II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Buah Kurma Menurut United States Departement of Agriculture (USDA), klasifikasi botani dari tanaman kurma (Phoenix dactylifera L.) adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Sub-kingdom
: Tracheobionta
Super divisi
: Spermatophyta
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Liliopsida
Sub-kelas
: Arecidae
Ordo
: Arecales
Family
: Arecaceae
Genus
: Phoenix L.
Species
: Phoenix dactylifera L.
Tanaman kurma banyak tersebar di Timur Tengah dan Afrika Utara. Tanaman ini diduga berasal dari dataran Mesopotamia, Palestina, atau sekitar Afrika bagian Utara (Maroko) sekitar 4000 tahun sebelum Masehi dan tersebar ke kawasan Mesir, Afrika Asia Tengah, dan sekitarnya sejak 3000 tahun sebelum Masehi (Rahmadi, 2010). Menurut Al-Farsi dan Lee (2008), Mesir merupakan produsen kurma terbesar (16%) di dunia diikuti oleh Saudi Arabia, Iran, Iraq dan Uni Emirat Arab (masing-masing menyumbang sekitar 13%). Akan tetapi, dilihat dari nilai ekspornya, kurma memberikan pemasukan terbesar untuk Tunisia (28%), Iran (12%), Pakistan (8%), dan Saudi Arabia (8%). Nilai ekonomi ekspor kurma mendekati angka USD 300 juta pada tahun 2007. Menurut Al-Hooti et al. (1995), buah kurma dapat dikatagorikan menurut kematangannya. Standarisasi buah kurma dapat dirangkum dalam katagori pra-matang dan empat tingkatan kematangan. Pada katagori pra-matang, buah umumnya masih tertutup kelopak daun. Buah akan terus berkembang sampai berwarna hijau pada usia fisiologis mendekati sembilan minggu. Pada tingkatatan kematangan, terdapat empat tingkatan, yaitu kimri (hijau), khalal (tahap perubahan warna), rutab (matang dan lunak), dan tamr (matang tua). Bila ditinjau berdasarkan kandungan dari buah kurma, buah kurma mengandung karbohidrat (44 - 88% total gula), 0,2 - 0,5% lemak, dan 2,3 - 5,6% protein. Buah kurma juga mengandung vitamin dan serat (dietary fibre) yang tinggi sekitar 6,4 - 11,5%. Buah ini juga mengandung minyak sebesar 0,2 - 0,5% (Al-Shahib dan Marshall, 2003). Ada banyak varietas buah kurma di dunia. Menurut Sahari et al. (2007), terdapat kurang lebih 200 varietas buah kurma yang telah dibiakkan dan dikembangkan di Iran. Beberapa varietas buah kurma yang telah dibiakkan dan dikembangkan, yaitu varietas Mazafati, Kabkab, Zahedi, Estamaran, Shahani, Kaluteh, Zark, Khanizi, Khasooi, Halilei, Gasab, Ale-Mehtari, Holuo, Shahabi, Gantar, Piarom, Croot, Barhi, Khazravi, Lasht, Abdollahi, Khorst, Bezmani, Haftad-Gazi, Halavi, Maktoom, Deiri, Shah-Mohammadi, Khalass, Moslehi, Kharouzard, Gach-Khah, Tourz, dan Kang-Gard. Berikut ini merupakan tabel komposisi kimia buah dari beberapa varietas tersebut.
3
Tabel 2.1. Komposisi kimia 34 varietas buah kurma Iran (Sahari et al., 2007) Varietas Buah Kurma Mazafati Kabkab Zahedi Estamaran Shahani Kaluteh Zark Khanizi Khasooi Halilei Gasab Ale-Mehtari Holuo Shahabi Gantar Piarom Croot Barhi Khazravi Lasht Abdollahi Khorst Bezmani Haftad-Gazi Halavi Maktoom Deiri Shah-Mohammadi Khalass Moslehi Kharouzard Gach-Khah Tourz Kang-Gard
Kadar Air 37.5 ± 0.3 31.0 ± 0.3 30.9 ± 0.5 30.9 ± 0.2 34.2 ± 0.1 34.7 ± 0.5 19.5 ± 0.5 25.7 ± 0.3 28.3 ± 0.5 36.3 ± 0.4 23.3 ± 0.2 31.0 ± 0.1 27.1 ± 0.1 31.0 ± 0.2 30.2 ± 0.2 30.2 ± 0.2 38.0 ± 0.4 39.8 ± 0.3 32.4 ± 0.7 23.2 ± 0.5 35.2 ± 0.4 30.8 ± 0.4 39.2 ± 0.5 38.6 ± 0.3 27.0 ± 0.2 29.4 ± 0.3 30.9 ± 0.5 35.4 ± 0.5 23.7 ± 0.5 30.5 ± 0.6 21.6 ± 0.6 24.9 ± 0.1 34.9 ± 0.2 32.6 ± 0.3
Komposisi Kimia (g/100 g) Protein Lemak 3.7 ± 0.0 0.538 ± 0.05 3.7 ± 0.2 0.298 ± 0.020 5.0 ± 0.5 0.281 ± 0.05 3.0 ± 0.1 0.422 ± 0.08 2.9 ± 0.5 0.422 ± 0.08 2.8 ± 0.6 0.457 ± 0.03 3.7 ± 0.2 0.448 ± 0.09 5.0 ± 0.1 0.368 ± 0.04 2.9 ± 0.3 0.388 ± 0.04 3.0 ± 0.2 0.323 ± 0.02 2.9 ± 0.2 0.535 ± 0.1 3.0 ± 0.2 0.271 ± 0.03 3.0 ± 0.3 0.353 ± 0.03 3.0 ± 0.4 0.384 ± 0.05 5.0 ± 0.5 0.492 ± 0.02 3.7 ± 0.5 0.267 ± 0.01 5.0 ± 0.5 0.279 ± 0.02 5.0 ± 0.4 0.272 ± 0.06 3.0 ± 0.1 0.320 ± 0.06 3.0 ± 0.1 0.438 ± 0.06 3.0 ± 0.2 0.491 ± 0.02 1.6 ± 0.3 0.259 ± 0.09 3.7 ± 0.3 0.621 ± 0.05 4.3 ± 0.5 0.269 ± 0.08 3.0 ± 0.6 0.436 ± 0.04 5.0 ± 0.4 0.339 ± 0.04 3.7 ±0.4 0.514 ± 0.04 5.0 ± 0.4 0.226 ± 0.06 3.0 ± 0.5 0.584 ± 0.08 4.3 ± 0.2 0.374 ± 0.05 3.0 ± 0.2 0.577 ± 0.10 3.0 ± 0.3 0.517 ± 0.03 2.9 ± 0.1 0.292 ± 0.03 2.3 ± 0.3 0.228 ±0.02
Kadar Abu 1.25 ± 0.11 1.66 ± 0.15 1.50 ± 0.16 2.22 ± 0.1 1.49 ± 0.25 1.86 ± 0.06 1.88 ± 0.08 1.62 ± 0.09 1.60 ± 0.09 1.73 ± 0.09 1.77 ± 0.05 3.26 ± 0.06 1.60 ± 0.5 1.49 ± 0.05 1.62 ± 0.05 1.85 ± 0.05 1.10 ± 0.04 1.70 ± 0.1 2.37 ± 0.2 1.40 ± 0.1 1.44 ± 0.12 1. 89 ± 0.16 1.16 ± 0.15 1.32 ± 0.08 1.94 ± 0.16 1.42 ± 0.05 2.16 ± 0.2 1.48 ± 0.08 1.33 ± 0.06 1.77 ± 0.1 3.41 ± 0.05 2.07 ± 0.06 1.83 ± 0.09 1.72 ± 0.2
2.2. Biji Kurma Biji kurma merupakan biji dengan satu lembaga (monokotil). Biji kurma tidak memiliki aroma atau tidak berbau dan memiliki rasa hambar yang sedikit pahit. Umumnya biji kurma memiliki warna coklat terang dan coklat gelap (Hamada et al., 2002). Almana dan Mahmoud (1994) menyatakan bahwa komponen biji kurma kira-kira 10% dari buah kurma. Menurut Hamada et al. (2002), biji kurma berpotensi digunakan sebagai bahan pangan bagi manusia. Hal tersebut dapat terlihat dari komposisi yang terkandung pada biji kurma. Biji kurma mengandung 71,9 - 73,4% karbohidrat, 5 - 6,3% protein, dan 9,9 - 13,5% lemak. Komposisi kimia lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.2. Menurut Al-Shahib dan Marshall (2003), biji kurma juga mengandung vitamin dan serat (dietary fibre) dengan persentase yang cukup tinggi, yaitu sebesar 6,4 - 11,5%. Vitamin dan serat (dietary fibre) sangat baik untuk kesehatan sehingga cukup prospektif untuk dijadikan produk pangan yang sehat. Almana dan Mahmoud (1994) juga menyatakan bahwa biji kurma dapat menjadi sumber
4
alternatif serat (dietary fibre) yang prospektif dibandingkan dengan dedak gandum sehingga dapat memberikan kontribusi yang berharga untuk panganan berserat. Tabel 2.2. Komposisi biji kurma (Hamada et al., 2002) Komponen
Persentase (%)
Kadar air
7,1 - 10,3
Karbohidrat
71,9 - 73,4
Protein
5 - 6,3
Lemak
9,9 - 13,5
Abu
1 - 1,8
Serat*
6,4 - 11,5
Acid detergent fibre
45,6 - 50,6
Neutral detergent fibre
64,5 - 68,8
*Al-Shahib dan Marshall (2003)
Beberapa asam amino yang terkandung dalam biji kurma, yaitu alanine, agrinine, aspartic acid, aspartamine, glumatic acid, glycine, histidine, isoleucine, leucine, lysine, methionine, phenylalanine, serine, threonine, thryptophan, tyrosine, dan valine (Al-Shahib dan Marshall, 2003). Berikut tabel kandungan asam amino yang terkandung dalam biji kurma menurut Hussein dan El-Zeid (1975), serta Al-Hooti et al. (1998). Tabel 2.3. Kandungan asam amino biji kurma Asam Amino
mg/100 g buah kering (Hussein & El-Zeid, 1975)*
g/100 g protein (Al-Hooti et al., 1998)**
Alanine Arginine Aspartic acid Aspartamine Glutamic acid Glycine Histidine Isoleucine Leucine Leucine dan isoleucine Lysine Methionine Phenylalanine Serine Threonine Tryptophan Tyrosine Valine
61 35 174 174 172 92 105 32 58 50 39 58 31
6,6 - 8,3 2,3 - 2,4 3,7 - 4,2 7,8 - 8,6 4,6 - 5,4 0,9 - 1,2 4,3 - 4,7 3,7 - 4,1 1,9 - 2,3 5,5 - 5,9
* Asam amino yang terkandung dalam biji buah kurma varietas Khalas. ** Range kandungan asam amino dari biji buah kurma lima varietas (Bushibal, Gash Gaafar, Gash Habash, Lulu, dan Shahla).
5
Menurut Ali-Mohamed dan Khamis (2004), biji kurma mengandung ion-ion mineral, seperti natrium (Na+), kalium (K+), magnesium (Mg2+), kalsium (Ca+), ferum atau besi (Fe2+), mangan (Mn2+), zinc (Zn2+), cuprum (Cu2+), nickel (Ni2+), cobalt (Co2+), dan cadmium (Cd2+). Ion mineral yang paling banyak terkandung pada biji kurma adalah ion kalium (K+), magnesium (Mg2+), dan natrium (Na+). Kandungan mineral biji kurma dapat dilihat pada Tabel 2.4. Tabel 2.4. Kandungan mineral biji kurma (Ali-Mohamed dan Khamis, 2004) Mineral Natrium (Na+)
Kandungan (μg/g) 237,63
Kalium (K+)
4857,58 2+
Magnesium (Mg ) +
655,53
Kalsium (Ca )
95,12
Besi (Fe2+)
44,47 2+
Mangan (Mn ) 2+
14,82
Zinc (Zn )
12,24
Cuprum (Cu2+)
5,24
Nickel (Ni2+)
1,12
2+
Cobalt (Co )
0,79
Cadmium (Cd2+)
0,03
2.3. Pembuatan Tepung Biji Kurma Biji kurma dapat diolah menjadi tepung atau dalam bentuk serbuk (powder). Tahapan proses pengolahan tersebut, yaitu pemisahan biji kurma dengan daging buah kurma, penyimpanan biji pada suhu 10°C, perendaman dan pencucian biji dengan air, penirisan, pengeringan biji pada suhu 50°C, lalu penggilingan biji dengan mesin grinder (heavy-duty grinder) sehingga dihasilkan biji kurma dalam bentuk serbuk atau tepung (Bouaziz et al., 2010). Proses pengolahan biji kurma menjadi tepung atau bubuk menurut Bouaziz et al. (2010) sama dengan proses menurut Ardekani et al. (2010). Menurut Ardekani et al. (2010), tahapan proses pengolahan biji kurma menjadi bubuk, yaitu penyimpanan biji kurma yang telah dipisahkan daging kurmanya pada suhu 2 - 8°C, pencucian biji kurma dengan air, penirisan, pengeringan dengan panas 50°C selama 4 jam, kemudian dilakukan penggilingan biji kurma dengan grinder (heavy-duty grinder), serta dilakukan penyaringan untuk mendapatkan serbuk yang halus. Terdapat cara lain atau proses tambahan dalam pengolahan biji menjadi tepung sehingga biji mudah untuk digiling dan menghasilkan warna yang baik. Proses tambahan tersebut adalah proses sulfurisasi dan blanching. Proses sulfurisasi atau pengawetan perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya reaksi pencoklatan pada bahan dan mencegah pertumbuhan bakteri (Fennema, 1996). Proses ini cukup baik diterapkan pada proses pembuatan tepung biji, sehingga tepung yang dihasilkan akan tampak lebih baik warnanya. Menurut Salunkhe (1976), proses blanching merupakan proses yang dapat melunakkan suatu jaringan bahan sehingga bahan akan lebih mudah dihancurkan. Menurut Widya (2003) dalam penelitian tepung biji mangga, blanching dilakukan sebelum proses pengeringan dalam proses pembuatan tepung biji mangga.
6
Menurut Eskin et al. (1971), sulfurisasi merupakan proses penambahan sulfur dioksida pada bahan pengan sebelum dikeringkan. Tujuan dari sulfurisasi ini untuk mempertahankan warna dan mencegah terjadinya reaksi pencoklatan non enzimtis ataupun enzimatis, menghambat pertumbuhan mikroba, sebagai antioksidan dan sebagai zat pemucat. Reaksi pencoklatan enzimatis terjadi akibat konversi senyawa fenolat menjadi melanin yang berwarna coklat dengan bantuan enzim polifenol oksidase atau fenolase. Untuk menjalankan reaksi tersebut membutuhkan oksigen sebagai akseptor H 2 dan ion tembaga sebagai katalisator. Oleh karena itu, untuk menghambat reaksi pencoklatan secara enzimatis tersebut, dilakukan penghilangan atau pengurangan oksigen yang tersedia disekitar bahan. Cara yang sederhana untuk melakukan hal tersebut adalah dengan cara perendaman. Reaksi pencoklatan secara non enzimatis terjadi karena adanya reaksi Maillard. Reaksi ini melibatkan asam amino (protein) dan gula pereduksi sebagai subtrat awal. Reaksi pencoklatan tersebut dapat dicegah dengan sulfurisasi, karena sulfur dioksida dan sulfit dapat bereaksi dengan gugus reaktif gula pereduksi (Eskin et al., 1971). Fennema (1996) juga menyatakan bahwa sebagai pencegah pencoklatan non enzimatis, natrium bisulfit dapat memblokade reaksi karbonil amino sehingga reaksi Maillard tidak terjadi. Berikut reaksi antara gula pereduksi dengan natrium bisulfit menurut Eskin et al. (1971).
Gambar 2.1. Reaksi antara gula pereduksi dengan natrium bisulfit Bahan yang biasa digunakan pada sulfurisasi ini adalah sulfit. Ada enam macam bahan kimia dari golongan sulfit yang telah ditetapkan oleh CFR (Code of Federal Regulations) sebagai bahan aditif, yaitu sulfur dioksida (SO2), natrium sulfit (Na2SO3), natrium bisulfit (NaHSO3), natrium metabisulfit (Na2S2O5), kalium bisulfit (KHSO3), dan kalium metabisulfit (K2S2O5). Keenam bahan aditif tersebut telah dinyatakan sebagai GRAS (Generally Recognized as Safe) (Ping, 1994). Menurut Fennema (1996), sulfur dioksida dari natrium bisulfit dalam larutan membentuk asam sulfit yang pada pH rendah berfungsi sebagai pengawet. Sebagai pencegah pencoklatan non enzimatis, natrium bisulfit memblokade reaksi karbonil amino sehingga reaksi Maillard tidak terjadi. Proses pencegahan ini akan lebih efektif, jika digabungkan dengan proses blanching. Penggunaan sulfit sebagai pengawet ini tidak terlalu berbahaya terhadap tubuh, karena sulfit akan dicerna menjadi sulfat dan dikeluarkan dalam urine tanpa efek patologis. Menurut Damayanthi dan Eddy (1995), blanching merupakan proses pemanasan suatu bahan dengan uap atau air panas secara langsung pada suhu kurang atau sama dengan 100°C selama kurang dari 10 menit. Penggunaan air panas pada proses blanching dapat mengurangi kemungkinan terjadinya reaksi oksidasi karena bahan terendam dalam air sehingga mengurangi kontak dengan udara. Pengaruh proses blanching terhadap bahan, yaitu mengurangi waktu pengeringan, mengeluarkan udara dari jaringan, menyebabkan pelunakan jaringan, menginaktifkan enzim, mempertahankan karoten dan asam askorbat selama penyimpanan, dan menyebabkan kehilangan padatan terlarut (Salunkhe, 1976). Menurut Winarno dan Fardiaz (1974), perlakuan proses blanching ini dilakukan sebelum bahan dikeringkan ataupun dibekukan untuk mematikan beberapa mikroorganisme. Proses blanching biasanya dilakukan pada suhu 82 - 93°C selama 3 - 5 menit.
7
Proses pengeringan merupakan proses pindah panas dari udara pengering ke bahan dan kandungan air dari bahan secara simultan. Proses ini dapat menurunkan kadar air pada bahan sampai batas tertentu sehingga dapat mengurangi kerusakan bahan akibat aktivitas biologis. Suhu pengeringan yang dipakai bervariasi untuk setiap bahan. Suhu biji-bijian yang direkomendasikan dalam proses pengeringan adalah 60°C untuk biji-bijian yang akan digiling (Brooker et al., 1981). Menurut Buckle et al. (1985), pengeringan merupakan proses menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan sehingga mencapai kadar air keseimbangan dengan kondisi udara normal. Kandungan air pada bahan dikurangi sampai kadar air setara dengan nilai aktivitas air (Aw) yang aman dari kerusakan mikrobiologis, enzimatik, dan kimiawi. Terdapat beberapa faktor utama yang dapat mempengaruhi pengeringan bahan, yaitu: a) sifat fisik dan kimia produk, seperti bentuk, ukuran, komposisi, dan kadar air, b) pengaturan geometris produk sehubungan dengan permukaan alat atau media perantara pemindahan panas, c) sifat-sifat fisik dari lingkungan alat pengiring (suhu, kelembaban, dan kecepatan udara), dan d) karakteristik alat pengering.
2.4. Sifat Tepung dan Penurunan Mutu Tepung Produk pertanian yang berupa tepung merupakan hasil olahan biji-bijian atau daging buah kering yang dihaluskan sehingga menjadi tepung atau bubuk. Contohnya tepung beras (beras ketan/beras biasa) tepung maizena, tepung terigu, tepung tapioka, sagu, kopi bubuk, kakao dan bumbu yang dihaluskan. Butiran tepung sangat halus sehingga menyebabkan permukaan bidangnya menjadi sangat lebar. Hal ini menyebabkan bahan bersifat higroskopis, yaitu mudah sekali menjadi lembab, karena mudah menyerap uap air (Dwiari et al., 2008). Sifat mudah menyerap uap air di udara atau sifat higroskopis yang dimiliki produk tepung-tepungan dapat memudahkan tepung mengalami penurunan mutu dan mengalami kerusakan. Pengaruh kadar air dan aktivitas penyerapan air akan mempengaruhi sifat-sifat fisik tepung (misalnya warna dan tekstur), perubahan-perubahan kimia (misalnya reaksi pencoklatan), dan kerusakkan oleh mikroorganisme, seperti bakteri dan jamur (Buckle et al., 1985). Produk tepung-tepungan memiliki batas standar kadar air yang terkandung, seperti pada tepung terigu yang memiliki batas maksimal kadar air sebesar 14,5% (SNI 3751:2009), pada tepung singkong yang memiliki batas maksimal kadar air sebesar 12% (SNI 01-2997-1996), dan pada tepung beras yang memiliki batas maksimal kadar air sebesar 13% (SNI 3549:2009). Hal ini dapat menjadi tolak ukur penurunan kualitas pada tepung. Menurut Winarno (1997), kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan daya awet bahan pangan tersebut. Makin rendah kadar air, makin lambat pertumbuhan mikrooganisme dan bahan pangan tersebut dapat tahan lama. Winarno (1997) menyatakan bahwa aw (water activity) adalah jumlah air bebas yang dapat digunakan mikroba untuk pertumbuhannya. Masing-masing mikroba memiliki aw pertumbuhannya masing-masing, seperti bakteri tumbuh pada aw 0,9, khamir tumbuh pada aw 0,8 - 0,9, dan kapang tumbuh pada aw 0,6 - 0,7. Umumnya bahan makanan kering seperti tepung memiliki nilai aktivitas air (aw) antara 0,4 - 0,5, sedangkan makanan semi basah memeiliki nilai aktivitas air (aw) antara 0,6 - 0,9. Namun, nilai aw pada tepung akan meningkat, karena sifat higroskopis yang dimiliki tepung sehingga mikroba dapat tumbuh pada tepung. Penurunan mutu tepung lainnya juga disebabkan adanya kontaminasi atau cemaran serangga atau kutu yang sering ditemukan pada tepung selama penyimpanan. Menurut Amy (2010), cemaran serangga atau tepung terjadi akibat proses produksi tepung dan tempat penyimpanan tepung yang tidak higienis, serta kondisi tempat penyimpanan yang mendukung pertumbuhan kutu. Kutu yang mengkontaminasi tepung dapat meninggalkan feces (kotoran) sehingga dapat menjadi potensial besar
8
bahaya mikrobiologis dan tidak higienis. Tepung yang sudah tercemar banyak larva akan berubah warna menjadi keabu-abuan dan akan cepat berjamur. Kutu tepung menyukai suhu lingkungan sekitar 30°C dan mereka tidak tumbuh dan berkembang biak pada suhu di bawah 18°C. Keseluruhan siklus kutu dari telur menjadi kutu memerlukan waktu 7 - 12 minggu dan kutu dewasa dapat hidup sampai tiga tahun atau lebih. Jadi, apabila kontaminasi telur kutu terjadi pada saat awal penyimpanan, maka kutu akan mulai terlihat pada tepung kira-kira pada saat penyimpanan minggu ke-6 atau ke-7, sedangkan larva akan mulai menetas dari telur kira-kira pada minggu ke-2 atau ke-3 (Amy, 2010).
2.5. Pengemasan dan Penyimpanan Menurut Winarno (1997), pengemasan memiliki fungsi untuk mengawetkan bahan pangan, mempertahankan mutu dan kesegaran, menarik selera pandang konsumen, memberikan kemudahan penyimpanan dan distribusi, serta menekan peluang kontaminasi dari udara dan tanah, baik oleh mikroba pembusuk maupun mikroba yang dapat membahayakan kesehatan konsumen. Menurut Syarief dan Irawati (1988), pengemasan mempunyai peranan penting dalam mempertahankan mutu suatu bahan dan proses pengemasan telah dianggap sebagai bagian integral dari suatu proses produksi. Kemasan ditinjau dari fungsinya adalah sebagai: a) wadah untuk menempatkan produk dan memberi bentuk sehingga memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan, dan distribusi, b) memberi perlindungan terhadap mutu produk dari kontaminasi luar dan kerusakan, dan c) menambah daya tarik produk. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kerusakan bahan pangan sehubungan dengan kemasan yang digunakan, yaitu kerusakan yang ditentukan oleh sifat alamiah dari produk dan tidak dapat dicegah dengan pengemasan, misalnya perubahan kimia, biokimia, fisik, dan mikrobiologi, serta kerusakan yang disebabkan oleh lingkungan dan dapat dikontrol dengan pengemasan, misalnya kerusakan mekanis, absorbsi, interaksi dengan oksigen, dan kehilangan atau penambahan citarasa yang tidak diinginkan (Winarno dan Jenie, 1984). Kerusakan fisik bahan pangan disebabkan oleh perlakuan fisik, misalnya kerusakan yang terjadi karena lembabnya ruang penyimpanan dan perlakuan dengan suhu yang terlalu tinggi. Kerusakan kimia yang paling penting adalah perubahan yang berkaitan dengan reaksi enzim, reaksi hidrolisis, dan reaksi pencoklatan non enzimatis yang menyebabkan perubahan penampakan (Muchtadi, 1989). Suatu produk memiliki kepekaan yang berbeda-beda terhadap penyerapan atau pengeluaran uap dan gas. Produk kering harus dilindungi dari penyerapan uap air dan oksigen dengan cara mengunakan bahan pengemas yang mempunyai permeabilitas uap air dan gas yang rendah (Buckle et al., 1985). Menurut Syarief dan Santausa (1989), plastik digunakan sebagai bahan pengemas untuk melindungi produk dari cahaya, udara atau oksigen, perpindahan panas, kontaminasi dan kontak dengan bahan-bahan kimia. Aliran gas dan uap yang melalui plastik dipengaruhi oleh lubang-lubang, tebal plastik dan ukuran molekul yang berdifusi. Polietilen (PE) adalah jenis plastik yang banyak digunakan oleh industri karena sifatnya yang mudah dibentuk, tahan terhadap bahan kimia, penampakan yang jernih, dan mudah digunakan sebagai laminasi. Polietilen tergolong dalam poliolefin dan dibuat dari proses polimerasi adisi dari gas etilen. Etilen merupakan senyawa utama yang digunakan pada pembuatan plastik ini. Rantai polimer dapat bercabang atau lurus. Polimer rantai lurus menghasilkan densitas tinggi, sedangkan semakin banyak rantai cabangnya, polimer etilen akan semakin rendah densitasnya (Brown, 1992). Sifat-sifat baik yang dimiliki polietilen, yaitu permeabilitas uap air dan air rendah, mudah dikelim panas, fleksibel, dapat digunakan untuk penyimpanan beku (-50°C), transparan, dan dapat digunakan sebagai bahan
9
laminasi dengan bahan lain. Kelemahan yang dimiliki polietilen, yaitu permeabilitas oksigen agak tinggi dan tidak tahan terhadap minyak (Syarief dan Irawati, 1988). Karung tenun plastik (PP woven bag) dibuat dari circular weaved polypropylene kaset dengan gaya tarik tinggi dan rendah berat. PP woven bag (karung plastik) yang ideal adalah kemasan untuk bahan secara massal atau dalam jumlah banyak. Umumnya kemasan ini digunakan untuk gula, beras, pupuk, tepung, dan bahan kimia. Penggunaan kemasan karung tenun plastik ini telah banyak menggantikan kemasan sebelumnya, seperti karung goni, karung kertas, atau karung kain. Hal ini dikarenakan dari harga yang relatif lebih murah dan lebih tahan air dibandingkan produk kemasan yang terbuat dari kain atau kertas (Hendrawan, 2009). Karung kain merupakan karung atau kantung yang terbuat dari kain belacu yang pada umumnya mempunyai kapasitas antara 10 - 50 kg. Kain belacu biasa digunakan sebagai bahan pengemas tepung-tepungan, seperti tepung terigu, tepung jagung, atau tepung beras dan bahkan dibeberapa negara digunakan sebagai bahan pengepak beras. Kain belacu mempunyai sifat kuat (tidak mudah sobek), fleksibel, mudah dicetak, dan mudah dikerjakan secara massal. Kain belacu memiliki lubang-lubang kecil atau rongga sehingga tidak kedap udara (Hudaya dan Siti, 1983). Menurut Hendrawan (2009), kemasan karung kain tidak tahan terhadap air sehingga tidak bisa menjaga bahan terhadap air. Salah satu faktor yang mempengaruhi daya tahan bahan yang disimpan adalah permeabilitas kemasan simpan, baik terhadap udara maupun uap air. Masing-masing kemasan simpan memiliki permeabilitas yang berbeda. Permeabilitas kemasan polietilan dan karung tenun plastik terhadap uap air menurut Handayani (2008) dan permeabilitas kemasan karung kain belacu terhadap uap air menurut Septianingrum (2008) dapat dilihat pada Tabel 2.5. Tabel 2.5. Permeabilitas kemasan terhadap uap air pada suhu 28°C, RH = 75% Kemasan Polietilen (PE)a
Karung tenun plastik a Karung kain belacu a
0,03
Permeabilitas (g H2O/hari m2 mmHg) 0,795
0,08
0,46
-
8,14
-
8,16
Ketebalan (mm)
b
b
Handayani (2008); Septianingrum (2008)
Sistem penyimpanan atau metode penyimpanan yang baik perlu diterapkan untuk menjaga bahan yang disimpan agar tetap baik mutunya, baik bahan baku maupun produk jadi. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada tempat penyimpanan yang berhubungan dengan keadaan bahan dalam simpanan, yaitu temperatur dan kelembaban, sirkulasi udara, serta penyusutan kemasan (Imdad dan Nawangsih, 1999). Menurut Amy (2010), produk tepung biasanya disimpan pada tempat yang sejuk dan kering. Apabila disimpan dalam jumlah yang sangat banyak dalam gudang penyimpanan, biasanya dilakukan fumigasi untuk menjaga tepung dari serangga atau hama lainnya. Kehigienisan gudang penyimpanan juga harus dijaga. Menurut Dwiari et al. (2008), agar bahan dapat lebih tahan dalam tempat penyimpanan, pastikan bahwa bahan telah kering sempurna dan terbebas dari kehidupan serangga. Tepung atau bubuk dikemas setelah keadaan bahan sudah dingin. Jika dalam keadaan masih hangat sudah dikemas, bahan akan mengeluarkan uap air dalam kemasan, akibatnya bahan menjadi lembab dan akan tumbuh cendawan penyebab bau pengap. Untuk menghindari hal tersebut bahan disimpan dalam keadaan
10
cukup kering dengan kemasan yang tepat. Menurut Hendrawan (2009), saat ini kemasan simpan tepung, seperti karung goni, karung kertas, dan karung kain telah digantikan dengan kemasan karung tenun plastik (PP woven bag), karena lebih tahan terhadap air dan kondisi penyimpanan yang agak lembab.
11