II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Fuit Soy Bar
Fruit soy bar (Gambar 1) adalah makanan ringan berbentuk batang yang terbuat dari tepung kedelai utuh dan buah-buahan kering. FSB diolah dengan cara pengolahan oven baking sehingga secara fisik tampak berwarna cokelat. Kedelai dan buah sebagai bahan dasar mengandung gizi penting seperti protein, serat, vitamin dan mineral. Selain itu, terdapat komponen bioaktif yang dianggap sangat baik untuk kesehatan tubuh yaitu isoflavon yang berasal dari kedelai.
Gambar 1. Fruit soy bar Fruit soy bar menjadi trend masa kini dalam dunia pangan khususnya segmentasi snack sehat. Masyarakat yang hendak merasakan kenikmatan makanan tetapi tidak ingin mengorbankan kesehatan, dapat menggunakan FSB sebagai salah satu pilihan. Berbagai keunggulan yang dikedepankan oleh FSB komersial di Indonesia adalah: berprotein, memiliki nilai indeks glikemik rendah (Low GI), mengandung isoflavon dan vitamin, serta kaya serat pangan. Penelitian ini hanya memfokuskan aspek proteinnya. Mengingat beberapa fungsi utama protein di antaranya sebagai zat pembangun/ pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh. Pertumbuhan berarti bertambahnya massa otot atau bobot badan. Pertumbuhan akan terjadi bila kecukupan asam amino dari proteinnya melebihi untuk pemeliharaan jaringan tubuh (Muchtadi, 2010). Padahal kondisi ini tentu tidak diharapkan menjadi efek dari snack yang dikonsumsi oleh mereka yang ingin tetap menjaga bobot badan. Akan tetapi, pemeliharaan jaringan tubuh-lah yang diharapkan. FSB diduga dapat menjawab hal tersebut. Kandungan protein pada FSB sebesar 4 g/ 30g bahan.
2.2
Kasein
Susu mengandung protein dengan kualitas yang sangat baik untuk nutrisi manusia dan hewan. Kasein merupakan protein susu selain protein whey yang terkandung di dalam susu, dengan proporsi sekitar 85% persen dari total kandungan protein susu. Secara lengkap, kasein didefinisikan sebagai beberapa kelompok fosfoprotein, yang digumpalkan dari susu skim pada pH sekitar 4.6 sampai 4.7 (Damodaran, 1996). Sebagai sumber protein, kasein memiliki nilai gizi yang tinggi karena mengandung semua asam amino esensial dengan jumlah yang tinggi melebihi pola referensi dari FAO. Oleh karena itu kasein menjadi acuan baku dalam pengujian-pengujian protein. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ishihara et al (2003), dinyatakan bahwa kasein mengandung asam amino esensial sebanyak 43.65%. Tabel 1 menyajikan komposisi asam amino yang terkandung dalam kasein.
Tabel 1. Komposisi asam amino esensial pada kasein* Asam amino Histidin Isoleusin Leusin Lisin Metionin + Sistein Fenilalanin + Tirosin Treonin Valin
Kadar (mg/ g protein) 28.0 43.1 84.1 68.3 34.5 85.4 39.9 72.6
Ket.: * Bentuk Sodium-kaseinat (Brand: Alanate 180, New Zealand Dairy Board). Sumber: Moughan et al (2005). Kasein komersial umumnya dihasilkan dari susu skim yang mengalami pengendapan kasein akibat penambahan asam atau rennet. Komposisi kasein komersial terdiri atas protein 88.5%, lemak 0.2%, air 7%, dan abu 3.8% (Webb et al,1981). Menurut Buckle et al. (1987), kasein komersial yang diproduksi merupakan substansi granular berwarna putih kekuningan. Kasein terbentuk dalam bentuk kalsium kaseinat, yaitu senyawa kompleks dari Ca-fosfat dan terdapat dalam bentuk partikel-partikel kompleks koloidal yang dikenal sebagai misel. Berdasarkan komposisi kimiawi, kasein terdiri atas: 55% α-kasein, 25% β-kasein, 15% k-kasein, dan 5% beberapa komponen kecil τ-kasein (Damodoran, 1996).
2.3
Daging Sapi
Istilah daging sapi didefinisikan sebagai bagian otot skeletal dari karkas sapi yang aman, layak, dan lazim dikonsumsi oleh manusia, dapat berupa daging segar, daging segar dingin atau daging beku (BSN, 2008). Komponen utama penyusun daging ialah otot, jaringan ikat serta beberapa jaringan syaraf. Jaringan otot daging sebagian besar terdiri dari otot rangka atau otot bergaris melintang dan otot polos dalam jumlah kecil sisanya berupa jaringan lemak, tulang, dan tulang rawan. Jaringan ikat dan otot merupakan penyusun dasar komponen-komponen daging dan karkas yang menunjang sifatsifat kualitatif dan kuantitatif daging (Aberle et al., 2001). Daging sapi memiliki ciri-ciri warna merah segar, serat yang halus, dan lemak yang berwarna kuning. Kandungan gizi yang terdapat pada daging sapi disajikan pada Tabel 2. Daging sapi tampak berwarna merah sehingga daging sapi lazim disebut sebagai daging merah. Menurut Lawrie (2003), daging merah memiliki proporsi serat yang sempit dan kaya mioglobin. Jumlah mioglobin daging sapi 0.46% dari berat segar (Soeparno, 2005). Tabel 2. Kandungan gizi daging sapi Kandungan gizi Air Protein Lemak Karbohidrat Mineral
Jumlah (%) 65.0 – 80.0 16.0 – 22.0 1.3 – 13.0 0.5 – 1.3 1.0
Sumber: Winarno (1997)
4
Daging sapi merupakan salah satu bahan pangan sumber protein hewani. Daging sapi memiliki mutu protein tinggi karena mengandung asam amino yang lengkap. Kandungan asam-asam amino daging sapi dapat dilihat pada Tabel 3. Akibat lengkapnya kandungan asam-asam amino, protein daging sapi memiliki bioavailabilitas yang tinggi atau daya cerna yang baik di dalam tubuh pengonsumsinya. Tabel 3. Kandungan asam amino daging sapi Asam amino
Kadar (mg/ g protein)
Histidin
75
Isoleusin
104
Leusin
163
Lisin
185
Methionin
55
Fenilalanin
91
Threonin
94
Triptofan
26
Tirosin
78
Valin
107
Sumber: Paul et al. (1980) diacu dalam Varnam dan Sutherland (1995).
2.4
Isolat Protein Kedelai
Kedelai merupakan salah satu bahan pangan nabati yang kaya akan protein. Telah diketahui berbagai teknik/ cara dalam pemanfaatan protein dari kedelai utuh. Menurut Sugiyono (2006), proses pengekstrakan minyak dari kedelai akan menghasilkan bungkil kedelai dengan kadar protein hingga 40% dan dapat diolah lebih lanjut menjadi konsentrat protein kedelai atau isolat protein kedelai. Isolat protein kedelai merupakan salah satu hasil isolasi protein dari kedelai yang memilki kemurnian protein paling tinggi (di atas 90% berdasarkan berat kering) sehingga produk ini hampir terbebas dari zat-zat lain, seperti karbohidrat, serat dan lemak (Koswara, 1995). Menurut Astawan (2009), isolat protein kedelai dibuat dengan cara melarutkan protein tepung kedelai dengan larutan basa encer pada pH 7-9, serta membuang endapan tidak larutnya dengan cara pemusingan atau penyaringan. Ekstrak yang didapat kemudian diasamkan samapai pH-nya mencapai 4.5 agar terjadi pengendapan protein. Endapan protein ini selanjutnya dinetralkan dengan basa dan dikeringkan dengan pengering semprot (spray dryer) sampai diperoleh bentuk tepung. Jadi, pada prinsipnya isolat protein kedelai diperoleh dengan cara pengendapan seluruh protein pada titik isoelektrik yaitu pH dimana seluruh protein menggumpal. Isolat protein kedelai telah banyak diaplikasikan dalam industri pangan seperti produk daging tiruan, karena isolat protein kedelai memiliki sifat fungsional (di luar sifat nutrisi) yang dapat menyumbangkan karakteristik yang diinginkan pada makanan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ishihara et al (2003), dinyatakan bahwa isolat protein kedelai mengandung asam amino esensial sebanyak 33.82%. Tabel 4 menyajikan komposisi asam amino yang terkandung dalam isolat protein kedelai.
5
Tabel 4 . Komposisi asam amino esensial pada isolat protein kedelai* Asam amino
Kadar (mg/ g protein)
Histidin Isoleusin Leusin Lisin Metionin + Sistein Fenilalanin + Tirosin Treonin Valin
26.7 44.7 80.9 60.4 27.6 84.1 39.8 59.7
Keterangan: * Brand: Supro 590, Columbit, NZ Ltd. Sumber: Moughan et al (2005).
2.5
Pencernaan Protein
Proses pencernaan akan mengubah makanan menjadi bentuk yang sesuai untuk diserap ke dalam proses sirkulasi untuk ditransfer ke liver dan disebarkan ke jaringan-jaringan tubuh. Ketika seseorang mengonsumsi protein, protein tersebut akan dipecah menjadi asam amino, sehingga tubuh bisa menyusun ulang asam amino tersebut menjadi protein yang dibutuhkan. Protein dicerna pertama kali di dalam lambung. Asam lambung (HCl) memiliki pH sekitar 1.5, yang menyebabkan rantai protein terbuka (terdenaturasi) untuk memudahkan enzim pencernaan menyerang dan memutus ikatan peptida. Asam lambung juga mengaktifkan enzim pencernaan protein (protease) seperti pepsin, yang memecah protein menjadi polipeptida dan pepton. Selama perjalanan menuju usus halus, sekitar 70% protein terpecah menjadi tripeptida, dipeptida, maupun asam amino sederhana sebanyak 30% oleh enzim-enzim pencernaan protein (pencreatic protease) antara lain tripsin, kimotripsin, dan karboksipeptidase (Suhardjo dan Kusharto, 1992; Grosvenor dan Smolin, 2002). Perjalanan protein berlanjut ke usus halus. Di dalam usus halus larutan basa yang dihasilkan pankreas (sekitar pH 8) akan menetralkan asam dari lambung sehingga pH netral (pH 7) agar enzim pencernaan berikutnya bisa bekerja dengan optimal sampai hampir semua protein menjadi asam amino (Sizer dan Whitney, 2000). Setelah dalam bentuk molekul yang lebih sederhana ini, asam amino, protein yang terkandung dalam susunan makanan dikonsumsi dapat dimanfaatkan oleh tubuh.
2.6
Teknik Evaluasi Mutu Biologis Protein
Nilai gizi protein adalah mutu ukuran yang menunjukkan seberapa banyak dan lengkap asamasam amino esensial dalam protein yang dimakan dapat memenuhi kebutuhan manusia. Pada prinsipnya suatu protein yang dapat menyediakan asam amino esensial dalam suatu perbandingan yang menyamai kebutuhan manusia mempunyai nilai yang tinggi (Winarno, 1997). Berikut susunan asam amino esensial untuk kebutuhan manusia berdasarkan pola FAO 1990 (Tabel 5). Nilai gizi protein pada makanan tidak hanya ditentukan berdasarkan kadar protein yang terkandung di dalam makanan, tetapi juga ditentukan oleh daya cerna yang menentukan ketersediaan asam-asam amino secara biologis atau dapat/ tidaknya zat gizi tersebut digunakan oleh tubuh. Tidak semua protein dalam bahan pangan yang dikonsumsi dapat dihidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan menjadi asam-asam amino. Dalam bentuk asam amino-lah protein dari susunan makanan dapat dimanfaatkan oleh tubuh.
6
Tabel 5. Susunan asam amino pola FAO Asam amino
Kadar (mg/ g protein)
Histidin Isoleusin Leusin Lisin Metionin + Sistein Fenilalanin + Tirosin Treonin Triptofan Valin
19 28 66 58 25 63 34 11 35
Sumber: FAO/ WHO (1990). Suatu cara penilaian untuk mengetahui availabilitas protein dalam tubuh ini disebut Teknik Evaluasi Protein. Secara garis besar, metode evaluasi mutu gizi protein digolongkan menjadi dua macam. Kedua metode tersebut yaitu metode secara in vitro (secara kimia, mikrobiologis, atau enzimatis) dan metode secara in vivo (secara biologis menggunakan hewan percobaan secara utuh, termasuk manusia) (Muchtadi, 2010). Teknik evaluasi yang mendekati pada keadaan yang sebenarnya dilakukan secara in vivo dengan menggunakan hewan percobaan, yang pada penelitian ini menggunakan tikus putih. Metode yang digunakan tentu harus dapat mengevaluasi kemampuan metabolisme suatu protein sebagaimana fungsinya, yaitu dapat meningkatkan sintesis jaringan tubuh serta memelihara jaringan dan fungsi tubuh. Beberapa parameter yang digunakan dalam evaluasi mutu biologis protein antara lain: Protein Efficiency Ratio (PER), Net Protein Ratio (NPR), True Digestibility (TD), Biological Value (BV), dan Net Protein Utilization (NPU).
2.7
Tikus Percobaan
Tikus putih (Rattus norvegicus) merupakan spesies mamalia pertama yang didomestikasi untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Tikus putih merupakan hewan yang paling banyak digunakan sebagai hewan percobaan karena mempunyai kemampuan adaptasi yang baik dan cenderung tahan terhadap perlakuan berbagai macam penelitian. Selain itu, tikus putih juga mempunyai kesamaan secara fisiologi dengan manusia. Taksonomi tikus putih adalah sebagai berikut:
kingdom
: Animalia
famili
: Muridae
sub famili
: Murinae
ordo
: Rodentia
sub ordo
: Myomorpha
genus
: Rattus
spesies
: Rattus norvegicus (Lane dan Petter, 1976).
Terdapat lima galur tikus putih, yaitu: Sprague Dawley, Wistar, Sherman, Osborne-Mendel, dan Long Evans. Dalam penelitian ini digunakan tikus putih galur Sprague Dawley berjenis kelamin jantan, dengan perlakuan ransum berkadar protein 10% (mengacu pada standar AOAC). Pemilihan
7
hewan jantan diduga karena terdapat perbedaan hormon, sehingga hewan jantan mempunyai pertambahan bobot badan lebih cepat daripada hewan jantan yang dikebiri atau betina (Parakkasi, 1988 diacu dalam Yudi dan Parakkasi, 2005). Perbedaan hormon antar jenis kelamin berpengaruh terhadap emosional atau nafsu makan tikus percobaan. Emosional hewan betina cenderung tidak stabil. Menurut Muchtadi (2010), keuntungan menggunakan tikus percobaan adalah biaya relatif murah, mudah dikontrol, tidak mampu memuntahkan isi perutnya karena tidak memiliki kantung empedu, dan tidak berhenti tumbuh, namun kecepatan pertumbuhannya akan menurun setelah berumur 100 hari. Secara garis besar, fungsi dan bentuk organ, proses biokimia dan proses biofisik antara tikus dan manusia memilki banyak kemiripan. Tikus percobaan juga merupakan sarana yang baik untuk memanipulasi keadaan/ perlakuan yang tidak mungkin diterapkan pada manusia. Oleh karena itu, cukup menggunakan tikus putih sebagai hewan model untuk percobaan.
8