II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian-pengertian 2.1.1. Pariwisata Pariwisata pada dasarnya mengandung lima unsur pokok baik dalam sifat maupun kegiatannya, yaitu meliputi unsur manusia (wisatawan), unsur kegiatan (perjalanan), unsur motivasi (menikmati), unsur sasaran (objek dan daya tarik), dan unsur usaha.
Kelima unsur tersebut selaras dengan ketentuan tentang
pariwisata sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan. Menurut Kodyat dan Ramaini (1992:85), pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan objek wisata dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait dalam bidang tersebut. Selanjutnya, Yoeti (1996:177-178) memberikan pengertian pariwisata sebagai suatu perjalanan yang dilakukan sementara dari suatu tempat tinggal ke tempat tinggal lain yang dimaksud bukan untuk berusaha mencari nafkah di tempat yang dikunjungi, tetapi semata-mata untuk menikmati perjalanan tersebut. Tujuan perjalanan tersebut adalah untuk bertamasya dan rekreasi dalam memenuhi keinginan-keinginannya. Selain kelima unsur di atas, kegiatan pariwisata itu sendiri terdiri atas tiga unsur sebagaimana dikemukakan oleh Munasef (1995:10-11), yaitu : 1). Manusia (man), adalah orang yang melakukan perjalanan dengan maksud menikmati keindahan suatu tempat (alam). 2). Ruang (space), adalah daerah atau ruang lingkup tempat melakukan perjalanan. 3). Waktu (time), adalah waktu yang digunakan selama dalam perjalanan dan tinggal di daerah tujuan wisata. Lebih lanjut, Munasef (1995) mengatakan bahwa pengertian tentang pariwisata akan semakin jelas dipahami jika didekati dari jasa atau produk yang dihasilkan atau pelayanan yang diharapkan oleh wisatawan dalam perjalanannya. Dengan pendekatan ini, akan diketahui jenis-jenis pelayanan (services) yang diperlukan konsumen (wisatawan). Perkembangan pariwisata dewasa ini telah tumbuh menjadi salah satu sektor ekonomi penting di Indonesia. Hal ini terlihat dari kontribusinya dalam perekonomian nasional, bahkan telah menjadi sektor ekonomi unggulan dalam
13
menggerakkan perekonomian di suatu daerah. Fenomena sangat jelas terlihat di Provinsi Bali yang telah terkenal di seluruh dunia dengan industri pariwisatanya yang sudah demikian maju dan mendapat pengakuan dari sebuah lembaga internasional sebagai daerah tujuan wisata yang paling disukai oleh wisatawan mancanegara (Anonim 2005). Menurut Yoeti (1996), industri pariwisata merupakan kumpulan dari bermacam -macam perusahaan yang secara bersama-sama menghasilkan barang atau jasa yang dibutuhkan oleh wisatawan selama dalam perjalanan, misalnya, perusahan transportasi, perhotelan, rumah makan dan restoran, serta industri rumah tangga dan sektor ekonomi informal lainnya. Di samping itu, keberadaan industri pariwisata juga sangat tergantung dari regulasi pemerintah, seperti imigrasi, visa dan fiskal, serta pajak dan retribusi. Pengembangan pariwisata sebagai suatu industri secara ideal harus berlandaskan pada empat prinsip dasar, sebagaimana dikemukakan Purwanto (2002:86), yaitu : 1). Kelangsungan ekologi, yaitu bahwa pengembangan pariwisata harus menjamin terciptanya pemeliharaan dan proteksi terhadap sumberdaya alam yang menjadi daya tarik wisata, seperti lingkungan laut, hutan, pantai, danau, dan sungai. 2). Kelangsungan kehidupan sosial dan budaya, yaitu bahwa pengembangan pariwisata
harus
mampu
meningkatkan
peran
masyarakat
dalam
pengawasan tata kehidupan melalui sistem nilai yang dianut masyarakat setempat sebagai identitas masyarakat tersebut. 3). Kelangsungan ekonomi, yaitu bahwa pengembangan pariwisata harus dapat menciptakan kesempatan kerja bagi semua pihak untuk terlibat dalam aktivitas ekonomi melalui suatu sistem ekonomi yang sehat dan kompetitif. 4). Memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat setempat melalui pemberian kesempatan kepada mereka untuk terlibat dalam pengembangan pariwisata. Dengan demikian, menurut (Meutia 2004), pengembangan pariwisata (yang berkelanjutan) perlu didukung dengan perencanaan yang matang dan harus mencerminkan tiga dimensi kepentingan, yaitu industri pariwisata, daya dukung lingkungan (sumberdaya alam), dan masyarakat setempat dengan sasaran untuk peningkatan kualitas hidup. Konsekuensi dari ketiga kepentingan tersebut, pengembangan pariwisata yang berbasiskan lingkungan (sumberdaya alam)
14
harus mampu mendukung terciptanya dua keuntungan sekaligus secara berimbang dan proporsional, yaitu : 1). Keuntungan bagi penduduk lokal (setempat) untuk terlibat dalam usaha pariwisata guna memperoleh penghasilan (multiplier effect-nya adalah memberikan kontribusi bagi perekonomian daerah). 2). Pelestarian terhadap aset wisata yang dimiliki (terpeliharanya kualitas lingkungan sumberdaya alam yang menjadi daya tarik wisata). Selain itu, pengembangan pariwisata dari sisi ekonomi sebagaimana dikemukakan Saifullah (2000) bermanfaat bagi : 1). Peningkatan kesempatan kerja dan berusaha, baik secara langsung maupun tidak. 2). Peningkatan devisa negara sehingga mendukung pembangunan sektorsektor ekonomi lainnya. 3). Peningkatkan dan pemerataan pendapatan masyarakat. 4). Penyerapan produk lokal di pasar ekspor melalui promosi kepada wisatawan. 5). Peningkatan pembangunan di daerah yang menjadi tujuan wisata. 2.1.2. Wisatawan Wisatawan adalah setiap pengunjung yang tinggal lebih dari 24 jam dan kurang dari enam bulan di tempat yang dikunjunginya dengan maksud kunjungan untuk berlibur, rekreasi, olah raga, bisnis, mengunjungi teman/keluarga, menghadiri pertemuan, konferensi, kunjungan dengan alasan kesehatan, belajar dan atau kegiatan keagamaan (Kusmayadi dan Sugiarto 2000:4). Menurut Yoeti (1996:184), wisatawan adalah orang yang melakukan perjalanan sementara waktu ke tempat atau daerah yang sama sekali masih asing baginya. Spillane (2001) juga memasukkan individu atau perorangan yang mengadakan perjalanan dengan tujuan usaha atau untuk urusan bisnis ke dalam kategori wisatawan. Dasarnya adalah mengacu kepada jenis-jenis pariwisata sebagaimana ditetapkan dalam Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB Nomor 870 tahun 1963, yang salah satu jenisnya adalah pariwisata untuk urusan usaha dagang (business tourism). 2.1.3. Pariwisata Bahari Ditjen Pariwisata (1998) memberikan pengertian pariwisata bahari sebagai kegiatan wisata yang berkaitan langsung dengan sumberdaya kelautan, baik di
15
atas permukaan laut maupun kegiatan yang dilakukan di bawah permukaan laut. Jenis-jenis kegiatan yang termasuk didalamnya berdasarkan pengertian tersebut adalah memancing atau sport fishing, snorkling, diving, dan lain-lain. 2.1.4. Taman Laut Taman laut didefinisikan sebagai kawasan perairan (lautan) yang diperuntukkan sebagai ”showroom” keindahan alam bawah air dan habitat satwa air serta dipelihara dan dilindungi untuk kepentingan ilmu pengetahuan (penelitian) dan rekreasi (pariwisata). Adapun Munasef (1995:200) memberikan pengertian taman laut sebagai wilayah laut yang memiliki ciri khas berupa keindahan atau keunikan yang diperuntukkan secara khusus sebagai kawasan konservasi laut, untuk dibina dan dipelihara yang berguna bagi perlindungan plasma nutfah, rekreasi, pariwisata, pendidikan, dan kebudayaan. 2.2. Pariwisata Bahari sebagai Ekoturisme Ekoturisme dalam teori dan prakteknya tumbuh dari kritik terhadap kegiatan pariwisata yang dipandang cenderung merusak sumberdaya alam dan nilai-nilai budaya serta tradisi masyarakat yang menjadi objek wisata. Kritik ini melahirkan berbagai istilah baru dengan beragam konsep yang ditawarkan, antara lain pariwisata alternatif, pariwisata yang bertanggung jawab, pariwisata berbasis komunitas, dan ekoturisme.
Alasan-alasan penggunaan konsep ini adalah
karena dapat mengambarkan kegiatan pariwisata yang termasuk bukan pariwisata
berskala
besar
atau
massal
dan
mengikuti
prinsip-prinsip
keberlanjutan sumberdaya alam (Dephutbun 2000). Diantara konsep-konsep tersebut, ekoturisme dianggap paling populer, karena dapat mengakomodasikan kebutuhan-kebutuhan dari gerakan konservasi lingkungan dan menerjemahkan prinsip-prinsip ekologi ke dalam praktik pengelolaan kegiatan pariwisata yang berkelanjutan. Di samping itu, didukung dengan adanya trend pasar terbaru seperti perjalanan pertualangan (adventure travel) dan gaya hidup “kembali ke alam” (back to nature). Oleh karena itu, menurut (Dephutbun 2000), gerakan konservasi lingkungan menganggap konsep ekoturisme ini sebagai suatu instrumen konservasi yang bersifat mandiri karena beberapa alasan, yaitu : 1). Dapat memodali sendiri kegiatan usahanya. 2). Menciptakan suatu alternatif untuk menghadapi eksploitasi sumberdaya alam.
16
3). Sarana pendidikan bagi masyarakat dalam menjaga dan memelihara kelestarian sumberdaya alam. Dalam perkembangannya, beberapa kriteria standar tentang bagaimana seharusnya ekoturisme digalakkan agar dapat memenuhi tujuan dan sesuai dengan prinsip-prinsip yang diterapkan. Kriteria-kriteria tersebut sebagaimana ditetapkan (Dephutbun 2000) adalah harus : 1). Melestarikan lingkungan; karena apabila ekoturisme bukan merupakan suatu instrumen konservasi maka hancurlah landasan sumberdayanya. 2). Menguntungkan secara ekonomis; jika tidak menguntungkan, maka tidak akan ada modal yang kembali untuk kepentingan konservasi dan tidak akan ada insentif bagi pemanfaatan sumberdaya alternatif. 3). Memberikan manfaat bagi masyarakat; karena akan berdampak pada bergulirnya kegiatan ekonomi masyarakat yang pada akhirnya dapat mensejahterakannya. 2.3. Pembangunan Berkelanjutan TWA Laut Pulau Weh di Kota Sabang ditetapkan sebagai salah kawasan pelestarian alam yang utamanya dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam.
Dalam ilmu ekonomi sumberdaya alam, kawasan konservasi berupa
perairan laut lebih dikenal dengan istilah marine protected area atau daerah laut yang dilindungi.
Hal ini sejalan dengan pemikiran Gubbay (1995) yang
mengatakan bahwa pada pada prinsipnya, penetapan kawasan konservasi laut ini dimaksudkan untuk menjaga, memelihara, dan melestarikannya untuk keberlanjutan keanekaragaman hayati sumberdaya alam laut tersebut. Dengan demikian, sumberdaya alam tidak hanya untuk dinikmati dan dimanfaatkan pada saat sekarang ini, tetapi juga untuk masa mendatang. Prinsip
di
atas
sangat
terkait
dengan
paradigma
pembangunan
berkelanjutan dimana aspek keberlanjutan sumberdaya alam merupakan tujuan utama yang hendak diwujudkan.
Prinsip dasar dari konsep pembangunan
berkelanjutan adalah dicapainya alokasi optimum dari pemanfaatan sumberdaya alam pada saat ini tanpa mengurangi dan atau menghilangkan manfaatnya pada masa yang akan datang (Fauzi dan Anna 2002). Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pembangunan dan Lingkungan diacu dalam Conrad (1999) mengemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan pada masa sekarang tanpa mengabaikan
17
ketersediaannya untuk generasi yang akan datang.
Dengan demikian, isu
pembangunan berkelanjutan sudah menjadi permasalahan di seluruh dunia karena ancaman terhadap lingkungan sudah sedemikian besar akibat setiap negera berpacu mencapai kemajuannya dengan memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan secara berlebihan. 2.4. Konsep Nilai Ekonomi Sumberdaya Alam TWA Laut Pulau Weh menghasilkan barang atau jasa yang dapat dimanfaatkan atau dikonsumsi baik secara langsung maupun tidak langsung serta menghasilkan jasa-jasa (services) lingkungan. Adapun jenis barang atau jasa yang terdapat di wilayah perairan TWA Laut Pulau Weh adalah terumbu karang, ikan (hias dan konsumsi), mangrove, dan lain-lain (Saifullah 2005). Selain menghasilkan nilai ekonomi yang dapat dimanfaatkan secara langsung, juga memiliki nilai non-ekonomi yang memberikan manfaat terhadap keberlanjutan wilayah perairan laut tersebut. Manfaat tersebut, diklasifikasikan sebagai manfaat fungsi ekologis (ecological function) yang sering tidak terkuantifikasikan dalam perhitungan nilai ekonomi total dari sumberdaya alam dan lingkungan (Saifullah 2005). Secara umum, nilai ekonomi didefiniskan sebagai pengukuran jumlah maksimun seseorang untuk mengorbankan barang atau jasa guna memperoleh barang atau jasa lainnya. Secara formal, konsep ini disebut sebagai keinginan membayar (willingness to pay) seseorang terhadap barang atau jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan (Djijono 2002). Dengan menggunakan pengukuran ini, nilai ekologis dari ekosistem atau sumberdaya alam akan dapat diterjemahkan ke dalam bahasa ekonomi dengan mengukur nilai monoter dari barang atau jasa.
Misalnya, apabila suatu
ekosistem pantai atau perairan mengalami kerusakan akibat polusi, maka nilai yang hilang akibat degradasi lingkungan dapat diukur dari keinginan seseorang untuk membayar agar lingkungan tersebut kembali menjadi seperti semula atau kondisi sebelum terjadinya pencemaran (Fauzi 2004). Konsep dan teknik pengukuran nilai ekonomi seperti yang diuraikan di atas dalam implementasi dan aplikasinya tetap masih mengandung kelemahan dan kendala. Untuk barang atau jasa yang dihasilkan dan diperdagangkan, maka nilainya akan dengan mudah dapat diukur dengan melihat harga pasar (market price).
Sebaliknya, untuk menilai dan memberikan nilai ekonomi terhadap
18
barang dan jasa yang tidak diperdagangkan, maka akan kesulitan dalam mengatahui nilainya (Fauzi 2002a). Jenis-jenis barang atau jasa yang termasuk dalam kelompok ini adalah keindahan pantai atau perairan laut, kebersihan, keaslian dari alam, tradisi dan budaya masyarakat setempat, dan lain-lain yang abstrak sifatnya.
Hal ini
disebabkan, pengguna atau konsumen tidak membayar secara langsung untuk menikmatinya. Di samping itu, dalam sistem dan praktek ekonomi yang ada, konsumen tidak familiar bahkan tidak mengetahui terhadap harus adanya pembayaran untuk jasa seperti itu (Fauzi 2002b). Untuk menjawab besaran nilai ekonomi sumberdaya alam yang berasal dari jasa-jasa lingkungan seperti yang disebutkan di atas, Fauzi (2000) mengemukakan bahwa dalam pengukuran nilai monoter sumberdaya alam tidak selalu bahwa nilai dari barang atau jasa sumberdaya alam tersebut harus diperdagangkan. Untuk menghitungnya, yang diperlukan adalah mengukur seberapa besar keinginan dan kemampuan membayar (purchasing power) dari konsumen atau pengguna untuk memperoleh barang atau jasa dari sumberdaya alam. Selain itu, dapat pula diukur dari sisi seberapa besar pengguna/konsumen harus diberikan kompensasai untuk menerima pengorbanan atas hilangnya barang atau jasa dari sumberdaya alam. 2.5. Jenis-jenis Nilai Ekonomi Menurut Darusman et al. (2003), secara umum nilai ekonomi sumberdaya alam dibagi ke dalam dua komponen, yaitu nilai kegunaan atau pemanfaatan (use values) dan nilai non-kegunaan (non-use values). Use values adalah nilai yang dihasilkan dari pemanfaatan aktual dari barang atau jasa, seperti menangkap ikan, menebang kayu, dan lain-lain. Nilai kegunaan ini juga terdiri atas pemanfaatan secara komersial terhadap barang atau jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam, seperti ikan dan kayu yang dapat dijual atau untuk konsumsi langsung.
Dalam pengukurannya, nilai ini lebih mudah dilihat
(tangible).
Berikut ini akan diuraikan dan dijelaskan secara lebih terperinci
klasifikasi
dan
pengertian
jenis-jenis
nilai
ekonomi
sumberdaya
alam
sebagaimana dijelaskan Darusman et al. (2003) dalam buku Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Otonomi Ekonomi).
Daerah (Perspektif Kebijakan dan Valuasi
19
Pertama, use values diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu nilai pemanfaatan langsung (direct use value) dan nilai pemanfaatan tidak langsung (indirect use values). Direct use value merujuk pada kegunaan langsung dari konsumsi sumberdaya alam, seperti penangkapan ikan, pertanian, kayu sebagai bahan baker, dan lain-lain, baik secara komersial maupun non-komersial. Indirect use value merujuk pada nilai yang dirasakan atau dimanfaatkan secara tidak langsung terhadap barang atau jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Keberadaan sumberdaya alam untuk fungsi-fungsi seperti pencegahan banjir dan nursery ground dari ekosisitem juga termasuk dalam kategori indirect use value (Darusman et al. 2003). Kedua, non-use values merupakan nilai yang tidak berhubungan dengan pemanfaatan aktual dari barang atau jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan dalam perhitungannya lebih bersifat sulit diukur (less tangible). Hal ini karena lebih didasarkan pada preferensi terhadap lingkungan dibandingkan dengan pemanfaatan langsung. Secara lebih rinci, kategori non-use value ini dibagi lagi ke dalam beberapa subkelas, yaitu existence value, bequest value, dan option value (Darusman et al. 2003). Existence value atau nilai keberadaan adalah penilaian yang diberikan atas keberadaan atau terpeliharanya sumberdaya alam dan lingkungan, meskipun masyarakat atau komsumen tidak memanfaatkannya atau mengunjunginya. Nilai keberadaan ini juga sering dikenal sebagai intrinsic value atau nilai intrinsik dari sumberdaya alam atau nilai yang memang sudah melekat pada sumberdaya alam tersebut (Darusman et al. 2003). Bequest value atau nilai pewarisan didefinisikan sebagai nilai yang berkaitan
dengan
perlindungan
atau
pengawetan
(preservation)
suatu
sumberdaya alam agar dapat diwariskan kepada generasi mendatang dari generasi sekarang. Dengan demikian, generasi mendatang dapat mengambil, memanfaatkan, menggunakan sumberdaya alam tersebut sebagai manfaat yang telah diambil/dimanfaatkan oleh generasi sebelumnya (Darusman et al. 2003). Option value atau nilai manfaat pilihan adalah potensi langsung atau tidak langsung dari suatu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan di waktu mendatang dengan asumsi bahwa sumberdaya alam tersebut tidak mengalami kemusnahan atau kerusakan yang permanent. Nilai ini merupakan kesanggupan individu untuk membayar atau mengeluarkan sejumlah uang agar dapat
20
memanfaatkan potensi sumberdaya alam tersebut di waktu mendatang (Darusman et al. 2003). 2.6. Konsep dan Teknik Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam Konsep valuasi ekonomi konvensional mendefiniskan nilai ekonomi sebagai nilai ekonomi total yang merupakan penjumlahan dari nilai-nilai pemanfaatan (use values) dan nilai-nilai non-pemanfaatan (non-use values). Secara umum, memang sulit mengukur dengan pasti konsep use value dan non-use value di atas, sehingga valuasi ekonomi dengan menggunakan pendekatan di atas sering menjadi perdebatan menyangkut akurasi atau ketepatan dari pengukuran nilai ekonomi sumberdaya alam (Fauzi 2000). Salah satu kesulitan dalam mengukur nilai dari barang atau jasa yang dihasilkan sumberdaya alam adalah terdapat barang atau jasa dari sumberdaya alam yang tidak memiliki harga pasar dan tidak dapat diobservasi, sehingga nilai riil-nya tidak dapat diukur dengan baik. Menyikapi permasalahan tersebut, Krutila (1967) memperkenalkan konsep valuasi ekonomi total, yaitu sebuah usaha untuk memasukkan seluruh nilai dari kedua komponen nilai ekonomi sumberdaya alam, yaitu use value dan non-use value. Banyak metode yang tersedia untuk melakukan teknik valuasi ekonomi sumberdaya alam.
Dixon et al. (1988) diacu dalam Fauzi (2000), telah
menjelaskan secara detail tentang konsep ini. Teknik valuasi ini disempurnakan oleh Turner et al. (1993) diacu dalam Fauzi (2000) yang mengklasifikasikannya ke dalam dua kategori, yaitu nilai barang atau jasa melalui sebuah kurva permintaan dan tanpa melalui kurva permintaan. Untuk kategori pertama, Garrod dan Willis (1999) mengklasifikasikannya dengan
menggunakan
dua
metode,
yaitu
revealed
preference
dan
expressed/state preference. Revealed preference adalah teknik valuasi yang mengandalkan harga implisit dimana willingness to pay (WTP) terungkap melalui model yang dikembangkan. Beberapa teknik valuasi yang termasuk dalam revealed preference ini adalah : (i) travel cost methode yang diperkenalkan oleh Hotelling (1941) yang selanjutnya dikembangkan oleh Wood dan Trice (1958); dan (ii) hedonic price methode yang didasarkan pada teori atribut yang dikembangkan oleh Lancaster (1966) diacu dalam (Fauzi 2000). Menurut Garrod dan Willis (1999), expressed atau state preference adalah teknik valuasi yang didasarkan pada survai dimana keinginan membayar atau
21
WTP diperoleh langsung dari responden, yang langsung diungkapkan secara lisan maupun tertulis. Salah satu teknik yang cukup popular dalam kelompok ini adalah Contingent Valuation Methode (CVM) atau Metode Valuasi Kontingensi. CVM adalah motede teknik survai untuk menanyakan tentang nilai atau harga yang diberikan terhadap komoditas yang tidak memiliki nilai pasar (non-market). Dari uraian kedua teknik penilaian ekonomi sumberdaya yang tidak dapat dipasarkan (non-market valuation) tersebut di atas, terdapat perbedaan paling mendasar antara keduanya. Revealed preference bekerja secara tidak langsung dalam pengukuran nilai ekonomi yang tidak dipasarkan. Adapun expressed/state preference merupakan teknik pengukuran langsung. Menurut Fauzi (2004), secara skematis teknik valuasi non-market tersebut dapat dilihat dalam diagram alir Gambar 3.
Sumber : Fauzi 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan : Teori dan Aplikasi
Gambar 3. Klasifikasi Teknik Valuasi Non-Market Sumberdaya Alam Untuk kategori kedua, yaitu teknik valuasi tanpa melalui kurva permintaan, salah satu teknik yang terkenal adalah effect on production (EOP) atau pendekatan opportunity cost. Teknik ini menguji efek produktivitas sumberdaya terhadap intervensi atau campur tangan manusia. Dengan demikian, teknik ini memandang kualitas sumberdaya alam sebagai salah satu faktor produksi, sehingga perubahan kualitas lingkungan akan mempengaruhi produktivitas sumberdaya dan biaya produksi yang pada akhirnya turut menentukan perubahan harga dan produk. Sebagai contoh, polusi yang dilepaskan ke sungai akan mempengaruhi kualitas lingkungan sungai tersebut menjadi buruk, sehingga akan menurunkan produksi perikanan (Turner et al. 1993 diacu dalam Fauzi 2000). Pendekatan
EOP
dalam
penggunaannya
dapat
mengukur
nilai
pemanfaatan langsung (direct use value). Banyak aplikasi dari teknik ini telah
22
digunakan dalam studi atau kajian sumberdaya pesisir di negara berkembang. Ruitenbeek (1991) diacu dalam Fauzi (2000) telah menggunakan pendekatan ini untuk menduga nilai mangrove dan hubungannya dengan perikanan di Irian Jaya (Papua), Indonesia. Menurut Fauzi (2000), metode lainnya yang termasuk dalam pendekatan non-marked based adalah preventinve expenditure dan replacement cost. Preventinve expenditure menempatkan nilai sumberdaya alam dan lingkungan dari seseorang atau individu yang memiliki keinginan membayar untuk mencegah degradasi lingkungan atau untuk mengurangi pengaruh buruk terhadap sumberdaya alam dan lingkungan. Adapun dalam teknik replacement cost, nilai sumberdaya alam didekati dari biaya atau pengeluaran untuk restorasi sumberdaya alam. Sebagai contoh, berkurangnya produktivitas sumberdaya perikanan dapat ditunjukkan dari hilangnya hutan mangrove, sehingga dalam teknik ini, biaya yang dibutuhkan untuk menanam kembali hutan mangrove yang hilang dapat dikonversikan sebagai sebuah pendugaan minimum dari manfaat yang dihasilkan sumberdaya (Fauzi 2000). 2.7. Tingkat Keinginan Membayar (Willingness to Pay) Munasinghe (1993) mengemukakan bahwa tersedia banyak macam teknik penilaian yang dapat dipergunakan untuk mengkuantifikasikan konsep dari nilai. Konsep dasar dalam penilaian ekonomi yang mendasari semua teknik yang ada adalah kesediaan membayar dari individu untuk jasa-jasa lingkungan atau sumberdaya alam. Teknik
penilaian
manfaat,
didasarkan
pada
kesediaan
konsumen
membayar perbaikan atau kesediaan menerima kompensasi dengan adanya kemunduran kualitas lingkungan dalam sistem alami serta kualitas lingkungan sekitar (Hufschmidt et al.1987). Kesediaan membayar atau kesediaan menerima merefleksikan preferensi individu terhadap pemanfaatan sumberdaya (alam). Selanjutnya, Pearce dan Moran (1994) mengemukakan bahwa kesediaan membayar dan kesediaan menerima adalah “bahan mentah” dalam penilaian ekonomi. Dalam memahami konsep nilai ekonomi untuk sumberdaya alam, tidak terlepas dari konsep keinginan membayar (Willingness to Pay/WTP) dan keinginan menerima (Willingness to Accept/WTA).
Hal ini berkaitan dengan
23
definisi nilai ekonomi itu sendiri sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang/jasa. Menurut Fauzi (2004), dengan menggunakan pengukuran ini, maka nilai ekologis ekosistem akan dapat diterjemahkan ke dalam bahasa ekonomi dengan mengukur nilai moneter dari barang/jasa yang dihasilkan sumberdaya alam dan lingkungan. Lebih lanjut, Fauzi (2004) mengemukakan bahwa keinginan membayar juga dapat diukur dalam bentuk kenaikan pendapatan yang menyebabkan seseorang berada dalam posisi indifferent terhadap perubahan eksogenous. Perubahan eksogenous ini terjadi karena perubahan harga atau perubahan kualitas sumberdaya alam. Dalam teori permintaan, konsep WTP ini terkait erat dengan Compensating Variation dan Equivalent Variation. Dalam pengukuran nilai ekonomi, juga dapat menggunakan WTA yang didefinisikan sebagai jumlah minimum pendapatan seseorang untuk mau menerima penurunan sesuatu. Dalam praktiknya, WTP lebih sering digunakan daripada WTA karena WTA merupakan bukan pengukuran yang lebih berdasarkan insentif, sehingga kurang tepat untuk dijadikan studi yang berbasis perilaku manusia (Fauzi 2004). Penggunaan WTP dan WTA juga ditentukan oleh ada tidaknya hak kepemilikan (property right) seseorang/individu terhadap sumberdaya alam. Apabila individu yang menjadi responden dalam penelitian tidak memiliki hak atas barang/jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam, maka pengukuran yang relevan adalah keinginan membayar maksimum (maximum WTP) untuk memperoleh barang tersebut. Sebaliknya, apabila individu yang dijadikan responden memiliki hak atas barang/jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam, maka penggunaan keinginan menerima (WTA) adalah yang sangat relevan, karena menghitung/mengukur kompensasi yang paling minimum atas hilang atau rusaknya barang/jasa yang dimiliki (Fauzi 2004). Dengan menggunakan kurva permintaan, telaahan lebih lanjut mengenai WTP dan WTA dapat dilakukan. Menurut Djijono (2002), kurva permintaan dapat mengukur jumlah yang akan dibayar oleh konsumen untuk tiap unit yang dikonsumsi.
Selanjutnya, Djijono (2002) mengemukakan bahwa penetapan
kurva permintaan sebagai jadwal keinginan konsumen untuk membayar sejumlah sumberdaya yang dikonsumsi. Gambar 4 menggambarkan kurva permintaan dan hubungannya dengan keinginan membayar serta besarnya surplus konsumen.
24
Sumber
: Djijono (2002). Valuasi Ekonomi Menggunakan Metode Travel Cost Taman Wisata Hutan di Taman Wan Abdul Rachman, Provinsi Lampung
Gambar 4. Kurva Permintaan, Surplus Konsumen, dan WTP Dari Gambar 4, terlihat bahwa total bidang di bawah kurva permintaan (OREM) menunjukan total utilitas yang diperoleh atas konsumsi suatu barang (Djijono 2000), atau merupakan ukuran keinginan membayar secara total (Hufschmidt 1987; James 1991). Hal ini karena jumlah tersebut adalah hasil penjumlahan nilai-nilai marginal Q dari 0 sampai M. Dengan mengurangkan biaya produksi dari suatu barang yang dibeli konsumen (ONEM), maka diperoleh nilai surplus konsumen ditunjukan sebagai bidang segitiga NRE (Djijono 2000) dan merupakan ukuran keinginan membayar di atas pengeluaran kas untuk konsumsi (Hufschmidt 1987). Dengan demikian, maka kesediaan membayar berada pada area di bawah kurva permintaan (Munangsihe 1993). Surplus konsumen merupakan perbedaan antara jumlah yang dibayarkan oleh pembeli untuk suatu barang/jasa dan kesediaan untuk membayar (Djijono 2000). Surplus konsumen timbul karena konsumen menerima lebih dari yang dibayarkan dan bonus ini berakar pada hukum utilitas marginal yang semakin menurun. Sebab timbulnya surplus konsumen, karena konsumen membayar untuk tiap unit berdasarkan nilai unit terakhir. Surplus konsumen mencerminkan manfaat yang diperoleh karena dapat membeli semua unit barang pada tingkat harga rendah yang sama. Dengan demikian, maka secara sederhana surplus
25
konsumen dapat diukur sebagai bidang yang terletak diantara kurva permintaan dan garis harga (NRE). 2.8. Analisis Biaya Perjalanan Travel Cost Methode (TCM) dapat dikatakan sebagai metode yang tertua untuk pengukuran nilai ekonomi tidak langsung terhadap sumberdaya alam. Metode ini kebanyakan digunakan untuk menganalisis permintaaan terhadap rekreasi di alam terbuka, seperti memancing, berburu, dan hiking (Fauzi 2004). Secara prinsip, metode ini mengkaji biaya yang dikeluarkan setiap individu untuk mendatangi tempat rekreasi, misalnya untuk menyalurkan hobi memancing atau berekreasi di pantai, seseorang akan mengorbankan biaya dalam bentuk waktu dan uang untuk mendatangi tempat tersebut. Dengan mengetahui pola ekspenditure dari konsumen ini, maka akan dapat dikaji barapa nilai (value) yang diberikan konsumen kepada sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan demikian, menurut Fauzi (2004) metode ini dapat digunakan untuk mengukur manfaat dan biaya akibat dari : (i) perubahan biaya akses (tiket masuk) bagi suatu tempat rekreasi; (ii) penambahan tempat rekreasi baru; (iii) perubahan kualitas lingkungan tempat rekreasi; dan (iv) penutupan tempat rekreasi yang ada. Tujuan dasar TCM adalah ingin mengatahui nilai kegunaan dari sumberdaya alam melalui pendekatan proxy.
Dengan kata lain, biaya yang
dikeluarkan untuk mengkonsumsi jasa dari sumberdaya alam digunakan sebagai proxy untuk menentukan harga dari sumberdaya alam tersebut. Asumsi mendasar yang digunakan pada pendekatan TCM adalah bahwa utilitas dari setiap konsumen terhadap aktivitas, misalnya bersifat dapat dipisahkan (separable). Artinya, fungsi permintaan dari kegiatan-kegiatan yang berlangsung di lokasi yang menjadi obyek penelitian tidak dipengaruhi (independent) oleh permintaan kegiatan rileks lainnya, seperti menonton televisi, dan belanja atau shopping (Fauzi 2004). Secara umum ada dua teknik sederhana yang digunakan untuk menentukan nilai ekonomi berdasarkan TCM, yaitu : (i) pendekatan sederhana melalui zonasi; dan (ii) pendekatan individual. Pendekatan TCM melalui zonasi adalah pendekatan yang relatif simpel dan murah karena data yang diperlukan relatif lebih banyak mengandalkan data sekunder dan beberapa data sederhana dari responden pada saat survai. Dalam teknik ini, tempat rekreasi pantai dibagi dalam beberapa zona kunjungan dan diperlukan data jumlah pengunjung per
26
tahun untuk memperoleh data kunjungan per seribu penduduk. Dengan memperoleh data ini dan data jarak, waktu perjalanan, serta biaya setiap perjalanan per satuan jarak (per km), maka akan diperoleh biaya perjalanan secara keseluruhan dan kurva permintaan untuk kunjungan ke tempat wisata (Fauzi 2004). TCM berdasarkan pendekatan individual menggunakan data yang sebagian besarnya berasal dari kegiatan survai di lapangan. Metodologi pendekatan individual TCM secara prinsip sama dengan sistem zonasi, namun pada pendekatan ini analisis lebih didasarkan pada data primer yang diperoleh melalui survai dan teknik statistika yang relatif kompleks. Kelebihan dari metode TCM dengan pendekatan individu adalah hasil yang diperoleh relatif akurat daripada metode zonasi (Fauzi 2004). Beberapa asumsi dasar yang harus dibangun agar penilaian terhadap sumberdaya alam tidak bias melalui TCM sebagaimana dikemukakan oleh Haab dan McConnel (2002) diacu dalam Fauzi (2004), antara lain : (i) biaya perjalanan dan biaya waktu digunakan sebagai proxy atas harga rekreasi; (ii) waktu perjalanan bersifat netral, artinya tidak menghasilkan utilitas maupun disutilitas; dan (iv) biaya perjalanan merupakan perjalanan tunggal (bukan multiple travel). Selain itu, menurut Fauzi (2004), TCM harus dibangun berdasarkan asumsi bahwa setiap individu hanya memiliki satu tujuan untuk mengunjungi tempat wisata yang dituju sehingga tidak menganalisis aspek kunjungan ganda (multipurpose visit). Selanjutnya, para pengunjung atau individu juga harus dibedakan tempat mereka berasal untuk memilah pengunjung yang datang dari wilayah setempat (penduduk di sekitar lokasi wisata). Untuk melihat total biaya yang dikeluarkan wisatawan dan selanjutnya untuk digunakan sebagai proxy dalam menentukan harga dari sumberdaya alam (TWA Laut Pulau Weh), dilakukan melalui penetapan fungsi permintaan. Fungsi permintaan ditentukan dengan menggunakan teknik ekonometrik, yaitu regresi sederhana (Ordinary Least Square/OLS). Hipotesis yang dibangun adalah bahwa kunjungan ke tempat wisata akan sangat dipengaruhi oleh biaya perjalanan dan diasumsikan berkorelasi negatif, sehingga diperoleh kurva permintaan yang memiliki kemiringan negatif (Fauzi 2004). berikut :
Secara sederhana, fungsi permintaan di atas dapat ditulis sebagai
27
Vij = f ( cij , Tij , Q ij , S ij , M ij ) .................................................(1) dimana : Vij c ij Tij Qij Sij M
= jumlah kunjungan oleh individu i ke tempat j = biaya perjalanan yang dikeluarkan oleh individu i untuk mengunjungi lokasi j = biaya waktu yang dikeluarkan oleh individu i untuk mengunjungi lokasi j = persepsi responden terhadap kualitas lingkungan lokasi yang dikunjungi = karakteristik substitusi yang mungkin ada di tempat lain = pendapatan dari individu i Dari persamaan (1), dapat disimpulkan bahwa jumlah kunjungan ke suatu
lokasi wisata dipengaruhi oleh banyak faktor.
Faktor-faktor tersebut meliputi :
(i) biaya perjalanan; (ii) biaya waktu; (iii) persepsi terhadap kualitas lingkungan; (iii) karakteristik substitusi; dan (iv) pendapatan. Persamaan (1) merupakan model umum yang dipakai untuk menentukan jumlah kunjungan ke suatu lokasi wisata tertentu. Dalam aplikasinya, tidak semua faktor-faktor atau variabel perubah tersebut sesuai dengan lokasi yang diteliti. Selanjutnya, agar lebih operasional, maka persamaan (1) di atas dibuat dalam fungsi linear dan fungsi logaritma, masing-masing dituliskan sebagai berikut :
V = α 0 + α1c + α 2 S + α 3 M + α 4T + α 5Q ......................................(2) dan
ln V = α 0 + α 1 ln c + α 2 ln S + α 3 ln M + α 4 ln T + α 5 ln Q ............(3) atau
V = α 0c α1 S α2 M α3 t α 4 Q α5 ...............................................................(4) Setelah mengatahui fungsi permintaan, selanjutnya dapat diukur surplus konsumen yang merupakan proxy dari nilai WTP terhadap lokasi rekreasi. Surplus konsumen tersebut dapat diukur melalui formula :
WTP ≈ CS =
N2 (untuk fungsi permintaan linear) ......................(5) 2α1
WTP ≈ CS 2 =
N (untuk fungsi permintaan logaritma)..................(6) α1
dan
dimana : CS = Consumer Surplus atau surplus konsumen N = jumlah kunjungan yang dilakukan oleh individu i
28
Beberapa asumsi dasar yang harus dibangun agar penilaian terhadap sumberdaya alam tidak bias melalui TCM sebagaimana dikemukakan oleh Haad dan McConnel (2002) diacu dalam Fauzi (2004), yaitu : (i) biaya perjalanan dan biaya waktu digunakan sebagai proxy atas harga rekreasi; (ii) waktu perjalanan bersifat netral, artinya tidak menghasilkan utilitas maupun disutilitas; dan (iv) biaya perjalanan merupakan perjalanan tunggal (bukan multiple travel). Selain itu, Fauzi (2004) juga mengemukakan bahwa oleh karena TCM harus dibangun berdasarkan asumsi bahwa setiap individu hanya memiliki satu tujuan untuk mengunjungi tempat wisata yang dituju sehingga tidak menganalisis aspek kunjungan ganda (multipurpose visit). Selanjutnya, para pengunjung atau individu juga harus dibedakan tempat mereka berasal untuk memilah pengunjung yang datang dari wilayah setempat (penduduk di sekitar lokasi wisata). 2.9. Model Pengambilan Keputusan dengan Analisis Multikriteria Model Pengambilan Keputusan Berbasis Multikriteria atau Multi-Criteria Decision Making (MCDM) adalah teknik pengambilan keputusan multi-variabel berbasis non-parametrik. Dalam operasionalnya, model MCDM menempatkan pembobotan sebagai faktor kunci, karena didalamnya melibatkan beragam kriteria atau variabel.
Selain kriteria, MCDM juga melibatkan alternatif atau
pilihan yang dapat diambil. MCDM dapat digunakan dalam proses pengambilan keputusan karena dalam pemilihan alternatif terbaik mempertimbangkan setiap kriteria atau variabel dari alternatif-alternatif tersebut (Fauzi 2005b). MCDM terdiri atas beberapa jenis yang dibagi berdasarkan ada atau tidaknya informasi terhadap permasalahan yang dilihat. Secara skematis, pembagian MCDM disajikan dalam Gambar 5.
Sumber : Fauzi (2005b). Modeling with Multi-Criteria Decision Making
Gambar 5. Klasifikasi dan Jenis MCDM
29
MCDM merupakan alat analisis kebijakan yang menyangkut sumberdaya alam. Pendekatan MCDM mengakomodasikan berbagai kriteria yang dihadapi, namun relevan dalam mengambil keputusan tanpa harus mengkonversi ke pengukuran moneter dan proses normalisasi (Rahardjo 2003). Secara umum, struktur MCDM disusun berdasarkan matrik seperti Tabel 3 (Fauzi dan Anna 2001). Tabel 3. Matrik Keputusan MCDM C1 W1 a11 a21 a31 .. .. a m1
Alternatif A1 A2 A3 .. .. Am Keterangan : Ai (i=1,2,3,....m) Cj (j=1,2,3,....n) a12 (i=1...m; j=1...n)
C2 W2 a12 a22 a32 .. .. a m2
Kriteria C3 W3 a13 a23 a33 .. .. a m3
.. .. .. .. .. .. .. ..
Cn Wn a1n a2n a3n .. .. a mn
: alternatif pilihan yang ada : kriteria dengan bobot W j : pengukuran keragaan dari satu alternatif Ai berdasarkan kriteria Cj
Menurut Fauzi (2005b), operasionalisasi MCDM terdiri atas tiga tahapan berikut, yaitu : 1). Menentukan kriteria dan alternatif yang relevan atau sesuai 2). Menentukan pengukuran numerik (bobot) terhadap kriteria dan alternatif 3). Memproses nilai numerik menjadi alternatif terbaik Secara skematis, proses pengambilan keputusan dengan Metode MCDM digambarkan sebagai berikut :
30
Sumber : Rahardjo (2003). Analisis Kebijakan Pengelolaan Perikanan Budidaya Laut di Kepulauan Seribu
Gambar 6. Tahapan Proses Pengambilan Keputusan dengan Metode MCDM Berdasarkan Gambar 6, analisis MCDM dimulai dengan menetapkan alternatif keputusan yang mungkin akan diambil.
Selanjutnya, analisis
memerlukan penetapan kriteria yang dapat digunakan untuk menilai pemilihan alternatif tersebut di atas. Setiap kriteria pada alternatif keputusan tertentu akan mendapatkan nilai skor tertentu pula. Kemudian, pada setiap kriteria, seorang pengambil keputusan dapat memberikan bobot yang lebih atau kurang dibandingkan dengan kriteria yang lain berdasarkan pertimbangan penting atau tidaknya kriteria tersebut menjadi penilai di dalam pengambilan keputusan. Tahapan ini disebut juga sebagai tahapan preferensi kriteria atau pembobotan kriteria, yang mana jumlah bobot seluruh kriteria harus sama dengan satu (W 1, W 2, W 3,…., W n =1).
31
Tahapan pokok di dalam analisis MCDM disebut sebagai tahapan fungsi agregasi (aggregation function). Tahapan ini merupakan perhitungan matematis untuk memberikan penilaian akhir terhadap setiap alternatif keputusan dengan rumus matematis tertentu. Fungsi agregasi yang digunakan di dalam penelitian ini adalah Weighted Sum Methode (WSM). Dengan menggunakan WSM sebagai fungsi agregasi, akan diperoleh nilai akhir dari setiap alternatif keputusan. Besaran nilai akhir dari setiap alternatif keputusan tersebut merupakan dapat digunakan untuk menentukan prioritas dari berbagai alternatif yang ada.