II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian, Sifat dan Sumber Sampah Istilah limbah padat atau sampah memiliki arti yang kurang lebih sama. Menurut Hadiwiyoto (1983), sampah adalah sisa-sisa bahan yang mengalami perlakuan-perlakuan, baik karena telah diambil bagian utamanya, atau karena pengolahan, atau karena sudah tidak ada manfaatnya, yang ditinjau dari segi sosial ekonomis tidak ada harganya dan dari segi lingkungan dapat menyebabkan pencemaran atau gangguan kelestarian. Definisi lain menyatakan bahwa yang dimaksud sampah adalah segala sesuatu yang tidak dikehendaki lagi oleh yang punya dan bersifat padat, ada yang mudah membusuk dan ada yang tidak mudah membusuk.
Yang mudah
membusuk terutama terdiri dari zat-zat organik seperti sisa-sisa sayuran, sisa daging, daun dan lain-lain, sedangkan yang tidak membusuk dapat berupa plastik, kerta, karet, logam dan sebagainya. Secara teknis sampah dapat diklasifikasikan dalam beberapa kelompok yaitu (Murtadho dan Said, 1988) : 1.
Sampah organik mudah membusuk (garbage), yaitu sampah padat semi basah berupa bahan organik yang berasal dari pertanian, makanan, sampah sayuran dan kulit buah-buahan. Sampah tersebut mempunyai ciri mudah terurai oleh mikroba dan mudah membusuk karena mempunyai rantai kimia yang relatif pendek.
2.
Sampah an-organik tidak membusuk (rubbish) yaitu sampah padat anorganik cukup kering dan sulit terurai oleh mikroba, sehingga sulit membusuk. Hal ini disebabkan karena rantai kimia yang panjang dan komplek, seperti kaca, plastik dan besi. Sampah ini relatif mudah penanganannya.
3.
Sampah abu (ashes ) yaitu sampah padat yang berupa abu, misalnya abu hasil pembakaran. Sampah tersebut mudah terbawa angin karena ringan tetapi tidak mudah membusuk.
4.
Sampah bangkai binatang (dead animals), yaitu semua sampah yang berasal dari bangkai binatang, seperti tikus, ikan, anjing dan bangkai ternak. Sampah ini jumlahnya relatif kecil, akan tetapi jika terjadi bencana alam misalnya banjir, gunung meletus, kekeringan yang mengakibatkan matinya binatang-
10 binatang, maka sampah tersebut akan menjadi masalah, terutama karena baunya. 5.
Sampah industri (industrial waste), yaitu semua sampah hasil buangan industri. Sampah tersebut sangat tergantung dari jenis industrinya. Dewasa ini sampah industri merupakan sumber utama yang potensial mencemari lingkungan sehingga banyak disorot.
6.
Sampah berbahaya (B3) adalah sampah yang karena jumlahnya atau konsentrasinya atau sifat kimia fisik dan mikrobiologinya berpotensi menimbulkan bahaya sekarang maupun di masa yang akan datang terhadap kesehatan atau lingkungan, apabila tidak diolah, diangkut, disimpan dan dibuang. Sampah tersebut biasanya terdiri atas zat kimia organik maupun anorganik serta logam-logam berat. Pada tiap kegiatan yang menggunakan sumberdaya, sampah selalu
dihasilkan.
Sampah terakumulasi di dalam lingkungan dan sangat tergantung
pada kemampuan lingkungan untuk mengasimilasinya, jumlahnya akan semakin bertambah dan tidak sepenuhnya dapat diserap oleh lingkungan. adanya
teknologi
untuk
pengolahan
sumberdaya
tersebut
Diperlukan agar
dapat
meminimalkan limbah yang dihasilkan Menurut sumbernya sampah dapat diklasifikasikan dalam
empat
kelompok (Hadiwiyoto, 1983) yaitu : 1. Sampah Domestik, yaitu sampah yang berasal dari pemukiman masyarakat. Jenis sampah tersebut umumnya berupa sampah dapur, kaleng atau kertaskertas pembungkus, kulit buah-buahan dan daun-daunan. 2. Sampah komersial, yaitu sampah yang berasal dari jasa-jasa komersial seperti pasar, toko atau warung dan jenis sampahnya beragam sesuai dengan jenis dagangannya. 3. Sampah Industri, yaitu sampah buangan industri, jenis, jumlah dan komposisinya tergantung dari jenis industrinya. 4. Sampah yang berasal dari bencana alam Berdasarkan sifatnya, sifat sampah meliputi sifat fisik, kimia dan biologis. Ditinjau secara fisik sampah yang bersifat padatan sukar untuk dirinci, hal ini disebabkan sampah tersebut selalu tidak homogen. Lain halnya dengan sampah yang berbentuk cairan lebih mudah diadakan identifikasi sifat-sifat fisiknya. Begitu juga dengan sifat biologisnya, sehingga masih sedikit publikasi tentang sifat-sifat
11 fisik dan biologi sampah. Sifat sampah kota terdiri atas serat kasar, lemak, abu mineral, air, amonia, senyawa nitrogen organik dan protein. Secara umum komposisi sampah kota disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Komponen dan Komposisi Bahan Organik Sampah Kota Bahan Organik Serat kasar ( % ) Lemak ( % ) Abu ( % ) Air ( % ) Ammonium (mg/g s ampah) N Organik (mg/g sampah) Total nitrogen (mg/g sampah) Protein (mg/g sampah) Keasaman (pH) Sumber : Hadiwiyoto (1983)
Persentase 41.0 – 61.0 3.0 – 9.0 4.0 – 20 30.0 – 60.0 0.5 – 1.14 4.8 – 14.0 4.0 – 17.0 3.1 – 9.3 5.0 – 8.0
Beberapa studi memberikan angka timbunan sampah kota di Indonesia berkisar antara 2 – 3 liter per orang per hari dengan densitas 200 – 500 kg/m3 dan komposisi utamanya adalah sampah organik 70 – 80 % (Handojo, 1993). 2.2 Pemanfaatan Sampah Pemanfaatan sampah/limbah menjadi suatu produk yang mempunyai nilai ekonomi merupakan aspek yang diharapkan semua pihak. Pemanfaatan limbah padat memerlukan teknologi yang tepat sesuai dengan karakteristik limbah yang ada (Murtadho dan Said, 1988). Negara-negara yang memiliki tingkat teknologi tinggi dapat dengan mudah memanfaatkan bahan-bahan yang tidak mempunyai nilai ekonomi menjadi bahan yang mempunyai nilai ekonomi, sehingga bermanfaat terhadap manusia dan terhadap organisme lain yang dapat meningkatkan kembali mutu lingkungan Di Indonesia terdapat berbagai limbah padat, terutama limbah padat pertanian yang melimpah. Setiap jenis limbah padat mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, maka di dalam pemanfaatannya juga menghendaki teknologi yang berbeda. Dengan ditemukannya teknologi yang tepat, maka selain dapat membantu program penanganan limbah padat, hal ini juga dapat membantu mengembangkan lapangan pekerjaan yang pada akhirnya akan mendatangkan penghasilan yang berarti bagi masyarakat Menurut Hadiwiyoto (1983), segala jenis sampah organik dapat dijadikan biogas.
Biogas sebenarnya adalah senyawa metana (CH4) dan sering pula
12 disebut dengan gas klar, sewerage gas, gas gobar, bioenergi dan RDF (Refuse derived fuel) = bahan bakar dari sampah. Gas metana bersifat tidak berbau, tidak berwarna dan sangat mudah terbakar. Pada umumnya bukan sebagai gas yang murni, tetapi merupakan campuran antara metana lebih kurang 65%, karbon dioksida lebih kurang 30%, H2S lebih kurang 1% dan gas-gas lain dalam jumlah yang kecil. Selanjutnya dikatakan bahwa sampah padat dapat dibuat kompos yang sangat berguna untuk tanaman, dan sampah juga dapat dipakai sebagai bahan pakan ternak. Permasalahannya adalah sejauh mana tingkat pemilikan dan penguasaan
teknologi
serta
kemampuan
dana
dalam
rangka
proses
pengoperasiannya. 2.3 Pengomposan Kompos adalah partikel tanah yang bermuatan negatif sehingga dapat dikoagulasikan oleh kation-kation dan partikel tanah untuk membentuk granulagranula sampah. Dengan demikian, penambahan kompos dapat memperbaiki struktur, tekstur dan lapisan tanah sehingga akan memperbaiki aerasi, drainase, absorbsi panas, kemampuan daya serap tanah terhadap air serta berguna untuk mengendalikan erosi tanah (Gaur, 1981) Pengomposan dapat didefinisikan sebagai dekomposisi biologi dari bahan organik sampah dibawah kondisi yang terkontrol. menggunakan atau tidak menggunakan oksigen.
Proses tersebut dapat
Proses yang menggunakan
oksigen disebut proses aerobik sedangkan yang tidak menggunakan oksigen disebut proses an-aerobik. Pengomposan secara aerobik dapat memproduksi kompos secara cepat dan produknya relatif bebas patogen, sedangkan yang secara an-aerobik membutuhkan waktu dekomposisi yang lama dan jarang bebas dari patogen dan masalah bau (Obeng dan Wright, 1987) Gaur (1981) menyatakan bahwa pengomposan adalah suatu proses biokimia yang mendekomposisi bahan-bahan organik menjadi zat-zat seperti humus (kompos) oleh kelompok-kelompok mikroba campuran dan berbeda-beda pada kondisi yang dikontrol. Biokonversi terhadap bahan-bahan organik pada saat pengomposan dilakukan oleh kelompok-kelompok mikroba heterofilik yang berbeda-beda, yang meliputi bakteri, kapang, protozoa, dan aktinomicetes. Mikroba selulolitik dan lignolitik sangat berperan dalam mendekomposisi komponen dari bahan organik yang terdegradasi secara lambat.
13 Selama pengomposan, bahan-bahan organik didekomposisikan terlebih dahulu menjadi bentuk-bentuk an-organiknya. Bahan-bahan organik sederhana oleh enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh mikroba heterofilik. Keterlibatan mikroba selama proses dekomposisi bahan organik secara umum digambarkan pada bagan berikut : Aktivitas Bahan Organik +
O2
CO2 + H2O + hara + humus + energi Mikroba
Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi pengomposan adalah kadar air, suplai oksigen, suhu dan pH.
Menurut Obeng dan Wright (1987)
pengomposan dipengaruhi oleh kandungan air, suhu, waktu, ukuran praktikel, suplai oksigen, nisbah C/N dan pH. Kadar Air (Kelembaban) Mikroba
membutuhkan
air
untuk
kehidupannya.
Kelebihan
air
menyebabkan bahan kompos menjadi lebih kompak karena bagian udara terisi air, kondisi menjadi an-aerobik sehingga menimbulkan bau busuk dan selanjutnya proses pengomposan membutuhkan waktu yang lebih lama. Sebaliknya pada kadar air rendah menimbulkan suhu yang tinggi di tengah-tengah tumpukan yang akan menghambat proses dekomposisi Kadar
air
(kelembaban)
diperlukan
untuk
pertumbuhan
mikroba.
Dekomposisi aerobik dapat terjadi pada kadar air bahan 30 - 60%, asalkan dilakukan pembalikan pada bahan yang dikomposkan. Namun, kadar air yang optimal untuk pengomposan adalah 50 – 60%.
Selanjutnya EPA (1989)
menyatakan bahwa kadar air yang berlebihan (diatas 60%) dapat menurunkan suhu dalam gundukan bahan-bahan yang dikomposkan, karena menghambat aliran oksigen serta menyebabkan dihasilkannya bau. Suplai Oksigen Suplai oksigen optimum yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroba aerobik adalah 5 – 15% dari udara yang dibutuhkan atau di atas 5% dari volume gundukan.
Oksigen dibutuhkan untuk mendekomposisi limbah organik yang
dikomposkan.
Menurut Obeng dan Wright (1987) konsumsi oksigen yang
diperlukan oleh proses pengomposan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu 1) tahap dalam proses pengomposan, 2) suhu, 3) tahap dekomposisi bahan, 4) komposisi bahan yang dikomposkan, 5) ukuran partikel dan 6) kandungan air.
14 Konsumsi oksigen muncul (meningkat atau menurun) secara logaritmik dengan perubahan suhu. Suplai udara (aerasi) yang cukup pada seluruh bagian tumpukan kompos sangat penting, tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan mikroba dan untuk mengalirkan karbon dioksida yang dihasilkan keluar dari tumpukan bahan. Pada kondisi tanpa udara atau yang disebut sebagai kondisi an-aerobik, dapat memberikan peluang bagi perkembangan mikroba tertentu yang menyebabkan pemasaman atau dengan kata lain terjadi pembusukan sehingga mengeluarkan bau tidak sedap (Dalzell et al., 1987) Nisbah C/N Menurut Gaur (1981), nisbah C/N dari bahan-bahan organik merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi pengomposan.
Nisbah C/N
tersebut menunjukkan ketersediaan sumber energi bagi berbagai mikroba yang terlibat dalam proses degradasi.
Berdasarkan hal tersebut EPA (1989)
merekomendasikan nisbah C/N yang dapat memberikan proses dekomposisi yang efektif adalah 30. Bahan organik yang mempunyai rasio C/N tinggi akan menurunkan aktivitas biologis mikroba yang terlibat dan beberapa siklus aktivitas mikrobiologis dapat terjadi, untuk mendegradasi bahan yang mengandung karbon. Nitrogen yang telah dimobilisasi akan didaur ulang yaitu dengan matinya beberapa mikroba, untuk mereduksi kandungan karbon pada residu-residu organik. Oleh karena itu, proses dekomposisi yang sempurna akan berlangsung dalam waktu lama.
Secara umum semakin tinggi nisbah C/N dari bahan organik yang
dikomposkan maka semakin lambat proses dekomposisinya. Sebaliknya dalam kondisi nisbah C/N yang rendah, walaupun proses dekomposisi berlangsung, beberapa nitrogen yang tidak dapat diasimilasi akan hilang akibat proses volatilisasi sebagai amoniak atau denitrifikasi. Pada kondisi nilai C/N rendah dan kondisi yang sesuai, amoniak akan dioksidasi lebih lanjut menjadi nitrit dan nitrat.
Selama pengomposan akan terjadi penurunan nilai
nisbah C/N akibat terbentuknya CO2, sementara nilai N cenderung konstan. Unsur Hara Proses pengomposan dapat berjalan dengan baik atas bantuan mikroba perombak. Mikroba membutuhkan sumber karbon untuk energi dan bahan-bahan untuk penyusun sel baru, yang selanjutnya untuk penyusunan protein sel. Bahan
15 organik yang mengandung nisbah karbon nitrogen terlalu tinggi, penambahan nitrogen ke dalam bahan kompos sangat diperlukan untuk menurunkan nisbah karbon nitrogen bahan. Nitrogen merupakan unsur hara yang penting, semakin tinggi kandungan unsur nitrogen dalam bahan kompos maka nilai nutrisi kompos tersebut juga semakin tinggi. Untuk meningkatkan nilai nutrisi tersebut, terutama untuk bahan dengan kandungan unsur hara yang rendah perlu adanya penambahan hara dan biasanya dilakukan secara bersamaan dengan penambahan inokulum mikroba (Gaur, 1981). Nitrogen sangat sering digunakan sebagai faktor pembatas terhadap aktivitas mikroba dalam proses dekomposisi bahan-bahan organik, namun nutrien-nutrien lainnya juga dapat membatasi dekomposisi bahan organik. Penambahan nitrogen yang berasal dari urea mampu mempercepat proses dekomposisi bahan organik yaitu dalam waktu 8 minggu mencapai nisbah C/N 23, sedangkan nisbah C/N pada kontrol masih lebih tinggi yaitu sebesar 31. Dalam upaya meningkatkan laju dekomposisi bahan organik, beberapa aktivator yang mengandung nitrogen dapat diberikan dalam bahan kompos antara lain urea, tepung tulang, tepung darah, tepung biji kapas dan tanaman leguminosa. Kandungan Bahan Senyawa-senyawa polifenol dan lignin merupakan bahan yang dapat memodifikasi laju dekomposisi bahan organik. Menurut Obeng and Wright (1987) umumnya makin tinggi kandungan polifenol dalam bahan-bahan organik, makin rendah laju dekomposisi dan mineralisasi nitrogen. Hal ini disebabkan polifenol dapat melakukan reaksi dengan protein untuk membentuk senyawa-senyawa nitrogen rekalsitran yang tidak larut, dan dapat menghambat aktivitas mikroba pendegradasi (terutama kapang).
Demikian juga dengan lignin, makin tinggi
kandungan dalam bahan-bahan organik makin lambat proses dekomposisi yang terjadi.
Hal tersebut karena proses dekomposisi lignin akan menghasilkan
senyawa fenolik yang bersifat resisten. Ukuran Bahan Pengomposan dapat dipercepat dengan mengecilkan ukuran bahanbahan organik sehingga luas permukaan kontak lebih tinggi dan menjadi lebih peka terhadap aktivitas mikrobiologis. Ukuran partikel yang sangat baik kurang
16 dari 5 cm, walaupun ukuran yang lebih besar juga dapat dikomposkan dengan memuaskan (Gaur, 1981). Menurut Mathur (1980), biasanya ukuran yang diperlukan dalam proses pengomposan adalah 5 cm, tetapi ukuran yang lebih besar juga dapat memberikan hasil yang baik pada pengomposan. Proses pengomposan dapat dipercepat jika bahan mentah diiris -iris menjadi bagian-bagian kecil sehingga irisan-irisan menjadi lebih rentan terhadap aktivitas mikroba. Pengirisan bahan organik menjadi ukuran yang lebih kecil menyebabkan luas permukaan bahan yang akan diserang oleh mikroba bertambah besar. Ukuran partikel yang sangat besar, mengakibatkan luas permukaan yang akan diserang menjadi lebih kecil, sehingga reaksi menjadi lebih lambat dan bahkan akan terhenti. Tingkat Kemasaman Tingkat kemasaman (pH) sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroba dekomposer. Pada tahap awal pengomposan pH bahan biasanya sedikit asam, yaitu sekitar 6.
Terbentuknya asam-asam organik selama tahap awal
proses pengomposan menyebabkan pH akan turun lebih rendah lagi sampai sekitar 4.5 – 5.0. Selanjutnya pH bahan akan menjadi alkalin seiring proses dekomposisi, menjadi sekitar 7.5 – 8.5. Peningkatan pH tersebut selain akibat meningkatnya jumlah kation-kation basa seperti kalium, kalsium, dan magnesium juga disebabkan oleh adanya penghancuran protein dan pembebasan amoniak (Gaur, 1981). pH media merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap populasi maupun jenis mikroba. Fungi dapat berkembang pada kisaran pH yang luas berkisar 2 – 9. pH
yang
optimum
untuk
pertumbuhan
bakteri
dan
organisme
pengomposan lain adalah 6.0 – 8.0 (Obeng dan Wright, 1987). Pada pH 8 – 9 dapat menyebabkan nitrogen hilang melalui volatilisasi molekul ammonia, sedangkan pada pH yang terlalu asam (< 5) dapat menyebabkan terhentinya aktivitas mikroba.
pH dapat dikontrol dengan menggunakan tanah kering
sebanyak 5 – 10% (dari bahan yang dikomposkan) sebagai campuran dalam proses pengomposan. Tanah kering tersebut selain berfungsi untuk mengurangi kelembaban juga dapat mengabsorbsi amoniak dan mempengaruhi penampakan kompos yang dihasilkan (memberikan struktur yang lebih granular). Tanah tersebut mengendalikan kondisi asam dan bertindak sebagai diluen dalam menghambat proses -proses anerobik.
17 Selain itu penambahan kapur juga dapat menyesuikan pH yang dikehendaki. Manfaat pemberian kapur selain untuk meningkatkan pH media, juga dapat menyumbangkan unsur kalsium, magnesium serta akan menambah ketersediaan fosfor. Suhu Pada saat proses pengomposan dimulai (penumpukan bahan organik), sebagian besar energi yang dihasilkan oleh proses perombakan bahan akan menyebabkan peningkatan suhu. Proses peningkatan suhu pada setiap bahan organik berbeda-beda tergantung sifat fisik atau sifat kimia bahan organik yang dikomposkan. Peningkatan suhu merupakan indikator adanya proses pengomposan sebagai akibat hubungan kadar air dan aktivitas mikroba. Saat bahan organik dalam tumpukan kompos mulai dirombak oleh mikroba, maka akan dibebaskan sejumlah energi dalam bentuk panas, sehingga meningkatkan suhu kompos dalam tumpukan. Pada tahap awal pemanasan, mikroba memperbanyak diri secara cepat dan menaikkan suhu (Dalzell et al., 1987). Pada periode tersebut senyawa-senyawa yang sangat reaktif seperti gula, karbohidrat dan lemak dirombak. Pada fase aerobik, suhu meningkat pesat mulai dari 300 C (3 hari) hingga mencapai 50 – 600 C pada 15 – 20 hari.
Menurut Gaur (1981), bila suhu
0
mencapai lebih dari 40 C mikroba mesofilik digantikan oleh mikroba termofilik. Jika suhu mencapai 60 0 C kapang berhenti bekerja dan proses perombakan dilanjutkan oleh aktinomicetes dan strain bakteri pembentuk spora. Suhu yang tinggi essensial untuk menghancurkan semua biji-biji gulma dan organisme patogen. Menurut Dalzell et al. (1987) suhu 55 – 600 C perlu dipertahankan selama kurang lebih 3 hari untuk membunuh semua rumputrumputan dan organisme patogen. Suhu maksimal terbaik adalah 71 0 C, namun tidak diperbolehkan karena hanya sedikit mikroba yang aktif melakukan dekomposisi pada suhu lebih dari 700 C. Untuk mencegah panas yang berlebihan dibagian tengah tumpukan bahan kompos, dapat dilakukan pembalikan secara reguler. Mikroba Dekomposer Dekomposisi bahan organik selama pengomposan merupakan suatu proses biokimia yang melibatkan berbagai kelompok mikroba heterotropik yaitu
18 bakteri, fungi, aktinomicetes dan protozoa. Mikroba tersebut memperoleh energi dan karbon dari hasil dekomposisi bahan organik. Fungi membebaskan sedikit karbon dioksida dan mengasimilasi banyak karbon dalam jaringan selnya, sedangkan bakteri aerobik sebaliknya (Gaur, 1981) Mikroba berperan sangat penting di dalam proses perombakan bahan organik. Oleh karena itu mikroba menghendaki faktor lingkungan yang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangannya.
Berdasarkan suhu lingkungan
hidupnya dikenal beberapa tipe mikroba yaitu tipe psikrofil (mikroba yang dapat hidup pada suhu 20 0 C ke bawah) yang umumnya banyak terdapat di alam. Tipe mesofil (mikroba yang dapat berkembang dengan baik pada suhu 25 – 350 C) dan tipe termofil (mikroba yang dapat hidup pada kisaran suhu 45 – 650 C). Selain suhu, faktor pembatas yang lain adalah ketersediaan nutrisi.
Nutrisi sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan mikroba. Populasi mikroba selama proses pengomposan aerobik berfluktuasi. Kelompok fungi dan bakteri penghasil asam, muncul selama fase mesofilik. Pada saat suhu meningkat lebih dari 40 0 C, mikroba yang ada akan digantikan oleh bakteri termofilik, aktinomicetes dan fungi (Gaur, 1981). Pada suhu tinggi bakteri masih mampu untuk hidup dan kemudian bakteri mesofilik dan fungi akan muncul kembali pada fase suhu kembali turun.
Aktinomicetes sangat aktif dalam
perombakan karbohidrat yang menghasilkan sejumlah besar fraksi terlarut. Fungi termofilik aktif mulai suhu 400 C dengan mendekomposisi hemiselulosa dan selulosa sebagai sumber karbonnya. 2.4 Kematangan Kompos Parameter atau kriteria kematangan kompos bervariasi tergantung dari bahan asal kompos, kondisi dan proses dekomposisi selama pengomposan. Gaur (1981) menyatakan bahwa ada beberapa parameter untuk menentukan kematangan kompos yaitu: 1) Karakteristik fisik, seperti suhu, warna, tekstur, dan besarnya kelarutan dalam larutan natrium hidroksida atau natrium fosfat; 2) Nisbah C/N, status dari kandungan hara tanaman, dan nilai kompos yang ditunjukkan oleh uji tanaman; 3) Tidak berbau dan bebas dari patogen, parasit dan biji rumput-rumputan. Kematangan kompos menurut Harada, Osada dan Kashino (1993) sangat berpengaruh terhadap mutu kompos. Kompos yang telah matang akan memiliki kandungan bahan organik yang dapat didekomposisi dengan mudah, nisbah C/N
19 yang rendah, tidak menyebarkan bau yang ofensif, kadar airnya memadai dan tidak mengandung unsur-unsur yang merugikan bagi tanaman dan benih rumput. Oleh sebab itu kematangan kompos merupakan faktor utama dalam menentukan kelayakan mutu kompos. 2.5 Akselerasi Dekomposisi Ada beberapa cara untuk mempercepat proses dekomposisi yaitu secara fisik, kimia dan biologi. Perlakuan fisik dengan pembalikan tumpukan kompos dan memperkecil ukuran bahan baik dengan cara pemotongan, pemukulan, pembelahan maupun kombinasinya. Perlakuan kimia misalnya dengan perlakuan asam/basa tertentu, pemberian hara nitrogen, fosfor, kapur, dan bahan kimia lainnya.
Tujuannya selain untuk mempercepat juga untuk memperkaya
kandungan hara kompos seperti nitrogen, fosfor dan kalsium (Gaur, 1981). Perlakuan secara biologi biasanya diberikan dengan cara menambahkan inokulum mikroba yang berkemampuan tinggi dalam merombak bahan yang didekomposisikan, seperti mikroba selulolitik, lignolitik maupun lignoselulolitik. Beberapa isolat kapang selulolitik seperti Aspergillus sp., Penicllium sp., Trichoderma viridae, Trichoderma spiralis dan Chatomium sp., telah diketahui efisien dalam mendekomposisikan jerami dan sisa tanaman lainnya (Gaur, 1981) 2.6 Inokulan Mikroba dalam Cairan Rumen dan Kotoran Ayam Rumen merupakan tabung besar dengan berbagai kantong yang menyimpan dan mencampur pakan bagi fermentasi mikroba.
Isi rumen
merupakan bahan yang dapat dimanfaatkan sebagai inokulan, yaitu bahan yang dapat merangsang pertumbuhan mikroba dekomposer dalam pengomposan. Hal ini disebabkan isi rumen masih mengandung karbohidrat, protein, mineral dan vitamin (larut air) yang dibutuhkan oleh mikroba untuk hidup. Mikroba rumen dapat dibagi dalam tiga kelompok utama yaitu : bakteri, protozoa dan jamur (fungi). Menurut Czerkawski (1986), telah teridentifikasi lebih dari 200 spesies bakteri dan 20 spesies protozoa yang terdapat dalam rumen. Kebanyakan dari bakteri rumen hidup dalam kondisi an-aerobik sejati dan banyak dari isolat bakteri rumen yang sangat sensitif terhadap keberadaan oksigen walaupun dalam jumlah yang sedikit. Sebaliknya beberapa kelompok
20 bakteri rumen yang bersifat an-aerobik fakultatif toleran terhadap oksigen bahkan menggunakan oksigen dalam metabolismenya (Czerkawski, 1966). Perbedaan yang utama rumen sapi dan kambing terletak pada volume cairan rumen. Kambing mempunyai volume cairan rumen sekitar 5,3 liter atau 13% dari bobot badannya. Kualitas isi rumen tidak begitu bervariasi antara hewan yang dipotong dari suatu tempat yang sama sebab 24 jam sebelum dipotong hewan dipuasakan terlebih dahulu. Analisa mikrobiologis kotoran ayam mengindikasikan bahwa konsorsium mikroba dominan pada kotoran ayam terdiri atas group mikrobial yang mampu merombak protein bersama
dengan mikroba pengguna amonia.
Dari hasil
analisis tersebut diketahui bahwa group yang paling banyak adalah mikroba proteolitik dan selulolitik dengan kepadatan 10 9 – 1010 cfu/cm2. Disamping itu kepadatan bakteri pereduksi sulfat dan metanogenik yang jumlahnya juga relatif tinggi yaitu berkisar antara 106 – 107 cfu/cm2. Carrier Carrier adalah agen pembawa yang dapat memperlama masa tumbuh suatu inokulan. Subba Rao (1977) menyatakan bahwa material carrier dapat berbentuk powder (dapat lolos saringan 75 – 106 mikron) seperti gambut, lignit, humus atau materi netral yang sama dengan calsium carbonat dan harus steril. Beberapa jenis pembawa telah diteliti oleh Laksmi et al. Dalam Anas (1994) yang menemukan bahwa tanah dan pupuk kandang menghasilkan penghitungan yang terbanyak dari pembawa yang lain. Daya hidup dalam berbagai pembawa dapat dipantau dengan larutan pengenceran inokulan dan menumbuhkannya dalam media. Pembawa yang terbaik adalah pupuk kandang yang telah disterilkan dan ditepungkan yang di campur dengan tanah, dengan pupuk kandang saja atau dengan pupuk kandang dengan arang. Dalam pem bawa ini Azospirrillum dapat hidup sampai 31 minggu. Stardec Mikroba dalam stardec didapatkan dengan mengisolasi lima jenis bakteri pengurai yang berasal dari rumen sapi. Mikroba tersebut di peroleh dari isolasi tanah, akar rumput-rumputan dan kolon sapi yang terdiri atas mikroba lignolitik, selulolitik, proteolitik, lipolitik, aminolitik dan mikroba fiksasi nitrogen non simbiotik. Menurut Leksana (2000) penggunaan stardec umumnya di bidang peternakan yaitu dengan mencampurnya dengan pakan ternak sehingga pengurai produksi
21 ternak meningkat. Penggunaan stardec sebagai pengurai limbah padat belum dilaporkan, namun cukup menjanjikan sebagai alternatif usaha pengolahan limbah. 2.7 Isolasi Mikroba Isolasi dan pemilihan mikroba bertujuan untuk mendapatkan galur yang berpotensi komersial untuk memperoleh produk yang diinginkan. Karakteristik galur ideal mikroba yang diinginkan adalah 1). Bebas kontaminan mikroba lain; 2). Pertumbuhan cepat, cepat menghasilkan sel vegetatif maupun spora; 3). Mudah dilakukan mutasi namun gennya cukup stabil; 4). Dapat menghasilkan produk yang diinginkan dalam waktu singkat dan 5). Dapat diawetkan. Faktor-faktor yang harus diperhatikan untuk memperoleh mikroba dengan sifat yang diinginkan adalah 1). Pemilihan sumber mikroba; 2). Metode isolasi yang digunakan dan 3). Cara pemilihan mikroba. Isolasi agar cawan dilakukan menggunakan goresan kuadran atau metode agar tuang. Goresan cawan kuadran akan menghasilkan koloni terpisah pada setiap cawan.
Seleksi mikroba dimaksudkan sebagai prosedur dengan
selektivitas tinggi untuk mendeteksi dan mengisolasi mikroba yang diinginkan diantara sekian banyak populasi mikroba. 2.8. Selulosa, Enzim Selulase dan Mikroba Selulolitik Selulosa merupakan bagian terbesar dari komponen lignoselulosa tanaman. Kandungan selulosa tanaman tingkat tinggi tidak tetap tetapi bervariasi menurut umur dan jenis tanamannya. Pada umumnya konsentrasinya berkisar antara 15 - 45% dari bobot kering tanaman. Pada rerumputan dan legum yang masih muda kandungan selulosanya relatif sedikit, yaitu sekitar 15% dari bobot kering tanaman (Alexander, 1977). Selulosa merupakan polimer glukosa linier yang seragam dengan ikatan â-1-4 glukosida. Ikatan tersebut dapat dipecahkan menjadi monomer-monomer glukosa baik secara kimiawi maupun secara biologi. Pada proses pemecahan secara biologi selulosa digunakan sebagai sumber energi dan karbon bagi sejumlah spesies biologi.
Mikroba yang mampu merombak selulosa disebut
mikroba selulolitik, yang dapat berupa fungi, bakteri, aktinomicetes dan protozoa. Selulase adalah nama trivial bagi semua enzim yang mampu memutuskan ikatan glikosidik â-1-4 dalam selulosa, selodekstrin, selobiosa dan
22 turunan selulosa lainnya (Enari, 1983). Proses hidrolisis oleh enzim selulase terdiri dari dua tahap yaitu tahap aktivasi dan tahap hidrolisis. Selulosa dihidrolisis dengan cepat oleh organisme aerobik yang berasal dari tanah dan terutama oleh kapang perusak kayu. Pada hewan tertentu terdapat organisme an-aerobik di dalam saluran pencernaannya yang bertanggung jawab terhadap pencernaan selulosa. Fungi adalah mikroba yang mempunyai jenis paling banyak dalam menghasilkan selulase. Komponen selulase yang selalu ditemukan dalam mikroba selulolitik baik fungi maupun bakteri adalah endo-â-1-4 glukanase. Endoglunase sangat aktif memutus ikatan selulosa dapat larut atau selulosa amorf seperti Carboxy Methyl Cellulose (CMC), Hidroxy Ethil Cellulose (HEC), H3PO4-swollen (walseth) selulosa, selotetraosa dan selopentosa (Tun Tedja, 1991). Enz im tersebut lebih terkenal dengan nama CMC-Ase karena aktivitasnya yang sangat tinggi pada substrat CMC. Mikroba selulolitik mempunyai kemampuan tumbuh pada selulosa dan dapat mendekomposisi selulosa tersebut.
Sebagai respon terhadap adanya
selulosa dalam lingkungan hidupnya mikroba selulolitiik ini mampu menghasilkan enzim selulase. Dengan enzim tersebut mikroba dapat menghidrolisis selulosa menjadi gula terlarut yang selanjutnya digunakan sebagai sumber karbon dan nutrisi pertumbuhannya. Aktivitas mikroba selulolitik secara umum dipengaruhi oleh ketersediaan nitrogen, suhu, aerasi, kelembaban, pH, keberadaan karbohidrat dan proporsi relatif lignin dalam residu. Pada pH yang rendah fungi lebih berperan aktif dalam merombak selulosa dan prosesnya relatif lebih cepat pada kisaran pH 5. 2.9 Tanaman Kangkung Darat (Ipomoea reptans Poir.) Tanaman kangkung darat merupakan tanaman semusim yang termasuk ke dalam famili convolvuceae. Kangkung darat memiliki morfologi tanaman yang serupa dengan kangkung air (Ipomoea aquatica Forsk.), hanya habitat tumbuhnya yang berbeda. Tanaman tersebut cukup banyak dikonsumsi di Indonesia karena mudah penanamannya dan cepat pertumbuhannya, serta rasanya enak dan dapat dijadikan berbagai macam masakan.
Varietas kangkung
darat yang
dikeluarkan oleh Balai Penelitian Hortikultura relatif banyak, antara lain varietas Bangkok, Bira, Cinde, sukabumi dan Sutera (Rukmana, 1994).
23 Kangkung darat dapat tumbuh pada daerah dengan suhu 18 – 28 0 C dari dataran rendah sampai ketinggian 2000 m dpl. Pembungaan terjadi pada hari pendek, bunganya besar dan warnanya putih keunguan. Jika curah hujan rendah, diperlukan irigasi yang rutin setiap hari agar pertumbuhan pucuknya bagus. Pada media yang baik, kangkung darat dapat dipanen 30 – 40 hari setelah tanam (Yamaguchi, 1983). Kangkung
banyak
perawatannya mudah.
ditanam
oleh
petani
karena
penanaman
dan
Potensi hasil daunnya mencapai 12 – 44 ton/ha dan
produksi bijinya 6 ton/ha.
Kandungan gizinya tinggi dan menjadi salah satu
sayuran yang paling banyak di tanam dan dikonsumsi di Indonesia (Rukmana, 1994). 2.10 Tanaman Sawi (Brassica chinensis . L) Tanaman sawi termasuk tanaman sayuran dari famili cruciferae. Sistem perakaran tanaman sawi memiliki akar tunggang (radix primaria) dan cabangcabang akar yang bentuknya bulat panjang menyebar ke semua arah. Akar-akar tersebut berfungsi antara lain menghisap air dan hara dari dalam tanah, serta menguatkan berdirinya batang tanaman.
Batang tanaman sawi pendek dan
beruas-ruas, yang berfungsi sebagai alat pembentuk dan penopang daun. Struktur daun tanaman sawi halus, tidak berbulu dan tidak membentuk krop (telur). Pada umumnya daun-daun sawi bersayap dan bertangkai panjang yang bentuknya pipih. Tanaman sawi mudah berbunga dan berbiji secara alami, baik di dataran tinggi maupun di dataran rendah. Struktur bunganya tersusun dalam tangkai bunga (inflorescentia) yang tumbuh memanjang dan bercabang banyak. Tiap kuntum bunga sawi terdiri atas empat helai daun kelopak, empat helai daun mahkota, empat helai benang sari dan satu putik. Sawi merupakan sayuran daun yang kaya vitamin A, sehingga berguna dalam upaya mengatasi masalah kekurangan vitamin A atau penyakit rabun ayam (Xerophthalmia) yang sampai kini menjadi masalah di kalangan anak balita. 2.11 Hara Tanah dan Tanaman Hasil
tanaman
erat
berkaitan
dengan
kondisi
cuaca
selama
pertumbuhannya. Di lain pihak, varietas tanaman dengan karakter morfofisiologis tertentu merespon kondisi cuaca itu dengan pola pertumbuhan dan potensi hasil
24 yang berbeda. Hasil tanaman berbeda sesuai musim dan varietasnya. Perbedaan tersebut pada gilirannya juga membedakan kebutuhan hara tanaman. Ketersediaan hara dalam tanah sangat bergantung pada sifat tanah. Karenanya takaran pupuk yang diperlukan juga sangat spesifik lokasi. Nilai status hara tanah yang didapatkan melalui analisis atau uji tanah dapat digunakan sebagai dasar penentuan takaran keperluan pupuk secara lebih cepat dan spesifik. Status hara tanah juga dapat ditetapkan berdasarkan hasil tanaman dan persentas e hasil.
Persentase hasil tersebut merupakan perbandingan antara
hasil tanaman tanpa hara (tertentu) dan hasil tersebut dengan hara yang bersangkutan, dinyatakan dalam %. Status hara rendah bila nilai hasil <70%, sedang bila nilai hasil 70-90%, dan tinggi bila nilai hasil >90% (Makarim, 2005). Status hara N, P, K dapat ditentukan melalui analisis tanah, petak omisi, atau perbandingan antara hasil tanaman di sekitar situ antara yang dipupuk satu macam hara dan yang dipupuk NPK lengkap.
Utami dan Handayani (2003)
menyatakan nitrogen merupakan hara makro utama yang sangat diperlukan tanaman. Unsur tersebut disebut unsur makro primer karena paling penting dalam siklus hidup tanaman. N sangat mobil di dalam tanaman dan tanah. Kalium juga merupakan unsur hara makro primer bagi tanaman. Keberadaan unsur tersebut sangat penting untuk pertahanan diri tanaman dari serangan hama dan penyakit dan kekeringan. K mobil dalam tanaman dan sangat mobil di dalam tanah. Peran P dalam tanaman yang penting adalah untuk perkembangan akar, anakan, berbunga awal, dan pematangan. P mobil dalam tanaman, tetapi tidak mobil dalam tanah. 2.12 Aspek Ekonomi Pengomposan dan Budidaya Sayuran Konsep pengelolaan sampah terpadu menuju zero waste merupakan upaya mengubah sampah menjadi bahan yang lebih berguna dan tidak mencemari lingkungan. Konsep zero waste merupakan kombinasi dari berbagai teknologi
pengelolaan
sampah
yang
siap
terap,
antara
lain
teknologi
pengomposan, teknologi daur ulang sampah organik dan non-organik dan teknologi pembakaran (incinerator).
Menurut Kementrian Lingkungan Hidup
diperediksikan bahwa pengomposan yang dipadukan dengan sistem daur ulang dapat mengurangi dana transport dan kapasitas TPA sampai 50%. Namun pada pelaksanaannya konsep tersebut tidak terlaksana dengan baik. Hal ini disebabkan karena petugas daur ulang dan pengomposan adalah pelaku ekonomi yang tidak
25 dilindungi undang-undang sehingga kurang mendapat penghargaan. Cara terbaik untuk pemisahan sampah pada sumbernya adalah dengan memberikan insentif keuangan, peraturan dan penciptaan kesadaran lingkungan. Prinsip pelaksanaan pemanfaatan sampah organik padat pada awalnya adalah didasarkan atas upaya untuk melakukan daur ulang limbah/sampah yang terbuang untuk memanfaatkan potensi yang masih dikandungnya antara lain bahan an-organik yang masih bisa dimanfaatkan kembali dan unsur hara yang masih berguna bagi pertumbuhan tanaman.
Dengan pengomposan yang
didahului dengan proses separasi dan menggunakan inokulan serta diaplikasikan untuk budidaya sayuran diharapkan akan diperoleh keuntungan antara lain : 1.
Menghemat
biaya
perlakuan
pengelolaan
limbah,
karena
dapat
mempersingkat waktu pengolahan limbah. 2.
Diperoleh keuntungan berupa barang daur ulang dan pupuk organik (kompos).
3.
Diperoleh substitusi pupuk an-organik dengan pupuk organik yang berarti dapat mengurangi beban biaya pemupukan dan ikut menjaga alam dari kerusakan akibat pemupukan an-organik yang terus menerus, selain itu mendukung program pemerintah dalam menyongsong go organik 2010.
2.13 Analisis Biaya Usaha Analisis biaya adalah salah satu prinsip ekonomi yang penting dalam menunjang sistem produksi. Hal ini disebabkan produsen masih belum mampu mengatur harga komoditas yang dijual karena tingkat harga jual ditentukan oleh berbagai faktor diluar kegiatan produksi perusahaan tersebut seperti konsumen, pesaing dan pemasok sehingga pengendalian dan pengaturan biaya merupakan kunci pokok peningkatan pendapatan bersih tersebut. Semakin efisien sistem produksi dilaksanakan maka biaya produksi akan semakin kecil sehingga peluang memperoleh keuntungan lebih besar sekaligus dapat meningkatkan daya saing perusahaan tersebut. Biaya adalah pengorbanan sumber ekonomi yang telah dikeluarkan atau yang akan dikeluarkan untuk mencapai tujuan tertentu. Biaya yang dikeluarkan tersebut diukur dalam bentuk uang (Mulyadi, 1990). Untuk pengendalian biaya dan pengambilan keputusan biaya dapat digolongkan berdasarkan tingkah laku biaya yang berhubungan dengan volume kegiatan.
26 Biaya tetap (fixed cost) adalah banyaknya biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan produksi yang jumlah totalnya tetap pada volume kegiatan tertentu. Biaya variabel (variable cost) adalah biaya yang jumlah totalnya berubah-ubah sebanding dengan perubahan volume kegiatan. Seluruh biaya digolongkan ke dalam biaya tetap atau biaya variabel (Siregar, 2000) Berdasarkan hasil analisis biaya usaha dapat dihitung bagaimana imbangan penerimaan dan biaya (rasio R/C) dan harga pokok produksi. 1. Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (Rasio R/C) Analisis imbangan penerimaan dan biaya digunakan untuk melihat keuntungan relatif kegiatan usaha pengomposan berdasarkan perhitungan finansial.
Biaya digunakan untuk menguji seberapa jauh nilai rupiah dalam
kegiatan usaha pengomposan dapat memberikan sejumlah nilai penerimaan sebagai manfaat usaha . Nilai R/C lebih dari satu menunjukkan usaha tersebut akan memberikan pendapatan lebih dari biaya produksi, jika nilai R/C kurang dari satu maka pendapatan tidak dapat menutup biaya produksi. 2. Harga Pokok Produksi Metode pendekatan untuk penentuan harga pokok produksi ada dua metode pendekatan, yaitu : 1. Full costing, merupakan metode pendekatan harga pokok produksi yang mempertimbangkan semua unsur biaya produksi yang terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik, baik yang berperilaku variabel maupun tetap. 2. Variable costing, merupakan metode penentuan harga pokok produksi yang hanya mempertimbangkan biaya produksi yang berperilaku variabel kedalam harga pokok produksi yang terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik variabel.