleh dari pemanfaatan kayu-kayunya belaka. Keberadaan hutan dan kawasannya yang lestari merupakan
jaminan
bagi
keseimbangan
ekosistem,
penyeimbangan
kelangsungan proses hidro-orologis (perimbangan tata air) sebagai faktor utama penunjang siklus klimatologis, keadaan perubahan musim dan cuaca yang ramah dan dapat diperkirakan, yang merupakan pokok kelangsungan peradaban manusia. Pemerintah R.I. telah menetapkan batasan toleransi yang dianggap dapat menjamin kelayakan proses klimatologis, yakni dengan ukuran minimal terdapat 30 persen hamparan lahan yang berfungsi sebagai hutan dalam setiap luas administrasi kewilayahan. Perum Perhutani sebagai sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberi hak monopoli pengusahaan kawasan hutan di pula Jawa dan Madura, yakni seluas 22 persen pula Jawa dan Madura, yakni seluas 3.025.935,03 hektar (Adam dan Imam, 2007).
12 Adapun problem akut yang senantiasa menjadi momok dalam kegiatan pengusahaan maupun pengelolaan hutan di pulau Jawa dan pada umumnya, adalah kegiatan penebangan tanpa tanggung jawab (illegal logging) berupa pencurian pohon secara sporadis dalam skala kecil, dan aksi penjarahan hutan dalam skala besar yang serempak. Rentetan akibat dari beragam tindakan yang merugikan kawasan hutan teresebut adalah potensi sumber daya hutan terus berkurang secara drastis. Dalam kurun waktu lima tahun (1998-2003) yang semarak dengan aksi massal penjarahan hutan, terjadi laju penurunan rata-rata 8,4 persen sehingga pengurangan potensi produksi kayu mencapai 13 juta kubik per tahun. Periode di mana kental diwarnai tindakan penjarahan hutan tersebut juga menimbulkan akibat rendahnya produksi kayu dibawah rata-rata 100 meter kubik per hektar. Aksi penjarahan pohon dan kawasan hutan pun menyebabkan terjadinya ke-tidak normal-an komposisi penyebaran kelas perusahaan tanaman hutan maupun kelas umur pohonnya, sehingga secara umum didominasi kelas umur muda. Tindakan pencurian pohon dalam skala masif pada aksi penjarahan hutan juga tidak memilih antara pohon layak tebang ataupun pohon yang seharusnya masih dibiarkan tetap tumbuh, sehingga selalu mengancam keberhasilan tanaman hutan terutama dalam umur lima tahun ke atas. Akibatnya, lahan kosong di kawasan hutan negara yang dikelola Perum Perhutani secara signifikan dari tahun ke tahun tidak banyak berkurang meski secara rutin dilakukan kegiatan penanaman kembali (reboisai hutan). Sampai dengan awal tahun 2004, jumlah lahan kosong masih relatif luas, mencapai 346.000 hektar di seantero kawasan Perum Perhutani. Kabupaten Pemalang memiliki luas wilayah kurang lebih 111.530,553 Ha, dimana hampir separuh wilayahnya merupakan kawasan hutan yakni seluas 34.561,30 Ha atau 29,8 persen dari wilayah daratan. Kawasan hutan seluas 34.561,30 Ha tersebut terbagi atas hutan negara 31.912,70 Ha, hutan lindung 843,60 Ha dan hutan rakyat 805 Ha. Pengelolaan hutan negara sampai saat ini masih ditangani oleh Perum Perhutani atas KPH Pemalang seluas 24.368,20 Ha, KPH Pekalongan Barat seluas 3.293,40 Ha dan KPH Pekalongan Timur seluas 4.251,10 Ha.
13 Persoalan serius menyangkut kawasan hutan yang ada di Kabupaten Pemalang khususnya hutan pangkuan Desa Glandang adalah semakin meluasnya kerusakan hutan yang diprediksikan mencapai 458 Ha dari luas hutang yang ada, antara lain berupa kawasan hutan yang rusak akibat penjarahan sehingga menyebabkan meningkatnya jumlah tanah kosong dan lahan-lahan tidak produktif. Rangkaian
permasalahan
tersebut
tentu
saja
berdampak
kepada
rendahnya kapasitas kawasan hutan jawa dalam fungsinya selaku penjamin proses ekosistem yang stabil, karena dari 22 persen lahan pulau Jawa yang dikelola Perum Perhutan saja belum dapat sepenuhnya layak berfungsi hutan. Sebagai catatan, tindakan pencurian pohon yang lazim diperbuat penduduk seputar hutan meskipun terjadi secara sporadis di hampir kawasan hutan negara Perum Perhutani, tidak seberbahaya dampaknya dibandingkan akibat aksi penjarahan hutan. Tindakan penjarahan hutan yang dilakukan dalam skala masif dan serempak di sejumlah wilayah kantong utama kawasan hutan produksi selalu terjadi setiap kali kondisi politik pemerintahan negara sedang labil. Munculnya era reformasi yang mengakibatkan krisis kepercayaan kepada pemerintah, berimbas pekercayaan masyarakat kepada Perum Perhutani juga berkurang. Perum Perhutani dinilai tidak mampu mengelola hutan, Perum Perhutani dinilai tidak mampu menyejahterkan rakyat, khususnya masyarakat sekitar hutan. Ditambah krisis ekonomi, masyarakat sekitar hutan merasa berhak untuk memanfaatkan hutan yang ada di sekitarnya. Adanya penilaian yang salah dan terdesaknya krisis ekonomi, membuat masyarakat hutan melalukan illegal logging. Apabila stabilitas politik dan keamanan sedang terguncang dan tidak menentu. Belum lagi munculnya anarki intelektual yang juga ikut memperparah keadaan. Masuknya budaya ekonomi komersial ke masyarakat sekitar hutan juga ikut andil dalam hal ini. Dan parahnya lagi, pemahaman terhadap nilai-nilai relegiusitas kian menipis. Dus faktor-faktor ini membuat masyarakat melakukan tindakan penjarahan hutan bahkan cenderung anarkis. Dalam kondisi semacam inilah, konsep Pengelolan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dirasa sangat penting untuk direalisasikan. Sebagai sebuah paradigma baru, PHBM merupakan alternatif solutif yang diharapkan mampu memecahkan berbagai persoalan yang menimpa hutan di Jawa dan Madura. Dalam konteks ini Perum Perhutani harus proporsional “membagi” kekuasaan dalam akses dan kontrol sumberdaya hutan.
14 2.2 Pengembangan Masyarakat Pengembangan masyarakat adalah suatu aktivitas pembangunan yang berorientasi pada kerakyatan dengan syarat menyentuh aspek-aspek keadilan, keseimbangan
sumberdaya
alam,
partisipasi
masyarakat,
dan
jika
memungkinkan berdasarkan prakarsa komunitas (Korten, 1990). Selanjutnya Dharmawan
(2006)
mengungkapkan
bahwa
pengembangan
masyarakat
merupakan suatu perubahan yang terencana dan relevan dengan persoalanpersoalan lokal yang dihadapi oleh para anggota komunitas yang dilaksanakan secara khas dengan cara-cara yang sesuai dengan kapasitas, norma, nilai, persepsi dan keyakinan anggota komunitas setempat, dimana prinsip-prinsip resident participation dijunjung tinggi. Prinsip-prinsip pengembangan masyarakat meliputi pembangunan terpadu, melawan ketidakberdayaan struktural, Hak Azasi Manusia (HAM), keberlanjutan, pemberdayaan, kaitan masalah pribadi dan politis, kepemilikan oleh komunitas, kemandirian, ketidaktergantungan pada pemerintah, keterkaitan, tujuan jangka pendek dan visi jangka panjang, pembangunan yang bersifat organik, kecepatan pembangunan, keahlian dari luar, pembangunan komunitas, kaitan proses dan hasil, intergritas proses, tanpa kekerasan, keinklusifan, konsensus, kerjasama, partisipasi, dan perumusan tujuan (Gunardi et al, 2006). Lima
karateristik
dari
pengembangan
masyarakat
(community
development), yaitu : 1. Berdasarkan pada kondisi dimana pemerintah menjadi terbuka kepada upaya keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, tingkat keterlibatan masyarakat yang menggambarkan tingkat keterbukaan, secara efektif diatur oleh pemerintah. 2. Aktivitas pengembangan masyarakat dibangun terutama sekitar masalahmasalah sosial, dimana orang dalam masyarakat berhubungan secara mudah. Di lain pihak, melalui manajemen masyarakat, terpadu suatu komponen ekonomi dan atau teknik yang kuat. Mesipun demikian, proyek manajemen masyarakat tetap melaksanakan usaha-usaha yang dapat diidentifikasi secara jelas dalam suatu dasar homogenitas yang terbuka. 3. Bercirikan masyarakat lokal yang memiliki keutamaan atau kekuasaan, dapat diidetifikasi secara jelas dan mengandung muatan diri.
15 4. Proses pengembangan masyarakat diarahkan kepada kepuasan terhadap kebutuhan masyarakat. 5. Berpusat pada kegiatan pelatihan yang netral secara politik dan terpisah dari berbagai pertikaian atau debat politik. (Hikmat, 2001) Kegiatan pengembangan masyarakat ini harus mendasarkan pada perspektif ekologi dengan prinsip holistik (menyeluruh dari segala aspek lingkungan), sustainabillity (kelestarian kegiatan), diversity (keanekaragaman), dan equilibrium (keseimbangan). Konsekuensi dari perspektif ekologikal ini melukiskan bahwa prinsip holistik akan mengarahkan pada pemikiran untuk memusatkan pada filosofi lingkungan, menghormati hidup dan alam, menolak solusi yang linier, dan perubahan yang terus menerus. Prinsip sustainability akan membawa pada konsekuensi untuk memperhatikan konservasi, mengurangi konsumsi,
tidak
mementingkan
pertumbuhan
ekonomi,
pengendalian
perkembangan teknologi dan anti kapitalis. Prinsip diversity membawa konsekuensi pada penilaian terhadap perbedaan, jawaban atau alternatif yang tidak tunggal, desentralisasi, jaringan kerja dan komunikasi lateral serta penggunaan teknologi tepat guna. Sementara prinsip equilibrium akan membawa pada perspektif isu-isu global atau lokal, energi yin dan yang, gender, hak dan pertanggungjawaban, kedamaian dan kooperatif (Ife, 1995 dalam Hikmat, 2001). Selain prinsip ekologikal, kegiatan pengembangan masyarakat juga harus mendasarkan pada social justice atau keadilan sosial. Keadilan sosial ini mencakup kegiatan-kegiatan yang memperhatikan kelemahan secara struktural (structural disadventage), pemberdayaan (empowerment), kebutuhan (needs), hak azasi (human right), kedamaian dan anti tindak kekerasan (peace and non violence), partisipasi dalam kehidupan demokrasi (participatory democracy). Pembangunan masyarakat berbasis lokal merupakan tindakan kolektif, yang merupakan inti dari gerakan sosial, yang melibatkan sekelompok orang yang dicirikan oleh adanya kerjasama, tujuan yang tegas, serta kesadaran dan kesengajaan. Portes (1998) mengatakan sumber modal sosial dapat bersifat : 1) Consummatory, yaitu nilai-nilai sosial budaya dasar dan solidaritas sosial, dan 2) instrumental, yaitu pertukaran yang saling menguntungkan dan rasa saling percaya. Sifat sosial dari modal sosial adalah adanya saling menguntungkan paling sedikit antara dua orang, menunjuk pada hubungan sosial, serta berhubungan dengan kepercayaan, jejaring sosial, hak dan kewajiban.
16 Pada dasarnya sasaran pembangunan masyarakat adalah pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat mengandung arti mengembangkan kondisi dan situasi sedemikian rupa sehingga masyarakat memiliki daya dan kesempatan untuk mengembangkan kehidupannya. Masyarakat berdaya memiliki ciri-ciri : 1) mampu memahami diri dan potensinya, 2) mampu merencanakan (mengantisipasi kondisi perubahan ke depan), dan mengarahkan dirinya sendiri, 3) memiliki kekuatan berunding, bekerjasama secara saling menguntungkan dengan bargaining power yang memadai, 4) bertanggung jawab atas tindakannya sendiri. Di era globalisasi sekarang ini, ciri-ciri masyarakat berdaya dapat dilihat dengan dimilikinya etos kerja yang tinggi, kreatif, peka dan tanggap, inovatif, relegius, fleksibel, dan jatidiri dengan swakendali (Santoso, 1993, dalam Sumardjo dan Saharuddin, 2006). Paradigma baru pembangunan dewasa ini lebih memberikan ruang yang memadai bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Menurut Holsteiner (1980) dalam Sumardjo dan Saharudin (2006) partisipasi masyarakat diperlukan karena partisipasi berarti : 1. Mensukseskan program secara lebih terjamin dan lebih cepat. 2. Mendekatkan pengertian pihak perencana/ pengelola dengan kebutuhan golongan sasaran. 3. Media untuk memupuk keterampilan masyarakat, kekeluargaan, dan kepercayaan diri. 4. Mencapai partisispasi positif sebagai ciri khas masyarakat modern Salah satu strategi untuk membangkitkan partisipasi aktif individu anggota masyarakat adalah melalui pendekatan kelompok. Pembangunan yang ditujukan kepada pengembangan masyarakat, akan mudah dipahami apabila melibatkan agen-agen lokal melalui suatu wadah yang dinamakan kelompok. Menurut Sumarti et al, 2006, dikarenakan dalam melakukan beragam aktivitas pencaharian nafkah, setiap orang cenderung berkelompok. Berdasarkan pandangan interaksi pembentukan kelompok, setiap orang menyadari adanya ketidak mampuan memenuhi tujuan yang diinginkan. Dengan ikatan-ikatan yang berhasil dibentuk, kebutuhan-kebutuhan individu akan dapat dipenuhi.
17 Kegiatan pengembangan masyarakat memandang bahwa keberadaan kelompok pada masyarakat sangat diperlukan untuk melakukan perubahan kepribadian dan memperkuat pencapaian tujuan. Penggunaan kelompok dimungkinkan terjadi, karena individu-individu anggota masyarakat yang terlibat akan menyesuaikan diri dengan salah satu perilaku kolektif. Jika masyarakat telah dapat menyesuaikan diri dengan salah satu perilaku kolektif, maka besar peluang partisipasi aktif dari masyarakat akan terbentuk. 2.3 Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat yang belum berkembang sebagai pihak yang harus diberdayakan, dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan (Sumodiningrat, 1997). Adimihardja dan Hikmat (2001) mengemukakan bahwa pemberdayaan merupakan pelimpahan proses pengambilan keputusan dan tanggung jawab secara penuh. Pemberdayaan bukan berarti melepaskan pengendalian, tapi menyerahkan pengendalian. Dengan demikian pemberdayaan bukanlah masalah hilangnya pengendalian atau hilangnya hal-hal lain. Yang paling penting, pemberdayaan memungkinkan pemanfaatan kecakapan dan pengetahuan masyarakat seoptimal mungkin untuk kepentingan masyarakat itu sendiri. Menurut Priyono dan Pranarka (1996) proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan dengan kecenderungan primer
menekan
pada
proses
memberikan
kekuasaan,
kekuatan
atau
kemampuan kepada masyarakat agar individu yang bersangkutan menjadi lebih berdaya. Proses ini dapat dilengkapi dengan upaya membangun aset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi. Kedua, proses pemberdayaan dengan kecenderungan sekunder menekankan pada proses menstimulasi, mendorong, atau memotivasi agar individu mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Seringkali
kecenderungan
primer
terwujud
melalui
kecenderungan
sekunder terlebih dahulu. Selanjutnya disebutkan bahwa proses pemecahan masalah berbasiskan pemberdayaan masyarakat yang berdasarkan prinsip berbeda bersama masyarakat menyadari bahwa masyarakat mempunyai hakhak yang harus dihargai, sehingga masyarakat lebih mampu mengenali
18 kebutuhannya dan dilatih untuk dapat merumuskan rencana serta melaksanakan pembangunan
secara
mandiri
dan
swadaya.
Dalam
hal
ini,
praktisi
pembangunan berperan dalam memfasilitasi proses dialog, diskusi, curah pendapat, dan mensosialisasikan temuan masyarakat. Menurut Moebyarto (1985), pemberdayaan masyarakat mengacu kepada kemampuan masyarakat untuk mendapatkan dan memanfaatkan akses dan kontrol atas sumber hidup yang penting. Proses pemberdayaan merupakan wujud perubahan sosial yang menyangkut relasi antara lapisan sosial sehingga kemampuan individu “senasib” untuk saling berkumpul dalam suatu kelompok cenderung dinilai sebagai bentuk pemberdayaan yang paling efektif. Bagaimana
memberdayakan
masyarakat
merupakan
satu
masalah
tersendiri yang berkaitan dengan hakikat power (daya). Pada dasarnya daya atau power tersebut dimiliki oleh setiap individu dan kelompok, akan tetapi kadar dari power tersebut berbeda satu dengan yang lainnya. Kondisi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling terkait antara lain seperti pengetahuan, kemampuan, status, harta, kedudukan dan jenis kelamin. Faktor-faktor yang saling terkait tersebut pada akhirnya membuat hubungan antar individu dengan dikotomi subyek (penguasa) dan obyek (yang dikuasai). Bentuk relasi sosial yang dicirikan dengan dikotomi subyek dan obyek tersebut merupakan relasi yang ingin “diperbaiki” melalui proses pemberdayaan. Pemberdayaan merupakan proses pematahan pola relasi antara subyek dengan obyek. Proses ini mementingkan adanya pengakuan subyek akan kemampuan yang dimiliki obyek atau dengan kata lain bahwa obyek dapat meningkatkan kualitas hidupnya dengan menggunakan daya yang ada padanya serta dibantu juga dengan daya yang dimiliki oleh subyek. Dalam pengertian yang lebih luas, mengalirnya daya ini merupakan upaya atau cita-cita untuk mewujudkan masyarakat miskin ke dalam aspek kehidupan yang lebih luas. Hasil akhir dari proses pemberdayaan adalah “beralihnya fungsi individu atau kelompok yang semula sebagai obyek menjadi subyek (yang baru)”, sehingga relai sosial yang ada nantinya hanya akan didirikan dengan relasi antara subyek dengan subyek yang lain. Dengan kata lain, proses pemberdayaan berarti mengubah pola relasi lama subyek-obyek menjadi subyek-subyek (Prijono dan Pranarka, 1996). Proses mengalirnya daya atau kuasa (power sharing) merupakan faktor penting dalam mewujudkan pemberdayaan, tetapi sulit didalam pelaksanaannya.
19 Apabila yang satu mempunyai daya dan yang lain tidak punya, maka ini berimplikasi kepada hilangnya daya pada salah satu pihak. Dalam hubungan daya seperti ini maka faktor yang berperilaku rasional dianggap tidak mungkin bekerjasama karena hanya akan merugikan diri sendiri. Maka dalam pengaliran daya tersebut bersifat zero-sum (tidak menguntungkan kepada kedua belah pihak). Apabila yang berlaku daya suatu unit sosial secara keseluruhan meningkat, maka semua anggotannya dapat menikmati keuntungan secara bersama-sama, artinya pemberian daya kepada pihak lain dapat meningkatkan daya sendiri atau dengan kata lain bersifat positive-sum. Dalam kasus ini, pemberian daya kepada lapisan miskin secara tidak langsung juga akan meningkatkan daya si pemberi, yaitu si “penguasa”. Pemberdayaan masyarakat selain merupakan proses pengaliran daya antara pihak penguasa kepada yang dikuasai juga meliputi penguatan pada pranata-pranatanya. Dalam rangka pembangunan nasional upaya pembangunan masyarakat dapat dilihat dari beberapa sudut pandang. Pertama, penciptaan suasana atau iklim yang memungkinkan masyarakat berkembang. Kedua, peningkatan kemampuan masyarakat dalam membangun melalui berbagai bantuan dana, pelatihan, pembangunan prasarana dan sarana baik fisik maupun sosial, serta pengembangan kelembagaan di daerah. Ketiga, perlindungan struktur sosial masyarakat dalam sistem sosial menjadi faktor terpenting dalam melaksanakan pemberdayaan masyarakat, termasuk di dalamnya sistem ekonomi dan politik (Teguh, 2004). Di dalam kerangka pemberdayaan dan kemandirian masyarakat, maka haruslah terjadi pergeseran fungsi birokrasi sebagai fasilitator. Selayaknya birokrasi harus kembali ke hakikat fungsi yang sebenarnya ialah sebagai public servant (pelayan masyarakat), maupun pemberdayaan (empowering). Rakyat memegang hak dan wewenang yang tinggi untuk menentukan kebutuhan pembangunan, ikut terlibat secara aktif dalam pembangunan dan mengontrolnya serta memperoleh fasilitas dari pemerintah (Santoso, 2002). Pendekatan pemberdayaan masyarakat setidaknya akan berfokus pada cara bagaimana memobilisasi sumber-sumber lokal, menggunakan keragaman kelompok sosial dalam mengambil keputusan, dan sebagainya. Dalam prosesnya masyarakat lokal haruslah menjadi elemen utama dalam program pengembangan masyarakat. Di sini sesungguhnya partisipasi mengambil peran sebagai suatu proses pemberdayaan yang dapat membantu untuk menampilkan
20 dan menjelaskan suara-suara dari masyarakat yang selama ini tidak terdengar (Prasetijo, 2003). Teguh (2004) mengemukakan bahwa proses belajar dalam rangka pemberdayaan masyarakat akan berlangsung secara bertahap. Tahap-tahap yang harus dilalui tersebut adalah meliputi : 1. Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri. 2. Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan keterampilan agar terbuka wawasan dan memberikan keterampilan dasar sehingga dapat menggali peran di dalam pembangunan. 3. Tahap peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan-ketrampilan sehingga terbentuklah inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan pada kemandirian. Tahap pertama atau tahap penyadaran dan pembentukan perilaku merupakan tahap persiapan dalam proses pemberdayaan masyarakat. Pada tahap ini pihak pemberdaya/ aktor/ pelaku pemberdayaan berusaha menciptakan prakondisi, supaya dapat memfasilitasi berlangsungnya proses pemberdayaan yang efektif. Apa yang diintervensi dalam masyarakat sesungguhnya lebih pada kemampuan afektif-nya untuk mencapai kesadaran konatif yang diharapkan. Sentuhan
penyadaran
akan
lebih
membuka
keinginan
dan
kesadaran
masyarakat tentang kondisinya saat itu, dan dengan demikian akan dapat merangsang kesadaran mereka tentang perlunya memperbaiki kondisi untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Sentuhan akan rasa ini akan membawa kesadaran masyarakat bertumbuh, kemudian merangsang semangat kebangkitan mereka untuk meningkatkan kemampuan diri dan lingkungan. Dengan adanya semangat tersebut diharapkan dapat mengantarkan masyarakat untuk sampai pada kesadaran dan kemauan untuk belajar. Dengan demikian masyarakat semakin tebuka dan merasa membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan untuk memperbaiki kondisi. Pada tahap kedua yaitu proses transformasi pengetahuan dan kecakapanketrampilan dapat berlangsung baik, penuh semangat dan berjalan efektif, jika tahap pertama telah terkondisi. Masyarakat akan menjalani proses belajar tentang pengetahuan dan kecakapan-ketrampilan yang memlki relevansi dengan apa yang menjadi tuntutan kebutuhan tersebut. Keadaan ini akan menstimulasi
21 terjadinya keterbukaan wawasan dan menguasai kecakapan-ketrampilan dasar yang mereka butuhkan. Pada tahap ini masyarakat hanya dapat memberikan peran partisipasi pada tingkat yang rendah, yaitu sekedar menjadi pengikut atau obyek pembangunan saja, belum mampu menjadi subyek dalam pembangunan. Tahap ketiga adalah merupakan tahap pengayaan atau peningkatan intelektualitas dan kecakapan-ketrampilan yang diperlukan, supaya mereka dapat membentuk kemampuan kemandirian. Kemandirian tersebut akan dilandasi oleh kemampuan masyarakat di dalam membetuk inisiatif, melahirkan kreasi-kreasi, dan melakukan inovasi-inovasi di dalam lingkungannya. Apabila masyarakat telah mencapai tahap ketiga ini maka masyarakat dapat secara mandiri melakukan pembangunan. Dalam konsep pembangunan masyarakat pada kondisi seperti ini seringkali didudukkan sebagai subyek pembangunan atau pemeran utama. Pemerintah tinggal sebagai fasilitator saja. Sejalan dengan pendapat Sumodiningrat maka masyarakat yang sudah mandiri tidak dapat dibiarkan begitu saja. Masyarakat tersebut tetap memerlukan perlindungan, supaya dengan kemandirian yang dimiliki dapat melakukan dan mengambil tindakan nyata dalam pembangunan. Disamping itu kemandirian mereka perlu dilindungi supaya dapat terpupuk dan terpelihara dengan baik, dan selanjutnya dapat mebentuk kedewasaan sikap masyarakat. 2.4 Kelembagaan 2.4.1 Kelembagaan Masyarakat Kelembagaan sosial disebut juga pranata sosial. Menurut Koentjaraningrat (1984) pranata sosial adalah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat
kepada
aktivitas-aktivitas
yang
memenuhi
kompleks-kompleks
kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena lembaga kemasyarakatan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia, maka lembaga kemasyarakatan dapat digolongkan berdasarkan jenis kebutuhan tersebut. Koentjaraningrat (1990) mengkategorikannya ke dalam delapan golongan, yaitu kelembagaan kekerabatan, kelembagaan ekonomi, kelembagaan pendidikan,
kelembagaan
ilmiah,
kelembagaan
estetika
dan
rekreasi,
kelembagaan keagamaan, kelembagaan politik dan kelembagaan somatik. Proses pelembagaan dimulai dari warga komunikasi mengenal, mengakui, menghargai, mentaati dan menerima norma-norma dalam kehidupan sehari-hari.
22 Pemberdayaan masyarakat selain
meliputi penguatan individu anggota
masyarakat itu sendiri, juga meliputi penguatan pranata. Pranata atau kelembagaan yang dimaksud baik berupa kelembagaan yang bersifat “badan” atau organisasi, maupun berupa kelembagaan
sosial. Kelembagaan di sini
merupakan bentuk nyata dari pemanfaatan modal sosial serta kemandirian yang dimiliki oleh masyarakat. Modal sosial memiliki empat dimensi. Pertama
adalah integrasi
(integration), yaitu ikatan yang kuat antara anggota keluarga, dan keluarga dengan tetangga sekitarnya, contohnya adalah ikatan-ikatan berdasarkan kekerabatan, etnik dan agama. Kedua adalah pertalian (linkage), yaitu ikatan dengan komunitas lain di luar komunitas asal, contohnya adalah jejaring (network) dan asosiasi-asosiasi bersifat kewargaan (civic associations) yang menembus perbedaan kekerabatan, etnik dan agama. Ketiga adalah integritas organisasional (organizational integrity), yaitu keefektifan dan kemampuan institusi negara untuk menjalankan fungsinya, termasuk menciptakan kepastian hukum dan menegakkan peraturan. Keempat adalah sinergi (sinergy), yaitu relasi antara pemimpin dan institusi pemerintahan dengan komunitas (statecommunity relations). Fokus perhatian dalam sinergi ini adalah apakah pemerintah memberikan ruang yang luas atau tidak bagi partisipasi warganya. Dimensi pertama dan kedua berada pada tingkat horisontal, sedangkan dimensi ketiga dan keempat, ditambah dengan pasar (market) berada pada tingkat vertikal (Tonny, 2006). Salah satu hal yang mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan adalah tersedianya wadah sebagai sarana untuk berpartisipasi. Kemauan untuk berpartisipasi seperti menyumbangkan pemikiran, tenaga dan dana tak dapat direalisasikan jika tidak tersedia wadahnya. Kelembagaan merupakan wadah bagi masyarakat untuk berpartisipasi, masyarakat akan berpartisipasi manakala organisasi tersebut sudah dikenal dan dapat memberikan manfaat langsung pada masyarakat yang berangkutan, serta pemimpin yang dikenali dan diterima oleh kelompok sosial dalam. Istilah
kelembagaan
(institution)
dan
pengembangan
kelembagaan
(institutional development) atau pembinaan kelembagaan (institutional building), mempunyai arti yang berbeda untuk orang yang berbeda pula.
23 Disini pengembangan kelembagaan didefinisikan sebagai proses untuk memperbaiki
kemampuan
lembaga
guna
mengefektifkan
penggunaan
sumberdaya manusia dengan keuangan yang tersedia (Israel,1992). Pranata sosial adalah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat
kepada
aktifitas-aktifitas
yang
memenuhi
kompleks-kompleks
kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena lembaga kemasyarakatan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia, maka lembaga kemasyarakatan dapat digolongkan berdasarkan jenis kebutuhan tersebut (Koentjaraningrat, 1984) 2.4.2 Penguatan Kapasitas Kelembagaan Penguatan kapasitas merupakan suatu pendekatan pembangunan dimana semua orang (pihak) memiliki hak yang sama
terhadap sumberdaya, dan
menjadi perencana pembangunan bagi diri mereka. Menurut Eade dalam Tony (2006), pengembangan kapasitas terfokus pada lima isu pokok sebagai berikut : 1. Penguatan kapasitas sering digunakan secara sederhana untuk menjadikan suatu lembaga lebih efektif mengimplementasikan proyek pembangunan. Kelembagaan merupakan instrumen untuk mencapai tujuan tertentu. 2. Penguatan kapasitas dapat juga menunjuk pada upaya yang mendukung organisasi untuk menjadi katalis dialog dan atau memberikan kontribusi dalam mencapai alternatif pembangunan. Pandangan ini menekankan peran mendemokratisasikan
organisasi
pemerintah dan
organisasi
berbasis
masyarakat dalam masyarakat madani. 3. Jika penguatan kapasitas adalah suatu cara untuk mencapai tujuan, kemudian tujuan yang dimaksudkan oleh lembaga-lembaga yang ikut serta, maka harus dinyatakan secara eksplisit agar dapat membandingkan berbagai pilhan atau mengevaluasi kemajuannya. Fokusnya adalah mengembangkan hubungan antara struktur, proses dan kegiatan organisasi yang menerima dukungan dan kualitas dan jumlah dari hasilnya dan efeknya. Kriteria efektivitas terkonsentrasi pada dampaknya di tingkat lokal. 4. Jika penguatan kapasitas merupakan tujuan akhir (misalnya memperkuat kualitas suatu pengambilan keputusan), maka pilihan tersebut membutuhkan tujuan
yang
jelas
dan
analisis
kontekstual
terhadap
unsur-unsur
kelembagaan. Fokusnya adalah misi organisasi yang berimbang, dan keterkaitan dengan lingkungan eksternal, struktur dan dan aktivitasnya.
24 Kriteria efektivitasnya akan berhubungan dengan faktor luar dimana misi itu dirasakan tepat, masuk akal dan terpenuhi. 5. Jika penguatan kapasitas adalah suatu proses penyesuaian untuk merubah dan proses penegasan terhadap sumberdaya untuk mengatasi tantangan maupun keinginan untuk aksi keberlanjutan. Fokusnya adalah membantu mitra kerja untuk menjadi lebih mandiri dalam hubungan jangka panjang. Menurut Sumpeno (2002), penguatan kapasitas adalah suatu proses peningkatan atau perubahan perilaku individu, organisasi dan sistem masyarakat dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara efektif dan efeisien. Penguatan kapasitas adalah perubahan perilaku untuk : 1) meningkatkan kemampuan
individu
dalam
pengetahuan,
ketrampilan
dan
sikap;
2) meningkatkan kemampuan kelembagaan dalam organisasi dan manajemen, finansial
dan
kultur;
3)
meningkatkan
kemampuan
masyarakat
dalam
kemandirian, keswadayaan dan mengantisipasi perubahan. Menurut Sumpeno (2002), hasil yang diharapkan dengan adanya penguatan kapasitas adalah : 1) penguatan individu, organisasi dan masyarakat; 2) terbentuknya model pengembangan kapasitas dan program; 3) terbangunnya sinergisitas pelaku dan kelembagaan. Mengacu pendapat tersebut di atas, terdapat dua fokus dalam penguatan kapasitas, yaitu : 1) perubahan perilaku, 2) strategi dalam penguatan kelembagaan untuk mengatasi masalah dan pemenuhan kebutuhan masyrakat. Dengan
adanya
strategi
penguatan
kapasitas
kelembagaan
diharapkan
pemberdayaan masyarakat secara institusional maupun secara individu dapat terwujud. Pengembangan
kapasitas
masyarakat
menurut
Maskun
(1999)
merupakan suatu pendekatan pembangunan yang berbasis pada kekuatankekuatan dari bawah secara nyata. Kekuatan-kekuatan itu adalah kekuatan sumberdaya alam, sumberdaya ekonomi dan sumberdaya manusia sehingga menjadi suatu local capacity. Kapasitas lokal yang dimaksud adalah kapasitas pemerintah daerah, kapasitas kelembagaan swasta dan kapasitas masyarakat desa terutama dalam bentuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dalam menghadapi tangtangan pengembangan potensi alam dan ekonomi setempat. Organisasi-organisasi lokal diberi
kebebasan untuk menentukan kebutuhan
organisasinya dan kebutuhan masyarakat. Dalam konteks seperti itu otonomi
25 dan pembangunan masyarakat oleh masyarakat adalah suatu konsep yang sejalan.
Karena
itu
kebutuhan
penting
di
sini
adalah
bagaimana
mengembangkan kapasitas masyarakat, yang mencakup kapasitas institusi dan kapasitas sumberdaya manusia. Dalam konteks seperti itu pemerintah memiliki fungsi menciptakan strategi kebijakan sebagai landasan bagi organisasi lokal untuk mengembangkan kreativitasnya. Dalam pengertian lain pemerintah pusat mengemban fungsi steering (mengarahkan), sedangkan “lokal” mengemban fungsi rowing (menjalankan). Analog dengan pengertian bahwa pemerintah daerah mengambil kebijakan strategis di daerah agar masyarakat mampu mengemban kapasitas nya sendiri. Didalam penguatan kapasitas kelembagaan, kerjasama antar pihak menjadi sangat penting, dalam hal ini kerjasama pemerintah, swasta dan Non Goverment
Organization
(Lembaga
Pengembangan
Masyarakat)
serta
masyarakat itu sendiri. 2.4.3 Hubungan Penguatan Kapasitas Kelembagaan dengan Modal Sosial Penguatan menggerakkan
kelembagaan sumber
daya
agar
dapat
masyarakat,
berkembang maka
serta
penguatan
mampu kapasitas
kelembagaan harus berbasis komunitas, dalam artian penguatan kelembagaan direncanakan dan dilaksanakan oleh komunitas secara partisipatif untuk kepentingan komunitas. Oleh karena itu di dalam proses penguatan kapasitas kelembagaan memanfaatkan faktor modal sosial yang ada di masyarakat. Dalam pengembangan modal sosial dan komunitas terdapat tujuh pendekatan yang khas dan untuk setiap komunitas dan modal sosial, yaitu : 1) kepemimpinan komunitas (community leader); 2) dana komunitas (community funds); 3) sumber daya material (community material);
4) pengetahuan komunitas (community
knowledge); 5) teknologi komunitas (community technology); 6) proses-proses pengambilan keputusan oleh komunitas (community decision making); dan 7) organisasi komunitas (community organization), (Tony et al, 2006). Konsep dana tidak saja mencakup uang sebagai alat tukar yang umum dipakai sebagai alat tukar sekarang, tetapi juga meliputi hubungan yang mereka jalin (Rachman, dalam Tonny, 2006). Secara umum modal sosial didefinisikan sebagai informasi, kepercayaan dan norma-norma timbal balik yang melihat dalam suatu sistem jaringan sosial (Wool Cock seperti dikutip Tonny, 2006). Hal tersebut sejalan dengan Fukuyama (2002) dalam Tonny (2006) yang
26 menyatakan bahwa Social capital (modal sosial) adalah kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau di bagian-bagian tertentu darinya. Ia bisa dilembagakan dalam kelompok sosial yang paling kecil dan paling mendasar, demikian juga kelompok-kelompok masyarakat yang paling besar, negara, dan dalam seluruh kelompok lain yang ada diantaranya. Komunitas-komunitas yang berdasarkan nilai-nilai etis bersama ini tidak memerlukan kontrak ekstentif dengan segenap pasal-pasal hukum yang mengatur hubungan-hubungan mereka, karena konsensus moral sebelumnya cukup memberikan kepada anggota kelompok itu basis untuk terwujudnya sikap saling percaya. Lebih lanjut dikatakan bahwa penguatan kapasitas kelembagaan berbasis komunitas dilakukan dengan memperhatikan faktor modal sosial yang ada di masyarakat. Modal sosial (social capital) secara sederhana bisa didefinisikan sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka. Jika para anggota kelompok itu mengharapkan bahwa anggota-anggota yang lain akan berperilaku jujur dan terpercaya, maka mereka akan saling mempercayai, kepercayaan ibarat pelumas yang membuat jalannya kelompok atau organisasi lebih efisien (Fukuyama, (2002) dalam Tonny (2006)). Dalam pelaksanaan kegiatan penguatan kelembagaan, prinsip-prinsip pengembangan masyarakat yang menjadi acuan, landasan dan penerapan dalam seluruh proses kegiatan. Prinsip-prinsip tersebut harus dijunjung tinggi, ditumbuhkembangkan serta dilestarikan oleh semua pelaku dan stakeholder yang berkaitan dengan kegiatan. Prinsip-prinsip yang diperlukan adalah sebagai berikut : a. Demokrasi Dalam
setiap
proses
pengambilan
keputusan
yang
menyangkut
kepentingan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, terutama kepentingan masyarakat golongan bawah, maka mekanisme pengambilan keputusan dilakukan secara kolektif dan demokratis. Anggota dan/ atau masyarakat didorong agar mampu membangun dan memperkuat kelembagaan dengan representasi, yang akseptabel, insklusif, transparan, demokrasi dan akuntabel.
27 b. Partisipasi Dalam tiap langkah kegiatan pengembangan masyarakat harus dilakukan secara partisipatif sehingga mampu membangun rasa kebersamaan melalui proses belajar dan bekerja bersama. Partisipasi dibangun dengan menekan proses pengambilan keputusan oleh warga, mulai dari tataran ide/ gagasan, perencanaan, pengorganisasian, pemupukan sumber daya, pelaksanaan hingga evaluasi dan pemeliharaan. Partisipasi juga berarti upaya melibatkan segenap komponen
masyarakat,
khususnya
kelompok
masyarakat
yang
rentan
(Vulnerable groups) yang selama ini tidak memiliki peluang/ akses dalam program pengembangan masyarakat. c. Transparansi dan Akuntabilitas Dalam proses manajemen proyek maupun manajemen kelembagaan masyarakat harus menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas, sehingga masyarakat belajar dan “Melembagakan” sikap bertanggung jawab serta tanggung gugat terhadap pilihan keputusan dan kegiatan yang dilaksanakannya. Transparan juga berarti terbuka untuk diketahui masyarakat sendiri dan pihak terkait lainnya, serta menyebarluaskan hasil pemeriksaan dan audit ke masyarakat, pemerintah, lembaga, donor, serta pihak-pihak lainnya. Didalam pengembangan masyarakat terdapat prinsip transparansi, yaitu keterbukaan terhadap pelaksanaan program dengan tujuan seluruh warga masyarakat dapat mengetahui keseluruhan tentang program pengembangan masyarakat sampai dengan pelaksanaan kegiatannya, sehingga masyarakat dapat berperan aktif dalam mengontrol kegiatan-kegiatan pengembangan masyarakat di desanya, baik program yang datang dari pemerintah maupun program yang tumbuh atas prakarsa masyarakat. d. Desentralisasi Dalam
rangka otonomi daerah, proses pengembalian keputusan yang
langsung menyangkut kehidupan dan penghidupan masyarakat agar dilakukan sedekat mungkin dengan pemanfaatan atau diserahkan pada masyarakat sendiri, sehingga keputusan benar-benar bermanfaat bagi masyarakat banyak. Disamping prinsip-prinsip seperti diatas diperlukan nilai-nilai untuk menunjang pelaksanaan program-program pengembangan masyarakat antara lain :
28 - Dapat Dipercaya Semua pihak yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan/ program pengembangan masyarakat harus benar-benar dapat manjaga kepercayaan yang diberi masyarakat maupun pemerintah untuk menerapkan aturan main dengan baik dan benar. Dengan demikian, pemilihan pelaku-pelaku ditingkat masyarakat pun harus menghasilkan figur-figur yang benar-benar di percaya masyarakat
sendiri,
bukan
semata
mempertimbangkan
status
sosial,
pengalaman serta jabatan. - Ketulusan Dalam melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan kegiatan benarbenar berlandaskan niat tulus dan ikhlas untuk turut memberikan kontribusi bagi pembenahan lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang ada di wilayahnya, kepentingan pribadi serta golongan atau kelompoknya. - Kejujuran Dalam
proses
pengambilan
keputusan,
pengelolaan
dana
serta
pelaksanaan kegiatan pengembangan masyarakat dilakukan dengan jujur sehingga
tidak
memanipulasi
dibenarkan
maupun
adanya
upaya-upaya
menutup-nutupi
sesuatu
untuk
yang
merekayasa,
dapat
merugikan
masyarakat serta menyimpang dari visi, misi dan tujuan pengembangan masyarakat. - Keadilan Dalam
pelaksanaan
kebijakan
dan
melaksanakan
pengembangan
masyarakat harus menekankan rasa keadilan (Faimes), kebutuhan nyata dan kepentingan masyarakat miskin. Keadilan dalam hal ini tidak berarti sekedar pemerataan. - Kesetaraan Dalam pelibatan masyarakat pada pelaksanaan dan pemanfaatan LMDH, tidak membeda-bedakan latar belakang, asal usul, agama, status, maupun jenis kelamin dan lain-lainnya. Semua pihak diberi kesempatan yang sama untuk terlibat dan/ atau menerima manfaat, termasuk dalam proses pengambilan keputusan. - Kebersamaan dalam Keseragaman Dalam dioptimalkan
melaksanakan gerakan
kegiatan
masyarakat,
penanggulangan
melalui
kemiskinan
kebersamaan
dan
perlu
kesatuan
29 masyarakat, sehingga urusan pengelolaan hutan bersama masyarakat dan peningkatan taraf hidup benar-benar menjadi urusan semua warga masyarakat dari berbagai latar belakang suku, agama, mata pencaharian, budaya pendidikan dan sebagainya dan bukan hanya dari satu kelompok masyarakat atau pelaku sekelompok saja. 2.5 Pengertian Efektivitas Dalam pengertian teoritis atau praktis, tidak ada persetujuan yang universal mengenai apa yang dimaksud dengan “keefektifan”. Bagaimanapun definisi keefektifan berkaitan dengan pendekatan umum. Bila kita telusur keefektifan berasal dari kata dasar efektif yang artinya : 1) ada efeknya (pengaruhnya, akibatnya, kesannya) seperti : manjur, mujarab, dan mempan. 2) penggunaan metode/ cara, sarana/ alat dalam melaksanakan aktivitas sehingga berhasil guna (mencapai hasil yang optimal) Selanjutnya kata dasar tersebut mendapat awalan ke dan akhiran an sehingga menjadi keefektifan. Menurut Gibson, James L., Ivancevich, John M.,Donnelly (dalam buku organisasi, perilaku, struktur, proses) dalam Suwarto (1998) pengertian keefektifan adalah : Penilaian yang dibuat sehubungan dengan prestasi individu, kelompok, dan organisasi. Makin dekat prestasi
mereka terhadap prestasi yang diharapkan
(standart), maka makin lebih efektif dalam menilai mereka. Dari pengertian tersebut diatas dari sudut pandang bidang perilaku keorganisasian dapat diidentifikasi tiga tingkatan analisis yaitu : 1) Individu, 2) Kelompok, dan
3) Organisasi. Ketiga tingkatan analisis tersebut sejalan
dengan ketiga tingkatan tanggung jawab manajerial yaitu bahwa para manajer bertanggung jawab atas keefektifan individu, kelompok, dan organisasi. Dalam berbagai studi pekerjaan manajerial, menolak bahwa proses manajerial sudah menjadi sifat proses manusia bahwa orang berhubungan dengan orang. Pernyataan ini mendorong pentingnya memahami perilaku manusia dalam organisasi ( di tempat kerja), dimana hubungan keefektifan perilaku individu dan keefektifan kelompok tersebut sangat penting untuk mencapai prestasi organisasi yang efektif, disamping itu perilaku manajer juga harus dipahami. Hal ini harus disadari dalam mendalami perilaku keorganisasian, sebab prestasi individu menjadi bagian dari prestasi kelompok, yang pada gilirannya akan menjadi
30 bagian dari prestasi organisasi. Di dalam organisasi yang efektif, manajemen membantu suatu proses keseluruhan secara positif, yaitu suatu keseluruhan yang lebih besar dari sekedar penjumlahan dari bagian-bagian yang ada (Suwarto, 1998). 2.6 Pengertian Kinerja Kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan karyawan. Kinerja karyawan adalah yang mempengaruhi seberapa banyak mereka memberikan kontribusi kepada organisasi. Perbaikan kinerja baik untuk individu maupun kelompok menjadi pusat perhatian dalam upaya meningkatkan kinerja organisasi. Pengertian kinerja atau prestasi diberi batasan oleh Mangkunegara (2005) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawabnya yang diberikan kepadanya. Oleh karena itu disimpulkan bahwa kinerja adalah prestasi kerja atau hasil kerja (output) baik kualitas maupun kuantitas yang dicapai SDM persatuan periode waktu dalam melaksanakan tugas kerjanya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Penilaian kinerja adalah salah satu tugas penting untuk dilakukan oleh seorang manajer atau pimpinan. Walaupun demikian, pelaksanaan kinerja yang obyektif bukanlah tugas yang sederhana. Penilaian harus dihindarkan adanya “like and dislike” dari penilai, agar obyektifitas penilaian dapat terjaga. Kegiatan penilaian ini penting, karena dapat digunakan untuk memperbaiki keputusankeputusan dan memberikan umpan balik kepada karyawan tentang kinerja mereka. 2.7 Pengertian Organisasi Organisasi adalah kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja atas dasar yang relatif terus menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau sekelompok tujuan (Udaya,1987). Perkataan
dikoordinasikan
dengan
sadar
mengandung
pengertian
manajemen. Kesatuan sosial berarti bahwa unit itu terdiri dari orang atau kelompok orang yang berinteraksi satu sama lain. Pola interaksi yang diikuti orang di dalam sebuah organisasi tidak begitu saja timbul, melainkan telah
31 dipikirkan lebih dahulu. Oleh karena itu, karena organisasi merupakan kesatuan sosial, maka pola interaksi para anggotanya harus diseimbangkan dan diselaraskan untuk meminimalkan keberlebihan namun juga memastikan bahwa tugas-tugas yang kritis telah diselesaikan. Hasilnya adalah bahwa difinisi diasumsikan secara eksplisit kebutuhan untuk mengkoordinasikan pola interaksi manusia. 2.8 Kerangka Pemikiran PHBM merupakan suatu sistem pengelolaan sumber daya hutan yang bersifat multi pihak dan multi sektoral. Diharapkan terjadi sinergi dari para pihak untuk meningkatkan peran dan tanggung jawab, dan secara simultan terjadi peningkatan pada aspek ekonomi, dalam upaya mewujudkan kelestarian fungsi dan manfaat sumber daya hutan. PHBM
dimaksudkan
memberikan
arah
akses
kepada
masyarakat
(kelompok masyarakat) di sekitar hutan dan para pihak terkait (stakeholders) sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing untuk mengelola hutan secara partisipatif tanpa mengubah atas kemitraan, keterpaduan, ketersediaan dan sistem sharing. Untuk memberikan arah dalam pelaksanaan PHBM menuju terwujudnya kelestarian sumberdaya hutan dan peningkatan taraf hidup masyarakat pesanggem (penggarap) telah dirumuskan visi dengan mempertimbangkan kondisi kekinian maupun arah yang ingin dicapai LMDH, yaitu dengan pengelolaan sumberdaya alam yang didukung sumberdaya manusia yang berkualitas, di wujudkan pesanggem (penggarap) Desa Glandang yang sejahtera lahir dan bathin. Untuk mewujudkan visi tersebut telah dirumuskan beberapa misi LMDH yaitu : Pengelolaan sumberdaya hutan pangkuan Desa Glandang yang mengarah kepada peningkatan ekonomi masyarakat dan keseimbangan ekologi. Dilihat dari tujuan dan sasaran pengelolaan petak hutan pangkuan LMDH Desa Glandang, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan cara memanfaatkan lahan dan ruang untuk kegiatan tumpangsari pada masa kontrak dan atau sesudahnya telah mendorong penyerapan tenaga kerja dan peluang berusaha. Dalam kegiatan PHBM diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap peningkatan taraf hidup masyarakat pesanggem (penggarap) di Desa
32 Glandang. Sehingga PHBM melalui LMDH ini merupakan strategi yang dapat merubah taraf hidup masyarakat Desa Glandang. Sebagai suatu kelembagaan, pelayanan, pengelolaan, kepemimpinan dan manajemen LMDH merupakan ukuran yang paling utama untuk mengukur kinerja kelembagaan tersebut, karena dari pelayanan, pengelolaan, kepemimpinan dan manajemen tersebut dapat diketahui bagaimana keberadaan LMDH dalam memberikan manfaat yang dapat dirasakan bagi anggotanya. Kurang efektifnya PHBM di Desa Glandang Kecamatan Bantarbolang Kabupaten Pemalang diduga dipengaruhi oleh : Struktur akses dan Kontrol sumber daya alam hutan, sehingga dalam segi pelaksanaan, pengelolaan dan pengamanan sumber daya hutan masih belum optimal dan belum efektif. Lemahnya kapasitas kelembagaan LMDH di Desa Glandang di pengaruhi oleh faktor keanggotaan, kepengurusan, norma/ aturan dan kelembagaan lain. Hal ini akan berpengaruh terhadap kinerja LMDH didalam melaksanakan programnya. Rendahnya tingkat kinerja LMDH yang meliputi pelayanan, pengelolaan, kepemimpinan dan manajemen berdampak pada kemandirian LMDH dalam memberikan pelayanan dan pengelolaan yang dapat dirasakan bagi anggota, yang sebagian besar terdiri dari pesanggem (penggarap) dan dalam taraf hidup yang rendah. Dengan demikian dapat dikatakan LMDH tersebut belum mampu meningkatkan taraf hidup pesanggem (penggarap) di Desa Glandang seperti yang menjadi tujuan LMDH. Berpangkal dari permasalahan itulah maka penulis mencoba menyusun strategi penguatan kapasitas LMDH untuk meningkatkan taraf hidup pesanggem (penggarap), melalui proses penguatan kapasitas LMDH dan peningkatan efektivitas
PHBM,
diharapkan
akan
memiliki
dampak
positif
terhadap
kemandirian dalam pelayanan dan pengelolaan dalam hal perbaikan manajemen, dan pengembangan modal sosial. Kemandirian dimaksud adalah aktivitas dalam pelayanan dan pengelolaan yang dilakukan secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi secara individu maupun kolektif. Untuk lebih jelasnya, kerangka analisa tersebut diatas dapat penulis sajikan dalam Gambar 2.
33 Gambar 1 : Bagan Alir Kerangka Pemikiran Penguatan Kapasitas LMDH dan Efektivitas PHBM di Desa Glandang, Kecamatan Bantarbolang, Kabupaten pemalang PHBM
Struktur Akses dan Kontrol SDA Hutan.
Strategi Penguatan Kapasitas LMDH Internal :
Strategi Peningkatan Efektifitas PHBM
- Keanggotaan - Kepengurusan - Alat kelengkapan organisasi
- Pelayanan - Pengelolaan - Kepemimpinan - Manajemen
LMDH
Eksternal : - Norma/ aturan - Kelembagaan lain
Keterangan : = Fakta = Tujuan Kajian
Kinerja LMDH :
= Langkah Tujuan Kajian
Keman dalam Pe dan Peng
- Perbaika manajem - Diaplikas prinsip-p pengemb masyara
34 2.9 Pengertian Operasional 1. Pengelolaan Sumberdaya Hutan, adalah kegiatan yang meliputi penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya hutan, pemanfaatan sumberdaya hutan dan kawasan hutan, serta perlindungan sumberdaya hutan dan konservasi alam. 2. Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat, adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani dan masyarakat desa atau Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan dengan pihak yang berkepentingan (stakeholders) dengan jiwa berbagi, sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional. 3. Hutan, adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. 4. Sumberdaya Hutan, adalah benda hayati, non hayati dan jasa yang terdapat di dalam hutan yang telah diketahui nilai pasar, kegunaan dan teknologi. 5. Desa Hutan, adalah wilayah desa yang secara geografis dan admnistratif berbatasan dengan kawasan hutan atau di sekitar kawasan hutan. 6. Hasil Hutan, adalah benda-benda hayati, non hayati dan turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan. 7. Masyarakat Desa Hutan, adalah kelompok orang yang bertempat tinggal di desa hutan dan melakukan kegiatan yang berinteraksi dengan sumberdaya hutan untuk mendukung kehidupannya. 8. Pihak yang berkepentingan (stakeholders), adalah pihak-pihak di luar Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan yang mempunyai perhatian dan berperan mendorong proses optimalisasi serta berkembangnya Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat, yaitu Pemerintah Daerah, Lembaga Sosial Masyarakat,
Usaha Swasta, Lembaga Pendidikan, dan
Lembaga Donor. 9. Perusahaan, adalah Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani), sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 1999, tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani).
35 10. Pengkajian Desa Partisipatif, adalah metode kajian terhadap kondisi desa dan
masyarakat
melalui
proses
pembelajaran
bersama,
guna
memberdayakan masyarakat desa yang bersangkutan, agar memahami kondisi desa dan kehidupannya, sehingga mereka dapat berperan langsung dalam pembuatan rencana dan tindakan secara partisipatif. 11. Perencanaan Partisipatif, adalah kegiatan merencanakan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat oleh Perusahaan dan Masyarakat desa Hutan atau Perusahaan dan masyarakat desa hutan dengan pihak yang berkepentingan, berdasarkan hasil pengkajian desa partisipatif dan kondisi sumberdaya hutan dan lingkungan. 12. Berbagi, adalah pembagian peran antara Perusahaan dengan masyarakat desa hutan atau perusahaan dan masyarakat desa hutan dengan pihak yang berkepentingan dalam pemanfaatan lahan (tanah dan atau ruang), dalam pemanfaatan waktu dan pengelolaan kegiatan. 13. Kegiatan Berbasis Lahan, adalah rangkaian kegiatan yang secara langsung berkaitan dengan pengelolaan tanah dan atau ruang sesuai karakteristik wilayah, yang menghasilkan produk budidaya dan lanjutannya serta produk konservasi dan estetika. 14. Kegiatan Berbasis Bukan Lahan, adalah rangkaian kegiatan yang tidak berkaitan dengan pengelolaan tanah dan atau ruang yang menghasilkan produk industri, jasa dan perdagangan. 15. Faktor Produksi, adalah semua unsur masukan produksi berupa lahan, tenaga kerja, teknologi dan atau modal, yang dapat mendukung terjadinya proses produksi sampai menghasilkan keluaran produksi dalam pengelolaan sumberdaya hutan. 16. Pola Tanam, adalah kegiatan reboisasi hutan yang dapat dikembangkan untuk penganekaragaman jenis, pengaturan jarak tanam, penyesuaian waktu dengan memperhatikan aspek silvikultur dengan tetap mengoptimalkan fungsi dan manfaat hutan. Pada unit penglo 17. Agroforestri, adalah manajemen pemanfaatan lahan secara optimal dan lestari, dengan cara mengkombinasikan kegiatan kehutanan dan pertanian pada unit pengolahan lahan yang sama, dengan memperhatikan kondisi lingkungan fisik, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat berperan serta.