II. TINJAUAN PUSTAKA
A. LIMBAH CAIR ORGANIK Negara industri menghasilkan sejumlah besar volume limbah cair urban dan industri. Beberapa limbah tidak seharusnya dibuang langsung ke sungai, danau atau laut sebelum ditreatmen untuk menurunkan kontaminasi lingkungan hingga pada tingkat yang aman. Perhatian khusus dibutuhkan terhadap zat anorganik yang mendorong pertumbuhan vegetasi yang berkontribusi terhadap eutrofikasi di badan air yang menerima effluen (Aslan dan Kapdan 2006). Aktivitas manusia memberi dampak terhadap siklus biokimia global. Melalui pertanian, urbanisasi, industrialisasi, dan aktivitas manusia yang lainnya akan meningkatkan input nutrien ke dalam siklus biokimia, terutama nitrogen dan fosfor. Nitrogen dan fosfor akan memperkaya ekosistem perairan dengan meningkatkan populasi alga dan tanaman perairan (Aslan and Kapdan 2006). Oleh karena itu, limbah cair organik bisa dijadikan media untuk pertumbuhan mikroalga sebagai alternatif dari media yang sudah ada seperti medium guillard, walne dan NPSi. Limbah hasil aktivitas manusia dan binatang merupakan limbah organik sehingga ketika dibuang ke sungai atau danau akan menjadi sumber makanan bagi bakteri heterotropik. Reaksi bakteri akan mendekomposisi komponen organik menjadi bahan yang lebih sederhana. Produk akhir adalah bahan anorganik dengan produksi energi untuk sintetis sel (Polprasert 1989). Oksidasi proses disimilasi: (CHONS) + O2 + bakteri aerobik
CO2 + NH3 + produk akhir yang lain + energi
(bahan organik)
Sintesis atau proses asimilasi: (CHONS) + O2 + bakteri aerobik + energi
C5H7O2N (sel bakteri yang baru)
Dalam kondisi anaerobik, bakteri anaerobik akan mendekomposisi bahan organik sebagai berikut. (CHONS) + bakteri anaerobik CO2 + H2S + NH3 + CH4 + produk akhir yang lain + energi (CHONS) + bakteri anaerobik + energi
C5H7O2N (sel bakteri yang baru)
Dalam kondisi tidak ada bahan organik, bakteri akan melakukan respirasi endogenous pengoksidasian diri menggunakan jaringan sel yang mereka miliki sebagai substrat: C5H7O2N + 5 O2 5 CO2 + NH3 + 2 H2O Senyawa CO2 dan NH3 merupakan nutrien untuk mikroalga dengan kecukupan sinar matahari, fotosintesis alga akan terjadi. sinar matahari
NH3 + 7.62 CO2 + 2.53 H2O
C7.62H8.06O2.53N + 7.62 O2 alga
(sel alga yang baru)
(Polprasert 1989)
B. MIKROALGA 1. Definisi Mikroalga Ditinjau secara biologi, mikroalga merupakan kelompok tumbuhan yang berklorofil yang terdiri dari satu atau banyak sel dan berbentuk koloni (Sahbana et al. 2008). Mikroalga merupakan golongan fitoplankton. Menurut Nybakken (1982), fitoplankton merupakan dasar dari jaring-jaring makanan di
dalam ekosistem perairan dan keberadaannya tergantung dari aktivitas mikroorganisme lainnya terutama bakteri yang mampu menguraikan bahan organik menjadi bahan anorganik yang sangat dibutuhkan oleh fitoplankton. Lerman (1986) menyatakan bahwa ukuran fitoplankton adalah mikroskopis yaitu antara 5 sampai 60 mikrometer dan juga pada umumnya fitoplankton tropik berukuran lebih kecil jika dibandingkan fitoplankton daerah kutub ataupun subtropis.
2. Reproduksi dan Pertumbuhan Mikroalga Reproduksi mikroalga dapat terjadi secara seksual dan aseksual. Reproduksi yang paling umum terjadi adalah reproduksi aseksual (vegetatif) yaitu dengan pembelahan sitoplasma dalam frustul sehingga epiteka dan hipoteka induk berpisah (Richmond 2004). Masing-masing bagian akan menghasilkan pasangan yang baru dan seterusnya seperti terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Reproduksi seksual dan aseksual Dinoflagellate (Rapport 2005) Semakin banyak pembelahan atau reproduksi aseksual maka ukuran yang dihasilkan semakin kecil. Ketika ukurannya sudah minimum maka selanjutnya akan dikompensasi dengan tumbuhnya auksospora berukuran besar yang akan membelah dan menghasilkan sel baru yang berukuran besar. Proses ini dipengaruhi oleh lingkungannya. Pertumbuhan mikroalga ditandai dengan bertambah besarnya ukuran sel atau bertambah banyaknya jumlah sel. Umumnya mikroalga ditumbuhkan dengan sistem curah dan kontinyu. Pertumbuhan mikroalga pada sistem curah dimulai dengan cara memindahkan sebagian kecil stock kultur ke dalam kultur segar. Pada sistem curah, nutrisi menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan mikroalga. Fase pertumbuhan dapat dibedakan menjadi beberapa fase (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995), yaitu: a. Fase lag (adaptasi) Sesaat setelah penambahan inokulum ke dalam media kultur, populasi tidak mengalami perubahan. Secara fisiologis mikroalga sangat aktif dan terjadi proses sintesis protein baru. Organisme mengalami metabolisme tetapi belum terjadi pembelahan sel sehingga kepadatan sel belum meningkat. b. Fase log (eksponensial) Fase ini diawali dengan pembelahan sel dengan laju pertumbuhan tetap pada kondisi kultur yang optimum. Pada fase ini laju pertumbuhan mencapai maksimum.
4
c. Fase deklinasi Fase deklanasi terjadi dengan berakhirnya fase log dengan tidak ada pertumbuhan. Hal ini terjadi karena kekurangan nutrisi (nitrogen dan fosfor), menurunnya konsentrasi CO2 atau O2 dan kenaikan pH media (Richmond 1986). d. Fase stasioner Pada fase ini laju reproduksi sama dengan laju kematian. Kepadatan mikroalga relatif tetap. e. Fase kematian Fase ini ditandai dengan jumlah sel yang terus berkurang. Pada fase ini laju kematian lebih cepat daripada laju reproduksi. Kematian sel disebabkan oleh kehabisan nutrien dan akumulasi sisa metabolisme atau bahan toksik spesifik. Laju pertumbuhan menurun sampai akhirnya tidak ada lagi pertumbuhan dan sel mengalami lisis karena tidak mendapat suplai nutrien lagi. Kurva pertumbuhan mikroalga disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Kurva pertumbuhan mikroba (salah satunya mikroalga) pada kultur Batch (Madigan et al. 1997)
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroalga Pertumbuhan mikroalga sangat erat kaitannya dengan ketersediaan hara makro dan mikro serta dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di dalam media kulturnya. Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroalga antara lain, nutrisi, CO2, suhu, pH, dan intensitas cahaya (Nontji 1996; Richmond 2004). a. Nutrien Kebutuhan nutrisi mikroalga meliputi makronutrien dan mikronutrien termasuk vitamin. Mikroalga membutuhkan senyawa anorganik sebagai makronutrien seperti C, N, P, K, S, Si, dan Ca serta mikronutrien seperti Fe, Zn, Mn, Cu, Mg, Co, dan lain-lain. Setiap unsur hara memiliki fungsi khusus yang tercermin pada pertumbuhan dan kepadatan yang dicapai tanpa mengesampingkan pengaruh kondisi lingkungan. Unsur N, P dan S penting untuk pembentukkan protein dan K berfungsi dalam metabolism karbohidrat. Mikronutrien Fe dan Na berperan untuk pembentukan klorofil dan Si serta Ca berungsi untuk pembentukkan dinding sel atau cangkang (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). i. Karbon Sumber karbon dalam media kultur diperoleh dari udara dalam bentuk CO2 yang berdifusi dengan media. Karbondioksida merupakan unsur penting dalam proses fotosintesis. Tersedianya CO2 dalam jumlah yang cukup di dalam media akan mendukung pertumbuhan mikroalga. Ketersediaan CO2 dapat dilakukan dengan menggoyangkan media atau dengan aerasi. Karbondioksida tidak cukup disuplai melalui difusi sederhana dari udara karena konsentrasinya sangat rendah (0.03%) sehingga tidak dapat mendukung pertumbuhan yang optimal dan produktivitas yang tinggi (Becker 1994). Karbondiokasida adalah sumber karbon yang lebih disukai oleh mikroalga dibandingkan karbonat atau bikarbonat. Biasanya bikarbonat akan dikonversi menjadi karbondioksida dengan bantuan enzim karbonik anhidrase di dalam kloroplas (Spotte 1970 diacu dalam Fajriyani 2006).
5
ii. Nitrogen Nitrogen merupakan elemen yang sangat penting untuk kehidupan, yaitu sebagai penyusun protein dan bahan genetik. Senyawa nitrogen yang sangat biasa digunakan dalam kultur mikroalga adalah amonium, nitrat dan urea. Mikroalga mengabsorbsi unsur nitrogen dalam bentuk amonium atau nitrat. Amonium adalah salah satu bentuk nitrogen yang sebagian besar diasimilasi oleh fitoplankton. Tidak seperti nitrat, amonium tidak memerlukan reduksi terlebih dahulu untuk asimilasi menjadi asam amino (Deacon 2004 diacu dalam Kurniawati 2006). Meskipun amonium dapat menjadi sumber nitrogen bagi mikroalga tetapi kebanyakan mikroalga tumbuh baik apabila mendapat sumber nitrogen dalam bentuk nitrat. Peningkatan kandungan nitrogen menyebabkan peningkatan biomassa, kandungan protein dan klorofil (Becker 1994). Nitrogen yang dibutuhkan untuk media kultur dapat diperoleh dari KNO3, NaNO3 dan NH4Cl (Tjahjo et al. 2002). iii. Fosfor Fosfor merupakan bahan dasar pembentuk asam nukleat, enzim dan vitamin. Fitoplankton biasanya memperoleh fosfor dari senyawa fosfor anorganik (ion ortofosfat) meskipun dalam kasuskasus tertentu dapat pula dari fosfor organik terlarut (Nontji 1984). Unsur fosfor dapat diperoleh dari KH2PO4, Na3PO4, Ca3(PO 4)2 (Tjahjo et al. 2002). Keberadaan fosfor dapat mempengaruhi tingkat produktivitas perairan (Effendi, 2000). Pupuk TSP merupakan sumber fosfor yang berperan dalam pertumbuhan, yaitu sebagai sumber energi transfer (AMP, ADP dan ATP), biosintetis asam nukleat dan DNA (Richmond 2004). iv. Kalium Unsur kalium berfungsi dalam metabolisme karbohidrat dan juga sebagai kofaktor untuk beberapa koenzim. Unsur kalium dapat diperoleh dari KCl, KNO3, KH2PO4. Unsur besi (Fe) berperan dalam pembentukan klorofil dan sebagai komponen esensial dalam proses oksidasi. Unsur ini dapat diperoleh dari FeCl3, FeSO4 dan FeCaH5O7 (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). v. Unsur hara mikro atau trace element Unsur hara mikro dibutuhkan untuk menjalankan berbagai fungsi, misalnya mangan (Mn) dan seng (Zn) diperlukan untuk fotosintesis, unsur molibdat (Mo) diperlukan untuk metabolisme nitrogen. Unsur hara mikro dibutuhkan dalam jumlah kecil tetapi harus ada dan untuk menstabilkan fungsi hara mikro biasanya ditambahkan EDTA sebagai pengkelat logam (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). vi. Vitamin Vitamin juga sangat penting untuk pertumbuhan mikroalga. Sebagian besar mikroalga membutuhkan vitamin B12, tiamin dan biotin untuk pertumbuhan melalui rangsangan fotosintesis (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). b. Suhu Suhu optimum untuk pertumbuhan mikroalga berkisar 15oC - 30oC. Setiap spesies mikroalga mempunyai suhu optimum yang khas untuk pertumbuhannya (De La Noue dan De Pauw 1988). Suhu optimum dapat bervariasi sesuai dengan intensitas cahaya dan konsentrasi nutrien tertentu serta adaptasi mikroorganisme terhadap suhu yang lebih tinggi dan lebih rendah (Fogg 1975). Menurut Effendi dan Susilo (1998), pengaruh suhu sebagai pembatas terjadinya fotosintesis akan menentukan konsentrasi dan distribusi klorofil-a. c. Derajat keasaman (pH) Derajat keasaman adalah parameter yang menunjukan banyaknya ion hidrogen yang terkandung dalam air. Nilai pH media kultur merupakan faktor pengontrol yang menentukan kemampuan biologis mikroalga dalam memanfaatkan unsur hara (De La Noue dan De Pauw 1998). Batas toleransi mikroorganisme air terhadap pH bervariasi dan dipengaruhi antara lain oleh suhu, oksigen terlarut, alkalinitas, jenis, dan stadia organisme (Chapman dan Chapman 1973). Derajat keasaman (pH) berkaitan erat dengan karbon dioksida dan alkalinitas. Semakin tinggi nilai pH, semakin tinggi pula nilai alkalinitas dan semakin sedikit kadar CO2 bebas. Adanya peningkatan pH dapat mengubah ion penyusun alkalinitas sehingga pada kondisi ini alga dapat memanfaatkan ion bikarbonat dan karbonat sebagai sumber karbon (Effendi 2000). Beberapa alga melakukan fotosintesis maksimum pada pH 7-8 (Priyambodo dan Wahyuningsih 2002). Kebanyakan mikroalga dapat hidup pada pH 6.8-9.6 (Chapman dan Chapman 1973).
6
Menurut Pescod (1973) selain oleh proses fotosintesis dan respirasi, nilai pH juga dipengaruhi oleh suhu dan keberadaan ion-ion di perairan tersebut. Banyak proses transformasi dan degradasi secara biokimia yang dipengaruhi oleh pH seperti proses nitrifikasi. d. Cahaya Mikroalga memerlukan intensitas cahaya yang cukup untuk melakukan fotosintesis. Oleh sebab itu, di perairan laut umumnya diatom ditemui sebagai plankton dan hidup pada permukaan air atau pada zona litorial yang dangkal. Cahaya adalah sumber energi yang memicu reaksi-reaksi dalam proses fotosintesis. Pada fotosintesis terjadi asimilasi karbon anorganik dan konversinya menjadi materi organik. Besarnya kebutuhan intensitas cahaya berkaitan dengan kepadatan kultur mikroalga. Semakin tinggi konsentrasi sel maka intensitas cahaya yang diperlukan juga semakin tinggi agar cahaya mencapai kultur mikroalga secara merata. Intensitas cahaya yang terlalu tinggi akan menyebabkan laju fotosintesis mikroalga menurun karena terjadinya fotoinhibisi, hal ini berkaitan dengan kerusakan fitokimia pigmen (Csavina 2008). Dalam penelitian ini mikroalga dikultur di lapangan rumput dengan memanfaatkan sinar matahari. Lama penyinaran dan intensitas cahaya dapat berbeda-beda setiap harinya bergantung pada cuaca. Cahaya yang dapat digunakan untuk fotosintesis adalah cahaya tampak yang memiliki panjang gelombang berkisar antara 400 sampai 720 nm. Dari sekian banyak cahaya tampak, hanya 5-7 % yang mampu diserap oleh mikroalga. Nilai ini masih lebih tinggi dibandingkan tumbuhan tingkat tinggi yang hanya mampu menyerap sekitar 2-3%. e. Pengadukan Pengadukan dalam kultur mikroalga sangat penting dan dilakukan secara terus-menerus untuk mencegah pengendapan sel dan mencegah perbedaan suhu dalam kultur (Oswald 1970). Aerasi merupakan cara pengadukan termudah dan efektif (Becker 1994). Aerasi berfungsi sebagai sumber CO2, mencegah kondisi anaerob pada kultur dan menjaga nutrisi agar tetap aktif kontak dengan sel mikroalga (Persoone et al. 1980 diacu dalam Borowitzka and Borowitzka 1988).
4. Komposisi Kimia Mikroalga Komposisi kimia mikroalga tidak dapat ditentukan secara mutlak. Kita hanya dapat memperkirakannya dari kondisi kultur yang ada. Kondisi kimia mikroalga tergantung pada suhu, salinitas, intensitas cahaya, nutrisi, dan fase pertumbuhannya (Goldman 1980 diacu dalam Borowitzka and Borowitzka 1988). Komposisi kimia beberapa mikroalga bisa dilihat pada Tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Komposisi kimia beberapa jenis mikroalga
Protein Mikroalga (%) Chaetoceros sp 35.00 Chaetoceros calcitrans 25.13 Skeletonema costatum 22.30 Coscinodiscus sp 17.00 Phaeodactilum tricormutum 33.00 Diatomae (campuran) 2.90 Nitzschia frustulum 33.00 Isochrysis galbana 30.40 Sumber: Isnansetyo dan Kurniastuty (1995)
Lemak (%) 6.90 8.12 2.55 1.80 6.60 0.90 21.00 16.00
Karbohidrat Serat kasar NFE (%) (%) 6.60 1.32 14.16 0.26 22.46 4.10 24.00 0.30 2.30 28.00 31.00 2.99 24.22
Abu (%) 28.00 51.29 51.43 57.00 7.60 6.50 26.33
Pigmen (OD) 1.5 0.50 2.90 -
7
Dalam kaitannya dengan produksi biodisel, sebisa mungkin dikembangkan mikroalga dengan kadar minyak yang cukup tinggi. Beberapa mikroalga menunjukan potensi sebagai mikroalga penghasil minyak untuk keperluan produksi biodisel. Pada Tabel 2 diuraikan kadar minyak beberapa jenis mikroalga secara lebih detail. Tabel 2. Kadar minyak beberapa spesies mikroalga laut dan air tawar
Sumber: Mata et al. (2010)
5. Potensi Minyak dari Mikroalga Mikroalga disarankan sebagai kandidat yang sangat bagus untuk produksi minyak karena mereka mempunyai kuntungan untuk dikembangkan, yaitu efisiensi fotosintesis yang lebih tinggi, produksi biomassa yang lebih tinggi dan pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan tanaman energi lainnya dengan tingkatan yang lebih tinggi (Miao dan Wu 2005). Hal ini seperti terlihat pada Tabel 3. Tabel 3. Perbandingan kadar dan produktivitas minyak mikroalga dengan beberapa sumber minyak lainnya dengan tingkatan yang lebih tinggi
Sumber: Mata et al. (2010)
8
Lipid dari mikroalga bisa digunakan dalam proses yang berbeda untuk eksploitasi energi, termasuk pembakaran sederhana dalam boiler atau mesin diesel. Akan tetapi, kemungkinan terbaik jika menggunakan minyak ini dengan terlebih dahulu mentransformasinya menjadi biofuel, seperti biodiesel (Tam dan Wong 1996). Mikroorganisme yang mengandung minyak secara menguntungkan dipertimbangkan karena siklus pertumbuhan mereka yang pendek, kadar lipid yang tinggi dan mudah dimodifikasi dengan alat biologi. Berikut adalah Tabel 4 yang menguraikan keuntungan dan kerugian dari minyak mikroalga dibandingkan dengan beberapa sumber minyak yang lainnya, yaitu bakteri, khamir dan jamur, serta sampah. Tabel 4. Keuntungan dan kerugian minyak mikroalga disbanding dengan minyak bakteri, khamir dan jamur, serta sampah
Sumber: Huang et al. (2010) Dalam penggunaan minyak mikroalga sebagai bahan biodiesel, tentunya biodiesel yang dihasilkan harus dipertimbangkan kualitasnya. Berdasarkan standar biodisel yang diterbitkan American Society for Testing Material (ASTM), biodiesel mikroalga mirip dengan standar biodiesel dan lebih stabil. Perbandingan karakteristrik dari minyak mikroalga, minyak disel konvensional dan standar biodiesel ASTM dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Perbandingan properti biodiesel dari mikroalga dengan diesel fuel dan standar biodiesel ASTM
Sumber: Huang et al. (2010) Beberapa studi menunjukan bahwa kuantitas dan kualitas lipid sel bervariasi sebagai hasil dari perubahan kondisi pertumbuhan (temperatur dan intensitas cahaya) atau karakteristrik nutrien media (konsentrasi nitrogen, fosfat dan besi) (Tam dan Wong 1996).
6. Produksi Mikroalga Secara umum, terdapat tiga jenis tipe untuk kultur mikroalga yaitu sistem statis, sistem semi sinambung dan sistem sinambung. Gambar masing-masing desain tipe kultur bisa dilihat pada Gambar 3 berikut.
9
Gambar 3. Desain tipe kultur mikroalga i) Sistem statis (Batch system) Sistem statis atau sistem batch merupakan sistem kultur yang paling umum digunakan. Pada sistem statis, setelah diinokulasi kultur akan dikembangkan selama periode tertentu, kemudian dilakukan pemanenan pada kultur secara keseluruhan. Sistem statis ini bersifat ekstensif dan membutuhkan ruang yang luas dalam pengerjaannya. Namun, sistem ini mempunyai kelebihan yaitu mudah untuk dilakukan (Snell 1991). Pada kultur ini inokulasi sel ke dalam media nutrisi dilakukan hanya satu kali sehingga terdapat fase pertumbuhan lengkap mulai dari fase lag hingga fase kematian. Pemanenan mikroalga dilakukan pada fase stasioner. Pertumbuhan pada kultur batch adalah suatu proses yang selalu berakhir setelah waktu tertentu dan biasanya dalam interval waktu yang pendek (Sa’id 1987). ii) Sistem semi sinambung (Semi-continuous system atau Fed-batch system) Pada sistem semi sinambung ini, kepadatan mikroalga dijaga konstan dengan pemanenan secara periodik. Pada sistem semi sinambung sebagian volume kultur dipanen setiap hari kemudian kultur ditambah medium baru dengan volume yang sama atau disesuaikan dengan volume kultur semula. Metode ini disebut juga sebagai metode perampingan (thinning method) (Snell 1991). iii) Sistem sinambung (Continuous system) Sistem sinambung adalah sistem kultur yang bersifat intensif. Tujuan sistem ini hampir sama dengan sistem semi sinambung, namun sistem sinambung ini lebih konsisten dalam menjaga kualitas air melalui frekuensi pergantian air kultur yang tinggi dan penggunaan kemostat (Suantika 2001; Snell 1991). Medium kultur baru selalu ditambahkan di dalam sistem ini sehingga tidak diperlukan perlakuan khusus untuk menjaga pH dan mengurangi akumulasi ammonia. Pada sistem ini, kepadatan kultur yang konstan dengan kualitas yang tinggi dapat dicapai. Produktivitas kultur dengan sistem sinambung lebih tinggi bila dibandingkan dengan sistem kultur statis dan semi sinambung (James dan Rezeq 1997). Pada kultur sinambung (continuous) ini, suplai nutrien secara kontinu diumpankan ke dalam kultur pertumbuhan dan buangan kultur dibasuh secara simultan. Akibatnya laju pertumbuhan mikroalga pada teknik ini dapat mendekati laju pertumbuhan maksimum. Sistem ini mempunyai resiko kegagalan teknis yang tinggi karena rumit, mempunyai banyak variabel yang harus dikontrol, dan membutuhkan biaya tinggi (Suantika 2001). Lebih jauh, kultur ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu: Kultur Turbidostat konsentrasi mikroalga dijaga pada level tertentu dengan cara mengencerkan kultur dengan medium baru secara otomatis. Kultur Kemostat laju penambahan medium baru diatur sedemikian rupa sehingga laju pertumbuhan mikroalga konstan (bukan kepadatannya). Pada kultur sinambung, pertumbuhan dapat dipertahankan untuk periode waktu yang lama. Selain itu, suatu keadaan mantap dapat tetap dipertahankan; ini berarti konsentrasi sel, kecepatan pertumbuhan spesifik dan lingkungan kultur (misal konsentrasi nutrien dan produk) tidak berubah oleh fungsi waktu. Hal ini sangat berlawanan dengan apa yang terjadi pada kultur batch. Akibatnya kultur sinambung dapat bertindak sebagai suatu alat yang unik dalam menyelidiki respon mikroalga terhadap lingkungannya dan untuk kelangsungan produksi massa sel pada kondisi lingkungan yang optimal (Sa’id 1987). Kelebihan dan kekurangan masing-masing tipe kultur bisa dilihat pada Tabel 6.
10
Tabel 6. Kelebihan dan kekurangan masing-masing tipe kultur mikroalga (Anonim 2009)
Tipe Kultur
Kelebihan
Batch
Paling mudah
Semi Continuous Continuous
Lebih mudah, agak efisien Efisien, menyediakan suplai sel berkualitas tinggi yang konsisten, laju produksi tinggi
Kekurangan Tidak efisien, kualitas dapat tidak konsisten Kualitasnya bervariasi Sulit, harga peralatan dapat sangat tinggi
Menurut Kizililsoley dan Helvasioglu (2008) untuk memproduksi mikroalga perlu ada suatu sistem teknologi. Sistem teknologi ini telah diteliti dan dikembangkan sejak beberapa dekade dalam desain yang bervariasi untuk produksi yang lebih efisien. Semua desain produksi mikroalga ini memiliki keuntungan dan kerugian yang seharusnya dipertimbangkan. Perbandingan desain ini bisa dipertimbangkan dari segi kebutuhan lahan, nilai produkstivitas, keuntungan dan kerugian, peralatan yang digunakan, dan biaya. Desain sistem ini di antaranya adalah: open pond systems, closed pond systems, turbular systems, plastic bag systems, well systems (khusus untuk mikroalga dengan penurunan klorofil), dan pyramid photobioreactor systems. Masing-masing desain memiliki dimensi optimum untuk memproduksi mikroalga dengan ukuran 50 m x 5 m x 0.4 m. masing-masing desain bisa dilihat pada Gambar 4 berikut.
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g) Gambar 4. Macam-macam desain sistem teknologi untuk produksi mikroalga: (a) open pond systems; (b) closed pond systems; (c) turbular systems; (d) dan (e) plastic bag system; (f) well systems; serta (g) pyramid photobioreactor systems
11
Masing-masing desain sistem ini memiliki kekurangan dan kelebihan. Hal ini bisa dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Kelebihan dan kekurangan masing-masing desain sistem teknologi produksi mikroalga berdasarkan parameter-parameter tertentu Open Pond Systems
Closed Pond Systems
Turbular Systems
Media air (ton)
Plastic Bag Systems
Well Systems
Pyramid Photobioreactor Systems
100 2
Kebutuhan area (m ) Produksi harian (kg berat kering) Produktivitas lahan (kg/(m2.hari)) Resiko kontaminasi Kehilangan evaporasi Kebutuhan energi Potensi panas berlebih Kebutuhan staf Biaya pemeliharaan Kebutuhan pemeliharaan periodik Kesalahan sistem irreversible Keamanan mikrobiologi Kapasitas air cleaning Kapasitas penggunaan limbah gas Kestabilan produktivitas (musim, suhu, cahaya matahari, dan lain-lain)
250
250
1200
1200
25
60
35
35
80
60
90
145
0.14 ⁺⁺⁺⁺⁺ ⁺⁺⁺⁺⁺ ⁺⁺⁺ ⁺⁺⁺⁺⁺ ⁺⁺⁺⁺⁺ ⁺⁺⁺⁺⁺
0.14 ⁺⁺⁺ ⁺⁺⁺⁺ ⁺⁺ ⁺⁺⁺⁺⁺ ⁺⁺⁺ ⁺⁺⁺⁺
0.066 ⁺ ⁺ ⁺⁺⁺⁺ ⁺⁺⁺⁺ ⁺⁺ ⁺⁺⁺
0.05 ⁺ ⁺⁺ ⁺⁺⁺ ⁺⁺ ⁺⁺ ⁺⁺⁺
3.6 ⁺⁺ ⁺⁺⁺ ⁺⁺ ⁺ ⁺⁺ ⁺⁺⁺
2.416 ⁺ ⁺ ⁺ ⁺⁺ ⁺ ⁺⁺
⁺⁺⁺⁺⁺
⁺⁺⁺⁺
⁺⁺
⁺⁺⁺
⁺⁺⁺
⁺
⁺⁺⁺⁺⁺
⁺⁺⁺⁺⁺
⁺
⁺⁺
⁺⁺
⁺
⁺ ⁺
⁺⁺ ⁺
⁺⁺⁺⁺⁺ ⁺⁺⁺
⁺⁺⁺ ⁺⁺
⁺⁺ ⁺⁺
⁺⁺⁺⁺⁺ ⁺⁺⁺⁺⁺
⁺
⁺⁺
⁺⁺⁺⁺
⁺⁺
⁺⁺⁺⁺
⁺⁺⁺⁺⁺
⁺
⁺⁺
⁺⁺⁺⁺
⁺⁺⁺
⁺⁺⁺
⁺⁺⁺⁺⁺
7. Pemanenan Mikroalga Pemanenan mikroalga menurut Brenan dan Owende (2009) terdiri dari 4 cara, yaitu: a.
Flokulasi dan agregasi ultrasonik Ini adalah langkah pertama dalam proses pemanenan yang diharapkan untuk mengagregasi sel mikroalga yang bertujuan meningkatkan ukuran partikel efektif. Flokulasi adalah langkah persiapan utama dibanding metode pemanenan yang lain seperti filtrasi, flotasi atau sedimentasi gravity. Mikroalga bermuatan negatif sehingga dapat mencegah agregasi sel secara alami dalam suspensi. Penambahan flokulan seperti kation multivalen dan polimer kation akan menetralisir atau menurunkan muatan negatif untuk memfasilitasi agregasi. Garam logam multivalen seperti feri klorida (FeCl3), alumunium sulfat (Al2(SO4)3) dan feri sulfat (Fe2(SO4)3) cocok sebagai flokulan. Efesiensi metode sangat sensitif terhadap pH flokulasi maksimum untuk spesies freshwater pada pH 7.0 dan pH lebih rendah untuk spesies laut. Air residu flokulasi bisa digunakan untuk memproduksi kultur alga segar. Agregasi berikutnya bisa juga digunakan sedimentasi dipertinggi untuk pemanenan biomassa mikroalga. Ultrasound bisa digunakan untuk mengoptimasi efisiensi agregasi dan faktor konsentrasi. Efisiensi pemisahan bisa mencapai 92% dan faktor konsentrasi 20 kali. Keuntungan utama pemanenan ultrasonic, yaitu bisa dioperasikan secara kontinyu tanpa menyebabkan shear stress pada biomassa yang bisa merusak metabolit yang bernilai dan juga merupakan suatu teknik yang tidak kotor.
12
b.
Flotasi Metode flotasi berdasarkan penjeratan sel mikroalga menggunakan gelembung udara mikro terdispersi dan karena itu tidak seperti flokulasi, tidak membutuhkan penambahan bahan kimia. Beberapa strain secara alami mengapung di permukaan air ketika kadar minyak mikroalga meningkat. Walaupun flotasi disebutkan sebagai metode pemanenan yang potensial tetapi adanya keterbatasan keterangan dari segi kelangsungan teknik dan ekonomi. c.
Sedimentasi gravitasi dan sentrifugasi Metode sedimentasi gravitasi dan sentrifugasi berdasarkan Hukum Stoke, yaitu karakteristrik pengendapan padatan tersuspensi ditentukan dengan kepadatan dan jari-jari sel alga (radius Stoke) terhadap kecepatan sedimentasi. Sedimentasi gravitasi adalah teknik pemanenan yang paling biasa untuk biomassa alga pada pengolahan limbah cair karena volume yang diolah dan biomassa yang dihasilkan rendah. Akan tetapi, metode ini hanya cocok untuk mikroalga besar (> 70 mm) seperti Spirulina. Recovery sentrifugasi lebih disukai untuk pemanenan metabolit bernilai tinggi dan konsentrasi shelf-life yang diperluas untuk pakan dan pembenihan pada akuakultur. Prosesnya cepat dan energi intensif, recovery biomassa tergantung pada karakteristrik pengendapan sel, waktu sentrifugasi dan kedalaman pengendapan. Kerugian proses termasuk biaya energi yang tinggi dan kebutuhan pemeliharaan yang lebih tinggi secara potensial sehubungan peranan pemindahan secara bebas. Efisiensi pemanenan > 95% dan meningkatkan konsentrasi slurry hingga 150 kali untuk 15% total padatan terlarut, memungkinkan secara teknik. d.
Filtrasi biomassa Proses filtrasi konvensional merupakan pemanenan yang paling tepat untuk mikroalga besar (> 70 mm) seperti Coelastrum dan Spirulina. Filtrasi tidak bisa digunakan untuk spesies alga mendekati dimensi bakteri (< 30 mm) seperti Scenedesmus, Dunaliella dan Chlorella. Filtrasi konvensional beroperasi di bawah tekanan atau penyedotan, pertolongan pertama filtrasi seperti tanah diatom atau selulosa bisa digunakan untuk meningkatkan efisiensi. Proses filtrasi bisa mencapai faktor konsentrasi 245 kali konsentrasi asal Coelastrum proboscideum untuk memproduksi endapan dengan 27% padatan. Untuk recovery sel alga yang lebih kecil (< 30 mm), membran mikrofiltrasi dan ultrafiltrasi merupakan alternatif yang mungkin untuk filtrasi konvensional. Filtrasi cocok untuk sel yang rapuh yang membutuhkan tekanan trans membran yang rendah dan kondisi kecepatan crossflow yang rendah. Untuk proses volume broth rendah (< 2 m3 per hari), membran filtrasi bisa lebih efektif biaya dibandingkan sentrifugasi. Biaya untuk pemakaian kembali membran dan pemompaan dalam produksi skala besar (> 20 m3 per hari), sentrifugasi bisa menjadi metode yang lebih ekonomis dalam pemanenan biomassa.
13