61
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pendapatan Asli Daerah Dalam upaya mewujudkan pelaksanaan desentralisasi di Indonesia dibentuklah daerah otonom yang terbagi dalam daerah provinsi, daerah Kabupaten dan daerah kota yang bersifat otonom sesuai dengan ketentuan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Pengertian "Daerah Otonom" menurut Undang-Undang tersebut yaitu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia. Pengertian daerah otonom dimaksud agar daerah yang bersangkutan Pelaksanaan kebijakan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 mendorong Pemerintah Daerah untuk memacu peningkatan PAD. Sejalan dengan hal tersebut, Pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah dalam mengatur sumber keuangannya. Dalam pasal 79 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 sumber-sumber pendapatan daerah terdiri atas : a. Pendapatan Asli Daerah yaitu : 1. Hasil pajak daerah 2. Hasil retribusi daerah 3. Hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah dan 4. Lain-lain pendapatan daerah yang sah b. Dana Perimbangan c. Pinjaman daerah
62
d. Lain-lain pendapatan daerah yang sah Sumber-sumber pendapatan daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut mengalami perubahan komposisi sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan tersebut dapat dilihat dari sumber pendapatan daerah yang menjadi terdiri atas: a. Pendapatan asli daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu: 1) Hasil pajak daerah; 2) Hasil retribusi daerah; 3) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan 4) Lain-lain PAD yang sah; b. Dana perimbangan; dan c. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Dalam pelaksanaan otonomi daerah, sumber keuangan yang berasal dari pendapatan asli daerah lebih penting dibandingkan dengan sumber-sumber di luar Pendapatan Asli Daerah, karena PAD dapat dipergunakan sesuai dengan prakarsa dan inisiatif daerah sedangkan bentuk pemberian pemerintah (non PAD) sifatnya lebih terikat. Dengan penggalian dan peningkatan pendapatan asli daerah diharapkan pemerintah daerah juga mampu meningkatkan kemampuannya dalam penyelenggaraan urusan daerah. Di sisi lain meningkatnya tugas, kewajiban, tanggung jawab, hak dan wewenang Daerah kota/kota dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien tanpa didukung sumber pembiayaan yang memadai. Oleh karena itu pemerintah daerah harus mampu menjalankannya,
63
menggali, dan mendayagunakan potensi pendapatan daerah secara efektif dan efisien untuk pencapaian target Pendapatan Asli Daerah. Menurut Arsyad (1999), hasil riset tentang penggalian potensi PAD selama ini menunjukkan, daerah masih mempunyai banyak keterbatasan dalam peningkatan PAD, sehingga tidak seluruh potensi dapat dioptimalkan. Hal ini disebabkan Pemkot/Pemkab dihadapkan pada berbagai kendala, diantaranya keterbatasan SDM yang profesional, kesadaran wajib pajak/retribusi yang masih rendah, belum tersedianya data base sumber-sumber PAD secara lengkap, penentuan target PAD yang belum menggunakan pola perhitungan baku, pengelolaan Perusda/BUMD yang belum efisien, manajemen pelayanan dan pengawasan yang belum optimal, belum diberdayakannya kecamatan dan desa/kelurahan dalam pengelolaan PAD serta banyaknya perda yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan. Salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah yang potensial untuk dikembangkan diantaranya adalah retribusi daerah. Oleh karen itu Pemerintah Daerah perlu memperhatikan pengelolaan retribusi daerah sebagai salah satu sumber pendapatan daerah.
2.2. Retribusi Daerah Peraturan Pemerintah Nomor. 66 Tahun 2001 menyatakan bahwa retribusi daerah adalah Pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Beberapa karakteristik retribusi daerah yang diterapkan di Indonesia antara lain (Siahaan, 2006):
64
a. Retribusi merupakan pungutan yang dipungut berdasarkan undang-undang dan peraturan daerah yang berkenaan. b. Hasil penerimaan retribusi masuk ke kas pemerintah daerah. c. Pihak yang membayar retribusi mendapatkan kontra prestasi (balas jasa) secara langsung dari pemerintah daerah atas pembayaran yang dilakukannya. d. Retribusi terutang apabila ada jasa yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah yang dinikmati oleh orang atau badan. e. Sanksi yang dikenakan pada retribusi adalah sanksi secara ekonomis, yaitu jika tidak membayar retribusi, tidak akan memperoleh jasa yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Retribusi daerah sebagai salah satu komponen sumber PAD dimaksudkan untuk dapat memasukkan dana bebas daerah sebanyak-banyaknya guna membiayai pengeluaran pembangunan sehingga kestabilan ekonomi yang mantap dapat tercapai karena laju pertumbuhan ekonomi yang layak dipertahankan (Suparmoko, 2002). Sebagai instrumen kebijakan fiskal, retribusi daerah mempunyai
beberapa kemampuan strategi yang mencerminkan manfaat dari
retribusi itu sendiri dalam membantu meningkatkan pembangunan daerah, manfaat tersebut adalah: retribusi daerah dapat meningkatkan kemampuan penerimaan PAD, dan mendorong laju perumbuhan ekonomi daerah. Berdasarkan UU No. 34 Tahun 2000 dan PP No. 66 Tahun 2001 objek retribusi adalah berbagai jenis jasa tertentu yang disediakan oleh pemerintah daerah. Tidak semua jasa yang diberikan oleh pemerintah daerah dapat dipungut retribusinya, tetapi hanya jenis-jenis jasa tertentu yang menurut pertimbangan
65
sosial-ekonomi layak dijadikan objek retribusi. Jenis retribusi berdasarkan objek retribusi dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: 1. Retribusi jasa umum, yaitu pelayanan yang disediakan atau diberikan pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. 2. Retribusi jasa usaha, yaitu pelayanan yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial. 3. Retribusi perizinan tertentu, yaitu kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
Berdasarkan pengelompokan tersebut dapat dilihat bahwa retribusi Tempat Khusus Parkir (TKP) merupakan jenis retribusi yang ternasuk dalam jenis retribusi jasa usaha. Sedangkan retribusi pada Tepi Jalan Umum (TJU) merupakan jenis retribusi jasa umum. Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa parkir TJU lebih mengarah pada pelayanan publik (publik service) kepada masyarakat sehingga dikelompokkan ke dalam retribusi jasa umum. Sedangkan pada pelaksanaan pengelolaan parkir TKP bersifat jasa usaha sehingga dimasukkan ke dalam retribusi jasa usaha. Meskipun demikian, kedua jenis retribusi parkir tersebut tetap merupakan bagian dari retribusi daerah yang harus ditingkatkan kontribusinya dalam rangka meningkatkan PAD secara keseluruhan.
66
2.3. Perbedaan Retribusi dan Pajak Daerah Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat bersumber dari pajak dan retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan lain-lain PAD yang sah. Dalam sejarah pemerintahan di Indonesia, pajak dan retribusi daerah merupakan sumber penerimaan yang dapat diandalkan bagi daerah. Di masyarakat pajak daerah sering kali disamakan dengan retribusi daerah. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa keduanya merupakan pembayaran kepada pemerintah. Pandangan ini tidak benar karena pada dasarnya terdapat perbedaan yang besar antara pajak dan retribusi. Menurut Siahaan (2006) perbedaan antara pajak dan retribusi adalah: 1. Kontra prestasinya. Pada retribusi kontra prestasinya dapat ditunjuk secara langsung dan secara individu dan golongan tertentu sedangkan pada pajak kontra prestasinya tidak dapat ditunjuk secara langsung. 2. Balas jasa pemerintah. Hal ini dikaitkan dengan tujuan pembayaran, yaitu pajak balas jasa pemerintah berlaku untuk umum, seluruh rakyat menikmati balas jasa, baik yang membayar pajak maupun yang bebaskan dari pajak. Sebaliknya, pada retribusi balas jasa negara/pemerintah beraku khusus, hanya dinikmati oleh pihak yang telah melakukan pembayaran retribusi. 3. Sifat pemungutannya. Pajak bersifat umum, artinya berlaku untuk setiap orang yang memenuhi syarat untuk dikenakan pajak. Sementara itu retribusi hanya berlaku untuk orang tertentu, yaitu yang menikmati jasa pemerintah yang dapat ditunjuk. 4. Sifat pelaksanaanya. Pemungutan retribusi didasarkan atas peraturan yang berlaku umum dan dalam pelaksanaannya dapat dipaksakan, yaitu setiap orang
67
5. Lembaga atau badan hukumnya. Pajak dapat dipungut oleh pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah, sedangkan retribusi hanya dapat dipungut oleh pemerintah daerah.
2.4. Reribusi Parkir dan Pajak Parkir 2.4.1. Retribusi Parkir Retribusi parkir berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 20 Tahun 2002 adalah retribusi yang dikenakan atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan oleh orang pribadi atau badan, baik yang disediakan oleh pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor dan garasi kendaraan bermotor yang memungut bayaran. Penerapan kebijakan retribusi parkir dibeberapa daerah di Indonesia pada umumnya cederung berorientasi pada peningkatan PAD dan belum menjadi instrumen pengendalian lalu lintas. Selain itu kegiatan perparkiran sering berbenturan dengan undang-undang lalu lintas. Pada dasarnya penggunaan badan jalan tidak proporsional jika digunakan sebagai ruang parkir. Selain bertentangan dengan undang-undang lalu lintas juga menjadi potensi kemacetan. Dengan demikian penetapan lokasi parkir harus tidak menimbulkan gangguan terhadap aksesibilitas lalu lintas dan gangguan lainnya. Pengelolaan perparkiran
68
akan mempengaruhi besarnya PAD yang akan diperoleh dari kebijakan penyediaan fasilitas, sistem pengelolaan, besaran tarif parkir, atau pungutan retribusi parkir dan persentase retribusi parkir kepada pengelola swasta. Kabupaten Bogor memiliki dua perundang-undangan terkait dengan retribusi parkir, yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 10 Tahun 2003 tentang Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum dan Peraturan Daerah Nomor 12 tahun 2003 tentang parkir Tempat Khusus Parkir (TKP). Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 10 tahun 2003 tentang Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum, retribusi pelayanan parkir TJU selanjutnya dinamakan retribusi, yaitu pungutan daerah atas pelayanan parkir di tepi jalan umum yang disediakan atau diberikan pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi. Berdasarkan Peraturan Daerah tersebut juga ditetapkan bahwa parkir di Tepi Jalan Umum (TJU) merupakan retribusi jasa umum. Retribusi jasa umum yaitu pelayanan yang disediakan atau diberikan pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Retribusi parkir Tempat Khusus Parkir (TKP) Kabupaten Bogor menurut Peraturan Daerah Nomor 12 tahun 2003, yaitu pembayaran atas pelayanan tempat khusus parkir. Tempat Khusus Parkir diartikan sebagai tempat parkir yang khusus disediakan, dimiliki atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, tidak termasuk yang disediakan dan dikelola oleh badan dan pihak swasta. Perparkiran yang disediakan dan dikelola oleh badan dan pihak swasta akan dikenakan suatu iuran dengan nama pajak parkir dan selanjutnya akan
69
dipungut oleh Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda). Lebih lanjut yang dimaksud dengan pajak parkir.
2.4.2. Pajak Parkir Menurut Siahaan (2006) yang dimaksud dengan pajak daerah secara umum adalah pembayaran wajib pajak yang dikenakan bedasarkan undangundang yang tidak dapat dihindari bagi yang berkewajiban dan bagi mereka yang tidak mau membayar pajak dapat dilakukan paksaan. Sedangkan yang dimaksud dengan pajak parkir menurut Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 20 tahun 2002 adalah pajak yang dikenakan atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan oleh orang pribadi atau badan, baik yang disediakan oleh pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor dan garasi kendaraan bermotor yang memungut bayaran. Dasar pengenaan pajak parkir adalah jumlah pembayaran untuk pemakaian tempat parkir yang dikelolah oleh swasta. Besaran tarif pajak dihitung berdasarkan persentase, yaitu 20 persen dari jumlah kendaraan yang parkir total per bulan. Objek pajak parkir yang tidak terpungut sebagai berikut : b. Penyelenggaraan tempat parkir oleh bPemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; c. Penyelenggaraan parkir oleh kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dan perwakilan lembaga-lembaga internasional dengan asas timbal balik sebagaimana berlaku untuk pajak negara; d. Penyelenggaraan tempat parkir dalam kegiatan sosial keagamaan.
70
2.5. Strategi Peningkatan Retribusi Strategi merupakan rencana yang disatukan, menyeluruh dan terpadu yang berkaitan dengan keunggulan strategi. Keunggulan strategi dirancang sesuai dengan tantangan lingkungan sehingga tujuan utama dapat dicapai melalui pelaksanaan yang tepat oleh daerah (Glueck dan Janch, 1996). Dalam upaya meningkatkan kontribusi retribusi daerah terhadap PAD Pemerintah Daerah harus mampu
merumuskan
perencanaan
strategis
terkait
dengan
peningkatan
penerimaan retribusi daerah. Dalam era otonomi daerah sekarang ini, daerah daerah memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya serta meminimalisasi ketergantungan kepada bantuan Pusat. Sehingga PAD khususnya retribusi daerah harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan Pusat dan Daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan negara. Berkaitan dengan hal tersebut, peningkatan sumbersumber PAD perlu dilakukan untuk meningkatkan kemampuan keuangan daerah. Menurut Sidik (2002) secara umum, upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam rangka meningkatkan pendapatan daerah melalui strategi peningkatan pemungutan atau retribusi daerah adalah: a. Memperluas basis penerimaan Tindakan yang dilakukan untuk memperluas basis penerimaan yang dapat dipungut oleh daerah, yang dalam perhitungan ekonomi dianggap potensial, antara lain yaitu mengidentifikasi pembayar retribusi baru/potensial dan
71
jumlah pembayar retribusi, memperbaiki basis data objek, memperbaiki penilaian, menghitung kapasitas penerimaan dari setiap jenis pungutan. b. Memperkuat proses pemungutan Upaya yang dilakukan dalam memperkuat proses pemungutan, yaitu antara lain mempercepat penyusunan Perda, mengubah tarif, khususnya tarif retribusi dan peningkatan SDM. c. Meningkatkan pengawasan Hal ini dapat ditingkatkan yaitu antara lain dengan melakukan pemeriksaan secara dadakan dan berkala, memperbaiki proses pengawasan, menerapkan sanksi terhadap penunggak pungutan. d. Meningkatkan efisiensi administrasi dan menekan biaya pemungutan. Tindakan yang dilakukan oleh daerah yaitu antara lain memperbaiki prosedur administrasi melalui penyederhanaan admnistrasi retribusi, meningkatkan efisiensi pemungutan dari setiap jenis pemungutan. e. Meningkatkan kapasitas penerimaan melalui perencanaan yang lebih baik. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait di daerah.
2.6. Terminologi Parkir Parkir merupakan sumber pendapatan yang potensial untuk digali pemerintah daerah dalam upaya meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Berdasarkan Peraturan Bupati Bogor Nomor 24 Tahun 2006 yang dimaksud dengan parkir adalah suatu kegiatan menempatkan atau memberhentikan kendaraan bermotor di tepi jalan umum atau pada tempat parkir yang bersifat
72
sementara/jangka waktu tertentu, atau tidak dilarang dengan rambu yang tidak mengikat. Sedangkan yang dimaksud dengan fasilitas parkir menurut Waldiono dalam Darmanto (2006) adalah lokasi yang ditentukan sebagai tempat pemberhentian kendaraan yang tidak bersifat sementara untuk melakukan kegiatan pada kurun waktu tertetu. Kekurangan fasilitas parkir yang tersedia sesuai dengan permintaan dapat menyebabkan kemacetan. Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan fasilitas parkir dapat mengusahakannya sendiri dengan membentu UPTD ataupun dengan diserahkan kepada pihak ketiga atau swastanisasi. Saat ini beberapa kota besar untuk penyelenggaraan parkir di kawasan-kawasan yang dimiliki oleh pengembang sering di serahkan kepada pengelola parkir yang profesional seperti Security Parking. Penyediaan fasilitas parkir oleh pemerintah dapat dikelompokkan yaitu : 1. Parkir di badan jalan (on street parking) atau biasa disebut Parkir Tepi Jalan Umum (TJU) 2. Parkir diluar badan jalan (off street parking) atau biasa disebut Tempat Khusus Parkir (TKP)
Parkir di badan jalan (On street parking) yaitu kegiatan parkir yang dilakukan dengan memanfaatkan sebagian lebar jalan yang layak. Aktivitas pakir dan pengadaan fasilitas parkir di badan jalan yang sesuai dengan pola pengaturan untuk masing-masing ruas jalan yang diperbolehkan biasanya dilakukan oleh pihak pemerintah daerah, dalam hal ini DLLAJ atau Dinas Perhubungan. Pengadaan fasilitas parkir di luar badan jalan (off street parking) dapat dilakukan
73
oleh Pemeritah Daerah, swasta, atau Pemerintah Daerah bekerja sama dengan swasta. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 10 tahun 2003, yang dimaksud dengan pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum adalah penyediaan pelayaan parkir di tepi jalan umum yang ditetukan oleh pemerintah daerah. Sedangkan parkir di luar badan jalan (off street parking) atau biasa disebut Tempat Khusus Parkir (TKP) merupakan kegiatan parkir yang dilakukan dengan memanfaatkan ruang tertentu di luar badan jalan, dapat berupa gedung ataupun pelataran. Terwujudnya
pengelolaan
perparkiran
secara
efektif
dan
efisien
selayaknya menjadi visi bagi Pemerintah Daerah. Sedangkan dalam upaya mewujudkan visi tersebut, diperlukan misi yang harus dicapai seperti yang dikembangkan oleh Unit Pengelolaan Perparkiran (UPP) Bandung dalam Zaifani (2006), antara lain : 1. Menata dan mengembangkan lahan perparkiran sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan di seluruh kota; 2. Menata sistem perparkiran yang berorientasi kepada kenyamanan dan keamanan bagi pengguna jasa perparkiran; 3. Mendayagunakan aparatur pengelola perparkiran dalam melaksanakan pelayanan perparkiran kepada pengguna jasa perparkiran; 4. Menata
dan
mengembangkan
sistem
pengawasan
dan
pengendalian
penyelenggaraan perparkiran. Guna menapai Visi dan misi tersebut, maka diperlukan suatu parameter yang harus dituju, dengan demikian tujuan yang hendak dicapai antara lain :
74
1. Meningkatkan sarana dan prasarana (fasilitas) parkir yang memadai sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah; 2. Meningkatkan pelayanan kepada pengguna jasa perparkiran; 3. Meningkatkan wawasan dan pengetahuan sumberdaya aparatur di bidang perparkiran; 4. Meningkatkan pengawasan dan pengendalian pegelolaan perparkiran dalam rangka penegakkan aturan bidang perparkiran.
2.7. Swakelola dan Swastanisasi dalam Perparkiran Menurut Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (1998) pengelolaan perparkiran dapat dilakukan oleh pemerintah daerah sendiri dan dapat juga dilakukan oleh pihak ketiga. Pemerintah daerah dalam menyelenggarakan perparkiran dapat mengusahakannya sendiri, inilah yang selanjutnya disebut sebagai swakelola. Anonim
(2007)
menyatakan
swakelola
adalah
pekerjaan
yang
direncanakan, dikerjakan, dan diawasi sendiri oleh pelaksana swakelola dengan menggunakan tenaga sendiri dan/atau tenaga dari luar baik tenaga ahli maupun tenaga upah borongan. Tenaga ahli dari luar tidak boleh melebihi 50 persen dari tenaga sendiri. Swakelola dalam pengelolaan perparkiran mengandung pengertian bahwa pengelolaan parkir dilakukan oleh pihak pemerintah sendiri, mulai dari perencanaan, pengerjaaan (pengaturan dan pengendalian) dan pengawasan di lapangan, yaitu dengan membentuk Unit Pelaksana Teknis daerah (UPTD) perparkian.
75
Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (1998) menyatakan berdasarkan ketentuan perundang-undangan tanggung jawab pengelolaan dan pengedalian parkir berada di bawah Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ) tingkat II, dan untuk operasionalnya dibentuk UPTD. Namun belum semua daerah melaksanakannya seperti yang ditentukan dalam peraturan perundangan yang berlaku, sebab ada beberapa daerah yang pelaksanaannya dilakukan di bawah kendali Dinas Pendapatan Daerah dan ada juga yang dilaksanakan oleh pihak ketiga. Bahkan ada yang pelaksanaannya dilakukan oleh Badan tersendiri ataupun oleh Dinas Perparkiran. Menurut Savas dalam Silalahi (1996) yang dimaksud dengan swastanisasi adalah suatu proses pengurangan campur tangan pemerintah dalam menjalankan perekonomian, karena kepemilikan aset-aset dialihkan dari tangan pemerintah ke pihak swasta. Proses pendelegasian tersebut ditujukan untuk mengefisienkan dan mengefektifkan suatu kegiatan yang menjadi wewenang pemerintah oleh pemerintah. Dalam hal perparkiran, swastanisasi dapat diartikan adanya pendelegasian penyelenggaraan atau pengelolaan perparkiran dari pemerintah kepada pihak swasta. Hal tersebut juga dilakukan dalam rangka meningkatakan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan dan pengelolaan perparkiran. Penyelenggaraan dan pengelolaan perparkiran tidak dapat mengabaikan kedudukan parkir itu sendirisebagai sub-sistem lalu lintas. Oleh karena itu, hal yang menjadi sasaran dalam penyelenggaraan dan pengelolaan perparkiran di wilayah Kabupaten Bogor yaitu terwujudnya kelancaran lau lintas.
76
Menurut Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (1998) swastanisasi merupakan suatu alternatif pengelolaan parkir. Sistem ini biasanya lebih efisien dan
manfaat
yang
diterima
pemerintah
daerah
lebih
besar.
Sebelum
diswastanisasikan, Pemerintah Daerah terlebih dahulu menghitung besarnya potensi pendapatan yang dapat diterima dan biaya yang dikeluarkan untuk penyelenggaran parkir. Besarnya pendapatan ini dihitung berdasarkan jumlah ruang parkir yang tersedia, tingkat penggunaan, lamanya parkir dilakukan dan besarnya tarif. Metode lain yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan dasar dari pendapatan parkir sebelum dikontrakkan kepada pihak ketiga. Sejalan konsep swastanisasi, pelayanan jasa parkir yang dilakukan di badan atau parkir Tepi Jalan Umum (TJU) tidak dapat dialihkan kepemilikannya kepada pihak swasta. harus dibangun gedung parkir atau pelataran parkir, sehingga akhirnya aset tersebut dapat dialihkan ke pihak swasta.
2.8. Hasil Kajian Terdahulu Kajian mengenai pengelolaan perparkiran pernah dilakukan oleh Silalahi (1996) melakukan kajian mengenai "Pengelolaan Parkir di Wilayah DKI Jakarta (Suatu analisis untuk mencari Model pengelolaan parkir yang lebih Efisien dan Efektif)", menyatakan bahwa pengelolaan perparkiran di DKI Jakarta belum efisien dan efektif. Hal ini disebabkan kondisi organisasi dan suasana persaingan yang belum sehat, sehingga pelayanan jasa parkir belum menunjang pada ketertiban lalu lintas dan perolehan retribusi daerah (melalui retribusi parkir). Kajian dilakukan dengan metode analisis deskriptif, dan dapat dikategorikan sebagai penelitian kualitatif. Berdasarkan kajian disarakan beberapa hal diantaranya agar pengelolaan parkir efisien dan efektif, maka perlu dibangun
77
kondisi organsasi dan suasana kompetisi yang sehat; agar tujuan pengelolaan perparkiran tercapai, maka sasaran atau fungsi pelayanan jasa parkir dapat diserahka kepada swasta. Swastanisasi pelayanan jasa parkir tidak cukup, harus didukung dengan dominasi pemegang saham yang kuat dan berpengalaman, dan juga diperlukan dukungan peraturan perundang-undangan. Dalam kajian tersebut sudah melihat pengelolaan parkir oleh pihak swasta, namun objek utama yang menjadi fokus dalam kajian ini adalah Badan Pengelola (BP) Parkir DKI Jakarta. Susdiyono (2003) melakukan kajian yang berjudul "Kajian Pendapatan Daerah Propinsi DKI Jakarta Melalui Retribusi Parkir (Menuju Pelaksanaan retribusi Parkir)". Dalam kajian tersebut dipaparkan mengenai kondisi aktual penyelenggaraan perparkiran di Propinsi DKI Jakarta berkaitan dengan proses menuju pelaksanaan retribusi parkir. Selain itu juga mengkaji tentang berbagai upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah DKI Jakarta dalam mengoptimalkan pendapatan daerahnya dari perparkiran. Metode analisis yang digunakan dalam kajiannya adalah metode deskriptif eksplanatoris (explanatory-decriptive). Dalam kajian tersebut mengungkapkan fenomena perparkiran di wilayah DKI Jakarta dengan masih sangat sederhana dan makro. Kajian ini juga tidak menyajikan bentuk mengujian secara kuantitatif terhadap kajian yang dilakukan. Dedyanto (2003) melakukan kajian mengenai "Analisis Efektivitas Pendapatan Retribusi Parkir Propinsi DKI Jakarta". Kajian tersebut memfokuskan obyek kajiannya pada pengelolaan perparkiran oleh Badan Pengelola Perparkiran (BPP) Propinsi DKI Jakarta, serta membandingkan pengelolaan parkir yang dilakukan di Kota Bandung dan Kota Surabaya. Berdasarkan kajian dapat disimpulkan bahwa (1) pendapatan retribusi parkir oleh Badan Pengelola
78
Perparkiran (BPP) Propinsi DKI Jakarta belum berjalan efektif, dimana realisasi pendapatan parkir masih jauh di bawah penerimaan parkir yang sebenarnya. (2) premanisme merupakan faktor yang berpengaruh terhadap efektivitas pendapatan retribusi parkir di Propinsi DKI Jakarta (3) pola pengendalian pungutan dilakukan dengan menggunakn sistem Setoran Wajib Minimum (SWM) dirasa tiak efektif, parajuru parkir bak resmi maupun tidak hanya membayar kewajiban minimum, tanpa memperhitungkan hasil yang mereka peroleh. Dalam hanya memfokuskan pada penyelenggaraan perparkiran oleh Badan Pengelola (BP) Perparkiran Propinsi DKI Jakarta. Selain itu kajian tersebut juga hanya digunakan metode deskriptif analisis. Hal yang membedakan kajian-kajian tersebut dengan kajian ini adalah pertama kajian ini fokus kepada bentuk parkir Tempat Khusus Parkir (TKP) dengan wilayah kajian di Kabupaten Bogor. Kedua, kajian ini melihat alternatif strategi dari peningkatan penerimaan retribusi parkir TKP oleh pihak pemerintah (swakelola) dan swasta di Kabupaten Bogor. Sehingga dapat dilihat bentuk penyelenggaraan dan pengelolaan perparkiran secara swakelola atau swasta yang mampu meningkatkan retribusi perparkiran dalam rangka meningkatkan kontribusi retribusi parkir TKP terhadap PAD Kabupaten Bogor. Ketiga, kajian ini juga telah menggunakan alat analisis AHP (Analisis Hirarki Proses), dimana AHP merupakan alat analisis kuantitatif yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah, keputusan-keputusan yang dihasilkan adalah angka yang nantinya akan dijelaskan dalam bentuk tulisan. Keempat, dalam kajian ini telah dianalisis besarnya potensi pada titik parkir TKP.
79
2.9. Kerangka Pemikiran Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Nomor 33 Tahun 2004, Pemerintah Daerah harus mampu mengelolah sumber-sumber penerimaan daerah yang salah satunya berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). PAD dapat dijadikan salah satu indikator kemampuan keuangan daerah. Kabupaten Bogor merupakan daerah yang memiliki potensi PAD yang besar. Salah satu sumber pendapatan daerah yang dapat digali dalam rangka peningkatan PAD adalah retribusi daerah. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya Kabupaten Bogor merupakan daerah yang mempunyai potensi retribusi daerah yang cukup besar sebagai sumber PAD. Salah satu jenis retribusi daerah yang menjadi sumber pendapatan daerah adalah retribusi parkir. Pengelolan retribusi parkir terdiri dari dua jenis yaitu (1) retribusi Parkir Tepi jalan Umum (TJU) (2) Retribusi Tempat Khusus parkir (TKP). Dalam kajian ini akan memfokuskan kajian pada retribusi Tempat Khusus Parkir (TKP). Berdasarkan Peraturan Bupati Bogor Nomor 24 Tahun 2006 Pasal 3, pengelolaan titik-titik parkir (baik TJU maupun TKP) dapat dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini adalah Dinas Perhubungan (Dishub) dengan menunjuk Kepala UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah) dan dalam pelaksaannya dapat melakukan kerjasama dengan pihak lain yaitu dalam hal ini adalah pihak swasta sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sehingga bentuk penyelenggaraan dan pengelolaan TJU dan TKP dapat dilakukan secara swakelola dan swasta. Untuk TJU umumnya hanya dapat dikelolah secara swakelola. Dalam kajian ini memfokuskan kajian pada parkir TKP.
80
Untuk memberikan gambaran pengelolaan parkir TKP pada bentuk pengelolaan oleh swakelola dan swasta digunakan analisis deskriptif. Selanjutnya dalam kajian ini akan dilakukan analisis kinerja yaitu melakukan perhitungan pertumbuhan, efektivitas dan kontribusi retribusi parkir Kabupaten Bogor terhadap PAD, analisis potensi parkir yaitu dalam rangka melihat besarnya potensi pada dua bentuk pengelolaan retribusi parkir di Kabupaten Bogor (yaitu swakelola dan swasta), dan Analytical Hierarchi Process (AHP) dari penyelenggaraan dan pengelolaan perparkiran swakelola dan swasta di Kabupaten Bogor. Sehingga akan diperoleh suatu strategi pengelolaan retribusi perparkiran Kabupaten Bogor. Secara bagan dapat dilihat pada Gambar 1.
81 PAD sebagai Salah Satu Indikator Kinerja Otonomi Daerah
Retribusi Merupakan Salah Satu Unsur Penting dari PAD Kabupaten Bogor
Retribusi Parkir
Retribusi Tepi jalan Umum ( TJU)
Retribusi Tempat Khusus parkir (TKP)
Swasta
Swakelola
Penyelenggaraan Retribusi Parkir TKP
Analisis Potensi Retribusi Parkir TKP
Potensi Retribusi Parkir TKP
Strategi Optimalisasi Retribusi TKP
Analisis Deskriptif
Analisis Kinerja (Pertumbuhan, Efektivitas dan Kontribusi Retribusi Parkir TKP)
Kinerja Retribusi Parkir TKP
Analytical Hierarchi Process (AHP)
Strategi Pengelolaan Retribusi Parkir TKP Kabupaten Bogor
Gambar 1. Diagram Alir Kerangka Pemikiran Keterangan : : hal yang menjadi fokus kajian : hal yang tidak menjadi fokus kajian