10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taman Nasional 2.1.1. Pengertian Taman nasional merupakan salah satu bentuk kawasan konservasi yang menurut kategori protected area IUCN (1994) termasuk dalam kategori II. Pengertian taman nasional menurut beberapa pustaka antara lain adalah: ..... areal yang cukup luas, dimana ada satu atau beberapa ekosistem tidak berubah oleh kegiatan eksploitasi atau pemilikan lahan; species flora dan fauna, kondisi geomorfologi dan kondisi habitatnya memiliki nilai ilmiah, pendidikan dan nilai rekreasi atau yang memiliki nilai lanskap alam dengan keindahan tinggi (IUCN,1994). ..... kawasan pelestarian alam (KPA) yang mempunyai ekosistem asli, dan dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi (UU no. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya). ..... kawasan pelestarian alam yang luas, relatif tidak terganggu, mempunyai nilai alam yang menonjol dengan kepentingan pelestarian tinggi, potensi rekreasi besar, mudah dicapai dan mempunyai manfaat yang jelas bagi wilayah tersebut (McKinnon et al, 1993). Kawasan konservasi perairan secara eksplisit tidak dibedakan dengan kawasan konservasi darat. Pengertian kawasan konservasi laut yang digunakan DKP diadopsi dari pengertian marine protected area (IUCN,1994) yaitu: ..... wilayah perairan pasang surut, termasuk kawasan pesisir dan pulaupulau kecil yang mencakup tumbuhan dan hewan didalamnya, serta/atau termasuk bukti peninggalan sejarah dan sosial-budaya dibawahnya, yang dilindungi secara hukum atau cara lain, baik sebagian atau seluruh lingkungan didalamnya (DKP, 2005). ..... kawasan konservasi perairan yang mempunyai ekosistem asli, yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, kegiatan yang menunjang perikanan yang berkelanjutan, wisata perairan, dan rekreasi (PP no.60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan). Dalam UU no. 31 tahun 2004 tentang Perikanan, yang tercakup dalam kawasan konservasi perikanan meliputi terumbu karang, padang lamun, bakau, rawa, danau, sungai dan embung yang dianggap penting untuk dilakukan konservasi. Sampai tahun 2006, luas kawasan konservasi di Indonesia (darat dan laut) mencapai 28.166.560,30 ha, dimana taman nasional merupakan wilayah terluas (>16 juta ha). Kawasan konservasi laut (cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional dan taman wisata) tersebar di 42 lokasi dengan luas lebih dari 5,5 juta ha (Tabel 1), delapan diantaranya adalah taman nasional
11 dengan total luas 4.215.349 ha atau sekitar 75,36% dari total luas kawasan konservasi laut (Widada dan Kobayashi, 2006). Tabel 1 Jumlah dan luas kawasan konservasi laut di Indonesia tahun 2006 Kawasan konservasi laut
Jumlah
Luas (Ha)
Inisiasi Dept Pertanian cq Dept Kehutanan: 1 Taman Nasional Laut (TNL)
8
4,218,349.00
2
Taman Wisata Alam Laut (TWAL)
18
765,500.70
3
Cagar Alam Laut (CAL)
9
274,215.45
4
Suaka Margasatwa Laut (SML)
7
339,218.25
Jumlah
42
5,597,283.40
Inisiasi DKP dan Pemerintah Daerah : 1 Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD)
12
1,439,169.53
2
Calon Kawasan Konservasi Laut Daerah (CKKLD)
11
685,524.00
3
Daerah Perlindungan Laut (DPL) / Daerah Perlindungan Mangrove (DPM)
2
2,085.90
4
Suaka Perikanan (SP)
10
453.23
Jumlah
35
2,127,232.66
Jumlah Total
77
7,724,516.06
Sumber : Widada dan Kobayashi (2006) 2.1.2. Dasar dan Tujuan Penetapan Penetapan suatu kawasan taman nasional dilakukan pada daerah marginal yang tidak atau belum terjangkau oleh pembangunan intensif. Beberapa dasar umum yg digunakan dalam penetapan suatu kawasan sebagai taman nasional menurut MacKinnon et al (1993) adalah : 1).
Karakteristik atau keunikan ekosistem;
2).
Mempunyai keanekaragaman species atau species khusus yang „bernilai‟;
3).
Mempunyai lanskap dengan ciri geofisik atau estetik yang „bernilai‟;
4).
Mempunyai fungsi perlindungan hidrologi (tanah, air, iklim lokal);
5).
Mempunyai sarana untuk rekreasi alam atau kegiatan wisata; dan
6).
Mempunyai tempat peninggalan budaya yang tinggi (candi, peninggalan purbakala dan lain sebagainya). Dalam pasal 31 PP no. 68 tahun 1998 tentang KSA dan KPA disebutkan
bahwa suatu kawasan ditunjuk sebagai kawasan Taman Nasional apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut:
12 1).
Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami;
2).
Memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami;
3).
Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh;
4).
Memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam; dan
5).
Merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan zona lain yang karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri. Penetapan kawasan konservasi seperti diamanatkan dalam pasal 34 UU
no.5 tahun 1990 tentang KSDAHE dilaksanakan oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehutanan. Namun dalam pasal 7 UU no.31 tahun 2004 tentang Perikanan disebutkan bahwa Menteri Kelautan dan Perikanan menetapkan kawasan suaka perikanan dimana dalam pasal 8 PP no.60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan (KSDI) disebutkan bahwa taman nasional perairan merupakan kawasan konservasi perairan yang kewenangan penetapannya ada pada Menteri Kelautan dan Perikanan. Dalam pasal 9 PP no.60 tahun 2007 tentang KSDI disebutkan bahwa penetapan kawasan konservasi perairan dilakukan berdasarkan kriteria : 1).
Ekologi, meliputi keanekaragaman hayati, kealamiahan, keterkaitan ekologis, keterwakilan, keunikan, produktivitas, daerah ruaya, habitat ikan langka, daerah pemijahan ikan, dan daerah pengasuhan;
2).
Sosial dan budaya, meliputi tingkat dukungan masyarakat, potensi konflik kepentingan, potensi ancaman, kearifan lokal serta adat istiadat; dan
3).
Ekonomi, meliputi nilai penting perikanan, potensi rekreasi dan pariwisata, estetika, dan kemudahan mencapai kawasan. Sasaran utama penetapan taman nasional sebagai kawasan konservasi
adalah untuk melindungi ekosistem dan sumberdaya alam agar proses-proses ekologis di dalamnya dapat terus berlangsung, dan mempertahankan produksi dan jasa bagi kepentingan manusia secara berkelanjutan; sehingga kegiatan
13 pengelolaan yang dilakukan harus mempertimbangkan peranan ekologis dan potensi taman nasional (Hardjasoemantri, 1993 dan Agardhy, 1997). Menurut Kelleher dan Kenchington (1992); Jones (1994); dan Salm et al (2000); tujuan penetapan kawasan konservasi laut adalah untuk melindungi habitat
kritis,
mempertahankan
keanekaragam
hayati,
mengkonservasi
sumberdaya ikan, melindungi garis pantai, melindungi lokasi-lokasi yang bernilai sejarah dan budaya, menyediakan lokasi rekreasi dan pariwisata alam, merekolonisasi
daerah-daerah
yang
tereksploitasi,
dan
mempromosikan
pembangunan kelautan berkelanjutan. Sedangkan tujuan dibentuknya kawasan taman nasional diantaranya untuk: 1).
Melindungi kawasan alami dan berpemandangan indah yang penting, secara nasional atau internasional serta memiliki nilai bagi pemanfaatan ilmiah, pendidikan dan rekreasi (MacKinnon et al. 1993); dan
2).
Terwujudnya kelestarian SDAH serta keseimbangan ekosistemnya dan mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia (pasal 3 UU no.5 tahun 1990 tentang KSDAHE)
2.2. Pengelolaan Kawasan Konservasi Ada tiga perbedaan utama pengelolaan sumberdaya alam, yaitu preservationist,
conservationist,
dan
exploiter.
Menurut
preservationist,
sumberdaya alam sebanyak mungkin harus dilindungi dan dilestarikan tanpa ada kegiatan pembangunan, alam sebaiknya dibiarkan untuk mengatur dirinya. Sebaliknya bagi para exploiter, sumberdaya alam dimanfaatkan sebagai sumber energi dan sumber ekonomi. Sedangkan paham konservasi berada pada kedua paham tersebut di atas, dimana konservasi menghendaki pemanfaatan sumberdaya alam yang arif sesuai dengan tuntutan kelestarian tatanan ekosistem dan lingkungannya. Hal ini berarti perlu pendekatan ekologi dan ekonomi yang berimbang dalam pemanfaatan sumberdaya alam, sehingga dapat dikatakan conservationist mengembangkan advokasi pengelolaan dengan prinsip-prinsip kelestarian (Alikodra, 2000). 2.2.1. Sistem dan Tujuan Pengelolaan Tujuan konservasi adalah untuk mewujudkan kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia (pasal 3 UU no.5 tahun 1990 tentang KSDAHE). Sedangkan tujuan pengelolaan
14 taman nasional menurut Alikodra (1979) dapat dikelompokkan menjadi empat aspek utama yaitu untuk konservasi, penelitian, pendidikan dan pariwisata. Sistem taman nasional memiliki banyak keunggulan dibandingkan sistem kawasan konservasi lainnya. Pengembangan sistem pengelolaan laut perlu diarahkan untuk meningkatkan kemampuan manajemen kelautan dan perikanan nasional dengan penekanan pada empat aspek (Sularso et al, 2004), yaitu : 1).
Meningkatkan kapasitas pengelolaan;
2).
Meningkatkan
peran para
pihak
terkait
di
setiap
tataran
sistem
pengelolaan; 3).
Mengembangkan sistem penegakan hukum yang efektif; dan
4).
Mengembangkan sistem pengelolaan yang mendukung pertumbuhan dan pemerataan pembangunan ekonomi. Dalam UU no.5 tahun 1990 tentang KSDAHE, sistem pengelolaan taman
nasional dilaksanakan oleh pemerintah dan dikelola dengan sistem zonasi. Ada tiga zonasi dalam pengelolaan taman nasional, yaitu : 1).
Zona inti yaitu bagian kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apa pun oleh aktivitas manusia.
2).
Zona pemanfaatan yaitu bagian dari kawasan taman nasional yang dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata; dan
3).
Zona lain diluar kedua zona tersebut karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu seperti zona rimba, zona pemanfaatan traditional, zona rehabilitasi, dan sebagainya. Dalam Permenhut no.56 tahun 2006 tentang Pedoman Zonasi Taman
Nasional disebutkan bahwa zonasi taman nasional adalah suatu proses pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan dan analisi data, penyusunan draft rancangan rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata batas, dan penetapan, dengan mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Dalam pasal 3 ayat 1 Permenhut no.56 tahun 2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional disebutkan bahwa dalam zonasi taman nasional ditambahkan zona rimba atau zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan.
15 Adapun tujuan dari zonasi adalah untuk membatasi tipe-tipe habitat penting untuk perlindungan keanekaragaman hayati dan konservasi sumberdaya ekonomi. Untuk itu kawasan konservasi menuntut adanya proses perencanaan khusus yang terkait dengan tahapan pengelolaan dari suatu kerangka pengelolaan kawasan konservasi. Adanya zonasi diharapkan pemanfaatan sumberdaya alam dapat dikontrol secara efektif guna mencapai sasaran dan tujuan dari suatu kawasan konservasi (Salm et al, 2000). Dalam PP no.60 tahun 2007 tentang KSDI disebutkan bahwa zonasi kawasan konservasi perairan merupakan suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumber daya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan ekosistem. Kawasan konservasi perairan dibagi dalam empat zona (pasal 17), yaitu : 1).
Zona inti diperuntukkan bagi: a). perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan; b). penelitian; dan c). pendidikan
2).
Zona perikanan berkelanjutan diperuntukkan bagi: a). perlindungan habitat dan populasi ikan; b). penangkapan ikan dengan alat dan cara yang ramah lingkungan; c). budidaya ramah lingkungan; d). pariwisata dan rekreasi; e). penelitian dan pengembangan; dan f). pendidikan
3).
Zona pemanfaatan diperuntukkan bagi: a). perlindungan habitat dan populasi
ikan;
b).
pariwisata
dan
rekreasi;
c).
penelitian
dan
pengembangan; dan d). pendidikan. 4).
Zona lainnya merupakan zona di luar zona inti, zona perikanan berkelanjutan, dan zona pemanfaatan yang karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu antara lain: zona perlindungan, zona rehabilitasi dan sebagainya.
2.2.2. Permasalahan Pengelolaan Permasalahan pengelolaan taman nasional di Indonesia menurut hasil evaluasi Hardjasoemantri (1993) adalah sebagai berikut : 1).
Landasan hukum yang mantap bagi taman nasional belum ada, khususnya bagi pemanfaatan rekreasi dan pariwisata di zona pemanfaatan intensif, serta pengembangan zona penyangga untuk kesejahteraan masyarakat di sekitarnya;
16 4).
Inventarisasi potensi kawasan secara keseluruhan belum diketahui sehingga menghambat penetapan kebijaksanaan pola dan rencana kegiatan pengelolaan taman nasional secara terpadu;
5).
Pengukuhan dan penataan batas kawasan masih banyak yang belum dilaksanakan,
sehingga
menjadi
salah
satu
penyebab
terjadinya
perambahan kawasan dengan berbagai dampak negatifnya; 6).
Sebagian besar lokasi taman nasional terisolir, jauh dari jangkauan transportasi, sehingga menyulitkan pelaksanaan pembangunannya;
7).
Kemampuan personil untuk mengelola taman nasional belum mantap, selain itu juga keterbatasan prasarana dan sarana fisik serta pembiayaan yang tersedia; dan
8).
Organisasi pemangkuan dan pengelolaan beberapa taman nasional belum seragam di tingkat Eselon III, bahkan masih ada yang dalam status proyek pembangunan. Sedangkan untuk masalah pengelolaan kawasan konservasi laut dimana
sumberdayanya merupakan milik umum yang bersifat open access, maka yang penting
adalah
bagaimana
mengendalikan
pengrusakan
dan
menjaga
keberadaan sumberdaya hayati laut yang beranekaragam beserta lingkungannya melalui upaya perlindungan proses ekologi yang mendukung kehidupan dan pelestarian biota laut agar dapat dimanfaatkan secara lestari. 2.2.3. Perubahan Paradigma Pengelolaan Desentralisasi telah membawa implikasi dalam pengelolaan sumberdaya alam dimana masyarakat setempat dapat berpartisipasi aktif dalam proses pengelolaan kawasan konservasi. Perubahan paradigma pengelolaan kawasan konservasi (Tabel 2) terjadi setelah implementasi UU no.22 tahun 1998 tentang Pemerintahan Daerah, tetapi sebenarnya proses desentralisasi telah dimulai pada awal tahun 1990-an ketika Dirjen Perlindungan dan Konservasi Alam mengadopsi konsep Integrated Conservation and Development Program (ICDP). Program ICDP didanai oleh USAID, Bank Dunia dan beberapa LSM internasional yang mengkaitkan program konservasi dengan pengembangan alternatif kegiatan ekonomi masyarakat sekitar kawasan dengan cara merangkul seluruh stakeholders dan mengakomodasi seluruh dimensi pembangunan yang menjadi tujuan bersama (Well et al, 1999). Konsep ICDP merupakan pendekatan pengelolaan secara multidisiplin yang mengaitkan pelestarian keanekaragaman
17 hayati di kawasan lindung dengan pembangunan sosial ekonomi masyarakat setempat (Wiratno et al, 2004). Sebelum konsep ini dijalankan, konservasi dan pembangunan dianggap sebagai dua hal yang terpisah dan bahkan saling bertentangan, atau konservasi sering dianggap sebagai musuh pembangunan. Konsep ICDP diterima dengan baik karena menawarkan pendekatan alternatif bagi pengelolaan kawasan lindung yang layak secara politis, dan memberi kontribusi bagi pencapaian tiga sasaran utama agenda pembangunan berkelanjutan yaitu konservasi keanekaragaman hayati yang efektif, peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam konservasi dan pembangunan serta pengembangan ekonomi masyarakat miskin di pedesaan (Well et al, 1999 dan Wiratno et al, 2004). Desentralisasi pengelolaan kawasan konservasi merupakan kebijakan pemerintah untuk mengefektifkan dan mendekatkan pengelolaan sumberdaya alam ke pemerintah daerah dan masyarakat. Implementasi dari UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah membuat adanya misinterpretasi atas kewenangan yang diberikan dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Desentralisasi kewenangan kepada daerah bukan merupakan kesempatan untuk meningkatkan pendapatan daerah, namun harus dipandang sebagai pemberian hak dan kewajiban untuk dilaksanakan secara bertanggungjawab dan demi kepentingan masyarakat. Tuntutan
desentralisasi
sejalan
dengan
praktek
pengelolaan
co-
management, sehingga co-management dan desentralisasi dapat berjalan seiring karena mempunyai tujuan yang sama, yaitu penguatan peran serta masyarakat dan pendistribusian kekuasaan dalam pengelolaan sumberdaya yang lebih adil. Walaupun demikian, kebijakan desentralisasi masih belum dapat menjamin adanya pembagian kekuasaan dan wewenang yang nyata dalam pengelolaan sumberdaya alam
18 Tabel 2 Pergeseran paradigma pengelolaan kawasan konservasi Topik Tujuan
Paradigma lama - Hanya untuk tujuan konservasi semata - Dibangun utamanya untuk perlindungan hidupan liar yang istimewa, - Dikelola khusus untuk pengunjung wisatawan - Nilai utamanya : wild life - about protection
Paradigma baru - Mencakup tujuan sosial dan ekonomi - Dikembangkan juga untuk alasan ilmiah, ekonomi dan budaya - Dikelola bersama masyarakat setempat - Mencakup juga nilai budaya dan wild life yang dilindungi - Also about restoration, rehabilitation & socio-economic purposes
Pengelolaan
- Oleh pemerintah pusat
Masyarakat setempat
Cakupan pengelolaan
- Perencanaan dan pengelolaan “memusuhi” masyarakat setempat - Pengelolaan tanpa mempedulikan opini pendapat masyarakat - Dikembangkan secara terpisah - Dikelola seperti pulau biologi
- Melibatkan para pihak yang berkepentingan - Dikelola bersama, untuk dan dikelola oleh masyarakat setempat - Dikelola dengan mengakomodasi kepentingan masyarakat setempat
Persepsi
-
Teknik Pengelolaan
-
Pendanaan
-
Kemampuan manajemen
-
Dipandang utamanya sebagai aset nasional (milik pemerintah) Dipandang hanya untuk kepentingan nasional Pengelolaan kawasan konservasi sebagai respon jangka pendek Orientasi pengelolaan hanya difokuskan pada orientasi teknis Dibayarkan hanya dari pajak (taxpayer) → pemerintah
Dikelola oleh ilmuwan dan para ahli sumberdaya Pemimpin “ahli” Sumber : dimodifikasi dari IUCN
- Direncanakan dan dikembangkan sebagai bagian dari sistem nasional, regional dan internasional - Dikembangkan dalam bentuk „jaringan‟ (Protected Area Network) → koridor jalur hijau - Dipandang sebagai aset publik (milik masyarakat) - Dipandang juga sebagai kepentingan internasional -
-
-
Pengelolaan diadaptasi menurut perspektif jangka panjang Orientasi pengelolaan juga mempertimbangkan aspek politik Dibiayai dari berbagai sumber keuangan yang memungkinkan (pemerintah, swasta, masyarakat) nasional - internasionalt) Dikelola oleh multi-skilled individual Dikembangkan dari kearifan lokal (local knowledge)
19 2.3. Kebijakan dan Kelembagaan Kebijakan (policy) dan kelembagaan (institutional) merupakan dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan. Kebijakan yang bagus tanpa dilandasi kelembagaan yang bagus atau sebaliknya akan sulit mencapai hasil maksimal. Dari pengalaman menunjukkan bahwa kegagalan pembangunan seringkali terjadi karena tata kelola pemerintahan (good governance) yang buruk dimana pemerintah gagal membuat dan mengimplementasikan kebijakan yang benar serta mengabaikan pembangunan kelembagaan yang seharusnya menjadi dasar dari seluruh proses pembangunan. Pada dasarnya hampir semua kegagalan pembangunan bersumber dari dua persoalan fundamental yaitu kegagalan kebijakan dan kegagalan kelembagaan (Djogo et al, 2003). Kinerja pengelolaan taman
nasional
ditentukan
oleh
kebijakan
yang
berbentuk
peraturan
perundangan dan organisasi pengelola atau lembaganya. 2.3.1. Pengertian kebijakan Kebijakan adalah intervensi, cara dan pendekatan pemerintah untuk mencari
solusi
masalah
pembangunan
atau
untuk
mencapai
tujuan
pembangunan dengan mengeluarkan keputusan, strategi, perencanaan maupun implementasinya di lapangan dengan menggunakan instrumen tertentu (Djogo et al, 2003). Kebijakan juga merupakan upaya pemerintah untuk memperkenalkan model pembangunan baru atau upaya untuk mengatasi kegagalan dalam proses pembangunan Selama ini pemerintah lebih menekankan pada pembangunan ekonomi dengan mengutamakan pembangunan infrastruktur fisik daripada infrastruktur kelembagaan. Selain itu kebijakan pemerintah selalu berubah dan sulit dilaksanakan secara utuh, sehingga perlu perhatian serius, karena institusi atau kelembagaan adalah pusat dari teori kebijakan dan dianggap sebagai unsur untuk pembuatan dan pembentuk kebijakan. Pada umumnya kebijakan ditetapkan dalam bentuk aturan dan ketetapan yang merupakan unsur-unsur utama dalam kelembagaan. 2.3.2. Pengertian Kelembagaan Kelembagaan merupakan sistem organisasi dan kontrol masyarakat terhadap penggunaan sumberdaya. Ada dua jenis pengertian kelembagaan yaitu kelembagaan sebagai aturan main dan kelembagaan sebagai organisasi. Aturan main tersebut terdiri dari aturan formal dan aturan informal beserta aturan penegakan (enforcement) yang menfasilitasi atau membentuk perilaku individu atau organisasi di
20 masyarakat.
Organisasi
merupakan
wujud
konkrit
kelembagaan
yang
membungkus aturan main tersebut. Beberapa pengertian kelembagaan antara lain adalah : ..... suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian prilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama (Djogo et al, 2003) ..... organisasi dan/atau antar aktor pembangunan, bisnis dan politik yang saling mengikat yang diwadahi dalam sebuah organisasi atau jaringan (Kartodihardjo dan Jhamtani, 2006) Dari
berbagai
pengertian
diatas
maka
dapat
disimpulkan
bahwa
kelembagaan adalah aturan main (rules of the game) untuk mengatur hubungan antar individu atau kelompok individu yang diwadahi dalam suatu organisasi dalam mengimplementasikan aturan-aturan tersebut untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Agar kelembagaan dapat melaksanakan fungsinya maka diperlukan
adanya enforcement dalam bentuk sanksi atau insentif yang memberikan gairah kepada partisipan dalam berperilaku sesuai dengan harapan. 2.3.2.1.
Ciri Kelembagaan
Menurut Shaffer dan Schmid dalam Pakpahan (1990) ada tiga komponen utama yang mencirikan suatu kelembagaan yaitu : (1) batas yurisdiksi; (2) property right; dan (3) aturan representasi. Batas yurisdiksi menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam organisasi. Konsep ini dapat berarti batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu lembaga. Misalnya dalam istilah pemerintah pusat atau pemerintah daerah terkandung makna bagaimana batas yurisdiksi berperan dalam mengatur alokasi sumberdaya. Property right (hak pemilikan) merupakan aturan (hukum, adat atau tradisi) yang menentukan hubungan antar anggota masyarakat dalam menyatakan kepentingannya terhadap sumberdaya, situasi atau kondisi yang juga merupakan kekuatan akses dan kontrol terhadap sumberdaya. Pada hakikatnya, terdapat empat jenis hak pemilikan atas sumberdaya alam yang sangat berbeda satu dengan lainnya, yaitu (Arifin, 2005 ) : 1).
Milik negara (state property), yaitu kepemilikan sumberdaya alam yang berada dibawah kewenangan pemerintah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pada pasal 4 UU no.4 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
21 dinyatakan bahwa seluruh sumber kekayaan alam di perairan Indonesia di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia. Hal ini mengandung makna bahwa
pemerintah
memiliki
dan
bertanggung
jawab
mengawasi
pemanfaatan sumberdaya perairan. Para individu mempunyai kewajiban mematuhi aturan yang telah ditetapkan oleh negara, atau pemerintah yang berkuasa, atau departemen yang mengurusi sumberdaya alam. Demikian pula departemen yang bersangkutan mempunyai hak untuk memutuskan aturan main penggunaannya. Contoh sumberdaya alam milik negara adalah tanah, hutan, mineral, air dan lain-lain yang konon dikuasai negara untuk hajat hidup orang banyak; 2).
Milik pribadi (private property), yaitu sumberdaya yang dimiliki secara perorangan atau sekelompok orang secara syah yang ditunjukkan dengan bukti-bukti kepemilikan yang jelas. Para individu pemilik mempunyai hak untuk memanfaatkan sumberdaya alam sesuai aturan dan norma yang berlaku (socially acceptable uses) dan mempunyai kewajiban untuk menghindari pemanfaatan sumberdaya alam yang eksesif dan tidak dapat dibenarkan menurut kaidah norma yang berlaku (socially unacceptable uses). Lahan pertanian yang dimiliki perorangan termasuk di sini;
3).
Milik umum atau milik bersama (common property), merupakan milik sekelompok masyarakat tertentu yang telah melembaga, dengan ikatan norma atau hukum adat yang mengatur pemanfaatan sumberdaya. Kelompok masyarakat yang berhubungan dengan sumberdaya alam milik bersama itu mempunyai hak untuk tidak mengikutsertakan individu lain yang bukan berasal dari kelompok yang bersangkutan dan individu yang dimaksud mempunyai kewajiban mematuhi statusnya sebagai orang luar. Sementara setiap anggota kelompok mempunyai hak dan kewajiban untuk memelihara kelestariannya
sesuai
dengan
aturan
yang
disepakati
bersama. Misalnya hutan adat atau sumberdaya wilayah pesisir, dimana penduduk yang terikat dalam kelompok sosial dapat memanfaatkan dan mengelola bersama berdasarkan norma hidup dan budaya yang berlaku; dan 4).
Tak bertuan (open access), dimana sumberdaya milik semua orang. Dalam hal ini tidak ada unsur kepemilikan pada sumberdaya alam sehingga setiap orang dari manapun bisa memanfaatkannya. Artinya, masing-masing individu hanya memiliki privilege, siapa cepat dia dapat, tapi bukan hak.
22 Contohnya adalah sumberdaya di perairan laut lepas atau diluar batas laut territorial. Aturan representasi merupakan perangkat aturan yang menentukan mekanisme pengambilan keputusan organisasi, mengatur siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan yang diambil dan apa akibatnya terhadap performance akan ditentukan oleh kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Pengaturan dari batas yurisdiksi, property right dan aturan representasi merupakan suatu bentuk perubahan kelembagaan yang berimplikasi pada kemampuan organisasi dalam menjalankan enforcement untuk mengatasi permasalahan free rider atau komitmen sehingga menghasilkan kinerja yang diharapkan. Berkaitan dengan pengelolaan taman nasional, ketiga ciri kelembagaan tersebut diatur oleh undang-undang. Penentuan batas yurisdiksi taman nasional diatur dalam UU no.5 tahun 1990 tentang KSDAHE, UU no.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang secara teknis dijabarkan kedalam PP no.68 tahun 1998 tentang KSA dan KPA. Dalam peraturan perundangan tersebut, tata batas taman nasional harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pemerintah pusat, daerah dan masyarakat. Hak kepemilikan taman nasional, menurut Undang-undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3 dan UU no. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan ketentuan Pokok Kehutanan adalah tanah milik Negara atau state property. Karenanya pengelolaan taman nasional dilaksanakan oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehutanan (pasal 34 UU no.5 tahun 1990 tentang KSDAHE). 2.4.
Partisipasi Masyarakat
2.4.1. Pengertian dan Tujuan Partisipasi masyarakat adalah proses keterlibatan masyarakat melalui komunikasi dua arah yang terus-menerus untuk meningkatkan pemahaman masyarakat secara penuh atas proses pengelolaan kawasan konservasi (Carter, 1977 dalam Sembiring dan Husbani, 1999). Partisipasi masyarakat sebagai obyek dan subyek dalam kegiatan pengelolaan pemanfaatan kawasan konservasi masih sangat terbatas. Dalam pasal 7 ayat (1) UU no.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup
23 yang pelaksanaannya dijelaskan pada ayat (2) yaitu dengan cara a) meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan; b) menumbuh-kembangkan
kemampuan
dan
kepeloporan
masyarakat;
c)
menumbuhkan ketanggap-segeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial; d) memberikan saran pendapat; dan e) menyampaikan informasi dan/ atau menyampaikan laporan. Manfaat dari partisipasi masyarakat menurut Hardjasoemantri (1993) adalah: 1).
Sebagai proses pembuatan suatu kebijakan, karena masyarakat adalah kelompok yang berpotensi menanggung konsekuensi dari suatu kebijakan memiliki hak untuk diajak konsultasi;
2).
Sebagai suatu strategi, dimana melalui peran serta masyarakat duatu kebijakan pemerintah mendapat dukungan masyarakat sehingga keputusan tersebut memiliki kredibilitas;
3).
Peran serta masyarakat ditujukan sebagai alat komunikasi bagi pemerintah, untuk mendapatkan masukan dan informasi dalam pengambilan keputusan sehingga melahirkan keputusan yang responsif; dan
4).
Peran serta masyarakat dalam penyelesaian sengketa atau konflik didayagunakan melalui upaya pencapaian konsensus dari pendapat yang ada. Karena dengan bertukar pikiran dan pandangan dapat meningkatkan pengertian dan toleransi serta mengurangi rasa ketidak-percayaan dan kerancuan.
2.4.2. Mekanisme dan Model Partisipasi Menurut UU no.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, mekanisme partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan dapat dikembangkan melalui cara-cara berikut: 1).
Meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat dan kemitraan;
2).
Menumbuhkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat;
3).
Menumbuhkan ketanggapan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial;
4).
Memberikan saran dan pendapat; dan
5).
Menyampaikan informasi dan/atau laporan.
24 Menurut Mitchell et al (2003) partisipasi dalam suatu kerjasama berdasarkan pembagian kekuasaannya dapat dibedakan menjadi empat (Tabel 3) yaitu : 1) kontribusi; 2) operasional; 3) konsultatif; dan 4) kolaboratif. Tabel 3 Bentuk kerjasama strategik
1.
Bentuk kerjasama Kontribusi
2.
Operasional
No.
Tujuan Support sharing Menyalurkan dana untuk suatu proyek/program.
Working sharing Mengijinkan peserta untuk bekerjasama dan bertukar informasi 3. Konsultatif Advisory Mendapatkan masukan kebijakan dan strategi, serta merancang program evaluasi dan penyesuaian 4. Kolaboratif Decision making Meningkatkan kerjasama dalam perumusan kebijakan, perencanaan, implementasi, evaluasi dan penyesuaian Sumber : Mitchell et al (2003)
Pembagian kekuasaan strategik Pemerintah memegang kontrol tetapi kontributor mengajukan usulan atau sepakat dengan tujuan proyek/program Pemerintah memegang kontrol. Peserta dapat mempengaruhi keputusan melalui kesertaan praktis Pemerintah mempertahankan kontrol, kepemilikan dan resiko, tapi terbuka terhadap masukan peserta dan stakeholders Kekuasaan, pemilikan dan resiko dibagi bersama
Partisipasi dalam perencanaan pengelolaan taman nasional harus dilakukan secara kontinyu dan bersifat saling sinergis dalam bentuk kerjasama antara pihak pengelola taman nasional dengan stakeholders (Warner, 1997). Proses partisipatori sendiri melibatkan sejumlah pertemuan yang bersifat konsultatif dimana semua stakeholderss berpartisipasi. Oleh karenanya tingkat partisipasi akan tergantung pada tingkat konsultasi, mulai dari sekedar memberi informasi, konsultasi dan partisipasi penuh (Pirot et al, 2000). Juga harus dilakukan pembedaan antara kelompok publik aktif dan pasif. Walaupun demikian ada tantangan bagi pengelola lingkungan yaitu apakah isu yang disampaikan kelompok yang aktif mewakili isu-isu stakeholders yang akan dipengaruhi atau terkena suatu kebijakan, karena kelompok yang aktif tidak selalu mewakili semua stakeholderss (Mitchell et al, 2003).
25 Tabel 4 Tingkat partisipasi menuju terwujudnya pengelolaan kolaboratif No 1.
Pendekatan Nonpartisipasi
Tingkat partisipasi Pemilik proyek atau agenda bertindak sebagai inisiator, yang menentukan agenda, dan mengatur, mengawasi, serta mengevaluasi kegiatan-kegiatan proyek. Pada tingkatan ini, pemilik proyek dapat melibatkan pihak lain untuk melaksanakan sebagian atau seluruh kegiatan proyek dengan imbalan. Pihak lain tersebut kemungkinan bertindak ebagai konsultan atau kontraktor. 2. Kooperatif Pemilik agenda atau proyek mendapatkan masukan-masukan dari para pemangku kepentingan, dan kemudian menganalisis masukan-masukan tersebut. Setelah itu pemilik proyek atau agenda tersebut menyusun rencana, melaksanakan kegiatan, dan mengevaluasi hasil-hasil kegiatan proyek. 3. Kemitraan Pemilik atau pengusul proyek atau agenda bersama pemangku kepentingan lain yang telah bersepakat membentuk kemitraan dan bersama-sama menentukan agenda kegiatan. Dalam hal ini pemilik yang pertama kali mengusulkan proyek atau agenda memimpin pelaksanaan kegiatan dan bertanggung jawab atas hasil-hasil kegiatan. 4. Kolaborasi Proyek atau agenda diusulkan dan dirancang bersama. Para pemangku kepentingan setara dan bersama-sama mengidentifikasi permasalahan, merumuskan kegiatan, dan mengevaluasi hasil-hasil kegiatan. Proses belajar dilakukan bersama-sama secara terus menerus, dan rencanarencana kegiatan disusun secara adaptif dan lentur (fleksibel). Pada tahapan ini, diperlukan fasilitator untuk mempercepat proses-proses kolaborasi. Peranan fasilitator sebagai pengamat proses-proses, penasehat dan tidak menentukan arah ataupun melakukan intervensi. Sumber: Cornwall (1995) dalam Anshari (2006). Hardjasoemantri (1993) membedakan peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan berdasarkan sifatnya, yaitu (1) bersifat konsultatif, dimana anggota masyarakat mempunyai hak untuk didengar pendapatnya dan untuk diberitahu, akan tetapi keputusan akhir tetap di tangan pejabat pembuat keputusan; dan (2) bersifat kemitraan dimana masyarakat dan pejabat pembuat keputusan secara bersama membahas masalah, mencari alternatif
pemecahan
dan
membuat
keputusan.
Sehingga
peran
serta
masyarakat dapat meningkatkan kualitas keputusan pemerintah, dan di sisi lain dapat mengurangi kemungkinan munculnya konflik. Tipe kelembagaan partisipasi masyarakat menurut IIRR (1998) dan Bass et al (1995) dalam Tadjudin (2000) adalah: 1).
Partisipasi manipulatif dalam pemberian informasi. Masyarakat menjawab pertanyaan, tidak berkesempatan mpengaruhi karena temuan tidak dibagikan;
2).
Partisipasi pasif, masyarakat diberitahu hal yang sudah terjadi;
26 3).
Partisipasi konsultatif, masyarakat dimintai tanggapan, tidak terlibat dalam pengambilan keputusan;
4).
Partisipasi dengan imbalan materi, memberi konstribusi sumberdaya yang dimiliki untuk memperoleh imbalan materi;
5).
Partisipasi fungsional, masyarakat membentuk kelompok untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan;
6).
Partisipasi interaktif, terlibat dalam analisa, perencanaan kegiatan, pemberdayaan. Partisipasi dipandang sebagai hak, masyarakat memiliki kewenangan jelas untuk melihara struktur dan kegiatannya; dan
7).
Mobilisasi swakarsa, inisiatif mandiri untuk melakukan perubahan sistem. Masyarakat membangun hubungan konsultatif dengan pihak luar. Tipologi partisipasi yang diharapkan muncul dalam pengelolaan kolaboratif
adalah partisipasi interaktif dan mobilisasi swakarsa (Bass et al, 1995 dalam Tadjudin, 2000) atau kemitraan, pendelegasian kekuasaan dan pengawasan masyarakat (Fisher, 1995). 2.5.
Co-management
2.5.1. Pengertian dan Latar Belakang Co-management atau collaborative management, sering disebut juga participatory management, joint management, shared-management, multistakeholder management atau round-table agreement. Di Indonesia istilah comanagement diartikan sebagai pengelolaan kolaboratif, pengelolaan bersama, pengelolaan berbasis kemitraan atau pengelolaan partisipatif. Beberapa pengertian co-management disajikan dalam Tabel 5. Pendekatan co-management mulai muncul pada awal tahun 1980-an di Amerika dan Eropa dan menjadi paradigma baru untuk pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia akibat tuntutan atas respon desentralisasi. IUCN (1997), dalam Resolusi 142 Tahun 1996, menjelaskan gagasan dasar pengelolaan kolaboratif adalah kemitraan antara lembaga pemerintah, komunitas lokal dan pengguna sumber daya, lembaga non-pemerintah dan kelompok kepentingan lainnya dalam bernegosiasi dan menentukan kerangka kerja yang tepat tentang kewenangan dan tanggung-jawab untuk mengelola daerah spesifik atau sumberdaya. Hubungan kemitraan dalam pengelolaan disebut sebagai comanagement.
27 Tabel 5 Pengertian co-management No 1.
Pengertian Proses kerjasama yang dilakukan oleh para pihak yang bersepakat atas dasar prinsip-prinsip saling menghormati, saling menghargai, saling percaya dan saling memberikan keuntungan
Sumber Pustaka Permenhut no : P.19/ 2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan KSA & KPA
2.
Turunan dari pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat dan berbasis pemerintah, dimana ada kerjasama antar pemerintah dan masyarakat dalam melakukan seluruh tahapan pengelolaan
Nikijuluw, 2002
3.
Suatu pengaturan kemitraan dimana pemerintah, masyarakat pemakai sumberdaya lokal dan agen luar serta stakeholders lain berbagi otoritas dan tanggung jawab untuk manajemen suatu sumberdaya
Worlfishcenter, 2001
4.
Situasi dimana dua atau lebih aktor sosial bernegosiasi, saling menentukan dan saling menjamin pembagian fungsi-fungsi pengelolaan, berbagi hak dan tanggung-jawab dari suatu teritori, daerah atau sumberdaya alam secara adil
Borrini-Feyerabend et al , 2000
5.
Suatu bentuk manajemen yang mengakomodir kepentingan seluruh stakeholders dengan mekanisme kerjasama secara adil dan memandang harkat setiap stake sebagai entitas yang sederajat sesuai dengan tata nilai yang berlaku, untuk pencapaian tujuan bersama
Tadjudin, 2000
6.
Pembagian wewenang dan tanggung jawab antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya alam, sehingga masing-masing dapat mengontrol penyimpangan yang dilakukan pihak lain
Pomeroy dan Berkes, 1997
7.
Suatu pengaturan dimana tanggung jawab pengelolaan sumberdaya dibagi antara pemerintah dan pengguna
Sen dan Nielsen, 1996
8.
Partisipasi aktif dalam pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat secara individu atau kelompok yang mempunyai keterkaitan/hubungan, ataupun kepentingan terhadap sumberdaya alam
Claridge dan O‟Callaghan, 1995
Pada dasarnya konsep pengelolaan co-management berbeda dengan pengelolaan partisipatif lainnya atau dengan „pengelolaan berbasis masyarakat‟, karena ada mekanisme pelembagaan yang menuntut kesadaran dan distribusi tanggung-jawab pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya secara formal. Berdasarkan hasil evaluasi Putro (komunikasi pribadi, Februari 2007) ada beberapa
pokok
pikiran
yang
dapat
dijadikan
acuan
umum
dalam
mengembangkan kemitraan pengelolaan taman nasional: 1).
Aktor-aktor yang bermitra memiliki kesetaraan kesadaran mengenai tujuan publik pengelolaan taman nasional;
2).
Kesepakatan kolektif seringkali bertentangan dengan hukum/regulasi yang berlaku dan harus segera direspon oleh penentu kebijakan sebagai upaya perbaikan tata-pemerintahan sepanjang menguatkan pencapaian tujuan pengelolaan taman nasional;
28 3).
Akomodasi kepentingan masyarakat adat seringkali berakar pada konflik penguasaan lahan dan akses atas sumberdaya alam, karenanya kesepakatan penataan hak masyarakat adat harus diikuti secara tegas oleh penegakan fungsi taman nasional oleh negara, diikuti dengan pemberian insentif yang adil sebagai kompensasi atas hilangnya hak dan akses masyarakat akibat penetapan fungsi tersebut;
4).
Kepentingan sektoral yang mengakibatkan tumpang tindih penggunaan lahan hanya dibenarkan sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan pengelolaan taman nasional;
5).
Sumberdaya di dalam taman nasional pada dasarnya memiliki kapasitas tampung yang terbatas pada pembenahan tata hak dan pemberian insentif yang memadai; dan
6).
Masalah demografi di dalam kawasan taman nasional, khususnya pertumbuhan penduduk akibat kelahiran dan migrasi, adalah masalah laten yang membutuhkan regulasi memadai.
2.5.2. Tujuan dan Manfaat Menurut Tadjudin (2000) tujuan co-management adalah untuk : 1).
Menyediakan instrument untuk mengenali stakeholder secara proporsional;
2).
Meningkatkan potensi kerjasama;
3).
Menciptakan mekanisme pemberdayaan masyarakat;
4).
Menciptakan mekanisme pembelajaran dialogik;
5).
Memperbaiki tindakan perlindungan sumberdaya; dan
6).
Menyediakan sistem pengelolaan terbuka. Prospek manfaat co-management menurut Borrini-Feyerabend (1996)
antara lain adalah : 1).
Kepentingan semua pihak dapat dinegosiasikan;
2).
Meningkatkan efektivitas pengelolaan;
3).
Meningkatkan kapasitas stakeholder;
4).
Meningkatkan kepercayaan;
5).
mengurangi biaya penegakan hukum;
6).
Meningkatkan keamanan berinvestasi;
7).
Meningkatkan kesadar-tahuan masyarakat terhadap isu-isu konservasi; dan
8).
Memberikan kontribusi menuju masyarakat yang lebih demokratis dan partisipatif.
29 Dalam Permenhut no.P.19 tahun 2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan KSA dan KPA disebutkan bahwa maksud kolaborasi adalah untuk membantu meningkatkan efektivitas dan kemanfaatan pengelolaan KSA dan KPA bagi kesejahteraan masyarakat (pasal 2), dengan tujuan terwujudnya persamaan visi, misi dan langkah-langkah strategis dalam mendukung, memperkuat dan meningkatkan pengelolaan KSA dan KPA sesuai kondisi fisik, sosial, budaya dan aspirasi setempat (pasal 3). Sedangkan menurut WWF et al (2006) orientasi dari co-management (kemitraan) adalah tercapainya koordinasi antar stakeholders untuk mensinergikan pelaksanaan program dan kegiatan pengelolaan TN. 2.5.3. Prinsip dan Pendekatan Wiratno et al (2004) mengemukakan prinsip dan asumsi yang harus dipegang dalam manajemen kolaborasi, yaitu: 1) memperhatikan keragaman dan perbedaan kapasitas maupun fokus pengelolaan dari tiap pihak, sehingga diharapkan dapat saling melengkapi dalam berbagai peran yang dijalankan; 2) didasarkan pada pemikiran positif sesuai dengan tanggapan dan keadilan masyarakat; 3) berdiri atas prinsip pengelolaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban; 4) mendorong upaya menuju keadilan sosial; dan 5) hasilnya merupakan sebuah rencana kemitraan sebagai respon atas berbagai kebutuhan secara efektif. Sementara Fisher (1995) menyebutkan tiga elemen yang harus dipahami para stakeholders dalam pendekatan kolaboratif untuk pengelolaan sumberdaya alam, yaitu: 1) satu pandangan bahwa tujuan konservasi adalah sejalan dengan pembangunan; 2) menyadari legitimasi nilai dari konservasi dan pembangunan; dan 3) sebuah komitmen dari tingkat partisipasi atau kolaborasi masyarakat setempat dalam pengelolaan lingkungan. Dalam pengelolan sumberdaya alam dikenal ada tiga model pengelolaan (Tabel 6) yaitu : (1) pengelolaan berbasis masyarakat; (2) pengelolaan terpusat; dan (3) pengelolaan kolaboratif. Dalam pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat (PSBM), masyarakat diberi wewenang, tanggung jawab dan kesempatan untuk mengelola sumberdayanya sendiri sesuai dengan kebutuhan, keinginan, tujuan dan aspirasinya. PSBM disebut juga sebagai sistem pengelolaan lokal yang
didasarkan atas tradisi budaya,
pengetahuan percobaan tanpa aturan dan hukum resmi.
adat
istiadat,
30 Tabel 6 Perbedaan karakteristik pengelolaan sumber daya alam No 1.
Karakteristik Penerapan spasial Pihak otoritas utama
Berbasis Masyarakat lokasi spesifik
Co-management jaringan multi-lokasi
struktur pengambilan keputusan lokal dan penduduk lokal
pemerintah pusat
Pihak bertanggung jawab Tingkat partisipasi
komunal, badan pengambilan keputusan lokal
terbagi, pemerintah pusat dengan otoritas pemerintah dan non-pemerintah lokal multi-pihak pada tataran lokal dan nasional
tinggi pada tataran lokal
tinggi pada berbagai tingkatan
5.
Durasi kegiatan
proses awal cepat, proses pengambilan keputusan lambat
proses awal moderat, pengambilan keputusan antar kelompok kepentingan lambat
rendah, potensi eksklusivitas kelompok kepentingan proses awal gradual durasinya, cepat mengambil keputusan pada awal proses
6.
keluwesan pengelolaan
daya penyesuaian tinggi, sensitif dan cepat tanggap terhadap perubahan kondisi lingkungan lokal
daya penyesuaian moderat, cepat tanggap terhadap perubahan alam dngan kecukupan waktu
lambat untuk perubahan dan seringkali tidak luwes, birokratik, potensi tidak terkoneksinya kebijakan, realita dan praktik
7.
Investasi finansial & SDM
menggunakan SDM lokal, pengeluaran finasial moderat sampai rendah, anggaran fleksibel
membangun SDM berbagai tingkatan, anggaran fleksibel, pengeluaran biaya moderat sampai tinggi
dipusatkan pada SDM, biaya pengeluaran moderat, anggaran kaku sudah ditetapkan
8.
Kelangsungan usaha Orientasi prosedural
10.
Orientasi aspek legal
kontrol sumberdaya secara de facto, hak properti komunal atau swasta
terus menerus jika terbangun kondisi yang setara berorientasi dampak jangka panjang, proses jangka pendek, didesain untuk multi-lokasi kontrol sumberdaya secara de jure, hak properti komunal, swasta atau publik
terus menerus jika struktur terpelihara
9.
jangka pendek bila tanpa dukungan eksternal yang berkelanjutan berfokus pada dampak jangka pendek, didesain hanya untuk lokasi lokal spesifik, sanksi moral
11.
Orientasi resolusi konflik
salah satu pihak ada yang dikalahkan, akomodatif, kompetisi, kekuatan publik, sanksi hukum lokal
semua pihak dimenangkan, kolaboratif, negosiatif
diselesaikan secara hukum. Salah satu pihak ada yang dikalahkan, kompetisi, akomodatif, kekuatan politik
12.
Tujuan akhir
13.
Sumber informasi pengelolaan
revitalisasi atau mempertahankan status quo penguasaan sumberdaya lokal, demokratisasi politik, sanksi hukum lokal pengetahuan lokal
menciptakan perdamaian dan demokratisasi politik bidang pengelolaan SDA berbagai tingkatan pengetahuan lokal dan scientifik barat
mempertahankan status quo politik penguasaan SDA, perubahan ekonomi nasional di dominasi scientifik barat
2. 3. 4.
Sumber : NRM (2002)
Terpusat nasional
didominasi pemerintah pusat
orientasi proses jangka panjang, didesain untuk lokasi yang luas kontrol sumberdaya secara de jure, hak properti publik atau negara
31 Semua
keputusan
ditentukan
berdasarkan
kesepakatan
dan
pelaksanaannya didasarkan atas sanksi-sanksi sosial (Nikijuluw, 2002). Bentuk PSBM banyak ditemui di berbagai daerah di Indonesia dan dilakukan secara komunal sebagai bagian dari tradisi yang sudah menyatu dengan kehidupan masyarakat, karena inisiatif berasal dari masyarakat, dimana tidak ada intervensi pemerintah maupun pertimbangan ilmiah. Tabel 7 menyajikan beberapa contoh pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat di Indonesia. Tabel 7 Contoh bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan laut berbasis masyarakat No 1
Nama tradisi Sasi
Target sumberdaya Ikan karang, moluska, cacing laut, rumput laut 2 Banu Timun laut 3 Lulin Ikan karang 4 Badu Ikan karang & ikan demersal 5 Awig-awig Ikan 6 Kamande Ikan 7 Panglima Laot Ikan 8 Lebak Lebung Ikan dan habitatnya (teluk, rawa, muara sungai) 9 Panglima Ikan Menteng 10 Pamali Ikan, cumi dan mangrove Sumber : (Moose, 2006)
Lokasi Maluku TTU, NTT Kupang, NTT Lembata, NTT Lombok Barat, NTB P. Papagaran, Flores, NTT Aceh Sumatra Selatan Sulawesi Selatan Maluku utara
Dalam pengelolaan terpusat, pemerintah sebagai pemegang otoritas diberi wewenang khusus dan resmi mempunyai hak akses, memanfaatkan, mengatur, dan mengalihkan sumberdaya. Bentuk pengelolaannya dicirikan dengan sangat terpusat dan hirarki, dimana pusat menentukan keseluruhan kebijakan dan daerah menerapkannya (Mitchell et al, 2003). Sedangkan co-management merupakan
pilihan
pengelolaan
yang
mengkombinasikan
antara
sistem
pengelolaan terpusat (top-down) dan PSBM (bottom-up). Keberhasilan comanagement
sangat
tergantung
pada
kemauan
pemerintah
untuk
mendesentralisasikan tanggung jawab dan kewenangan dalam pengelolaan kepada masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. 2.5.4. Pendekatan Co-management dalam Pengelolaan Taman Nasional Tujuan pengelolaan taman nasional antara lain adalah untuk meningkatkan sosial ekonomi masyarakat setempat. Sebagai stakeholder utama masyarakat setempat harus memperoleh manfaat dan dilibatkan sejak awal proses pengelolaan, karena masyarakat lebih memahami keadaan dalam kawasan
32 tersebut dan tahu apa yang diinginkan. Namun pada kenyataannya, peran serta masyarakat sebagai obyek dan subyek dalam kegiatan pengelolaan kawasan konservasi masih sangat terbatas. Untuk itu maka perlu dikembangkan pembinaan hubungan kemitraan antar stakeholders berdasarkan konsep hubungan
kesetaraan
dan
hubungan
saling
membutuhkan,
saling
menguntungkan dan berkesinambungan (Borrini-Feyerabend, 1996). Gambar 2 mengilustrasikan wilayah pengelolaan kolaboratif yang berada diantara manajemen dibawah kontrol penuh pemerintah dan dibawah kendali penuh masyarakat, sehingga arah kerja co-management mencakup berbagai cara dengan menerapkan manajemen kerjasama yang adaptif, mulai dari konsultasi aktif, mencari konsensus, negosiasi, sharing otoritas dan dan transfer otoritas.
Kontrol penuh Pemerintah
Kontrol penuh Stakeholders
Kontrol bersama
COLLABORATIVE MANAGEMENT konsultasi secara aktif
mencari konsensus terbaik
negosiasi (keterlibatan dlm pengamb kpts & kesepakatan)
sharing otoritas & tanggung jwb secara formal
Tidak ada intervensi & kontribusi stakeholders
transfer otoritas & tanggung jawab
Tidak ada intervensi & kontribusi pemerintah
Harapan stakeholders meningkat Kontribusi, komitmen & akuntabititas stakeholders meningkat
Gambar 2 Arah kerja co-management. Sumber : Borrini-Feyerabend (1996) Gambar 3 menjelaskan bentuk level hierarki co-management dimana pada tipe instruktif ada sedikit pertukaran informasi antara pemerintah dan pengguna, tetapi pemerintah yang memegang kendali. Pada tipe konsultatif ada mekanisme untuk pemerintah mengkonsultasikan dengan pengguna, tetapi keputusan tetap ditangan
pemerintah.
Tipe
kooperatif
sebagai
pola
kemitraan
yang
sesungguhnya ketika pemerintah dan pengguna bekerja sama sebagai mitra yang setara dalam pembuatan keputusan. Pada tipe advisori, pengguna memberi saran kepada pemerintah atas keputusan yang akan diambil dan pemerintah
33 menerimanya.
Tipe
yang
terakhir,
informatif
dimana
pemerintah
telah
memberikan wewenangnya kepada pengguna untuk membuat keputusan (Suporahardjo, 2005).
Government based management
User-group based management
Instruksif
Konsultatif
Kooperatif
Pendampingan
Informatif
Gambar 3 Level hierarki co-management. Sumber : Nikijuluw (2002) Dalam hubungan interaksi antara pengelola taman nasional dengan para stakeholders dalam kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam, ada sembilan kemungkinan
jenis
interaksi
yang
terjadi,
mulai
dari
yang
berpotensi
menimbulkan konflik sampai suatu bentuk kolaborasi (Tabel 8). Mitchell et al (2003) mengidentifikasi beberapa hal yang harus diperhatikan untuk menghindari atau meminimalkan potensi konflik yaitu : 1).
Kepastian bahwa tidak terjadi pemanfaatan yang berlebihan dengan masing-masing kepentingan tertampung secara berimbang;
2).
Kepastian bahwa masyarakat diikutsertakan dan terangkat kehidupan sosialnya;
3).
Kepastian bahwa pemanfaatan memberikan optimasi efek terhadap konservasi dan ekonomi; dan
4).
Kepastian bahwa penyelenggaraan usaha pemanfaatan memiliki kelayakan finasial.
34 Tabel 8 Jenis interaksi dalam kegiatan pemanfaatan di Taman Nasional No
Jenis interaksi
Keterangan
Status hubungan
1.
Konflik
Ada perseteruan terbuka akibat kepentingan yang sangat berlawanan
Lawan
2.
Permusuhan
Ada benturan kepentingan
Lawan
3.
Penolakan
Ada ketidaksepakatan
Lawan
4.
Tidak ada kontak
Saling tidak peduli
Netral
5.
Ada kontak
Saling tahu keberadaan masing-masing
Netral
6.
Kontribusi
Ada dukungan dalam kegiatan
Kawan
7.
Kooperasi
Ada kerjasama dalam suatu kegiatan
Kawan
8.
Koordinasi
Ada kerjasama program
Kawan
9.
Kolaborasi
Ada kerjasama yang baik sejak tingkat perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasi program
Kawan
Sumber : Mitchell et al (2003) Menyadari adanya kemungkinan timbulnya konflik dalam pemanfaatan kawasan, maka penerapan co-management merupakan pilihan yang tepat, karena bentuk rencana pengelolaan pemanfaatan kawasan dirumuskan bersama atas
dasar
kesepakatan
antar
pemangku
kepentingan
(Claridge
dan
O‟Callaghan, 1995). 2.5.5. Indikator dan Proses Co-management Borrini-Feyerabend, et al (2000) menyebutkan indikator kemajuan untuk perbaikan rencana kerja dan kesepakatan dalam co-management meliputi dimensi ekologis dan sosial, diantaranya adalah : 1) kepedulian stakeholderss terhadap isu, jadwal kerja, hak dan tanggung jawab; 2) eksistensi dari mekanisme penyebaran informasi dan bentuk komunikasi serta negosiasi kesepakatan; 3) kesediaan fasilitator dalam mediasi konflik; 4) keterlibatan aktif stakeholderss; 5) eksistensi dan pengakuan kesepakan co-management diantara stakeholderss (formal atau informal); 6) definisi spesifik tentang fungsi, hak dan tanggung jawab para stakeholders dalam kesepakatan co-management; 7) kerelaan para stakeholderss dalam memenuhi hak dan tanggung jawab yang disepakati; 8) kesediaan stakeholders dalam menjalankan kesepatan yang telah dibuat; dan 9) penerapan prinsip “good governance”, partisipatif, demokratis, transparansi dan akuntabilitas publik dalam setiap keputusan dan kesepakatan co-management.
35 Tabel 9 Kerangka penerapan co-management Tahap management Identifikasi isu Perencanaan
variabel tujuan kerangka berpikir - inisiatif
- pengambilan keputusan
Pelaksanaan
- sumberdaya alam implementasi
Monitoring manfaat evaluasi Sumber : IIRR (1998)
Paradigma co-management Mencapai tujuan bersama Miliki kesatuan ide Prakarsa bersama, saling mengisi, menjalankan kepentingan Dirumuskan bersama, kepentingan masing-masing pihak diakomodasi Kontribusi seluruh stakeholder Diawasi bersama, akuntabilitas tinggi, transparan Orientasi pada manfaat bersama
Sedangkan menurut Claridge dan O‟Callaghan (1995), karakteristik keberhasilan co-management antara lain: 1) keuntungan integrasi konservasi dan pembangunan diakui oleh pemerintah dan stakeholderss lain; 2) pemerintah mendukung dan memfasilitasi secara aktif “involvement” masyarakat setempat dalam manajemen sumberdaya alam dan konservasi; 3) para pihak memberikan perhatian dan berpartisipasi secara penuh; 4) serselenggaranya “appropriate sharing” (sumberdaya, informasi, kedudukan/kemampuan, keputusan); 5) para pihak mengerti secara penuh dan saling percaya, dan mempunyai peran yang jelas; 6) akar permasalahan dimengerti dan disetujui untuk ditindak lanjuti; 7) keuntungan yang jelas diantara para pihak; dan 8) para pihak memiliki kemampuan dan ketrampilan yang cukup (skills, financial, capability). Pomeroy et al (1999) mengemukakan sembilan kunci sukses comanagement yang diambil dari pengalaman di Asia, yaitu (1) batas-batas wilayah jelas terdefinisi; (2) kejelasan keanggotaan; (3) keterikatan dalam kelompok; (4) manfaat harus lebih besar dari biaya; (5) pengelolaan sederhana; (6) legalisasi dari pengelolaan; (7) kerjasama dan kepemimpinan dalam masyarakat, (8) desentralisasi dan pendelegasian wewenang, serta (9) koordinasi antara pemerintah dengan masyarakat. Beberapa faktor pendukung co-management dari berbagai literatur dapat dirangkum seperti dalam Tabel 10.
36 Tabel 10 Faktor pendukung co-management No 1. 2. 3.
Indikator CO F PB N1 BF T N2 P WD Kemitraan Kerelaan Pembagian otoritas dan tanggung jawab 4. Kesepakatan 5. Kerjasama 6. Partisipasi 7. Pengakuan hak, sederajat 8. Saling percaya, menghargai 9. Berbagi keuntungan 10. Dukungan kelembagaan 11. Capacity building 12. Akomodasi kepentingan 13. Pencapaian tujuan bersama 14. Integrasi konservasi dan pembangunan Keterangan : CO: Claridge dan O‟Callaghan (1995); F: Fisher (1995); PB: Pomeroy dan Berkes (1997); N1: NRTEE (1999); BF: Barrini-Feyerabend et al (2000); T: Tajudin (2000); N2: Nikijuluw (2002); P: PerMenhut no P.19/2004; WD: WWFDephut (2006) Menurut Borrini-Feyerabend (1996), proses co-management dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu : 1) mempersiapkan kemitraan, untuk mengidentifikasi stakeholders inti dan membentuk tim collaborative management (CM); 2) membangun kesepakatan, adalah untuk mengembangkan hubungan kerja dan mengembangkan rasa kepemilikan sehingga dapat menetapkan tujuan bersama yang dituangkan dalam suatu bentuk organisasi; dan 3) melaksanakan dan mereview kesepakatan, merupakan pelaksanaan dari kegiatan yang telah dibuat dan disetujui bersama sesuai dengan peran dan tanggung jawab masing-masing. Sedangkan prinsip dan asumsi yang harus dipegang dalam manajemen kolaborasi (Wiratno et al, 2004) adalah bahwa: 1).
Manajemen kolaborasi berjalan dalam konteks keragaman dan perbedaan dalam melihat pengelolaan kawasan, tiap pihak mempunyai perb dalam hal kapasitas maupun fokus penngel; keduanya diharapkan dapat saling
37 melengkapi daripada saling berkompetisi dalam berbagai peran yang dijalankan; 2).
Manajemen
kolaborasi
didasarkan
pada
pemikiran
positif
bahwa
pendekatan ini secara khusus baik dan efektif dalam pengelolaan TN sesuai dengan tanggapan dan keadilan masyarakat; 3).
Manajemen kolaborasi berdiri atas prinsip pengelolaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban;
4).
Manajemen kolaborasi merupakan bagian dari pengembangan sosial menuju emansipasi langsung. Kesepakatan yang dibuat menyediakan sebuah jaminan bagi kepentingan dan hak tiap-tiap pihak kuat, maka hal ini mendorong upaya menuju keadilan sosial; dan
5).
Manajemen kolaborasi adalah proses yang harus didahului oleh kajian dan peningkatan, daripada aplikasi peran-peran yang dilakukan secara kaku. Hasil yang paling penting bukan terletak pada rencana pengelolaan yang sempurna tapi pada sebuah rencana kemitraan yang dapat memberikan respon atas berbagai kebutuhan secara efektif.
2.5.6. Contoh Pengalaman Co-management Pengalaman co-management di Indonesia menunjukkan adanya variasi model kelembagaan berdasarkan jumlah aktor yang terlibat, aturan main, struktur, mekanisme pengambilan keputusan dan mekanisme pendanaan (WWFMFP, 2006). Kendala utama yang dihadapi pada umumnya adalah lemahnya dukungan
kebijakan
pemerintah,
lemahnya
koordinasi,
kapasitas
SDM,
keterbatasan sarana prasarana dan dana, dan adanya tekanan pihak luar. Berikut contoh pengalaman co-management di Indonesia : 1).
Taman Nasional Bunaken (TNB) TNB ditetapkan berdasarkan SK Menhut no. 730/Kpts-II/1991 yang merupakan penggabungan dari dua fungsi, yaitu taman wisata laut Bunaken (ditetapkan Pemda Sulawesi Utara pada tahun 1980) dan cagar alam
laut
Manado
Tua
(ditetapkan
Menhut
pada
tahun
1986).
Permasalahan pengelolaan antara lain: penangkapan ikan yang bersifat destruktif, dan masyarakat belum merasakan keuntungan dari keberadaan taman nasional. Dengan inisiasi NRM pada tahun 1998 dimulai proses optimalisasi pengelolaan dengan memperkuat peran stakeholders melalui mekanisme co-management dengan pembentukan Dewan Pengelolaan TN Bunaken
38 (DPTNB) berdasarkan SK Gubernur Sulawesi Utara nomor 233 tahun 2000. Dewan terdiri dari 15 orang yaitu 7 orang dari lembaga pemerintah (pemerintah daerah Provinsi Sulawesi Utara, Kota Manado dan Kabupaten Minahasa, Balai TNB),
dan 8 orang dari lembaga non pemerintah
(masyarakat, Universitas dan LSM). Fungsi dewan adalah sebagai wadah koordinasi yang bersifat konsultatif, penggalangan dana, dan pusat informasi. Untuk memperkuat sistem pendanaan alternatif TNB dilakukan desentralisasi pungutan (Perda Prov Sulut nomor 14 tahun 2000 tentang Pungutan Masuk TNB) dengan pembagian 80% DPTNB; 5% pemerintah pusat; 7,5% pemerintah provinsi, 3,75% kota manado dan 3.75% Kab Minahasa. Besar pungutan untuk wisatawan mancanagera Rp 75.000/th (dengan sistem PIN, kerjasama dengan NSWA), untuk wisatawan nusantara 2.500/sekali masuk (sistem karcis, kerjasama dengan Desa). Dalam pelaksanaannya muncul berbagai kritikan terhadap kinerja Dewan Pengelolaan tentang penyaluran dana bagi hasil, Dewan pengelola yang kurang aspiratif dan potensial berpraktek kolusi; serta Forum Masyarakat Peduli TNB yang belum mampu bertugas secara efektif (BTNB, 2006). Sehingga ada wacana dari Pemkot Manado untuk mengambil-alih pengelolaan TNB supaya PAD meningkat. 2).
Taman Nasional Komodo (TNK) TNK ditetapkan pada tahun 1980 untuk melindungi komodo dan kekayaan sumberdaya lautnya. Pada tahun 1986 oleh UNESCO dijadikan Cagar Biosfer, kemudian pada tahun 1990 ditetapkan sebagai World Heritage Site (TNC, 2003). Meskipun dilindungi oleh undang undang akan tetapi keragaman hayati TNK terancam akibat dana pengelolaan tidak mencukupi untuk pengelolaannya dan kurangnya dukungan masyarakat lokal untuk menggunakan sumberdaya secara berkelanjutan. The Nature Conservation (TNC) dan Balai TNK membuat perencanaan pengelolaan selama 25 tahun di mana ekowisata sebagai strategi terbaik untuk mencapai kemandirian taman nasional. Sebuah usaha patungan dengan perusahaan swasta dibentuk untuk mengelola pariwisata yang ditujukan
untuk
membiayai
kebutuhan
operasional
TNK.
Strategi
pendanaan yang berkelanjutan akan meningkatkan pemasukan dari biaya tiket masuk dan biaya lainnya untuk pemanfaatan fasilitas dan aktifitas tertentu, seperti menyelam dan pengamatan satwa komodo. Sebagian
39 besar dari pemasukan ini akan digunakan untuk mendukung program di taman nasional seperti penegakan hukum, sistem zonasi, pemantauan, dan pelatihan untuk staf. Pemasukan ini juga akan digunakan sebagian untuk pengembangan masyarakat lokal. Kebutuhan kebijakan untuk comanagement TNK adalah legislasi konservasi untuk pemakaian langsung dana hasil usaha untuk pengelolaan. 3).
Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) Ditetapkan berdasarkan SK Menhut no. 593/Kpts-II/1993 untuk melindungi ekosistem hutan asli dan kekayaan flora fauna yang unik, Luas 229.000 ha oleh UNESCO ditetapkan sebagai Cagar Biosfer. Pengelolaan patisipatif yang dikembangkan di TNLL ada dua macam, yaitu : a). penggalangan kemitraan bersama stakeholders dalam lingkup yang
luas untuk mendapatkan suatu bentuk rencana dan pelaksanaan pengelolaan TNLL yang bisa mengakomodasi kepentingan semua pihak b). penggalangan kemitraan dengan masyarakat sekitar TNLL dalam
bentuk kesepakatan konservasi untuk pengamanan kawasan Kepedulian semua pihak terhadap pengelolaan TNLL dan kawasan sekitarnya
dituangkan
dalam
”Kesepakatan
tentang
Perencanaan
Strategis” dengan membentuk organisasi dengan nama Forum Kemitraan TNLL. Keanggotaan FKTNLL bersifat sukarela dan tidak mengikat serta mengutamakan dalog dan transparansi dalam pengambilan keputusan. Kebutuhan kebijakan untuk co-management TNLL adalah pengakuan atas revitalisasi kelembagaan adat dan pranata adat dalam pengelolaan kawasan (WWF-DFID, 2006).