II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Analisis Dampak Ekonomi Kegiatan Wisata Bahari Kegiatan wisata alam adalah suatu kegiatan wisata yang memanfaatkan keberadaan sumberdaya alam sebagai atraksi utama. Kegiatan wisata alam ini secara langsung menyentuh dan melibatkan lingkungan serta masyarakat lokal sehingga membawa berbagai dampak terhadapnya. Dampaknya akan menyentuh berbagai aspek kehidupan masyarakat dan dampak yang paling sering mendapat perhatian adalah dampak sosial ekonomi, dampak sosial budaya dan dampak lingkungan. Dampak ekonomi terhadap masyarakat lokal dapat dilihat pada berbagai hal, diantaranya adalah dampak terhadap pendapatan masyarakat, kesempatan kerja, harga, distribusi manfaat, kepemilikan dan kontrol, pembangunan serta pendapatan pemerintah. Dampak sosial budaya dapat dilihat dari beberapa hal, diantaranya terjadinya akulturasi budaya (dilihat dari perubahan perilaku masyarakat lokal), terjadinya demonstration effect yang rentan pada kalangan muda, komoditisasi, perbaikan peluang kepada kalangan wanita lebih independen secara sosial-ekonomi, migrasi penduduk akibat terciptanya peluang usaha, kriminalitas dan sebagainya (Pitana dan Gayatri, 2005). Dampak terhadap lingkungan dapat dilihat dari perubahan komposisi flora dan fauna, polusi, erosi, sampah, degradasi sumberdaya alam dan polusi visual (Cooper et al. 1998). Dampak ekonomi mengacu pada perubahan pemasaran, pendapatan, lapangan pekerjaan dan lainnya, yang berasal dari kegiatan wisata. Secara umum pariwisata bertujuan untuk memperoleh manfaat ekonomi, baik keuntungan untuk
industri wisata, pekerjaan bagi komunitas lokal dan penerimaan bagi daerah. Wisata alam memiliki peranan penting karena kegiatan ini menciptakan lapangan pekerjaan di wilayah terpencil (remote area) yang pada awalnya hanya merasakan manfaat pembangunan ekonomi yang rendah dibandingkan wilayah lain yang lebih maju. Beberapa studi menunjukkan, walaupun penciptaan lapangan pekerjaan sangat berpengaruh bagi masyarakat lokal namun umumnya jumlahnya relatif rendah (Linberg, 1996). Dampak ekonomi dapat diukur namun sangat penting untuk melihat perbedaan aspek ekonomi yang disebabkan kegiatan pariwisata. Perbedaan dapat dilihat dari kaitan antara dampak ekonomi dengan pengeluaran wisatawan (spending tourist) dan kaitan antara dampak ekonomi dengan pembangunan pariwisata. Dampak ekonomi dengan pengeluaran wisatawan menunjukkan dampak berkelanjutan (ongoing effect) dari pembelanjaan wisatawan. Sedangkan kaitan antara dampak ekonomi dengan pembangunan pariwisata fokus kepada dampak dari pembangunan dan keuangan pariwisata terkait pembangunan fasilitas wisata. Perbedaan kedua aspek dalam dampak ekonomi tersebut sangat penting sebab hal tersebut membutuhkan pendekatan metodologi yang berbeda. Penghitungan dampak ekonomi dari pengeluaran wisatawan dicapai dengan analisis multiplier sedangkan estimasi dampak ekonomi dari proyek pembangunan pariwisata dicapai dengan menggunakan teknik penilaian proyek, salah satunya adalah analisis manfaat biaya (Cooper et al. 1998). Pengeluaran dari wisatawan pada kawasan wisata alam, yang meliputi akomodasi serta konsumsi barang dan jasa, akan menimbulkan suatu lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal dan non lokal. Dampak positif ini pada akhirnya
diharapkan dapat meningkatkan dukungan masyarakat pada keberadaan suatu sumberdaya, karena jika sumberdaya tersebut rusak, otomatis jumlah kunjungan akan berkurang dan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat pun dapat berkurang. Penelitian Wunder (2000) menunjukkan bahwa keberadaan ekoturisme memberikan insentif ekonomi bagi masyarakat lokal untuk melakukan konservasi. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa wisata alam memiliki kaitan erat dengan konservasi sumberdaya alam. Beberapa studi menunjukkan dampak ekonomi dari kegiatan wisata alam dan manfaat yang dihasilkan bervariasi tergantung pada kualitas atraksi, aksesibilitas, prasarana dan lain sebagainya. Secara ekonomi, sejumlah pekerjaan tercipta relatif rendah, tetapi bagi daerah terpencil walaupun sedikit pekerjaan yang tercipta, hal tersebut dapat memberikan suatu perubahan besar. Meskipun demikian manfaat alam ini tidak harus dijual secara berlebihan, karena jika hal tersebut terjadi maka akan terjadi dampak buruk yang tidak diharapkan. Dampak ekonomi dari pariwisata dapat dikelompokkan pada tiga kategori, yaitu manfaat langsung (direct), tidak langsung (indirect) dan induced (Ennew, 2003 dan Linberg, 1996). Manfaat langsung ditimbulkan dari pengeluaran wisatawan yang langsung, seperti pengeluaran pada restoran, penginapan, transportasi lokal dan lainnya. Unit usaha yang menerima manfaat langsung tersebut akan membutuhkan input (bahan baku dan tenaga kerja) dari sektor lain dan hal ini akan menimbulkan manfaat tidak langsung (indirect benefit). Jika sektor tersebut mempekerjakan tenaga kerja lokal, pengeluaran dari tenaga kerja lokal akan menimbulkan induced benefit di lokasi tersebut. Tetapi jika industri yang memperoleh direct benefit mendatangkan input dari luar lokasi maka
perputaran uang tidak menimbulkan indirect benefit tetapi suatu kebocoran (leakage) manfaat. Aliran uang dari wisatawan ke masyarakat lokal pada akhirnya menciptakan dampak ekonomi dan kebocoran ekonomi seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 3. Estimasi dampak ekonomi pada areal yang relatif kecil dan dengan kegiatan ekonomi yang relatif homogen sulit dilakukan. Dampak tak langsung dan induced-nya relatif kecil serta ketersediaan data relatif sedikit untuk memodelkan dampak tersebut. Sehingga survei kepada wisatawan, masyarakat lokal dan investor lokal digunakan untuk mengidentifikasi dampak ekonomi pariwisata. Sedangkan untuk cakupan studi yang lebih luas misalkan negara atau provinsi, para ahli ekonomi menggunakan berbagai teknik untuk mengestimasi dampak langsung, tak langsung dan induced ini, diantaranya dengan menggunakan analisis input-output dan computable general equilibrium (Linberg, 1996).
Pengeluaran Wisatawan Dampak langsung
Industri Wisata
Input Impor (kebocoran)
Dampak tak langsung
Pendapatan Rumahtangga Dampak induced
Sektor pendukung Sumber: Linberg (1996).
Gambar 3.
Dampak dan Kebocoran pada Perekonomian Lokal Akibat Pengeluaran Wisatawan
Beberapa studi telah dilakukan untuk mengestimasi dampak ekonomi kegiatan pariwisata. Powell dan Linden (1995) menggunakan analisis input output untuk mengestimasi dampak ekonomi Taman Nasional Dorigo di New South Wales. Penelitian ini menunjukkan bahwa keberadaan taman nasional ini memberikan kontribusi sebesar tujuh persen pada PDRB dan 8.4 persen pada kesempatan kerja lokal. Lindberg dan Enriquez (1994) menggunakan survei pada masyarakat lokal dan analisis input output untuk mengestimasi dampak lokal maupun nasional dari pariwisata di Belize. Secara nasional nilai manfaat total (langsung, tak langsung dan induced) pada tahun 1992 diperkirakan sebesar US$ 211 juta pada sektor perdagangan dan US$ 41 juta pada pendapatan individu. Selanjutnya, Kweka et al. (2000) menggunakan analisis input output untuk menilai
dampak
ekonomi
pariwisata
di
Tanzania.
Hasil
penelitiannya
menunjukkan bahwa sektor ini memiliki dampak yang signifikan terhadap perekonomian dimana pariwisata menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi serta berdampak pada nilai tukar dan kesempatan kerja. Penelitian ini pun menunjukkan pariwisata memiliki dampak signifikan terhadap output yang terjadi melalui keterkaitan antar sektor dan efek keterkaitan. Efek terhadap pendapatan tidak signifikan, hal ini diduga karena rendahnya nilai tambah pada kegiatan produksi, namun demikian sektor pariwisata dinyatakan sebagai sebagai sektor kunci dalam pertumbuhan ekonomi di negara tersebut. Marshall (2004) telah melakukan studi mengenai penilaian manfaat yang diterima oleh masyarakat lokal dari kegiatan ekowisata di Kenya. Studi ini meliputi dampak langsung dan tidak langsung serta dampak positif dan negatif dari penyelenggaraan di Kenya. Penelitian deskriptif ini menunjukkan beberapa
temuan penting, diantaranya adalah: (1) keberadaan masyarakat lokal sangat bermanfaat bagi keberlangsungan ekowisata, (2) ketika mempromosikan upaya pelestarian di negara berkembang (salah satunya melalui ekowisata) maka perencana harus mempertimbangkan masyarakat yang lokal yang telah lebih dulu mendasarkan kegiatan ekonomi dan mata pencariannya dari sumberdaya alam yang ada, serta (3) terdapat perbedaan manfaat dari pengembangan ekowisata yang dirasakan masyarakat di negara berkembang dan negara maju. Sunarminto (2002) melakukan penelitian pada Taman Nasional Bali Barat. Hasil penelitian menunjukkan nilai ekonomi ekoturisme bahari di lokasi tersebut sebesar Rp 6 milyar, dimana 85.32 persen berasal dari wisatawan mancanegara dan sisanya berasal dari wisatawan dalam negeri. Penerimaan ekonomi masyarakat lokal relatif kecil hanya sekitar 15 persen dari perkiraan nilai ekonomi total. Penerimaan ini terutama berasal dari upah yang diterima para tenaga kerja yang bekerja pada berbagai sektor produktif. Salah satu penyebab rendahnya tingkat penerimaan ekonomi masyarakat adalah rendahnya tingkat partisipasi dan keterampilan masyarakat dalam penyelenggaraan ekoturisme, keterbatasan modal dan peluang usaha serta kurangnya pengetahuan masyarakat akan peluang usaha. Analisis kegiatan ekoturisme dengan analisis input-output menunjukkan bahwa kegiatan ini memiliki nilai Location Quotient sebesar 0.45, artinya ekoturisme masih merupakan kegiatan non basis di wilayah Buleleng. Kondisi ini diindikasikan oleh rendahnya kemampuan obyek wisata dalam menyerap wisatawan. Beberapa studi yang telah dilakukan sebelumnya, menunjukkan bahwa pariwisata memberikan kontribusi nyata kepada perekonomian suatu wilayah,
walaupun nilai dampak ekonominya baik langsung, tak langsung maupun induced masih rendah. Keberadaan masyarakat lokal sangat penting bagi kegiatan pariwisata alam. Selain menyediakan produk dan jasa wisata bagi wisatawan, masyarakat setempat juga sebagai penerima dampak kegiatan pariwisata. Jika sebagian literatur penelitian di atas dilakukan pada level makro maka penelitian ini akan dilakukan pada level mikro, yaitu spesifik di dua pulau yang menjadi tujuan wisata bahari di wilayah Kepulauan Seribu. Analisis ekonomi hingga ke tingkat mikro diharapkan akan memberikan gambaran yang lebih detail mengenai kontribusi aktivitas wisata alam terhadap masyarakat lokal. 2.2 Penilaian Ekonomi Jasa Lingkungan untuk Wisata Alam Keberadaan Kepulauan Seribu memberikan suatu manfaat sumberdaya lingkungan yang berharga, baik dalam bentuk produk ataupun jasa. Salah satu jasa lingkungan yang bernilai ekonomi adalah jasa wisata alam khususnya bahari. Sebagian dari wilayah kepulauan ini termasuk dalam protected area Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNLKS). Nilai ekonomi total dari suatu protected area adalah penjumlahan dari nilai guna dan nilai non guna. Nilai guna bisa merupakan nilai langsung maupun tak langsung. Nilai guna langsung dapat diketahui melalui nilai pasar, sedangkan nilai guna tak langsung merupakan nilai non pasar. Nilai non guna dapat dibagi menjadi tiga yaitu nilai pilihan (option value), keberadaan (existence value) dan pewarisan (bequest value), Tabel 1 menunjukkan nilai ekonomi dari suatu protected area. Pemanfaatan suatu area menjadi objek wisata termasuk dalam nilai manfaat langsung. Walaupun penilaian jasa wisata (recreational value) hanyalah
salah satu aspek dari nilai manfaat total suatu pulau namun hal itu menunjukkan bahwa, dengan manajemen dan konservasi yang tepat, maka kegiatan wisata ini bisa merupakan suatu sumber penting bermanfaat bagi masyarakat lokal dan sumberdaya alam. Tabel 1. Nilai Ekonomi Total Keberadaan Protected Area
Penilaian ekonomi suatu protected area
Nilai guna Langsung: berkaitan dengan kegiatan yang langsung berhubungan dengan penggunaan area tersebut, contohnya: rekreasi, pendidikan, penelitian, berburu. (Memiliki nilai pasar) =
Tak Langsung: berkaitan dengan kegiatan yang tidak langsung berhubungan dengan penggunaan area tersebut, contohnya fungsi ekologi, perlindungan sumber air, pengaruh cuaca dan lainnya. (tidak memiliki nilai pasar)
Nilai bukan guna Nilai pilihan: jaminan untuk mepertahankan pilihan dari pemanfaatan potensial penggunaan suatu sumberdaya. Protected area seolah-olah sebagai bank sumberdaya +
Nilai keberadaan: manfaat dari keberadaan kawasan terlindung. Seringkali diukur dengan keinginan untuk mendonasikan sejumlah uang atau waktu Nilai Pewarisan: manfaat yang ditimbulkan jika suatu sumberdaya tetap ada di masa yang akan datang
Sumber: Wells (1997) dan IUCN (1998).
Umumnya studi penilaian manfaat rekreasi yang dihasilkan oleh suatu sumberdaya yang bersifat open access dan tidak memiliki tarif (non-priced recreation) dilakukan dengan metode biaya perjalanan (Travel Cost Method atau TCM) dan metode kontingensi (Contingent Valuation Method atau CVM). Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4, kedua teknik ini pada dasarnya berupaya memperoleh kurva permintaan dari suatu barang lingkungan. Secara umum teknik valuasi sumberdaya alam dan lingkungan dapat dibagi berdasarkan dua pendekatan, yaitu pendekatan manfaat (benefit) dan pendekatan biaya (cost). Teknik valuasi dengan pendekatan benefit dibagi menjadi dua, yaitu: (1) teknik
pengukuran langsung (direct) yang didasarkan pada survei dimana kesediaan membayar (willingness to pay atau WTP) diperoleh langsung dari responden (stated preference) dan (2) teknik pengukuran tak langsung (indirect) yang mengandalkan harga implisit atau WTP terungkap (revealed preference). Monetary Evaluation Method
Demand Curve Approaches
Expressed Preference Methods
Contingent Valuation Method
Revealed Preference Methods
Travel Cost Method
Non Demand Curve Approaches
Dose Response Methods
Hedonic Pricing Method
Replacement Cost
Mitigation Behaviour
Opportunity Cost
Demand Curves not Obtained
No true welfare measures Income Compensated (Hicsksian) Demand Curve
Welfare maesure
Uncompensated (Marshalian) Demand Curve
But information useful to policy makers
Consumer Surplus Welfare maesure
Sumber: Turner, Pearce dan Bateman (1994).
Gambar 4. Metode-metode Penilaian Manfaat Sumberdaya Alam dan Lingkungan CVM merupakan salah satu metode direct sedangkan TCM merupakan salah satu metode indirect. Hasil valuasi melalui CVM umumnya lebih rendah dibandingkan teknik revealed preference (khususnya TCM). Hal ini disebabkan pada penghitungan TCM khususnya Individual TCM (ITCM) selain dihitung biaya perjalanan dan faktor sosial ekonomi, juga turut diperhitungkan nilai waktu
dan faktor lokasi rekreasi substitusi (Garod dan Kenneth, 1999). TCM telah banyak digunakan di negara maju untuk mendapatkan kurva permintaan terhadap jasa-jasa rekreasi (Hufschmidth et al. 1987). TCM digunakan untuk menilai barang-barang yang dinilai terlalu rendah (underpriced). Metode biaya perjalanan menilai secara implisit reaksi harga dan jumlah yang diminta konsumen terhadap barang dan jasa lingkungan. Hal ini dilakukan dengan meneliti perilaku pengeluaran berdasarkan biaya perjalanan untuk mengkonsumsi barang lingkungan. Beberapa tahun ini, dalam menurunkan nilai surplus konsumen perhatian telah beralih dari Zonal TCM (ZTCM) ke ITCM (Willis dan Garrod, 1999). Hal ini dikarenakan seringkali dalam analisis yang didasarkan pada WTP individual, pengamatan teramat kecil dibandingkan populasi keseluruhan zona. Beberapa masalah penyebab bias telah juga banyak dibahas dalam ITCM. Penyebab bias tersebut diantaranya disebabkan oleh bias pemilihan contoh, dimana semakin sering seseorang berkunjung maka peluang untuk terpilih sebagai contoh juga akan semakin besar. Banyak studi telah menilai economic value dari kegiatan rekreasi pada kawasan pantai dan terumbu karang dengan menggunakan TCM dan CVM dan selanjutnya mengestimasi surplus konsumen wisatawan. Hundloe (1990) menggunakan TCM untuk menghitung surplus konsumen dari wisatawan domestik dan asing pada kawasan terumbu karang di Australia. Surplus konsumen wisatawan domestik sebesar US$ 117 500 000 per tahun sedangkan US$ 26 700 000 per tahun pada wisatawan asing. Sedangkan CVM digunakan untuk mengestimasi nilai total dari keberadaan lokasi wisata.
Nilai rekreasi berhubungan dengan penggunaan suatu sumberdaya untuk kegiatan rekreasi merupakan penilaian ekonomi yang signifikan. Menurut Spurgeon (1992) peningkatan jumlah wisatawan merupakan manfaat terbesar langsung secara finansial bagi seluruh pengguna sumberdaya tersebut. Costanza et al. (1998) dalam Ruitenbeek (1999) menyatakan bahwa nilai rata-rata terumbu karang secara global pada tahun 1994 adalah US$ 6 075 per hektar per tahun, dimana nilai sebesar US$ 3 008 per hektar per tahun merupakan nilai dari pemanfaatannya sebagai tempat rekreasi. Garod dan Kenneth (1999) melakukan valuasi nilai rekreasi pada 74 Forest Recreation Areas (FRAs) di Malaysia, yang keseluruhan lokasi bersifat open access dan tidak memiliki tarif masuk. Studi ini membandingkan nilai surplus konsumen yang diperoleh setiap wisatawan untuk setiap kali kunjungan dengan menggunakan ITCM dan CVM. Hasil studi menunjukkan surplus konsumen per kunjungan dengan ITCM lebih besar dibandingkan dengan CVM. Nam dan Tran (2001) menggunakan TCM dan CVM untuk menilai jasa rekreasi dari kawasan terumbu karang di P. Hon Mun Vietnam. Berdasarkan analisis ITCM diperkirakan surplus konsumen per kunjungan adalah VND 422 277 dan manfaat rekreasi per kunjungan adalah VND 651 661. Berdasarkan jumlah total pengunjung pada tahun 2000, manfaat total kegiatan rekreasi adalah VND 126.948 milyar per tahun. ITCM pada studi ini hanya diterapkan untuk pengunjung domestik dan tidak meliputi pengunjung asing sebab umumnya wisatawan asing hanya melakukan sedikit sekali kunjungan ke lokasi tersebut (rata-rata satu kali). Sedangkan untuk wisatawan asing bernilai 202.4 juta dimana surplus konsumen sebesar VND 23.8 juta. Hasil CVM menunjukkan nilai WTP
diperkirakan sebesar VND 6 juta, dimana WTP pengunjung domestik adalah VND 17 956 dan WTP wisatawan asing VND 26 786. Nilai WTP ini dirasakan sangat rendah jika dibandingkan nilai WTP pada areal wisata lain di dunia. Berkaitan dengan penetapan tarif masuk Isangkura (2000) melakukan studi mengenai valuasi lingkungan mengenai sistem tarif masuk taman nasional di Thailand. Studi ini menilai manfaat jasa lingkungan suatu taman nasional, dengan mengkombinasikan metode TCM dan CVM (dengan contingent ranking method). Studi ini menganalisis efek lokasi rekreasi substitusi terhadap surplus konsumen. Hasil penelitian ini mampu menilai jasa lingkungan taman nasional serta menunjukkan bahwa terdapat efek substitusi di antara lokasi objek wisata di dalam satu kawasan. Hal ini menjadi salah satu pertimbangan dalam menetapkan tarif masuk ke lokasi tersebut yang selama ini gratis. Biqwanto (2004) melakukan valuasi ekonomi terumbu karang di Kepulauan Seribu. Hasil penelitian menunjukkan nilai ekonomi total ekosistem terumbu karang di wilayah ini pada tahun 1999 adalah Rp 62 548 478 926 per tahun. Kegiatan perikanan tangkap merupakan kontributor terbesar (28.55 persen), kegiatan marikultur sebesar 14.23 persen sedangkan kegiatan pariwisata sebesar 3.17 persen. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pemanfaatan ekosistem terumbu karang saat ini masih bertumpu pada ekploitasi manfaat langsung yaitu konsumtif di sektor perikanan tangkap, sedangkan manfaat langsung non konsumtif seperti kegiatan pariwisata belum menjadi hal utama. Beberapa hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa TCM telah banyak digunakan sebagai metode untuk menilai manfaat jasa lingkungan dari keberadaan sumberdaya khususnya untuk kegiatan rekreasi. Metode tak langsung ini pada
akhirnya akan memberikan estimasi besarnya surplus konsumen. Saat ini ITCM lebih banyak digunakan karena metode ini dipandang memberikan akurasi yang lebih tinggi, terutama dalam membangun fungsi permintaan, tidak hanya memperhitungkan biaya perjalanan dan faktor sosial ekonomi, tetapi juga keberadaan lokasi rekreasi substitusi. Selain itu untuk mengestimasi tarif masuk suatu objek wisata dapat digunakan CVM. Khusus untuk di Kepulauan Seribu estimasi nilai jasa lingkungan sebagai manfaat langsung non konsumtif belum dilakukan secara spesifik di kedua lokasi penelitian. 2.3 Analisis Kebijakan Pengelolaan Wisata Alam Kebijakan pembangunan kepariwisataan nasional dan daerah, selalu diarahkan untuk menggerakkan kegiatan ekonomi, sekaligus menciptakan kesempatan kerja. Pembangunan sektor ini diharapkan akan dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan memperbaiki kesejahteraan hidup masyarakat lokal. Demikian pula dengan pengembangan wisata alam tidak lepas dari prinsip ekonomi, konservasi dan pelibatan masyarakat lokal. Analisis kebijakan dalam pengelolaan wisata alam penting dilakukan. Mengingat kegiatan ini dilakukan oleh banyak pihak, yaitu wisatawan, masyarakat lokal, pihak swasta, pemerintah serta lembaga non pemerintah, yang masingmasing memiliki tujuan yang berbeda. Industri wisata menginginkan kondisi bisnis yang kondusif, diantaranya melalui keamanan finansial, pekerja yang terlatih dan bertanggungjawab, atraksi yang diadakan untuk menstabilkan jumlah kunjungan dan pengembalian investasi yang nyata. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) fokus pada sejumlah isu pelestarian lingkungan dan budaya,
seperti proteksi lingkungan melalui upaya pencegahan, perbaikan serta perbaikan kerusakan dan memotivasi orang-orang untuk lebih peduli dan selanjutnya tidak menghabiskan sumberdaya. Masyarakat lokal menginginkan lingkungan alami untuk hidup dengan kondisi ketersediaan yang cukup pada pangan, air bersih, sarana kesehatan, pekerjaan dengan upah yang sesuai, pendidikan, rekreasi, penghormatan terhadap tradisi dan budaya serta kesempatan untuk menentukan masa depan. Sedangkan pemerintah ingin menjadikan kegiatan ini sebagai salah satu sumber penerimaan daerah dan berasumsi bahwa kesemua hal tersebut dapat berjalan apabila terdapat aksesibilitas, sarana prasarana (infrastruktur) dan aturan dalam penggunaannya (Wearing dan Neil, 2000). Beberapa penelitian telah dilakukan terkait kebijakan pengembangan pariwisata alam. Stein et al. (2003) melakukan studi mengenai penilaian mengenai pengembangan ekowisata di Florida dari berbagai sudut pandang stakeholder. Hasil penelitian tersebut menunjukkan para stakeholder memiliki visi dan prioritas yang berbeda. Pelaku wisata yakin bahwa kegiatan wisata berbasis alam akan membantu menyediakan manfaat langsung atau pun tidak langsung pada daerah. Sedangkan badan manajemen lahan publik concern kepada isu manfaat ekologis dan isu manajemen sumberdaya. Kedua kelompok sepakat untuk melibatkan industri pariwisata dan masyarakat lokal lebih dalam pada perencanaan wisata berbasis alam. Penelitian Sarampe (2004) pada ekoturisme di Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara, menunjukkan potensi objek ekoturisme di wilayah tersebut adalah wisata hutan, bahari dan budaya. Minat wisatawan cukup tinggi, namun pengelolaan sarana dan fasilitas masih rendah bahkan dapat dikatakan belum ada
sentuhan pengelolaan. Masyarakat setempat sangat merespon bila dilakukan pengembangan objek ekowisata dengan harapan akan menciptakan lapangan pekerjaan serta peningkatan kesejahteraan. Penelitian ini merekomendasikan strategi-strategi pengembangan wisata alam di lokasi tersebut dengan analisis Strengthness, Weaknesess, Opportunities and Threat (SWOT). Beberapa literatur penelitian mengenai kebijakan pengelolaan dan pengembangan pariwisata alam di atas, menunjukkan bahwa kegiatan wisata alam melibatkan banyak kepentingan. Sehingga terdapat kendala untuk mewujudkan tujuan pengembangannya. Walaupun berbagai stakeholder wisata memiliki penilaian yang berbeda terhadap pengelolaan ekowisata ini, namun harus diupayakan suatu titik tengah yang mempertemukan keinginan berbagai pihak. Artinya kolaborasi yang kuat dan kerjasama kreatif dari berbagai pihak merupakan
upaya
terbaik
guna
meningkatkan
manfaat
ekonomi
dan
meminimalisir biaya lingkungan. Keseluruhan literatur studi sebelumnya menunjukkan bahwa studi mengenai periwisata alam telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya, namun suatu studi terkait analisis ekonomi yang komprehensif dan kebijakan pengelolaannya belum dilakukan. Hal tersebut menjadi alasan penting mengapa penelitian ini perlu untuk dilakukan.