II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Sejarah Kebakaran Hutan Menurut sejarahnya, kebakaran hutan terutama hutan tropika basah (“tropical rain forest”) di Indonesia telah diketahui terjadi sejak abad ke-18. kebakaran yang terjadi pada tahun 1877, diketahui di kawasan hutan antara Sungai Kalanaman dan Cempaka (sekarang Sungai Sampit dan Sungai Katingan) Propinsi Kalimantan Tengah. Laporan lain juga menyebutkan bahwa kebakaran hutan terjadi di wilayah timur laut yang saat ini dikenal dengan Suaka Danau Sentarum, Propinsi Kalimantan Barat (United Nations Development Programme and State Ministry for Environment, 1998). Sayangnya kebakaran yang terjadi pada saat itu tidak diketahu berapa luasnya dan disebabkan oleh apa. Sedangkan Bowen (1999), menyatakan bahwa sekitar 400 tahun yang lalu, diceritakan bahwa seorang penjelajah Eropa menemukan Pulau Borneo setelah para pelautnya mencium bau asap; mereka berpaling ke arah angin dan menemukan pulau (Purbowaseso, 2004).
B. Kebakaran Hutan B.1. Pengertian Kebakaran Hutan Kebakaran hutan dibedakan dengan kebakaran lahan. Kebakaran hutan yaitu kebakaran yang terjadi di dalam kawasan hutan, sedangkan kebakaran lahan adalah kebakaran yang terjadi di luar kawasan hutan. Kebakaran hutan dan lahan biasa terjadi baik disengaja maupun tanpa sengaja. Dengan kata lain terjadinya kebakaran hutan dan lahan diakibatkan oleh faktor kesengajaan manusia oleh
Universitas Sumatera Utara
beberapa kegiatan, seperti kegiatan ladang, perkebunan (PIR), HTI, penyiapan lahan untuk ternak sapi, dan sebagainya. Faktor kebakaran hutan dan lahan karena kesengajaan ini merupakan faktor utama dan 90% kebakaran hutan dan lahan yang terjadi saat ini banyak disebabkan karena faktor ini. Kebakaran hutan juga bisa disebabkan oleh faktor tidak disengaja, yang disebabkan oleh factor alami ataupun karena kelalaian manusia. Contoh kebakaran hutan karena kelalaian manusia seperti akibat membuang puntung rokok sembarangan, pembakaran sampah atau sisa-sisa perkemahan dan pembakaran dari pembukaan lahan yang tidak terkendali dan kebakaran hutan dan lahan alami oleh deposit batu bara di kawasan hutan Bukit Soeharto (Purbowaseso, 2004).
B.2. Proses dan Tipe Kebakaran Hutan B.2.1. Proses Kebakaran Proses pembakaran/kebakaran adalah proses kimia-fisika yang merupakan kebalikan dari reaksi fotosintesa yaitu C6H12O6 + O2 + Sumber Panas
CO2 + H2O+ Panas
Pada proses fotosintesa, energi terpusat secara perlahan-lahan, sedangkan pada proses pembakaran energi yang berupa panas dilepaskan dengan cepat. Selain panas, proses pembakaran juga menghasilkan beberapa jenis gas dan partikel-partikel. Dapat dilihat bahwa terjadinya proses pembakaran/kebakaran apabila ada tiga unsur yang bersatu yaitu bahan bakar (fuel), oksigen (oxygen) dan panas (heat). Bila salah satu dari ketiganya tidak ada maka kebakaran tidak akan terjadi. Prinsip ini dikenal dengan istilah prinsip segitiga api (Gambar 1) yang
Universitas Sumatera Utara
merupakan kunci utama dalam mempelajari kebakaran hutan dan lahan yang termasuk dalam upaya pengendalian kebakaran. Bahan bakar dan oksigen tersedia di hutan dalam jumlah yang berlimpah, sedangkan sumber panas penyalaan sangat tergantung kepada kondisi alami suatu daerah dan kegiatan manusia.
HEAT
OXYGEN
FUEL Gambar 1. Prinsip Segitiga Api (De Bano et al.,1998). Menurut De Bano et al. (1998), proses pembakaran terdiri dari lima fase yaitu: 1. Pre-ignition (Pra- Penyalaan) Dehidrasi/distilasi dan pirolisis merupakan proses-proses yang terjadi pada fase Pre-ignition. Karena bahan bakar berada di bagian depan nyala api, maka pemanasan melalui radiasi dan konveksi akan lebih dari 100 ◦C, sehingga uap air, bahan organik yang tidak terbakar, dan zat ekstraktif berkumpul di permukaan bahan bakar dan dikeluarkan ke udara. Radiasi dan konveksi dapat memindahkan panas untuk pirolisis pada permukaan bahan bakar, tetapi perpindahan panas ke bagian interior bahan bakar terjadi melalui proses konduksi. Karena itu konduksi merupakan proses yang dominan dalam proses combuction (pembakaran). Distilasi dari bahan bakar halus (dedaunan, daun jarum, dan rerumputan) pada
Universitas Sumatera Utara
temperatur di atas 100◦C menghasilkan emisi uap air dan ekstraktif organik volatil (misal: terpenes, aldehida aromatic). Pirolisis adalah reaksi endotermik melalui radiasi atau konveksi dari bagian depan api yang mengeluarkan air dari permukaan bahan baker, meningkatkan suhu bahan bakar, dan merombak rantai molekul bahan organik yang panjang dalam sel tanaman menjadi rantai yang lebih pendek. Laju pembakaran yang lambat akan meningkatkan produksi arang dan menurunkan produksi gas yang mudah terbakar dan ter. Sebaliknya, laju pemanasan yang cepat akan menghasilkan gas yang mudah terbakar dan ter. 2. Flaming combustion (Penyalaan) Fase ini berupa reaksi eksotermik yang menyebabkan kenaikan suhu dari 300 - 500◦C. Pirolisis mempercepat proses oksidasi (flaming) dari gas-gas yang mudah terbakar. Akibatnya, gas-gas yang mudah terbakar dan uap hasil pirolisis bergerak ke atas bahan bakar, bersatu dengan O2 dan terbakar selama fase flaming. Panas yang di hasilkan dari reaksi flaming mempercepat laju pirolisis dan melepaskan jumlah yang besar dari gas-gas yang mudah terbakar. Api akan membesar dan sulit dikendalikan, terlebih jika ada angin. Pada fase ini dihasilkan berbagai produk pemabakaran seperti: air, CO2, sulfur oksida, gas nitrogen dan nitrogen oksida. Kemudian terjadi kodensasi dari tetesan ter dan soot < 1 urn membentuk asap (smoke) yang merupakan polutan udara yang penting. 3. Smoldering (Pembaraan) Fase ini biasanya mengikuti fase “flaming combustion” di dalam suatu pembakaran. Pada fase ini, pembakaran yang kurang menyala menjadi proses yang dominant. “Smoldering” adalah fase awal di dalam pembakaran untuk tipe
Universitas Sumatera Utara
bahan bakar “duff” dan tanah organic. Laju penjalaran api menurun karena bahan bakar tidak dapat mensuplai gas-gas yang mudah terbakar. Panas yang dilepaskan menurun dan suhunya pun menurun, gas-gas lebih terkondensasi ke dalam asap. 4. Glowing (Pemijaran) Fase glowing merupakan bagian akhir dari proses smoldering. Pada fase ini sebahagian besar dari gas-gas yang mudah menguap akan hilang dan oksigen mengadakan kontak langsung dengan permukaan dari bahan bakar yang mengarang. Produk utama dari fase “glowing” adalah CO, CO2 dan abu sisa pembakaran. Pada fase ini temperature puncak dari pembakaran bahan bakar berkisar antara 300 – 600 0C. 5. Extinction Kebakaran akhirnya berhenti pada saat semua bahan bakar yang tersedia habis, atau pada saat panas yang dihasilkan dalam proses smoldering atau flaming tidak cukup untuk menguapkan sejumlah air dari bahan bakar yang basah. Panas yang diserap oleh air bahan bakar, udara sekitar, atau bahan inorganik (seperti batu-batuan dan tanah mineral) mengurangi jumlah panas yang tersedia untuk pembakaran, sehingga mempercepat proses extinction.
B.2.2. Tipe Kebakaran Hutan 1. Kebakaran Bawah (Ground Fire) Api membakar bahan organik di bawah permukaan serasah yang pada umumnya berupa humus dan gambut. Penjalaran api berlangsung secara perlahan dan tidak dipengaruhi oleh angin, tanpa nyala, sehingga sulit untuk dideteksi dan control. Dilihat dari dampaknya, tipe kebakaran ini merupakan tipe yang paling
Universitas Sumatera Utara
merusak lingkungan.tipe kebakara ini didominasi oleh proses smoldering, biasanya bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama dengan kecepatan penjalaran sekitar 1,5 g/m²/jam atau 0,025 cm/jam. 2. Kebakaran Permukaan (Surface Fire) Api pada kebakaran ini membakar serasah, tumbuhan bawah, bekas limbah pembakaran dan bahan bakar lainya yang terdapat dilantai hutan. Energi kebakaran dapat rendah sampai tinggi. Dalam penjalarannya, dipengaruhi oleh angin permukaan sehingga dapat membakar tumbuhan yang lebih tinggi hingga ke tajuk pohon (crowing out). Tipe ini merupakan tipe kebakaran yang paling umum terjadi di hampir semua tegakan hutan. 3. Kebakaran Tajuk (Crown Fire) Pada tipe ini, api menjalar dari tajuk pohon satu ke tajuk pohon berikutnya. Arah dan kecepatan penjalaran api sangat dipengaruhi oleh angin, sehingga api menjalah dengan sangat cepat dan sulit untuk dikendalikan. Biasanya terjadi pada tegakan conifer dan api berasal dari kebakaran permukaan, yaitu ranting atau bagian pohon yang terbakar yang terbawa angin. Disamping itu kebakaran tipe ini juga dapat menghasilkan api loncat (spot fire), yaitu ranting atau bagian pohon yang
terbakar yang terbawa angin dan menimbulkan
kebakaran baru di tempat lain. (De Bano et al, 1998).
C. Faktor Penyebab Timbulnya Kebakaran Hutan Kebakaran biasa terjadi karena tiga hal. Pertama, kedatangan musim kemarau. Pada musim ini Koran, televisi dan radio penuh berita peristiwa
Universitas Sumatera Utara
kebakaran. Betul, tetapi kedatangan musim kemarau tidak boleh dijadikan alasan atau kambing hitam. Bukankah kedatangan musim kemarau itu telah diketahui jauh sebelumnya. Seharusnya segala sesuatu telah dipersiapkan (Sagala, 1994). Kedua, karena ada sumber api buatan manusia. Pada dasarnya 99% kejadian kebakaran akibat ulah manusia dan untuk itu diperlukan penyuluhan mengenai api lahan. Tetapi perlu diingat, di lapangan banyak sekali orang, ada peladang, anak sekolah, pengembala, orang rekreasi, dan lain-lain. Diantara orang banyak itu tentu ada saja yang alpa menggunakan api. Sampai saat ini api merupakan alat yang efektif dan murah untuk pembersihan tapak penanaman. Kenyataan di berbagai tempat menunjukkan, dengan adanya penyuluhan api jumlah kejadian api dapat berkurang drastis. Tapi apa yang terjadi, luas areal terbakar justru semakin luas dan kerugian lebih besar. Kenapa? Sebab luas areal terbakar tidak tergantung pada jumlah kejadian api. Penyuluhan penting, tetapi bukan berarti otomatis akan mengurangi luas areal terbakar. Ketiga, karena ada bahan bakar. Inilah jawaban akurat. Sebab kalau tidak ada bahan bakar, sekalipun datang musim kemarau dan ada yang melakukan penyulutan, kebakaran tidak akan terjadi. Oleh karena itu supaya menghilangkan atau mereduksi (manipulasi) bahan bakar merupakan kegiatan utama. Faktor-faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan meliputi bahan bakar, cuaca, waktu dan topografi. Faktor bahan bakar yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan terdiri atas ukuran, susunan, volume, jenis dan kandungan kadar airnya. Kelima hal tersebut memiliki pengaruh yang saling mempengaruhi, sehingga menyebabkan kebakaran hutan dan lahan (Purbowaseso, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Faktor cuaca merupakan faktor penting kedua yang menyebabkan kebakaran hutan dan lahan, meliputi : angin, suhu, curah hujan, keadaan air tanah dan kelembaban relatif. Waktu juga mempengaruhi terjadinya kebakaran hutan, karena waktu sangat terkait dengan kondisi cuaca yang menyertainya. Waktu dipisahkan atas waktu siang dan malam hari. Terdapat hubungan antara waktu dengan kondisi kebakaran hutan dan lahan. Faktor topografi yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan mencakup tiga hal yaitu kemiringan, arah lereng dan medan. Masing-masing faktor tersebut sangat mempengaruhi perilaku api kebakaran hutan dan lahan.
D. 1. Dampak Kebakaran Hutan terhadap Tanah Akibat dari kebakaran hutan pada tanah dapat terbentuk perubahan pada sifat fisik tanah dan kimia tanah (Tabel. 1) (terlampir). Pengaruh yang merugikan pada sifat fisik tanah akan jelas nampak, sedang pengaruh pada sifat kimia tanah biasanya tidak merugikan tetapi menguntungkan. Sifat fisik dari tanah sangat ditentukan oleh keadaan humus
dan serasah pada permukaan tanah yang
mempunyai hubungan yang rapat dengan tata air di hutan. Udara yang panas akibat kebakaran hutan tidak banyak berarti bagi serasah dan humus tetapi apabila serasah dan humus ikut terbakar maka sifat fisik tanah akan memburuk. Ditambah dengan pengaruh sinar matahari dan angin maka tanah akan sulit menyerap air, sehingga air hujan akan mengalir di permukaan tanah yang mengakibatkan terjadinya erosi (Sumardi dan Widyastuti, 2002). Kebakaran serasah akan secara langsung dapat menaikkan suhu tanah. Hasil pembakaran yang terbentuk arang dan berwarna hitam akan banyak
Universitas Sumatera Utara
menyerap sinar matahari sehingga suhu tanah akan naik. Pemanasan tanah akan berakibat buruk pada organisme renik atau dapat mempercepat tumbuhnya gulma (Sumardi dan Widyastuti, 2002). Pengaruh sifat kimia tanah dari tanah akibat kebakaran hutan berbentuk penambahan mineral-mineral yang terdapat pada abu dan arang, sehingga dapat menaikkan nilai nutrisi tanah bagi tanaman. Misalnya kadar kalsium (Ca), kalium (K), dan fospat akan bertambah, sedangkan nitrogen dari bahan organik yang terbakar akan menguap. Kebakaran juga menurunkan keasaman tanah, tetapi penurunan ini biasanya tidak berarti bagi pohon (Sumardi dan Widyastuti, 2002). Biasanya penurunan kadar organik dan nitrogen berlangsung secara berangsur-angsur. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau didapatkan pada tanah yang sudah dibuka kandungan bahan organik jauh lebih rendah, mungkin 30 sampai 60 % bila di bandingkan dengan tanah asli. Penurunan semacam ini wajar dan sukar untuk diatasi (Buckman dan Brady, 1982). Kebakaran hutan dan lahan dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan sifat fisik dan kimia tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur tanah akan mengalami kerusakan karena kebakaran hutan. Terjadinya kebakaran hutan akan menghilangkan vegetasi di atas tanah, sehingga apabila terjadi hujan maka hujan akan langsung mengenai permukaan atas tanah, sehingga mendapatkan energi pukulan hujan lebih besar, karena tidak lagi tertahan oleh vegetasi penutup tanah. Kondisi ini akan menyebabkan rusaknya struktur tanah (Purbowaseso, 2004). Menurut Pyne et all (1996), dampak kebakaran hutan terhadap tanah mengakibatkan terjadinya :
Universitas Sumatera Utara
1.Water Repellency Water Repellency yaitu kondisi dimana tanah itu kering seperti kuarsa yang disebabkan oleh kebakaran yang sangat hebat sekali. Kondisi ini terjadi tergantung pada kelas dari bahan kimia organik yang semula bersifat hidrofobik dan pada saat terjadinya kebakaran menjadi bersifat tidak hidrofobik lagi (tidak dapat mengikat air). Water Repellency ini di pengaruhi oleh tekstur tanah, biomassa yang di konsumsi, bahan bakar dan intensitas dari kebakaran. Ada dua variabel yang berpengaruh terhadap Water Repellency ini yaitu jumlah bahan bakar yang dikonsumsi dan intensitas dari kebakaran itu sendiri. Jumlah bahan bakar yang berada didekat sumber kebakaran rata-rata suhunya akan lebih tinggia sehingga berpengaruh terhadap proses penyerapan bahan kimia organik. Water Repellency ini terjadi pada rentang suhu 350 – 400 0F (176 – 204 0C). 2. Nutrisi Tanah Dalam peristiwa biokimia, kebakaran cenderung dapat meningkatkan konsentrasi dan pergerakkan yang pasti dari elemen-elemen yang mudah larut, khususnya dari kation potassium, kalsium dan magnesium; mengurangi persen dari beberapa anion seperti fosfat dan sulfat; mengurangi jumlah dari nitrogen organik dan meningkatkan daripada nitrogen inorganik; menaikkan kadar pH dan membebaskan residu dari karbon dalam bentuk abu dan arang. Adapun kaitannya dalam intensitas dan pusat terjadi kebakaran, material-material ini akan hilang/lepas dari sistem yang disebabkan oleh angin, erosi oleh air dan proses leaching yang terjadi secara terus menerus pada profil tanah. Kondisi seperti ini mungkin saja terjadi pada profil tanah, sebagian pada beberapa tempat penting
Universitas Sumatera Utara
untuk cadangan makanan di permukaan tanah dan lainnya seperti pada lapisan Water Repellency dalam tanah. 3. Organisme Tanah Kebakaran hutan biasanya menimbulkan dampak langsung terhadap kematian populasi dan organisme tanah serta dampak yang lebih signifikan lagi yaitu merusak habitat dari organisme itu sendiri. Perubahan suhu tanah dan hilangnya lapisan serasah, juga bisa menyebabkan perubahan terhadap karakteristik habitat dan iklim mikro. Kebakaran hutan menyebabkan bahan makanan untuk organisme menjadi sedikit, kebanyakan organisme tanah mudah mati oleh api dan hal itu dengan segera menyebabkan perubahan dalam habitat, hal ini kemungkinan menyebabkan penurunan jumlah mikroorganisme yang sangat besar dalam habitat. Efek negatif ini biasanya bersifat sementara dan populasi organisme tanah akhirnya kembali menjadi banyak lagi dalam beberapa tahun. Perubahan yang terjadi terhadap sifat-sifat tanah selama pemanasan berlangsung menurut Pyne et all (1996), yaitu meliputi peristiwa diantaranya : 1. Sifat biologi tanah merupakan sifat yang sangat sensitif sekali terhadap proses pemanasan pada tanah. Dengan suhu yang fatal organisme dapat bertahan hidup pada suhu di bawah 100 0C. 2. Dehidrasi komplet pada tanah terjadi ketika suhu mencapai 220 0C, walaupun tidak signifikan pengaruhnya terhadap sifat atau kimia tanah. 3. Pemanasan antara 220 0C – 460 0C, terjadi pembakaran terhadap bahan organik. Pengaruhnya terhadap sifat-sifat tanah tergantung pada bahan organik. Kerusakan terhadap bahan organik menjadi bermanfaat karena nutrisi
Universitas Sumatera Utara
makanan untuk tumbuhan menjadi tersedia dalam jumlah yang besar. Bagaimanapun juga, ini menyebabkan kerugian berupa rusaknya struktur tanah. Dengan luasnya kerugian/kerusakan yang terjadi tergantung dari penambahan bahan organik pada kebakaran yang terjadi selanjutnya. Hal itu, menyebabkan kerusakan lingkungan berupa kekeringan dimana lambatnya proses bahan organik untuk saling melengkapi. 4. Pemanasan di atas 460 0C, pergerakan dari kumpulan hidroxil (OH) mati pada kondisi tanah liat dan hingga mengacaukan struktur dari karbonat. Sifat irreversible ini merubah produksi dari tanah menjadi lebih kurang menyerap air, kuran plastis dan kurang elastis serta lebih mudah terjadi erosi. Respon-respon terhadap tanah yang digambarkan di atas dapat digunakan untuk menghasilkan daftar dari sifat-sifat fisik, kimia dan biologi tanah dan juga mengenai ambang batas temperatur tanah (Tabel. 2) (terlampir). Ambang batas temperatur
adalah
temperatur
dimana
nutrisi-nutrisi
tervolatilisasi
atau
kandungan-kandungan tanah berubah menjadi irreversible (De Bano et all, 1998). Daftar ini berisi mengenai kandungan tanah yang berubah bila suhu melebihi 460 0
C (tidak sensitif), antara 100 – 400 0C (agak sensitif) atau kurang dari 100 0C
(sensitif).
D. 2. Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Erosi Erosi adalah peristiwa terkikisnya atau terangkutnya bagian tanah dari suatu tempat ketempat lain oleh media alami air, angin atau es. Erosi meliputi proses pelepasan, penghanyutan dan pengendapan partikel tanah (Arsyad, 1989). Secara alami erosi ditentukan oleh faktor-faktor iklim, topografi, vegetasi dan
Universitas Sumatera Utara
tanah. Akan tetapi dengan adanya aktivitas manusia di alam, maka manusia menjadi faktor penting dalam mempengaruhi erosi (Sinukaban, 1986). Beberapa
faktor
yang
mempengaruhi
besarnya
erosi
menurut
Hardjowigeno (2003) adalah: •
Curah hujan
Jumlah hujan rata-rata tahunan yang tinggi tidak akan menyebabkan erosi yang berat apabila hujan tersebut terjadi merata, sedikit demi sedikit (intensitas hujan rendah), sepanjang tahun. Sebaliknya curah hujan rata-rata tahunan yang rendah mungkin dapat menyebabkan erosi berat bila hujan tersebut jatuh sangat deras (intensitas hujan tinggi) meskipun hanya sekali-sekali. •
Sifat-sifat tanah Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi kepekaan tanah terhadap erosi adalah:
Tekstur tanah Tanah-tanah dengan teksyur kasar seperti pasir adalah tahan terhadap erosi karena butiran-butiran yang besar (kasar)tersebut memerlukan lebih banyak tenaga untuk mengangkut. Demikian pula dengan tanah-tanah dengan tekstur halus seperti liat, tahan terhadap erosi karena daya kohesi yang kuat dari liat tersebut sehingga gumpalan-gumpalan sukar dihancurkan. Tekstur tanah yang paling peka terhadap erosi adalah debu dan pasir sangat halus. Oleh karena itu, makin tinggi kandungan debu dalam tanah, maka tanah makin peka terhadap erosi.
Bentuk dan kemantapan (tingkat perkembangan) struktur tanah Bentuk sturktur tanah yang membulat (granuler, remah, gumpal membulat), menghasilkan tanah dengan porositas tinggi sehingga air
Universitas Sumatera Utara
mudah meresap kedalam tanah, dan aliran permukaan menjadi kecil, sehingga erosi juga kecil. Demikian pula dengan tanah-tanah yang mempunyai struktur tanah mantap (kuat), yang berarti tidak mudah hancur oleh pukulan-pukulan air hujan, akan tahan terhadap erosi. Sebaliknya struktur tanah yang tidak mantap, sangat mudah hancur oleh pukulanpukulan air hujan, menjadi butir-butir halus sehingga menutupi pori-pori tanah. Akibatnya air infiltrasi terhambat dan aliran permukaan meningkat yang berarti erosi juga akan meningkat.
Daya infiltrasi atau permebilitas tanah Apabila daya infiltrasi tanah besar, berarti air mudah meresap kedalam tanah, sehingga aliran permukaan kecil. Akibatnya erosi yang terjadi juga kecil.
Kandungan bahan organik Kandungan bahan organik tanah menentukan kepekaan tanah terhadap erosi karena bahan organik mempengaruhi kemantapan struktur tanah. Tanah-tanah
yang
cukup
mengandung
bahan
organik
umumnya
menyebabkan struktur tanah menjadi mentap sehingga tahan terhadap erosi. Tanah dengan kandungan bahan organikkurang dari 2% pada umumnya peka terhadap erosi •
Lereng Erosi akan meningkat apabila lereng semakin curam atau semakin panjang. Apabila lereng semakin curam maka kecepatan aliran permukaan meningkat sehingga kekuatan mengangkut meningkat pula. Lereng yang semakin panjang menebabkan volume air yang mengalir semakin besar.
Universitas Sumatera Utara
Apabila dalamnya air menjadi dua kali lipat, maka kecepatan aliran menjadi 4 kali lebih besar, akibatnya maka besar benda ataupun berat benda yang dapat diangkut jga dapat berlipat ganda. •
Vegetasi Pengaruh vegetasi terhadap erosi adalah:
Menghalangi air hujan agar tidak jatuh langsung dipermukaan tanah, sehingga kekuatan untuk menghancurkan tanah sangat dikurangi. Hal ini tergantung dari kerapatan dan tingginya vegetasi tersebut. Makin rapat vegetasi yang ada, makin efektif terjadinya pencegahan erosi. Pohonpohon yang terlalu tinggi kadang-kadang kurang efektif karena air yang tertahan dipohon apabila jatuh kembali dari ketinggian lebih dari 7 m, tenaganya akan kembali menjadi besar (memperoleh 90% dari tenaga semula). Disamping itu butir-butir air yang tertahan di daun-daun akan saling terkumpul membentuk butir-butir air yang lebih besar, sehingga kalau jatuh ke tanah mempunyai tenaga yang lebih besar pula
Menghambat aliran permukaan dan memperbanyak air infiltrasi.
Penyerapan air ke dalam tanah diperkuat oleh transpirasi (penguapan air) melalui vegetasi.
•
Manusia Kepekaan tanah terhadap erosi dapat diubah oleh manusia menjadi lebih baik atau lebih buruk. Pembuatan teras-teras pada tanah yang berlerengcuram merupakan pengaruh baik menusia karena dapat mencegah erosi. Sebaliknya pengundulan hutan di daerah yang berlereng curam merupakan pengaruh manusia yang jelek karena dapat erosi dan banjir.
Universitas Sumatera Utara