II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SISTEM IRIGASI KENDI Sistem Irigasi Kendi merupakan salah satu bentuk pemberian air pada tanaman melalui zona perakaran tanaman. Irigasi kendi ini dapat menghemat penggunaan air dengan cara mengatur melalui sifat porositas kendi. Secara operasional, kendi ditanam di bawah tanah dekat dengan zona perakaran tanaman. Jumlah kendi yang ditanam tergantung pada jenis tanaman, kebutuhan air tanaman, suplai air serta porositas tanah dan kendi. Sistem irigasi ini dapat menghemat pemakaian air untuk tanaman di daerah kering dari hasil penelitian menunjukkan distribusi kelembaban tanah dan profil kelembaban tanah selama irigasi dimana jarak horizontal pembasahan mencapai 20 cm dari dinding kendi dan 60 cm secara vertikal setelah terjadi kondisi seimbang. Sehingga mencapai kondisi setimbang dibutuhkan waktu 24 jam setelah irigasi. Sistem irigasi kendi (pitcher irrigation), telah banyak dikembangkan sebagai upaya meningkatkan effisiensi penggunaan air irigasi. Penggunaan sistem irigasi kendi antara lain sudah dilakukan pada tanaman melon di India (Mondal, 1974), irigasi di Pakistan (Soomoro, 2002) dan irigasi kendi untuk tanaman hortikultura lahan kering di Indonesia (Setiawan, et al, 1998; Saleh dan Setiawan, 2002; Setiawan, 2000).
Gambar 1. Kendi yang digunakan dalam sistem irigasi kendi di Indonesia (Setiawan 1997) Mekanisme pengisian air ke dalam kendi dengan memasukkan air yang berasal dari air hujan atau sumber air lainnya melalui selang air. Pada waktu musim kering dimana ketersediaan air di dalam tanah berkurang, maka air dalam kendi akan mengalir ke luar melalui pori-pori kendi sesuai dengan prinsip hukum keseimbangan tekanan air di dalam tanah. Sistem irigasi kendi ini
3
dikembangkan oleh Jurusan Teknik Pertanian IPB dan telah diuji coba di beberapa lokasi untuk tanaman tomat, cabe dan tanaman hortikultular lainnya. Irigasi kendi di Indonesia sudah dikembangkan sejak tahun 1996. Penelitian irigasi kendi ini dengan membenamkan kendi dalam tanah pasir berlempung untuk melihat rembesannya. Kendi yang digunakan mempunyai konduktivitas hidrolik jenuh K kendi 3.935x10-10 cm/detik dan hasil rembesan pada saat awal irigasi 1.25 L /hari dan menurun hingga menjadi konstan antara 0.5-0.6 L/ hari. Sedangkan penelitiaan irigasi kendi oleh Budi Indra Setiawan (1996) dengan simulasi distribusi kelembaban tanah menggunakan kelembaban numerik metode beda hingga. Hasilnya menunjukkan bahwa distribusi kelembaban tanah ke arah radial dan vertikal berkolerelasi positip dengan K kendi apabila K kendi dilakukan dirumah tanaman dengan mengamati laju pembasahan tanah disekitar kendi. Distribusi kelembaban tanah hasil simulasi dan percobaannya penelitiaan dibatasi pada kajian distribusi dan profil kelembaban tanah. Kandungan air tanah dinyatakan sebagai kelembaban tanah dalam bentuk hisapan (h). Model simulasi gerakan air dalam dinding kendi dan tanah dianalisis dengan pendekatan sistem koordinat silender dan simetris putar. Metode numerik elemen hingga digunakan untuk solusi dari model simulasi yang tujuannya untuk mendapatkan distribusi kelembaban tanah dan profilnya untuk menentukan zone penanamn tanaman. Osmosis adalah peristiwa perpindahan molekul-molekul zat dari larutan berkonsentrasi rendah ke larutan berkonsentrasi tinggi melalui suatu membran semipermeabel tanpa menggunakan energi (transpor pasif). Sedangkan Difusi adalah peristiwa perpindahan molekul-molekul suatu zat dari larutan berkonsentrasi tinggi ke larutan berkonsentrasi rendah tanpa menggunakan energi (transporpasif).
2.2 PENGUJIAN KENDI 2.2.1 Karakteristik Kendi Terhadap Transpor Larutan Pada irigasi kendi terdapat dua media porus yang menjadi aliran air atau larutan, yakni dinding kendi dan tanah. Keadaan pori-pori dinding kendi dan tanah sebenarnya tidak seragam dan bahkan tidak beraturan, hal tersebut menyebabkan aliran air dari titik ke titik juga tidak beraturan. Oleh sebab itu sesungguhnya geometri dan pola aliran nya sangat sulit untuk dijelaskan secara rinci. Aliran air pada sistem irigasi kendi dipengaruhi oleh konduktivitas hidrolika kendi, konduktivitas hidrolika tanah, luas permukaan dinding kendi, tekanan hidrostatik dan hisapan tanah. Dalam kaitannya dengan transpor larutan pada sistem vertigasi kendi, karakteristik kendi dan tanah laiinnya yang penting adalah koefisien difusi larutan melalui dinding kendi dan koefisien dispersi hidrodinamika larutan dalam tanah. Setelah kendi digunakan untuk fertigasi ada kemungkinan dinding kendi mengalami penyumbatan. Pengukuran konduktivitas hidrolika dinding kendi sebelum dan sesudah kendi digunakan untuk sistem fertigasi dapat digunakan sebagai tolal ukur untuk mengevaluasi apakah terjadi penyumbatan pori-pori dinding kendi oleh penggunaan larutan pupuk.
4
2.2.2
Konduktivitas Hidrolika Kendi
Konduktivitas hidrolika tanah adalah sifat yang mengatakan kemampuan tanah untuk melewatkan air atau sering disebut sebagai permeabilitas tanah (Syarief, 1989). Konduktivitas hidrolika jenuh tanah-tanah pertanian di Amerika (US Soil Survey) berkisar antara < 0.13 cm/jam sampai dengan > 25.40 cm/jam (Syarief, 1989). Pengukuran konduktivitas hidrolika kendi telah dilakukan oleh Stein (1994) dengan hasil pengukuran mempunyai konduktivitas hidrolika kendi berkisar antara 6.94x10-9 sampai 6.17x10-6 cm/dtk. Percobaan irigasi kendi di Indonesia oleh Setiawan dan Saleh (1997) menggunakan kendi yang dibuat dari campuran bahan tanah liat, pasir dan serbuk gergaji. Hasil pengukuran konduktivitas hidrolika kendi berkisar antara 7.88x10-8 s.d. 8.78x10-6 cm/dtk. Kendi dengan berbagai campuran bahan pembuat dan nilai konduktivitas hidrolika kendi yang diperoleh disajikan dalam tabel berikut,
5
Tabel. 1 Komposisi bahan campuran kendi dan konduktivitas hidrolika kendi Komposisi bahan campuran No
Liat
Pasir
Serbuk gergaji
K kendi (cm/det)
1
100
0
0
7.8 x 10-8
2
95
2.5
2.5
8.64 x 10-8
3
90
5
5
1.14 x 10-7
4
85
7.5
7.5
7.43 x 10-7
5
80
10
10
1.94 x 10-7
6
75
12.5
12.5
2.10 x 10-6
7
70
15
15
2.28 x 10-6
8
65
17.5
17.5
3.73 x 10-6
9
60
20
20
6.28 x 10-6
10
55
22.5
22.5
8.78 x 10-6
Sumber : Setiawan dan Saleh, 1997 Dari tabel. 1 terlihat bahwa penambahan bahan pasir dan serbuk gergaji dapat meningkatkan porositas kendi. Penambahan pasir maupun serbuk gergaji masing-masing dapat dilakukan maksimum sampai dengan 22,5 % dari bahan pembuatan kendi. Konduktifitas kendi didapatkan dengan perhitungan seperti dibawah ini : Kkendi =
𝐐 𝐱 𝚫𝐱 𝐀 𝐱 ∆𝐡
(1)
Ket : K Q ∆x A ∆h
= nilai konduktivitas (cm/detik) = debit terukur (cm3) = tebal kendi rata-rata (cm) = luas permukaan terselubung kendi luar (cm2) = beda tinggi permukaan air (cm)
6
2.3 LUMPUR LAPINDO Semburan lumpur panas Lapindo sejak Mei 2006 sampai saat ini belum juga berhenti, hingga sekarang volume yang dikeluarkan mencapai 50.000 m3/hari dan luas genangan mencapai 110,84 ha. Lumpur hasil eksplorasi ini merupakan salah satu jenis material lempung yang memiliki kandungan kadar oksida SiO2 dan Al2O3 yang tinggi, selain itu terdapat kandungan logam berat Hg (raksa), ditemukan hasil 2,5 ppm senyawa phenol, kadmium (Cd), kromium (Cr), timbal (Pb), serta bakteri patogen Coliform, Salmonella, dan Stapylococcus yang dinyatakan dalam pemeriksaan oleh Pekerjaan Umum Jawa Timur.
Gambar 2. Luapan lumpur Lapindo Sidoarjo \ Kandungan lumpur yang menyembur di kawasan Porong-Sidoarjo itu juga sudah di atas ambang batas. Ir. Lily Pudjiastutik,MT mengatakan bahwa hasil dari laboratorium ITS menyimpulkan, nilai BOD dan COD serta kandungan minyak dan lemak dalam lumpur dan cairan lumpur di lokasi cukup tinggi, sehingga dapat menggangu ekologi perairan jika langsung dibuang ke perairan tanpa diolah, sementara untuk formasi padatan, relatif tidak toksik. Meski demikian tidak boleh masuk saluran irigasi, karena recovery-nya sulit dan lama. Selain itu, tingkat hidrokarbon di udaranya telah mencapai 55.000 ppm, dari ambang batas normal yang hanya 0,24 ppm. Artinya, terjadi peningkatan hingga lebih 220 ribu kali lipat. Data ini berdasarkan surat rekomendasi Gubernur Jawa Timur tanggal 24 Maret 2008. Kandungan hidrokarbon yang sedemikian tinggi dapat mengakibatkan sesak nafas pada manusia. Pada kandungan 1000 ppm saja, paling lama 8 jam waktu yang aman bagi manusia terpapar gas ini. Berdasarkan penelitian WALHI Jawa Timur,didalam air dan lumpur Lapindo ditemukan jenis PAH (Polycyclic Aromatic Hydrocarbon) yang diteliti, yakni Crysene dan Benzanthracene. Senyawa kimia ini bersifat karsinogenik atau memicu terjadinya penyakit kanker dan mudah mempengaruhi metabolisme tubuh. Senyawa PAH ini sulit terurai di air, lumpur, maupun ketika menjadi debu, namun mudah terurai di udara. Batas waktu yang diperkenankan terpapar senyawa PAH ini hanya 4 jam saja.
7
2.4 TANAMAN LADA PERDU Lada perdu merupakan tanaman yang diperbanyak secara vegetatif dari cabang buah (cabang primer, sekunder) dari tanaman lada sehingga tumbuh mendatar berbentuk perdu. Pengambilan stek pada kondisi yang cocok untuk akumulasi fotosintat akan menghasilkan stek dengan perakaran yang baik. Hasil penelitian Syakir et al. (1994) menun-jukkan bahwa pengambilan stek antara pukul 11.00-12.00 merupakan waktu yang paling baik untuk pertumbuhan akar dan tunas stek lada perdu mengingat pada saat kandungan karbohidrat tanaman paling tinggi. Bahan tanaman yang dipilih tersebut sebaiknya tidak terlalu tua. Dimana stek cabang buah dianjurkan untuk diperbanyak dengan 2-4 daun serta pemberian perlakuan awal agar laju pertumbuhan akar, tunas dan lama waktu dipembibitan lebih cepat. Tanaman lada memiliki struktur akar yang dangkal dengan perakaran 63,8% ter-konsentrasi pada kedalaman 0-50 cm dari permukaan tanah (Ippor et al., 1993). Ini merupakan Salah satu alternatif pembudidayaan dan pengembangan tanaman lada dengan biaya produksinya lebih rendah sebab tidak memerlukan penegak, pemeliharaan dan panen yang lebih mudah. Keuntungan lain adalah populasi persatuan luas lebih banyak, berproduksi lebih awal.
Gambar 3. Tanaman lada perdu Berdasarkan karakter morfologi, fisiologi, dan lingkungan tumbuhnya, lada perdu sangat berpotensi untuk dikembangkan dalam berbagai bentuk pola tanam, seperti monokultur, pola tanam di bawah tegakan tanaman tahunan atau dikombinasikan dengan tanaman pangan semusim. Dengan keuntungan, yaitu : meningkatkan efisiensi penggunaan lahan, mampu memberikan nilai tambah yang cukup signifikan, dan risiko kematian tanaman akibat cekaman kekeringan relatif lebih kecil dibandingkan penanaman secara monokultur (tanpa naungan).
8
Secara morfologi lada tergolong tanaman dimorfik yang memiliki dua macam sulur, yaitu sulur panjat (orthotropic climbing shoot) dan sulur buah (axillary plagiotropic fruiting branches). Berdasarkan morfologinya perbedaan yang jelas antara sulur panjat dan sulur buah yaitu sulur panjat memiliki akar lekat (hold fast), sedangkan sulur buah tidak memilikinya. Sementara itu secara fisiologi sulur panjat memiliki sifat negatif fototrof, sedangkan sulur buah bersifat positif fototrof. Lada perdu memiliki tajuk tanaman yang berbentuk perdu dengan diameter 100 – 150 cm dan tinggi tanaman 90 – 120 cm. Berbeda halnya dengan lada tiang panjat yang memiliki dua macam akar (di bawah permukaan tanah dan akar lekat), lada perdu hanya memiliki satu macam akar, yaitu akar yang berada di bawah permukaan tanah. Jumlah akar utama dari pembibitan tidak bertambah setelah dipindah ke kebun dan selanjutnya yang berkembang hanyalah cabang-cabang akar. Perakaran lada perdu lebih banyak terkonsentrasi di sekitar permukaan tanah dan tidak menghujam lebih dalam. Perakaran efektif hanya mencapai kedalaman 30 cm, sedangkan penetrasi akar dapat mencapai 60 cm. Berdasarkan karakter fisiologinya lada tergolong tanaman yang adaptif terhadap naungan karena mempunyai lintasan fotosintesis C3. Oleh karena itu lada perdu pun termasuk dalam kelompok tanaman lindung (scyophit), yaitu tanaman yang dapat tumbuh baik dalam keadaan ternaungi. Dengan karakter morfologi dan fisiologi tersebut di atas, lada perdu di samping dapat dikembangkan secara monokultur, juga sangat berpotensi untuk dikembangkan di bawah tegakan tanaman tahunan, seperti kelapa, sengon, dan lainnya dalam berbagai bentuk pola tanam.
2.4.1 Lingkungan Tumbuh Pertumbuhan dan produksi tanaman merupakan hasil interaksi dari berbagai faktor biotik dan abiotik. Lingkungan tumbuh merupakan salah satu faktor abiotik yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi lada perdu. Di antara faktor lingkungan tumbuh yang paling dominan pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan produksi lada perdu adalah iklim, elevasi, dan tanah .
2.4.2 Iklim dan Elevasi. Selama ini unsur-unsur iklim yang diketahui berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi lada perdu antara lain : curah hujan, penerimaan radiasi surya, suhu, dan kelembaban. Pada dasarnya kondisi iklim yang dikehendaki lada perdu relatif sama dengan lada tiang panjat. Hasil penelitian yang dilakukan menyebutkan bahwa curah hujan yang dikehendaki tanaman lada yaitu 2.000-3.000 mm/tahun dengan rata-rata curah hujan 2.300 mm/tahun. Jumlah hari hujan dalam setahun rata-rata 177 hari dan tidak terdapat bulan-bulan kering dengan curah hujan kurang dari 60 mm/bulan. Hasil pengamatan di Lampung menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman lada mulai tertekan apabila jumlah curah hujan setiap bulannya kurang dari 90 mm. Di samping itu tanaman lada dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik apabila ditanam pada elevasi kurang dari 500 m di atas permukaan laut (dpl). Wahid et al. (1988) telah menyusun batas kesesuaian lingkungan (curah hujan, bulan kering, hari hujan, dan elevasi) untuk tanaman lada seperti disajikan pada Tabel dibawah ini,
9
Tabel 2. Batas kesesuaian lingkungan untuk tanaman lada di Indonesia
Curah hujan (mm/tahun)
Bulan kering (<90 mm/bulan)
Elevasi (m dpl)
Hari hujan
Kendala
Kesesuaian
2.000-2.500
<2
<500
110-150
Tidak ada
Amat sangat sesuai
2.500-3.000
<2
<500
115-160
Tidak ada
Sangat sesuai
2.000-3.000
3
<500
110-160
Tidak ada
Sesuai
3.000-4.000
<2
<500
145-190
Curah hujan agak tinggi
Agak sesuai
1.500-2.000
<3
<500
90-135
Kekeringan
Agak sesuai
1.500-4.000
4-5
<500
90-175
Kekeringan periodik
Kurang sesuai
-
-
>500
-
Suhu rendah
Tidak dianjurkan
<1.500
-
-
-
Kurang air
Tidak dianjurkan
>4.000
-
-
-
Terlalu basah, cahaya kurang
Tidak dianjurkan
-
>5
-
-
Kekeringan
Tidak dianjurkan
Sumber: Wahid et al. (1988). Walaupun tanaman lada tergolong adaptif terhadap naungan, namun untuk mendukung pertumbuhan dan produksinya memerlukan kisaran radiasi surya yang optimal. Menurut Wahid (1989) tanaman lada membutuhkan 50-70 % intensitas sinar matahari. Pada intensitas sinar yang rendah laju fotosintesisnya akan rendah dan serapan unsur-unsur hara juga lambat, yang berakibat poduksi tanaman rendah. Sedangkan untuk s uhu dan kelembaban udara juga turut mempengaruhi pertumbuhan dan produksi lada. Suhu yang dikehendaki tanaman lada yaitu antara 20 oC (minimum) – 34oC (maksimum) dengan kisaran terbaik antara 21-27 oC pada pagi hari, 26-32 oC siang hari, dan 24-30 oC sore hari. Kelembaban nisbi udara yang dikehendaki antara 50-100%, dengan kisaran optimal 60-80% (Wahid, 1988).
2.4.3 Tanah Lada perdu dapat ditanam di hampir seluruh ilayah Indonesia, kecuali kepulauan Nusa Tenggara yang cenderung kering, dapat dikatakan baha tanaman ini bisa tumbuh di jenis tanah apapun. Meskipun demikian, secara umum untuk pertumbuhan yang optimal lada menghendaki tanah yang subur dan
10
bertekstur gembur dengan pH 5,5-6,5. Kesuburan tanah sebenarnya merupakan hal yang dilematis bagi tanaman lada. Disatu sisi tanah yang subur akan memberikan hara yang cukup, sehingga tanaman tumbuh subur, tetapi disisi lain tanah subur umumnya merupakan sarang beberapa jenis nematoda dan fungi yang berbahaya bagi tanaman. Para petani biasanya menanganinya dengan pencegahan dan pengendalian yang intensif, sehingga nematoda dan fungi tidak sampai merusak tanaman. Komposisi tanah yang paling baik untuk budidaya lada adalah tanah liat berpasir, tetapi jumlah pasirnya tidak terlalu banyak. Di tanah seperti ini peredaran air dan udara didalamnya cukup lancar, sehingga baik untuk akar tanaman. Sebaliknya, tanah liat berat dengan kandungan butir-butir tanah liatnya lebih dari 60%, tidak baik untuk budidaya lada. Tanah liat berat ini butir-butir tanahnya sangat halus, sehingga susunannya rapat sekali dan jika terkena air akan becek karena air terjebak didalamnya. Akar lada juga sulit menembus tanah seperti ini dan bahkan bisa mengalami pembusukan.
11