II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Lahan Lahan adalah lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi dimana faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaan lahannya (Hardjowigeno et al., 1999). Menurut FAO (1977), lahan ialah suatu daerah permukaan daratan bumi yang ciri-cirinya mencakup segala tanda pengenal, baik yang bersifat cukup mantap maupun yang dapat diramalkan bersifat mendaur dari biosfer, atmosfer, tanah, geologi, hidrologi dan populasi tumbuhan dan hewan, serta hasil kegiatan manusia pada masa lampau dan masa kini, sejauh tanda-tanda pengenal tersebut memberikan pengaruh atas penggunaan lahan oleh manusia pada masa kini hingga masa mendatang. Dalam arti yang lebih luas, lahan mencakup pembentukan yang telah dipengaruhi oleh berbagai aktifitas flora, fauna dan manusia baik di masa lalu maupun saat sekarang, seperti lahan rawa dan pasang surut yang telah direklamasi atau tindakan konservasi tanah pada suatu lahan tertentu (Djaenudin et al., 2003).
2.2. Tanah Ultisol Menurut Subagyo et al (2004), Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang penyebarannya mencapai luas sekitar 45.794 juta hektar atau 25% dari wilayah daratan Indonesia. Penyebarannya berturut-turut dari yang paling luas adalah di Kalimantan (21.938 juta hektar), di Sumatera (9.469 juta hektar), di Maluku dan Papua (8.859 juta hektar), di Sulawesi (4.303 juta hektar), di Jawa
(1.172 juta hektar) dan di Nusa Tenggara (53,000 hektar). Tanah ini dapat dijumpai pada berbagai relief, mulai dari datar hingga bergunung. Menurut Adiningsih dan Mulyadi (1993), tanah Ultisol mempunyai ciri memiliki penampang tanah yang dalam, adanya kenaikan fraksi liat seiring dengan kedalaman tanah, reaksi tanahnya masam dan memiliki kejenuhan basa rendah. Pada umumnya Ultisol berwarna kuning kecoklatan hingga merah. Pada klasifikasi lama menurut Soepraptohardjo (1961), Ultisol diklasifikasikan sebagai Podsolik Merah Kuning. Pada umumnya Ultisol di Indonesia terbentuk dari bahan induk tufa masam, batu pasir dan sedimen kuarsa, sehingga tanahnya bersifat masam yang miskin unsur hara, mempunyai kejenuhan basa rendah, kapasitas tukar kation rendah dan memiliki kadar bahan organik rendah. Ciri morfologi yang penting pada Ultisol adalah adanya peningkatan fraksi liat dalam jumlah tertentu pada horizon seperti yang disyaratkan dalam Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 1992). Horizon tanah dengan peningkatan liat tersebut dikenal sebagai horizon argilik. Horizon tersebut dapat dikenali dari fraksi liat hasil analisis di laboratorium maupun dari penampang profil tanah. Horizon argilik umumnya kaya akan Al sehingga peka terhadap perkembangan akar tanaman, yang menyebabkan akar tanaman sulit menembus horizon ini dan hanya berkembang di atas horizon argilik (Soekardi et al., 1993).
2.3. Satuan Lahan Homogen Satuan lahan homogen atau Land Unit merupakan cara pendekatan dalam inventarisasi sumberdaya alam (Wiradisastra, 1989). Pengembangan konsep ini biasanya dikaitkan dengan dipakainya sarana seperti foto udara dan peta tematik
untuk pengumpulan data awal. Dengan menggunakan peta-peta yang tersedia, konsep satuan lahan dapat didefinisikan dengan jelas dan dapat dideliniasi (dipisah-pisahkan, kemudian ditarik batas-batasnya). Satuan lahan dapat dibangun dengan menumpang tindihkan (overlay) berbagai parameter lahan yang dapat dipetakan. Pada pendekatan sekarang, satuan lahan didefinisikan sebagai area homogen dalam berbagai parameter fisik lahan (tanah, lereng, penggunaan lahan, derajat kerusakan erosi, dan lain-lain) yang dapat diidentifikasikan langsung di lapang. Bila salah satu parameter berubah maka satuan lahan akan berubah pula. Dalam proses evaluasi lahan, satuan lahan homogen ini dianggap sebagai satuan peta (mapping unit) dengan ciri karakteristik atau kualitas lahan yang akan dipadankan (matching) dengan persyaratan tumbuh tanaman. Melihat proses pembentukan satuan lahan homogen dengan cara overlay dari parameter penyusunnya diatas, maka pendekatannya dinamakan Pendekatan Sistem Informasi Geografi atau GIS Approach (Wiradisastra, 1989). Sistem informasi ini terdiri dari set data dan informasi yang telah disusun dalam bentuk peta-peta sumberdaya alam. Untuk tujuan analisis dengan menggabungkan berbagai parameter lahan pada suatu evaluasi lahan, maka dilakukan tumpang tindih peta-peta tersebut yang akan menghasilkan unit area yang mempunyai kesamaan sifat yang secara spasial telah terdelineasi dan dianggap mempunyai sifat sesuai dengan jumlah parameter yang ditumpang tindihkan.
2.4. Karakteristik Lahan dan Kualitas Lahan Karakteristik lahan mencakup beberapa faktor yang dapat diukur seperti lereng, curah hujan, tekstur, air tersedia, dan sebagainya dimana sifat-sifat tersebut saling berinteraksi. Oleh karena itu, dalam interpretasi perlu diperbandingkan antara lahan dengan penggunaannya dalam pengertian kualitas lahan. Masing-masing kualitas lahan mempunyai keragaman tertentu yang berpengaruh terhadap kesesuaian untuk suatu penggunaan tertentu. Setiap kualitas lahan dapat terdiri dari satu atau lebih karakteristik lahan (FAO, 1976). Tabel 1 menunjukkan kualitas dan karakteristik lahan yang digunakan dalam kriteria kesesuaian lahan (Djaenudin et al., 2003). Karakteristik lahan yang diamati di lapangan disesuaikan dengan kebutuhan data yang diperlukan dalam analisis kesesuaian lahan. Data tersebut meliputi kemiringan lereng, kedalaman tanah, drainase, keadaan batuan / kerikil, dan ancaman terhadap banjir (Djaenudin et al., 2003).
Tabel 1. Kualitas dan karakteristik lahan yang digunakan dalam kriteria evaluasi lahan. Simbol Tc Wa
Kualitas lahan Temperatur Ketersediaan air
Rc
Media perakaran
Nr
Retensi hara
Xc
Toksisitas
Xn
Sodositas
Karakteristik lahan Temperatur Curah hujan (mm) Lamanya masa kering (bln) Kelembaban udara (%) Drainase Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah Ketebalan gambut Kematangan gambut KTK tanah Kejenuhan basa (%) pH H2O C-Organik (%) Kejenuhan Alumunium Salinitas Alkalinitas
Lanjutan Tabel 1 Simbol Kualitas lahan Xs Bahaya sulfidik Eh Bahaya erosi Fh Lp
Bahaya banjir Penyiapan lahan
Karakteristik lahan Bahan sulfidik Lereng (%) Tingkat Bahaya erosi Genangan Batuan permukaan (%) Singkapan batuan (%)
Karakteristik lahan tidak dapat berperan secara sendiri-sendiri, akan tetapi lebih sering merupakan gabungan antar karakteristik secara berkaitan. Kombinasi beberapa karakteristik lahan menentukan atau mempengaruhi kualitas lahan, yakni bagaimana ketersediaan air, perkembangan akar, peredaran udara, kepekaan terhadap erosi, ketersediaan hara, dan lain sebagainya (Arsyad, 1989). Kualitas lahan menunjukkan sifat-sifat lahan (land atributed) yang mempunyai pengaruh nyata terhadap kesesuaian lahan untuk penggunaan-penggunaan tertentu. Satu jenis kualitas lahan dapat disebabkan oleh beberapa karakteristik lahan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).
2.5. Syarat Tumbuh Tanaman Damar (Agathis loranthifolia) Tanaman Agathis loranthifolia termasuk dari family Araucariaceae yang memiliki nama lain Agathis dammara dan dalam bahasa indonesia disebut dengan damar. Tanaman agathis jenis ini biasanya tumbuh pada dataran tinggi (300–1200 m dpl) dengan curah hujan (3000–4000 mm/tahun) dan temperatur rata–rata pertahunnya 25o–30o C. Tanaman agathis memerlukan drainase yang baik dan tumbuh baik pada kondisi tanah dengan pH 6,0-6,5. Kayu dari tanaman ini diklasifikasikan agak kuat namun tidak tahan terhadap pembusukan dan sering digunakan untuk pembuatan korek api, perabot rumah tangga, vinir bermutu baik, kayu lapis dan pulp. Bagian dalam kulit kayu mengeluarkan resin bening (kopal),
yang merupakan bagian penting dalam pembuatan pelitur dan dahulu digunakan dalam pembuatan minyak pelapis lantai dan dapur yang dapat dibersihkan dengan dicuci (Nurhasybi, 2000).
2.6. Evaluasi Kesesuaian Lahan Evaluasi kesesuaian lahan sering juga disebut evaluasi lahan. Evaluasi lahan merupakan proses penilaian potensi suatu lahan untuk penggunaanpenggunaan tertentu yang hasilnya digambarkan dalam bentuk peta. Inti dari evaluasi lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan, dengan sifat–sifat lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan. Hasil evaluasi lahan merupakan dasar untuk perencanaan tataguna lahan yang rasional, sehingga tanah dapat digunakan secara optimal dan lestari (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Evaluasi
lahan
dibedakan
dalam
tiga
tingkat
kerincian,
yaitu:
reconnaissance (tinjau), semi-detil (setengah rinci), dan detil (rinci). Evaluasi lahan dengan tingkat tinjau dilakukan dalam skala nasional/provinsi dan dilakukan secara kualitatif. Evaluasi lahan pada tingkat semi-detil dilakukan untuk tujuan– tujuan yang lebih khusus dan dilakukan secara kuantitatif. Sedangkan pada tingkat detil, evaluasi lahan dilakukan untuk perencanaan yang telah pasti dan dilakukan setelah
kepastian
melaksanakan
proyek
diputuskan
(Hardjowigeno
dan
Widiatmaka, 2007). Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini (present) atau setelah diadakan perbaikan (improvement). Lebih spesifik lagi
kesesuaian lahan tersebut ditinjau dari sifat-sifat fisik lingkungannya, yang terdiri atas iklim, tanah, topografi, hidrologi dan/atau drainase sesuai untuk suatu usaha tani atau komoditas tertentu yang produktif (Djaenudin et al., 2003).
2.7. Klasifikasi Kesesuaian Lahan Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka FAO (1976) dapat dibedakan menurut tingkatannya, yaitu tingkat ordo, kelas, subkelas, dan unit. Ordo menunjukkan apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk penggunaan tertentu. Pada tingkat ordo, kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S=Suitable) dan lahan yang tidak sesuai (N=Not Suitable). Kelas adalah keadaan tingkat kesesuaian dalam tingkat ordo. Pada tingkat kelas, lahan yang tergolong ordo sesuai (S) dibedakan kedalam tiga kelas, yaitu: lahan sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3). Sedangkan lahan yang tergolong tidak sesuai (N) dibedakan dalam dua kelas, yaitu: lahan yang tidak sesuai saat ini (N1) dan lahan yang tidak sesuai untuk selamanya (N2). Pada tingkat sub-kelas, kesesuaian lahan mencerminkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang diperlukan dalam tingkat kelas. Pada tingkat ini, tiap kelas dapat terdiri satu atau lebih sub-kelas. Kesesuaian lahan pada tingkat unit merupakan pembagian lebih lanjut dari sub-kelas berdasarkan atas besarnya faktor pembatas (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).