3
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sifat Fisika Kimia Abu Terbang Abu terbang adalah bagian dari sisa pembakaran batubara berupa bubuk halus dan ringan yang diambil dari tungku pembakaran yang mempergunakan bahan bakar batubara pada pusat pembangkit listrik tenaga uap. Mutunya sangat berbeda satu dengan yang lainnya, bergantung dari sumber batubara yang dipergunakan, efisiensi, suhu pembakaran (bergantung pada macam tungku yang dipakai untuk pembakaran batubara), serta cara pengendapan abu dari gas pembakaran (Supriyono dan Sutopo, 1994). Menurut Hayati (2010) secara kimia abu terbang merupakan material oksida anorganik yang mengandung silika dan alumina aktif karena sudah melalui proses pembakaran pada suhu tinggi. Abu terbang bersifat aktif, yaitu dapat bereaksi dengan komponen lain untuk membentuk material baru yang tahan terhadap suhu tinggi. Secara kimia abu terbang terdiri dari SiO2 (58,90%), Al2O3 (28,34%), Fe2O3 (4,30%), TiO2 (1,00%), K2O (0,43%), Na2O (1,22%), CaO (2,30%), MgO (0,81%), SO3 (0,96%), dan karbon (1,74%). Ukuran butiran abu terbang lebih halus dari 120 mesh. Bahan ini bersifat aktif dengan adanya air dapat bersenyawa dengan hidroksida Ca(OH)2 pada suhu kamar dan membentuk senyawa yang mempunyai sifat seperti semen yaitu mengeras dalam waktu tertentu (Supriyono dan Sutopo, 1994). Komposisi kimia abu terbang bergantung pada kualitas batubara yang digunakan dan kondisi operasi di TPS (Thermal Power Station). Rata-rata 95-99% abu terbang terdiri dari oksida Si, Al, Fe, dan Ca serta sekitar 0,5-3,5% terdiri dari Na, P, K, dan S. Oleh karena itu abu terbang dapat digunakan sebagai bahan pembenah untuk pertanian (Aktar, 2008). Abu terbang umumnya bersifat alkalin, namun pH abu terbang dapat bervariasi dari 4,5-12. Nilai pH abu terbang sebagian besar ditentukan oleh kandungan sulfur dalam bahan induk batubara, tipe batubara yang digunakan selama pembakaran, dan kandungan sulfur dalam abu terbang (Haynes, 2009).
4
Menurut Supriyono dan Sutopo (1994), warna abu terbang batubara dipengaruhi oleh waktu pembakaran yang menggunakan bahan bakar batubara. Apabila warna abu terbang batubara makin muda berarti hasil pembakaran makin sempurna dan mutunya makin baik. Umumnya abu terbang batubara berwarna abu-abu dan biasanya bervariasi sampai hitam.
2.2. Perubahan Sifat Tanah Akibat Aplikasi Abu Terbang Aplikasi abu terbang ke tanah dapat menyebabkan perubahan beberapa sifat tanah, seperti bobot isi, pH tanah, ketersediaan unsur hara, dan sifat biologi. 2.2.1. Bobot Isi Ukuran partikel abu terbang mirip dengan liat dan akan mempengaruhi bobot isi tanah. Beberapa percobaan yang dilakukan untuk mengukur sifat fisik dari jenis tanah berlempung dicampur dengan perbandingan abu terbang 50% menunjukkan bahwa campuran tanah dengan abu terbang cenderung memiliki bobot isi yang rendah dibanding tanah tanpa campuran abu terbang (Basu et al., 2009). Selanjutnya menurut Aktar (2008), penambahan abu terbang pada tanah pertanian cenderung menurunkan bobot isi, sehingga tanah tersebut menjadi mudah meneruskan air dan ditembus akar tanaman. 2.2.2. pH Tanah (Kemasaman tanah) Pada umumnya abu terbang yang dihasilkan bersifat alkalin, yang dapat digunakan untuk meningkatkan pH tanah (Aktar, 2008). Abu terbang yang diproduksi di India adalah basa, maka dengan aplikasi untuk tanah pertanian dapat meningkatkan pH tanah dan dengan demikian dapat menetralkan sifat masam pada tanah. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa penggunaan abu terbang sebagai agen pengapuran pada tanah asam dapat meningkatkan hasil panen. Penggunaan berlebihan abu terbang untuk mengubah pH dapat meningkatkan salinitas tanah (Basu et al., 2009). 2.2.3. Ketersediaan Unsur Hara Konsentrasi P tersedia, K, dan Na meningkat setelah pemberian abu terbang dengan kadar 0 ton/ha, 1,5 ton/ha, dan 3,0 ton/ha pada tanah dengan bahan induk granit, kapur, dan batu pasir, yang diambil dari solum 0-10 cm dan 10-25 cm. Kalsium dan magnesium meningkat terutama pada tanah berbahan induk kapur.
5
Pada unsur Fe, Mn, Zn, dan Cu meningkat pada jenis tanah dengan bahan induk granit, kapur, dan batu pasir (Inthasan et al., 2002). 2.2.4. Sifat Biologi Informasi mengenai pengaruh pemberian abu terbang pada sifat biologi tanah sangat langka. Hasil percobaan laboratorium mengungkapkan beberapa aplikasi abu terbang khususnya untuk tanah berpasir sangat menghambat respirasi mikroba, aktivitas enzim dan proses nitrifikasi. Efek samping yang sebagian disebabkan oleh tingkat garam terlarut yang berlebihan. Namun, konsentrasi garam larut mengalami penurunan karena pelapukan abu terbang selama proses pencucian, sehingga mengurangi efek yang merugikan dari waktu ke waktu (Basu et al., 2009).
2.3. Pemanfaatan dan Potensi Abu Terbang Beberapa laporan tersedia berhubungan dengan penggunaan abu terbang sebagai peubah tanah untuk pertumbuhan tanaman. Penggunaan yang aman abu terbang yang dikombinasi pada tanah pertanian menjadi usaha yang sangat menjanjikan untuk lingkungan, yang dapat meningkatkan kesuburan tanah dan memperkaya unsur hara tanah, sangat membantu dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman dan hasil panen tanaman. Abu terbang batubara sebesar 5% dapat menghasilkan perkecambahan biji lebih tinggi dan akar selada (Lactuca sativa) lebih panjang. Respon terhadap aplikasi abu terbang dapat bervariasi secara luas dari yang bermanfaat sampai yang beracun tergantung pada berbagai konsentrasi elemen yang ada di dalamnya. Aplikasi abu terbang pada konsentrasi yang lebih rendah dari 0,5-1,0% tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap perkecambahan dan pertumbuhan bibit (Basu et al., 2009). Abu terbang dapat digunakan untuk tujuan pengapuran karena mengandung CaO dan MgO. Kemampuan pengapuran atau daya netralisasi abu terbang mempunyai variasi yang besar tergantung pada sumber abu dan proses pelapukan. Daya netralisasi abu terbang berkorelasi negatif dengan kandungan Fe dan Si serta berkorelasi positif dengan Ca dan Mg (Haynes, 2009). Lestari et al. (2004) juga melaporkan bahwa pemberian abu batubara dalam dosis yang rendah (<2%) pada tanah dapat meningkatkan kandungan unsur hara
6
dalam tanah. Pemberian abu batubara pada tanaman sengon (Paraserianthes falcataria L.) memberikan respon yang cukup baik untuk diameter batang, tinggi tanaman, dan bobot kering tajuk terutama pada abu dasar dengan dosis <2% dan abu terbang dengan dosis <1%. Berdasarkan penelitian Rosmanah et al. (2004), abu terbang dapat meningkatkan kandungan Ca, Mg, dan KTK tanah sedangkan abu dasar dapat meningkatkan pH dan kandungan kalsium. Selanjutnya Ramadina (2003) melaporkan bahwa penambahan abu terbang dengan dosis 5, 10, 15, dan 30 ton/ha pada tanah gambut dapat meningkatkan pH dan basa-basa secara nyata. Kadar unsur-unsur dalam filtrat pada percobaan dengan metode batch dan perkolat pada percobaan leaching test tidak melebihi ambang batas kriteria mutu air untuk mengairi pertanaman (kelas II) yang terdapat pada PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Universitas Pertanian Punjab mengamati bahwa aplikasi abu terbang 10 ton/ha dapat meningkatkan hasil gandum dari 21,5 kw/ha menjadi 24,1 kw/ha; kapas 1245 kg/ha menjadi 1443 kg/ha. Mereka juga menemukan bahwa penambahan abu terbang 0-80 ton/ha meningkatkan hasil padi dari 61,82 kw/ha menjadi 63.58 kw/ha (Aktar, 2008). Fakultas Pertanian Raichur mengamati bahwa hasil kacang tanah meningkat dari 24.1 kw/ha menjadi 31.9 kw/ha dengan aplikasi abu terbang sebesar 20 ton/ha. Pada sistem tumpangsari padi dan kacang tanah, aplikasi abu terbang 10 ton/ha meningkatkan hasil padi rata-rata 14% dan polong kacang tanah 26% dibanding dengan kontrol. Aplikasi abu terbang 10 ton/ha dikombinasi dengan sumber organik dan anorganik pada satu musim dengan tumpangsari padi dan kacang tanah meningkatkan hasil keduanya secara nyata dibanding dengan hanya menggunakan pupuk kimia (Aktar, 2008). Beberapa sifat kimia tanah gambut seperti pH, P, kadar basa-basa K, Na, Ca, dan Mg serta persentase kejenuhan basa dapat meningkat setelah pemberian abu terbang pada empat dosis yang berbeda. Penurunan terjadi pada nilai KTK yang menurun dari 87,02 me/100 g hingga menjadi 54,08 me/100 g. Penurunan KTK ini terjadi karena semakin rendahnya porsi gambut per satuan berat tertentu akibat semakin meningkatnya porsi abu terbang (Iskandar et al., 2008).
7
Abu terbang masih sangat potensial untuk dikembangkan pada produk pertanian yang dapat dimakan, namun perlu diterapkan beberapa faktor dalam pemanfaatannya, seperti batas asupan logam berat per hari yang diperbolehkan, pengembangan pemanfaatan abu terbang lebih diutamakan pada tanaman penghasil biji dan tanaman penghasil minyak, serta penggunaan kultivar yang memiliki kemampuan rendah dalam mengakumulasi logam berat (Hayati, 2010).