II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep dan Definisi Tanah Pada tahun 1898 Dokuchaev mengusulkan proses pembentukan tanah dengan faktor pembentuknya. Prosesnya yaitu: s = f (cl, o, p) t0 Di mana s = tanah, cl = iklim, o = organisme, dan t0 yang merepresentasikan waktu relatif. Meskipun relief atau topografi tidak termasuk sebagai salah satu faktor pembentuk tanah pada persamaan tersebut, Dokuchaev mengakui bahwa relief sebagai salah satu faktor yang penting. Para ahli selanjutnya memodifikasi proses tersebut dan menambahkan relief sebagai faktor pembentuk tanah. Sehingga prosesnya menjadi : s = f (cl, o,r, p, t) Di mana s adalah tanah, cl adalah iklim lingkungan, o adalah organisme, r adalah relief, p adalah bahan induk, dan t adalah waktu terbentuknya tanah. Dengan demikian, proses pembentukan tanah terjadi akibat beberapa faktor yang saling beinteraksi sehingga dapat membentuk tanah. Faktor-faktor tersebut adalah iklim, organisme, topografi (relief), bahan induk, dan waktu. Kelima faktor tersebut dikenal dengan istilah faktor pembentuk tanah. Sebenarnya banyak sekali faktor lain yang mempengaruhi dalam proses pembentukan tanah, akan tetapi kelima faktor inilah yang dianggap paling berperan penting dalam proses pembentukan tanah (Gerrard, 1980). Para ahli mendefinisikan tanah sesuai dengan cara pandang dan penekanan yang digunakan oleh masing-masing ahli tersebut (Tan, 1994). Buol et al. (1980) mendefinisikan tanah sebagai suatu tubuh alam yang terdiri atas lapisan-lapisan atau horizon-horizon dari komponen mineral atau organik dengan ketebalan yang bervariasi. Sedangkan Tan (1994) menyebutkan bahwa tanah merupakan tubuh alam, penutup permukaan bumi yang mendukung pertumbuhan tanaman, dan terintegrasi akibat adanya pengaruh aktivitas iklim dan organisme terhadap bahan induk.
5
Selain para ahli secara individual, Soil Survey Staff (1975) mendefiniskan bahwa tanah adalah kumpulan tubuh alami pada permukaan bumi yang dapat berubah atau dibuat oleh manusia dari penyusun-penyusunnya, yang meliputi bahan organik yang sesuai bagi perkembangan akar tanaman. Di bagian atas dibatasi oleh oleh udara atau air yang dangkal, ke samping dapat dibatasi oleh air yang dalam atau bahkan hamparan es atau batuan, sedangkan bagian bawah dibatasi oleh suatu materi yang tidak dapat disebut sebagai tanah, yang sulit didefinisikan, ukuran terkecilnya 1 – 10 m2 tergantung pada keragaman horisonnya.
2.2. Proses Pembentukan Tanah Buol et al. (1980) menjelaskan bahwa setiap faktor mempunyai peran masing-masing dalam proses pembentukan tanah. Iklim merupakan faktor yang sangat penting dari proses pembentukan tanah. Suhu dan curah hujan sangat berpengaruh terhadap intensitas reaksi kimia dan fisika di dalam tanah. Adanya curah hujan dan suhu tinggi di daerah tropika menyebabkan reaksi kimia berjalan cepat sehingga proses pelapukan dan pencucian berjalan cepat. Selain itu, iklim berperan dalam proses erosi dan pengendapan tanah yang mengakibatkan terjadi pergerakan materi tanah termasuk bahan organik dari satu tempat ke tempat lain. Hal ini terjadi akibat adanya interaksi antara iklim (curah hujan) dengan faktor kemiringan lereng (relief). Organisme merupakan faktor pembentuk tanah yang tergolong aktif. Proses pelapukan mineral dan pencampuran merupakan salah satu tugas dari organisme makro dan mikro. Organisme ini mempengaruhi pembentukan humus, pembentukan profil tanah, dan sifat fisika-kimia tanah. Di samping itu organisme hidup memperlancar peredaran unsur hara dan membina struktur tanah yang baik. Di antara berbagai organisme, vegetasi (makroflora) merupakan yang paling berperan dalam mempengaruhi proses genesis dan pekembangan profil tanah, karena merupakan sumber utama biomass atau bahan organik tanah (Hanafiah, 2007). Bahan Induk menentukan sifat fisik maupun kimiawi tanah yang terbentuk secara endodinamomorf, tetapi pengaruhnya menjadi tidak jelas terhadap tanah-
6
tanah yang terbentuk secara ektodinamomorf. Sifat dari bahan induk dengan nyata dapat mempengaruhi ciri-ciri dari tanah, muda maupun dewasa, namun dalam perkembangannya terjadi proses pelapukan lebih lanjut bahkan mengalami pencucian atau erosi, maka pengaruh ini makin tidak jelas bahkan hilang sama sekali (Hanafiah, 2007). Relief adalah perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu daerah termasuk di dalamnya perbedaan kecuraman dan bentuk lereng. Relief mempengaruhi proses pembentukan tanah dengan cara mempengaruhi jumlah air hujan yang meresap atau ditahan masa tanah, mempengaruhi dalamnya air tanah, mempengaruhi besarnya erosi, dan mengarahkan gerakan air berikut bahan-bahan yang terlarut di dalamnya (Hardjowigeno, 2003). Waktu, berapa lamanya suatu bahan mengalami hancuran memegang peranan penting dalam pembentukan tanah. Peranan waktu dalam perkembangan tanah sangat tergantung pada faktor pembentuk tanah lainnya. Semakin lambat faktor pembentuk tanah bekerja, semakin lama pula waktu yang diperlukan untuk tanah tersebut mengalami perkembangan (weathering), begitu juga sebaliknya (Soepardi, 1983).
2.3. Klasifikasi tanah Klasifikasi merupakan alat penata atau pengorganisasian pengetahuan suatu objek yang diklasifikasikan, sehingga manusia mudah untuk mengingatnya. Melalui klasifikasi tanah, manusia akan lebih mudah untuk memahami sifat-sifat tanah baik secara umum maupun khusus. Klasifikasi tanah adalah suatu sistem pengelompokan tubuh-tubuh tanah yang sama berdasarkan sifat-sifat penciri tertentu (Rachim & Suwardi, 2002). Buol et al. (1980) mengemukakan lima tujuan klasifikasi tanah, yaitu : 1. Menata atau mengorganisir pengetahuan tentang tanah. 2. Memudahkan dalam mengingat sifat-sifat dan perilaku tanah. 3. Mengetahui hubungan antar individu tanah. 4. Mempelajari hubungan-hubungan dan sifat-sifat tanah yang baru. 5. Mengelompokan tanah untuk tujuan yang lebih praktis antara lain: menaksir sifat-sifat dan produktivitasnya, menentukan lahan yang buruk,
7
baik, atau terbaik, menentukan areal untuk pertanian, atau kemungkinan hasil ekstrapolasi penelitian di tempat lain.
2.3.1. Sistem Klasifikasi Tanah di Indonesia Terdapat 3 sistem klasifikasi tanah yang pernah dan atau masih digunakan di Indonesia saat ini. Sistem klasifikasi itu adalah sistem klasifikasi tanah Pusat Penelitian Tanah (1983), sistem klasifikasi tanah menurut FAO/UNESCO (1974), dan sistem Taksonomi Tanah yang dikembangkan oleh United State Departement of Agriculture (USDA). Sistem klasifikasi tanah PPT (1983) merupakan penyempurnaan dari sistem Dudal dan Soepraptohardjo (1957, 1961). Perbaikan didasarkan atas pengalaman para Staf Pusat Penelitian Tanah dan dari hasil evaluasi pemetaan yang telah dilakukan. Sistem klasifikasi PPT ini menggunakan enam kategori yaitu Golongan, Kumpulan, Jenis, Macam, Rupa, dan Seri. Kelebihan dari sistem ini yaitu: dasar klasifikasinya menggunakan bahan induk sehingga memudahkan dalam klasifikasi, dan sudah banyak dikenal oleh para ahli di Indonesia sehingga memudahkan dalam berkomunikasi. Sedangkan kelemahannya yaitu: sistem ini mengambil dari berbagai kriteria sistem klasifikasi, dan dari 6 kategori yang telah disusun, hanya 2 kategori yang berkembang yaitu Jenis dan Macam. Sistem klasifikasi FAO/UNESCO (1974) merupakan sistem klasifikasi yang dibuat berdasarkan rekomendasi International Society of Soil Science. Dalam sistem ini hanya dikenal nama tanah yang setara dengan greatgroup dan subgroup dalam sistem Taksonomi Tanah. Kelebihan dari sistem klasifikasi ini yaitu: sistematikanya sederhana, hanya terdiri dari 2 kategori sehingga mudah untuk diingat, dan dilengkapi dengan peta tanah dunia sehingga dapat mengetahui penyebaran setiap nama tanah di dunia. Sedangkan kelemahannya yaitu: sistem ini mengambil nama tanah dari berbagai negara sehingga kriterianya tidak begitu baik, dan didominasi nama-nama yang berasal dari negara pembuat sistem ini. Sistem Klasifikasi Tanah USDA, yaitu sistem Klasifikasi Taksonomi Tanah (Soil Taxonomy) yang dikembangkan oleh United State Departement of Agriculture (USDA) mulai 1975 telah dipakai secara luas di dunia. Sistem ini telah beberapa kali mengalami perbaikan baik definisi maupun nama-nama tanah
8
pada setiap kategori. Taksonomi tanah terus dikembangkan sehingga selalu mengalami perubahan dalam jangka waktu yang relatif pendek. Adapun kelebihan dari sistem Taksonomi Tanah ini ialah: Pertama, sistematikanya sangat baik, berjenjang seperti piramida dan setiap kategori berkembang proporsional. Kedua, nama pada setiap kategori memiliki arti khusus sehingga dari namanya dapat diketahui sifat-sifat tanahnya. Ketiga, sistem ini telah digunakan di seluruh dunia minimal untuk komunikasi ilmiah. Sedangkan kelemahannya, pertama, sistem ini belum banyak dikenal di Indonesia sehingga agak sulit untuk komunikasi selain ahli tanah. Kedua, untuk dapat mengklasifikasikan dengan sistem ini memerlukan data yang cukup detil dan akurat. Ketiga, pengembangan sistem ini sebagian besar berdasar tanah-tanah di Amerika sehingga tidak seluruh nama tanah yang ada di dalam sistem ini terdapat di Indonesia (Suwardi & Hidayat, 2000). Indonesia termasuk negara yang merekomendasikan penggunaan sistem Taksonomi Tanah dalam pembuatan peta tanah pada setiap survei tanah sejak Kongres Nasional V Himpunan Ilmu Tanah Indonesia di Medan tahun 1989 (Hardjowigeno, 1993). Sistem ini dinilai lebih komprehensif dibandingkan dengan sistem yang dikembangkan oleh Pusat Penelitian Tanah (PPT, 1983) maupun FAO/UNESCO (1974) (Suwardi & Hidayat, 2000). Kategori Sistem Taksonomi Tanah adalah sekumpulan kelas yang ditentukan kira-kira pada tingkat keumuman (generalisasi) atau abstraksi yang sama dan mencakup semua tanah. Dalam taksonomi tanah ada enam kategori, menurut urutan penggolongan dan peningkatan jumlah pembeda dan kelas-kelas, kategori tersebut adalah order, suborder, greatgroup, subgroup, family, dan serie. Kategori order adalah tingkat pengelompokan tanah tertinggi. Order dibedakan oleh kehadiran dan ketidakhadiran horison penciri atau sifat yang menjadi pembeda tanah dalam derajat dan jenis sekumpulan proses pembentukan tanah yang dominan yang telah berjalan. Kategori suborder adalah kategori satu tingkat di bawah order. Suatu order dapat dipilah-pilah lagi untuk mengurangi keragaman sifat ke dalam kelaskelas pada tingkat suborder. Alasan pembedaan utamanya adalah ketidakhadiran diferensiasi horison.
9
Kategori greatgroup adalah kategori di bawah suborder, yang menunjukan sifat-sifat taksa lebih homogen dari pada sifat-sifat taksa pada suborder. Pembeda dalam kategori ini menempatkan tanah bersama-sama yang memiliki sifat-sifat umum berikut : 1. Kesamaan yang erat dalam jenis, pengaturan, dan derajat ekspresi horison. 2. Kesamaan yang erat dalam regim kelembaban dan temperatur. 3. Kesamaan status basa. Kategori subgroup adalah kategori satu tingkat di bawah greatgroup. Kategori ini mempunyai tujuan dalam mengelompokan tanah sebagai tanda pada sekumpulan proses yang dominan atau penting pada kategori greatgroup, suborder, atau order. Kategori Family adalah kategori yang tujuannya dalam mengelompokan tanah dalam subgroup yang memiliki sifat fisik dan kimia yang sama, yang mempengaruhi
tanggapan
terhadap
pengolahan
atau
manipulasi
dalam
penggunaannya. Family ditentukan terutama untuk mengelompokan tanah dengan tekanan : 1. Distribusi ukuran butir dalam horison-horison aktivitas biologi utama di bawah kedalaman lapisan olah. 2. Mineralogi horison-horison yang sama diperhatikan dalam penamaan kelas-kelas ukuran butir. 3. Regim temperatur. 4. Ketebalan tanah yang dapat dipenetrasi akar. 5. Beberapa sifat lain yang digunakan dalam penentuan beberapa family untuk menghasilkan homogenitas yang diperlukan. Kategori serie adalah kategori terendah dalam taksonomi tanah. Ada dua jenis pembeda yang ditetapkan untuk serie, yaitu: 1. Pembeda antara family dan antara kelas-kelas dari semua kategori yang lebih tinggi adalah sebagai pembeda antar serie. Suatu serie tidak dapat melewati selang batas dua family atau dua kelas dari kategori lebih tinggi. 2. Pembeda antar serie di dalam family yang sama adalah ditekankan pada satu atau lebih selang sifat dari family (Rachim, 2001).
10
2.4. Karakteristik Tanah untuk Klasifikasi Sejumlah sifat tanah merupakan kunci dalam pengklasifikasian tanah. Sifat-sifat tanah tersebut dapat dikelompokan ke dalam sifat morfologi yang dapat diamati di lapangan dan sifat-sifat kimia yang dapat diketahui melalui analisis laboratorium. Sifat-sifat morfologi tanah yang dapat diamati di lapangan diantaranya horison tanah, warna tanah, tekstur lapang, dan kedalaman efektif tanah. Sedangkan sifat-sifat kimia tanah yang diketahui melalui analisis laboratorium diantaranya adalah tekstur tanah, pH tanah, dan kapasitas tukar kation (KTK) tanah. Horison tanah adalah lapisan tanah yang hampir sejajar dengan permukaan tanah yang terbentuk karena proses pembentukan tanah (Suwardi & Hidayat, 2000). Ada 6 horison utama yang menyusun profil tanah berturut-turut dari atas ke bawah yaitu horison O, A, E, B, C, dan R. Sedang horison yang menyusun solum tanah adalah hanya horison A, E, dan B. Horison O merupakan horison organik yang terbentuk di atas lapisan tanah mineral. Di daerah rawa-rawa horison O merupakan horison utama pada tanah gambut (Histosol). Horison A merupakan horison di permukaan tanah yang terdiri dari campuran bahan organik dan bahan mineral berwarna lebih gelap daripada horison di bawahnya. Horison E merupakan horison di mana terjadi pencucian (eluviasi) maksimum terhadap liat, Fe, Al, bahan organik, serta berwarna pucat. Horison B dalah horison utama, yang terdiri dari bahan-bahan telah diubah secara kimia dan fisik, telah kehilangan hampir seluruhnya atau semua struktur batuan asal, dan telah terbentuk di bawah horison A, E, dan O. Horison C merupakan bahan induk, sedikit terlapuk, sehingga lunak dan dapat ditembus oleh akar tanaman. Horison R merupakan batuan keras yang belum dilapuk, horison ini tidak dapat ditembus oleh akar tanaman. Kedalaman efektif tanah merupakan kedalaman di mana perakaran tanaman masih bisa masuk ke dalam tanah dan berkembang dengan baik. Kedalaman tersebut umumnya dibatasi oleh suatu lapisan penghambat, misalnya berupa batu keras (bedrock), padas atau lapisan lain yang menganggu atau menghambat perkembangan perakaran. Kedalaman efektif tanah dikelompokan menjadi 3 (tiga) kelas, yaitu: dangkal (<25 cm), sedang (25-75 cm), dan dalam
11
(>75 cm) (Soepraptohardjo, 1970; Pusat Penelitian Tanah, 1983; Direktorat Konservasi Tanah Dephut, 1984). Tekstur tanah, biasanya juga disebut besar butir tanah merupakan karakteristik tanah yang berhubungan erat dengan pergerakan air, zat terlarut, dan luas permukaan spesifik (specifik surface) yang mempengaruhi potensi tanah (Hilel, 1982). Tekstur tanah adalah perbandingan relatif antara fraksi pasir, debu, dan liat, yaitu partikel tanah yang berdiameter efektif < 2 mm. Berbagai lembaga penelitian atau institut mempunyai kriteria sendiri untuk membagi fraksi partikel tanah. Dalam bidang pertanian umumnya menggunakan klasifikasi menurut United State Departement of Agriculture (USDA). Berdasarkan perbandingan ke3 fraksi tanah, terkstur tanah di bagi menjadi 12 (dua belas) tekstur tanah (Soil Survei Manual, 1993), yaitu: pasir, pasir berlempung, lempung berpasir, lempung, lempung berdebu, debu, lempung liat berpasir, lempung berliat, lempung liat berdebu, liat berpasir, liat berpasir, liat berdebu, dan liat. Soepraptohardjo (1970), Subagyo (1975), dan Direktorat Konservasi Tanah Dephut (1984) untuk keperluan evaluasi potensi atau kemampuan lahan telah melakukan penyederhanan kelas tekstur tanah menjadi 3 (tiga), yaitu: kasar, sedang, dan halus. Kemasaman tanah atau pH tanah merupakan jumlah log [H+] dalam larutan tanah. pH tanah dapat memperkirakan keadaan hara tanah, jumlah basabasa, tingkat pelapukan tanah, derajat pencucian tanah. pH tanah menurut Soepraptohardjo (1970), Subagyo (1975), dan Pusat Penelitian Tanah (1983) dikelompokan menjadi 5 (lima) klas, yaitu: sangat masam (pH <4,5), masam (pH 4,5-5,6), agak masam (pH 5,6-6,5), netral (pH 6,6-7,5), dan alkalis (pH >7,5). Kapasitas Tukar Kation (KTK) merupakan kemampuan tanah untuk menahan dan menukarkan kation-kation/basa-basa. KTK yang tinggi merupakan petunjuk bahwa tanah mempunyai kemampuan untuk menahan unsur hara yang besar. KTK tanah antara lain dipengaruhi oleh kadar liat dan C-organik tanah (Tisdale dan Nelson, 1975; Tan, 1991), pH tanah untuk muatan terubahkan (Juo dan Adams, 1986), kandungan oksida besi (Rachim, 1994; Hidayat, 1996). Kondisi tersebut terkait dengan jenis bahan induk tanah dan kondisi iklim di mana tanah tersebut terbentuk. KTK tanah dikelompokan menjadi 3 (tiga) kelas, yaitu:
12
rendah (<16 me/100 g tanah), sedang (16-24 me/100 g tanah), tinggi (>24 me/100 g tanah) (Pusat Penelitian Tanah, 1983).
2.5. Kaidah Pemetaan Tanah 2.5.1. Pengertian Peta Tanah Data tanah dapat disajikan secara spasial dengan berbagai teknik tergantung tujuan (intensitas pengamatan) dan teknik pelaksanaannya yang kesemuanya dapat dipandang sebagai peta tanah. Berdasarkan cara penyajiannya, peta tanah dapat dibedakan sebagai berikut: 1. Peta tanah bersimbolkan titik (Point soil maps), yaitu peta yang menunjukkan lokasi titik-titik pengamatan yang sesungguhnya dilakukan, disertai nama taksa (kelas) tanah atau satu atau lebih sifat-sifat tanah. 2. Peta tanah poligon kelas-areal. Daerah survei dibagi atau beberapa poligon dengan menggunakan garis batas secara tegas. Masing-masing poligon diberi simbol dengan nama kelas dan tiap-tiap kelas dijelaskan dalam legenda. 3. Peta lapangan kontinyu yang dibuat dengan metode interpolasi. Peta ini umumnya disajikan dengan isoline atau pada grid halus. Peta ini memperlihatkan kontinuitas sebaran sifat sifat tanah yang diduga dengan jalan interpolasi. 4. Peta lapangan kontinyu yang dibuat melalui pengamatan langsung di seluruh daerah survei. Peta ini umunya disajikan dengan peta grid. Peta ini memperlihatkan sebaran sifat tanah kontinyu yang diukur. Dari semua jenis peta tanah tersebut, peta tanah poligon kelas-areal merupakan peta yang paling umum dibuat (Rayes, 2006). Peta tanah jenis ini merupakan peta yang dibuat untuk memperlihatkan sebaran taksa tanah dalam hubungannya dalam kenampakan fisik dari permukaan bumi (Soil Survei Staff, 1975). Pada setiap peta tanah digambarkan garis-garis batas (delineasi) tanahtanah yang dijumpai di lapangan. Garis batas tersebut membentuk poligonpoligon yang digambarkan pada peta tanah yang disebut satuan peta tanah (SPT),
13
yang merupakan gambar sebaran tubuh tanah di lapangan (serupa dengan polipedon). Dalam setiap peta tanah umumnya selalu berisikan lebih dari satu satuan peta tanah. Pada setiap satuan peta tanah, dapat terdiri atas satu satuan (taksa) tanah tertentu atau dapat pula terdiri atas dua atau lebih taksa tanah, baik itu berupa asosiasi maupun kompleks tanah yang didefinisikan dalam istilah taksonomi tanah atau sistem klasifikasi tanah lainnya.
2.5.2. Prinsip dan Tingkat Pemetaan Berdasarkan teknik pelaksanaannya, terdapat dua pendekatan yang ditempuh oleh pemeta, yaitu: 1. Pendekatan sintetik (synthetic approach), mengamati, mendeskripsi dan mengklasifikasikan profil tanah (pedon) pada beberapa lokasi di daerah survei kemudian membuat (mendelineasi) batas di sekitar daerah yang mempunyai profil tanah serupa, sesuai dengan klasifikasi yang digunakan. 2. Pendekatan analitik (analytical approach), membagi ‘kontinum’ atas persil-persil atau satuan-satuan berdasarkan dalam pengamatan perubahan dalam sifat-sifat tanah eksternal (sifat bentang lahan), melalui interpretasi foto udara, yang diteruskan dengan melakukan pengamatan dan pengklasifikasian tanah untuk masing-masing satuan yang dibuat tersebut. Berdasarkan tingkatannya, survei tanah dibedakan atas enam macam, yaitu peta tanah bagan, eksplorasi, tinjau, semi-detil, detil dan sangat detil. Masingmasing peta tersebut memiliki skala peta yang berbeda-beda. Peta tanah bagan, peta ini dibuat sebagai hasil kompilasi dan generalisasi peta-peta tanah eksplorasi atau peta tanah tinjau. Peta ini hanya digunakan untuk memperoleh gambaran umum tentang sebaran tanah secara nasional. Dalam pembuatannya tidak dilakukan pengamatan lapangan. Skala peta sama atau lebih kecil dari 1:2.500.000. Peta tanah eksplorasi, peta ini menyajikan keterangan yang sangat umum tentang keadaan tanah dari suatu daerah. Biasanya peta ini dibuat dengan survei yang dilakukan sepanjang jalan atau menggunakan helikopter pada tempat-tempat tertentu yang dianggap mempunyai perbedaan jenis tanah, yang ditunjukkan oleh
14
bentang alam yang berbeda. Survei ini juga dapat dilakukan dengan bantuan interpretasi foto udara atau citra satelit, dengan intensitas pengamatan yang sangat rendah. Skala bervariasi dari 1:500.000 hingga 1:1.000.000. Peta tanah tinjau, umumnya peta ini dibuat pada skala 1:250.000. Satuan peta didasarkan atas satuan tanah-bentuk lahan atau sistem lahan yang didelineasi melalui interpretasi foto udara dan atau citra satelit. Pengamatan di lapangan kurang lebih 1 untuk 12,5 km2. Peta tanah semi-detil, peta ini umumnya dibuat dengan skala 1:50.000, dengan intensitas pengamatan sekitar 1 untuk setiap 50 hektar, tergantung dari kerumitan bentang lahan. Biasanya dilakukan dengan sistem grid yang dibantu oleh hasil interpretasi foto udara dan citra satelit. Peta ini memberi gambaran tentang potensi daerah secara lebih terperinci serta dapat menunjukkan lokasi proyek yang akan dilaksanakan. Peta tanah detil, peta ini biasanya dibuat dengan skala 1:25.000 dan 1:10.000 serta ditujukan untuk mempersiapkan pelaksanaan suatu proyek termasuk proyek konservasi tanah sehingga informasi sifat dan ciri tanah diuraikan sedetil mungkin. Jumlah pengamatan untuk tanah adalah sekitar 1 untuk setiap 2 ha sampai 12,5 ha. Peta tanah sangat detil, peta tanah ini mempunyai skala > 1:10.000. Pengamatannya 2 atau lebih untuk setiap hektarnya. Peta ini ditujukan untuk penelitian khusus, misalnya untuk petak percobaan pertanian guna mempelajari variabilitas respons tanaman terhadap pemupukan atau perlakuan tertentu dan lain-lain (Rayes, 2006).
2.5.3. Pendekatan Metode Survei Tanah Terdapat 3 macam pendekatan metode survei tanah, yaitu metode grid, sistem fisiografi dengan bantuan interpretasi foto udara, dan grid bebas yang merupakan penerapan gabungan dari kedua pendekatan tersebut. Metode survei grid biasa disebut juga metode grid kaku. Skema pengambilan contoh tanah secara sistematik dirancang dengan mempertimbangkan kisaran spasial autokorelasi yang diharapkan. Jarak pengamatan dibuat secara teratur pada jarak tertentu untuk seluruh daerah survei. Pengamatan tanah dilakukan dengan pola teratur dan jarak
15
pengamatan tergantung dari skala peta. Survei grid ini sangat cocok diterapkan pada daerah yang posisi pemetanya sukar ditentukan dengan pasti. Keuntungan dari metode survei grid ini diantaranya tidak memerlukan penyurvei yang berpengalaman karena lokasi titik-titik pengamatan sudah diplot pada peta rencana pengamatan, sangat baik diterapkan pada daerah yang luas yang memerlukan penyurvei dalam jumlah besar, cukup teliti dalam menentukan batas satuan peta tanah pada daerah survei yang relatif datar, dan dapat mengurangi sejumlah sifat tanah pada suatu variasi yang menggambarkan proporsi yang besar dari data yang tersedia. Kerugian dari metode survei grid ini antara lain memerlukan waktu yang lama, pemanfaatan seluruh titik-titik pengamatan sehingga tidak efektif, sebagian lokasi pengamatan tidak mewakili satuan peta yang dikehendaki. Metode selanjutnya adalah metode survei fisiografi. Survei ini diawali dengan melakukan interpretasi foto udara (IFU) untuk mendelineasi landform yang terdapat di daerah survei, diikuti dengan pengecekan lapangan terhadap komposisi satuan peta, biasanya hanya di daerah pewakil. Survei ini umumnya diterapkan skala 1:50.000 - 1:200.000. Metode ini hanya dapat diterapkan jika tersedia foto udara yang berkualitas tinggi. Batas satuan peta sebagian besar atau seluruhnya didelineasi dari hasil IFU. Metode yang terakhir adalah metode grid bebas (fleksibel). Metode ini merupakan perpaduan metode grid kaku dan metode fisiografi. Metode ini diterapkan pada survei detil hingga semi-detil, foto udara berkemampuan terbatas dan di tempat-tempat yang orientasi di lapangan cukup sulit dilakukan. Pengamatan lapangan dilakukan seperti pada grid-kaku, tetapi jarak pengamatan tidak perlu sama dalam dua arah, tergantung fisiografi daerah survei. Dengan demikian kerapatan pengamatan disesuaikan menurut kebutuhan skala survei yang dilaksanakan serta tingkat kerumitan pola tanah di lapangan (Rayes, 2006).
2.6. Konsep dan Dasar-dasar Klasifikasi Landform Sebagaimana sistem klasifikasi di bidang lain (flora, fauna, tanah, dan lain-lain) yang mempunyai dasar-dasar dan sistematik tertentu, klasifikasi landform juga harus ada dasar yang jelas dan disusun secara sistematik
16
berdasarkan kategori-kategori dari golongan atau kelompok yang besar menjadi kelompok yang kecil (hirarki). Mengingat bahwa landform merupakan bentukan alam yang terjadi melalui serangkaian proses geomorfik dan evolusi, maka klasifikasi landform didasarkan kepada kedua hal tersebut.
2.6.1. Pengertian Bentuk Lahan (Landform) Bentuk lahan (landform) adalah bentukan alam di permukaan bumi, khususnya di daratan, yang terjadi karena proses geomorfik tertentu dan melalui serangkaian evolusi tertentu pula, dan dapat dibedakan berdasarkan skalanya dari sub-kontinental (misalnya rangkaian pegunungan) sampai bagian dari lereng tunggal (Marsoedi et al., 1997). Sedangkan Bloom (1979) mendefinisikan landform adalah setiap elemen dari bentang lahan (lanskap) yang dapat diamati secara keseluruhan, dan mempunyai bentuk yang konsisten atau perubahan bentuk yang teratur.
2.6.2. Faktor dan Proses Landform Menurut Wiradisastra et al. (1999) bentuk-bentuk lahan yang ada di muka bumi terjadi melalui proses geomorfik yaitu semua perubahan, baik fisik maupun kimia yang mempengaruhi perubahan bentuk permukaan bumi. Faktor penyebabnya berupa tenaga geomorfik yaitu semua media alami yang mampu memantapkan dan mengangkut bahan di permukaan bumi. Tenaga tersebut antara lain berupa air mengalir, air tanah, gletser, angin, dan gerakan air lainnya (gelombang laut, pasang surut, dan tsunami). Menurut Thornbury (1969) secara garis besar proses geomorfik yang membentuk rupa bumi terdiri dari proses eksogenetik (epigenetik), endogenetik (hipogenetik), dan ekstraterestrial. Proses eksogenetik terjadi melalui proses gradasi dan aktivitas organisme termasuk manusia. Proses gradasi dapat berupa degradasi yang dapat terjadi melalui proses hancuran iklim (weathering processes), gerakan massa (mass wasting), dan erosi. Proses gradasi dapat pula terjadi melalui agradasi yang penyebabnya berupa air mengalir, air tanah, gelombang air (laut atau danau), arus pasang surut, tsunami, gerakan angin dan
17
gletser. Proses endogenetik terjadi melalui diastrofisme dan volkanisme, sedangkan proses ekstraterestrial terjadi melalui jatuhnya meteor. Proses hancuran iklim dan erosi yang terjadi pada batuan memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap bentuk lahan, yang disebabkan oleh tiga faktor utama, yaitu: kondisi iklim, jenis penyusun batuan, dan lamanya proses pembentukan lahan tersebut (Desaunettes, 1975).
2.6.3. Sistem Klasifikasi Landform di Indonesia Christian & Steward (1968) menggunakan pendekatan Landsystem. Pendekatan ini dikembangkan di Australia dan di Indonesia pernah digunakan oleh Departemen Transmigrasi pada tahun 1989 dalam proyek RePPProT. Sistem klasifikasi ini menggunakan aspek geomorfologi, iklim dan penutupan lahan. Desaunnetes (1977), dengan “Catalogue Landform for Indonesia” yang menggunakan pendekatan fisiografik dan bentuk wilayah. Katalog ini digunakan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat dalam penyusunan sistem klasifikasi lahan untuk Proyek LREPP-I tahun 1985-1990. Zuidam (1979) & Zuidam and Cancelado (1978) dengan metode “Terrain Analysis” nya, menggunakan dasar geomorfologi disertai keadaan bentuk wilayah, stratigrafi dan keadaan medan. Buurman dan Balsem (1990) menggunakan pendekatan satuan lahan. Sistem ini digunakan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat dalam penyusunan sistem klasifikasi lahan untuk Proyek LREPP-I di Pulau Sumatra tahun 1985-1990. Marsoedi, et.al. (1997) menggunakan pendekatan proses geomorfik. Sistem ini merupakan perbaikan sistem Desaunnetes dan Buurman & Balsem dengan memperhatikan kondisi di Indonesia.
2.6.4. Klasifikasi Landform LREPP I Land Resources Evaluation and Planning Project (LREPP I) adalah kegiatan survei dan pemetaan tanah tingkat tinjau dengan skala 1 : 250.000 di Pulau Sumatera. Pembagian landform dalam LREPP I ini, kategori paling tinggi berupa grup-grup fisiografi yang pada dasarnya berdasarkan proses geomorfik.
18
Namun masih terdapat grup fisiografi yang masih tidak konsisten dalam penamaannya, yaitu grup perbukitan, grup pegunungan, dan grup dataran, yang menggunakan terminologi bentuk wilayah (relief). Di samping itu, karena sistem ini digunakan khusus untuk Pulau Sumatera, maka muncul grup-grup fisiografi khusus karena kekhasannya, yaitu: Grup dataran Tuff masam dan grup Tuff Toba masam.
2.6.4.1. Landform Utama LREPP I Grup Kubah Gambut (D), gambut ombrogen yang luas di daerah dataran pantai, membentuk kubah setinggi 10 m atau lebih (di atas level batas permukaan air sungai tertinggi), pada umumnya dipengaruhi oleh air dengan salinitas tinggi. Bagian ini tidak termasuk kedalam bagian gambut topogen dengan level permukaan hampir tidak cembung yang terjadi pada bagian rawa belakang. Grup Aluvial dan daerah tersebut merupakan daerah yang mengalami banjir musiman akibat posisi topografi daerah tersebut. Vegetasi khusus : hutan gambut. Grup Aluvial (A), landform lain yang terkait dengan aktivitas danau muda/recent, meandering dan sungai braiding, dan proses pengendapan akibat kemiringan lereng (koluvium), tidak termasuk bagian-bagian di mana marin berpengaruh dominan
(tidak salin). Landform ini sebagian besar terdiri dari
dataran aluvial yang luas pada daerah pantai, lembah sungai pada daerah dataran tinggi, endapan koluvial pada kipas aluvium dan foot slopes, endapan lakustrin, dan teras sungai. Grup Marin (B), landform recent dan subrecent lainnya yang terkait dengan proses marin dan perimarin; lingkungan payau dan salin: punggung pesisir, cekungan pesisir, rawa air asin, dataran lumpur, mangrove, endapan delta, endapan estuarin, bukit pasir, terumbu karang. Grup ini bukan termasuk landform yang berumur lebih tua, daerah dataran angkatan atau teras marin (pencucian garam). Grup Teras Marin (T), dataran pantai dan teras abrasi yang terangkat, tererosi, dan tertoreh. Torehan landform, datar, horisontal, atau mempunyai permukaan lereng yang halus. Landform ini mempunyai luas yang besar, pada umumnya subsoil terdiri atas stratifikasi endapan marin atau hasil erosi batuan
19
yang lebih tua. Teras sungai dan teras lakustrin tidak termasuk ke dalam satuan landform ini, akan tetapi termasuk ke dalam grup landform Aluvial. Grup Dataran Tuff Masam (I), dataran luas yang terdiri atas akumulasi tuff volkan masam dengan karakteristiknya, landform, dan tanah. Tuf masam utama yang tergolong pada grup ini adalah formasi Palembang (QTpv, Tpp, Tmp) pembentuk tuff Lampung (Qhv), tuff Ranau (Qrv), dan lain-lain. Tuff masam ini juga dikenal dengan istilah “ Ignimbrites”, bagian dari tuff yang telah mengendap di dalam lingkungan cekungan marin. Rhyolit Toba tidak termasuk ke dalam bagian ini. Grup Dataran (P), dataran lain yang tidak terbentuk dari bahan volkan masam. Daerah-daerah yang mempunyai keseragaman lereng dengan kemiringan kurang dari 16% dan amplitudo kurang dari 50 m, serta cakupannya sangat luas. Bentang lahan tua; yang telah tererosi dan terpotong. Volkan muda, marin, dataran aluvial, dan dataran karst tidak termasuk ke dalam grup landform ini. Grup Tuff Toba Masam (Q), tuff masam yang berasal dari erupsi Toba (Toba Rhyolite), mencakup ketinggian 0 – 2000 m. Pada umumnya panjang, mempunyai derajat kemiringan lereng yang homogen, terdapat pada lembahlembah sungai, plateau. Akumulasi endapan tuff masam, kadang terlihat. Grup Volkanik (V), landform lain yang berumur recent dan subrecent, secara umum intermedier sampai mafik, aktivitas volkan. Stratovolkan dan hasil erosi stratovolkan, aliran lava, plateau lava, lahar. Blok patahan volkan tidak termasuk di dalamnya, dan subgrup ini tidak mencakup Rhyolit Toba. Grup Karst (K), landform yang sebagian besar terbentuk oleh bahan berkapur. Bentuknya secara umum tidak beraturan, pelarutan bahan kapur lunak menimbulkan munculnya batu gamping yang keras yang tahan terhadap pelarutan ke permukaan. Berlereng curam dan bentuknya berombak tidak beraturan dibandingkan dengan bahan yang muncul secara horisontal. Pada batu gamping yang keras, tanah pada umumnya tidak memiliki solum yang dalam, kecuali terjadi pada lekukan-lekukan daerah tersebut. Pada umumnya tanah yang terdapat pada landform ini mempunyai solum yang dangkal dengan ketebalan yang beragam. Pada umumya terdapat jalur drainase yang tampak jelas.
20
Grup Perbukitan (H), landform yang terbentuk oleh proses erosi dan orogenesa, terdiri dari bukit kecil dan perbukitan dengan amplitudo relief 10 – 50 m atau 50 – 300 m, dengan bahan induk yang bervariasi. Termasuk di dalamnya yang diakibatkan oleh proses struktural. Grup Pegunungan dan Plateau (M), gunung : area yang sangat luas dengan amplitudo relief lebih dari 300 m. Rangkaian pegunungan, blok pegunungan. Daerah ketinggian yang relatif datar, sedikit atau banyak tertoreh, dibatasi oleh tebing yang terjal menuju daerah yang lebih rendah. Landform pegunungan akibat proses volkanik baru dan Rhyolit Toba tidak termasuk ke dalam bagian ini. Grup Aneka, landform lain yang tidak termasuk ke dalam salah satu grup landform, dan bukan lahan pertanian atau pengaruh aktivitas manusia. Termasuk ke dalam landform ini adalah lembah curam, kota, danau, tempat pembuangan sampah akhir, dan lain-lain (Buurman dan Balsem, 1990).
2.6.5. Klasifikasi Landform LREPP II Second Land Resource Evaluation and Planning Project (LREPP II) adalah proyek kegiatan survei dan pemetaan tanah tingkat semi detil dengan skala 1:50.000 pada tahun 1992-1997 pada beberapa wilayah di Indonesia. Kegiatan LREPP II ini merupakan lanjutan kegiatan LREPP I yang telah melaksanakan kegiatan survei sumberdaya lahan tingkat tinjau skala 1:250.000 di Pulau Sumatera. Sistem pambagian landform yang diterapkan oleh LREPP II ini merupakan hasil perbaikan dari sistem landform LREPP I yang dinilai masih kurang konsisten antara proses geomorfik dan relief. Kategori paling tinggi dalam sistem landform LREPP II didasarkan pada proses geomorfik utama, yaitu proses geomorfik karena gaya endogen/hipogen, gaya eksogen/epigen, dan gaya ekstraterestrial. Kategori-kategori selanjutnya didasarkan atas bentukan landformnya sendiri, relief, litologi, tingkat erosi atau torehan, dan sebagainya (Marsoedi et al., 1997).
21
2.6.5.1. Landform Utama LREPP II Grup Aluvial (A), landform muda (recent dan subrecent) yang terbentuk dari proses fluvial (aktivitas sungai), koluvial (gravitasi), atau gabungan dari proses fluvial dan koluvial. Grup Marin (M), landform yang terbentuk dari proses marin, baik yang bersifat konstruktif (pengendapan) maupun destruksi (abrasi). Daerah yang terpengaruh air permukaan yang bersifat asin secara langsung ataupun daerah pasang-surut tergolong dalam landform marin. Grup Fluvio-Marin (B), landform yang terbentuk oleh gabungan dari proses fluvial dan marin. Keberadaan landform ini dapat terbentuk pada lingkungan laut (berupa delta) ataupun di muara sungai yang terpengaruh langsung oleh aktivitas laut. Grup Gambut (G), landform yang terbentuk di daerah rawa (baik rawa pedalaman maupun maupun di daerah dataran pantai) dengan akumulasi bahan organik yang cukup tebal. Landform ini dapat berupa kubah (dome) maupun bukan kubah. Grup Eolin (E), landform yang terbentuk oleh proses pengendapan bahan halus (pasir, debu) yang terbawa angin. Grup Karst (K), landform yang didominasi oleh bahan batu gamping keras dan masif, pada umumnya keadaan topografi daerah tidak teratur. Landform ini terbentuk terutama karena proses pelarutan bahan batuan penyusun, dengan terjadinya antara lain : sungai di bawah tanah, gua-gua dengan stalaktit dan stalagmit, sinkhole, doline, uvala, polje, dan tower karst. Grup Volkanik (V), landform yang terbentuk karena aktivitas volkan atau gunung berapi. Landform ini terutama dicirikan dengan adanya bantukan kerucut volkan, aliran lahar, lava ataupun wilayah yang merupakan akumulasi bahan volkanik. Grup Tektonik dan Struktural (T), landform yang terbentuk sebagai akibat dari proses tektonik (orogenesis dan epirogenesis) berupa proses angkatan, lipatan, dan atau patahan. Umumnya Landform ini mempunyai bentukan yang ditentukan oleh proses-proses tersebut dan karena sifat litologinya (struktural).
22
Grup Aneka (X), bentukan alam atau hasil kegiatan manusia yang tidak termasuk dalam grup yang telah diuraikan di atas, misalnya : lahan rusak, singkapan batuan, penambangan, penggalian, landslide, wilayah sangat berbatu, dan lain-lain (Marsoedi et al., 1997).
2.6.6. Kerangka Acuan LREPP II Tujuan utama dari kegiatan proyek LREPP II ini adalah pengembangan kemampuan institusional dalam hal pengumpulan, penelitian, evaluasi, penyajian, dan pengelolaan data sumberdaya lahan serta penggunaannya dalam proses perencanaan fisik (Marsoedi et al., 1997). Secara garis besar kerangka acuan pelaksanaan proyek LREPP II adalah sebagai berikut :
Pengumpulan dan Evaluasi Data
Interpretasi Foto Udara
- Peta Rupa Bumi 1: 50.000
- Delineasi Landform
- FU dan Citra Satelit
- Delineasi Land use &
- Data Iklim
Vegetasi
- Data Pendukung
Persiapan
Prasurvei
Laporan Persiapan
Pengamatan sifat dan penyebaran
Survei Tanah Utama
tanah Analisa Tanah - Fisik & Kimia - Korelasi Tanah
Digitasi & Pencetakan Peta Tanah
Gambar 1. Diagram alir proses pemetaan LREPP II