4
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikroorganisme Penyebab Pustul Bakteri Xanthomonas campestris pv. glycines merupakan bakteri penyebab penyakit pustul pada tanaman kedelai (Moffet dan Croft 1983). Sinonimnya adalah Xanthomonas campestris
pv. phaseoli (Semangun 1991). Berdasarkan homologi DNA-DNA,
Xanthomonas campestris pv. glycines diusulkan namanya menjadi Xanthomonas axonopodis pv. glycines (Vauterin 2000). Morfologi sel Xag berbentuk batang, berukuran 0,5-0,9 x 1,4-2,4 µm, mempunyai satu flagela polar dan bersifat Gram negatif. Pada medium Beef Infusion Agar koloninya berwarna kuning pucat dan semakin lama akan menjadi kuning tua, berukuran kecil, dan sirkuler dengan tepian yang halus. Bakteri ini sangat cepat menghidrolisis pati, menghasilkan auksin, bakteriosin, dan eksopolisakarida (Sinclair dan Beckman 1989). Sebagai anggota dari genus Xanthomonas , bakteri ini bersifat oksidatif, dan aerobik obligat (Briyant et al. 1979). Sedangkan menurut Lelliot dan Stead (1987), patovarpatovar X. campestris mempunyai sifat Gram negatif, katalase positif, pertumbuhan terhambat oleh 0,02-0,1% TZC (triphenyl tetrazolium chloride), koloni berwarna kuning madu pada medium kentang agar dekstrosa, dan melakukan respirasi aerobik. Temperatur optimum pertumbuhan bakteri ini adalah berkisar 30-33oC, temperatur maksimum 38 oC dan temperatur minimum 10 oC. Bakteri ini sangat sesuai untuk berkembang dengan baik di daerah beriklim hangat (Kennedy dan Tachibana 1973). Genom Xag terdiri atas kromosom dan dilaporkan beberapa spesies Xanthomonas mengandung plasmid-plasmid kriptik (Kado 1992). Widjaya (1996) melaporkan bahwa Xag YR32 mempunyai satu kromosom sirkuler dengan ukuran sekitar 5020 kilo pasang basa (kb). Berdasarkan pada hasil analisis menggunakan pulse field gel electrophoresis (PFGE), diketahui bahwa strain Xag YR32 memiliki plasmid indigenous yang berukuran lebih dari 10,5 kb (Suwanto 1994b). Pada strain lain, Rosana et al. (1995) melaporkan bahwa strain Xag 8ra mempunyai satu kromosom sirkuler dan diduga memiliki plasmid endogenous. Sementara itu, pada strain Xag 333 dari Brazil diperoleh adanya dua plasmid indigenous multikopi yang masing-masing berukuran sekitar 25 kb dan 1,7 kb (Baldini 1999). Selanjutnya Sharma et al. (1994) melaporkan bahwa strain Xag yang diisolasi dari tanaman kedelai dari Maharashtra, India, memiliki dua jenis plasmid kriptik yang masing-masing ukuran 1,5 kb dan 25 kb. Genom X. campestris mengandung % molekul (G+C) DNA berkisar 63-71% (Bradbury 1984).
5
2.2 Gejala dan Epidemiologi Penyakit Pustul Bakteri Penyakit pustul bakteri banyak terdapat di daerah yang beriklim lembab, hangat, dan sering hujan, termasuk Indonesia. Di Indonesia, pustul bakteri termasuk salah satu penyakit yang sangat merugikan petani kedelai. Serangan bakteri pustul mengakibatkan perontokan daun lebih cepat (premature defoliation) dan penurunan ukuran dan jumlah biji. Gejala awal penyakit ini ditandai munculnya bintik hijau pucat pada permukaan daun, terutama permukaan bawah daun. Titik kuning akan terbentuk pada bagian tengah bintik (Gambar 1). Pelukaan daun sering terjadi di daerah anak tulang daun (vena) dan bintik akan bergabung dan membentuk luka den gan bentuk yang tidak beraturan. Berdasarkan epidemiologinya, pustul bakteri dibawa oleh angin atau hujan atau tetesan air pantulan dari tanah. Penyakit dapat menyebar selama penanaman melalui daun yang basah. Bakteri dapat masuk pada tanaman melalui bagian tanaman yang terbuka seperti stomata atau luka. Iklim hangat dan seringnya hujan akan mempercepat perkembangan penyakit. Infeksi terjadi dan masuk ke ruang antar sel. Di dalam ruang antar sel, bakteri memperbanyak diri dengan suplai nutrien berasal dari inang. Gejala penyakit timbul setelah 20-30 hari setelah infeksi, hal ini ditandai dengan penonjolan kearah abaksial dan adaksial daun. Gejala penyakit diikuti dengan penguningan daerah sekitar yang terinfeksi. Gejala ini menunjukkan terjadinya kematian di sekitar sel daun yang terinfeksi. Nekrosis akan semakin besar dan akhirnya terbentuk lubang. Bakteri pustul dapat bertahan hidup selama 2,5 tahun dalam benih. Apabila benih yang mengandung patogen tersebut ditanam, patogen akan aktif kembali, oleh karena itu biji yang terinfeksi merupakan sumber inokulum atau sumber penularan yang sangat penting bagi terjadinya epidemi penyakit pustul bakteri di lapangan. Satu biji terinfeksi dalam seribu biji sehat, apabila ditanam dalam kondisi yang sesuai, sudah cukup sebagai sumber terjadinya epidemi untuk patogen ini di lapangan (Agarwal dan Sinclair 1987).
6
Gambar 1. Pustul bakteri pada kedelai (Rukayadi 1998) Keterangan : Gejala kuning pada permukaan bawah daun. Titik kuning terbentuk pada tengah bintik
Umumnya penyakit pustul bakteri sangat merugikan para petani kedelai di Indonesia. Demikian juga di dunia, 40% hasil panen kedelai berkurang setiap tahunnya. Pengendalian penyakit pustul bakteri dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain, rotasi tanaman, termasuk metode yang efektif untuk menghindari inokulum yang berasal dari tanaman kedelai sebelumnya. Di laboratorium kami, penelitian yang mengarah pada pengendalian penyakit pustul bakteri dilakukan oleh Khaeruni (1998) yang melaporkan bahwa aplikasi suspensi biokontrol yang disuplementasi dengan bakteri kitinolitik WS7b dan fotosintetik anoksigenik MB7 sangat signifikan terhadap kesintasan P. fluorescent B29, selain itu dapat menghambat populasi Xag endogen dan Xag YR32, menekan populasi jamur filosfer, menghambat kecepatan penyakit, meningkatkan berat basah tanaman, polong dan berat kering kedelai.
7
2.3 Patogenisitas pada Bakteri Patogenisitas merupakan kemampuan patogen untuk menimbulkan suatu penyakit dengan melumpuhkan pertahanan inang, sedangkan virulensi
adalah
derajat
patogenisitas. Bakteri yang dapat menyebabkan penyakit mempunyai faktor-faktor khusus sebagai faktor virulen. Faktor-faktor virulen berperan dalam mempertahankan kesintasan bakteri pada lingkungan yang sangat ekstrim bagi mikrob tersebut, terutama lingkungan endogen inang. Beberapa sinyal dapat mengontrol ekspresi faktor virulen, misalnya kadar oksigen, temperatur, konsentrasi ion, dan pH (Pettersson et al. 1996). Bakteri patogen melakukan beberapa strategi untuk dapat melumpuhkan inang, diantaranya harus dapat masuk ke dalam inang, menembus pertahanan inang, dan merusak sel inang. Bakteri patogen dapat masuk ke dalam inang melalui beberapa portals of entry. Pada tanaman, bakteri patogen dapat masuk melalui stomata, hidatoda, atau luka. Bakteri patogen dapat menembus pertahanan inang melalui beberapa cara, diantaranya dengan membentuk kapsul untuk mencegah fagositosis. Komponen dinding sel berupa protein dinding sel sebagai fasilitas pencegahan fagositosis. Enzim -enzim yang disekresikan oleh mikrob dapat membantu melumpuhkan pertahanan inang. Bakteri patogen dapat merusak sel inang secara langsung dan tidak langsung. Sel inang dirusak secara langsung oleh hasil metabolisme dan multiplikasi bakteri di dalam sel inang. Selain itu, sel inang dirusak secara tidak langsung oleh toksin yang dihasilkan bakteri, yaitu eksotoksin dan endotoksin (Wilson et al. 2002). Toksin analogi dengan senjata biologi yang berupa molekul protein atau nonprotein yang dihasilkan oleh bakteri untuk menghancurkan atau merusak sel inang. Toksin nonprotein adalah lipopolisakarida (LPS) yang merupakan endotoksin pada bakteri Gram negatif dan asam teikoat pada bakteri Gram positif. Toksin protein umumnya adalah eksotoksin. Toksin ini adalah enzim yang dikirimkan ke sel eukariotik dengan dua metode yang berbeda, yaitu : (1) sekresi ke dalam lingkungan sekitar atau (2) langsung diinjeksikan ke sitoplasma sel inang melalui sistem sekresi tipe III atau mekanisme lainnya. Eksotoksin bakteri dapat dikategorikan ke dalam tiga tipe berdasarkan komposisi dan fungsi asam aminonya, yaitu : (1) toksin A-B, (2) toksin proteolitik, dan (3) toksin pembentuk pori (pore forming toxin) (Wilson et al. 2002). Beberapa spesies bakteri yang memproduksi toksin A-B diantaranya adalah Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Vibrio cholerae. Toksin A-B mempunyai dua komponen, yaitu subunit A yang mempunyai aktivitas enzimatik dan subunit B yang
8 bertanggung jawab atas pengikatan dan pengiriman toksin ke dalam sel inang. Toksin proteolitik berperan dalam pemecahan protein inang menjadi gejala penyakit, contohnya botulinum dari Clostridium botulinum. Target botulinum adalah synaptobrevin yang mencegah pengeluaran neurotransmitter yang dapat menyebabkan paralysis. Botulinum dapat mencerna synaptobrevin dan menyebabkan paralysis susunan saraf periferi. Membrane-disrupting toxins ditemukan pada beberapa spesies bakteri dan membentuk pori pada membran sel inang yang akhirnya sel menjadi lisis (Wilson et al. 2002). Toksin pembentuk pori merupakan toksin yang mampu membentuk pori pada sel target yang memfasilitasi masuknya toksin yang disekresikan, sebagai contoh Colicin pada E. coli (Parker dan Feil 2004). 2.4 Mekanisme Patogenisitas pada Bakteri Pada dasarnya gejala penyakit pada tanaman disebabkan oleh masuknya protein tertentu atau toksin yang dihasilkan oleh patogen ke dalam sel inang. Masuknya protein ini ke dalam sel tanaman menyebabkan dua fenomena. Pada tanaman yang rentan, infeksi menyebabkan gejala dan dapat diikuti dengan kematian jaringan dan akhirnya kematian tanaman (compatible interaction). Pada tanaman yang resisten atau tanaman bukan inang akan terjadi reaksi hipersensitif yang ditandai dengan adanya nekrosis pada area yang terinfeksi (incompatible interaction) (Wiggerich et al. 2000). Selama kurun waktu dua dekade ini, penelitian yang mengarah ke mekanisme patogenisitas pada bakteri terhadap tanaman ataupun hewan dan manusia sudah banyak dilakukan. Penelitian-penelitian ini menghasilkan hipotesis-hipotesis tentang mekanisme patogenisitas pada bakteri. Ada beberapa hipotesis yang menunjukkan jalur sekresi protein pada bakteri Gram negatif. Hueck et al. (1998) menyatakan ada empat tipe jalur sekresi, yaitu Type I sec -independent pathway (T1SS), Type III secindependent pathway (T3SS), serta Type II dan Type IV sec-dependent secretion pathway (T2SS dan T4SS). Gambar 2 menunjukkan bagan skematik sistem sekresi protein. Hueck et al. (1998), Buttner & Bonas (2002) dan Noel et al. (2002) menyatakan bahwa sistem sekresi tipe I (T1SS) serupa dengan tipe III (T3SS), yaitu tidak tergantung pada sistem sekresi dan tidak melibatkan proses amino terminal dari protein yang disekresikan. Beberapa T1SS ditunjukkan pada sistem sekresi alpha-hemolisin E. coli, adenilat siklase oleh B. pertusis, leukotoksin oleh Pasteurella haemolytica, dan protease oleh P. aeruginosa dan Erwinia crysanthemi. T1SS memerlukan tiga protein sekretori, yaitu
9 pada membran dalam suatu ATP-binding cassette protein (ABC protein), yang menyediakan energi untuk sekresi protein. Protein membran luar yang mengeluarkan protein melalui jalur sekresi. Membran fusi protein yang membantu protein meninggalkan membran dalam dan menjangkau ruang periplasmik. Paling sedikit piranti T3SS tersusun atas 20 protein, sebagian ada di membran dalam dan memerlukan ATP-ase yang terikat membran. Protein yang disekresi melalui jalur tiga tidak mengalami proses amino terminal selama sekresi. Sistem ini sebagai mesin translokasi protein patogenisitas ke dalam sitosol sel eukariotik. Sekresi protein diregulasi oleh kontak dengan permukaan sel target. Pada T3SS melibatkan needle yang menghubungkan sel bakteri dengan sel tanaman.
protein membran lipoprotein
enzim, chaperone s
Gambar 2. Skema prediksi lokasi subselular faktor virulen pada bakteri Gram negatif dan Gram positif (http://www.jenner.ac.uk/BacBix3/pPvir_facs.htm)
10
Gambar 3. Skematik lima jalur utama sistem sekresi. Keterangan : ABC eksporter E. coli Hly (T1SS), jalur Xcp P. aeruginosa (T2SS), sistem Ysc untuk sekresi protein Yop pada Yersinia (T3SS), sistem VirB dan Cag A. tumefaciens dan H. pylori (T4SS), dan sekresi IgA1-protease pada N.gonorrhoeae (autotransport er atau T5SS). IM, membran dalam; OM, Membrane luar; N, amino terminal; C, karboksil terminal (Omori dan Idei 2003)
11
Jalur T2SS dan T4SS melibatkan tahap yang terpisah dari transpor melalui membran dalam ke membran luar. Protein yang dikeluarkan pada jalur ini ditandai adanya 30 asam amino, terutama berupa signal sekuen amino terminal yang hidrofobik. Signal sekuen membantu protein ke luar dan dipotong oleh signal peptidase yang ada di periplasmik ketika protein mencapai periplasmik. Jalur T4SS termasuk kelompok autotransporter, diantaranya immunoglobulin gonococcal dan protease lain dari Helicobacter pylori. Pada jalur T4SS, protein dikeluarkan dari sitoplasma melalui jalur sekresi dan terjadi pemotongan signal peptida amino terminal. Pada bakteri Gram positif, eksotoksin dikeluarkan melalui ABC transporter. Desvaux et al. (2006) menyatakan bahwa T3SS terdapat juga pada bakteri Gram positif. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa faktor virulen pada bakteri Gram positif dikeluarkan melalui ABC transporter dan melalui T3SS. Omori dan Idei (2003) mengemukakan bahwa sistem transport eksoprotein pada bakteri Gram negatif melibatkan lima tipe. Autotransporter mempunyai kelompok tersendiri, yaitu T5SS, seperti terlihat pada Gambar 3. Eksotoksin di dalam sel tanaman dapat menyebabkan gejala penyakit atau hanya reaksi hipersensitif. Hal ini sangat tergantung dari genotip tanaman. Butner dan Bonas (2002) mengemukakan hipotesis mekanisme terjadinya penyakit atau pertahanan pada tanaman setelah diinfeksi oleh patogen seperti terlihat pada Gambar 4. Pada Gambar 4 dapat dijelaskan bahwa protein AvrBs3 mempunyai karakteristik 34 asam amino berulang, dua karboksil terminal fungsional sebagai sinyal lokalisasi di inti (NLSs) dan suatu acidic activation domain (AAD). AvrBs3 masuk ke dalam sel inang melalui T3SS. Di dalam sel tanaman, NLSs berikatan dengan importin α dan bersama-sama dengan importin β menuju inti sel. Secara langsung maupun tidak langsung (melalui protein X) interaksi antara AvrBs3 dengan DNA tanaman memulai untuk modulasi transkriptom inang dan muncul gejala penyakit pada tanaman yang rentan. Pada tanaman yang resisten respons pertahanan diinduksi pengenalan AvrBs3 protein R Bs3 (Butner dan Bonas 2002).
12
Gambar 4. Hipotesis model mekanisme molekuler aktivitas virulen dan avirulen dari AvrBs3 pada Xanthomonas campestris pv vesicatoria (Buttner dan Bonas 2002).
2.5 Protein Membran Dalam (Inner Membrane Proteins) Beberapa protein membran seperti reseptor, protein pembentuk pori, pompa ion, pengangkut nutrien dan metabolit, protein fotosintetik dan protein transport determinan virulen, dan toksin sangat penting untuk komunikasi sel dengan lingkungannya. Proteinprotein tersebut termasuk protein membran dalam atau inner membran proteins (IMPs). Pada dasarnya IMPs merupakan protein transmembran atau protein integral yang tertanam pada membran dalam bakteri Gram negatif atau Gram positif. Fungsi IMPs pada bakteri Gram negatif sangat erat kaitannya dengan transportasi molekul dari dalam sel (sitosol) menuju ke luar sel (lingkungan) vice versa. Selain itu, IMPs juga mempunyai fungsi yang sama pada Gram positif, yaitu sebagai sarana transportasi molekul, tetapi masih terbatas literatur yang mendukung tentang IMPs pada Gram positif.
13 Karakteristik IMPs sangat unik untuk setiap jenis atau famili, sangat tergantung pada fungsi dari protein itu pada sel. Alberts et al. (2002) menyatakan bahwa beberapa membran protein melalui lipid bilayer, protein transmembran ini bersifat ampifatik, mempunyai daerah hidrofobik dan daerah hidrofilik. Daerah hidrofobik melalui membran dan berinteraksi dengan ekor hidrofobik di dalam molekul lipid di bagian dalam bilayer. Bagian hidrofilik terdedah air pada satu atau sisi lain dari membran. Beberapa jenis protein transmembran berdasarkan jenis dan bentuknya dapat dilihat pada Gambar 5. Menurut Alberts et al. (2002), protein transmembran selalu mempunyai orientasi yang unik pada membran yang menunjukkan model asimetris yang sangat tergantung pada mekanisme sintesis dan menyisipnya protein tersebut pada lipid bilayer membran dan perbedaan fungsi pada domain sitoplasmik atau nonsitoplasmik.
Kedua domain ini
dipisahkan oleh rentang ikatan polipeptida yang berhubungan dengan daerah hidrofobik lipid bilayer dan sebagian besar tersusun atas residu asam amino nonpolar. Pemahaman tentang fungsi dan struktur IMPs perlu disertai dengan pemahaman biogenesisnya. Sebagai bakteri model, penelitian biogenesis IMPs lebih fokus pada Escherichia coli (E. coli),. Sementara itu, penelitian-penelitian serupa pada bakteri lain belum pernah diteliti. Pada dasarnya IMPs berfungsi sebagai alat transportasi metabolit, ion, gula, dan protein dari sel ke lingkungannya vice versa, dan protein yang ditranspor berupa toksin atau protein virulen determinan yang terlibat dalam petogenisitas. Pada E. coli, integrasi protein dapat terjadi melalui mekanisme Sec-dependent atau Secindependent. Mayoritas IMPs dibawa ke membran oleh signal recognition particle (SRP) dan dibantu reseptor Fts Y yang menjadi media pembawa pada Sec-translocon. SRP E. coli mempunyai homologi dengan SRP eukariot, tetapi komposisinya lebih sederhana. Inti Sec-translocon terdiri atas komponen membran integral SecY, SecE, dan SecG, yang membentuk suatu heterotrimer dan SecA suatu subunit perifer. Translocon, sebagai suatu porus translokasi untuk protein sekretori dan IMPs. SecA adalah ATPase yang berfungsi sebagai motor molekuler dan mengendalikan translokasi protein sekretori melalui porus SecYEG (de Gier & Luirink 2001).
14
Gambar 5. Beberapa tipe protein terikat membran lipid bilayer. Keterangan : Sebagian besar protein transmembran terikat melintasi lipid sebagai (1) single α heliks, (2) multipel α heliks atau (3) β-sheet (β barrel). Beberapa protein single-pass dan multipass terikat secara kovalen pada ikatan asam lemak pada lipid-monolayer sitosol (1). Membran protein lain terdedah hanya pada satu sisi membrane. (4) beberapa terikat pada permukaan sitosol suatu α helix ampifatik ke dalam monolayer lipid bilayer sitosol melalui permukaan hidrofobik heliks. (5) Lainnya, terikat pada bilayer oleh ikatan kovalen dalam monolayer sitosol atau (6) melalui suatu ikatan oligosakarida pada fosfatidilinositol dalam monolayer nonsitosolik. (7,8) beberapa protein terikat pada membran hanya oleh interaksi nonkovalen dengan protein membran lain (Alberts et al. 2002).
Untuk memahami
biogenesis IMPs pada
E. coli, diperlukan beberapa
pengetahuan translokasi protein. Sebagian besar komponen melibatkan protein translokasi membran dalam (IM) E. coli, yang disebut sekresi. Protein sekretori dipelihara dalam suatu translocation-competent state oleh chaperon SecB. Preprotein dikirimkan pada Sec translocon dan Sec translocon menjadi perantara translokasi protein sekretori melewati IM. Inti dari Sec translocon terdiri atas protein membran integral SecY, SecE, dan SecG, dan subunit perifer SecA. SecA terdiri atas dimer, bersama-sama dengan SecYEG membentuk mesin proton motive force dan ATP-driven yang mengendalikan translokasi protein sekretori melewati (IM). Selain itu, ada jalur
15 sekresi protein lain yaitu jalur TAT. Preprotein yang ditransport oleh jalur TAT biasanya mengikat kofaktor dan melipat sebelum translokasi melewati IM, sedangkan Sec hanya dapat mengakomodasi ikatan peptida yang tidak melipat (Gambar 6) (de Gier dan Luirink 2001). Akhir-akhir ini telah dibuktikan bahwa IMPs YidC terlibat dalam penyusunan IMPs Sec-translocase-dependent pada membran. Bukti menunjukkan bahwa YidC merupakan bagian dari Sec -translocase dan terlibat dalam pelepasan sebagian IMPs transmembran dari Sec-translocase ke dalam lapisan lipid bilayer. Selain itu, YidC terlibat juga dalam penyusunan
IMPs
Sec-translocase-dependent
dan
Sec-translocase-independent
(Froderberg et al. 2003).
Gambar 6. Jalur target dan insersi protein membran pada E. coli. Keterangan : Dalam E. coli, jalur insersi terdiri atas modul SRP , SecYEG, SecAYEG dan YidC. Kombinasi berbeda dari modul ini (SRP/YidC, SRP/SecYEGYidC, dan YidC) menjadi jalur insersi yang memperantarai masuknya IMPs ke dalam IM. Modul SecAYEG dapat bekerjasama dengan chaperon SecB untuk translokasi protein melintasi IM (de-Gier dan Luirink 2001).
16 2.6 ATP Binding Cassette Transporter (ABC Transporter) Gen ABC transporter merupakan superfamili gen yang menyandikan protein ABC transporter dan satu dari sebagian besar famili yang ada pada prokariot sampai dengan manusia. ABC transporter adalah protein transmembran yang berfungsi untuk transportasi berbagai substrat termasuk produk metabolit, lemak dan sterol, antibiotik, protein seperti toksin, virulen determinan, gula, dan ion melintasi membran dalam dan luar. Protein diklasifikasikan sebagai ABC transporter berdasarkan ATP-binding domain, juga diketahui sebagai nucleotide-binding folds (NBFs) (Nikaido 2002). Gen ABC transporter pertama kali diidentifikasi 30 tahun lalu pada prokariot. Protein ini menggunakan energi hidrolisis ATP untuk transportasi beberapa substrat melintasi membran sel. Pada eukariot, ABC transporter terutama mentranspor molekul ke luar membran plasma atau ke dalam pada mitokondria, dan retikulum endoplasma. Idealnya struktur suatu ABC transporter terdiri atas dua transmembran domain (TMs), masing-masing terdiri atas α-heliks yang melintasi fosfolipid bilayer beberapa kali. Heliks ini membentuk multipas tiga sampai lima kali, antara TMs terdapat ligand binding domain yang menghadap sisi ekstraseluler protein sebagai importer dan pada sisi sitoplasmik sebagai eksporter. Protein ABC juga terdiri atas satu atau dua ATPbinding domain(s), suatu nucleotide-binding folds (NBFs) dan terdapat pada membran sisi sitoplasmik. ATP-binding domain terbagi menjadi dua motif, yaitu Walker A dan Walker B yang dipisahkan oleh sekitar 90-120 asam amino. Motif lainnya adalah motif C atau motif signature (LSGGQ) yang terdapat diantara Walker Motif A dan Walker Motif B. Motif signature terdiri atas asam amino pendek dan sangat conserved (Nikaido 2002). Pearson et al. (2004) menyatakan bahwa suatu ABC transporter mempunyai beberapa kriteria, yaitu N-terminal tersusun atas asam amino hidrofobik, mempunyai tiga sampai lima putative transmembran region, mempunyai signal peptida, C-terminal mempunyai ABC ATP-ase Walker motif, Walker motif A (GXXGKT), Walker motif B (KXHD ), X merupakan residu asam amino nonconserved, motif signature (LSGGQ), dan motif EAA pada sistem impor ABC. Menurut Saurin et al. (1998), berdasarkan fungsinya, protein ABC dikelompokan menjadi dua kelompok besar yaitu ABC-A dan ABC-B. ABC-A berfungsi sebagai protein ABC yang mengekspor molekul dari dalam sel ke luar sel, sedangkan ABC-B berfungsi sebagai protein ABC yang mengimpor molekul dari luar sel ke dalam sel. ABC-A terbagi menjadi ABC-A1 dan ABC-A2. ABC-A1 diantaranya mengekspor molekul protein, bakteriosin, toksin. ABC-A2 mengekspor polisakarida, dan antibiotik. ABC-A umumnya
17 terdapat pada prokariot dan eukariot. ABC-B juga terbagi menjadi ABC-B1 dan ABC-B2. ABC-B1 diantaranya mengimpor ion besi siderophore dan metal, ion oligosakarida, molybdenum, asam amino polar, glycine-betaine, nitrat, dan oligopeptida. ABC-B2 mengimpor antibiotik resisten, monosakarida-C, monosakarida-N. ABC-B hanya dijumpai pada prokariot (Saurin et al. 1998). ABC transporter dapat diklasifikasi menjadi half transporter atau full transporter. Full transporter terdiri atas dua TMs dan NBFs. Half transporter hanya terdiri atas satu TMs dan NBFs dan harus berkombinasi dengan half transporter lain agar dapat berfungsi. Half transporter dapat membentuk homodimer jika dua ABC transporter identik bersatu dan heterodimer jika dua ABC transporter tidak identik bersatu (http://en.wikipedia.org/wiki). Ilustrasi dapat dilihat pada Gambar 7.
A
B
C
Gambar 7. Struktur skematik beberapa ABC transporter. Keterangan : (A) Pada bakteri, beberapa transporter tersusun atas dua subunit transmembran (persegi) dan dua subunit ATPase (bulat). Jika suatu importer, diperlukan suatu subunit ke lima, suatu periplasmik-binding protein. (B) Pada beberapa transporter bakteria, dua domain ATPase berfusi menjadi protein tunggal. (C) Sebagian besar transporter pada jamur dan hewan, semua domain berfusi menjadi polipeptida tunggal (Nikaido 2002).
18 2.7 ATPase ATPase merupakan salah satu kelas enzim yang mengkatalisasi penguraian adenosine trifosfat (ATP) menjadi adenosine difosfat (ADP) dan ion fosfat bebas. Reaksi defosforilasi
akan
melepaskan
energi
dan
energi
tersebut
digunakan
untuk
mengendalikan reaksi kimia lainnya. Secara luas, proses ini digunakan dalam semua bentuk kehidupan (Gambar 8). Transmembran ATPase mengimpor beberapa metabolit penting yang terlibat metabolisme sel dan mengekspor toksin, sampah dan ion-ion yang dapat mengganggu proses seluler. Suatu contoh penting adalah pertukaran ion Na+ dan K+ (atau Na+/K+ ATPase), yang menjadikan keseimbangan konsentrasi ionik dan memelihara potensial sel. Contoh lain adalah hidrogen K+ ATPase (H+/K+ ATPase atau pompa proton lambung) yang memelihara keasaman lambung. Transmembran ATPase membentuk energi potensial kimia ATP karena terjadi perpindahan metabolit yang melawan gradien konsentrasi. Pada model transpor ini terjadi perpindahan metabolit dari konsentrasi rendah menuju konsentrasi tinggi. Proses ini dikenal dengan transpor aktif (Alberts et al. 2000).
Gambar 8. Hidrolisis ATP. Keterangan : Hidrolisis fosfat terminal dari ATP menghasilkan antara 11 dan 13 kcal/mol tergantung pada kondisi intraseluler. Lepasnya fosfat terminal membentuk muatan negatif, lepasnya ion fosfat inorganik (Pi) distabilkan oleh pembentukan ikatan hydrogen dengan air (Alberts et al. 2002).