II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ekosistem tambak Tambak merupakan kolam yang dibangun di daerah pasang surut dan digunakan untuk memelihara bandeng, udang laut dan hewan air lainnya yang biasa hidup di air payau. Air yang masuk ke dalam tambak sebagian besar berasal dari laut saat terjadi pasang. Kebutuhan air tawar dipenuhi dari sungai yang bermuara di laut (Sudarmo dan Ranoemihardjo, 1992).
Menurut BBPBAP (2007) manajemen yang baik akan berpengaruh positif terhadap keberhasilan usaha tambak, pengertian sistem tambak dan fungsinya berdasarkan pengelolaan tambak yang baik harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a) mendapatkan air pasok yang bebas hama penular dan logam berat yang berbahaya; b) tambak dapat menampung air dan mempertahankan kedalaman sesuai yang diinginkan (tidak rembes); c) mengeluarkan limbah dengan tingkat sedimen dan bahan organik terlarut yang rendah; d) dapat menjaga keseimbangan proses mikrobiologis; e) menggunakan bahan kimiawi/obat-obatan yang aman bagi manusia dan lingkungan dan f) menebar benih yang sehat. Untuk memenuhi persyaratan di atas maka unit tambak terdiri dari : 1) Saluran pengairan (sumber air pasok), 2) Unit tandon (terdiri dari petak karantina, petak pengendapan, petak biofilter), 3) Petak pemeliharaan dan 4) Petak pengolahan.
Universitas Sumatera Utara
Lokasi tambak umumnya terletak di salah satu ekosistem pesisir yakni hutan mangrove karena itu dalam pembangunan tambak yang berkelanjutan maka lingkungan alami hutan mangrove tidak terlalu banyak dirubah/dirusak sehingga peran penting mangrove sebagai jalur hijau dapat dipertahankan. Pemilihan lokasi tambak yang berwawasan lingkungan harus mengetahui tipe kawasan pantai tempat tambak
akan
dibangun
dengan
mempertimbangkan
faktor-faktor
dominan
yang mempengaruhi pemilihan lokasi tambak seperti: a) sumber air (suplai air laut dan tawar harus tercukupi, kesempurnaan pengeluaran air buangan dan pengeringan dasar tambak secara sempurna); b) amplitudo pasang surut dan ketinggian elevasi; c) topografi; d) kualitas tanah; e) vegetasi, jalur hijau dan kawasan penyangga (harus mempertahankan jalur hijau berupa bentangan mangrove selebar 50-400 m disepanjang pantai dan sekitar 10 m disepanjang sungai); f) kondisi iklim; g) ketersediaan sarana penunjang; h) ketersediaan sarana produksi dan kemudahan pemasaran dan i) tata guna lahan dan kebijakan pemerintah (Purnamawati dan Dewantoro, 2007). Widigdo (2000) menambahkan bahwa lokasi tambak yang dipilih juga harus memperhatikan 2 faktor lain seperti a) pola arus dan pasang surut; b) tipe dasar pantai. Pola arus pasang surut yang tinggi memungkinkan air yang berlalu lalang di kawasan pesisir kuantitasnya semakin banyak begitu juga gelombang yang tinggi menyebabkan difusi udara lebih cepat ke perairan sehingga pengaruh limbah tambak dapat diminimalisasikan.
Universitas Sumatera Utara
Primavera (2006) menyatakan pemilihan lokasi budidaya harus memperhatikan beberapa faktor agar budidaya ramah lingkungan dan usaha budidaya berkelanjutan. Kriteria lokasi budidaya meliputi faktor-faktor fisik standart seperti pasokan air, rezim pasang surut, topografi, kualitas tanah dan iklim serta kemampuan lingkungan untuk menyerap limbah. Kerapatan dari ikan/udang yang dibudiyakan di tambak, hal ini berhubungan dengan limbah yang dihasilkan dari usaha budidaya sehingga limbah yang dibuang tidak melebihi kapasitas asimilasi lingkungan. Menurut Boone (1931), udang vanamei diklasifikasikan ke dalam Filum Arthropoda; Subfilum Crustacea; Kelas Malacostraca; Subkelas Eumalacostraca; Super ordo Eucarida; Ordo Decapoda; Sub ordo Dendrobrachiata; Famili Penaeidae; Genus Litopenaeus; Species Litopenaeus vannamei. Secara morfologi udang vanamei memiliki tubuh yang dibentuk oleh dua cabang (biramous) yaitu exopodite dan endopodite. Udang vanamei memiliki tubuh yang berbuku-buku dan aktivitas berganti kulit luar atau eksosekeleton secara periodik/molting (Haliman dan Adijaya 2004). Udang vannamei (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu udang introduksi yang akhir-akhir ini banyak diminati karena memiliki banyak keunggulan antara lain tahan terhadap penyakit, pertumbuhan cepat, sintasan selama pemeliharaan tinggi dan FCR rendah (Hendrajat et al, 2007). Haliman dan Adijaya (2005) menyatakan lokasi tambak udang vannamei harus memenuhi persyaratan tambak secara teknis maupun non teknis. Secara teknis lokasi tambak udang terletak di daerah pantai dengan fluktuasi air pasang dan surut 2-3 m, jenis tanah sebaiknya liat berpasir untuk menghindari kebocoran air, mempunyai
Universitas Sumatera Utara
sumber air tawar dengan debit atau kapasitas cukup besar. Sedangkan secara non teknis lokasi tambak udang dekat dengan produsen benih udang vannamei, sumber tenaga kerja, sentra perekonomian sehingga mudah mendapatkan berbagai bahan pokok untuk produksi udang serta lokasi bisa dijangkau oleh saluran penerangan dan alat komunikasi.
2.2. Ekosistem wilayah pesisir Wilayah pesisir merupakan wilayah berbatasan (peralihan) antara daratan dengan laut. Batas di daratan meliputi daerah-daerah yang tergenang air maupun yang tidak tergenang air, wilayah ini masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang-surut, angin laut, intrusi garam. Batas di laut adalah daerah-daerah yang dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan seperti sedimentasi dan proses mengalirnya air tawar ke laut serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan. Dilihat dari segi ekologi, wilayah pesisir merupakan lokasi dari beberapa ekosistem yang unik, saling terkait, dinamis dan produktif. Ekosistem tersebut adalah 1) estuaria; 2) mangrove; 3) padang lamun dan 4) terumbu karang (Bengen, 2000). Menurut Dahuri (1998) ekosistem pesisir dan lautan memberikan 4 fungsi utama yang sangat diperlukan bagi kelangsungan hidup umat manusia yaitu: 1) sebagai penyedia sumberdaya alam dapat pulih dan sumberdaya alam tak dapat pulih, 2) sebagai penyedia ruang untuk tempat tinggal, kegiatan budidaya pertanian (perikanan dan peternakan), industri, rekreasi dan parawisata serta perlindungan
Universitas Sumatera Utara
alam, 3) sebagai penampung atau penyerap limbah (residu) sebagai hasil samping dari kegiatan konsumsi, produksi dan transportasi yang dilakukan manusai dan 4) sebagai penyedia jasa-jasa kenyamanan dan jasa-jasa pendukung kehidupan seperti udara bersih, siklus hidrologi, siklus hara, keanekaragaman hayati dan sebagainya. Ditinjau dari perspektif ekologi, terdapat 4 pedoman pembangunan pesisir secara berkelanjutan yaitu (1) keharmonisan spasial; (2) pemanfaatan sumberdaya alam secara optimal dan berkelanjutan; (3) membuang limbah sesuai dengan kapasitas asimilasinya dan (4) mendesign dan membangun prasarana dan sarana sesuai dengan karakteristik serta dinamika ekosistem pesisir dan lautan. Pembangunan perikanan secara berkelanjutan hanya dilakukan pada zona konservasi dan bila pesisir dijadikan tempat untuk membuang limbah dari perikanan maka harus ada jaminan bahwa jumlah total dari limbah yang dihasilkan tidak melebihi kapasitas asimilasi perairan tersebut (Dahuri, 1998). Wilayah pesisir merupakan pusat dari kegiatan manusia, hal ini dimungkinkan karena wilayah ini memiliki produktivitas yang tinggi. Banyaknya barang dan jasa yang disajikan pesisir sehingga wilayah ini dimanfaatkan manusia untuk berbagai kegiatan seperti perikanan, budidaya, pertanian, pemukiman manusia, pelabuhan, pariwisata dan industri. Agar kondisi lingkungan pesisir mendukung untuk keberlanjutan kegiatan manusia maka pengelolaan wilayah ini harus dilakukan secara terpadu, berkoordinasi dengan berbagai sektor perekonomian serta perikanan, budidaya perikanan, kehutanan, pemukiman dan industri (Primavera, 1998; 2006).
Universitas Sumatera Utara
Mangrove berfungsi secara fisik, biologis dan ekonomis di wilayah pesisir. Secara ekologis mangrove berfungsi menjaga kondisi pantai agar stabil, melindungi tebing pantai dan sungai, mencegah terjadinya abrasi dan intrusi air laut serta sebagai perangkap zat pencemar. Secara biologis mangrove berperan sebagai habitat benih ikan, udang dan kepiting untuk hidup dan mencari makan, sebagai tempat keanekaragaman biotik akuatik dan non akuatik seperti burung, ular, kera, kalelawar dan tanaman anggrek, sumber plasma nuftah. Secara ekonomi mangrove berfungsi sebagai bahan bakar, bahan tektil, makanan dan obat-obatan (Gunarto, 2004). Pemanfaatan zona pesisir untuk perikanan berdampak negatif terhadap lingkungan
karena
pembukaan
lokasi
pertambakan
di
wilayah
mangrove
menyebabkan kerusakan mangrove. Kehilangan mangrove menyebabkan fungsi mangrove sebagai ekosistem hilang seperti nursery ikan dan udang, habitat satwa liar, perlindungan pantai, pengendali banjir, perangkap sedimen dan pengolahan air (Primavera, 2006). Pa´Ez-Osuna (2001) menambahkan bahwa peranan mangrove lainnya adalah sebagai filter di daerah pertambakan. Untuk dapat menghilangkan padatan dan nutrisi dari limbah budidaya tambak maka diperkirakan luasan mangrove sebesar 2 – 3 ha pada tambak dengan luas 1 ha. Sementara kolam intensif memerlukan luasan hutan mangrove 22 ha agar dapat memproses nitrogen dan posfor yang terkandung dalam limbah, sementara diperkirakan 0,04 – 0,12 ha hutan mangrove untuk menghapus beban nitrogen anorganik terlarut dari limbah yang dihasilkan tambak semiintensif
Universitas Sumatera Utara
dengan luasan 1 ha. Dengan demikian, kerusakan mangrove menurunkan peranan mangrove sebagan tanaman filter sehingga pencemaran di pesisir akan sulit dihindari.
2.3. Pencemaran perairan pesisir Undang-undang Republik Indonesia No 32 tahun 2009 menyatakan bahwa pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Pencemaran pesisir dan lautan terjadi karena kegiatan manusia yang ada di daratan. Sumber pencemaran pesisir dan lautan berasal dari kegiatan industri, rumah tangga dan pertanian( termasuk pertanian dalam arti luas seperti perikanan dan peternakan), bahan utama yang terkandung dalam buangan limbah dari ketiga sumber tersebut berupa sedimen, unsur hara, pestisida, organisme patogen dan sampah (Dahuri, 1998). Pencemaran di wilayah pesisir terjadi karena limbah yang masuk melebihi kemampuan asimilasi wilayah pesisir dan karena adanya kerusakan ekosistem mangrove yang dikonversi menjadi lahan pertanian, perikanan, pemukiman dan lainlain sehingga kemampuan substrat mangrove untuk mengikat bahan pencemar berkurang (Bengen, 2000). Pengaruh polusi terhadap badan air tergantung pada polutan dan kapasitas perairan untuk mengencerkan dan mengasimilasi polutan. Perairan yang luas dan adanya tiupan angin serta terjadinya pergantian air karena pengaruh pasang surut dan
Universitas Sumatera Utara
arus berpotensi mengurangi pencemaran air. Dengan demikian, agar limbah udang tidak menyebabkan penurunan kualitas air maka harus diketahui masukan limbah dari berbagai aktivitas manusia (Boyd dan Green, 2002). Dari penelitian yang dilakukan ada sekitar 120 kg/ha BOD 5 dan 2400 kg/ha TSS yang dikeluarkan dari kolam melalui pergantian air selama pemeliharaan karena itu BOD 5 dan TSS adalah variabel kualitas air yang penting dalam pengendalian pencemaran. Untuk menghilangkan tingginya TSS dan BOD 5 di perairan sekitar tambak perlu adanya kolam penampungan di lokasi pertambakan sebelum air di buang ke perairan sekitar, dari penelitian kasar diperoleh bahwa kadar TSS menurun 60-80% dan BOD 5 sekitar 15-30% dapat hilang dalam kolam penampungan dengan hanya menahan air selama 6 – 8 jam (Boyd, 2001). Pakan, kotoran dan limbah metabolik meningkatkan konsentrasi nutrisi terutama nitrogen dan fosfor dalam air kolam, keberadaan nutrisi ini dalam kolam merangsang pertumbuhan fitoplankton. Pada usaha budidaya intensif dan semi intensif dilakukan pergantian air untuk mengurangi konsentrasi nutrisi, fitoplankton, amonia dan metabolit serta bahan organik yang berpotensi racun di kolam selanjutnya di buang ke perairan sekitar tambak. Buangan air dari kolam intensif dan semi intensif secara langsung ke ekosistem perairan tanpa dilalui dengan perlakuan terhadap buangan limbah tambak menyebabkan eutrofikasi, kekeruhan berlebihan, sedimentasi, toksisitas dan salinisasi habitat perairan (Boyd dan Green, 2002).
Universitas Sumatera Utara
Dampak negatif dari buangan tambak mengurangi nilai dari ekosistem pesisir untuk keperluan lain dan dapat mempengaruhi flora dan fauna asli perairan, karena itu penting mengurangi volume dan meningkatkan kualitas limbah tambak udang serta meminimalkan kemungkinan dampak lingkungan yang merugikan dengan cara memperbaiki manajemen dalam usaha budidaya seperti penggunaan pupuk dan pakan yang efisien, pengurangan pertukaran air, kontrol erosi, membatasi penggunaan bahan kimia dan mengurangi sedimentasi (Boyd dan Green, 2002). Boyd dan Weddig (1997) mengatakan permasalahan yang dihadapi lingkungan perairan pesisir akibat kegiatan budidaya tambak adalah terjadinya eutrofikasi dan sedimentasi di perairan alami di sekitar pertambakan akibat limbah tambak yang dibuang. Pencemaran perairan pesisir terjadi karena buangan air dari kolam budidaya mengandung 3 jenis bahan kontaminan utama seperti nutrisi, obat-obatan dan antibiotik serta bahan kimia. Peningkatan jumlah total kontaminan di perairan sejalan dengan pembuangan air budidaya ke perairan terdekat yang menyebabkan penurunan kualitas air dan penyebaran penyakit. Nutrisi dari tambak berupa sisa pakan menyebabkan hypernutrisi di perairan dekat tambak. Bahan kontaminan dari nutrisi terakumulasi didalam sedimen perairan yang mengakibatkan peningkatan kadar nitrogen, hidrogen sulpida, penipisan oksigen dan meningkatkan populasi bakteri (Tobey et al, 1988). Dalam usaha budidaya antibiotik dan bahan kimia digunakan untuk mengontrol penyakit, pencegahan penyakit, pengendali hama, diseinfektan, anestesi namun penyalahgunaan bahan ini menyebabkan kekuatiran pada lingkungan di dekat
Universitas Sumatera Utara
tambak. Penggunaan antibiotik yang berlebihan menyebabkan patogen resisten terhadap antibiotik. Antibiotik yang terdapat dalam pakan tertransfer ke ikan liar dan kerang disekitar pertambakan dan terakumulasi dalam jaringan ikan dan kerang, selain itu kehadiran antibiotik dalam sedimen perairan akan mempengaruhi dekomposisi bakteri alami sehingga mempengaruhi ekologi mikroba bentik. Bahan kimia yang terbuang ke perairan mungkin memiliki efek mematikan atau sub lethal pada organisme di lingkungan sekitar pertambakan selain itu bahan kimia dapat menimbulkan bahaya kesehatan terhadap pekerja, penduduk di dekatnya dan konsumen. Kekuatiran timbul karena ditemukan udang yang terkontaminasi dengan merkuri, kadmium organochloride, dan organo-fosfat pestisida, dioxin dan antibiotik (Tobey et al, 1988). Efek limbah domestik, limbah pengolahan ikan lebih kecil dari efek yang ditimbulkan oleh limbah tambak. Walaupun limbah tambak kurang berbahaya dibandingkan dengan limbah lain yang masuk ke perairan pesisir namun volume limbah yang dibuang dalam jumlah yang besar pada area yang kecil dimana pasokan air terbatas menimbulkan polusi di daerah budidaya udang (Lacerda, 2006). Pakan yang tinggi di dalam kolam meningkatkan konsentrasi nutrisi dan fitoplankton. Limbah tambak memiliki karakteristik dimana pH, amoniak, fosfor, BOD 5 dan TSS lebih tinggi dari perairan sekitar sementara konsentrasi DO rendah dari perairan sekitar. Limbah tambak ini merupakan beban polutan di perairan umum (Boyd, 2011).
Universitas Sumatera Utara
2.4. Beban limbah budidaya dan dampaknya terhadap perairan pesisir Pakan dipergunakan udang untuk pertumbuhannya tetapi tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan udang sebagian berupa limbah organik dalam bentuk hasil metabolisme dan sisa pakan yang tidak termanfaatkan. Budidaya udang intensif menghasilkan limbah organik terutama yang berasal dari pakan, feses dan bahanbahan terlarut, yang terbuang ke perairan dan akan mempengaruhi kualitas lingkungan pesisir. Pakan buatan menyediakan sebagian besar nitrogen (92%); fosfor (51%) dan bahan organik (40%) dalam tambak intensif. Dari total pakan udang hanya 16,7% yang dirubah menjadi biomassa, sisanya adalah sisa pakan yang tidak dikonsumsi, kotoran dan dieleminasi menjadi metabolit (Primavera, 1998) selanjutanya Primavera dan Apud (1994) menambahkan kira-kira 35% merupakan limbah organik berupa sisa pakan (15%) dan sisa metabolisme udang (20%). Menurut Boyd dan Weddig (1997), pupuk dan pakan yang diaplikasikan kedalam kolam mengandung nitrogen dan posfor digunakan untuk meningkatkan produksi kolam tambak, kedua senyawa ini dapat merangsang pertumbuhan fitoplankton. Pakan diberikan di kolam tidak semuanya dimakan udang tetapi ada sisa yang tidak termakan udang, sisa pakan yang tidak dimakan mengendap di dasar kolam dan diuraikan mikroorganisme menjadi bahan anorganik seperti amonia, fosfat, dan karbon dioksida sedangkan pakan yang dimanfaatkan udang sebagian dirubah untuk penambahan bobot tubuhnya dan dikeluarkan atau diekresikan ke air dalam bentuk karbon dioksida, amonia, dan metabolit lainnya. Bahan anorganik di dalam kolam ini selanjutnya dimanfaatkan fitoplankton melalui proses asimilasi
Universitas Sumatera Utara
sehingga menambah kesuburan (eutrofikasi) di kolam. Peningkatan pemberian pupuk dan pakan dalam kolam akan meningkatkan pertumbuhan fitoplankton di kolam. Dengan demikiaan tidak mungkin untuk meningkatkan produksi dengan pupuk dan pakan tanpa tidak menyebabkan eutrofikasi di kolam. Boyd dan Weddig (1997) menambahkan air buangan dari limbah tambak kaya akan nutrisi dan mengandung bahan organik yang terlarut dan tersuspensi, bahanbahan ini keluar pada saat pertukaran air selanjutnya masuk ke perairan alami di dekat pertambakan. Buangan limbah dari pertambakan ini akan mengalami pengenceran dan diasimilasi di perairan pesisir, apabila buangan dari tambak tidak melampaui kapasitas asimilasi perairan maka eutrofikasi perairan tidak akan terjadi sebaliknya perairan pesisir akan mengalami eutrofikasi apabila buangan limbah melebihi kapasitas asimilasinya. Rönnbäck (2001), dampak lingkungan dari budidaya udang timbul dari pemanfaatan sumberdaya seperti tanah, air, benih dan pakan. Efek yang ditimbulkan usaha budidaya dapat terjadi secara langsung ataupun tidak langsung. Efek budidaya secara langsung berupa pelepasan zat eutrofikasi, bahan kimia beracun dan transfer penyakit dan parasit sedangkan efek secara tidak langsung berupa hilangnya habitat dan ruang niche serta perubahan dalam jaring-jaring makanan. Budidaya udang secara intensif menghasilkan rata-rata buangan nitrogen berkisar 6 – 664 kg/km2/tahun dan menghasilkan buangan pertahunnya sebesar 9 – 485 ton/tahun, sedangkan buangan fosfor berkisar antara 0,4 – 77 kg/km2/tahun dan buangan tahunan sebesar 0,7 – 35 ton/tahun. Untuk mengurangi dampak dari
Universitas Sumatera Utara
buangan limbah tambak diajurkan dibuat kolam pengendapan yang diisi ikan, moluska dan ganggang laut (Lacerda, 2006). Hitungan besar limbah tambak dalam bentuk Nitrogen (N) dan Pospor (P) yang lebih sederhana sebagai berikut, apabila pakan yang diberikan bermutu tinggi yaitu dengan kadar protein pakan 35% (kandungan N dan P masing-masing 84 g dan 18 g) akan dapat menghasilkan FCR 1,5 (Food Corversion Ratio) yang artinya untuk menghasilkan 1 kg berat udang dibutuhkan 1,5 kg pakan. Dalam kondisi tersebut hanya 27,5 g N dan 3 g P yang dikonversi menjadi daging dan 56,6 g N dan 15 g P yang terbuang ke perairan. Limbah yang terbuang dalam bentuk N dan P sangat ditentukan oleh kapasitas produksi tambak, sehingga semakin tinggi produksi tambak persatuan luas (kg/ha) maka semakin besar limbah N dan P yang terbuang ke perairan (Boyd, 2001). Konsentrasi BOD 5 dan TSS terus meningkat selama masa pemeliharaan, mendekati panen konsentrasi BOD 5 meningkat menjadi 10mg/L sementara TSS meningkat menjadi 150 mg/L. Beban limbah yang diterima perairan dari 20% limbah yang dibuang pada saat pengeringan adalah BOD 5 33% dan limbah TSS 35% yang dilepaskan selama panen, dengan demikian ada sekitar 180 kg/ha beban BOD 5 dan 3200 kg/ha beban TSS yang dikeluarkan pada saat pengosongan kolam (Boyd, 2001). Nyanti et al (2011), konsentrasi TSS, COD, BOD 5 , total nitrat, total fosfat dan Clorophil-a tinggi di perairan pesisir. Besarnya beban dari masing-masing parameter ini yang dibuang ke perairan dari lokasi pertambakan secara berurut adalah: 3.533,3 kg/ha (TSS) ; 7.824,4 kg/ha (COD); 735,6 kg/ha (BOD 5 ); 167,8 kg/ha (Total nitrat); 3,0 kg/ha (total fosfat) dan 0,52 kg/ha (Clorophil-a).
Universitas Sumatera Utara
Kandungan protein pellet (pakan udang buatan) cukup tinggi yaitu sekitar 40%, sehingga pelet yang mengalami pembusukan (perombakan) menghasilkan senyawa nitrogen anorganik berupa N-NH 3 /N-NH 4 + (amonia/amonium) yang merupakan salah satu senyawa toksid bagi udang (Boyd, 1990). Tingginya kandungan limbah organik menyebabkan bakteri di perairan meningkat sehingga menyebabkan timbulnya penyakit pada udang dan menyebabkan kematian udang. Limbah organik di dalam tambak berupa sisa pakan akan mengalami dekomposisi menjadi CO 2 , amoniak, fosfat dan mikro nutrien lain yang hadir di dalam kolam dan menambah kesuburan tambak, namun keberadaan amoniak dan nitrat menyebabkan media pemeliharaan tidak nyaman bagi kehidupan udang dan mengakibatkan udang stress sehingga berpeluang menimbulkan serangan penyakit. Dengan meningkatnya kesuburan tambak, kelimpahan fitoplankton dalam air akan meningkat hal ini berakibat pada meningkatnya kebutuhan oksigen (Maarif dan Somamiharja, 2000). Manajemen limbah diperlukan untuk keberlanjutan usaha budidaya ikan/udang di tambak. Jumlah limbah yang dibuang ke perairan dapat diminimalkan dengan sistem air tertutup dan semi tertutup, sistem ini dilakukan dengan cara mendaur ulang air melalui serangkaian waduk, kolam treatment (dengan menempatkan ikan, bivalva dan ganggang) dan kanal selanjutnya air kembali ke kolam produksi. Sistem air tertutup dan semi tertutup juga dapat meminimalkan masuknya organisme penyakit dari perairan alami dan menciptakan kualitas air masuk yang cocok untuk keberlanjutan usaha budidaya (Primavera, 2006).
Universitas Sumatera Utara
2.5. Daya dukung lingkungan perairan pesisir Undang-Undang Republik Indonesia No 32 tahun 2009 menyatakan bahwa daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar keduanya. Menurut Purnomo (1992), daya dukung lingkungan merupakan nilai mutu lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi dari semua unsur atau komponen (fisika, kimia dan biologi) dalam satu kesatuan ekosistem. Daya dukung lingkungan erat kaitannya dengan kapasitas asimilasi dari lingkungan. Kapasitas asimilasi adalah kemampuan ekosistem untuk menyerap atau mengubah beberapa atau semua kontaminan melalui proses secara alami atau buatan manusia menjadi bentuk yang memiliki dampak minimal terhadap proses biologis ekosistem (UNEP, 2007). Daya
dukung
lingkungan
merupakan
kemampuan
lingkungan
untuk
menampung limbah dari berbagai aktivitas atau tingkat dari aktivitas tanpa menimbulkan dampak terhadap perubahan lingkungan (GESAMP, 1986; 1996). Menurut FAO (2010), daya dukung lingkungan dalam konteks budidaya di suatu area tertentu dan badan air dinyatakan dengan penambahan nutrisi ke lingkungan tanpa menyebabkan eutrofikasi, tingkat aliran organik ke organisme bentos tanpa menyebabkan gangguan besar untuk proses bentik alami dan penurunan oksigen terlarut yang dapat ditampung perairan tanpa menyebabkan kematian biota alami. Usaha budidaya harus menyesuaikan produksinya dengan daya dukung lingkungan lokal atau konteks sosial setempat, karena masing-masing ekosistem
Universitas Sumatera Utara
memiliki kemampuan yang berbeda-beda untuk menyerap dan mengasimilasi senyawa organik dan nutrisi. Daya dukung untuk keberlanjutan usaha budidaya berupa a) daya dukung fisik: total areal budidaya dan pengguna lain di perairan yang dapat ditampung ruang fisik perairan; b) daya dukung produksi: kepadatan stock yang dapat dipanen secara berkelanjutan; c) daya dukung ekologi: jumlah budidaya tidak menimbulkan dampak ekologi dan d) daya dukung sosial: pengembangan tingkat budidaya yang menyebabkan dampak sosial tidak diterima (FAO, 2010). Kelestarian lingkungan dapat tercapai apabila limbah dari suatu kegiatan masih sesuai dengan kapasitas lingkungan. Ada empat komponen kapasitas lingkungan yang relevan untuk usaha budidaya yaitu: 1) penyebaran dan pengenceran nutrisi dalam air penerima; 2) asimilasi nutrisi dalam kolom air atau sedimen; 3) efek konsentrasi dan asimilasi nutrisi terhadap fungsi dan integritas ekosistem; 4) standar kualitas lingkungan berdasarkan konsentrasi nutrisi atau dampak fisik dan ekologis yang lebih luas dari konsentrasi. Berdasarkan hal tersebut, pengertian kapasitas lingkungan (daya dukung lingkungan) adalah loading total nutrisi (atau penghapusan) yang dapat dipertahankan dalam suatu area tertentu tanpa menyebabkan pelanggaran standart kualitas lingkungan (Hambrey et al, 1999). Menurut Sutrisno dan Ambarwulan (2003), kapasitas daya dukung didasarkan pada pemikiran bahwa lingkungan memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung suatu pertumbuhan yang sebanding dengan pemanfaatannya. Ada 4 aspek yang harus diperhatikan dalam pengembangan udang yang berbasis lingkungan yaitu 1) tanah; 2) ekologis; 3) luas lahan dan 4) sosial ekonomi. Aspek tanah mengkaji kemampuan
Universitas Sumatera Utara
dan kesesuaian lahan untuk pengembangan budidaya udang. Aspek ekologis mengkaji kualitas air berkaitan dengan aktivitas budidaya tambak udang terutama sedimentasi dan kandungan bahan organik, keragaman hayati, keberadaan spesiesspesies endemik serta spesies lain yang menunjang kehidupan penduduk setempat. Aspek luas lahan mengkaji luas lahan yang diperuntukan bagi udang berdasarkan analisis zonasi yang ditetapkan perundang-undangan, ekosistem dan ekologi. Aspek sosial ekonomi mengkaji daya dukung maksimum lingkungan terhadap populasi manusia dan aktivitas tambak udang, nilai ekonomi lingkungan tambak udang. Menurut Widigdo (2000), untuk menjaga kelestarian usaha tambak dan meminimalisasi penurunan kualitas lingkungan akibat limbah tambak maka luasan/jumlah tambak yang dibuka di suatu kawasan harus sesuai dengan kemampuan alam setempat (daya dukungnya). Daya dukung tambak ditentukan oleh beberapa faktor seperti faktor geo-oceanografi, hidrologis, sifat-sifat fisika tanah dan air, pola arus pantai, pasang surut serta tipe dasar pantai.
2.6. Daya tampung perairan pesisir dari kegiatan pertambakan KEPMENLH No 110 (2003) menyatakan bahwa daya tampung beban pencemaran air adalah kemampuan air pada suatu sumber air, untuk menerima masukan beban pencemaran tanpa mengakibatkan air tersebut menjadi cemar. Daya tampung pakan maksimum untuk 1 ha tambak yang dikelola secara intensif yaitu 100-150 kg/hari, lebih dari itu perairan tidak mampu lagi mempertahankan kualitasnya (Boyd, 1992). Limbah buangan tambak yang masuk ke perairan
Universitas Sumatera Utara
berdampak potensial menyebabkan penurunan kualitas air. Agar kualitas perairan tidak menurun maka ada 3 faktor yang diperhatikan yaitu: 1) besarnya debit limbah, 2) komposisi kimia limbah tambak udang (padatan tersuspensi, nutrisi dan bahan organik, 3) karakteristik perairan penerima seperti tingkat pengenceran limbah, waktu tinggal limbah dan kualitas air penerima (Pa´Ez-Osuna, 2001). Aktivitas pertambakan berpotensi memberikan kontribusi dalam meningkatkan jumlah bahan pencemar kedalam perairan. Bahan pencemaran diindiksikan dari BOD 5 , TSS, NO 2 dan NH 3 -N, adanya masukan bahan pencemar ini mempengaruhi kualitas perairan. Bahan pencemar ini akan mengalami degradasi (asimilasi) dimana kemampuan asimilasi tergantung kepada proses hidrodinamika perairan termasuk proses pencampuran dan waktu pembilasan yang dipengaruhi periode pasang surut dan arah arus (Sanusi et al., 2005). Limbah tambak yang masuk ke perairan akan mengalami pencampuran dan pengenceran. Kemampuan pengenceran perairan dipengaruhi oleh kapasitas dan daya tampung perairan sebagai penerima limbah yang berbanding lurus dengan kualitas dan kuantitas perairan. Dengan demikian, kemampuan pengenceran perairan dipengaruhi oleh volume air yang tersedia di pantai. Volume air yang tersedia pantai ditentukan dengan pendekatan rumus Widigdo dan Pariwono (2003) sebagai berikut: h .................................................................... (1) Vo = 0,5 h.y 2 x − tgθ (2h − 1) ............................................................... (2) Vs = 0,5 h.y 2 x − tgθ
Universitas Sumatera Utara
Dimana : y = panjang garis pantai kawasan; h = kisaran pasang surut; tg θ = Kemiringan dasar laut/pantai dan x = Jarak dari garis pada air pasang kearah laut sampai mencapai titik dimana kedalaman air pada saat surut adalah satu meter dan tidak terpengaruh gerakan turbelen air pasang
Proses pencampuran limbah di perairan dipengaruhi oleh kondisi hidrodinamika seperti pasang surut. Pasang surut (Pasut) merupakan suatu fenomena pergerakan naik turunnya permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gaya sentrifugal dan gaya tarik menarik dari benda-benda astronomis terutama oleh matahari, bumi dan bulan (Triatmodjo, 2007; Wibisono, 2005). Menurut Wibisono (2005), Tipe pasang surut dapat ditentukan dari hasil pembagian jumlah amplitudo komponen K1 dan O1 serta jumlah amplitudo komponen M2 dan S2 dengan rumus:
F=
A ( K1 + 01) (3) A ( M 2 + S 2)
Dimana: K1 adalah konstanta diurnal yang diakibatkan oleh deklinasi bulan-matahari O1 adalah konstanta diurnal yang diakibatkan oleh deklinasi bulan M2 adalah konstanta semidiurnal yang diakibatkan oleh bulan S2 adalah konstanta semidiurnal yang diakibatkan oleh matahari
Universitas Sumatera Utara
Bila harga F memenuhi salah satu perjanjian seperti dibawah ini: 0 < F < 0,25 : tipe pasang surut sebagai harian ganda (semi diurnal) 0,25 < F < 1,50 : tipe pasang surut sebagai campuran (mixed type) condong ke harian ganda 1,50 < F < 3,00 : tipe pasang surut sebagai campuran (mixed type) condong ke harian tunggal F > 3,00 : tipe pasang surut sebagai harian tunggal murni (diurnal type) Menurut Triatmodjo (2007), tipe pasang surut di Indonesia dibagi menjadi 4 tipe pasang surut yaitu: 1) pasang surut harian ganda (semi diurnal tide) adalah pasang surut dimana dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut dengan tinggi yang hampir sama dan pasang surut terjadi secara teratur; 2) pasang surut harian tunggal (diurnal tide) adalah pasang surut dimana dalam satu hari terjadi satu kali pasang dan satu kali air surut; 3) pasang surut campuran condong ke harian ganda (mixed tide prevailing semidiurnal) adalah pasang surut dimana dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut tetapi tinggi dan periodenya berbeda dan 4) pasang surut campuran condong ke harian tunggal (mixed tide prevailing diurnal) adalah tipe pasang surut dimana satu hari terjadi satu kali pasang dan satu kali surut tetapi kadang-kadang untuk sementara waktu terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dengan tinggi dan periode yang sangat berbeda.
2.7. Kelayakan kualitas perairan untuk kegiatan pertambakan Kualitas air merupakan faktor yang menentukan keberhasilan atau kegagalan dari suatu kegiatan budidaya ikan. Dengan demikian, kualitas air yang masih layak untuk usaha budidaya apabila air penerima limbah (perairan) dari budidaya memiliki
Universitas Sumatera Utara
volume 100 kali lebih banyak dari volume limbah yang masuk ke perairan. Volume air laut yang masuk ke perairan pantai dihitung berdasarkan panjang pantai, jangkauan pasang, frekunsi pasang, kemiringan (kelandaian pantai), dan jarak dari garis pantai pada air pasang ke arah laut sampai mencapai titik kedalaman air pada saat surut dan tidak terpengaruh terhadap turbelen air dasar (Alison, (1991) dalam Rustam (2005)). Pasokan kualitas air yang baik merupakan faktor yang penting bagi budidaya perairan karena berpengaruh terhadap reproduksi, pertumbuhan dan kelangsungan hidup organisme aquatik (Chien, 1992). Beberapa nilai optimum parameter kualitas air yang mendukung budidaya udang antara lain oksigen terlarut > 4 mg/L, pH 7,5 – 8,5 (Chien, 1992); suhu 28 – 30 0C, kecerahan 30 – 40 cm (Hirono, 1992); Salinitas 15 – 25 0/ 00 , H 2 S < 0,005 mg/L (Boyd, 1991). Apabila sumber air untuk tambak udang mengalami penurunan kualitas karena polusi maka kualitas air pada kolam akan terganggu dalam memproduksi udang seperti lingkungan kurang efisien dalam mendukung udang, kerentanan terhadap penyakit lebih besar dan tingkat kematian lebih tinggi. Dengan demikian, penting untuk diketahui informasi tentang status kualitas air dalam usaha budidaya udang (Boyd dan Green, 2002). Metode yang digunakan untuk memperbaiki dampak limbah tambak udang kepada kualitas air penerima antara lain: a) desain kolam diperbaiki; b) pembangunan kolam oksidasi air limbah-sedimentasi; c) pengurangan pergantian air; d) pengurangan masukan nitrogen dan fosfor dalam pakan; e) penghapusan
Universitas Sumatera Utara
kolam berlumpur dan f) sistem budidaya menggunakan sistem tertutup dan didalam kolam pengolahan dilakukan pemeliharaan secara polikultur serta penggunaan mangrove sebagai biofilter air dikeluarkan (Rönnbäck, 2001). Buangan limbah dari tambak dapat diminimalkan dengan pola sistem tertutup atau sistem semi-tertutup. Pergantian air dengan sistem tertutup dan semi tertutup dilakukan cara mendaur ulang kembali air buangan melalui serangkaian proses perjalanan air di mulai dari waduk, kolam treatment (dimasukkan ikan, bivalva dan ganggang) dan kanal lalu air dimasukkan kembali kedalam kolam produksi. Sistem ini bertujuan untuk mengurangi limbah yang keluar dari kolam ke perairan sekitar dan meminimalkan masuknya organisme penyakit dari perairan alami (Tobey et al, 1998). Menurut Boyd (2001), merumuskan standart kualitas air buangan limbah tidak mudah karena penetapan standart kualitas untuk buangan limbah belum pernah ada sebelumnya selain itu penetapan standart tidak boleh terlalu ketat karena peraturan yang ketat akan membuat petani tambak tidak melakukannya. Adapun tujuan dari penetapan standart kualitas air buangan adalah untuk melindungi lingkungan. Penetapan standart kualitas air buangan untuk budidaya udang dapat dilihat dari Tabel 1.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1. Standart kualitas air limbah dari kegiatan budidaya udang untuk kualitas air awal dan target (Boyd, 2001) Variabel pH TSS (Total Suspended Solid) Total posfor Total amonia Nitrogen BOD 5 Oksigen terlarut
Satuan mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
awal 6,9 – 9,5 < 100 < 0,5 < 5,0 < 50 > 4,0
target 6,0 – 9,0 < 50 < 0,3 < 3,0 < 30 > 5,0
Sumber air untuk budidaya yang berasal dari air sungai dan air laut harus memenuhi persyaratan fisik dan kimiawi, bebas bahan polutan serta tidak keruh. Air harus memenuhi baku mutu untuk mendukung kehidupan organisme air. Baku mutu air laut adalah kadar ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi atau komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut (KEPMEN LH No 51, 2004). Air yang akan ditebari udang harus mempunyai kualitas sifat fisika-kimia. Udang Vannamei dapat hidup dan tumbuh dengan baik pada kisaran salinitas yang lebar (20-35 ppt), oksigen terlarut antara 4,99 mg/L dan 10,03 mg/L dan pH diantara 7,83 dan 8,89 sedangkan suhu tidak berpengaruh terhadap udang vannamei (Mustafa et al., 2007). Utojo dan Tangko (2008) menambahkan persyaratan kualitas air lainnya yang diperhatikan untuk budidaya udang vannamei antara lain suhu air 260C – 320C; alkalinitas total 120 – 150 mg/L; bikarbonat >80 mg/L; kesadahan total > 2.500 mg/L; H 2 S <0,1 mg/L; PO 4 0,5-1 mg/L; transparansi 30-60 cm; plankton dominan alga hijau dan diatom; oksigen > 4 mg/L dan kedalaman air tambak minimal 1 meter.
Universitas Sumatera Utara