14
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penggunaan Lahan dan Tutupan Lahan Lahan (land) merupakan lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air, dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan (Sitorus, 2009). Dalam hal ini lahan juga mengandung pengertian ruang atau tempat. Pemaknaan kalimat ruang terbuka hijau (RTH) dimaksudkan sebagai tempat atau lahan bervegetasi. Pengertian lahan tidak dapat terlepas dari pengertian tanah, terutama dari bentuk tanah yang dipandang sebagai ruang di muka bumi. Oleh karena itu pengertian lahan ada yang sepadan dengan pengertian ruang terbuka (land), dan ada yang sepadan dengan pengertian tanah (soil). Lahan mempunyai fungsi baik secara ekologis sebagai muka bumi (biophere), tempat di mana ada kehidupan, namun lahan juga memiliki fungsi sosial
ekonomi
yang
dipandang
sebagai
sarana
produksi,
benda
kekayaan/bernilai ekonomi, maupun mempunyai fungsi sosial untuk kepentingan masyarakat umum. Penjelasan secara rinci penggunaan lahan (land use) melibatkan fungsi dan kegunaan pengelolaan suatu lahan oleh populasi manusia lokal yang secara langsung berhubungan dengan lahan, memanfaatkan sumberdayanya atau melakukan penggarapan atas lahan tersebut (FAO, 1996). Penggunaan lahan diartikan sebagai perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan dan terkait dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan (Lillesand dan Kiefer 1994). Definisi yang lebih lugas makna penggunaan lahan adalah setiap bentuk campur tangan intervensi manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual (Sitorus, 2004a). Dalam konteks pembangunan kawasan perkotaan, tutupan lahan dapat berbeda maknanya dengan konsep penggunaan lahan. Intervensi manusia
terhadap
lahan bukan secara langsung dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup tetapi difungsikan sebagai aktivitas investasi, usaha perdagangan dan jasa atau sebagai kawasan pemukiman/tempat tinggal. Upaya perencanaan penggunaan lahan (land use planning) sangat penting (Sitorus, 1989) untuk mengetahui optimasi daya dukung dan manfaat lahan setelah melalui proses inventarisasi potensi lahan dan penilaian kondisi lahan.
15
Analisis ini menghasilkan tingkat optimasi pemanfaatan lahan dan sebagai masukan untuk proses kebijakan pelaksanaan pemanfaatan ruang. Manfaat mendasar evaluasi sumberdaya lahan adalah untuk menilai tingkat kesesuaian lahan bagi suatu penggunaan tertentu serta memprediksi konsekuensikonsekuensi nilai ekonominya (Sitorus, 2004b). Penggunaan lahan merupakan cermin dari intensitas manipulasi terhadap atribut biofisik suatu lahan (tutupan lahan), sedangkan manipulasi lahan diterjemahkan sebagai “untuk apa suatu lahan dikelola” (Turner lI, et al., 1995). Sementara land cover adalah wujud fisik obyek-obyek yang menutupi lahan tanpa ada kaitannya dengan kegiatan manusia (Lillesand dan Kiefer 1987). Perubahan tutupan lahan diartikan sebagai ukuran kuantitatif atas bertambah atau berkurangnya perubahan besaran suatu jenis penggunaan lahan atau tutupan lahan. Pengukuran perubahan tutupan lahan tergantung pada level ruang (spatial) yakni semakin detil level spasialnya semakin besar luas perubahan penggunaan lahan yang dapat dicatat dan direkam (Briassoulis, 1999). Analisis perubahan tutupan lahan didasarkan atas pertanyaan faktor apa saja yang mendorong perubahan penggunaan lahan dan bagaimana dampaknya terhadap lingkungan atau ekologi, ekonomi, dan sosial. Demikan halnya dengan analisis perubahan penggunaan lahan didasari atas pertanyaan seberapa besar luasan yang berubah, lokasi peruntukan, dan kesesuaian lahan. Umumnya ada 2 kelompok besar sistem penggunaan lahan yaitu, penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non-pertanian (Arsyad, 2006). Penggunaan lahan pertanian yang sifatnya bervegetasi (RTH) misalnya adalah hutan kota, taman kota, tegalan, sawah, kebun, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung, dan sebagainya. Penggunaan lahan non pertanian antara lain adalah penggunaan lahan perkantoran, perdagangan, kawasan industri, perumahan, pertambangan, dan sebagainya. Perubahan penggunaan lahan pada kawasan perkotaan merupakan persoalan yang kompleks dan rumit, khususnya terkait dengan konsep ruang terbuka publik. Tanpa kemauan politik tata ruang maka kebutuhan ruang terbuka hijau (RTH) kota akan termarjinalkan. Kondisi tersebut secara ekologi membuat lingkungan kawasan perkotaaan akan terganggu.
keberlanjutan daya dukung
16
2.2. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Dalam menganalisis perubahan lahan, terminologi perubahan penggunaan lahan diartikan (secara kuantitatif) sebagai perubahan besaran (bertambah atau berkurangnya) suatu jenis penggunaan atau tutupan lahan menjadi penggunaan lahan atau tutupan lahan lain. Perlu dicatat bahwa pendeteksian dan pengukuran perubahan tergantung pada level ruang yakni semakin tinggi detil level spasialnya, semakin besar luas perubahan penggunaan lahan yang dapat dicatat dan direkam (Briassoulis, 1999). Aktivitas perubahan penggunaan lahan umumnya digolongkan ke dalam kategori: (a) konversi, yaitu perubahan dari satu jenis penggunaan/tutupan ke jenis penggunaan/tutupan lainnya, dan (b) modifikasi, yaitu penggunaan atau perubahan pada lahan tertentu tanpa mengubah secara keseluruhan
fungsi atau jenis lahan tersebut, seperti
mempertinggi intensitas pemanfaatan atau perubahan dari hutan alami menjadi tempat rekreasi (tanpa mengubah kondisi tutupan). Pendapat lain menyatakan bahwa terdapat 4 tipologi kualitatif dari perubahan penggunaan lahan, yaitu : intensifikasi, ekstensifikasi, marjinalisasi, dan pengabaian (Jones dan Clark, 1997). RTH Kota umumnya berada dalam tipologi termarjinalisasi dan hal ini merupakan kenyataan rendahnya politik penganggaran tata ruang dalam membangun lingkungan kota nyaman. Fokus analisis perubahan penggunaan lahan terletak pada 2 pertanyaan yang saling berkaitan yaitu: (1) Faktor apa yang mendorong atau menyebabkan perubahan penggunaan lahan? dan (2) Bagaimana atau apa
dampak dari
perubahan penggunaan lahan tersebut baik secara ekologi maupun sosialekonomi? Faktor-faktor pendorong perubahan penggunaan lahan biasanya terbagi dalam 2 kategori, yaitu kondisi bio-fisik dan kondisi sosial-ekonomi. Faktor bio-fisik melibatkan karakteristik dan proses ekologi alamiah seperti cuaca dan variasi iklim, bentukan lahan, topografi, proses geomorfik, erupsi vulkanik, suksesi tumbuhan, jenis tanah, pola aliran, dan ketersediaan sumber daya alam. Faktor sosial-ekonomi melibatkan persoalan demografi, sosial, ekonomi, politik, dan kelembagaan, serta proses-proses yang terjadi di dalamnya seperti perubahan penduduk, perubahan struktur industri, perubahan teknologi, kebijakan
pemerintah,
dan
sebagainya.
Faktor
bio-fisik
biasanya
tidak
mempengaruhi perubahan penggunaan lahan secara langsung, kebanyakan hanya
menyebabkan
terjadinya
perubahan
pada
tutupan
lahan,
atau
17
mempengaruhi keputusan pengelolaan terhadap lahan tersebut. Keputusan pengelola terhadap suatu tutupan lahan menjadi faktor yang mendorong perubahan yang berkaitan dengan aktifitas manusia. Dalam
kajian
analisis
perubahan
penggunaan
lahan
RTH
Kota,
pemanfaatan teknologi penginderaan jauh merupakan sarana yang tepat (Jaya, 2002). Teknologi ini mampu memberikan informasi secara lengkap, cepat, dan akurat dengan cakupan wilayah yang luas. Analisis spasial merupakan proses ekstraksi atau membuat informasi mengenai feature geografi melalui peramalan dan pendugaan serta penyelesaian masalah. Perhitungan klasifikasi perubahan penggunaan lahan hasil analisis dimaksudkan untuk mengetahui proporsi jumlah ruang terbuka hijau (RTH) yang tersedia dan areal ruang terbangun (RTB) serta penyebarannya. Hasil interpretasi citra landsat digolongkan menjadi beberapa kelas penggunaan lahan yaitu lahan RTH (kebun campuran, sawah, padang rumput/semak), badan air, jalan, dan lahan terbangun. Sebagai perbandingan, analisis data sekunder yang disajikan pada Tabel 2 merupakan hasil penelitian analisis citra landsat terhadap dinamika luasan RTH kawasan Jabotabek. Tabel 2 Dinamika luasan RTH Kawasan Jabotabek Luas Ruang Terbuka Hijau (ha) Kabupaten / Kota Kab. Bogor
1972
1983
1992
2000
2004
Luas Wilayah (ha)
269.145
264.479
260.178
230.324
234.945
279.382
Bogor
10.401
9.885
8.06
5.587
4.912
11.342
Kab. Bekasi
66.843
62.53
83.28
71.892
77.904
126.736
Bekasi
16.414
15.836
14.618
8.977
7.24
22.683
Depok
16.78
18.09
17.533
12.935
9.78
19.991
Kab. Tengerang
62.427
77.551
82.739
60.687
66.601
112.612
Tangerang
9.997
8.219
8.468
5.053
3,82
18.538
DKI Jakarta
32.709
20.012
17.956
10.19
7.166
63.533
Sumber : Agrissantika, et al. (2007) Tabel 2 tersebut menggambarkan bahwa di wilayah Kota Bekasi, luasan RTH pada tahun 2004 adalah 7.240 ha. Lahan RTH tersebut berkisar kurang lebih 34 persen dari luas wilayah yang seluas 21.049 ha. Berdasarkan kajian pendugaan kebutuhan luas hutan kota dengan pendekatan kebutuhan oksigen menggunakan metode Gerakis yang telah dimodifikasi dengan kondisi dan karakteristik Kota Bekasi, pada tahun 2009 luas lahan kota yang diperlukan adalah seluas 10.367 ha berarti masih kekurangan seluas 3000 ha sedangkan
18
berdasarkan pendekatan ketersedian air pada tahun 2009 luas lahan kota yang diperlukan adalah seluas 11.550 ha (Panie, 2009). Dari kedua pendekatan tersebut sekurang-kurangnya lahan RTHpaling tidak memiliki proporsi 50 persen dari total luas Kota Bekasi. Dalam kajian analisis perubahan penggunaan lahan Kota Bekasi pada penelitian ini akan dijelaskan interaksi dan pendugaan antar sub sistem dengan pendekatan sistem dinamis. Sub sistem tersebut antara lain sub komponen sistem ekonomi (dalam hal ini kebijakan penganggaran dari pendapatan dan belanja daerah terhadap RTH/green budgeting RTH), aspek ekologi (Lahan bervegetasi) dan aspek sosial (kependudukan). Bertambahnya luasan fisik kota membawa konsekuensi berkurangnya luasan RTH. Sementara itu, pertumbuhan penduduk dan aktivitas ekonomi,
pada gilirannya akan memacu perubahan
penggunaan lahan terbangun dan menekan lahan bervegetasi. Bekerjanya mekanisme pasar akan menyebabkan sebidang lahan yang memiliki kualitas bagus atau jarak relatif dekat dengan pusat pertumbuhan akan dapat berubah penggunaannya sesuai dengan nilai sewa lahan yang lebih tinggi. Dampak perubahan penggunaan lahan secara luas dikategorikan dalam dua hal, yaitu dampak ekologi dan dampak sosial-ekonomi (Briassoulis, 1999). Dampak perubahan ekologi dan sosial-ekonomi tersebut memiliki hubungan yang sangat dekat dan saling mempengaruhi (feedback). Dampak ekologi mempengaruhi dampak sosial-ekonomi dan begitu pula sebaliknya, yang kedua kembali mempengaruhi dampak ekologi. Dalam penelitian ini, faktor-faktor sosial ekonomi dipertimbangkan sebagai salah satu penyebab campur tangan manusia yang berdampak kepada perubahan penggunaan lahan seperti perubahan penggunaan lahan untuk permukiman, perindustrian, perdagangan, dan bentuk intervensi kawasan budidaya yang berakibat memarginalkan fungsi kawasan lindung, khususnya terkait pengalokasian RTH publik kota sebagai suatu sistem ekologi yang utuh. Beragam disiplin ilmu menjelaskan hubungan antara manusia dan sistem ekologinya, terutama tentang keseimbangan penggunaan lahan dan manusia. Teori keseimbangan ekologi (ecological equilibrium), memfokuskan perhatian atas suatu lahan atau wilayah pada empat faktor, yaitu: penduduk, sumberdaya, teknologi, dan kelembagaan yang secara konstan berada dalam keadaan keseimbangan dinamik. Pada konsep ini, perubahan penggunaan lahan
19
merupakan hasil dari perubahan dan distribusi penduduk, inovasi teknologi dan restrukturisasi ekonomi, kebijakan dan organisasi sosial. Secara matematis, elemen dasar teori keseimbangan ekologi ini dapat ditulis sebagai I=PAT (Cocosis, 1991). Teori yang menghubungkan antara dampak ekologi (I = Impact) dengan penduduk (P = Population), kesejahteraan/kemakmuran (A = Affluence), dan teknologi (T = Technology).
2.3. Fungsi dan Peran Ruang Terbuka Hijau Dalam Penataan Ruang Penduduk kota memiliki kebutuhan yang sangat mendasar untuk berinteraksi sosial dan memerlukan ruang untuk mewadahinya yang sering disebut sebagai public space (ruang publik). Salah satu kebutuhan mendasar dari ruang publik bagi masyarakat khususnya di kawasan perkotaan adalah ruang terbuka hijau (Green Open Space). Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi (endemik maupun introduksi) guna mendukung manfaat ekologis, sosial-budaya dan arsitektural yang dapat memberikan manfaat ekonomi (kesejahteraan) bagi masyarakatnya (Dardak, 2006b). Sementara itu, ruang terbuka non-hijau dapat berupa ruang terbuka yang diperkeras (paved) maupun ruang terbuka biru (RTB) yang berupa permukaan sungai, danau, maupun areal-areal yang diperuntukkan sebagai wadah titik genangan air. Pengertian Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota adalah bagian dari ruangruang terbuka (open space) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut. Berdasarkan bobot kealamiannya, bentuk RTH dapat diklasifikasi menjadi (a) bentuk RTH alami (habitat liar/alami, kawasan lindung) dan (b) bentuk RTH non alami atau RTH binaan (pertanian kota, pertamanan kota, lapangan olah raga, pemakaman, berdasarkan sifat dan karakter ekologisnya diklasifikasi menjadi (a) bentuk RTH kawasan (areal, non linear), dan (b) bentuk RTH jalur (koridor, linear), berdasarkan penggunaan lahan atau kawasan fungsionalnya diklasifikasi menjadi (a) RTH kawasan perdagangan, (b) RTH kawasan perindustrian, (c) RTH kawasan permukiman, (d) RTH kawasan
20
pertanian, dan (e) RTH kawasan-kawasan khusus, seperti pemakaman, hankam, olah raga, alamiah (Lab. Perencanaan Lanskap Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian – IPB, 2005). Pengertian RTH secara detil adalah (1) suatu lapangan yang ditumbuhi berbagai tumbuhan pada berbagai strata dari mulai semak sampai pohon berkayu; (2) lahan terbuka tanpa bangunan yang memiliki bentuk, ukuran dan batas geografis di dalamnya terdapat tetumbuhan hijau berkayu dan tahunan (perennial woody plants), dengan pepohonan sebagai penciri utama dan tumbuhan penutup lainnya (perdu, semak, rerumputan, dan tumbuhan penutup tanah lainnya), sebagai tumbuhan pelengkap, serta benda-benda lain yang juga sebagai
pelengkap
dan
penunjang
fungsi
RTH
yang
bersangkutan
(Purnomohadi, 1995). Secara umum ruang terbuka (open spaces) di perkotaan terdiri dari ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non-hijau (Dardak, 2006b). Secara fisik RTH dapat dibedakan menjadi RTH alami yang berupa habitat liar alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional, maupun RTH non-alami atau binaan seperti taman, lapangan olah raga, dan kebun bunga. Sementara itu dari segi fungsi, RTH dapat berfungsi secara ekologis, sosial/budaya, arsitektural, dan ekonomi. Fungsi bio-ekologis (fisik) memberi jaminan tersedianya sistem sirkulasi udara (paru-paru kota), produsen oksigen, penyerap air hujan, dan pengatur iklim mikro. Hasil penelitian keterkaitan RTH dengan Urban Heat Island (UHI) kawasan Jabotabek, membuktikan arti pentingnya mempertahankan RTH. Pengurangan
atau
penambahan
RTH
menyebabkan
peningkatan
atau
penurunan suhu udara dengan besaran berbeda, di mana setiap pengurangan 50 persen RTH menyebabkan peningkatan suhu udara hingga 0,4 hingga 1,8 derajat celcius (Effendy, 2007). Hasil penelitian di Jakarta juga membuktikan perbedaan suhu 2-4 derajat celcius di sekitar kawasan teduh RTH dengan yang tidak ada RTH (Purnomohadi, 1995). Manfaat RTH baik langsung maupun tidak langsung sebagian besar dihasilkan dari fungsi bio-ekologis RTH. Manfaat tanaman bagi kehidupan (biotik), penghasil O 2 dan penyerap CO 2 serta polutan lainnya menjadikan udara bersih bagi kenyamanan dan kesehatan. Manfaat lain adalah sebagai ameliorasi iklim sehingga menjadi sejuk karena dapat mempengaruhi suhu dan kelembaban udara serta pergerakan angin.
21
Dari sudut pandang ekologi, fenomena perubahan suatu lingkungan dapat menyebabkan
perubahan
ekosistem
secara
kompleks.
Sub-sub
sistem
pembentuk mata rantai ekosistem seperti flora dan fauna dalam suatu lingkungan akan berkurang bahkan punah bila habitat aslinya dirubah bentuk. Ruang terbuka hijau sebagai salah satu dari elemen-elemen pembentuk kota disamping sebagai paru-paru kota juga
memiliki peran yang sangat penting
sebagai pusat interaksi dan komunikasi masyarakat baik formal maupun informal, individu atau kelompok. Fungsi sosial, ekonomi dan budaya tercermin sebagai media komunikasi warga, ekspresi budaya lokal, tempat rekreasi, pendidikan dan penelitian (Purnomohadi, 2006). Dari sudut pandang ekonomi, ruang terbuka hijau sering kali tidak direncanakan secara optimal, karena hanya berupa ruang yang tersisa (left over space) atau lahan yang belum digunakan (idle land). Ruang Terbuka Hijau yang menjanjikan keuntungan ekonomis
seperti tempat rekreasi atau
ekowisata dapat dikelola dengan berbagai area permainan yang dapat mengundang keinginan masyarakat menikmati bentang alam. Fungsi estetis RTH bisa menjadi terapi kesehatan jiwa dari aktivitas dan rutinitas
warga
kota
yang
dinamis,
karena
RTH
dapat
meningkatkan
kenyamanan dan memperindah lingkungan. RTH publik kota pada hakekatnya adalah ruang yang dapat dimasuki dan digunakan oleh siapa saja tanpa ada syarat untuk memasukinya. Sebagai wilayah milik publik, ruang terbuka hijau kota akan digunakan oleh seluruh warga kota secara “bebas” dan “adil” tanpa membedakan satu warga dengan warga yang lainnya. Dalam konteks kebebasan memanfaatkan aktivitas bersama dapat dikatakan bahwa RTH sebagai bagian dari ruang publik adalah ruang nirsekat. Keberadaannya harus memperlihatkan keberpihakan bagi warga kota. Oleh karena itu, pengadaan RTH publik merupakan tanggung jawab pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat perkotaan. Walaupun secara ekologis penting untuk mempertahankan ekosistem lingkungan kotanya, hak untuk mendapatkan ruang terbuka hijau bagi warga kota seringkali berbenturan dengan kepentingan pemodal dan penguasa. Kepentingan ini diperlihatkan antara lain melalui perubahan taman taman kota, lapangan
olahraga,
atau
alun-alun
pemerintahan
di
setiap
wilayah
22
desa/kecamatan menjadi pusat belanja, perkantoran, sarana pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Alasan pertumbuhan penduduk dan peningkatan pendapatan daerah (ekonomi), menjadi alat penekan atas keberadaan RTH yang semakin dimarjinalisasikan. Inilah yang dimaksud dengan kegagalan politik tata ruang. Berhubung daya tampung ruang yang digunakan tidak mencukupi lagi, maka kebijakan yang terjadi adalah ruang yang semestinya digunakan untuk menjaga keberlanjutan ekosistem lingkungan mulai dimanfaatkan menjadi tempat aktifitas perekonomian
dan
permukiman.
Intervensi
kebijakan
dengan
segala
peraturannya mengakibatkan RTH yang juga berfungsi sosial sebagai tempat warga masyarakat berinteraksi menjadi hilang bahkan berubah fungsinya. Fungsi RTH baik publik maupun privat dapat dikelompokkan kedalam fungsi utama (intrinsik), yaitu fungsi ekologis dan fungsi tambahan (ekstrinsik), yaitu fungsi arsitektural, sosial, dan fungsi ekonomi (Nurisjah, et al., 2005), sebagaimana tertera pada Gambar 2.
Wilayah Perkotaan
Ruang Terbangun
Ruang Terbuka
Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Fungsi Intrinsik
Fungsi Ekologis
Ruang Terbuka Non-Hijau
Fungsi Ekstrinsik
Fungsi Arsitektural
Fungsi Sosial
Fungsi Ekonomi
Sumber: Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan, Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006).
Gambar 2 Klasifikasi fungsi Ruang Terbuka Hijau
23
Wilayah perkotaan seyogyanya mendisain kebutuhan ruang terbuka yang proporsional bagi kepentingan publik. Hasil penelitian Hardiman (2008) tentang peran pembangunan ruang terbuka publik sebagai bagian dari ruang terbuka hijau di Pantai Kamali Buton, menunjukkan bahwa kesepakatan stakeholders akan makna penting kebutuhan fisiologis atas ruang terbuka publik menjadi nilai penentu terjaganya kemauan politik tata ruang akan ekosistem bersama. Jargon Kota Bau Bau Buton : ”Boloma karo Sumanomo Lipu” yang artinya ”mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi” dipampang di beberapa lokasi ruang terbuka hijau. Ruang terbuka hijau (RTH) sebagai ruang terbuka publik memiliki karakter penting (Hardiman, 2008) yakni: memiliki makna (meaningful) artinya menjaga kelestarian antar-generasi, memiliki nilai keberlanjutan yang diwariskan bagi kepentingan generasi berikutnya. RTH sebagai ruang terbuka publik dapat mengakomodir
kebutuhan
para
pengguna
dalam
melakukan
kegiatan
(responsive) dan dapat menerima berbagai kegiatan masyarakat tanpa ada diskriminasi (democratic) sebagai ruang nirsekat. Pemaknaan ruang nirsekat lebih diapresiasi sebagai wadah berkumpul masyarakat untuk menikmati kohesi sosialnya. Pemerintah perlu memperhatikan kebutuhan warganya sebagai mahluk sosial untuk pentingnya keberadaan ruang terbuka tersebut. Moral tata ruang kota dengan fenomena perubahan tata guna lahannya sangat rentan terhadap intervensi penguasa atas nama regulasi. Kenyataan yang terlihat sekarang adalah telah terjadinya diskomposisi bahkan termasuk alun-alun kota yang masih mempunyai nilai-nilai tatanan budaya sebagai ruang bertemunya warga masyarakat dengan pemimpinnya berubah menjadi ruang urban yang modernis. Ruang terbuka hijau kota menjadi ajang permainan ekonomi bagi penguasa dan pengusaha, dan kejadian tersebut sama sekali tidak bisa dikendalikan lagi, cepat atau lambat akan menggeser fungsi ruang terbuka hijau, sehingga membuat bagian dari paru-paru kota itu semakin tidak seimbang. Pengalaman sejarah terhadap perkembangan kawasan perkotaan yang memarjinalkan konsep ruang terbuka hijau sebagai ruang terbuka publik senantiasa berulang terjadi.
24
Demikian pentingnya ruang terbuka hijau, sehingga dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dalam Pasal 29 dikemukakan bahwa proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit adalah 30 persen dari luas wilayah kota dan proporsi ruang terbuka hijau publik yang wajib disediakan pemerintah kota paling sedikit adalah 20 persen dari wilayah kota. Dalam upaya mencapai target 30 persen dari jumlah luas wilayah kota, ruang perkotaan diklasifikasi terlebih dahulu menjadi dua yaitu ruang terbangun (RTB) dan ruang terbuka. RTH dari ruang terbuka memiliki potensi lebih besar menjadi RTH publik
kota, diupayakan dapat dicapai proporsi 20 persen.
Sebaliknya pada RTB terdapat proporsi 10 persen untuk disediakan sebagai RTH privat. Proporsi 30 persen merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan
ekosistem
keseimbangan
mikroklimat,
kota,
baik
maupun
keseimbangan sistem
ekologis
sistem lain
hidrologi,
yang
dapat
meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. Kewajiban pemerintah adalah menyediakan 20 persen lahan RTHuntuk kepentingan umum. Penentuan luas RTH dapat juga dihitung berdasarkan jumlah penduduk dilakukan dengan mengalikan antara jumlah penduduk yang dilayani dengan standar luas RTH per kapita (Inmendagri No. 14 tahun 1988 tentang Penataan RTH di Wilayah Perkotaan), seperti tertera pada Tabel 3. Tabel 3 Penyediaan RTH berdasarkan jumlah penduduk No
Unit Lingkungan (Jiwa)
Luas Minimal/ Unit Tipe RTH
Luas Minimal/ Kapita
2
(m )
Lokasi
2
(m ) di tengah lingkungan RT
1
250
Taman RT
250
1
2
2.500
Taman RW
1.250
0,5
di pusat kegiatan RW
3
30.000
Taman Kelurahan
9.000
0,3
dikelompokkan dengan sekolah/pusat kelurahan
4
5
120.000
480.000
Taman Kecamatan
24.000
0,2
dikelompokkan dengan sekolah/pusat kelurahan
Pemakaman
Disesuaikan
1,2
Tersebar
Taman Kota
144.000
0,3
di pusat wilayah/kota
Hutan Kota
Disesuaikan
4
untuk fungsi-
Disesuaikan
12,5
di dalam kawasan pinggiran disesuaikan dengan
25
fungsi tertentu
kebutuhan
Sumber: Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan, Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006). Peluang pemenuhan 20 persen merupakan kedudukan penting RTH Kota sehingga dapat diwujudkan kawasan konservasi kota untuk kelestarian hidrologis, pengembangan keanekaragaman hayati, area penciptaan iklim mikro dan reduktor polutan kota, area rekreasi masyarakat kota, sebagai TPU, sebagai pembatas perkembangan kota ke arah yang tidak diharapkan dan merupakan pengaman SDA baik alami, buatan maupun aspek-aspek historis kota (Purnomohadi, 2006). Target luas lahan sebesar 20 persen dari luas wilayah kota dapat dicapai secara bertahap melalui pengalokasian lahan perkotaan multiwaktu. Penataan ruang wilayah perkotaan berperan sangat penting dalam pembentukan ruangruang terbuka hijau terutama RTH di perkotaan. Perencanaan tata ruang perkotaan seyogyanya dimulai dengan mengidentifikasi kawasan-kawasan yang secara alami harus diselamatkan (kawasan lindung) untuk menjamin kelestarian lingkungan dan rawan bencana. Wilayah Kota Bekasi yang relatif datar perlu melakukan penyelamatan kawasan situ-situ kota dan pengembangan hutan kota sebagai daerah resapan air yang berperan penting manakala terjadi banjir. Kawasan yang direncanakan bagi kebutuhan rekreasional warga seperti taman kota, lapangan olah raga, alun-alun kota dan sebagainya, juga perlu dikembangkan sebagai ruang terbuka, baik hijau maupun non-hijau. Penyediaan RTH berdasarkan kebutuhan fungsi tertentu pada kategori ini adalah untuk perlindungan atau pengamanan, sarana dan prasarana misalnya melindungi kelestarian sumber daya alam, pengaman pejalan kaki atau membatasi perkembangan penggunaan lahan agar fungsi utamanya tidak terganggu. RTH kategori ini meliputi jalur hijau sempadan rel kereta api, jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi, RTH kawasan perlindungan setempat berupa RTH sempadan sungai, RTH sempadan situ, dan RTH pengamanan sumber air baku/mata air. Pemanfaatan ruang pada blok atau kawasan tertentu merupakan pengaturan detil yang memperlihatkan keterkaitan antar-blok kawasan strategis sehingga terjaga keseimbangan utilitas kota. Inilah yang dikenal dengan
26
Rencana Detil Tata Ruang (RDTR). Oleh sebab itu, kedudukan RTH dalam RDTR Kota menjadi penting (Purnomohadi, 2006) yaitu : 1). Merupakan penyeimbang antara area terbangun dan non terbangun pada setiap blok (publik dan privat). 2). Merupakan area yang memiliki berbagai fungsi seperti edaphis (tempat hidup satwa dan jasad renik), hidrologis (keseimbangan dan kelestarian tanah dan air), klimatologis (terciptanya iklim mikro sebagai efek proses fotosintesis dan respirasi RTH), fungsi protektif dari gangguan angin, bunyi dan sinar terik matahari. Fungsi higienis sebagai penyaring polutan baik dari udara maupun air, serta fungsi lainnya baik sosial ekonomi, estetis dan edukatif. 3). Merupakan pembatas dan pengaman kawasan strategis 4). Identitas/ciri lingkungan.
2.3.1. Pendekatan Pewilayahan Ruang Terbuka Hijau Pendekatan pewilayahan ekologis RTH dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara, dan menurunkan temperatur kota. Bentuk-bentuk RTH perkotaan yang berfungsi ekologis antara lain seperti sabuk hijau kota, hutan kota, taman botani, sempadan sungai dan lain lain. Dalam perspektif pewilayahan ekonomi, penataan RTH dapat memiliki fungsi ekonomi, baik secara langsung seperti pengusahaan lahan-lahan kosong menjadi lahan pertanian/ perkebunan (urban agriculture) dan pengembangan sarana wisata hijau perkotaan yang dapat mendatangkan wisatawan. Tingginya frekuensi bencana banjir di perkotaan dewasa ini diduga juga diakibatkan karena terganggunya sistem tata air karena terbatasnya daerah resapan air dan tingginya volume air permukaan (run-off). Kondisi tersebut secara ekonomis juga dapat menurunkan tingkat produktivitas. Terbatasnya daerah resapan ini karena konsep pewilayahan ekonomi tidak memperhatikan keterkaitan dengan kondisi ekologis kota. Dalam perspektif pewilayahan sosial-budaya, keberadaan RTH dapat memberikan fungsi sebagai ruang interaksi sosial, sarana rekreasi, dan sebagai area alun-alun kota yang berbudaya. Bentuk RTH yang berfungsi sosial-budaya antara lain taman-taman kota, lapangan olah raga, kebun raya, TPU dan sebagainya. Isue yang terjadi secara sosial, bahwa tingginya tingkat kriminalitas
27
dan konflik horizontal di antara kelompok masyarakat perkotaan secara tidak langsung juga dapat disebabkan oleh kurangnya ruang-ruang kota yang dapat menyalurkan kebutuhan interaksi sosial untuk pelepas ketegangan yang dialami oleh masyarakat perkotaan. Rendahnya kualitas lingkungan perumahan dan penyediaan ruang terbuka hijau, secara psikologis telah menyebabkan kondisi mental dan kualitas sosial masyarakat yang makin buruk dan tertekan. Dalam perspektif pewilayahan administratif, struktur, bentuk dan susunan RTH dapat merupakan konfigurasi ekologis dan konfigurasi planologis. Secara hirarkis, struktur pelayanan kota harus dapat mengakomodasi ruang terbuka hijau publik dalam perencanaan tata ruang perkotaan pada setiap tingkatannya. Pada unit lingkungan
terkecil (RT/RW), kelurahan, kecamatan hingga
tingkat metropolitan, unsur RTH yang relevan perlu disediakan. RTH dengan konfigurasi ekologis merupakan RTH yang berbasis bentang alam seperti, kawasan lindung, perbukitan, sempadan sungai, sempadan danau, pesisir dan sebagainya. RTH dengan konfigurasi planologis dapat berupa ruang-ruang yang dibentuk mengikuti pola struktur kota seperti RTH perumahan, RTH kelurahan, RTH kecamatan, RTH kota maupun taman-taman regional/nasional. Secara arsitektural RTH dapat meningkatkan nilai keindahan dan kenyamanan kota melalui keberadaan taman-taman kota, kebun-kebun bunga, dan jalur-jalur hijau di jalan-jalan kota. Sementara itu, dari segi kepemilikan RTH dapat berupa RTH publik yang dimiliki oleh umum dan terbuka bagi masyarakat luas, atau RTH privat (pribadi) yang berupa taman-taman yang berada pada lahan-lahan pribadi. Dari perspektif biaya atau program, rencana tata ruang kota bukan sekedar kumpulan prosedur dan peta yang hanya disimpan dalam file dokumen daerah (Miller, 2001) tetapi dinamis memiliki skema program tata ruang yang hendak dicapai. Terjadinya simpangan besar tata ruang kota merupakan akibat dari inkonsistensi kebijakan pemerintah dan gagalnya kekuatan politik atas tata ruang. Kekuatan politik atas tata ruang dapat dicerminkan sebagai keterlambatan program tata ruang dalam mengatasi kebutuhan utilitas kota atas tekanan penduduk yang tinggi, sehingga memarjinalkan daerah kawasan lindung atau ruang terbuka hijau.
28
Dana pada dasarnya merupakan kendala yang sulit diatasi. Namun demikian, apabila stakeholders memiliki kesadaran atas kecenderungan meningkatnya pencemaran udara, maka dana bukan menjadi masalah lagi. Sebagai contoh, berdasarkan perhitungan di DKI Jakarta tercatat ada 4,1 juta kendaraan (roda empat, tiga dan dua). Jika semua pemilik kendaraan memiliki kesadaran membayar resiko lingkungan sebesar Rp 1.000,-/kendaraan/tahun, maka jumlah dana yang tersedia sebesar Rp 4,1 milyar setiap tahunnya (Waryono, 1990).
2.3.2. Pertumbuhan Penduduk dan Kebutuhan Ruang Terbuka Kota
Hijau
Jumlah penduduk perkotaan di Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Pada 1980 jumlah penduduk perkotaan baru mencapai 32,8 juta jiwa atau 22,3 persen dari jumlah penduduk nasional. Pada tahun 1990 angka tersebut meningkat menjadi 55,4 juta jiwa atau 30,9 persen, dan menjadi 90 juta jiwa atau 44 persen pada tahun 2002. Angka tersebut diperkirakan akan mencapai 150 juta atau 60 persen dari jumlah penduduk nasional pada tahun 2015 (Dardak, 2006a). Fenomena pertumbuhan penduduk tersebut memberikan implikasi pada tingginya tekanan terhadap pemanfaatan ruang kota, sehingga perlu mendapat perhatian khusus, terutama yang terkait dengan penyediaan ruang-ruang terbuka publik. Kualitas dan kuantitas ruang terbuka publik, terutama ruang terbuka hijau (RTH) pada 30 tahun terakhir mengalami penurunan yang sangat signifikan. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan Bandung, luasan RTH telah berkurang dari 35 persen pada awal tahun 1970an menjadi kurang dari 10 persen pada saat ini. Jakarta dengan luas RTH sekitar 9 persen memiliki rasio RTH per kapita sekitar 7,08 m2 (Dardak, 2006b). Kepmen PU No. 378 tahun 1987, menetapkan kebutuhan RTH kota yang dibagi atas: fasilitas hijau umum 2,3 m2/jiwa, sedangkan untuk penyangga lingkungan kota (ruang hijau) 15 m2/jiwa. Secara keseluruhan kebutuhan akan RTH kota adalah sekitar 17,3 m2/jiwa (Purnomohadi, 2006), agar dapat memenuhi fungsi kawasan penyeimbang, konservasi ekosistem, dan pencipta iklim mikro (ekologis), sarana rekreasi, olahraga dan pelayanan umum (sosialekomomi), pembibitan, penelitian (edukatif), dan keindahan lansekap kota (estetika).
29
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diperkirakan jumlah kebutuhan RTH Kota Bekasi yang jumlah penduduknya sebesar 2.143.804 jiwa (BPS Kota Bekasi, 2008) adalah (2.143.804 jiwa x 17,3 m2/jiwa) seluas 3.709 ha atau sekitar 18
persen dari
total 21.049 ha luas wilayah Kota Bekasi. Bila
berdasarkan ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang bahwa proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 persen, maka kebutuhan RTH di Kota Bekasi sebesar 6.314 ha, dan sebesar 4.210 ha (20%) wajib dipenuhi pemerintah daerah sebagai RTH publik. Seperti halnya Bekasi, seyogyanya Jakarta dapat memetakan diri sebagai kota yang ramah lingkungan. Jakarta sebagai Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) belum disiapkan secara terintegrasi terkait perencanaan penganggaran hijau RTH sehingga target pencapaian RTH seringkali direvisi dalam RTRW DKI. Sebagai gambaran dibawah ini diilustrasikan kebijakan pemerintah di berbagai negara terhadap pencapaian proporsi RTH Kawasan Perkotaan. Jakarta sebagai Ibukota
Negara
yang
berkembang
seperti
terlihat
pada
Gambar
3,
memperlihatkan tingkat perubahan penggunaan lahan yang begitu pesat mengalahkan kota-kota tua seperti London dan Paris.
2
RTH per kapita (m /penduduk)
Sumber: Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan, Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006).
Gambar 3 Perbandingan luas RTH perkapita pada beberapa kota besar dunia RTH per kapita di Jakarta relatif masih lebih tinggi dari Tokyo, namun sebagai kota dari sebuah negara yang sedang berkembang kondisi ini cukup
30
memprihatinkan. Cerita sukses bisa dilihat dalam kasus Kota Curitiba di Brazil yang dalam 30 tahun berkembang dari kota kumuh menjadi kota yang paling diminati. Curitiba merupakan kota yang penduduknya tumbuh sangat pesat dari 150.000 jiwa pada tahun 1950-an menjadi kota dengan penduduk 1,6 juta jiwa pada tahun 2005 (Dardak, 2006a). Pada awal 1970-an Curitiba mengalami banyak masalah tipikal seperti permukiman kumuh, kemacetan lalulintas yang sangat buruk, pedagang kaki lima di segala penjuru, penduduk miskin dengan literasi kurang dari 50 persen, ruang kota yang terlalu padat, banjir dan ruang terbuka yang sangat terbatas hanya 1 m2 per kapita. Saat ini Curitiba telah berkembang menjadi kota yang nyaman dengan 17 taman-taman baru, dimana tingkat ruang terbuka hijaunya meningkat dari 1 m2 menjadi 55 m2 per kapita, yang merupakan angka yang sangat tinggi untuk suatu kota. Tingkat pendapatan penduduknya pun saat ini telah menyamai pendapatan rata-rata penduduk Brazil. Issue berkaitan dengan ruang terbuka hijau secara umum terkait dengan beberapa permasalahan perkotaan, seperti menurunnya kualitas lingkungan hidup, yang dapat membawa dampak perubahan perilaku sosial masyarakat yang cenderung kontra-produktif dan destruktif, serta timbulnya bencana banjir dan longsor (Dardak, 2006a). Dari aspek kondisi lingkungan hidup, rendahnya kualitas air tanah, tingginya polusi udara dan kebisingan di perkotaan, merupakan hal-hal yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan keberadaan RTH secara ekologis. Pentingnya fungsi tanaman di area ruang terbuka publik di daerah tropis lembab antara lain untuk perlindungan terhadap panas terik matahari. Selain itu, untuk memproduksi O 2 , mengurangi debu yang meliputi kota (urban dust dome), mengurangi panas lingkungan (untuk foto sintesis menyerap panas
matahari satu persen, pohon berdaun lebat dapat
merefleksikan panas matahari sampai 75 persen). Dalam kaitannya dengan ruang terbuka hijau vegetasi memiliki berbagai fungsi antara lain untuk keindahan dan kenyamanan (Hardiman, 2008). Kondisi ekologis kota yang buruk secara ekonomis dapat menurunkan tingkat produktivitas, dan menurunkan tingkat kesehatan serta tingkat harapan hidup masyarakat, bahkan menyebabkan kelainan genetik dan menurunkan tingkat kecerdasan anak-anak pada generasi mendatang akibat exposure terhadap polusi udara yang berlebihan. Selain itu, dari aspek perilaku sosial,
31
tingginya
tingkat
kriminalitas
dan
konflik
horizontal
diantara
kelompok
masyarakat perkotaan secara tidak langsung juga disebabkan oleh kurangnya ruang-ruang kota yang dapat menyalurkan kebutuhan interaksi sosial dan pelepas ketegangan (stress releaser) yang dialami oleh masyarakat perkotaan. Tingginya frekuensi bencana banjir dan tanah longsor di perkotaan dewasa ini juga diakibatkan karena terganggunya sistem tata air karena terbatasnya daerah resapan air dan tingginya volume air permukaan (run-off). Sementara itu, secara teknis issue yang menyangkut penyelenggaraan RTH di perkotaan antara lain menyangkut kurangnya optimalisasi penyediaan RTH baik secara kuantitatif maupun kualitatif, lemahnya kelembagaan dan SDM, kurangnya keterlibatan stakeholders dalam penyelenggaraan RTH, serta terbatasnya ruang/lahan di perkotaan yang dapat digunakan sebagai RTH. Kurangnya optimalisasi ketersediaan RTH terkait dengan kenyataan kurang memadainya proporsi wilayah yang dialokasikan untuk ruang terbuka, maupun rendahnya rasio jumlah ruang terbuka per kapita yang tersedia. Pemerintah kota, investor, pengembang (developer) dan masyarakat luas masih belum banyak menyentuh perancangan ruang terbuka hijau kota. Hal ini menyebabkan rendahnya tingkat kenyamanan kota, menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat dan secara tidak langsung menyebabkan hilangnya nilai-nilai budaya lokal (artefak alami dan nilai sejarah). Secara kelembagaan, masalah RTH juga terkait dengan belum adanya aturan perundangan yang memadai tentang RTH, serta pedoman teknis dalam penyelenggaraan RTH sehingga keberadaan RTH masih bersifat marjinal. Di samping itu, kualitas SDM yang tersedia juga harus ditingkatkan untuk dapat mengelola RTH secara lebih professional. Di sisi lain, keterlibatan
swasta
dan
masyarakat
masih
sangat
rendah
dalam
penyelenggaraan RTH, sehingga pemerintah selalu terbentur pada masalah keterbatasan pendanaan. Pengelolaan RTH kota yang baik seyogyanya dapat bersinergi antara pemerintah kota, masyarakat dan swasta. Dengan memperhatikan aspek-aspek diatas diharapkan kualitas ruang terbuka hijau yang dirancang akan lebih baik dan berkesinambungan. Untuk mencegah pergeseran ruang terbuka hijau kota yang semakin tidak jelas, diperlukan pengendalian melalui pengelolaan yang mempertimbangkan aspek pelestarian. Upaya pelestarian (mempertahankan) ruang terbuka hijau merupakan suatu usaha pembangunan yang berbasis budaya-ekologi-masyarakat secara menyeluruh dan berkelanjutan. Jika kota
32
dipandang sebagai suatu kesatuan sistem, kehadiran ruang terbuka hijau justru dapat mempertahankan penghuni ruang kota yang berkultur tradisionalistik dan berbudaya ekologi. Pencapaian target RTH perlu disusun dalam bentuk masterplan, hingga tatanan kegiatannya (waktu, lokasi, dan biaya yang diperlukan), secara jelas tertuang dalam rencana. Upaya lain yang harus dilakukan adalah peningkatan kinerja institusi terkait, termasuk unit-unit pelaksana teknis pembangunan kawasan hijau. Rendahnya mutu kualitas pembangunan kawasan hijau, dapat ditingkatkan melalui peningkatan kualitas jenis dan pemulihan habitat. Tatanan prioritas pembangunan kawasan hijau berdasarkan alokasi lahan, bantaran sungai menjadi prioritas utama, diikuti oleh kawasan penyangga situ-situ. Strategi pencapaiannya, dilakukan melalui koordinasi baik dalam pelaksanaan program, serta dalam evaluasi dan monitoring hasil-hasil pembangunan kawasan hijau secara berkelanjutan. Untuk meningkatkan pengamanan terhadap hasil-hasil pembangunan kawasan hijau, nampaknya pemberdayaan pembangunan pagar hijau perlu dilakukan, termasuk penyediaan sarana fasilitas pemeliharaan (penyiraman) secara efisien. Keterkaitannya dengan pendanaan, pemberdayaan stakeholders melalui kompensasi lingkungan bagi pemilik kendaraan bermotor perlu dilakukan, dan dipayungi dalam bentuk Perda. Salah satu upaya lain yang dapat diterapkan dalam rangka untuk mengurangi beban perkotaan adalah dengan mengembangkan daerah perdesaan agar arus urbanisasi ke perkotaan dapat diturunkan seperti misalnya dengan mengembangkan kawasan agropolitan (Dardak, 2006b). Selain itu, untuk mendukung kota yang sudah berkembang menjadi sangat besar (metropolitan) yang notabene mempunyai berbagai permasalahan yang sangat kompleks perlu dikembangkan kota-kota satelit disekitarnya dengan mengemban fungsi-fungsi tertentu dan juga dilengkapi dengan prasarana dan sarana yang memadai sehingga mampu menarik sebagian penduduk yang semula berorientasi ke kota inti sehingga beban kota inti menjadi berkurang. Permasalahan yang sering muncul dalam pembangunan di suatu kawasan adalah
tumpang
tindihnya
penggunaan
peruntukan
lahan
dan
atau
pembangunan yang tidak mengikuti ketentuan peruntukan lahan yang telah ditetapkan dalam tata ruang daerah. Penataan RTH pada dasarnya merupakan
33
sebuah pendekatan dalam pengembangan wilayah yang bertujuan untuk mendukung beberapa prinsip pembangunan berkelanjutan, yaitu meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat (aspek ekonomi dan sosial) dan lingkungan hidup (aspek ekologi). Pengalokasian RTH memberikan jaminan terpeliharanya ruang yang berkualitas dan mempertahankan keberadaan obyek-obyek ruang terbuka hijau sebagai aset yang dapat dinikmati bersama. Dalam
pengembangan
kegiatan
pembangunan
ekonomi
diperlukan
pengaturan-pengaturan alokasi ruang yang dapat menjamin pembangunan berkelanjutan guna mencapai kesejahteraan masyarakat. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip dasar dalam penataan ruang berkelanjutan yang bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam dan buatan secara berdaya guna, berhasil guna, dan tepat guna untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi
dampak
negatif
terhadap
lingkungan,
dan
mewujudkan
keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan keamanan. Sebagaimana diketahui bahwa rencana tata ruang kota yang berisi rencana penggunaan lahan perkotaan, menurut peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1987, dibedakan dalam rencana umum tata ruang kota, yang merupakan rencana jangka panjang: rencana detil tata ruang kota, sebagai rencana jangka menengah, dan rencana teknis tata ruang kota, untuk jangka pendek. Ketiga jenis tata ruang kota tersebut disajikan dalam bentuk peta-peta dan gambargambar yang sudah pasti (blue print) (Sunardi, 2004). Kelemahan penyelenggaraan penataan ruang selama ini terletak pada ketidaksesuaian antara rencana tata ruang dan implementasinya. Hal ini disebabkan lemahnya pengendalian pemanfaatan ruang dan penegakan hukum dalam penyelenggaraan penataan ruang. Kedepan diharapkan tidak hanya penawaran insentif dan disinsentif tetapi juga belanja lahan RTH untuk merangsang kesadaran terhadap prinsip tata ruang. Bila fenomena tersebut tidak dijadikan bahan kebijakan maka mustahil pembangunan akan berkelanjutan sebagaimana diharapkan generasi berikutnya. Pembangunan berkelanjutan dipopulerkan melalui laporan Our Common Future
yang
disiapkan
oleh
World
Commission
on
Environment
and
Development (Komisi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan) tahun1987, yang dikenal dengan nama Komisi Bruntland. Isu utama yang disetujui oleh
34
komisi
tersebut
adalah
bahwa
pada
kenyataannya
banyak
kegiatan
pembangunan telah mengakibatkan banyak kemiskinan dan kemerosotan serta kerusakan lingkungan. Persoalan lingkungan dunia telah ditetapkan sebagai isu utama pembangunan. Pembangunan berkelanjutan memiliki tiga pilar, yaitu pilar ekonomi, ekologi dan sosial. pendapatan Pendekatan
yang
Pilar ekonomi menekankan pada perolehan
berbasiskan
ekologi
penggunaan
menekankan
pada
sumberdaya
yang
pentingnya
efisien.
perlindungan
keanekaragaman hayati yang akan memberikan kontribusi pada keseimbangan ekosistem dunia. Pendekatan sosial menekankan pada pemeliharaan kestabilan sistem sosial budaya, meliputi penghindaran konflik keadilan, baik antar generasi masa kini dengan generasi mendatang. Secara
positif,
pembangunan
berkelanjutan
dirumuskan
sebagai
pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi masa kini, tanpa mengurangi hak dan kesempatan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Karena itu pembangunan berkelanjutan adalah suatu program aksi untuk mereformasi ekonomi global dan ekonomi lokal, sebuah program yang masih harus didefinisikan lebih lanjut. Tantangan model pembangunan baru ini adalah mengembangkan, menguji dan menyebarkan cara-cara untuk mengubah proses pembangunan ekonomi yang tidak menghancurkan ekosistem, kata kuncinya saving as percentage of gdp = or more than depreciation of human knowledge + depreciation of human made capital + depreciation of natural capital (Haeruman, 2010). Terdapat 7 komponen pembangunan berkelanjutan yaitu : (1) prinsip dasar piagam bumi (normatif dan sistem nilai); (2) kesepakatan global (partisipatif dan lintas pelaku); (3) rencana tindak (RPJP/D, RPJM, Propeda); (4) prioritas dan strategi (renstra dan kebijakan pembangunan); (5) sistem pengelolaan pembangunan (proses perencanaan, pembiayaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan); (6) sistem kelembagaan (organisasi dan tata cara); dan (7) instrumen pengatur (sistem hukum,etika dan pasar). Kesepakatan global yang
tertuang
berkelanjutan di Johanesburg adalah manusiawi,
berkeadilan
dan
dalam deklarasi pembangunan
membangun masyarakat global yang
bersama
melaksanakan
visi
masa
depan
kemanusiaan; memberantas kemiskinan dan menerapkan pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan; multilateralisme adalah masa depan. Rencana tindak
pembangunan
berkelanjutan
disusun
rencana
pemberantasan
kemiskinan, perubahan pola konsumsi dan produksi yang meliputi energi,
35
transportasi, pengelolaan limbah dan pengelolaan siklus hidup bahan kimia. Disamping itu, disusun pula rencana perlindungan dan pengelolaan sumber alam, pengembangan global dari pembangunan berkelanjutan dan kesehatan serta pembangunan berkelanjutan. Pola pengelolaan pembangunan berkelanjutan terdiri dari 4 bagian, yaitu : (1) pola pengambilan kebijakan yang meliputi kebijakan, programming dan pembiayaan; (2) produksi/konsumsi yang meliputi outcome, output, dan input; (3) indikator pengendali yang meliputi dampak produksi/konsumsi dan biaya depresiasi nilai; serta (4) alat pemantau yang meliputi evaluasi, audit nilai ekonomi/sosial/lingkungan, dan audit finansial (Haeruman, 2010). Instrumen pengatur, dalam peraturan perundangan perlu diserasikan antara kewenangan, tanggung jawab, dan indikator kinerjanya.
Mekanisme pasar yang berkaitan
dengan harga sebagai indikator kelangkaan yang tepat perlu dipertimbangkan disamping sistem tata nilai sosial, adat dan budaya yang diperlukan untuk mengembangkan pembangunan berbasis masyarakat. Tidak seorangpun betul-betul memahami dengan tepat, bagaimana dan bilamana
pembangunan
berkelanjutan
dapat
dicapai.
Dengan
demikian
pengembangan konsensus di tingkat lokal harus dilakukan, sebagai dasar bagi pencapai pembangunan berkelanjutan di tingkat global.
Di tingkat lokal,
pembangunan berkelanjutan mensyaratkan bahwa pembangunan ekonomi harus mendukung kehidupan dan penguatan komunitas, dengan mendayagunakan bakat dan sumberdaya masyarakat setempat. Dengan demikian, upaya berikutnya adalah mendistribusikan hasil-hasil pembangunan secara merata dan adil kepada berbagai kelompok sosial dalam jangka panjang. Semua itu hanya mungkin dilakukan jika bisa dicegah agar aktivitas pembangunan ekonomi tidak menghacurkan sumberdaya alam dan kualitas ekosistem.
2.4. Penganggaran Berbasis Manajemen Lingkungan
Lingkungan
Sebagai
Perangkat
Sejak tanggal 3 Oktober 2009, Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi, yang kemudian digantikan dengan hadirnya Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Undang-
36
undang ini mengatur secara lebih menyeluruh tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Perbedaan mendasar subtansi peraturan ini adalah adanya penguatan tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik. Dalam ketentuan yang baru, setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan
pencemaran
dan/atau
kerusakan
lingkungan
hidup
serta
penanggulangan dan penegakan hukum diwajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan. Beberapa butir penting dalam UU No. 32 Tahun 2009 antara lain meliputi instrumen kajian lingkungan hidup strategis, tata ruang, baku mutu lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, amdal, upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, perizinan, instrumen ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup, anggaran berbasis lingkungan
(green budgeting), analisis risiko
lingkungan hidup, dan instrumen lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal lain terkait kepastian penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana secara lebih jelas. Penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan serta penguatan hak-hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup juga tercantum. Anggaran berbasis lingkungan terlaksananya
dukungan
pendanaan
merupakan amanat untuk menjamin dari
APBN
yang
memadai
untuk
Pemerintah dan APBD untuk pemerintah daerah. Kehadiran UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH ini akan dapat memberikan lebih banyak manfaat dalam upaya melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lebih baik dan bijaksana, sehingga apa yang menjadi titipan antar generasi khususnya terkait pengalokasian RTH dapat diserahkan kembali dalam kondisi yang masih layak. Prinsip tata kelola pemerintahan adalah manageable atau dapat dikelola. Prinsip ini harus dapat menjamin terwujudnya tata kelola pemerintahan yang menjamin diimplementasikannya 3 prinsip pembangunan berkelanjutan (ekologi, ekonomi dan sosial) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Prinsip Ekologis Berkelanjutan adalah prinsip pengelolaan ekologi untuk memenuhi sustainabilitas atau keberlanjutan. Prinsip pengelolaan RTH secara ekologis adalah terpenuhinya sustainabilitas atau keberlanjutan RTH.
37
Prinsip ini harus dapat menjamin terwujudnya kualitas lingkungan hidup di masa mendatang yang setara dengan kualitas lingkungan hidup sebelum dan/atau selama adanya usaha dan/ atau kegiatan pengelolaan RTH. Pengelolaan kawasan budidaya bervegetasi (RTH) sebagai bagian dari tata kelola pemerintahan seperti pengelolaan lahan perkebunan, lahan persawahan perlu kearifan ekosistem. Pemaksaan sifat penanaman dari heterokultur menjadi monokultur, seperti: pangan padi, dan perkebunan kelapa sawit dapat mengakibatkan degradasi lingkungan. Pemaksaan ini menyebabkan pembukaan lahan secara luas, dan memperbesar potensi tanah kritis.
Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang tidak sesuai dengan tipologi lingkungan dapat mengancam keberlanjutan lingkungan alami, seperti: hilangnya padang rumput sebagai sumber pakan binatang atau hilangnya plasma nutfah padi-padian di Indonesia, karena masuknya benih padi dari negara lain yang tipologinya berbeda dengan Indonesia. Negara
mengatur pengelolaan
lingkungan
hidup
yang
mendorong
berkembangnya teknologi, manajemen dan pranata yang sesuai dengan tipologi lingkungan Indonesia, antara lain melalui; Legislasi Hijau, Rencana Strategis dan Program Hijau,
APBN/APBD Hijau (Penganggaran yang lebih pro
lingkungan/green budgeting), instrumen ekonomi (pajak lingkungan, dan lainlain), insentif dan disinsentif (dukungan kebijakan lintas wilayah administrasi dan sektor). Prinsip ekonomi berkelanjutan adalah prinsip pemanfaatan ekonomi dengan terpenuhinya kelayakan. Namun, prinsip ini harus dapat menjamin terwujudnya kesejahteraan generasi masa sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang, antara lain melalui: 1.
Integrasi lingkungan dalam pembangunan ekonomi dibutuhkan untuk menginternalisasi jasa lingkungan ke dalam nilai ekonomi sehingga memperoleh manfaat dan biaya seutuhnya dari kegiatan/usaha yang dilakukan. Berkembangnya pembangunan ekonomi yang mengintegrasikan nilai jasa lingkungan ke dalam pembangunan. Sebagai gambaran air dan udara, masih dipandang sebagai barang publik yang didapatkan secara cuma-cuma yang dianggap tidak perlu dikelola oleh Pemerintah dan pengelolaannya justru menjadi beban lingkungan. Hancurnya sumberdaya air, menyebabkan akses publik terhadap air, menjadi mahal. Bahkan,
38
cenderung mengalami kelangkaan. Laut sebagai tempat sampah terbesar di dunia atau udara sebagai sebuah sumber sekaligus media pembuangan sehingga kualitasnya rentan dari aktivitas manusia. 2.
Penggunaan instrumen ekonomi untuk mengatur pemanfaatan lingkungan oleh
masyarakat.
Instrumen
pengenaan
pajak
lingkungan
misalnya
penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk kendaraan pribadi atau pengenaan pajak lingkungan (disinsentif) yang merubah bentang alam untuk kepentingan usaha bisnis, seperti Reklamasi Pantai. 3.
Pengembangan sistem akuntansi ekonomi lingkungan untuk mengatur pemanfaatan lingkungan oleh negara. Tata kelola pemerintahan berupaya mengembangkan
sistem
akuntansi
ekonomi
lingkungan
yang
memperhitungkan perubahan-perubahan pada stok sumberdaya alam, deplesi atau degradasi lingkungan pada neraca Negara, seperti GDP Hijau dan PDRB Hijau. Prinsip Sosial Berkelanjutan adalah prinsip sosial pengelolaan lingkungan dengan terpenuhinya aksesibilitas. Prinsip ini harus dapat menjamin terwujudnya tata nilai sosial yang dibangun dengan memperhatikan partisipasi masyarakat secara aktif, karakteristik budaya lokal, dan budaya peduli lingkungan. Terdapat banyak tools dan cara untuk meningkatkan kinerja lingkungan dalam bentuk pengurangan dampak lingkungan yang dilakukan masyarakat. Hal ini antara lain bisa didekati dengan (1) paradigma Pencegahan Polusi (PP) atau Cleaner Production (CP) yang berfokus pada proses dan produk atau jasa, atau bisa lewat (2) paradigma Eco-efisiensi (eco-efficiency) yang berfokus pada usaha bisnis menuju efisiensi yang secara langsung dan tak langsung akan mengurangi dampak pada lingkungan dan efisiensi sumberdaya. Istilah ekoefisiensi sebenarnya resmi dipopulerkan oleh World Bussiness Council for Sustainable Development (WBCSD) di tahun 1992, yang didefinisikan sebagai pengiriman secara kompetitif barang atau jasa yang memuaskan kebutuhan manusia dan meningkatkan kualitas hidup, dimana secara progresif mengurangi dampak ekologis dan intensitas penggunaan SDA ke tingkat yang relatif sama dengan estimasi kapasitas dukung bumi. Paradigma (3) Akuntansi Lingkungan (Environment Accounting / EA), mendefinisikan dan menggabungkan semua biaya lingkungan ke dalam laporan keuangan perusahaan, seperti tertera pada Gambar 4.
39
Convensional costs
Hidden costs
Relationship / image costs
Contingent costs
Societal costs More difficult
Easier to measure
to measure
Sumber: Purwanto (2000)
Gambar 4 Spektrum biaya lingkungan Bila biaya-biaya lingkungan secara jelas teridentifikasi, perusahaan akan cenderung mengambil keuntungan dari peluang-peluang untuk mengurangi dampak lingkungan. Biaya sosial lebih sulit diukur karena terkait dengan seberapa besar kualitas lingkungan diukur dari permintaan atau persfektif sosial. Dalam skala mikro ekonomi pada tingkat perusahaan, EA digunakan dalam kerangka akuntansi keuangan dan akuntansi manajerial. Biaya lingkungan adalah dampak, baik moneter atau non-moneter terjadi oleh hasil aktifitas perusahaan yang berpengaruh pada kualitas lingkungan. Spektrum pengukuran biaya sangat dipengaruhi faktor eksternalitas lingkungan. Akuntansi keuangan menyediakan informasi mengenai kondisi keuangan perusahaan pada pengamat eksternal seperti pemegang saham (Purwanto, 2010). Akuntansi manajerial menyediakan informasi ke penentu keputusan internal dalam rangka mendukung keputusan manajemen internal, seperti disajikan dalam Gambar 5. Akuntansi Lingkungan
Wilayah / negara (makroekonomi)
Perusahaan / organisasi (mikroekonomi)
Akuntansi Sumberdaya Alam
Akuntansi Pendapatan Nasional;
Akuntansi Keuangan
Akuntansi Manajerial
Mengevaluasi persediaan sumberdaya
Memperkirakan GNP / GDP
Pelaporan keuangan eksternal
Pembuatan keputusan internal
Sumber: Purwanto (2000)
Gambar 5 Kerangka cakupan akuntansi lingkungan
40
Satu pendekatan bagi penerapan manajemen lingkungan adalah dengan paradigma Industrial Ecology (IE). IE adalah konsep menyeimbangkan pembangunan industri dan penggunaan berkelanjutan sumberdaya alami, dengan cara meneliti peluang dan hambatan bagi aktor-aktor yang berbeda dalam masyarakat industri dalam merubah aliran material dan produk dalam arah selaras lingkungan (environmentally compatible). ‘Industrial Ecology is an emerging concept for the promotion of environmentally sound manufacturing and consumption. It aims to balance industrial development with the sustainable use of natural resources’ (Berkel et al., dalam Purwanto, 2010)1. Secara
eksternal
penggunaan
instrumen
ekonomi
juga
mengatur
pemanfaatan lingkungan oleh masyarakat, diarahkan pada upaya antara lain : 1) Pengenaan pajak lingkungan untuk penggunaan BBM untuk kendaraan pribadi. 2) Pengenaan pajak lingkungan yang merubah bentang alam untuk kepentingan usaha bisnis, seperti Reklamasi Pantai. 3) Mereformasi insentif ekonomi dan fiskal untuk mempertemukan tujuan pembangunan dan lingkungan. 4) Menghapus atau mengurangi subsidi yang tidak melengkapi tujuan pembangunan berkelanjutan. Klasifikasi kebijakan green budget reform yang telah dilaksanakan di negara-negara Eropa Barat adalah : (1) Public Expenditure Instruments (PEIs) cost governments money, alokasi anggaran yang dikeluarkan untuk subsidi dan kompensasi lingkungan, (2) Budget Neutral Instruments (BNIs) , ‘Feebate' programs, which combine charges with a rebate mechanism, (3) Revenue Generating Instruments (RGIs, sumber pendapatan pemerintah yang berasal dari pemungutan pajak dan restribusi dampak lingkungan. Konsep green budgeting pada pembangunan di daerah dianalogikan dengan APBD hijau, dimana strukturnya ada komponen pendapatan dan belanja daerah. Kedua komponen tersebut seyogyanya mencerminkan konsep penganggaran hijau atau APBD pro lingkungan. Pada Gambar 6 disajikan skema instrumen-instrumen
1
Purwanto, 2010. Perangkat (Tools) Manajemen Lingkungan http://andietri.tripod.com/jurnal/book-1.htm Hal 9-17 [diakses 5 Mei 2010].
41
ekonomi yang ditulis
dalam jurnal Making Budgets Green (Barg dan Gillies,
1994). Classification of Economic Instruments According to their Direct Financial Impact on Government Budgets
Public Expenditure Intruments (PEIs)
Budget Neutral Instruments (BNIs)
Revenue Generating Intruments (RGIs)
Sumber: Barg dan Gillies (1994)
Gambar 6 Klasifikasi instrumen ekonomi lingkungan Instrumen
ekonomi
lingkungan
merupakan
strategi
mengantisipasi
persoalan lokal terhadap dampak lingkungan global. Yudhoyono (Kompas, 2010) mengatakan dalam pidato pada konferensi menteri lingkungan hidup dunia (11th Special Session of the UNEP Governing Council) lima langkah penting menjawab tantangan krisis lingkungan global dengan memperkenalkan istilah green economy2. Istilah ini subtansinya adalah sama dengan green budgeting bahwa ada kewajiban masyarakat dan pemerintah bertanggung jawab terhadap lingkungan pada level pemerintahan di daerah. Kelima langkah mengatasi krisis lingkungan global tersebut adalah sebagai berikut : 1) Perlu dianut asas pembangunan berkelanjutan. 2) Menghentikan laju kepunahan keanekaragaman hayati. 3) Pembangunan harus berorientasi pada paradigma green economy yang harus dilakukan masyarakat internasional. 4) Ajakan mendukung pembangunan berkelanjutan. 5) Ajakan menyelesaikan negosiasi perubahan iklim pada konferensi di Meksiko. Indonesia telah melaksanakan green economy melalui kebijakan fiscal dalam bentuk insentif untuk kegiatan-kegiatan prolingkungan seperti insentif bagi 2
Yudhoyono, S.B. Strategi Mengatasi Dampak Lingkungan Global. Kompas, 29 Maret 2010
42
pengguna renewable energy. Di Kementerian Keuangan ada green paper berisi kebijakan tentang apa saja terkait pembangunan pro lingkungan. Beberapa butir penting
terkait
dengan
upaya
perlindungan
prolingkungan
khususnya
pengendalian pemanfaatan ruang dalam UU PPLH tersebut adalah: 1) Pendayagunaan perizinan sebagai instrumen pengendalian; 2) Pendayagunaan pendekatan ekosistem; 3) Penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses partisipasi, dan
akses
keadilan
serta
penguatan
hak-hak
masyarakat
dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; 4) Penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana secara lebih jelas; 5) Penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih efektif dan responsif; 6) Instrumen ekonomi lingkungan hidup;
2.5. Penganggaran Daerah Berbasis Lingkungan (Green Budgeting) Subtansi baru dalam UU PPLH anatara lain adalah diperkenalkannya instrumen
penganggaran
berbasis
lingkungan
hidup
(pasal
42-45).
Penganggaran berbasis lingkungan adalah aktivitas perencanaan penganggaran lingkungan yang menjadi kewajiban pemerintah dan parlemen memperhatikan dan mengalokasikan anggaran yang memadai untuk membiayai kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan program pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup. Dalam konteks kewilayahan, penganggaran daerah berbasis lingkungan (APBD Hijau/green budgeting) merupakan salah satu instrumen penting ekonomi lingkungan. Anggaran merupakan rencana tindakan-tindakan (actions) pada masa yang akan datang untuk mencapai tujuan organisasi. Pada organisasi bisnis, tujuan dimaksud adalah mencari laba (profit oriented), sementara pada organisasi non-bisnis tidak (nonprofit oriented) . Berbeda dengan penganggaran partisipatif di perusahaan (bisnis), penganggaran di pemerintahan tidak sepenuhnya “tergantung pada” karyawan (Abdullah, 2008). Pada organisasi pemerintahan, karyawan atau birokrat mengemban akuntabilitas ganda (dual accountability), yakni bertanggung jawab kepada kepala dinas/organisasinya atau disebut Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
yang
merupakan
mandatory
Kepala
Daerah,
disamping
bertanggungjawab pula kepada masyarakat yang diwakili oleh lembaga
43
perwakilan atau DPRD. Pada saat ini, dalam penganggaran di pemerintahan daerah di Indonesia dikenal mekanisme penganggaran partisipatif, yakni dengan melibatkan masyarakat secara langsung melalui mekanisme Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Musrenbang dilaksanakan secara berjenjang, yang mencakup tingkat desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan nasional. Pada prinsipnya mekanisme ini bertujuan menjaring dan mengidentifikasi permasalahan
dan
kebutuhan
masyarakat
yang
dapat
diatasi
dengan
kewenangan urusan yang dimiliki oleh pemerintah. Setelah usulan-usulan masyarakat disesuaikan dengan urusan masing-masing SKPD, maka akan dihasilkan dokumen perencanaan yang disebut dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Berdasarkan program/kegiatan yang dicantumkan dalam RKPD ini Pemda membuat dokumen kebijakan dan prioritas anggaran serta plafon (pagu) anggaran untuk setiap program/kegiatan, sebelum ditetapkan sebagai anggaran daerah (APBD). Dalam rangka penganggaran daerah yang dilaksanakan setiap tahun dikenal istilah penganggaran partisipatif sebagai suatu pendekatan demokratis khususnya menjadi penting terhadap belanja lingkungan yang sifatnya simultan dan berkelanjutan. Penganggaran partisipatif didefinisikan sebagai mekanisme melalui mana penduduk secara langsung memutuskan atau berkontribusi terhadap keputusan yang dibuat mengenai semua atau sebagian sumberdaya publik termasuk kebijakan penganggaran. Konsepsi anggaran publik di kota-kota di Indonesia lebih dikenal dengan anggaran belanja daerah yang disatukan dengan pendapatan yang diterima dalam satu tahun anggaran atau yang disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Menurut Suhirman (2009) lebih dari 300 kota di dunia telah menjalankan penganggaran partisipatif di Eropa dan Negara Amerika Latin misalnya Kota Kordoba (Spanyol), Saint Denis (Francis), Villa El Salvador (Peru), Porto Alegre (Brazil) dan lainnya. UNDP memberikan penghargaan internasional kepada Kota Porto Alegre yang secara konsisten menerapkan penganggaran partisipatif dan menjadi kota rujukan karena salah satu pioneer dalam praktek penganggaran partisipatif. Model pendekatan penganggaran partisipatif ini muncul akibat adanya kegagalan perencanaan sebagai proses yang bersifat teknis dan analitis. Program, proyek dan kegiatan pembangunan masyarakat yang datang dari atas
44
seringkali gagal dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal. Kebijakan anggaran partisipatif menurut Pontoh (2008) sebenarnya merupakan alat untuk merealisasikan sebuah gagasan besar tentang demokrasi substantif atau demokrasi partisipatoris. Sebaliknya, bukan hanya pesta demokrasi secara euphoria selesai Pemilu kembali ke habitat, yang mencerminkan kekuasaan rakyat hanya berhenti di kotak-kotak pemungutan suara. Keadaan inilah yang disebut para ilmuwan politik sebagai kondisi defisit demokrasi. Para penganut teori demokrasi langsung atau demokrasi partisipatoris menganggap, bahwa bentuk yang paling menentukan dari partisipasi adalah pengambilan keputusan secara langsung oleh rakyat (face-to-face decision making). Rakyat tidak hanya belajar tentang isu-isu kebijakan yang substantif tetapi ada nuansa empowering, rakyat belajar tentang keahlian berdebat, bernegosiasi, dan melakukan kompromi menyangkut isu-isu yang berkaitan dengan kepentingannya. Dalam sistem perencanaan pembangunan di daerah, perencanaan anggaran partisipatif seyogyanya diwujudkan melalui musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang). Musyawarah ini menghasilkan sebuah rancangan anggaran
partisipatif
pembangunan
sebagai
(stakeholders).
hasil
keputusan
Selanjutnya
bersama
hasil
semua
kesepakatan
pelaku
anggaran
partisipatif ini menjadi bahan yang akan diakomodir pada pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD). Dinas Teknis daerah menyusun rencana pembangunan sesuai dengan wewenang dan fungsinya sebagai pengamat professional yang disebut perencanaan teknokratik. Kolaborasi proses top-down dan bottom-up ini dilaksanakan dengan tujuan antara
lain
menyelaraskan
program-program
untuk
menjamin
adanya
sinergi/konvergensi dari semua kegiatan pemerintah dan masyarakat. Anggaran daerah berbasis lingkungan (green budgeting) adalah arahan program-program APBD yang berpedoman pada pembangunan tata ruang sesuai amanat UndangUndang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dimana anggaran belanja daerah mempedomani jejak tata ruang yang telah disepakati. Kebijakan dalam sistem pembangunan saat ini dikenal dengan anggaran kinerja atau anggaran partisipatif karena sudah tidak lagi berupa daftar usulan tapi sudah berupa rencana kerja yang memperhatikan berbagai tahapan proses mulai dari input seperti modal, tenaga kerja, fasilitas dan lain-lain. Kemudian juga harus memperhatikan proses dan hasil nyata yang akan diperoleh seperti keluaran, hasil dan dampak. Oleh karena itu, perencanaan pembangunan harus
45
dimulai dengan data dan informasi tentang realitas sosial, ekonomi, budaya dan politik yang terjadi di masyarakat, ketersediaan sumberdaya dan visi/arah pembangunan. Jadi perencanaan lebih kepada bagaimana menyusun hubungan yang optimal antara input, process, output, outcomes, dan benefit bagi masyarakat. Partisipasi dalam pengambilan keputusan melahirkan sense of identification, suatu perasaan yang mampu mengidentifikasi apa yang sebenarnya mendesak untuk dipartisipasikan melalui berbagai program. Beberapa negara berkembang, melaksanakan
pembangunan
desa
dan
belanja
lingkungan
dengan
mengikutsertakan masyarakat. Desentralisasi Indonesia, partisipasi masyarakat dalam pembangunan diorganisir oleh suatu lembaga kemasyarakatan, yakni Lembaga Ketahanan Masyarakat
Desa
(LKMD).
Keterlibatan
dalam
pengendalian
dapat
dikelompokkan dalam point 3 (tiga) dan 4 (empat) di atas sebagai aktivitas yang dapat mengontrol manfaat tujuan pembangunan secara berkeadilan (pemerataan)
dan
hasil
pembangunan
yang
berkesinambungan
(berkelanjutan). Efektif tidaknya penganggaran partisipatif pada organisasi pemerintahan sangat tergantung pada beberapa faktor, di antaranya: 1. Keterlibatan masyarakat banyak, semakin banyak masyarakat yang terlibat, maka keragaman permasalahan juga akan semakin besar, sehingga mempermudah pemetaannya khususnya alokasi RTH dan nilai jual lahan. Masyarakat yang terlibat semestinya masyarakat yang bersinggungan langsung dengan obyek dan kinerja anggaran daerah. 2. Efektifitas saluran penganggaran, pihak-pihak yang melakasanakan Musrenbang (khususnya Bappeda) semestinya dapat menangkap semua permasalahan disampaikan oleh masyarakat dan merumuskan solusi awal atas permasalahan/kebutuhan tersebut. Tidak boleh terjadi distorsi sehingga mengaburkan esensi persoalan yang sebenarnya. 3. Penentuan
target
kinerja
atau
solusi,
persoalan/kebutuhan
yang
teridentifikasi kemudian dipecahkan dengan menetapkan target kinerja yang hendak dicapai. Besaran target kinerja ini sangat ditentukan oleh lingkup, besaran, dan waktu kegiatan yang dibutuhkan. Bisa saja sebah kebutuhan tidak dapat dipenuhi selama satu tahun anggaran karena keterbatasan
46
kapasitas
SKPD
atau
keterbatasan
dana
kemudian
diperkenalkan
pendekatan MTEF. 4. Akurasi pengalokasian sumberdaya, besaran alokasi anggaran untuk program/kegiatan harus menganut konsep 3E (ekonomis, efisien, efektif) yang disebut juga value for money. Kelebihan alokasi dalam suatu program/kegiatan menyebabkan terjadinya dana menganggur (idle funds) yang pada akhirnya menjadi sisa lebih anggaran (SILPA) pada akhir tahun. Oleh karena itu, penentuan standar harus dilakuan sebaik mungkin dengan besaran mark-up sekecil mungkin (reasonable).
2.5.1. Paradigma Perencanaan Partisipatif dan Peranan Stakeholders Dalam teori perencanaan publik atau perencanaan partisipatif (partisipatory planning), penekanan terhadap pentingnya preferensi (keinginan) dan informasi aspiratif dari masyarakat menjadi awal perencanaan pembangunan. Pengertian perencanaan itu sendiri memiliki banyak makna yang mencerminkan aktivitas usaha manusia sebagai mahluk sosial. Secara sederhana perencanaan merupakan proses untuk mempersiapkan hasil akhir dari tujuan yang diinginkan dan dilakukan secara sistematis dengan tahapan kegiatan yang simultan. Proses perencanaan partisipatif
menjadi inti asas demokrasi yang memberikan
kebebasan membangun prakarsa dari dan oleh masyarakat. Berangkat dari model partisipatory planning, istilah stakeholders menjadi sangat meluas dan akhirnya dianggap sebagai idiom model ini. Perencanaan partisipatif ini oleh beberapa kalangan juga dianggap kurang praktis
maka
preferensi penduduk tidak lagi dikumpulkan melalui analisis kebijakan, tetapi diganti dengan proses politik. Proses politik dalam pemilihan umum dipandang sebagai market of plan inilah yang disebut perencanaan politik atau proses politik dalam perencanaan dan sekaligus proses penganggaran pembangunan. Bentuknya berupa kontrak politik dalam visi yang dituangkan dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah).
Proses lain dalam menghasilkan rencana pembangunan adalah
perencanaan teknokratik, dimana kebutuhan masyarakat bisa muncul ke permukaan melalui pengamat profesional. Pengamat profesional adalah kelompok masyarakat yang terdidik dengan berbekal pengetahuan yang dimiliki dapat menyimpulkan kebutuhan akan suatu barang yang tidak dapat disediakan pasar. Pengamat ini bisa pejabat pemerintah, bisa non-pemerintah, atau dari
47
perguruan tinggi. Agregat dari kebutuhan masyarakat yang ditemukan oleh pengamat profesional menghasilkan perspektif akademis pembangunan. Paradigma sistem perencanaan partisipatif yang diharapkan terwujud atau berhasil adalah yang mampu secara optimal mendorong berkembangnya mekanisme pasar dan peran serta masyarakat. Ukuran prinsip partisipatifnya yaitu
melibatkan
masyarakat (stakeholders) dalam proses perencanaan
sehingga akan memperoleh manfaat dari turut sertanya mereka mengambil keputusan. Untuk mendapat suatu rencana yang optimal maka
rencana
pembangunan partisipatif hasil proses politik perlu digabung dengan rencana pembangunan hasil proses teknokratik. Agar kedua proses ini dapat berjalan selaras, masing-masing perlu dituntun oleh satu visi jangka panjang dalam konteks pembangunan tata ruang kota berkelanjutan. 2.5.2. Medium Term Expenditure Framework Pada tahun 2006 pengelolaan keuangan daerah dalam kerangka desentralisasi telah mempunyai pondasi yang lengkap. Hal tersebut ditunjukkan oleh keberadaan oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004a tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004d tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Berdasarkan perundangundangan tersebut pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah sebagai sebuah omnibus
regulation
yang diharapkan mengakomodasi semua
ketentuan
peraturan perundangan yang sebelumnya tercerai berai menjadi satu peraturan yang generik. Pada tahun 2006 Departemen Dalam Negeri juga mengeluarkan Permendagri 13 Tahun 2006 yang memberikan pedoman secara teknis proses pengelolaan keuangan daerah dari hulu sampai hilir, mulai dari proses penyusunan anggaran, penatausahaan, akuntansi dan pelaporan. Diantara peraturan perundangan mengenai perencanaan daerah, yang cukup penting juga adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. Secara substansi, PP No. 8 tahun 2008 menegaskan bahwa prioritas program dan kegiatan pembangunan harus berorientasi pada: 1) pencapaian standar minimal pelayanan publik, 2) pemenuhan kebutuhan dasar
48
masyarakat, 3) pencapaian keadilan, dan 4) kesinambungan pembangunan di masa depan. Selain itu, PP ini juga menegaskan bahwa perencanaan pembangunan daerah harus mengintegrasikan perencanaan tata ruang dan kerangka
pengeluaran
jangka
menengah
(medium
term
expenditure
framework/MTEF). Dalam kontruksi peraturan
tersebut
terdapat
beberapa
tools
dan
pendekatan yang diperkenalkan untuk diimplementasikan oleh pemerintah daerah.
Pendekatan dalam pengelolaan keuangan tersebut antara lain
penggunaan performance based budget, MTEF (Medium Term Expenditure Framework) dan sistem akuntansi double entry. Pendekatan-pendekatan ini merupakan tantangan baru yang sebelumnya belum pernah diterapkan. Outcome yang diinginkan dari konstruksi beberapa peraturan diatas antara lain : •
Unifying the budget
•
Simpliflying the treasury function
•
Increasing financial management transparency
•
Linking planning and budgeting
Kerangka pengeluaran jangka menengah (KPJM) atau Medium Term Expenditure Framework (MTEF) merupakan konsep terbaik dalam pengelolaan keuangan publik (public expenditure management/PEM) saat ini, khususnya di negara berkembang yang memiliki kelemahan dalam manajemen keuangan publiknya. MTEF mengintegrasikan kebijakan ekonomi makro dan fiskal dalam beberapa tahun anggaran, dan menghubungkan antara kebijakan (policy), perencanaan (planning), dan penganggaran (budgeting) secara komprehensif. Menurut Solihin, (2010) Medium Term Expenditure Framework (MTEF) atau Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) adalah:
pendekatan
penganggaran berdasarkan kebijakan, dengan pengambilan keputusan terhadap kebijakan tersebut dilakukan dalam perspektif lebih dari satu tahun anggaran, dengan mempertimbangkan implikasi biaya keputusan yang bersangkutan pada tahun-tahun berikutnya yang dituangkan dalam prakiraan maju (forward estimate). Prakiraan maju adalah perhitungan dana yang dibutuhkan di tahun-tahun yang akan datang untuk mendukung program yang bersangkutan. Tujuan Penerapan KPJM adalah meningkatkan keseimbangan makro ekonomi dengan mengembangkan kerangka ketersediaan dana yang konsisten dan realistis;
49
Memperbaiki alokasi pendanaan sesuai dengan prioritas yang hendak dicapai; Meningkatkan kepastian alokasi dana untuk kebutuhan yang bersifat multiyears; MTEF memberikan kerangka yang menyeluruh yang memungkinkan fleksibilitas dalam penentuan kebijakan dan prioritas kebijakan, dan pada saat yang sama meyakinkan bahwa segala sesuatu yang dianggarkan berada dalam batas-batas sumber daya yang tersedia (pembatasan dengan keluwesan). Dengan MTEF, biaya di masa yang akan datang dari kebijakan yang diambil saat ini diketahui dengan tingkat kepastian yang tinggi. Dalam konteks ini masih dimungkinkan untuk memasukkan berbagai inisiatif kebijakan baru dalam anggaran tahunan, tetapi pada saat yang sama harus menghitung implikasi kebijakan baru tersebut dalam konteks keberlanjutan fiskal dalam jangka menengah (medium term fiscal sustainability). Manfaat KPJM adalah (1) berperan dalam memelihara kelanjutan fiskal (fiscal sustainability) dan meningkatkan disiplin fiskal, (2) meningkatkan keterkaitan antara proses perencanaan sumberdaya
dengan
proses
agar lebih
penganggaran,
rasional dan
(3)
strategis,
mengarahkan dan
alokasi
(4) meningkatkan
kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dengan pemberian pelayanan yang optimal. Alasan yang juga penting dengan pendekatan MTEF adalah bahwa penuangan rencana pembangunan dalam suatu dokumen perencanaan
lima
tahunan yang ditetapkan dengan undang-undang dirasakan tidak realistis dan semakin
tidak
pemerintahan
sesuai dalam
dengan era
dinamika
globalisasi.
kebutuhan
Perkembangan
penyelenggaraan dinamis
dalam
penyelenggaraan pemerintahan membutuhkan sistem perencanaan fiskal yang terdiri dari sistem penyusunan anggaran tahunan yang dilaksanakan sesuai dengan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah sebagaimana dilaksanakan di kebanyakan negara maju (Suminto, 2004). Berdasarkan hal ini, Undang undang No. 17 Tahun 2003 memperkenalkan dilaksanakannya MTEF. Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah merupakan kerangka pengeluaran jangka menengah meliputi
periode tiga sampai lima
tahun. Kerangka tersebut merupakan pendekatan atas-bawah (top-down approach), yaitu estimasi ketersediaan sumberdaya pengeluaran publik sesuai dengan kerangka ekonomi makro. Sementara itu, pendekatan bawah ke atas (bottom-up approach) yaitu biaya yang harus dikeluarkan dalam rangka
50
melaksanakan kebijakan, program, dan kegiatan, serta kerangka kerja yang merekonsiliasikan keseluruhan biaya dengan sumber daya yang tersedia sesuai dengan tujuan utamanya, yaitu untuk memastikan bahwa pemerintah mampu untuk melakukan prioritas-prioritas rekonstruksi dan pembangunan dalam konteks estimasi pengeluaran tiga tahunan yang konsisten dengan suatu kerangka makro ekonomi yang baik. Secara umum, tujuan MTEF adalah (Abdullah, 2010) : 1. Memperbaiki situasi fiskal secara makro, sehingga dapat menurunkan defisit anggaran, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan lebih rasional dalam menjaga stabilitas ekonomi. 2. Meningkatkan dampak kebijakan pemerintah dengan cara mengaitkan prioritsa
dan
kebijakan
pemerintah
dengan
program-program
yang
dilaksanakan. 3. Meningkatkan kinerja dan dampak program, salah satunya dengan cara mengubah kultur birokrasi dari administratif ke manajerial. 4. Menciptakan fleksibilitas manajerial dan inovasi sehingga tercapai rasio cost/output yang lebih rendah, peningkatan efektifitas program/kebijakan, dan meningkatkan prediktabilitas sumberdaya. World Bank (1998) menyebutkan enam tahapan dalam MTEF, yaitu : 1. Pembentukan kerangka ekonomi makro dan fiskal. Tahap ini dicirikan dengan pembentukan model ekonomi makro yang dapat memproyeksi pendapatan dan pengeluaran dalam jangka menengah (multi-years); 2. Pengembangan program-program sektoral, yang dilaksanakan dengan melakukan: (a) kesepakatan atas objectives, outputs, dan activities setiap sektor, (b) me-review dan mengembangkan program dan sub-program, dan (c) membuat estimasi kebutuhan biaya untuk masing-masing program. 3. Pengembangan kerangka pengeluaran sektoral, yakni dengan menganalisis trade-off yang terjadi antar-sektor dan dalam sektor sendiri dan membangun konsensus terkait dengan pengalokasian sumberdaya dalam jangka panjang. 4. Mendefinisikan
alokasi-alokasi
sumberdaya
sektoral
dengan
cara
menentukan budget ceilings sektor untuk jangka menengah (3-5 tahun). 5. Penyiapan anggaran sektoral berupa program-program sektoral yang bersifat jangka menengah didasarkan pada budget ceilings. 6. Pengesahan MTEF secara politik, yakni melalui pemaparan estimasi
51
anggaran ke kabinet dan parlemen untuk disahkan. Penggunaan pendekatan penganggaran berdasarkan kebijakan politik disepakati dalam perencanaan partisipatif. Kebijakan dibuat untuk memecahkan masalah atau memenuhi suatu kebutuhan yang teridentifikasi dan disepakati oleh
pelaksana
(eksekutif)
dan
lembaga
perwakilan
(legislatif).
Dalam
pengelolaan keuangan daerah di Indonesia, kebijakan ini disebut Kebijakan Umum APBD (KUA), yang dilengkapi dengan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS), dan harus disepakati dulu dalam bentuk penandatanganan Nota Kesepakatan antara kepala daerah dan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dalam persepktif lebih luas, klausul kebijakan tentang pelaksanaan suatu program/kegiatan yang melebihi satu tahun anggaran dicantumkan dalam Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Abdullah, 2010).
2.5.3. Peran Stakeholders dalam Pengendalian Pemanfaatan RTH Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang tata ruang, menyatakan bahwa penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan peran serta masyarakat. Peran serta masyarakat merupakan hal yang sangat penting dalam penataan ruang karena pada akhirnya hasil penataan ruang adalah untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat serta untuk tercapainya tujuan penataan ruang. Masyarakat sebagai mitra pemerintah dalam penataan ruang, menjalankan peranannya dan mendayagunakan kemampuannya secara aktif sebagai sarana untuk mencapai tujuan penataan ruang khususnya terkait kepentingan publik yakni RTH. Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 114 Tahun 1988 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan menyatakan bahwa penyediaan atau pengadaan tanah untuk keperluan Ruang Terbuka Hijau Kota dilaksanakan melalui tata cara penguasaan tanah baik perseorangan maupun Badan Hukum yang tanahnya dalam keadaan terlantar dan atau digunakan, dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan Ruang Terbuka Hijau Kota selain dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, juga menuntut peran serta swasta dan masyarakat. Peran partai politik (DPRD) menduduki posisi strategis dalam pengembangan visi lingkungan karena mitra kerja dalam pembahasan anggaran (APBD). Sebaik apa pun visi
52
lingkungan Kepala Daerah, tidak akan tercapai tanpa dukungan penganggaran bersama dalam pembangunan hijau. Dalam
Inmendagri
tersebut
juga
mewajibkan
Pemerintah
Daerah
menyediakan dana yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) serta mendorong dana dan swadaya ini untuk pembangunan Ruang Terbuka Hijau Kota. Pengelolaan RTH harus berbasis masyarakat, dengan diikutkan secara aktif diharapkan
pembangunan lingkungan akan
berhasil. Masyarakat dapat mendorong munculnya APBD Pro Lingkungan (APBD Hijau/Green budgeting). Anggaran biaya untuk lingkungan hidup dalam APBD ditingkatkan paling tidak menjadi 10 persen atau lebih, tidak hanya sekedar di bawah nilai 1 persen saja. Sebagai pembanding, alokasi biaya untuk lingkungan di Jerman adalah 6 persen, di Vietnam 5 persen (Sobirin, 2010)3. Perlu upaya mengeksplorasi berbagai sumber dana untuk pengelolaan lingkungan, antara lain disamping dari APBN dan APBD, juga dari Program Investasi Publik (Public Private Participatrion), User Charges, dana investasi lingkungan, model tarif, pajak dan retribusi. Sistem reward and punishment bisa pula sebagai upaya pemulihan lingkungan hidup. Prinsip tersebut seiring dengan Peraturan Pemerintah No 69 Tahun 1996 yang mengedepankan Pemerintah sebagai fasilitator dan masyarakat sebagai pelaku atau stakeholders utama pembangunan. Peraturan pemerintah tersebut mengatur tentang pelaksanaan hak dan kewajiban, serta bentuk dan tata cara peran serta masyarakat dalam penataan ruang termasuk tingkatan kewenangan hirarki Pemerintahan dari tingkat Nasional, tingkat Provinsi dan tingkat Kabupaten/Kota. Pembangunan kawasan perkotaan memerlukan keterpaduan, kesinambungan, dan kerja sama pembangunan perkotaan untuk menciptakan efisiensi, efektifitas, dan sinergitas dalam penyediaan pelayanan umum kepada masyarakat dan pelestarian ekosistem (Permendagri No.69 Tahun 2007 tentang Kerja Sama Pembangunan Perkotaan). Kerja sama pembangunan perkotaan adalah kesepakatan antar kepala daerah yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban
di dalam pelaksanaan pembangunan
perkotaan. 3
http://sobirin-xyz.blogspot.com/2007/07/masalah-anggaran-lingkunganjabar.html. [diakses 1 juni 2010]
53
Pemerintah Daerah mengendalikan seluruh kegiatan pembangunan Ruang Terbuka Hijau Kota dengan tidak memberikan ijin perubahan penggunaan Ruang Terbuka Hijau Kota untuk kepentingan/peruntukan lainnya. Pemerintah Daerah wajib melakukan pengendalian secara ketat tentang pemberian dan pencabutan ijin pembangunan Ruang Terbuka Hijau Kota (Inmendagri No 14 tahun 1988). Diharapkan peran masyarakat untuk melakukan pengawasan pembangunan yang lebih intensif sehingga deviasi tata ruang dan marjinalisasi RTH Kota dapat dikendalikan sejak awal. RTRW menjadi instrumen penting untuk membela kepentingan masyarakat kota yang terpinggirkan oleh pembangunan yang kurang menghitungkan ruang fisik / lahan yang tersedia tanpa memahami lebih jauh kepentingan manusia yang menempati ruang-ruang di perkotaan khususnya RTH. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan masyarakat dalam kebijakan berbasis sosial yaitu : 1) skala ekonomi dari alokasi anggaran, urusan atau program yang dianggarkan harus memiliki cukup pengaruhnya terhadap seluruh kegiatan ekonomi; 2) ruang lingkup ekonomi dari kegiatan yang dibiayai oleh anggaran publik; 3) untung rugi secara sosial mempertimbangkan dampak jangka panjang; 4) keuntungan harus berpihak pada bagian terbesar masyarakat yang terpinggirkan atau yang tidak berdaya dalam persaingan pasar yang bebas; 5) acuan konsumen merupakan dasar pertimbangan dalam menyusun belanja bagi kegiatan pemerintah.
2.6. Pendekatan Sistem Sistem analisis mempelajari keterkaitan fenomena suatu obyek secara utuh dan holistik. Sistem sendiri diartikan sebagai suatu gugus dari suatu elemen yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan bersama secara holistik. Interaksi sistem merupakan suatu proses yang teratur dengan lingkungannya melalui komponen masukan (input) dan keluaran (output) dari sistem tersebut. Sistem adalah suatu perangkat komponen yang saling berhubungan atau berkaitan yang diorganisir untuk mencapai satu tujuan (Manetch dan Park, 1977). Pendapat yang sama makna sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan (Eriyatno, 1999). Dalam konteks tugas pokok dan fungsi unit kerja, sistem adalah kumpulan interaksi atau aturan main atau keterkaitan antara
54
satu departemen atau lembaga dengan lembaga lain termasuk sub lembaga lainnya (Hartisari, 2007). Pendekatan sistem adalah salah satu cara penyelesaian masalah yang dimulai dengan mendefinisikan atau merumuskan tujuan dan hasilnya adalah sistem operasi yang secara efektif dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan (Eriyatno, 1999). Persoalan yang sebaiknya menggunakan pendekatan sistem adalah; a) kompleks dimana interaksi antara elemen cukup rumit, b) dinamis dimana faktornya ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan kemasa depan, c) probalistik yaitu diperlukan fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi (Eriyatno, 1999). Disamping itu ada tiga pola pikir dasar dalam pendekatan sistem yaitu (1) sibernetik, yaitu orientasi pada tujuan yang diperoleh melalui analisis kebutuhan, (2) holistik, yaitu cara pandang yang utuh terhadap totalitas sistem dan (3) efektif, yaitu hasil guna dapat dilaksanakan bukan sekedar pendalaman teoritis. Pendekatan sistem, dapat dimaknai sebagai proses mental untuk menyelesaikan persoalan suatu sistem sehingga dapat menghasilkan suatu tindakan
efektif. Metode pendekatan sistem untuk menyelesaikan persoalan
tersebut, melalui tahapan proses yaitu : 1) analisis sistem, 2) rekayasa model, 3) rancangan implementasi sistem, dan, 5) operasi sistem. Pengembangan dari sistem berpikir dan pemodelan dipengaruhi oleh 5 tahapan utama (Maani dan Cavana, 2000), sebagaimana disajikan pada Gambar 7 yaitu: 1. Menstrukturisasi masalah (Problem Structuring) 2. Pemodelan Causal loop (Causal loop Modelling) 3. Pemodelan Dinamik (Dynamic Modelling) 4. Skenario Perencanaan dan Pemodelan (Scenario Planning and Modelling) 5. Belajar mengorganisasikan dan mengimplementasikan (Implementation and Organisational Learning)
Scenario Planning Problem Structuring
Causal Loop Modelling
Dynamic Modelling
and Modelling Implementation & Org. Learning
Gambar 7 Tahapan pemodelan pendekatan sistem
55
2.6.1. Sistem Dinamik Sistem dinamik adalah salah satu teknik Hard System Methodology (HSM) yang dapat digunakan dalam rancang bangun sistem (Eriyatno dan Sofyar, 2007). Salah satu alat yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks melalui pendekatan sistem adalah menggunakan konsep model simulasi sistem dinamis.
Berdasarkan hal tersebut, maka model simulasi
diharapkan dapat memberikan penyelesaian dunia riil yang kompleks (Eriyatno, 1999). Dalam menyusun model sistem dinamis, diawali dengan menentukan struktur model.
Struktur model memberi bentuk pada sistem dan akan
mempengaruhi perilaku sistem. Perilaku sistem dibentuk dari kombinasi perilaku simpal umpan balik (causal loops) yang menyusun struktur model. Selanjutnya disederhanakan menjadi struktur dasar yaitu mekanisme dari masukan, proses, dan keluaran. Pembuatan model sistem dinamik mengasumsikan bahwa perilaku sistem terutama ditentukan oleh mekanisme feedback. Feedback loops, pada dasarnya di dalam sistem ada dua, yakni pertama umpan balik positif yang menunjukan naik/turunnya akibat dengan sebab-akibat searah. Kedua umpan balik negatif yakni naik/turunnya penyebab mengakibatkan pengaruh sebaliknya yaitu menurunkan atau menaikkan akibat (Muhammadi, et al., 2001). Oleh sebab itu, setelah mendefinisikan batas sistem, deskripsi feedback loops merupakan langkah berikutnya dalam proses pemodelan.
2.6.2. Jenis-Jenis Model Umumnya model dikategorikan berdasarkan skala waktu dan tingkat kompleksitas dari aspek ketidakpastian. Model disebut statis, jika model tidak mempertimbangkan
aspek
waktu
dan
sebaliknya
bila
aspek
waktu
(intertemporal) dipertimbangkan disebut model dinamik. Jenis-jenis model disajikan pada Gambar 8.
56
Model
Tingkat Kepastian
Skala Waktu (time scala)
N
Y
Dimasuk kan? N
Statik
Dipetim bangkan Y
Statik Deterministik
Dinamik
Dinamik Deterministik
Stochastic
Dinamik Stochastic
Sederhana
Gambar 8 Jenis-jenis model Apabila model dibangun mempertimbangkan aspek ketidakpastian yang lebih menggambarkan realitas dunia nyata, disebut model deterministik. Jika ketidakpastian dimaksudkan ke dalam model, maka disebut model yang bersifat stokastik. Interaksi antara skala waktu dan ketidakpastian akan menghasilkan model yang lebih kompleks lagi, seperti model yang dinamis-stokastik (Fauzi dan Anna, 2005). Pada Gambar 9, arah panah dari kiri ke kanan menggambarkan derajat kompleksitas model. Hal ini menunjukkan bahwa semakin jauh panah bergerak ke kanan, semakin rumit model yang dibangun. Berdasarkan perilakunya, memperlihatkan bahwa unjuk kerja (level) dari model sistem dinamis, berkerja menurut perubahan waktu atau bersifat dinamis.
2.6.3. Pengertian Model dan Pemodelan Model tidak lain adalah representasi suatu realitas atau jembatan antara dunia nyata (real world) dengan dunia berpikir (thinking) untuk memecahkan suatu masalah. Proses penjabaran ini disebut modelling atau pemodelan yang tidak lain merupakan proses berpikir melalui sekuen yang logis (Fauzi dan Anna, 2005).
57
Model dibangun atas proses berpikir dari dunia nyata yang kemudian diinterprestasikan melalui proses berpikir, sehingga menghasilkan pemahaman mengenai dunia nyata.
Pemodelan dirancang bukan untuk memecahkan
masalah sekali untuk selamanya (once and for all) atau memecahkan semua masalah, sehingga dalam pemodelan, penting untuk merevisi dan meng-upgrade strategi. Dalam proses interprestasi dunia nyata tersebut ke dalam dunia model, berbagai proses transformasi atau bentuk model bisa dilakukan.
Ada model
yang lebih mengembangkan interprestasi verbal (seperti bahasa), ada yang diterjemahkan kedalam bahasa simbolik, seperti bahasa matematika, sehingga menghasilkan model kuantitatif.
2.6.4. Proses Pemodelan 1) Pembuatan Konsep Tahap pertama adalah mengenali permasalahan, mencari siapa yang menanganinya, dan mengapa masalah tersebut terjadi. Pada tahap ini suatu kejadian dipelajari sehingga mendapatkan suatu pola. Setelah mendapatkan suatu pola maka
dapat merumuskan suatu permasalahan. Pola tersebut
dinamakan mental model (Muhammadi, et al., 2001). Setelah memahami permasalahan, maka mental model yang dihasilkan dijabarkan dalam sebuah model diagram yang disebut dengan diagram simpal kausal atau causal loop diagram (CLD). CLD adalah pengungkapan tentang kejadian hubungan sebabakibat ke dalam bahasa gambar tertentu.
Panah yang menggambarkan
hubungan, saling mengait sehingga membentuk sebuah causal loop, dimana hulu panah mengungkapkan sebab dan ujung panah mengungkapkan akibat (Muhammadi, et al., 2001). Ketika sebuah kelompok variabel sudah terkait dalam sebuah jalur koneksi, maka sebuah loop terbentuk. Sebuah loop tidak selalu berbentuk diagram lingkar, tetapi harus berbentuk jalur tertutup dari variabel awal hingga kembali pada variabel tersebut. Secara teori, setiap variabel dapat menjadi variabel awal. Bagaimanapun, kuncinya adalah tergantung pada kondisi-kondisi yang membuat varibel tersebut terbaik untuk variabel awal (Maani dan Cavana, 2000). Hubungan kausalitas yang digambarkan dalam sebuah model adalah fakta dari interpretasi dunia nyata. Bagi pemodel baru pekerjaan ini merupakan tahapan yang rumit karena keterbatasan dalam menterjemaahkan dunia nyata
58
yang saling berinteraksi ke dalam model yang disederhanakan. Bisa terjadi pemodel ini gagal membuat disain, bila sudah diuji validitas dari model tersebut. Tahapan simulasi model sebagai alat bantu dalam analisis kebijakan dapat dilihat pada Gambar 9. Masalah Tidak Valid
Pembuatan Konsep
Valid Validasi
Diagram Simpal Kausal
Uji Sensitivitas Analisis Kebijakan
Grafik/Tabel
Pembuatan Model
Uji Simulasi
Model
Data
Gambar 9 Tahap-tahap pembuatan simulasi model 2) Pembuatan Model Setelah CLD terbentuk, kemudian dibangun sebuah model komputer yang disebut dengan diagram alir atau stock flow diagram (SFD). Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini adalah Powersim 2.5. CLD diterjemahkan dengan menggunakan simbol-simbol komputer yang menggambarkan stock (level), flow (rate), auxiliary, dan konstanta (Muhammadi, et al., 2001). 3) Memasukkan Data Ke dalam Model (Input Data) Data yang diperoleh dari observasi lapangan (baik data primer maupun data sekunder) diinput ke dalam SFD. Metode memasukkan data ke dalam model sangat bergantung pada jenis data dan sebagai unsur apa data tersebut dimasukkan. Data dapat dimasukkan ke dalam model sebagai stock, sebagai flow, sebagai auxiliary, dan dapat pula sebagai konstanta (Muhammadi, et al., 2001). 4) Simulasi Model Simulasi model dapat dijalankan setelah tahapan SFD saling berinteraksi. Sebelum simulasi dilakukan terlebih dahulu ditentukan spesifikasi simulasi yang meliputi kurun waktu simulasi (time range), metode integrasi (integration
59
method), dan tahapan waktu (time step). Keluaran hasil simulasi dapat berupa grafik waktu (time graph) atau tabel waktu (time table) (Muhammadi, et al., 2001). 5) Validasi Model Validasi model adalah kegiatan membandingkan hasil simulasi dengan data empirik, sehingga model ini dapat dinyatakan sebagai model yang valid dan dapat digunakan untuk menirukan keadaan dunia nyata. Validasi utama yang dilakukan adalah uji konsistensi dimensi dan validasi output dengan menggunakan metode statistik sederhana yaitu menghitung AME (absolute mean error) atau AVE (absolute variation error) antara data hasil simulasi dengan data empirik (Muhammadi, et al., 2001). 6) Uji Sensitivitas untuk Intervensi Model dan Analisis Kebijakan Kebijakan adalah suatu upaya atau tindakan untuk mempengaruhi sistem mencapai tujuan yang diinginkan. Sebelum menentukan kebijakan yang akan diambil, maka berdasarkan model yang telah dinyatakan valid ditentukan variabel yang memiliki sensitivitas tinggi, dengan melakukan uji sensitivitas. Tujuan
uji
(leverage
sensitivitas point)
yang
adalah
untuk
digunakan
mendapatkan
sebagai
titik
titik
intervensi
pengungkit kebijakan.
Penentuan kebijakan yang optimal dapat ditempuh melalui intervensi ini (Muhammadi, et al., 2001).
2.7. Proses Hirarki Analisis Proses Hirarki Analisis (PHA) atau Analytic Hierarchy Process (AHP) pada dasarnya didesain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu melalui prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu skala preferensi diantara berbagai alternatif. AHP juga banyak digunakan pada keputusan untuk banyak kriteria, dan penentuan prioritas dari strategi-strategi yang dimiliki pemain dalam situasi konflik. Pendekatan AHP menggunakan skala banding berpasangan 1993). Skala banding berpasangan tersebut disajikan pada Tabel 4.
(Saaty,
60
Tabel 4 Skala banding secara berpasangan Intensitas Pentingnya
Definisi
Penjelasan
1
Kedua elemen sama pentingnya
Sumbang peran dua elemen sama besar pada sifat tersebut (dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap tujuan)
3
Elemen satu sedikit lebih penting daripada yang lainnya
Pengalaman dan pertimbangan sedikit menyokong satu elemen atas yang lain
5
Elemen satu lebih penting dibanding yang lain
Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat mendukung satu elemen atas yang lain
7
Elemen satu jelas lebih penting dari elemen yang lain
Satu elemen dengan kuat dominansinya telah terlihat dlm praktek
9
Elemen satu mutlak lebih penting dari elemen yang lain
Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan
2,4,6,8
Nilai-nilai diantara dua pertimbangan yang berdekatan
Nilai ini diberikan bila ada kompromi di antara dua pilihan
Kebalikan
Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i.
dua
Sumber: Saaty (1993) Tahapan dalam melakukan analisis data AHP (Saaty, 1993) adalah sebagai berikut : 1) Identifikasi sistem, yaitu mengidentifikasi permasalahan dan solusi yang diinginkan. Dilanjutkan dengan membuat struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum, sub tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan kriteria paling bawah. 2) Perbandingan berpasangan, menggambarkan pengaruh relatif setiap elemen terhadap masing-masing tujuan atau kriteria yang setingkat diatasnya. Teknik yang digunakan berdasarkan judgement atau pendapat dari para responden yang dianggap sebagai expert (stakeholder). Mereka dapat terdiri atas: 1) pengambil keputusan; 2) para pakar; serta 3) orang yang terlibat dan memahami permasalahan yang dihadapi. 3) Matriks pendapat individu, yaitu kuantifikasi pendapat dari hasil perbandingan berpasangan membentuk matriks
n x n. Nilai a ij merupakan nilai matriks
pendapat hasil perbandingan yang mencerminkan nilai kepentingan C i terhadap C j . 4) Matriks pendapat gabungan, merupakan matriks yang berasal dari rata-rata geometrik elemen matriks pendapat individu yang nilai rasio inkonsistensinya
61
memenuhi syarat. Nilai pengukuran konsistensi yang diperlukan untuk menghitung konsistensi jawaban responden. 5) Penentuan prioritas pengaruh setiap elemen pada tingkat hirarki keputusan tertentu terhadap sasaran utama. Revisi pendapat, dapat dilakukan apabila nilai rasio inkonsistensi pendapat cukup tinggi (> 0,1). Beberapa ahli berpendapat jika jumlah revisi terlalu besar, sebaiknya responden tersebut dihilangkan. Jadi penggunaan revisi ini sangat terbatas
mengingat
akan
terjadinya
penyimpangan
dari jawaban
yang
sebenarnya. Dengan AHP, proses keputusan kompleks dapat diuraikan menjadi keputusan-keputusan lebih kecil yang dapat ditangani dengan mudah. Selain itu, AHP juga menguji konsistensi penilaian, bila terjadi penyimpangan yang terlalu jauh dari nilai konsistensi sempurna, maka hal ini menunjukkan bahwa penilaian perlu diperbaiki, atau hierarki harus distruktur ulang (Marimin, 2004). Penilaian kriteria dan alternatif dinilai melalui perbandingan berpasangan, untuk berbagai persoalan, skala 1 sampai 9 adalah skala terbaik dalam mengekspresikan pendapat (Saaty, 1993). Nilai perbandingan
A dengan B
adalah 1 (satu) dibagi dengan nilai perbandingan B dengan A. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Skala perbandingan dalam mengekspresikan pendapat Nilai
Keterangan
1
Kriteria/ Alternatif A sama penting dengan kriteria/ alternatif B
3
A sedikit lebih penting dari B
5
A jelas lebih penting dari B
7
A sangat jelas lebih penting dari B
9
A mutlak lebih penting dari B
2,4,6,8
Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan
Sumber : Saaty (1993) Nilai-nilai perbandingan tersebut kemudian diolah untuk menentukan peringkat dari seluruh alternatif. AHP merupakan analisis yang digunakan dalam pengambilan keputusan dengan pendekatan sistem. Penyelesaian dengan AHP memiliki beberapa prinsip dasar yang perlu dipahami antara lain: 1) Dekomposisi, yaitu : memecah persoalan yang utuh menjadi unsurunsurnya sehingga didapatkan beberapa tingkatan persoalan. 2) Comparative Judgement, yaitu membuat penilaian tentang kepentingan
62
relatif diantara dua elemen pada suatu tingkatan tertentu dalam kaitannya dengan tingkatan diatasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP, karena akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen yang disajikan dalam bentuk matriks Pairwise Comparison. 3) Synthesis of Priority, yaitu melakukan sintesis prioritas dari setiap matriks pairwise comparison “vektor eigen” (ciri) - nya untuk mendapatkan prioritas lokal. Matriks pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, oleh karena itu untuk melakukan prioritas global harus dilakukan sintesis diantara prioritas lokal. 4) Logical Consistency, dapat memiliki dua makna, yaitu 1) obyek-obyek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai keseragaman dan relevansinya; dan 2) tingkat hubungan antara obyek-obyek yang didasarkan pada kriteria tertentu.
2.8. Tinjauan Studi-Studi Terdahulu Tentang Kajian Lahan dan RTH Batasan RTH pada kawasan perkotaan menjadi persoalan yang perlu disikapi secara arif dengan lahirnya Permendagri No.69 Tahun 2007 tentang Kerja Sama Pembangunan Perkotaan. Pendefinisian kawasan perkotaan dalam Permendagri tersebut adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Batasan dalam peraturan ini
secara tegas
memarjinalisasi lahan pertanian bahkan kecenderungan untuk dihilangkan pada wilayah kawasan perkotaan. Subtansi kajian tentang RTH dimaknai sebagai hamparan lahan RTH termasuk lahan pertanian di kawasan perkotaan sebagai penyangga ekosistem kawasan perkotaan atau dikenal dengan urban green open space (UGOS). Polemik pendefinisian kawasan perkotaan yang cenderung menghilangkan lahan pertanian produktif di kota bertentangan dengan amanat lahirnya UU No. 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Dalam hal di wilayah kota terdapat lahan pertanian pangan, lahan tersebut dapat ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk dilindungi (Pasal 8). Berikut pada Tabel 6 disajikan review Jurnal kajian penggunaan lahan dan RTH.
63
Tabel 6 Rangkuman hasil penelitian terdahulu (review jurnal). No
Nama Peneliti
Tujuan Penelitian
Metode
Hasil
1
Achsan (2009)
Menyusun struktur model penataan RTH Kota Bogor berdasarkan aspek biofisik, sosial dan ekonomi dengan menggunakan pendekatan sistem dinamik.
1.Metode analisis menggunakan pendekatan sistem dinamik
1.Hasil simulasi pada skenario progresif menunjukkan pada akhir tahun simulasi luas ruang terbuka hijau di Kota Bogor sebesar 2.548 ha (21,50%) dari total luas kota, pada skenario konservatif sebesar 3.504 ha (29,57%) sedangkan pada skenario berkelanjutan sebesar 5.994 ha (50,58%).
Darla. et al. (2002)
Membandingkan tipe penutupan lahan pada peta penutupan lahan hasil remote sensing dengan luasan ekologi dari metode survey lapangan
1. Survey lapang 1. Terdapat tekanan pada faktor 2. Survey Satelit yang pokok yang diobservasi 3. Analisis data perbedaan antara dua set dengan overlay peta data peta survey lapang dengan 2. Aplikasi yang potensial dari peta penutupan lahan yang peta diinvestigasi penutupan lahan dari satelit
Effendi (2007)
1.Menentukan bentuk hubungan RTH dan suhu udara menggunakan data landsat.
1.Analisis bentuk hubungan RTH dan suhu udara. 2.Analisis kontribusi RTH, kepadatan pddk, RTB dan jumlah kendaraan terhadap UHI. 3. Analisis dampak UHI terhadap THI dan neraca energi.
1.Penentuan bentuk RTH dan suhu menghasilkan persamaan nonlinier. 2.Peubah yang berkontribusi terhadap UHI didominasi oleh pengurangan RTH untuk Tangerang dan Bekasi. 3.Dampak UHI terhadap THI berupa persamaan nonlinier dengan pola berbanding lurus Dampak UHI terhadap neraca energi permukaan berupa persamaan linier. 1. Dinamika permukiman pada semua tingkat bahaya longsor di Kota Padang adalah tipe linear positif 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan tutupan lahan menjadi lahan pemukiman di lokasi penelitian cukup beragam dan bervariasi pada setiap tutupan lahan : penduduk, sewa, garap, air. 1.Kabupaten bekasi telah mengalami perubahan struktur penggunaan lahan permukiman dan sawah. 2.Pola lahan sawah nyata dipengaruhi oleh kendala jarak, tetapi tidak nyata dipengaruhi oleh kepadatan penduduk. 3. Lahan sawah hanya akan bertambah pada unit analisis yang berada jauh dari CBD .
2
3
2.Mengkaji kontribusi RTH, kepadatan populasi, RTB dan kepadatan kendaraan terhadap UHI. Mengkaji dampak UHI terhadap THI dan neraca energi.
4
Hermon (2009)
1. Mengetahui dinamika permukiman pada kawasan rawan longsor 2..Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan tutupan lahan menjadi lahan permukiman
1. Analisis GIS model tingkat kesesuaian lahan untuk permukiman 2. Analisis multiple regression metode dengan forward stepwise regression
5
Nurhasanah (2004)
1.Menelaah perubahan struktur .penggunaan lahan. 2.Menganalisis pola spasial penggunaan lahan. 3.Menelaah dinamika pola spasial penggunaan lahan.
Menghitung luas penggunaan dengan lahan menggunakan planimeter dan cara grid
6.
Zulkarnain (2006)
1. Mengidentifikasi prioritas fungsi RTH berdasarkan preferensi masyarakat
Analisis spasial dengan GIS terhadap pemanfaatan lahan kawasan non RTH dan RTH
2. Menganalisis jenis RTH sesuai karakter lanskap Kota Pontianak
Preferensi pengembangan RTH meliputi pertimbangan ekologi, ekonomi, sosial dan budaya. Hasil analisis terhadap jenis RTH secara berturut-turut jalur hijau kota merupakan urutan pertama, taman kota urutan kedua dan lapangan olah raga pada urutan ketiga.
64
Hasil penelitian terdahulu di atas menyoroti persoalan dampak yang disebabkan perubahan penggunaan lahan khususnya ketersediaan RTH. Tujuan penelitian ini yang membedakan adalah model kebijakan pengalokasian RTH melalui pendekatan strategi penganggaran daerah berbasis lingkungan (green budgeting RTH) terhadap kualitas lingkungan kawasan perkotaan. Kebijakan pengalokasian RTH dalam obyek penelitian ini adalah lahan RTH termasuk potensi lahan pertanian di kawasan perkotaan.