11
II. TINJAUAN PUSTAKA A.
Kelembagaan Konsepsi mengenai kelembagaan telah dikemukakan oleh banyak ahli.
Mengacu pada pendapat Schmid (1987) dan North (1991), secara umum kelembagaan (institution) memiliki dua pengertian. Pengertian pertama adalah kelembagaan sebagai aturan main (rules of the game) dalam interaksi interpersonal, yaitu sekumpulan aturan baik formal maupun infomal, tertulis maupun
tidak
tertulis,
serta
tata
perilaku
hubungan
manusia
dengan
lingkungannya yang menyangkut hak-hak serta tanggung jawabnya. Sedangkan dalam pengertian kedua, kelembagaan merupakan suatu organisasi, yang dalam pengertian ekonomi menggambarkan aktivitas ekonomi yang dikoordinasikan bukan oleh harga-harga, tetapi oleh mekanisme administratif atau kewenangan. Menurut Kasper dan Streit (1998), aturan buatan manusia dalam kelembagaan selalu ditegakkan melalui berbagai jenis sanksi.
Ini didasari persepsi bahwa
interaksi antar manusia selalu didasari oleh perilaku oportunistik, sehingga kelembagaan tanpa sanksi akan sia-sia. Schmid (1987) menyatakan bahwa kelembagaan dicirikan oleh tiga komponen utama, yaitu batas yurisdiksi, hak kepemilikan (property right), dan aturan representasi. Batas yurisdiksi menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam suatu kelembagaan. Batas yurisdiksi berperan dalam mengatur alokasi sumberdaya. Hak kepemilikan mengandung pengertian tentang hak dan kewajiban yang didefinisikan atau diatur oleh hukum, adat dan tradisi, atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. Hak kepemilikan dapat menjadi sumber kekuatan akses dan kontrol terhadap sumberdaya. Hak kepemilikan dapat diperoleh melalui pembelian, pemberian dan hadiah, atau melalui pengaturan administrasi pemerintah. Aturan representasi mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan mengenai suatu alokasi sumberdaya. Keputusan yang diambil dan akibatnya terhadap kinerja suatu kelembagaan akan ditentukan oleh kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan.
12
Aturan representasi menentukan jenis keputusan yang dibuat, oleh karena itu aturan representasi menentukan alokasi dan distribusi sumberdaya. Yustika (2006) menyatakan bahwa dalam kaitannya dengan kegiatan ekonomi, pendefinisian kelembagaan dapat dipilah dalam dua klasifikasi. Pertama, bila berkaitan dengan proses, maka kelembagaan merujuk pada upaya untuk mendesain pola interaksi antar pelaku ekonomi sehingga mereka dapat melakukan kegiatan transaksi. Kedua, jika berhubungan dengan tujuan, maka kelembagan berkonsentrasi untuk menciptakan efisiensi ekonomi berdasar struktur kekuasaan ekonomi, politik, dan sosial antar pelakunya. Secara praktis, kelembagaan yang tersedia dalam kegiatan ekonomi akan menentukan seberapa efisien hasil ekonomi yang didapatkan, sekaligus akan menentukan seberapa besar distribusi ekonomi yang diperoleh oleh masing-masing partisipan. Bila pelaku ekonomi menganggap bahwa kelembagaan tidak efisien, misalnya gagal mencapai pertumbuhan ekonomi atau tidak merata dalam membagi kesejahteraan antar pelakunya, maka hasrat untuk mengubah kelembagaan (institutional change) dipastikan akan terjadi. Tujuan perubahan kelembagaan adalah untuk mendapatkan kinerja yang lebih baik dari yang diharapkan. Perubahan institusi secara internal disebut institusionalisasi atau pelembagaan. Huttington dalam Kartodihardjo (2008) menetapkan empat kriteria terjadinya proses institusionalisasi, yaitu : 1) Otonomi, yaitu kemampuan institusi untuk membuat dan menjalankan keputusan-keputusan yang dibuatnya. 2) Adaptabilitas, yaitu sanggup beradaptasi dalam lingkungannya. 3) Kompleksitas, yaitu mampu membentuk struktur di dalam dirinya sehingga dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 4) Koheren, yaitu kemampuan institusi untuk mengelola aktivitas dan mengembangkan prosedur sehingga tugas-tugasnya selesai tepat pada waktunya. B.
Batasan Operasional Beberapa Istilah dalam Bidang Perbenihan Batasan operasional beberapa istilah dalam bidang perbenihan yang
digunakan dalam penelitian ini, berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan
13
(Permenhut) No 01/Menhut-II/2009 dan Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (Dirjen RLPS) No P.03/2007 sebagai berikut : 1). Perbenihan Tanaman Hutan yang selanjutnya dalam penelitian ini disebut perbenihan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pembangunan sumberdaya genetik, pemuliaan tanaman hutan, pengadaan dan pengedaran benih dan bibit dan sertifikasi. 2) Benih tanaman hutan yang selanjutnya di dalam penelitian ini disebut benih adalah bahan tanaman yang berupa bahan generatif (biji) atau bahan vegetatif tanaman yang digunakan untuk mengembangbiakan tanaman hutan. 3) Bibit tanaman hutan yang selanjutnya di dalam peraturan ini disebut bibit adalah tumbuhan muda hasil pengembangbiakan secara generatif atau secara vegetatif. 4) Sumber Benih adalah suatu tegakan hutan di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan yang dikelola guna memproduksi benih berkualitas. 5). Kriteria sumber benih adalah ukuran yang menjadi dasar penilaian atau penetapan sumber benih tanaman hutan. 6). Standar sumber benih adalah spesifikasi teknis sumber benih tanaman hutan yang dibakukan sebagai patokan dalam menentukan mutu sumber benih. 7). Prosedur sertifikasi sumber benih adalah tahapan dan mekanisme dalam pelaksanaan sertifikasi sumber benih tanaman hutan. 8). Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT), yaitu sumber benih dengan kualitas tegakan rata-rata, yang ditunjuk dari hutan alam atau hutan tanaman dan lokasinya teridentifikasi dengan tepat. 9). Tegakan Benih Terseleksi (TBS) adalah sumber benih yang berasal dari TBT dengan kualitas tegakan di atas rata-rata. 10). Areal Produksi Benih adalah sumber benih yang dibangun khusus atau berasal dari TBT atau TBS yang ditingkatkan kualitasnya melalui penebangan pohon-pohon yang fenotipanya tidak bagus. 11). Tegakan Benih Provenan adalah sumber benih yang dibangun dari benih yang provenannya telah teruji.
14
12). Kebun Benih Semai adalah (KBS), yaitu sumber benih yang dibangun dari bahan generatif yang berasal dari pohon plus pada tegakan yang diberi perlakukan penjarangan berdasarkan hasil uji keturunan. 13) Kebun Benih Klon adalah Kebun Benih Klon (KBK), yaitu sumber benih yang dibangun dari bahan vegetatif yang berasal dari pohon plus pada tegakan yang diberi perlakukan penjarangan berdasarkan hasil uji keturunan. 14). Kebun Benih Pangkas adalah sumber benih yang dibangun dari bahan generatif atau vegetatif dari pohon induk yang berasal dari KBK atau KBS. 15).Pengadaan benih adalah kegiatan yang meliputi kegiatan pengunduhan, penanganan, pengujian, pengepakan dan penyimpanan. 16).Pengadaan bibit adalah kegiatan yang meliputi penyiapan benih, pembuatan bibit, seleksi, dan pemeliharaan sampai bibit siap digunakan dan/atau diedarkan. 17). Pengedaran benih adalah kegiatan yang meliputi pengemasan, pengangkutan, penyimpanan, dan distribusi benih. 18). Pengedaran bibit adalah kegiatan yang meliputi pengemasan, pengangkutan, dan distribusi bibit 19).Pengada benih adalah BUMN/BUMD/BUMS, koperasi atau perorangan yang mempunyai kegiatan pengadaan benih. 20).Pengedar benih dan bibit adalah BUMN/BUMD/BUMS, koperasi atau perorangan yang mempunyai kegiatan peredaran benih dan/atau bibit. 21). Label benih adalah keterangan tertulis yang diberikan pada benih yang sudah dikemas dan akan diedarkan yang memuat antara lain jenis benih, asal benih, mutu benih, tanggal unduh benih, data hasil uji laboratorium serta akhir masa edar benih. C.
Kebijakan Pemerintah yang Terkait dengan Perbenihan Tanaman Hutan Sertifikasi sumber benih tanaman hutan merupakan titik awal jaminan mutu
produksi benih untuk keperluan rehabilitasi lahan hutan, oleh karena itu pembahasan mengenai kebijakan sertifikasi sumber benih tanaman hutan tidak dapat dilepaskan dari kebijakan nasional perbenihan tanaman hutan secara
15
keseluruhan. Hasil identifikasi peraturan perundangan yang terkait dengan perbenihan tanaman hutan disajikan dalam Tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Peraturan perundangan yang terkait dengan perbenihan tanaman hutan No 1 2 2 3
Peraturan Perundangan UU No 12/1992 UU No 41/1999 PP No 44 Tahun 1995 PP No 38/2007
4
SK Menhut No 663/ KptsII/2002 Permenhut No P.01/MenhutII/2009
5
Perihal Sistem Budidaya Tanaman Kehutanan Perbenihan Tanaman Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Organisasi dan Tata Kerja BPTH Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan
Permenhut No P.01/Menhut-II/2009 diundangkan tanggal 12 Januari 2009 menggantikan Permenhut No P.10/Menhut-II/2007. Permenhut No P.01/2009 ini memuat berbagai lampiran teknis yang mementahkan berbagai Peraturan Dirjen RLPS yang diterbitkan tahun 2007 (sebagai penjabaran teknis Permenhut P.10/2007) dan membuatnya tidak efektif lagi. Reduksi tugas pokok dan fungsi BPTH dalam Permenhut P.01/Menhut-II/2009 (meski tidak dinyatakan secara eksplisit) juga mementahkan SK Menhut No 663/Kpts-II/2002 mengenai Organisasi dan Tata Kerja BPTH. Dalam Permenhut No P.01/Menhut-II/2009 disebutkan bahwa pengaturan perbenihan tanaman hutan bertujuan untuk : 1) menjamin kelestarian sumberdaya genetik tanaman hutan dan pemanfaatannya; 2) menjamin tersedianya benih dan/atau bibit tanaman hutan dengan mutu yang baik. Pengaturan perbenihan tanaman hutan meliputi pembangunan sumberdaya genetik, pemuliaan tanaman hutan, pengadaan benih, pengedaran benih dan bibit, sertifikasi, dan pembinaan. Sertifikasi perbenihan tanaman hutan bertujuan untuk menjamin kualitas benih atau bibit tanaman hutan; meningkatkan penggunaan benih atau bibit yang berkualitas; memberikan perlindungan intelektual kepada para pemulia tanaman hutan; memberikan pengakuan kebenaran terhadap sumber benih, mutu benih, mutu bibit, kesehatan benih dan bibit; dan menjamin kebenaran asal usul benih.
16
Dalam Permenhut P.01/2009 yang diberi wewenang melakukan sertifikasi perbenihan adalah Dinas Propinsi, Dinas Kabupaten/Kota, dan BPTH. Ada 4 (empat) macam sertifikasi dalam bidang perbenihan, yaitu : a. Sertifikasi sumber benih : untuk menjamin kebenaran klasifikasi sumber benih berdasarkan kualitas genetik. b. Sertifikasi mutu benih : untuk menjamin kebenaran mutu genetik berdasarkan kelas sumber benih dan mutu fisik-fisiologis benih. c. Sertifikasi mutu bibit : untuk menjamin kebenaran mutu genetik berdasarkan kelas sumber benih dan mutu fisik-fisiologis bibit. d. Sertifikasi asal usul benih dan/atau bibit. Sertifikasi mutu benih diikuti dengan pemberian label benih apabila akan diedarkan. Sertifikat mutu benih/bibit diterbitkan apabila asal-usul benih diketahui, sedangkan apabila asal-usul benih tidak diketahui, maka diterbitkan surat keterangan pengujian benih/bibit. Pembinaan, pengawasan dan pengendalian dilakukan untuk menjamin tertibnya
dan
meningkatkan
kemampuan
sumberdaya
manusia
dalam
penyelenggaraan perbenihan tanaman hutan. Kegiatan pembinaan berupa bimbingan teknis dan administrasi, pelatihan, arahan dan/atau supervisi, dilakukan oleh pemerintah, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota kepada penyelenggara perbenihan tanaman hutan. Kegiatan pengawasan dalam perbenihan adalah sebagai berikut : a. Menteri Kehutanan dapat melarang pengadaan, peredaran dan penanaman benih dari jenis yang ternyata merugikan masyarakat, budidaya tanaman, sumberdaya alam lain atau lingkungan hidup. b. Direktur Jenderal RLPS bersama dengan dinas provinsi/kabupaten/kota melakukan pengawasan atas pengadaan, peredaran, sertifikasi dan tata usaha benih dan/atau bibit. c. Kepala Badan Litbang Kehutanan melakukan pengawasan atas penelitian konservasi sumber daya genetik dan pemuliaan tanaman hutan. Sedangkan kegiatan pengendalian perbenihan tanaman hutan diselengarakan oleh Dirjen RLPS, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, meliputi :
17
a. Pengawasan : untuk memperoleh data dan informasi penyelenggaraan perbenihan tanaman hutan. b. Evaluasi : untuk menilai keberhasilan penyelenggaraan perbenihan tanaman hutan. c. Tindak lanjut : kegiatan tindak lanjut dari hasil monitoring dan evaluasi guna penyempurnaan kebijakan penyelenggaraan perbenihan tanaman hutan. D. Sertifikasi Sumber Benih Sertifikasi sumber benih adalah proses pemberian sertifikat kepada sumber benih yang menginformasikan keadaan sumber benih yang bermutu, sedangkan sertifikat sumber benih adalah dokumen yang menyatakan kebenaran mutu sumber benih tanaman hutan. Sertifikasi sumber benih dilakukan untuk menjamin kebenaran klasifikasi sumber benih berdasarkan kualitas genetik. Berdasarkan kualitas genetiknya, sumber benih diklasifikasikan menjadi 7 kelas, berturut-turut adalah : 1. Tegakan Benih Teridentifikasi (TB Teridentifikasi); 2. Tegakan Benih Terseleksi (TB Terseleksi); 3. Areal Produksi Benih (APB); 4. Tegakan Benih Provenan (TB Provenans); 5. Kebun Benih Semai (KBS); 6. Kebun Benih Klon (KBK); 7. Kebun Benih Pangkas (KBP). Sumber benih dapat berada di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan. Sumber benih dalam Cagar Alam serta Zona Inti dan Zona Rimba pada Taman Nasional hanya untuk Tegakan Benih Teridentifikasi.
Sebelum
penerbitan Permenhut No P.01/2009, sumber benih dapat dikelola oleh pemerintah, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota, BUMN, BUMD, BUMS, koperasi atau perorangan. Namun menurut Permenhut No P.01/2009, sumber benih hanya dapat dikelola oleh BUMN, BUMD, BUMS, koperasi atau perorangan, sehingga menjadi pertanyaan bagaimana status pengelolaan sumber benih yang sebelumnya dikelola oleh pemerintah atau pemerintah daerah.
18
Berikut adalah pemegang kewenangan melakukan sertifikasi sumber benih berdasar Permenhut No P.01/2009 pasal 45 dan 51 : 1. Dinas Kabupaten/Kota melakukan sertifikasi terhadap sumber benih yang berada di wilayahnya: 2. Dinas Propinsi melakukan sertifikasi di wilayah Kabupaten/Kota terhadap Kabupaten/Kota yang belum memiliki Dinas Kehutanan atau tidak memilih urusan perbenihan tanaman hutan. 3. BPTH melakukan sertifikasi di wilayah Propinsi terhadap Propinsi dan Kabupaten/Kota yang belum memiliki Dinas atau Kabupaten/Kota tidak memilih urusan perbenihan tanaman hutan. Dinas Propinsi dan Kabupaten/Kota yang akan melaksanakan sertifikasi harus memenuhi standar kriteria sumberdaya manusia dan sarana tertentu sesuai yang ditetapkan dalam Permenhut P.01/2009 (namun tidak disebutkan siapa yang berhak melakukan akreditasi terhadap kelayakan Dinas tersebut). Selanjutnya dalam pasal 52 dinyatakan bahwa setiap pemanfaatan jasa atau sarana Pemerintah, Pemerintah Provinsi, atau Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan perbenihan tanaman hutan dikenakan pungutan jasa perbenihan tanaman hutan, termasuk dalam penerbitan sertifikasi sumber benih. Semua penerimaan dari pungutan tersebut merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang harus disetor ke Kas Negara. Besaran pungutan akan ditetapkan dengan peraturan perundangundangan. Sedangkan biaya sertifikasi di lapangan ditanggung oleh pemohon sertifikasi (pasal 46). Satu nomor sertifikat sumber benih hanya berlaku untuk satu lokasi sumber benih dan untuk satu jenis tanaman (spesies). Sertifikat sumber benih tidak berlaku apabila terjadi kerusakan pada sumber benih, perubahan fungsi/status sumber benih, dan tidak produktif lagi. Masa berlaku sertifikat sumber benih 5 (lima) tahun, setelah itu dapat dievaluasi kembali dengan prosedur yang sama. Berikut adalah standar sumber benih dari kriteria yang bersifat umum (berlaku untuk semua kelas sumber benih ), menurut Permenhut P.01/2009 : 1. Aksesibilitas : Lokasi sumber benih harus mudah dijangkau sehingga memudahkan untuk pemeliharaannya serta pengunduhan buahnya serta
19
mempercepat waktu pengangkutan. Lokasi sumber benih yang memiliki aksesibilitas yang baik juga akan lebih menjamin mutu fisik-fisiologis benih. 2. Pembungaan/pembuahan : Tegakan harus pernah berbunga dan berbuah, kecuali untuk kebun benih pangkas. 3. Keamanan : Tegakan harus aman dari ancaman kebakaran, penebangan liar, perladangan berpindah, penggembalaan dan penjarahan kawasan. 4. Kesehatan tegakan : Tegakan harus tidak terserang hama dan penyakit. 5. Batas areal : Batas areal harus jelas, sehingga pengumpul benih mengetahui tegakan yang termasuk sebagai sumber benih. 6. Terkelola dengan baik. Sumber benih jelas status kepemilikannya serta memiliki
indikator
manajemen
yang
baik,
seperti
pemeliharaan,
pengorganisasian, pemanfaatan benih dan lain-lain. Kriteria khusus sumber benih berbeda-beda menurut kelas sumber benihnya. Sebelum penerbitan Pemenhut No 01/2009, untuk kelas sumber benih TB Teridentifikasi, TB Terseleksi, dan APB (selanjutnya ketiganya disebut sumber benih kelas rendah), kriteria tersebut ditetapkan oleh Dirjen RLPS. Sedang Kepala Badan Litbang Kehutanan bertugas menetapkan kriteria khusus untuk sumber benih kelas tinggi, yaitu TB Provenans, KBS, KBK, dan KBP. Badan Litbang Kehutanan belum menerbitkan pedoman kriteria khusus tersebut hingga diterbitkannya Permenhut No P.01/2009 yang menetapkan kriteria khusus untuk masing-masing kelas sumber benih. Berikut adalah prosedur sertifikasi sumber benih menurut Permenhut P.01/Menhut-II/2009 : 1). Pemilik sumber benih mengajukan permohonan sertifikasi sumber benih kepada Dinas Kabupaten/Kota di wilayahnya dengan dilampiri dokumen pendukung. 2). Dalam hal Dinas Kabupaten/Kota belum dapat melakukan sertifikasi sumber benih, maka Dinas Kabupaten/Kota akan meneruskan permohonan kepada Dinas Propinsi. Demikian selanjutnya apabila Dinas Propinsi tidak dapat melakukan sertifikasi, maka Dinas Propinsi akan meneruskan permohonan kepada BPTH.
20
3). Atas dasar permohonan tersebut, Kepala Dinas Kabupaten/Kota atau Dinas Propinsi atau BPTH membentuk Tim Penilai dengan melibatkan unsur terkait dalam kegiatan sertifikasi sumber benih, antara lain Balai PTH, UPT Badan Litbang Departemen Kehutanan dan/atau tenaga pakar di bidangnya. 4). Tim Penilai melakukan pengumpulan informasi dengan orientasi lapangan (quick tour) untuk menentukan kelayakan sebagai sumber benih. Informasi yang dikumpulkan untuk menentukan kelayakan sumber benih digunakan sebagai bahan untuk memenuhi kriteria umum sumber benih. 5). Hasil identifikasi yang memenuhi kriteria umum sumber benih dapat diterima sebagai calon sumber benih, kemudian dilanjutkan dengan deskripsi keadaan tegakan sedangkan untuk sumber benih yang ditolak, Tim tidak melakukan deskripsi. 6). Tim memberikan laporan hasil pemeriksaan kepada Kepala Dinas kehutanan Kabupaten/Kota. 7). Kepala Dinas Kabupaten/Kota atau Dinas Propinsi atau Balai menerbitkan sertifikat sumber benih atas dasar laporan Tim dan disampaikan kepada pemilik sumber benih dengan tembusan kepada Balai. Menurut hasil penelitian Falah et al. (2008), berdasarkan status pengelola, pengusahaan sumber benih bersertifikat di Kalimantan bisa diklasifikasikan menjadi kelompok-kelompok berikut : 1). Pemegang sertifikasi adalah Dinas Kehutanan Kabupaten atau Propinsi, LSM, atau koperasi, sedang pengelola di lapangan adalah kelompok tani. Berupa tegakan benih teridentifikasi berasal dari hutan alam, luas bervariasi antara 10,0 hingga 200 ha. Pengelolaan tidak intensif, pemungutan benih masih tradisional, umumnya benih/bibit dikonsumsi oleh penangkar/pengedar benih untuk keperluan proyek rehabilitasi lahan oleh pemerintah. (Catatan : karena berdasarkan Permenhut P.01/2009 hanya BUMD, BUMS, BUMN, koperasi atau perorangan yang berhak mengelola sumber benih, masih menjadi pertanyaan akan diserahkan kepada siapa hak pengelolaan sumber benih yang sebelumnya dikelola Dinas Kehutanan Kabupaten atau Propinsi). 2). Pemegang sertifikasi dan pengelola adalah badan hukum perusahaan skala kecil/menengah. Kelas sumber benih adalah tegakan benih teridentifikasi, luas
21
bervariasi antara 1 ha hingga 53,86 ha. Pengelolaan kurang intensif, umumnya benih/bibit dikonsumsi oleh penangkar/pengedar benih untuk keperluan proyek rehabilitasi lahan oleh pemerintah. 3). Pengelola adalah pemegang IUPHHK-HT ( Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman) seperti PT ITCI Kartika Utama, PT Suka Jaya Makmur, PT Inhutani III Sebuhur dan Riam Kiwa, PT Dwimajaya Utama, dan lain-lain. Kelas sumber benih bervariasi dari tegakan benih teridentifikasi, tegakan benih terseleksi, Areal Produksi Benih, TB Provenans, hingga Kebun Benih dan Kebun Pangkas. Untuk tegakan benih teridentifikasi dan terseleksi umumnya berupa jenis tanaman hutan lokal, sedang APB hingga Kebun Benih adalah jenis tanaman non lokal. Benih/bibit sebagian besar dikonsumsi sendiri untuk keperluan HTI, sebagian kecil dipasarkan untuk keperluan reklamasi perusahaan tambang (seperti di PT ITCIKU), atau dipasarkan hingga ke Jawa (seperti di PT Inhutani III). E. Para pemangku kepentingan dalam Bidang Perbenihan Tanaman Hutan di Kalimantan Terdapat tiga kelompok pemangku kepentingan dalam bidang sertifikasi sumber benih di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, sebagai berikut : a. Pihak penentu kebijakan, yaitu Ditjen RLPS c.q. Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan (Dit.PTH). c.q. BPTH Banjarbaru. b. Pengelola sumber benih yang telah disertifikasi di wilayah Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan c. Konsumen benih : -
Konsumen benih tingkat pertama, yang mengambil benih dari sumber benih untuk disemaikan/dibibitkan sendiri dan diedarkan, yaitu pemegang hak pengusahaan Hutan Tanamam Industri (HTI), petani penangkar bibit, atau badan-badan hukum pengada/pengedar benih dan atau atau bibit.
-
Konsumen tingkat kedua, yang memanfaatkan bibit hasil persemaian untuk ditanam, baik instansi-instansi pelaksana GNRHL seperti BPDAS dan Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota, serta kelompok tani hutan rakyat sebagai pelaksana penanaman di lapangan.
22
Peran para pemangku kepentingan menurut kewajiban yurisdiksinya berdasar Permenhut P.01/2009 disajikan dalam Gambar 3. Kegiatan Litbang & Diseminasi Hasil Litbang :
Pembuat kebijakan (decision maker) tingkat nasional :
Balitbang, Perguruan Tinggi
Menhut, Dirjen RLPS
Operasional/ pelaksanaan Perijinan : Ditjen RLPS, Dinas
Diklat : Ditjen RLPS
Pemantauan, evaluasi : Ditjen RLPS
Pengawasan : Dinas Propinsi, Kabupaten/ Kota
Bimbingan, supervisi, konsultasi : Ditjen RLPS, Dinas Propinsi dan Kabupaten/Kota
Sertifikasi : BPTH, Dinas Propinsi dan Kabupaten /Kota
(Pembangunan & pengelolaan sumber benih, pengadaan dan peredaran benih/bibit ) : Pengada dan pengedar benih dan bibit
Pengelolaan sistem informasi: BPTH
Gambar 3. Skema fungsi peran para pemangku kepentingan dalam perbenihan tanaman hutan Jalur peredaran benih di Kalimantan untuk keperluan proyek pemerintah dalam rehabilitasi lahan disajikan pada Gambar 4.
Pengelola sumber benih (pengada benih)
Penanaman bibit
Penangkar bibit
Kelompok tani pelaksana lapangan
Pengada /pengedar bibit (badan hukum) Konsumen bibit tingkat II (Pemkab/Pemkot)
Konsumen bibit tingkat I (BPDAS atau Pemkab/ Pemkot)
Gambar 4. Jalur peredaran benih di Kalimantan untuk keperluan proyek rehabilitasi lahan (sumber : Falah et al., 2007) Dalam skema di atas, konsumen bibit adalah instansi pemerintah pelaksana proyek rehabilitasi lahan. Skema tersebut berlaku jika pengelola sumber benih hanya berperan sebagai pengada benih saja. Terdapat beberapa variasi dalam skema tersebut yang mempersingkat jalur peredaran benih, yaitu : 1. Pengelola sumber benih (pengada benih) juga berperan sebagai penangkar bibit, sehingga kegiatan produksi benihnya juga meliputi pengolahan benih menjadi bibit.
23
2. Penangkar bibit sekaligus berperan sebagai pengedar bibit. Sedangkan benih untuk keperluan non proyek pemerintah rehabilitasi lahan, biasanya digunakan untuk keperluan pengusahaan HTI, Hutan Tanaman Rakyat (HTR), atau reklamasi lahan tambang. Jalur peredaran benih untuk keperluan non proyek pemerintah disajikan dalam Gambar 5.
Pengelola sumber benih (pengada benih)
Penangkar bibit
Pengedar bibit
Konsumen bibit
Penanaman bibit
Gambar 5. Jalur peredaran benih di Kalimantan untuk keperluan selain proyek pemerintah (sumber : Falah et al., 2007) Keterangan gambar : a. Produsen bibit untuk keperluan pengusahaan HTI atau reklamasi lahan tambang adalah pengelola sumber benih serta penangkar bibit. b. Konsumen bibit adalah pemegang hak pengusahaan HTI, pengelola tambang, atau pengelola HTR. c. Pengelola HTR dapat berperan sekaligus sebagai penangkar dan konsumen bibit (tanpa pengedar), bisa juga membeli bibit dari pengedar.
F. Konsep Tataniaga Menurut Kohl dan Uhl (2002), tataniaga merupakan suatu peragaan dari aktivitas bisnis dan aliran barang dan jasa mulai dari titik produksi sampai ke konsumen akhir. Ada dua kelompok yang berbeda kepentingan dalam memandang tataniaga. Konsumen ingin mendapatkan harga yang rendah dan produsen ingin memperoleh penerimaan yang besar atas penjualan produk. Dalam kegiatan tataniaga terdapat saluran pemasaran. Menurut Limbong dan Sitorus (1987)), saluran tataniaga atau saluran pemasaran merupakan rangkaian lembaga-lembaga niaga yang dilalui barang dalam penyalurannya dari produsen dan konsumen. Dalam pelaksanaan aktivitas distribusi dari produsen kepada konsumen, produsen kerapkali harus bekerjasama dengan berbagai perantara, lembaga pemasaran sebagai perantara. Perantara atau lembaga pemasaran adalah orang atau badan yang menyelenggarakan kegiatan pemasaran, menyalurkan barang dan jasa dari produsen ke konsumen serta mempunyai
24
hubungan organisasi satu dengan lainnya (Stanton, 2003). Terlibatnya lembaga pemasaran dalam pergerakan produk dari produsen kepada konsumen menghasilkan marjin tataniaga. Marjin terjadi karena adanya biaya-biaya pemasaran (pengumpulan, pengangkutan, penyimpanan, pengolahan, dan lainlain) dan keuntungan lembaga pemasaran yang akhirnya menjadi faktor yang mempengaruhi pembentukan harga (Tomek dan Robinson, 1987 dalam Nurasa, 2003). Berdasarkan Gambar 3, dapat disimpulkan bahwa dalam tataniaga benih di Kalimantan terdapat dua macam saluran : 1. Saluran satu tingkat, yaitu apabila benih di sumber benih berupa bahan vegetatif (bibit) sehingga pengada benih kemudian juga berperan sebagai penangkar dan pengedar bibit. 2.
Saluran dua tingkat (two level channel) yang mencakup dua perantara antara produsen (pengada benih) hingga konsumen. Kedua perantara tersebut adalah pengada bibit serta pengedar bibit. Pengada bibit biasanya melakukan kegiatan pengolahan benih menjadi bibit (penangkaran bibit), sedang pengedar bibit melakukan kegiatan pengumpulan dan distribusi bibit kepada konsumen. Kotler (2002) dalam Rachma (2008) menyatakan bahwa berdasarkan
strukturnya, pasar dapat digolongkan menjadi dua, yaitu pasar bersaing sempurna dan pasar tidak bersaing sempurna. Pasar yang tidak sempurna berarti mengalami kegagalan pasar (market failure). Ciri-ciri pasar bersaing sempurna antara lain sebagai berikut : 1. terdapat banyak penjual dan pembeli. 2. Harga mencerminkan biaya produksi dan konsumsi. 3. Pertukaran informasi sempurna (symetric information). 4. Penjual dan pembeli bebas keluar masuk pasar. Tataniaga yang efisien dicirikan oleh tercapainya kepuasan bagi semua pihak, yaitu produsen, lembaga pemasaran, dan konsumen. Efisiensi tataniaga dapat diukur melalui dua cara, yaitu efisiensi harga dan efisiensi operasional. Efisiensi operasional menunjukkan biaya minimum yang dapat dicapai dalam pelaksanaan
fungsi
dasar
tataniaga,
yaitu
pengumpulan,
transportasi,
penyimpanan, pengolaham, distribusi, serta fasilitas. Pendekatan efisiensi
25
operasional dapat dilakukan melalui marjin tataniaga, farmer’s share, dan biaya tataniaga (Kohl dan Uhl, 2002). Marjin tataniaga adalah perbedaan harga yang diterima produsen dibanding harga yang dibayar konsumen. Efisiensi sistem tataniaga dapat dilihat dari distribusi marjin tataniaga yang merata antar tiap-tiap pelaku.
G.
Biaya Transaksi Kegagalan pasar akibat informasi, kompetisi, sistem kontrak, dan jual beli
yang asimetris menimbulkan biaya transaksi (transaction cost). Menurut North (1991), biaya transaksi adalah biaya untuk mengukur nilai atribut barang dan jasa yang akan dipertukarkan (information cost), biaya untuk melindungi hak atas barang (exclusion cost), biaya untuk menetapkan kontrak (contractual cost), dan biaya untuk menjalankan kontrak (policing cost).. Adanya biaya transaksi akan memperkecil keuntungan dari perdagangan. Suatu kelembagaan ekonomi dianggap efisien apabila biaya transaksinya dapat diminimumkan. Hobbs (1997) dan Yustika (2006) membagi biaya transaksi menjadi tiga kelompok berikut : a.
Biaya untuk menyiapkan kontrak (dapat diartikan sebagai biaya untuk pencarian dan informasi), termasuk di dalamnya adalah biaya untuk menentukan mitra dalam pertukaran, serta biaya mengumpulkan informasi mengenai harga, kualitas, dan jumlah suatu produk.
b.
Biaya untuk mengeksekusi kontrak, termasuk di dalamnya biaya komisi, biaya negosiasi syarat-syarat pertukaran dalam kontrak, dan biaya membuat kontrak formal.
c.
Biaya pengawasan (monitoring) dan pemaksaan kewajiban yang tertuang dalam kontrak (enforcing the contractual obligations), meliputi biaya pemantauan pelaksanaan syarat-syarat kontrak (dalam hal ini kualitas dan kuantitas produksi benih, pengedaran benih) akibat adanya persoalan bencana moral (moral hazard).