II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. POHON BINTARO (Cerbera odollam Gaertn) Bintaro (Gambar 1) termasuk tumbuhan mangrove yang berasal dari daerah tropis di Asia, Australia, Madagaskar, dan kepulauan sebelah barat samudera pasifik. Pohon ini memiliki nama yang berbeda di setiap daerah, seperti othalanga Maram dalam bahasa Malayalam yang digunakan di Kerala, India; arali kattu di negara bagian selatan India Tamil Nadu; famentana, kisopo, samanta atau tangena di Madagaskar; dan pong-pong, buta-buta, bintaro atau nyan di Asia Tenggara (Gaillard et al. 2004). Pohon bintaro mempunyai nama latin Cerbera odollam Gaertn, termasuk tumbuhan non pangan atau tidak untuk dimakan. Dinamakan Cerbera karena bijinya dan semua bagian pohonnya mengandung racun yang disebut “cerberin” yaitu racun yang dapat menghambat saluran ion kalsium di dalam otot jantung manusia, sehingga mengganggu detak jantung dan dapat menyebabkan kematian. Bahkan asap dari pembakaran kayunya dapat menyebabkan keracunan. Walaupun begitu, pohon bintaro juga memiliki banyak potensi, antara lain kulit buah bintaro yang berserat dapat digunakan sebagai bahan baku papan partikel atau dapat dijadikan sebagai bahan bakar secara langsung atau diubah menjadi briket untuk bahan bakar tungku sedangkan minyak biji bintaro dapat dijadikan sebagai salah satu sumber energi alternatif yaitu biodiesel. Potensi ini juga didukung karena pohon bintaro menghasilkan buah sepanjang tahun dan keberadaan pohon bintaro sangat banyak karena digunakan sebagai tanaman penghijauan dan sebagai penghias taman kota serta tidak membutuhkan pemeliharaan khusus (Purwanto 2011).
Gambar 1. Pohon bintaro Taksonomi pohon bintaro : Kingdom : Plantae - Plants Subkingdom : Tracheobionta - Vascular plants
4
Superdivision Division Class Subclass Order Family Genus Species
: : : : : : : :
Spermatophyta - Seed plants Magnoliophyta - Flowering plants Magnoliopsida - Dicotyledons Asteridae Gentianales Apocynaceae - Dogbane family Cerbera L. Cerbera odollam Gaertn.
Pohon bintaro memiliki daun, bunga, buah dan biji (Gambar 2) yang unik. Daun bintaro bentuknya memanjang, simetris dan menumpul pada bagian ujung dengan ukuran bervariasi, tetapi rata-rata memiliki panjang 25 cm. Tersusun secara spiral, terkadang berkumpul pada ujung roset. Bunga bintaro terdapat pada ujung pedikel simosa dengan lima petal yang sama atau disebut pentamery. Korola berbentuk tabung dan ada warna kuning pada bagian tengahnya. Buah bintaro berbentuk bulat dan berwarna hijau pucat dan ketika tua akan berwarna merah. Buah bintaro merupakan buah drupa (buah biji) yang terdiri dari tiga lapisan yaitu epikarp atau eksokarp (kulit bagian terluar buah), mesokarp (lapisan tengah berupa serat seperti sabut kelapa) dan endokarp (biji yang dilapisi kulit biji atau testa) (Mulyani 2007). Menurut Desrial (2011) di dalam buah bintaro muda terdapat kandungan racun sianida, tetapi mudah sirna jika terpapar sinar matahari. a
b
c
d
e
f
Gambar 2. Bagian-bagian dari pohon bintaro (a) daun, (b) bunga, (c) buah dengan kulit, (d) buah tanpa kulit, (e) biji dengan kulit biji dan (f) biji tanpa kulit biji
5
Biji bintaro berbentuk bulat pipih seperti telur, berwarna putih dengan ukuran sekitar 2 cm x 1.5 cm dan terdiri dari dua bagian cross-matching berdaging putih. Setelah buah bintaro mengalami proses pengupasan dan terkena udara bebas, warna biji akan berubah menjadi abuabu gelap dan akhirnya cokelat atau hitam. Biji bintaro banyak mengandung senyawa saponin steroid yaitu cerleasida A, 17 7-α-neriifolin, 17-β-neriifolin, cerberin, dan 2‟-O-asetil cerleasida A (Oesman et al. 2010). Biji bintaro mengandung minyak yang cukup banyak yaitu sekitar 4364% (Imahara et al. 2006) sehingga berpotensi sebagai bahan baku biodiesel. Minyak biji bintaro dapat dilihat pada Gambar 3 sedangkan komposisi kimia minyak bintaro dapat dilihat pada Tabel 3.
Gambar 3. Minyak biji bintaro Tabel 3. Komposisi asam lemak penyusun trigliserida minyak biji bintaro Asam Lemak
Nama Sistematik
Hasil Analisis (%)
Heksadekanoat
17,67
cis-9-heksadekenoat
4,91
Stearat
Oktadekanoat
4,38
Elaidat
tr-9-oktadekenoat
8,54
Oleat
cis-9-oktadekenoat
34,02
Linolelaidat
Tr-9,12-oktadekadienoat
4,49
Linoleat
cis-9,12-oktadekadienoat
16,74
cis-9,12,15-oktadekatrienoat
0,40
Total asam lemak
89,98
Palmitat Palmitoleat
ὰ-Linolenat
Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa minyak bintaro memiliki kandungan asam lemak tidak jenuh yang tinggi sehingga memiliki titik leleh yang rendah dan minyak akan berbentuk cair pada suhu kamar. Total asam lemak penyusun trigliserida minyak biji bintaro yaitu sebesar 89,98%. Hal ini disebabkan tidak adanya puncak pembanding pada stándar asam lemak (Endriana 2007).
2.2. BIODIESEL Biodiesel diartikan sebagai bioenergi atau bahan bakar nabati yang dibuat dari minyak nabati, baik minyak baru maupun bekas dan melalui proses esterifikasi, transesterifikasi atau proses esterifikasi-transesterifikasi (Hambali et al. 2007). Biodiesel merupakan sejenis bahan bakar diesel yang diproses dari bahan hayati terutama minyak nabati dan lemak hewan dan
6
secara kimiawi dinyatakan sebagai monoalkil ester dari asam lemak rantai panjang yang bersumber dari golongan lipida (Darnoko et al. 2001, Tapasvi et al. 2005, Ma dan Hanna 1999). Monoalkil ester dapat berupa metil ester atau etil ester yang merupakan senyawa yang relatif stabil, berwujud cair pada temperatur ruang (titik leleh antara 4-18oC), titik didih rendah dan tidak korosif. Metil ester lebih stabil secara pirolitik dalam proses distilasi fraksional dan lebih ekonomis sehingga lebih disukai daripada etil ester (Sonntag 1982). Standar biodiesel tidak membedakan bahan dasar yang digunakan dalam memproduksi biodiesel namun lebih ditekankan pada kinerja biodiesel itu sendiri. Kualitas biodiesel sebagai produk bahan bakar mesin diesel ditentukan oleh beberapa parameter, antara lain massa jenis, viskositas, angka setana, titik nyala, titik kabut, residu karbon, air dan sedimen, kandungan fosfor, bilangan asam, kadar gliserol bebas, kadar gliserol total, angka iodine dan lain-lain. Persyaratan mutu biodiesel di Indonesia sudah dibakukan dalam SNI-04-7182-2006, yang telah disahkan dan diterbitkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) tanggal 22 Februari 2006 (Soerawidjaja 2006). Tabel 4 menyajikan persyaratan kualitas biodiesel menurut SNI-04-71822006. Tabel 4. Persyaratan kualitas biodiesel menurut SNI-04-7182-2006. Parameter Massa jenis pada 40 oC Viskositas kinematik pada 40 oC
Unit kg/m3
Batas nilai 850 – 890
Metode uji ASTM D 1298
Metode setara ISO 3675
mm2/s (cSt)
2.3 – 6.0
ASTM D 445
ISO 3104
Angka setana
min. 51
ASTM D 613
ISO 5165
Titik nyala (mangkok tertutup)
o
min. 100
ASTM D 93
ISO 2710
Titik kabut
o
maks. 18
ASTM D 2500
-
maks. no. 3
ASTM D 130
ISO 2160
Maks. 0.05
ASTM D 4530
ISO 10370
maks. 0.05
ASTM D 2709
-
C
maks. 360
ASTM D 1160
-
% - mass
maks. 0.02
ASTM D 874
ISO 3987
Belerang
ppm (mg/kg)
maks. 100
ASTM D 5453
prEN ISO 20884
Fosfor
ppm (mg/kg)
maks. 10
AOCS Ca 12-55
FBI-A05-03
Angka asam
mg-KOH/gr
maks. 0.8
AOCS Cd 3-63
FBI-A01-03
Gliserol bebas
% - mass
maks. 0.02
AOCS Ca 14-56
FBI-A02-03
Gliserol total
% - mass
maks. 0.24
AOCS Ca 14-56
FBI-A02-03
Korosi bilah tembaga
C C
o
(3 jam, 50 C)
Residu karbon,
% - mass
- dalam contoh asli
(maks 0.03)
- dalam 10 % ampas distilasi Air dan sedimen Temperatur distilasi
% - vol 90 %,
Abu tersulfatkan
o
*)
Kadar ester alkil
% - mass
min. 96.5
dihitung
FBI-A03-03
Angka iodine
% - mass
maks. 115
AOCS Cd 1-25
FBI-A04-03
Negatif
AOCS Cb 1-25
FBI-A06-03
(g-I2/100 gr) Uji Halphen
*) berdasarkan angka penyabunan, angka asam, serta kadar gliserol total dan gliserol bebas; rumus perhitungan dicantumkan dalam FBI-A03-03
Sumber: Soerawidjaja, 2006
7
Viskositas dan tegangan permukaan merupakan faktor yang penting dalam menentukan kualitas biodiesel terutama dalam mekanisme terpecahnya serta atomisasi bahan bakar sesaat setelah keluar dari mulut pipa semprot (nozzle) menuju ruang bakar (Soerawidjaja et al. 2005). Viskositas dengan nilai minimum diperlukan untuk beberapa mesin, karena berkaitan dengan kehilangan power pada pompa injeksi dan kebocoran injektor. Persyaratan viskositas biodiesel tidak berbeda dengan persyaratan pada petroleum diesel. Viskositas yang tidak terlalu kecil akan menguntungkan karena dapat meningkatkan kemampuan daya lumas bahan bakar terhadap mesin kendaraan diesel. Tetapi viskositas yang terlalu tinggi juga tidak diharapkan (di atas 5.5 cSt) karena dapat menghambat jalannya mesin akibat terlalu kental. Titik nyala adalah suhu paling rendah untuk penyalaan bahan bakar untuk terbakar, dimana uapnya terbakar sesaat pada waktu kontak dengan nyala (flame) dan mati dengan cepat (seketika). Persyaratan titik nyala (flash point) diperlukan untuk keamanan bahan bakar biodiesel selama penyimpanan, transportasi dan penggunaan. Flash point biodiesel lebih tinggi dan tidak memproduksi asap, dapat didegradasi dan toksisitas rendah karena biodiesel tidak mengandung hidrokarbon aromatik jika dibandingkan dengan petroleum diesel (Mittelbach 1996). Titik nyala berkaitan dengan residu metanol yang tertinggal dalam biodiesel. Residu metanol dalam jumlah kecil mengurangi flash point (metanol mempunyai titik nyala 11.11oC) sehingga berpengaruh terhadap pompa bahan bakar, seals, dan elastomers dan dapat menghasilkan sifat-sifat yang jelek dalam pembakaran (Tyson 2004). Kandungan air dan sedimen yang dizinkan dalam biodiesel adalah maksimal 0.05% vol. Kandungan air yang tinggi dalam biodiesel akan sangat mempengaruhi dalam penyimpanan biodiesel, karena air dalam biodiesel dapat mengondisikan lingkungan yang cocok untuk mikroorganisme. Selain itu, air dalam biodiesel akan menyebabkan mesin diesel aus sehingga dapat menyebabkan korosi pada mesin diesel. Bilangan asam disebut juga bilangan netralisasi karena ukuran yang dipakai adalah jumlah basa (KOH) yang diperlukan untuk menetralisasi kandungan asam. Bilangan asam biodiesel menunjukkan asam lemak bebas yang berasal dari degradasi ester. Bilangan asam yang tinggi mengindikasikan adanya degradasi dari ester selama penyimpanan biodiesel yang kurang baik. Bilangan asam yang tinggi (lebih dari 0.8) dapat menyebabkan terjadinya deposit sistem bahan bakar dan mengurangi umur dari pompa dan filter (Tyson 2003). Angka iodine pada biodiesel menunjukkan tingkat ketidakjenuhan senyawa penyusun biodiesel. Di satu sisi, keberadaan senyawa lemak tidak jenuh meningkatkan performansi biodiesel pada temperatur rendah, karena senyawa ini memiliki titik leleh (melting point) yang lebih rendah (Knothe 2005) sehingga berkorelasi pada cloud dan pour point yang juga rendah. Namun di sisi lain, banyaknya senyawa lemak tidak jenuh di dalam biodiesel memudahkan senyawa tersebut bereaksi dengan oksigen di atmosfer dan bisa terpolimerisasi membentuk material serupa plastik (Azam et al. 2005). Oleh karena itu, terdapat batasan maksimal angka iodine yang diperbolehkan untuk biodiesel, yakni 115. Selain itu, pembatasan angka iodine ini dikarenakan berhubungan dengan pemanasan asam lemak tidak jenuh yang tinggi akan menghasilkan polimerisasi gliserida yang dapat menghasilkan deposit atau kerusakan minyak pelumas (Mittelbach 1996). Terpenuhinya semua persyaratan SNI-04-7182-2006 oleh suatu biodiesel menunjukkan bahwa biodiesel tersebut tidak hanya telah dibuat dari bahan mentah yang baik, melainkan juga dengan tata cara pemrosesan serta pengolahan yang baik pula. Biodiesel mempunyai rantai karbon antara 12 sampai 20 serta mengandung oksigen. Adanya oksigen pada biodiesel membedakannya dengan petroleum diesel (solar) yang
8
komponen utamanya hanya terdiri dari hidrokarbon. Jadi komposisi biodiesel dan petroleum diesel sangat berbeda. Biodiesel terdiri dari metil ester asam lemak nabati, sedangkan petroleum diesel adalah hidrokarbon. Namun, biodiesel mempunyai sifat kimia dan fisika yang serupa dengan petroleum diesel (solar) sehingga dapat digunakan langsung untuk mesin diesel atau dicampur dengan petroleum diesel. Keuntungan pemakaian biodiesel dibandingkan dengan petrodiesel (BBM) diantaranya adalah bahan baku dapat diperbaharui (renewable), cetane number tinggi, biodegradable, dapat digunakan pada semua mesin tanpa harus modifikasi, berfungsi sebagai pelumas sekaligus membersihkan injektor, serta dapat mengurangi emisi karbondioksida, partikulat berbahaya, dan sulfur oksida. Tabel 5 menunjukkan perbandingan antara biodiesel dan petrodiesel. Tabel 5. Perbandingan biodiesel dan petrodiesel Fisika Kimia Komposisi
Biodiesel Metil ester
Petrodiesel Hidrokarbon
Densitas (g/ml)
0,8624
0,8750
Viskositas (cSt)
5,55
4,6
o
Flash point ( C)
172
98
Angka setana
62,4
53
Kelembaban (%)
0,1
0,3
Energi yang dihasilkan 128.000
Energi yang dihasilkan 130.000
BTU
BTU
Sama
Sama
Engine power
Engine torque Modifikasi engine
Tidak diperlukan
Konsumsi bahan bakar
Sama
Sama
Lebih tinggi
Lebih rendah
CO rendah, total hidrokarbon,
CO tinggi, total hidrokarbon,
sulfur dioksida, dan nitroksida
sulfur dioksida, dan nitroksida
Penanganan
Flamable lebih rendah
Flamable lebih tinggi
Lingkungan
Toxisitas rendah
Toxisitas 10 kali lebih tinggi
Keberadaan
Terbarukan
Tidak terbarukan
Lubrikasi Emisi
Sumber : Pakpahan, 2001
2.3. TRANSESTERIFIKASI Transesterifikasi adalah reaksi ester untuk menghasilkan ester baru yang mengalami penukaran posisi asam lemak (Swern 1982). Reaksi transesterifikasi (alkoholisis) adalah tahap konversi dari trigliserida pada minyak nabati menjadi metil ester (biodiesel) melalui reaksi dengan menggunakan alkohol rantai pendek seperti metanol atau etanol dan katalis asam atau basa serta menghasilkan produk samping berupa gliserol. Berikut ini adalah mekanisme reaksi transesterifikasi umum trigliserida dengan alkohol dari jenis metanol (1):
9
O
O
R1 – C – O – CH2
R1 – C – O – CH3
O
HO – CH2
O katalis
R2 – C – O – CH
+
R2 – C – O – CH3 + HO – CH
3CH3OH NaOH
O
O
R3 – C – O – CH2 Trigliserida
Metanol
R3 – C – O – CH3
HO – CH2
Biodiesel
Gliserol
TG
+
CH3OH
DG
+
R1COOCH3
DG
+
CH3OH
MG
+
R2COOCH3
MG
+
CH3OH
GL
+
R3COOCH3
(2) Gambar 4. Mekanisme Transesterifikasi; (1) Mekanisme reaksi umum trigliserida dengan alkohol dari jenis metanol; (2) Tiga reaksi berurutan dan reversible [R1,2,3 = asam lemak] Trigliserida (TG) sebagai komponen utama dari minyak nabati bila direaksikan dengan alkohol (misal metanol), maka ketiga rantai asam lemak akan dibebaskan dari sketelon gliserol dan bergabung dengan metanol untuk menghasilkan asam lemak alkil ester (misal asam lemak metil ester atau biodiesel). Reaksi transesterifikasi merupakan reaksi tiga tahap dan reaksi balik (reversible) yang membentuk tiga molar metil ester dan satu molar gliserol dari satu molar trigliserida dan tiga molar metanol. Digliserida (DG) dan monogliserida (MG) merupakan hasil reaksi antara (intermediate). Reaksi transesterifikasi dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan kondisi yang berasal dari minyak, seperti kandungan air dan asam lemak bebas. Sedangkan faktor eksternal merupakan kondisi yang tidak berasal dari minyak, meliputi kecepatan pengadukan, suhu reaksi, waktu reaksi, rasio molar metanol dan jenis katalis (Freedman et al. 1984). Kandungan air dan asam lemak bebas yang terdapat pada minyak dapat berpengaruh terhadap pembentukan sabun yang akan mengurangi kebasaan katalis dan membentuk gel yang dapat mempersulit pemisahan dan pengendapan gliserol (Canakci dan Van gerpen 2001). Kandungan asam lemak bebas dan air yang masing-masing lebih dari 0.5% dan 0.3% dapat menurunkan rendemen transesterifikasi minyak (Freedman et al. 1984). Pengadukan diperlukan untuk homogenisasi campuran. Ketika metanol dan katalis dicampurkan dengan minyak maka akan terbentuk dua fase, yaitu fase metanol di bagian atas dan fase minyak di bagian bawah. Adanya pemisahan fase ini menghambat laju reaksi, karena rendahnya peluang kontak antara minyak, metanol dan katalis. Kecepatan pengadukan berfungsi untuk meningkatkan frekuensi kontak pada pencampuran antara minyak, alkohol dan katalis. Kecepatan pengadukan yang sesuai dapat membantu homogenisasi dan meningkatkan kecepatan konversi. Suhu reaksi mempengaruhi laju reaksi dan ester yang terbentuk. Proses transesterifikasi akan berlangsung lebih cepat apabila suhu dinaikkan sekitar 60-65oC mendekati titik didih metanol 68oC. Menurut Darnoko et al. (2001) produksi minyak menjadi metil ester dilakukan
10
melalui reaksi transesterifikasi menggunakan metanol dengan katalis basa atau asam pada suhu 50-70oC. Alkohol yang umum digunakan pada proses transesterifikasi adalah metanol, hal ini dikarenakan harganya lebih murah dan reaktifitasnya paling tinggi, selain itu lebih mudah direcoveri. Secara stoikiometri, jumlah alkohol yang dibutuhkan untuk reaksi adalah tiga mol untuk setiap satu mol trigliserida untuk memperoleh tiga mol metil ester dan satu mol gliserol. Secara umum ditunjukkan bahwa semakin banyak jumlah alkohol yang digunakan, maka konversi yang diperoleh juga akan semakin bertambah. Hal ini dikarenakan transesterifikasi merupakan reaksi kesetimbangan sehingga untuk mendorong reaksi ke arah kanan untuk menghasilkan metil ester diperlukan alkohol dalam jumlah berlebih atau salah satu produk yang harus dipisahkan (Hambali et al. 2007). Freedman et al. (1984) menyatakan bahwa pada rasio molar 3:1 setelah satu jam konversi yang dihasilkan adalah 74-89% sedangkan pada rasio molar 6:1 adalah 98-99% sehingga rasio molar 6:1 lebih baik dibandingkan rasio 3:1. Katalis dalam proses produksi biodiesel merupakan suatu bahan (misal basa, asam atau enzim) yang berfungsi untuk mencapai reaksi dengan jalan menurunkan energi aktifasi dan tidak mengubah kesetimbangan reaksi, serta bersifat sangat spesifik. Sebenarnya proses produksi dapat berlangsung tanpa penambahan katalis, akan tetapi reaksi akan berlangsung sangat lambat, membutuhkan suhu yang tinggi dan tekanan yang tinggi pula. Katalis yang digunakan pada reaksi transesterifikasi dapat berupa asam atau basa, tetapi katalis basa lebih banyak digunakan karena reaksinya sangat cepat, sempurna dan dapat dilakukan pada suhu yang rendah. Katalis basa yang biasa digunakan adalah NaOH atau KOH. Kelebihan NaOH sebagai katalis dalam reaksi transesterifikasi adalah mudah larut dalam metanol sehingga reaksi metanol dengan trigliserida berlangsung lebih cepat (Ma dan Hanna 1999). Menurut Freedman et al. (1984) jumlah optimum katalis basa yang baik digunakan pada proses transesterifikasi berkisar antara 0.5-1.0% dari berat minyak nabati. Secara umum, biodiesel diproduksi melalui proses transesterifikasi minyak atau lemak yang menghasilkan metil ester atau monoalkil ester dan gliserol sebagai produk samping. Transesterifikasi hanya bekerja secara baik terhadap minyak yang mempunyai kualitas baik, apabila minyak mengandung asam lemak bebas melebihi 2% maka akan membentuk formasi emulsi sabun yang menyulitkan pemisahan biodiesel yang dihasilkan (Lele 2005). Rendemen transesterifikasi dapat ditingkatkan dari 25% menjadi 96% dengan menurunkan kadar asam lemak bebas dan air masing-masing berturut-turut 10% menjadi 0.23% dan 0.2% menjadi 0.02% (Lee et al. 2002). Minyak mengandung asam lemak bebas melebihi 2% memerlukan perlakuan pendahuluan berupa esterifikasi, hal ini dikarenakan asam lemak bebas akan membentuk sabun dan emulsi yang sukar dipisahkan pada proses transesterifikasi (Canakci dan Van Gerpen 1999). Esterifikasi merupakan reaksi antara metanol dengan asam lemak bebas sehingga terbentuk metil ester dengan bantuan katalis asam kuat berupa H2SO4 atau HCl. Reaksi kimia esterifikasi adalah sebagai berikut: RCOOH Asam lemak bebas
+ CH3OH RCOOCH3 + H2O metanol katalis asam metil ester air
Gambar 5. Mekanisme Esterifikasi Reaksi esterifikasi tidak hanya mengkonversi asam lemak bebas menjadi metil ester tetapi juga menjadi trigliserida walaupun dengan kecepatan yang lebih rendah (Freedman et al. 1984).
11