II. TINJAUAN PUSTAKA D. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Heriyanto (2008) menjelaskan bahwa Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah suatu ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam upaya mencegah kecelakaan, kebakaran, peledakan, pencemaran, penyakit akibat kerja, dan lainlain. Inti dari K3 adalah tindakan pencegahan kecelakaan atau accident prevention. Menurut King (1990), kecelakaan adalah suatu kejadian tidak direncanakan yang dapat menyebabkan seseorang terluka atau kerusakan terhadap properti. Kecelakaan dapat dicegah dengan cara menghilangkan penyebab dari kecelakaan tersebut. Penyebab kecelakaan kerja, dapat diketahui dengan cara mengidentifikasi kondisi suatu lingkungan pekerjaan melalui pemeriksaan atau kajian dan disimpulkan telah menunjukkan melampaui batas aman, atau disebut juga bahaya (Heriyanto, 2008). Bahaya juga dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang memiliki potensi mengakibatkan terjadinya kerusakan atau cedera. Sumber bahaya (hazard) yang teridentifikasi, harus dikendalikan ke tingkat yang memadai agar tercipta suatu kondisi aman (safe). Pengendalian tersebut dilakukan dengan cara, mengukur kemungkinan kerugian yang akan timbul jika sumber bahaya terjadi, atau disebut juga resiko (Heriyanto, 2008).
E. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) Salah satu standar Sistem Manajemen K3 yang banyak dikenal di Indonesia adalah OHSAS (Occupational Health and Safety Management Systems) 18001 yang diterbitkan oleh BSI (British Standards Institutions) dengan badan-badan sertifikasi dunia pada tahun 1999. OHSAS 18001 mudah diintegrasikan dengan ISO 14000 dan ISO 9000. Indonesia juga memiliki Sistem Manajemen K3 yang sejenis, yaitu Permenaker 05/Men/1996 dibawah tanggung jawab Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan sertifikasi dilakukan oleh Sucofindo. Inti dari OHSAS 18001 dan Permenaker 05/Men/1996 adalah manajemen resiko. Kegiatan apapun di dalam suatu industri atau organisasi memiliki potensi
16
resiko, seperti pemecatan, bangkrut dan kecelakaan. Hal terpenting yang harus dilakukan adalah mengelola potensi resiko yang timbul sehingga peluang dan akibat jika resiko tersebut terjadi tidak besar. Dengan demikian aktivitas dapat berjalan lancar dan aman, jika resiko dapat dikendalikan. Konsep ini adalah yang disebut dengan manajemen resiko. Manajemen resiko di dalam Sistem Manajemen K3, OHSAS 18001 maupun Permenaker 05/Men/1996, adalah berupa pengelolaan resiko. Organisasi atau industri dapat menerapkan metode pengelolaan atau pengendalian resiko apapun sejauh metode tersebut mampu mengidentifikasi, mengevaluasi dan memilih prioritas resiko dan mengendalikan resiko dengan melakukan pendekatan jangka pendek dan jangka panjang (Suardi, 2005). Resiko dapat dijadikan acuan dalam mengendalikan keselamatan pada suatu industri yang disebut penilaian resiko. Penilaian resiko adalah evaluasi kualitatif atau kuantitatif yang menyeluruh terhadap kemungkinan dan tingkat terjadinya cedera atau kerusakan pada kesehatan dari identifikasi bahaya dengan maksud untuk menerapkan tindakan pencegahannya (Ridley dan Channing, 1999). Menurut Suardi (2005), penilaian resiko adalah proses untuk menentukan prioritas pengendalian terhadap tingkat resiko kecelakaan atau penyakit akibat kerja. Metode penilaian resiko, antara lain : Untuk setiap resiko : o Menghitung peluang insiden yang terjadi di tempat kerja o Menghitung konsekuensi insiden terjadi o Kombinasikan penghitungan peluang dan konsekuensi pada rate resiko Menggunakan rating setiap resiko, mengembangkan daftar prioritas resiko kerja. Konsep K3 harus diterapkan pada industri untuk mencapai kondisi aman. Konsep ini disebut juga Safe Project Execution. Konsep tersebut dijelaskan pada Gambar 1.
17
Gambar 1. Konsep K3 ”Safe Project Execution” (Heriyanto,2008)
Suardi (2005) menyatakan bahwa identifikasi sumber bahaya dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi dan kejadian yang dapat menimbulkan potensi bahaya serta jenis kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang mungkin dapat terjadi. Identifikasi bahaya (hazard), pengukuran dan pengendalian resiko pada suatu organisasi atau industri dapat menggunakan lima langkah sebagai mana diilustrasikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Lima langkah identifikasi bahaya, pengukuran dan pengendalian resiko (Suardi, 2005) 18
Secara umum, bahaya kerja dapat dibagi atas enam bagian, seperti digambarkan dalam Tabel 1.
Menurut Suardi (2005), suatu organisasi atau
industri sering mengalami kesulitan dalam menentukan bahaya. Hal ini disebabkan begitu banyak kegiatan-kegiatan yang harus diidentifikasi. Cara sederhana untuk memulai menentukan bahaya dapat dilakukan dengan membagi area kerja berdasarkan kelompok, seperti : 1.
Kegiatan-kegiatannya (seperti pekerjaan pengelasan, pengolahan data)
2.
Lokasi (kantor, gudang, lapangan)
3.
Aturan-aturan (pekerja kantor, atau bagian elektrik)
4.
Fungsi atau proses produksi (administrasi, pembakaran, pembersihan, penerimaan, finishing). Aktivitas –aktivitas lainnya yang bisa digunakan dalam mengidentifikasi
bahaya, antara lain : 1.
Berkonsultasi dengan pekerja. Memberikan beberapa pertanyaan tentang berbagai masalah yang mereka temukan, keadaan terkena bahaya dan kecelakaan kerja yang tidak terdokumentasi.
2.
Konsultasi dengan tim K3.
3.
Mempertimbangkan : a. Bagaimana pekerja menggunakan peralatan dan material b. Bagaimana kesesuaian peralatan tersebut yang digunakan pada aktivitasaktivitas dan lokasinya c. Bagaimana pekerja dapat terluka baik secara langsung maupun tidak langsung oleh berbagai aspek tempat kerja
4.
Melakukan safety audit.
5.
Pengujian, bagian dari perusahaan atau peralatan kerja dan kebisingan.
6.
Evaluasi teknis dan keilmuan.
7.
Menganalisis rekaman dan data, seperti insiden keluhan pekerja, dan tingkat penyakit.
8.
Informasi dari desainer, konsumen, supplier, dan organisasi-organisasi seperti serikat pekerja, KADIN dan sebagainya.
9.
Pemantauan lingkungan dan kesehatan.
10. Survei yang dilakukan pada pekerja.
19
Tabel 1. Tabel panduan daftar bahaya potensial Lingkungan Kerja Akses Mengacu pada akses yang sesuai Penyegar ruangan Udara yang kotor Temperatur yang ekstrim Kontak dengan benda yang panas atau dingin Terkena lingkungan yang panas atau dingin Pencahayaan Mengacu pada pencahayaan yang sesuai Tekanan mental Gertakan/gangguan Kekerasan Kerja shift
Biologi Bakteri Jamur Virus Parasit
Energi Electrical Tersetrum Gravitasi Jatuh Tersandung Tergelincir Tertimpa benda Energi kinetik Menabrak benda Tertabrak benda Radiasi Radiasi ultraviolet Radiasi inframerah Gelombang mikro Laser
Pekerjaan Manual Tegangan tubuh Kejang otot ketika mengangkat, mengangkut, atau menurunkan benda Kejang otot ketika menangani benda selain mengangkat, mengangkut, atau menurunkan benda Kejang otot ketika tidak ada benda yang ditangani Pergerakan yang berulang Ergonomis Kelelahan Desain tempat kerja yang mengakibatkan stress,kesalahan
Getaran Getaran seluruh tubuh Getaran bagian tubuh Kebisingan Bising tiba-tiba Bising dalam waktu yang lama Plant Mekanik Kendaraan bermotor Peralatan mesin Peralatan manual
Zat Kimia Terkontak dengan zat kimia dalam waktu sebentar Terkontak zat kimia dalam waktu yang lama Tersengat hewan berbisa Kebakaran dan ledakan Debu dari kayu, asbes, silika Gas, seperti : CO, CO2 Asap dan uap Kabut seperti asam Terserap, seperti pestisida Karatan seperti : asam, alkali Alergi
Sumber : Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Suardi, Agustus 2005 : 75)
20
F. Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Industri Kecil dan Menengah Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional
(DK3N) (2006),
mengungkapkan bahwa masalah keselamatan dan kesehatan kerja di dalam industri kecil dan menengah sekarang sudah mulai diperhatikan. Salah satu program kerja DK3N adalah pelakasanaan K3 di usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Strategi Pelaksanaan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Pelaksanaan K3 di UMKM dengan melibatkan fasilitas kesehatan masyarakat (mis. Puskesmas) yang tersedia dan kelompok UMKM (mis. Kelompok tani, pengrajin, pedagang asongan dan kakilima). 2. Melaksanakan sosialisasi, informasi K3 kepada pengusaha, pekerja. 3. Menyusun pedoman K3 bagi masing-masing kelompok UMKM. 4. Memberikan pelatihan K3 kepada pengusaha dan pekerja. 5. Mengikutkan pekerja UMKM dalam sistem asuransi tenaga kerja. Hopwood dan Thompson (2006) menjelaskan bahwa industri kecil dan menengah dalam mengatur keselamatan pada lokasi kerja perlu melakukan beberapa program, yaitu : 1.
Menerapkan komitmen terhadap keselamatan kerja pada seluruh pekerja.
2.
Mengidentifikasi keadaan yang tidak aman (seluruh pekerja).
3.
Mengadakan pelatihan keselamatan.
4.
Menentukan satu orang pekerja atau lebih, yang akan mengatur bagian keselamatan kerja dan menyediakan pelatihan keselamatan.
Program tersebut harus diulas atau dievaluasi kembali oleh pekerja yang bersangkutan. Evaluasi ini dapat dilakukan per tahun dan sangat penting untuk melihat apakah industri sudah mencapai tingkat aman yang lebih tinggi dan menciptakan kondisi kerja yang lebih sehat. Jeynes (2000) menjelaskan bahwa identifikasi keadaan yang tidak aman pada industri
atau
usaha
kecil
dan
menengah
dapat
dilakukan
dengan
mempertimbangkan beberapa bahaya dan resiko terhadap kesehatan yang signifikan. Bahaya dan resiko tersebut adalah :
21
1.
Penanganan bahan
2.
Tingkat kebisingan
3.
Tingkat pencahayaan
4.
Suhu
5.
Kualitas udara
6.
Penggunaan komputer dan unit visual lain
7.
Mikroorganisme dan kontaminan pada udara
8.
Radiasi
9.
Penggunaan bahan kimia dan unsur lain
10. Penggunaan material dan serat 11. Merokok 12. Organisasi kerja Berikut adalah bahaya pada keselamatan yang dapat terjadi pada beberapa wilayah di dalam suatu industri : 1.
Kendaraan (unit pergerakan dalam atau luar industri)
2.
Mesin
3.
Benda atau alat yang tajam
4.
Panas
5.
Listrik
6.
Bekerja pada ketinggian
7.
Bekerja pada ruang sempit
8.
Angin kempaan atau LPG
9.
Terpeleset, terbelit atau terjatuh
10. Mengangkat dan membawa barang 11. Cedera yang berulang 12. Kontak dengan bahan kimia 13. Keamanan pribadi Penentuan bahaya dan resiko di atas dilanjutkan dengan melakukan tindakan penanganan, yaitu dengan mengidentifikasi siapa yang akan terluka, seberapa besar akibat dari terjadinya bahaya tersebut dan seberapa sering bahaya terjadi.
22
G. Proses Produksi Bioetanol Menurut Hambali et.al (2007), bioetanol merupakan hasil fermentasi bahan yang mengandung gula. Tahap inti produksi bioetanol adalah fermentasi gula baik yang berupa glukosa, sukrosa maupun fruktosa, oleh ragi (yeast) terutama Saccharomyces sp. atau bakteri Zymomonas mobilis. Proses ini gula akan dikonversi menjadi etanol dan gas karbondioksida. Menurut Prihandana et al., (2007), proses pengolahan ubikayu menjadi fuel grade ethanol dilakukan dengan urutan sebagai berikut. a.
Proses hirolisis, proses konversi pati menjadi glukosa.
b.
Proses fermentasi, yaitu proses konversi glukosa (gula) menjadi etanol dan CO2.
c.
Proses distilasi, adalah proses pemurnian etanol hasil fermentasi menjadi etanol dengan kadar 95-96%.
d.
Proses dehidrasi, adalah proses penghilangan air dari 96% menjadi 99,5%
Hambali et al., (2007) menjelaskan bahwa tahap persiapan bahan baku berupa konversi bahan baku padat, dalam hal ini singkong, menjadi larutan gula sebelum akhirnya difermentasi untuk menghasilkan etanol. Bahan padatan mengalami pengecilan ukuran dan dimasak. Proses pengecilan ukuran dapat dilakukan dengan menggiling bahan (singkong), sebelum memasuki tahap pemasakan yaitu sakarifikasi dan liquifikasi. Tahap pemasakan bahan meliputi proses liquifikasi dan sakarifikasi. Tepung dikonversi menjadi gula melalui proses pemecahan menjadi gula kompleks dengan penambahan air, enzim α-amilase dan panas. Proses liquifikasi dilakukan pada suhu 80-90°C. Tahap sakarifikasi dilakukan pada suhu 50-60°C dan ditambahkan enzim glukoamilase. Gula kompleks akan dipecah menjadi gula sederhana pada tahap ini. Tahap selanjutnya adalah tahap fermentasi. Gula-gula sederhana akan dikonversi menjadi etanol dengan bantuan ragi dan enzim. Proses dilakukan pada suhu 27-32°C. Tahap ini menghasilkan gas CO2 sebagai by product dan sludge sebagai limbahnya.
23
Etanol yang dihasilkan pada proses fermentasi, selanjutnya mengalami proses pemurnian. Pemurnian etanol dilakukan melalui metode destilasi. Destilasi dilakukan pada suhu di atas titik didih etanol murni yaitu pada kisaran 78-100°C. Produk yang dihasilkan pada tahap ini memiliki kemurnian hingga 96% . Etanol hasil distilasi kemudian dikeringkan melalui metode purifikasi molecular sieve untuk meningkatkan kemurnian etanol hingga memenuhi spesifikasi bahan bakar. Zeolit, lempung, karbon aktif, microporus charcoal, dan porous glasses adalah beberapa bahan yang termasuk molecular sieve.
Etanol hasil pengeringan
memiliki kemurnian hingga 99,5% (Hambali et.al, 2007). Visualisasi proses pada industri bioetanol dapat dilihat pada Gambar 3.
H. K3 pada Industri Bioetanol Menurut BBI International (2003), industri ethanol mempunyai rekor keamanan yang dapatmembuat iri, meskipun banyak masalah keamanan yang dapat menghasilkan resiko yang signifikan. Langkah pertama yang penting adalah mengembangkan manual keamanan internal atau menyewa konsultan keamanan yang berpengalaman untuk mengembangkan sebuah manual untuk anda. Manual ini akan bertindak sebagai panduan anda untuk menetapkan program keamanan yang efektif yang akan meminimalisasi cedera pada pekerjaan. Manual keamanan yang dikembangkan dengan baik juga akan mengurangi angka pelanggaran dengan menunjukkan area masalah yang akan datang. Hal ini penting untuk menetapkan lingkungan safety first dari awal.
24
Ubikayu
Pencucian
Pengupasan
Penggilingan
Enzim alphaamylase
Liquifikasi 90-95 °C, 2 jam
Enzim glucoamylase
Sakarifikasi awal 60-66 °C, 3jam
Uap
Sakarifikasi lanjut dan fermentasi 32 °C, 36 jam
Pemisahan serat dan distilasi
Limbah cair. serat
Dehidrasi (molecular sieve)
Fuel Grade Ethanol 99,5%
Gambar 3. Diagram Alir proses produksi bioetanol dengan bahan baku ubikayu ( Prihandana et.al, 2007)
25
Rekomendasi keamanan yang dapat diterapkan di industri etanol adalah sebagai berikut : 1. Manual keamanan pabrik sebaiknya meliputi dugaan keamanan dasar, memaksakan syarat dan prosedur operasional kritis lain, termasuk: a. Tanda pengenal b. Pintu masuk yang dibatasi c. Penggunaan perlengkapan keselamatan personil d. Tindakan darurat e. Rintangan komunikasi (hak pegawai untuk tahu) f. Pekerjaan dengan barang yang panas g. Pengamanan pernapasan h. Pengamanan dari kejatuhan i. Isu manajemen lainnya yang berhubungan dengan fasilitas 2. Melatih pegawai pada waktu awal dipekerjakan tentang program keamanan, dugaan
keamanan
dan
bagaimana
pegawai
akan
diminta
pertanggungjawabannya untuk implementasi program keamanan pabrik. 3. Semua personil sebaiknya mempunyai pemahaman bahan berbahaya yang ada di pabrik. Ini termasuk pelatihan mereka pada bagaimana bekerja dengan bahan berbahaya tersebut dengan aman dan kegunaan perlengkapan keselamatan personil yang tepat. 4. Semua personil pabrik harus tahu di mana bisa mendapatkan MSDS (Material Safety Data Sheet) 5. Mengadakan pertemuan keamanan secara teratur 6. Melakukan sesi pelatihan pada penggunaan perlengkapan keselamatan personil secara tepat. 7. Melakukan pelatihan darurat untuk evakuasi, penyelamatan dan pemulihan. 8. Mengundang departemen pemadam kebakaran dan kepolisian lokal ke pabrik untuk tur spesial. 9. Menyediakan MSDS ke departemen pemadam kebakaran, bersama dengan peta pabrik yang menunjukkan semua cairan yang mudah terbakar dan bahan berbahaya sebagai bagian dari Rencana Tindakan Darurat anda.
26
10. Mendorong pemadam kebakaran untuk melakukan latihan aktif di pabrik sebagai bagian pelatihan kebakaran mereka. 11. Mensyaratkan semua vendor dan kontraktor luar untuk mengikuti peraturan keamanan fasilitas anda. Hal lain yang harus diperhatikan adalah efek kesehatan yang terjadi jika terjadi kecelakaan kerja. Terutama efek kesehatan yang timbul jika terjadi kontak antara komponen bietanol dengan konsentrasi tinggi dengan organ tubuh pekerja. Efek-efek tersebut dijelaskan pada Tabel 2. CHS Inc Material Safety Data Sheet (2003), juga menjelaskan bahwa untuk menghindari ketidaksesuaian, ada kondisi dan material yang harus dihindarkan selama proses produksi. Kondisi yang harus dihindari adalah suhu tinggi, percikan api, nyala api, penambahan tenaga pada listrik statis, dan sumber nyala api lainnya. Material atau bahan yang harus dihindari adalah zat pengoksidasi, halogen, asam kuat, dan alkali. Keselamatan dan kesehatan kerja juga dapat dilihat dari sudut pandang ergonomika. Menurut Farizi (2006), faktor-faktor utama yang harus diperhatikan di dalam ergonomika adalah kebisingan, suhu, cahaya, sirkulasi udara, kelembaban, bau-bauan dan ruang dan posisi kerja. Kondisi lingkungan yang sesuai dalam bekerja adalah yang bersuhu baik. Suhu optimal lingkungan untuk manusia dalam bekerja adalah 24 - 27°C. proses produksi bioetanol banyak melibatkan panas saat proses cooking, distilasi, dan dehidrasi. Suhu di sekitar alat dapat mencapai 31 – 33°C, sedangkan di sekitar boiler adalah 40°C. Proses fermentasi pada proses produksi bioetanol juga harus diperhatikan. Bakteri Saccharomyces cerevisae yang berperan dalam proses fermentasi, menurut Winkler dan Parke (1992) di dalam tubuh manusia bakteri ini tidak akan berkembang biak seperti halnya Bacillus subtilis dan bakteri saprofit lain yang tidak berbahaya. Fermentasi berperan sangat penting di dalam pembuatan bioetanol dan termasuk ke dalam proses bioteknologi. Muijs (1992) menjelaskan bahwa pada proses bioteknologi, mikroorganisme yang berperan tidak boleh tercemar di luar tempat proses terjadi, terutama bila menggunakan organisme dengan resiko tinggi. Teknik dan monitoring di dalam proses-proses bioteknologi sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya pencemaran mikroorganisme. Jenis
27
teknik yang tepat pada proses fermentasi adalah GILSP (Good Industrial LargeScale Practices) dimana bakteri yang digunakan tidak berbahaya dan tidak memerlukan wadah khusus. Monitoring pada proses ini adalah control terhadap udara yang masuk dan kebocoran pada wadah.
Tabel 2. Efek kontak antara komponen bioetanol dan organ tubuh Organ
Efek pada kesehatan
Kulit
Memerah Gatal-gatal Radang Kontak pada kulit dapat menyebabkan efek bahaya pada bagian tubuh lain. Rasa sakit Memerah Radang pada konjungtiva Efek bisa semakin parah jika terjadi berulang kali atau dalam waktu yang lama. Menghirup komponen bioetanol dalam konsentrasi tinggi bisa berbahaya Terjadi penurunan pada sistem saraf pusat. Gejala-gejala yang terjadi adalah, sakit kepala, perasaan terlalu senang, pusing, bingung, mengantuk, pandangan buram, kelelahan, kejang, hilang kesadaran, koma, susah bernafas dan meninggal. Gejala tersebut dapat terjadi tergantung tinggi atau rendahnya konsentrasi dan durasi penghirupan. Iritasi pada mulut, tenggorokan dan lambung Gejala yang muncul adalah rasa sakit, mual, muntah dan diare Penyerapan ke dalam paru-paru dapat mengakibatkan radang dan kerusakan paru-paru
Mata
Pernapasan
Pencernaan
Sumber : Flint Hills Recources Material Safety Data Sheet. (Mei 2007 : 3)
Bahaya lain yang harus diperhatikan pada industri bioetanol adalah kebisingan. Istilah kebisingan digunakan untuk mendefinisikan suara yang tidak dikehendaki dan membebani telinga, termasuk suara yang tidak beraturan, suara hasil dari suatu aktivitas baik itu berasal dari transportasi maupun suatu industri. Intensitas kebisingan yang diizinkan dalam suatu industri antara 85 dB – 90 dB. Kontrol pada kebisingan dapat dilakukan dengan cara mereduksi sumber suara, pengaturan transmisi suara, dan perlindungan terhadap penerima (Wilson, 1989). Menurut Farizi (2006), kebisingan dalam tingkat rendah dalam proses produksi bioetanol dapat ditemukan pada saat kompresor dan crusher beroperasi, pemasakan dalam cooking tank, distilasi produk dan pipa pembuangan steam.
28
Penglihatan yang kurang dan cahaya yang tidak memadai adalah salah satu penyebab kecelakaan dalam pekerjaan yang cukup banyak terjadi. Pekerjaan yang memerlukan persepsi secara visual, seperti membaca ukuran pada peralatan atau mesin dan inspeksi pada suatu lini produksi atau mesin, sangat penting adanya pencahayaan yang lebih dari cukup dan penglihatan dalam keadaan baik (Wilson, 1989). Pencahayaan juga merupakan faktor penting dalam menentukan kualitas kerja. Pencahayaan yang berlebihan ataupun kurang dapat menyebabkan kelelahan. Selain itu, bau-bauan yang bersifat polusi udara pada proses produksi bioetanol banyak ditemukan pada fermentor, terutama pada saat pengeluaran drain. Sirkulasi udara yang baik dapat mengatasi masalah polusi dan suhu yang ada pada proses produksi. (Farizi, 2006) Pemeriksaan pada beberapa industri anggur atau minuman beralkohol di Australia menghasilkan ada beberapa bahaya jatuh dari ketinggian terjadi karena tidak ada alat perlindungan ataupun tangga yang sesuai. Bahaya ini terjadi pada proses pencapaian tangki seperti tangki fermentasi, pemasakan dan lain-lain, yang bisa mengakibatkan pekerja jatuh dari ketinggian antara 2-3 meter (Anonim, 2008). I.
Peralatan dan Tindakan Penanggulangan Kondisi Darurat atau Bencana Peralatan darurat sangat berguna untuk penanggulangan pada kondisi darurat.
Perusahaan harus melakukan identifikasi dan menyediakan peralatan tersebut dalam jumlah yang memadai. Peralatan ini juga harus diuji kelayakannya dalam waktu yang terencana. Contoh peralatan darurat antara lain, sistem alarm, lampu dan tenaga listrik darurat, peralatan pemadam kebakaran, fasilitas komunikasi, tempat perlindungan, hydrant dan stasiun pencuci mata. IKM bioetanol dengan resiko kebakaran dan ledakan, sangat diperlukan peralatan pemadam kebakaran. Selain itu lampu dan tenaga listrik darurat juga diperlukan jika sumber listrik utama padam. Peralatan lain yang dibutuhkan adalah alat Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K). Jumlah tenaga kerja pada industri ini di bawah 25 orang, dan tempat kerja yang memungkinkan banyak terjadi kecelakaan maka kotak P3K
29
yang digunakan adalah kotak bentuk II. Isi dari kotak P3K bentuk 2 dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4.
Tabel 3. Peralatan penanggulangan kecelakaan dalam kotak P3K bentuk II. Kotak P3K bentuk II 50 gram kapas putih 100 gram kapas gemuk 3 rol pembalut gulung lebar 2,5 cm 2 rol pembalut gulung 5 cm 2 rol pembalut gulung 7,5 cm 2 pembalut segitiga (mitella) 2 pembalut cepat steril (snelverband) 10 buah kassa steril ukuran 5x5 cm 10 buah kassa steril ukuran7,5x7,5 cm 1 rol plester lebar 1 cm 20 buah plester lebar 1 cm 20 buah plester cepat (misal: tensoplast) 1 bidal 1 gunting pembalut 1 buah sabun 1 dus kertas pembersih 1 pinset 1 lampu senter 1 buku catatan 1 buku pedoman P3K 1 daftar isi kotak P3K Sumber : Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Suardi, Agustus 2005 : 75)
30
Tabel 4. Obat-obatan dalam kotak P3K bentuk II. Obat-obatan untuk kotak P3K bentuk II Obat pelawan rasa sakit (Antalgin, Acetosai dan lain-lain) Obat sakit perut (Paverin, enterovioform, dan lain-lain) Norit Obat anti alergi Soda kue, garam dapur Merculochrom Obat tetes mata Obat gosok Salep anti histamimka Salep sulfa atau S.A. powder Boor zalif Sofratulle Larutan rivanol 1/10 500 cc Amoniak cair 25% 100cc Sumber : Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Suardi, Agustus 2005 : 75)
31