5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian, Unsur Kredit, dan Jenis Kredit 2.1.1. Pengertian Kredit Kata kredit berasal dari bahasa Yunani, “Credete” yang berarti kepercayaan atau dalam bahasa Latin disebut “Creditum” yang berarti kepercayaaan akan kebenaran. Dalam Ensiklopedia Umum, kredit dijelaskan sebagai sistem keuangan untuk memudahkan pemindahan modal dari pemilik kepada pemakai dengan harapan akan mendapat keuntungan. Kredit diberikan berdasarkan kepercayaan orang lain yang memberikannya terhadap kecakapan dan kejujuran si peminjam. Menurut Undang–Undang RI No 7 tahun 1992, pengertian baku tentang kredit seperti tercantum dalam pasal 1 butir 12 adalah penyediaan atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan. 2.1.2. Unsur-Unsur Kredit Kasmir (2004), mengemukakan unsur-unsur yang terkandung dalam pemberian suatu fasilitas kredit adalah sebagai berikut: 1.
Kepercayaan Kepercayaan yaitu suatu keyakinan bagi si pemberi kredit bahwa kredit yang diberikan (baik berupa uang, jasa atau barang) akan benarbenar diterimanya kembali di masa yang akan datang sesuai jangka waktu kredit.
2.
Kesepakatan Disamping unsur percaya didalam kredit juga mengandung unsur kesepakatan antara pemberi kredit dengan penerima kredit. Kesepakatan ini dituangkan dalam suatu perjanjian dimana masing-masing pihak menandatangani hak dan kewajibannya masing-masing.
6
3.
Jangka waktu Setiap kredit yang diberikan memiliki jangka waktu tertentu. Jangka waktu ini mencakup masa pengembalian kredit yang telah disepakati. Jangka waktu tersebut bisa berbentuk jangka pendek (di bawah 1 tahun), jangka menengah (1 sampai 3 tahun) atau jangka panjang (di atas 3 tahun). Jangka waktu merupakan batas waktu pengembalian angsuran kredit yang sudah disepakati kedua belah pihak. Untuk kondisi tertentu jangka waktu ini dapat diperpanjang sesuai kebutuhan.
4.
Risiko Akibat adanya tenggang waktu, maka pengembalian kredit akan memungkinkan suatu risiko tidak tertagihnya atau macet pemberian suatu kredit. Semakin panjang suatu jangka waktu kredit, maka semakin besar risikonya, demikian pula sebaliknya.
5.
Balas Jasa Bagi bank balas jasa merupakan keuntungan atau pendapatan atas pemberian suatu kredit. Dalam bank, balas jasa kita kenal dengan nama bunga. Disamping balas jasa dalam bentuk bunga bank juga membebankan kepada nasabah biaya administrasi kredit yang juga merupakan keuntungan bagi bank.
2.1.3. Jenis-Jenis Kredit Menurut Bank Indonesia, kredit berdasarkan plafon kredit dibagi menjadi empat, yaitu: 1.
Kredit usaha mikro, yaitu kredit yang memiliki plafon kredit sampai dengan Rp. 50 juta.
2.
Kredit usaha kecil, yaitu kredit yang memiliki plafon kredit Rp. 50 juta sampai dengan Rp. 500 juta.
3.
Kredit usaha menengah, yaitu kredit yang memiliki plafon kredit Rp. 500 juta sampai dengan Rp. 5 milyar.
4.
Kredit usaha besar, yaitu kredit yang memiliki plafon kredit lebih dari Rp. 5 milyar.
7
Jenis kredit berdasarkan tujuan penggunaan oleh calon debitur yaitu : 1.
Digunakan untuk pembelian barang modal atau perluasan usaha.
2.
Digunakan untuk menambah modal kerja usaha.
3.
Digunakan untuk keperluan konsumsi.
4.
Kredit Pertanian.
5.
Kredit Perdagangan.
6.
Kredit Industri.
7.
Kredit Konstruksi.
8.
Kredit Profesi Penggolongan kredit Bank Umum Indonesia menurut Ilmu Manajemen
Kredit Bank, yaitu: 1.
Berdasarkan penggunaan kredit: kredit modal kerja, kredit investasi, dan kredit konsumsi.
2.
Berdasarkan
sektor
usaha:
pertanian,
pertambangan,
industri,
perdagangan, jasa dan lain-lain. 3.
Berdasarkan bank penyalur: bank persero, bank umum swasta nasional, dan Bank Pembangunan Daerah.
4.
Berdasarkan denominasi mata uang: Rupiah dan valuta asing. Kredit berdasarkan jangka waktu kredit dibagi menjadi tiga, yaitu:
1.
Kredit
jangka
pendek
merupakan
kredit
yang
jangka
waktu
pembayarannya maksimal satu tahun. 2.
Kredit jangka menengah merupakan kredit yang jangka waktu pembayarannya antara satu sampai dengan tiga tahun. Kredit jenis ini biasanya berupa kredit modal kerja dan kredit investasi yang tidak terlalu besar.
3.
Kredit
jangka
panjang
merupakan
kredit
yang
jangka
waktu
pembayarannya lebih dari tiga tahun. Kredit jenis ini biasanya digunakan untuk membeli mesin, pabrik, dan peralatan atau keperluan untuk investasi.
8
2.1.4. Kolektibilitas Kredit Penetapan kolektibilitas kredit berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No. 8/9/PBI/2009 tentang Kualitas Aktiva Produktif (KAP) adalah: 1.
Lancar (L) Kredit yang tidak terdapat tunggakan angsuran pokok dan atau bunga tidak lebih dari tiga kali angsuran dan kredit belum jatuh tempo.
2.
Kurang Lancar (KL) Kredit yang terdapat tunggakan pokok dan atau bunga lebih dari tiga kali angsuran tetapi tidak lebih dari enam kali angsuran; kredit telah jatuh tempo tidak lebih dari satu bulan.
3.
Diragukan (D) Kredit yang terdapat tunggakan angsuran pokok dan atau bunga lebih dari enam kali angsuran tetapi tidak lebih dari 12 kali angsuran; kredit telah jatuh tempo lebih dari satu bulan tetapi tidak lebih dari dua bulan.
4.
Macet ( M ) Kredit yang terdapat tunggakan angsuran pokok dan atau bunga lebih dari 12 kali angsuran; kredit telah jatuh tempo lebih dari dua bulan; kredit telah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang Negara (BUPN); kredit telah diajukan pengganti ganti rugi kepada perusahaan asuransi kredit.
2.2. Pengertian Kedit Bermasalah Kredit bermasalah adalah semua kredit yang memiliki risiko tinggi karena debitur telah gagal/menghadapi masalah dalam memenuhi kewajiban yang telah ditentukan. Kemacetan kredit pada umumnya disebabkan oleh kesulitan– kesulitan keuangan, baik yang disebabkan oleh faktor internal (manajemen) maupun faktor eksternal (Djumhana, 2000). Menurut Dendawijaya (2004), kredit tidak bermasalah dapat berubah menjadi kredit bermasalah karena beberapa faktor, yaitu:
9
1.
Faktor eksternal a. Keadaan ekonomi secara makro. b. Kenaikan kurs US $ terhadap Rupiah yang menaikkan harga pokok produk atau jasa. c. Peraturan yang ketat dalam suatu sektor ekonomi. d. Peraturan atau kebijakan pemerintah.
2.
Faktor internal perusahaan (debitur bank) a. Mismanagement dalam perusahaan nasabah. b. Kesulitan keuangan dalam mengembangkan usaha. c. Kesalahan dalam produksi. d. Kesalahan dalam strategi pemasaran. e. Sengketa antar pemilik atau antar pemilik dengan direksi.
3.
Faktor internal bank yang memberikan kredit a. Mark up yang dilakukan dengan sengaja. b. Studi kelayakan yang dibuat supaya proyek sangat layak. c. Kolusi antar staf bank dan nasabah. d. Kurang ketatnya monitoring kredit atau supervisi bank. e. Surat sakti dari pemilik atau adanya korupsi kolusi dan nepotisme dengan elit politik. f. Kesalahan dalam memilih sektor industri nasabah. Angka kredit bemasalah yang tinggi tidak hanya akan merugikan pihak
bank, tetapi juga menimbulkan kerugian para pemilik dana yang sebagian besar merupakan anggota masyarakat. Kasmir (2004) mengungkapkan kemacetan suatu fasilitas kredit disebabkan oleh dua faktor, yaitu: 1.
Adanya unsur kesengajaan, artinya nasabah sengaja tidak mau membayar kewajibannya kepada bank sehingga kredit yang diberikan dengan sendirinya macet.
2.
Adanya ketidaksengajaan, artinya nasabah memiliki kemauan untuk membayar tetapi tidak mampu dikarenakan usaha yang dibiayai terkena musibah.
10
2.3. Konsep Risiko Menurut Ghozali (2007), risiko sering diartikan sebagai ketidakpastian (uncertainty). Risiko adalah akibat yang kurang menyenangkan (merugikan, membahayakan) dari suatu perbuatan atau tindakan. Risiko dapat didefinisikan sebagai volatilitas outcome yang umumnya berupa nilai dari suatu hutang atau aktiva. Definisi risiko yang tepat dilihat dari sudut pandang bank adalah exposure terhadap ketidakpastian pendapatan. Risiko bank adalah keterbukaan terhadap kemungkinan rugi (exposure to the change of loss). Sedangkan menurut Peraturan Bank Indonesia (PBI), risiko bisnis bank adalah risiko yang berkaitan dengan pengelolaan usaha bank sebagai perantaraan keuangan. Risiko dalam konteks perbankan merupakan suatu kejadian potensial, baik yang dapat diperkirakan (anticipated) maupun yang tidak dapat diperkirakan (unanticipated), yang berdampak negatif terhadap pendapatan dan permodalan bank. Risiko yang timbul dalam usaha bank yang dikelola melalui manajemen risiko diuraikan dalam Peraturan Bank Indonesia No.5/8/PBI/2003 adalah sebagai berikut: 1.
Risiko Kredit (Credit Risk) Risiko kredit adalah risiko yang terjadi akibat pihak lawan (counterparty) gagal memenuhi kewajibannya. Risiko kredit dapat bersumber dari berbagai aktivitas fungsional bank seperti perkreditan (penyediaan dana), treasury dan investasi, dan pembiayaan perdagangan, yang tercatat dalam banking book maupun trading book.
2.
Risiko Pasar (Market Risk) Risiko pasar merupakan risiko yang timbul karena adanya pergerakan variabel pasar dari portofolio yang dimiliki oleh bank, yang dapat merugikan bank (adverse movement). Variabel pasar adalah suku bunga dan nilai tukar, termasuk deviasi dari kedua jenis risiko pasar tersebut yaitu perubahan harga option.
3.
Risiko Suku Bunga (Interest Rate Risk) Risiko suku bunga adalah potensi kerugian akibat pergerakan suku bunga di pasar yang berlawanan dengan posisi atau transaksi bank yang mengandung risiko suku bunga.
11
4.
Risiko Nilai Tukar (Foreign Exchange Risk) Risiko nilai tukar adalah risiko kerugian akibat pergerakan yang berlawanan dari nilai tukar pada saat bank memiliki posisi terbuka.
5.
Risiko Likuiditas (Liquidity Risk) Risiko likuiditas adalah risiko yang disebabkan karena bank tidak mampu memenuhi kewajiban yang telah jatuh tempo. Risiko likuiditas dapat dikategorikan sebagai risiko likuiditas pasar dan risiko likuiditas pendanaan.
6.
Risiko Operasional (Operational Risk) Risiko operasional adalah risiko yang disebabkan ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem atau adanya masalah eksternal yang mempengaruhi operasional bank.
7.
Risiko Reputasi (Reputation Risk) Risiko reputasi adalah risiko yang disebabkan oleh adanya publikasi negatif yang terkait dengan kegiatan usaha bank atau persepsi negatif terhadap bank.
8.
Risiko Strategik (Strategic Risk) Risiko strategik adalah risiko yang disebabkan adanya penetapan dan pelaksanaan strategi bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau kurang responsif.
2.4. Risiko Kredit Menurut
Sutoyo
(1994),
bank
menghadapi
suatu
risiko
ketika
menyalurkan kreditnya yang disebut risiko kredit. Risiko kredit merupakan suatu masalah besar bagi dunia perbankan dan lembaga keuangan pada umumnya. Risiko kredit adalah bahwa debitur secara kredit tidak dapat membayar utang maupun angsuran serta memenuhi kewajiban seperti tertuang dalam kesepakatan, atau menurunkan kualitas debitur sehingga persepsi tentang kemungkinan gagal bayar semakin tinggi. Risiko kredit dapat timbul baik dari kinerja nasabah maupun faktor dari luar nasabah. Hal ini dapat dijelaskan pada Gambar 1.
12
Kebangkrutan nasabah
Gagal bayar
Kesulitan nasabah keuangan
Potensi gagal bayar
Ambang batas kriteria kesehatan tidak dipenuhi
Penurunan peringkat nasabah
Penurunan kinerja nasabah
Pelanggaran kontrak
Kelemahan kontrak kredit
Potensi pelanggaran kontrak
Gambar 1. Kerangka risiko kredit (Sutoyo, 1994)
Menurut Djohanputro (2004), risiko kredit merupakan suatu risiko kerugian yang disebabkan oleh ketidakmampuan (gagal bayar) dari debitur atas kewajiban pembayaran utangnya baik utang pokok maupun bunganya ataupun keduanya. Debitur akan menawarkan biaya/keuntungan dari suatu pinjaman berdasarkan dari risiko dan suku bunga yang dikenakan, namun suku bunga ini bukan hanya satu-satunya metode kompensasi untuk risiko yang dihadapi. Perlindungan tambahan dalam bentuk pembatasan sebagaimana diatur dalam perjanjian kredit memungkinkan dilakukannya pengawasan oleh pemberi pinjaman atas peminjam yaitu misalnya dalam bentuk : 1.
Pembatasan
terhadap
debitur
atas
tindakan-tindakan
yang
dapat
mempengaruhi keuangan debitur misalnya melakukan pembelian kembali saham, melakukan pembayaran deviden, atau melakukan peminjaman baru. 2.
Kewenangan untuk melakukan pengawasan atas utang dengan cara mensyaratkan adanya audit dan laporan keuangan bulanan.
3.
Hak kepada kreditur untuk meminta pelunasan seketika atas utang yang diberikannya apabila terjadi suatu peristiwa khusus ataupun apabila rasio keuangan seperti utang/ekuiti menurun. Secara garis besar, risiko kredit dapat dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu risiko
default, risiko exposure, dan risiko recovery.
13
1.
Risiko Default Ukuran risiko default adalah probabilitas terjadinya gagal bayar pada periode tertentu. Probibilitas mengukur gagal bayar. Perusahaan dapat dengan melakukan pemeringkatan (rating).
2.
Risiko Exposure Risiko exposure merupakan risiko yang melekat pada besarnya kredit yang menghadapi risiko gagal bayar. Bagi perbankan, kredit merupakan komitmen dalam bentuk line of credit. Bagi perusahaan perdagangan, besarnya transaksi secara kredit merupakan besarnya exposure. Jenis-jenis status kredit yang berimplikasi terhadap besarnya exposure yaitu: a.
Kesepakan transaksi yang dapat dikembalikan, perusahaan dapat membatalkan transaksi tanpa menunggu kesepakatan dari konsumen.
b.
Kesepakatan bersifat irrevocable artinya perusahaan tidak dapat membatalkan
kesepakatan
secara
sepihak
kecuali
berdasarkan
kesepakatan kedua pihak. c.
Status transaksi dan kredit dalam kondisi ketidakpastian. Hal ini terjadi apabila konsumen sudah mentransfer pembayaran sedangkan perusahaan belum menerima pembayaran tersebut.
d.
Status terselesaikan (settled). Hal ini terjadi apabila uang pembayaran telah masuk ke rekening perusahaan.
e.
Status gagal (failed). Hal ini terjadi pada saat ditetapkan, ternyata konsumen gagal bayar.
3.
Risiko Recovery Risiko recovery berkaitan dengan terjadinya gagal bayar dari konsumen. Tingkat recovery adalah sejauh mana perusahaan dapat tetap mengupayakan agar nilai kredit dengan status gagal bayar tersebut dapat diupayakan berapapun nilai nominal yang dapat diperoleh. Semakin kecil kemungkinan perolehan dari kredit macet, semakin besar risiko recovery. Risiko recovery dinyatakan dalam bentuk persentase kemungkinan gagal bayar dari kredit macet. Risiko-risiko yang merupakan bagian dari risiko recovery yaitu:
14
a.
Risiko Jaminan Risiko jaminan terkait dengan kejelasan status hukum jaminan fluktuasi nilai likuidasi jaminan dan kemudahan eksekusi.
b.
Risiko Jaminan Pihak Ketiga Selain jaminan dalam bentuk asset, ada jaminan berupa kepercayaan. Jaminan ini memiliki kegagalan eksekusi yang sangat tinggi.
c.
Risiko Hukum Risiko hukum berkaitan dengan kemungkinan mengubah kontrak dan status pinjaman untuk mengakomodasi kepentingan dan kemampuan perusahaan dan debitur. Perubahan kontrak berupa penjadwalan ulang pinjaman, pemotongan pinjaman, dan penukaran pinjaman menjadi setoran modal. Kegagalan untuk melakukan renegosiasi menyebabkan tindakan hukum harus ditempuh. Untuk mengantisipasi terjadinya risiko kredit, bank melakukan analisa
kelayakan kredit terhadap calon debiturnya dengan menggunakan prinsip 5C. Menurut Djohanputro (2004), analisi kredit berdasarkan prinsip 5C meliputi: 1.
Character Character (karakter) berkaitan dengan perilaku debitur atau pembeli secara kredit mengenai keinginan untuk membayar dan memenuhi kewajiban. Perusahaan menggunakan data masa lalu mengenai track record calon debitur. Karakter dapat dikaitkan dengan pelanggaran moral (moral hazard) yaitu kecenderungan seseorang dengan sengaja menyimpangkan wewenang dan kemampuan untuk
kepentingan pribadi
dengan
mengorbankan
kepentingan orang lain dan menggunakan kemampuan atau kekayaan orang lain. 2.
Capacity Capacity (kapasitas) menunjukkan kemampuan calon debitur atau pembeli secara kredit untuk membayar kewajiban pinjam meminjam. Potensi pembayaran kewajiban debitur dapat dilihat dari laporan keuangan historis dan kinerja berupa performa arus kas, neraca, dan laba rugi, rasio lancar dan rasio kas dapat menunjukkan kemampuan pemenuhan kewajiban.
15
3.
Capital Capital
(modal)
digunakan
untuk
mengetahui
sumber-sumber
pembiayaan yang dimiliki nasabah terhadap usaha yang akan dibiayai oleh bank. Modal dapat ditunjukkan oleh perbandingan antara pinjaman dan modal sendiri (ekuitas). 4.
Collateral Collateral (jaminan) merupakan piranti pengaman pinjaman yang terakhir. Jaminan akan dieksekusi apabila debitur atau pembeli secara kredit menyatakan
tidak
dapat
membayar
dan
pinjaman
tidak
mungkin
direstrukturisasi. Perusahaan kreditur perlu memperhatikan prinsip kehatihatian dalam menetapkan kredit karena faktor status hukum jaminan, nilai jaminan terhadap kewajiban, kemudahan likuidasi jaminan. 5.
Condition Condition (kondisi) mengacu kepada kondisi eksternal perusahaan yang mempengaruhi kelangsungan perusahaan. Kondisi perusahaan berupa kondisi makro (ekonomi, politik, selera konsumen, dan lingkungan) dan intervensi pihak berkepentingan (stakeholders).
2.5. Manajemen Risiko Tampubolon (2004) mendefinisikan manajemen risiko sebagai sebuah disiplin pengelolaan yang tujuannya adalah memproteksi aset dan laba sebuah organisasi dengan mengurangi potensi kerugian sebelum hal tersebut terjadi, dan pembiayaan melalui asuransi atau cara lain atas kemungkinan rugi besar karena bencana alam, keteledoran manusia, atau karena keputusan pengadilan. Dalam prakteknya, proses ini mencakup langkah-langkah logis seperti pengidentifikasian risiko, pengukuran dan penilaian atas ancaman (exposures) yang telah diidentifikasi, pengendalian ancaman tersebut melalui eliminasi atau pengurangan, dan pembiayaan ancaman yang tersisa agar apabila kerugian tetap terjadi, organisasi dapat terus menjalankan usahanya tanpa terganggu stabilitas keuangannya. Menurut Djohanpotro (2004), siklus manajemen risiko terdiri dari lima tahap seperti yang terlihat pada Gambar 2.
16
Evaluasi pihak
Identifikasi risiko
yang berkepentingan
Pengawasan dan pengendalian risiko
Model pengelolaan risiko
Pengukuran risiko
Pemetaan risiko
Gambar 2. Siklus manajemen risiko (Djohanputro, 2004) Tahap 1. Identifikasi Risiko Tahap ini mengidentifikasi hal yang dihadapi oleh perusahaan. Langkah pertama dalam mengidentifikasi risiko adalah melakukan analisis pihak yang berkepentingan (stakeholders). Langkah kedua dapat menggunakan 7S dari McKenzie yaitu: Shared value, Strategy, Structure, Staff, Skill, System, dan Style. Tahap 2. Pengukuran Risiko Pengukuran risiko mengacu pada dua faktor yaitu faktor kuantitatif dan kualitatif. Kuantitas risiko menyangkut berapa banyak nilai atau eksposur yang rentan terhadap risiko, sedangkan kualitatif menyangkut kemungkinan suatu risiko muncul, semakin tinggi kemungkinan risiko terjadi maka semakin tinggi pula risikonya. Tahap 3. Pemetaan Risiko Pemetaan risiko ditujukan untuk menetapkan prioritas risiko berdasarkan kepentingan bagi perusahaan. Adanya prioritas dikarenakan perusahaan memiliki keterbatasan dalam sumber daya manusia dan jumlah uang sehingga perusahaan perlu menetapkan mana yang perlu dihadapi terlebih dahulu dan mana yang dinomor duakan dan mana yang perlu diabaikan. Selain itu, prioritas juga ditetapkan karena tidak semua risiko memiliki dampak pada tujuan perusahaan.
17
Tahap 4. Model Pengelolaan Risiko Model pengelolaan risiko terdapat beberapa macam diantaranya model pengelolaan risiko secara konvensional, penetapan model risiko, struktur organisasi pengelolaan, dan lain-lain. Tahap 5. Monitor dan Pengendalian Monitor dan pengendalian penting karena: a.
Manajemen perlu memastikan bahwa pelaksanaan pengelolaan risiko berjalan sesuai dengan rencana.
b.
Manajemen juga perlu memastikan bahwa pelaksanaan pengelolaan risiko cukup efektif.
c.
Monitor dan pengendalian bertujuan untuk memantau perkembangan terhadap kecenderungan-kecenderungan berubahnya profil risiko. Perubahan ini berdampak pada pergeseran peta risiko yang otomatis pada perubahan prioritas risiko. Bank Indonesia mendefinisikan manajemen risiko sebagai serangkaian
prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan risiko yang timbul akibat kerugian usaha bank. Fungsi kontrol merupakan salah satu hal penting dalam operasional perbankan, karena itulah BI meluncurkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum. Bessis (1998) menyatakan manajemen risiko kredit mencakup dua hal, yaitu risiko proses putusan kredit, sebelum putusan dibuat sampai menindaklanjuti komitmen kredit, ditambah risiko pemantauan dan proses laporan. Selanjutnya diperlukan pengukuran dari risiko kredit, antara lain menggunakan limit systems and credit screening, risk quality and ratings, serta credit enhancement. Sedangkan menurut Peraturan Bank Indonesia, dinyatakan bahwa proses manajemen risiko bank sekurang-kurangnya mencakup pendekatan pengukuran dan penilaian risiko, struktur limit dan pedoman serta parameter pengelolaan risiko, sistem informasi manajemen dan pelaporannya, serta evaluasi dan kaji ulang manajemen. Bank perlu melakukan manajemen terhadap risiko kredit yang melekat pada seluruh portofolio, yaitu dengan mengidentifikasi, mengukur,
18
memonitor, mengontrol risiko kredit, serta memastikan modal yang tersedia cukup, dan dapat diperoleh kompensasi yang sesuai atas risiko yang timbul. 2.6. Value at Risk (VaR) Value at Risk (VaR) merupakan inti dari Internal Rating Based Approach (IRB) yang memberikan keleluasaan bagi bank untuk menggunakan formulasinya sendiri dan mengembangkan model sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam mengukur risiko kredit. VaR merupakan sebuah konsep yang digunakan dalam pengukuran risiko dalam manajemen risiko. Secara sederhana VaR menjawab pertanyaan seberapa besar (dalam persen atau sejumlah uang tertentu) investor dapat merugi selama waktu investasi T dengan tingkat kepercayaan sebesar α. Inti dari VaR adalah volatilitas. Volatilitas adalah keragaman perubahan faktor risiko. Secara statistik volatilitas sama dengan simpangan baku (Jorion, 2001) Pengukuran suatu risiko dengan menggunakan VaR dilakukan secara kuantitatif dengan memperkirakan potensi maksimum kerugian yang mungkin terjadi dengan suatu tingkat keyakinan tertentu. Penilaian risiko ini menggunakan data masa lalu dengan cara melakukan pengukuran tehadap volatilitas nilai di masa lalu. Dalam perhitungan terhadap nilai risiko di masa yang akan datang tidak bisa memastikan dengan pasti potensi kerugian yang akan terjadi. Oleh sebab itu, nilai peluang selalu mengikuti hasilnya. Transparansi VaR akan semakin baik karena VaR secara konsisten mengukur pengaruh dari hedging terhadap seluruh total risiko. VaR memberikan penekanan pada keseluruhan risiko dibandingkan dengan pengukuran tradisional yang lebih menekankan pada risiko per transaksi individual (Jorion, 2001). VaR terdiri dari: 1.
Perhitungan VaR dengan metode credit metrics Credit metrics adalah suatu kerangka VaR yang diaplikasikan untuk penilaian risiko aset yang tidak diperdagangkan seperti pinjaman. Metode ini didasarkan pada konsep rata-rata dan simpangan baku terboboti. Dalam prosesnya memerlukan credit rating (peringkat rating) dan matriks migrasi.
2.
Peringkat kredit Dalam perhitungan VaR kredit dengan metode credit metrics perlu dilakukan pemeringkatan kredit terlebih dahulu. Peringkat tersebut didasarkan atas peringkat yang telah dilakukan oleh rating agencies. Dalam penelitian ini
19
tidak menggunakan rating eksternal, sehingga sebagai pengganti peringkat tersebut diperlukan kolektibilitas debitur berdasarkan peraturan yang dikeluarkan oleh BI. 3.
Matriks migrasi Matriks migrasi sama dengan matriks transisi. Peluang migrasi atau perpindahan dari suatu kelas peringkat (kolektibilitas) tertentu ke kelas peringkat yang lain dinamakan matriks transisi. Matriks transisi ini dapat diartikan juga sebagai proporsi perpindahan kolektibilitas dari satu bulan ke bulan lainnya. Matriks migrasi diasumsikan stasioner (stabil). Penentuan matriks migrasi dalam penelitian ini menggunakan kolektibilitas debitur. Hal ini disesuaikan dengan Peraturan Bank Indonesia No. 8/19/PBI/2006 tentang Kualitas Aktiva Produktif (KAP) dimana menetapkan bahwa KAP dalam bentuk kredit ditetapkan dalam empat golongan, yaitu L, KL, D, dan M. Bentuk matriks transisi adalah sebagai berikut: L
KL
D
M
L
P11 P12
P13
P14
KL
P21 P22
P23
P24
D
P31 P32
P33
P34
M
P41
P42
P43
P44
Keterangan: a.
P11 adalah peluang kredit dengan peringkat 1 (kolektibilitas lancar) tetap berada pada peringkat 1 (kolektibilitas lancar)
b.
P12 adalah peluang kredit dengan peringkat 1 menjadi berada pada peringkat 2 (kolektibilitas kurang lancar) dan seterusnya
c.
L, KL, D, dan M adalah kolektibilitas lancar, kurang lancar, diragukan, dan macet.
2.7. Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan
Rahminta (2009) tentang Risiko Kredit di
PD BPR BKK Pati Kota Kantor Kas Margoyoso menunjukkan bahwa kredit disalurkan kepada nasabah di beberapa sektor ekonomi antara lain pada sektor pertanian, perdagangan, dan sektor lainnya. Kredit yang disalurkan PD BPR BKK Pati Kantor Kas Margoyoso pada tahun 2008 mengalami kredit bermasalah
20
dengan nilai NPL 26,53 persen. Nilai tersebut merupakan nilai yang sangat tinggi karena batas maksimal kredit bermasalah yang ditetapkan BI adalah 5 persen. Dari analisis yang dilakukan dengan menggunakan analisis VaR didapatkan kerugian maksimum yang dihadapi PD BPR BKK Pati Kota Kantor Kas Margoyoso per Desember 2008 dengan tingkat keyakinan 95 persen sebesar Rp. 329.271.901,56 atau 21,05 persen dari total baki debet per Desember 2008. Sedangkan dengan tingkat keyakinan 99 persen kemungkinan kerugian maksimum yang dialami sebesar Rp. 464.971.836,74 atau sebesar 29,72 persen dari total baki debet per Desember 2008. Setiawati (2005) melakukan penelitian tentang VaR Kredit Mikro pada Bank X, dimana nilai kolektibilitas yang mengalami penurunan sehingga menyebabkan bank mengalami kerugian. Kemungkinan kerugian atau risiko terbesar yang dihadapi Bank X pada kredit mikro dengan adanya pergeseran kolektibilitas atau kualitas kredit ditentukan dengan pendekatan internal menggunakan VaR. Hasil yang didapat sesuai dengan tingkat keyakinan 95 persen adalah sebesar Rp. 92.023.041. Nilai kerugian tersebut adalah sebesar 52,99 persen dari total baki debet pinjaman, sedangkan dengan tingkat keyakinan 99 persen kemungkinan terjadinya kerugian terbesar kredit mikro pada bulan Juni 2005 adalah sebesar Rp. 129.947.688 yaitu sebesar 74.83 persen dari total baki debet. Penelitian yang dilakukan oleh Panggabean (2005) tentang Creditrisk pada BMT Prima Dinar Cabang Tawangmangu Jawa Tengah menunjukkan bahwa kredit yang diterima oleh pengusaha kecil membantu dalam mengembangkan suatu usaha melalui peningkatan modal. Metode Creditrisk digunakan untuk memperkirakan potensi risiko yang terjadi untuk satu bulan selanjutnya. Jika dilihat dari karakter usaha dan ciri usaha, UMKM adalah usaha yang memiliki risiko kredit atau peluang menunggak paling kecil. Tetapi BMT Prima Dinar tetap berusaha fokus pada manajemen risiko kredit sehingga dapat meminimalisir kerugian yang terjadi.