II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Desentralisasi Fiskal di Indonesia
Menurut Sidik (2002) secara umum konsep desentralisasi terdiri atas 3 jenis yaitu desentralisasi politik (political decentralization), desentralisasi administratif (administrative decentralization), desentralisasi fiskal (fiscal decentralization), dan desentralisasi ekonomi (economic or market decentralization). Desentralisasi administratif pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga): 1.
Dekonsentrasi
(deconcentration),
yaitu
pelimpahan
wewenang
dari
pemerintah pusat kepada pejabat yang berada dalam garis hirarki dengan pemerintah pusat di daerah. 2.
Devolusi (devolution), yaitu
pelimpahan wewenang kepada
tingkat
pemerintah yang lebih rendah dalam bidang keuangan atau tugas pemerintahan dan pihak pemerintah daerah mendapat keleluasaan (discretion) yang tidak dikontrol oleh pemerintah pusat. 3.
Pendelegasian (delegation atau institutional pluralism), yaitu pelimpahan wewenang untuk tugas tertentu kepada orang yang berada diluar struktur birokrasi regular yang dikontrol secara tidak langsung oleh pemerintah pusat. Pendelegasian biasanya diatur dengan ketentuan perundang-undangan. Pihak yang diberi wewenang memiliki discretion dalam penyelenggaraan pendelegasian tersebut walaupun wewenang terakhir tetap berada pada pihak pemberi wewenang (sovereign-authority). Desentralisasi di Indonesia pada dasarnya sudah diberlakukan oleh
pemerintah sejak tahun 1974 dengan terbitnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974. Dibawah Undang-undang tersebut terjadi transfer pelayanan administrasi dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah namun kontrol tetap dilakukan oleh pusat dan penerimaan daerah masih sangat tergantung oleh pemerintah pusat. Pada era reformasi, pasca krisis ekonomi tahun 1997 pemerintah menerbitkan Undang-undang nomor 22 tahun 1999 yang selanjutnya disempurnakan dengan Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, dan Undang11
undang nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Undang-undang tersebut mengatur tentang desentralisasi administrasi dan politik pada tingkat kabupaten/kota. Dengan munculnya UU No. 22 tahun 1999 yang mengatur pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah serta UU No. 25 tahun 1999 yang mengatur tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, selayaknya pemerintah daerah kabupaten/kota dapat mengembangkan sumber daya lokal dan mengurangi ketergantungannya dari pemerintah pusat. Akan tetapi, berbagai pengamatan empiris menyatakan bahwa pemberlakuan otonomi daerah menimbulkan distorsi dan high cost economy (Landiyanto, 2005). Pada era otonomi, terjadi pergeseran wewenang dan tanggung jawab dalam pengalokasian sumber daya yang berada di tangan pemerintah kota dan kabupaten. Desentralisasi fiskal merupakan aspek finansial pembangunan wilayah dan pemerintah daerah yang menyangkut dua hal yang saling berkaitan. Pertama, sumber penerimaan antara pemerintah di tingkat nasional, provinsi, dan tingkat wilayah dibawahnya. Kedua, desentralisasi fiskal dapat tercermin dari pengeluaran dan penerimaan wilayah dan pemerintah daerah. Ketidakseimbangan antara fungsi penerimaan dan pengeluaran pada pemerintah daerah dapat memiliki implikasi fiskal yang serius. Menurut Ehtisham Ahmad dan Ali Mansoor (IMF Working Paper, 2002) desentralisasi menyebabkan peningkatan transfer ke pemerintah daerah sebesar 50 persen.
2.2. Anggaran Anggaran merupakan alat manajemen yang memegang peranan penting dalam sistem pengendalian manajemen sebuah perusahaan, terutama dalam proses perencanaan (planning) dan pengawasan (controlling). Lowe (1970) menyatakan bahwa anggaran merupakan pernyataan mengenai apa yang diharapkan, direncanakan atau diperkirakan terjadi dalam periode tertentu yang direncanakan di masa yang akan datang. Pengertian anggaran menurut Mulyadi (1993) adalah rencana kerja yang dinyatakan secara kuantitatif yang diukur dalam satuan moneter standar dan satuan lain yang mencakup jangka waktu satu tahun. Dalam 12
menyusun anggaran, perusahaan dapat memilih kebijakan anggaran partisipatif atau top down (Hansen dan Mowen, 1995; Zimmerman, 1995 dalam Alim, 2008). Anggaran melibatkan hubungan antar manusia, maka terdapat perilakuperilaku manusia yang mungkin timbul sebagai akibat dari anggaran, baik perilaku yang bersifat positif maupun perilaku yang negatif. Menurut Siegel dan Marconi (1989) bahwa aspek perilaku dalam penganggaran menggambarkan perilaku manusia yang terlibat dalam proses penyiapan anggaran dan perilaku manusia yang mencoba hidup dengan anggaran. Perilaku yang positif dapat berupa peningkatan kinerja manajer karena termotivasi oleh anggaran yang digunakan sebagai dasar penilaian kinerja mereka. Perilaku negatif yang mungkin timbul sebagai akibat dari penganggaran, antara lain konflik internal (internal conflict) dan senjangan anggaran (budgetary slack). Sebagian penelitian menunjukkan bahwa partisipasi penganggaran akan mempunyai dampak positif bagi manajerial (Argyris, 1952; Kennis, 1979; Merchant, 1981; Brownell & Mc Innes, 1986). Akan tetapi sebagian lagi menyatakan bahwa partisipasi penganggaran mempunyai dampak negatif (Milani, 1975; Cherrington and Cherrington, 1973). Dalam suatu organisasi maupun perusahaan pasti memiliki anggaran, baik operasional ataupun modal/investasi. Pada sektor publik, anggaran harus diinformasikan kepada publik untuk dikritik, didiskusikan, dan diberi masukan. Konsekuensi bagi pemerintah daerah dalam bentuk pertanggungjawaban atas pengalokasian dana yang dimiliki dengan cara yang efisien dan efektif, khususnya dalam upaya peningkatan kesejahteraan dan pelayanan umum kepada masyarakat. Dengan membangun suatu sistem penganggaran yang dapat memadukan perencanaan kinerja dengan anggaran tahunan akan terlihat adanya keterkaitan antara dana yang tersedia dengan hasil yang diharapkan (Sardjito dan Muthaher, 2007). Sistem anggaran berbasis kinerja dan otonomi daerah menuntut Pemda kreatif untuk menggali dan memanfaatkan potensi daerah secara optimal untuk kemajuan daerah. Perencanaan strategis juga memungkinkan Pemda menegakkan akuntabilitas
(pengukuran
kinerja),
penyusunan
rencana,
pemantauan
pelaksanaannya, dan penyediaan umpan balik untuk masyarakat sehingga ada
13
perubahan yang positif di berbagai bidang secara terus-menerus. Anggaran berbasis kinerja juga mengisyaratkan penggunaan dana yang tersedia dengan seoptimal mungkin untuk menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal bagi masyarakat.
2.2.1. Penyusunan Anggaran
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan Negara yaitu suatu daftar yang memuat rincian pendapatan dan pengeluran negara untuk waktu tertentu, biasanya dengan jangka waktu selama satu tahun dan disetujui oleh dewan perwakilan rakyat (DPR). Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah suatu daftar sistematis yang dirinci tentang penerimaan dan pengeluaran atau pembelanjaan daerah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). APBD disusun oleh Pemerintah Daerah (Pemda) dan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Penyusunan APBD dilakukan dengan 3 (tiga) tahap: (1) Pemda mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD kepada DPRD. Pengambilan keputusan oleh DPRD selambat-lambatnya 1 bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan. (2) Setelah disetujui oleh DPRD, RAPBD ditetapkan menjadi APBD melalui Peraturan Daerah. Jika tidak disetujui, untuk membiayai keperluan setiap bulan, Pemda dapat melaksanakan pengeluaran setingi-tingginya sebesar angka APBD tahun sebelumnya, (3) Setelah APBD ditetapkan, pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut dengan keputusan gubernur/bupati/ walikota. Dengan dilaksanakannya otonomi daerah, APBD merupakan pintu yang paling mungkin bagi setiap daerah untuk mengelola kegiatan pembangunan daerah melalui alokasi anggaran yang tepat. Pemda menyusun strategi dan prioritas APBD berdasarkan arah dan kebijakan umum APBD yang telah disepakati bersama antara DPRD dengan Pemda. Penyusunan strategi dan prioritas APBD oleh Pemda dapat dibantu atau melibatkan masyarakat pemerhati yang memiliki kompetensi sesuai dengan bidang-bidang yang menjadi konsentrasi pembangunan masyarakat di daerah. Selanjutnya Pemda menyampaikan strategi dan prioritas APBD kepada DPRD
14
yang diwakili oleh Panitia ad hoc sebagai konfirmasi apakah strategi dan prioritas APBD tersebut telah sesuai dengan arah dan kebijakan umum APBD yang telah disepakati. Strategi dan prioritas APBD yang telah dikonfirmasikan kepada DPRD selanjutnya menjadi masukan bagi Tim Anggaran Eksekutif dan Panitia Anggaran Legislatif dalam proses penganggaran berikutnya.
MASYARAKAT Tokoh Masyarakat, LSM, Ormas, Asosiasi Profesi, Perguruan Tinggi, dan lain-lain
partisipasi
PEMDA
TIM ANGGARAN EKSEKUTIF
Arah dan Kebijakan Umum APBD
Straetgi & Prioritas APBD
partisipasi
DPRD
PANITIA AD HOC
PANITIA ANGGARAN LEGISLATIF Sumber: Buletin Studi Ekonomi Volume 11 Nomor 3 Tahun 2006
Gambar 4. Proses Penyusunan Strategi dan Prioritas APBD
2.2.2. Perilaku Pemerintah Daerah
Kebijakan desentralisasi memberikan peran pemerintah daerah secara signifikan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Oleh karena itu dalam sistem desentralisasi ini diperlukan perubahan-perubahan mendasar dalam hal fungsi publik dan para pelaku yang terkait dengan sistem tersebut. Dengan otonomi yang diperbesar secara bertahap dan selektif sangat memungkinkan keberhasilan staf pemerintah daerah dalam mengelola pembangunan daerahnya (Smoke dan Lewis, 1996 dalam Yuliyati, 2001). Bird, Ebel dan Wallich (1995) menyatakan bahwa pemerintah daerah harus merubah perilaku dengan memperkecil aktifitas sektor publik dibarengi dengan pembangunan kapasitas staf
15
dan kelembagaan dengan maksud agar mereka lebih akuntabel dalam mengambil keputusan-keputusan fiskal. Menurut Slamet (2000) desentralisasi ekonomi mendorong pemerintah untuk berkinerja seperti bisnis dan memperlakukan masyarakat sebagai nasabah, namun pemerintah harus teliti dalam melaksanakan usaha secara bisnis. Sebagai nasabah, masyarakat harus mendapatkan pelayanan yang lebih baik karena masyarakat telah membayar pajak dan retribusi, sehingga pemerintah daerah harus melayani masyarakat secara efisien dan berkualitas. Perilaku pemerintah daerah secara deskriptif dapat diamati melalui proses penyusunan dan pengelolaan anggaran yang mencakup aspek disiplin anggaran, strategi prioritas anggaran, efisiensi, dan efektifitas anggaran dilihat dari sisi pengeluaran/belanja pemerintah daerah . Selain itu siklus dalam penetapan APBD, akuntabilitas dan transparansi yang dikaitkan dengan partisipasi masyarakat juga dapat dijadikan gambaran untuk melihat perilaku pemerintah daerah dalam menjalankan/mengelola pembangunan daerahnya.
2.2.2.1. Disiplin Anggaran
Disiplin anggaran harus tertuju kepada arah dan kebijakan anggaran yang ditetapkan. Kebijakan anggaran adalah garis kebijakan pemerintah dalam penetapan pengeluaran dan penerimaan Negara dalam rangka mencapai tujuan ekonomi nasional. Anggaran harus disusun berdasarkan kebutuhan riil dan prioritas sesuai dengan tugas pokok dan fungsi unit kerja masing-masing. Kebijakan anggaran bertujuan untuk mengalokasikan sumber-sumber daya ekonomi agar efisien, mendistribusikan sumber-sumber daya ekonomi dan kegiatan ekonomi/pembangunaan agar seimbang menuju ke arah keadilan dalam pembagian pendapatan masyarakat dan tercapainya kemakmuran yang merata, menstabilkan perekonomian dan mengurangi pengaruh guncangan ekonomi menuju kearah terciptanya kesempatan kerja yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang mantap. Disiplin dalam penyusunan/pengelolaan anggaran mengacu kepada 3 (tiga) prinsip disiplin anggaran yaitu (1) anggaran harus disusun berdasarkan kebutuhan
16
riil dan prioritas sesuai dengan tugas pokok dan fungsi unit-unit kerja di lingkungan pemerintah daerah, (2) dalam penyusunan anggaran harus dihindari terjadinya tumpang tindih (duplikasi), (3) anggaran yang tersedia pada setiap pos merupakan batas maksimum pengeluaran dan tidak dibenarkan melampaui batas anggaran yang telah ditetapkan
2.2.2.2. Prioritas Anggaran
Prioritas merupakan proses mengartikulasikan preferensi masyarakat dan memetakan preferensi tersebut ke dalam alokasi belanja (Yuliyati, 2001). Implementasinya sangat kompleks karena penentuan prioritas pada dasarnya merupakan proses politik, beban transaksi yang harus ditanggung dalam menyusun prioritas sangat tinggi dari proses perencanaan sampai dengan menjadi daftar skala prioritas. Dalam prakteknya, pemerintah daerah harus memiliki perencanaan jangka menengah (3 -5 tahunan) dan perencanaan jangka pendek (tahunan). Perencanaan jangka menengah bersifat rangkaian kebijakan (policy) untuk menjamin kesinambungan program dan konsistensi, sedangkan perencanaan tahunan merupakan operasionalisasinya yang berfungsi untuk menjaga fleksibilitas agar perencanaan tidak kaku dan dapat mengakomodir perubahan-perubahan lingkungan strategis sehingga penyusunan skala prioritas dapat menampung aspirasi dan memetakan prefrensi masyarakat terhadap kebutuhan barang/jasa publik. Dengan disusunnya daftar skala prioritas, maka alokasi anggaran harus mengacu/taat pada daftar skala prioritas yang telah dibuat. Beberapa hal disarankan oleh Campos dan Pradhan (1996) yang dapat mempermudah dalam menyusun strategi prioritas sebagai berikut: a.
Proses perencanaan belanja harus berkaitan erat dengan keluaran yang ingin dicapai.
b.
Fleksibilitas unit-unit kerja dalam menyusun belanja lintas sektor.
c.
Comprehensiveness dari anggaran.
d.
Memanfaatkan umpan balik dari masyarakat.
e.
Menggunakan kriteria obyektif.
17
2.2.2.3. Efisiensi Anggaran
Prinsip efisiensi dalam kebijakan penyusunan anggaran belanja menurut kriteria investasi adalah membuat pengeluaran-pengeluaran pemerintah bagi setiap tujuan pembangunan per satuan rupiahnya memberikan manfaat (benefit) lebih besar atau paling tidak sama dengan satu rupiah pengeluarannya (cost). Dengan perkataan lain, marginal benefit (MB) sama dengan marginal cost-nya (MC). Dengan perkataan lain marginal benefit dari suatu proyek sama dengan marginal costnya (MB = MC) (Yuliyati, 2001)
2.2.2.4. Siklus APBD Prisip-prinsip pokok dalam siklus anggaran mencakup tahap persiapan anggaran, tahap ratifikasi, tahap implementasi, serta tahap pelaporan dan evaluasi. Pada tahap persiapan anggaran dilakukan taksiran pengeluaran atas dasar taksiran pendapatan yang tersedia. Sebelum melakukan taksiran pengeluaran hendaknya terlebih dahulu dilakukan penaksiran pendapatan secara lebih akurat. Tahap ratifikasi merupakan tahap yang melibatkan proses politik yang cukup rumit dan cukup berat. Pimpinan eksekutif dituntut tidak hanya memiliki managerial skill namun juga harus mempunyai political skill, salesman ship, dan coalition building yang memadai. Integritas dan kesiapan mental yang tinggi dari eksekutif sangat penting dalam tahap ini karena dalam tahap ratifikasi ini pimpinan eksekutif harus mempunyai kemampuan untuk menjawab dan memberikan argumentasi yang rasional atas segala pertanyaan-pertanyaan dan bantahan-bantahan dari pihak legislatif. Pada tahap implementasi/pelaksanaan anggaran. harus diperhatikan oleh manajer keuangan publik adalah dimilikinya sistem (informasi) akuntansi dan sistem pengendalian manajemen. 2.2.2.5. Efektifitas Pengelolaan Anggaran
18
Efektifitas anggaran dapat diukur melalui evaluasi kinerja anggaran. Dalam hal penilaian kinerja anggaran, idealnya pemerintah daerah telah melakukan evaluasi secara berkala setiap tahun (jangka pendek) maupun setiap tiga atau lima tahunan (jangka menengah). Evaluasi jangka pendek terhadap kegiatan-kegiatan dilakukan oleh tim monitoring maupun badan pengawasan daerah (Inspektorat Wilayah). Selain itu evaluasi juga dapat dilakukan oleh DPRD pada saat kunjungan kerja ke daerah. Namun untuk mengetahui optimalisasi kinerja Pemda dalam mengalokasikan pengeluaran untuk penyediaan dan pelayanan jasa publik secara lebih obyektif, Pemda dapat melakukan survei langsung terhadap opini masyarakat tentang penyediaan dan pelayanan jasa publik apakah sudah sesuai dengan preferensi masyarakat atau belum. Evaluasi jangka menengah biasanya dilakukan dalam bentuk kerjasama antara Pemda dengan perguruan tinggi setempat.
2.2.2.6. Partisipasi Masyarakat
Pada era otonomi daerah diperlukan partisipasi masyarakat agar Pemda lebih responsif, efisien, efektif, dan akuntabel dalam melayani kebutuhan masyarakat. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, Pemda berkewajiban untuk menciptakan suasana yang dapat mendorong masyarakat umum maupun swasta untuk berpartisipasi. Sebagai pendidikan politik kepada masyarakat umum, maka Pemda perlu membuka aliran informasi dan dialog. Hasil penelitian Bass dan Levit, keikutsertaan pihak-pihak dalam penyusunan anggaran akan membuat mereka menjadi lebih produktif dan menyebabkan partisipan merasa bertanggung jawab untuk menyelesaikan dan menjalankan apa yang telah direncanakannya dengan lebih bertanggung jawab. Partisipasi anggaran didefinisikan sebagai tingkat keikutsertaan manajer dalam menyusun anggaran dan pengaruh anggaran tersebut terhadap pertanggungjawaban yang bersangkutan (Kenis, 1979). Siegel dan Marconi (1989) menyatakan bahwa partisipasi dalam proses penyusunan anggaran dapat memberikan manfaat antara lain:
19
a.
Orang yang terlibat dalam proses penyusunan anggaran tidak saja menjadi task involved namun juga ego involved dalam melaksanakan pekerjaan mereka.
b.
Keikutsertaan seseorang akan meningkatkan rasa kebersamaan dalam kelompok karena dapat meningkatkan kerjasama antar anggota kelompok di dalam penetapan sasaran mereka, selain itu dapat mengurangi rasa tertekan akibat adanya anggaran.
c.
Mengurangi rasa ketidaksamaan dalam mengalokasikan sumber daya yang ada di antara divisi-divisi yang ada dalam organisasi.
2.2.2.7. Transparansi dan Akuntabilitas
Akuntabilitas instansi pemerintah merupakan perwujudan kewajiban instansi bersangkutan untuk mempertanggungjawabkan, baik keberhasilan maupun kegagalan dalam melaksanakan misi instansi meraih tujuan serta sasaran yang telah ditetapkan. Sistem pengelolaan keuangan daerah yang baru menunjukkan adanya kewajiban Pemda memberikan pertanggungjawaban yang meliputi menyajikan, melaporkan, mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang terkait dengan penerimaan dan penggunaan uang publik kepada yang berhak dan berwenang meminta pertanggungjawaban (DPRD dan masyarakat luas).
2.3.
Sumber Pembiayaan Desentralisasi Untuk menjalankan fungsi sebagai pemerintah daerah dalam era
desentralisasi, diperlukan kemampuan pembiayaan yang memadai. Secara umum penerimaan pemerintah (termasuk pemerintah daerah) dapat bersumber dari pajak (taxes), retribusi (user charges) dan pinjaman (Musgrave dan Musgrave, 1991: 225). Menurut UU No. 25 tahun 1999, sumber pembiayaan pemerintah daerah terdiri dari 3 (tiga) komponen besar, yaitu: 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sumber-sumber PAD terdiri dari: a. Hasil pajak daerah b. Hasil retribusi daerah 20
c. Hasil Perusahaan Milik Daerah dan pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan d. Lain-lain PAD yang sah 2. Dana Perimbangan Dana Perimbangan terdiri dari: a. Bagi hasil pajak b. Bagi hasil bukan pajak/sumber daya alam c. Dana Alokasi Umum (DAU) d. Dana Alokasi Khusus (DAK) 3. Lain-lain pendapatan yang sah Diantara ketiga komponen sumber pendapatan tersebut, komponen kedua yaitu pendapatan yang berasal dari dana perimbangan merupakan indikasi ketergantungan pembiayaan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Pembiayaan pemerintah daerah dalam hubungannya dengan pembiayaan dari pemerintah pusat diatur sebagai berikut: •
Urusan yang merupakan tugas pemerintah pusat di daerah dalam rangka dekonsentrasi dibiayai atas beban APBN
•
Urusan yang merupakan tugas pemerintah daerah dalam rangka desentralisasi dibiayai dari dan atas beban APBD
•
Urusan yang merupakan tugas pemerintah pusat atau pemerintah daerah tingkat atasnya, yang dilaksanakan dalam rangka tugas perbantuan, dibiayai oleh pemerintah pusat atas beban APBN atau oleh pemerintah daerah diatasnya atas beban APBD pihak yang menugaskan (Kuncoro, 2004).
2.4. Pengeluaran/Belanja Pemerintah Daerah
Pengeluaran pemerintah daerah dipengaruhi oleh penerimaan pemerintah daerah dari hasil pajak maupun bukan pajak, transfer dari pemerintah atasnya, dan pinjaman yang diterima oleh pemerintah daerah4. Kegiatan-kegiatan yang dapat dibiayai oleh pemerintah daerah diantaranya kegiatan-kegiatan administrasi
4
Dikutip dari Publikasi Statistik Keuangan Pemerintahan Daerah Tingkat II Berbagai tahun, BPS
21
pemerintahan dan pembangunan infrastruktur. Jenis-jenis pengeluaran/belanja pemerintah daerah secara rinci dapat dibedakan menjadi: 1.
Belanja tidak langsung, yaitu belanja yang tidak terkait langsung dengan pelaksanaan pogram dan kegiatan. Belanja tidak langsung terdiri dari: belanja pegawai, belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja bantuan keuangan, dan pengeluaran tidak terduga. a. Belanja pegawai tidak langsung adalah belanja kompensasi dalam bentuk gaji dan tunjangan, serta penghasilan lainnya yang diberikan kepada pegawai negeri sipil yang ditetapkan sesuai perundang-undangan. b. Belanja bunga adalah belanja yang digunakan untuk pembayaran bunga hutang yang dihitung berdasarkan kewajiban pokok hutang berdasarkan perjanjian jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjag. c. Belanja subsidi adalah belanja untuk bantuan biaya produksi kepada perusahaan/lembaga tertentu agar harga jual produksi barang/jasa yang dihasilkan dapat terjangkau oleh masyarakat banyak. d. Belanja hibah adalah belanja yang dianggarkan untuk diberikan kepada pihak lain sebagai hibah dalam bentuk uang, barang dan atau jasa. e. Belanja bantuan sosial adalah belanja untuk memberikan bantuan kepada organisasi kemasyarakatan, partai politik, dan lainnya yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. f. Belanja bagi hasil adalah belanja yang dianggarkan sebagai dana bagi hasil yang bersumber dari pendapatan provinsi kepada kabupaten/kota maupun kepada desa, atau pendapatan pemerintah daerah tertentu kepada pemerintah daerah lainnya. Belanja bagi hasil terdiri dari belanja bagi hasil pajak dan belanja bagi hasil retribusi. g. Belanja bantuan keuangan adalah pemberian bantuan bantuan yang bersifat umum atau khusus dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota, kepada pemerintah desa, atau pemerintah daerah lainnya dalam rangka pemerataan dan atau peningkatan kemampuan keuangan dan penggunaannya diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah penerima bantuan.
22
2.
Belanja langsung, yaitu belanja yang terkait langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Belanja lansung terdiri dari: belanja pegawai, belanja barang dan jasa, serta belanja modal. a. Belanja pegawai langsung adalah pengeluaran untuk honorarium/upah, lembur, dan pengeluaran lain untuk meningkatkan motivasi dan kualitas pegawai dalam melaksanakan program kegiatan pemerintah daerah. b. Belanja barang dan jasa adalah belanja untuk pembelian/pengadaan barang yang nilai manfaatnya kurang dari setahun dan atau pemakaian jasa dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintah daerah. c. Belanja modal adalah belanja untuk pembelian/pengadaan atau pembangunan asset tetap berwujud yang nilai manfaatnya lebih dari setahun dan atau pemakaian jasa dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintah daerah. Selain menurut jenisnya, pengeluaran pemerintah daerah dapat juga
dibedakan menurut fungsinya5, yaitu: 1.
Fungsi pelayanan umum
2.
Fungsi pendidikan
3.
Fungsi perlindungan Sosial
4.
Fungsi ketertiban dan ketentraman
5.
Fungsi ekonomi
6.
Fungsi lingkungan hidup
7.
Fungsi perumahan dan fasilitas umum
8.
Fungsi kesehatan
9.
Fungsi pariwisata dan budaya
2.5. Kinerja Keuangan Daerah
Menurut Halim dalam Landiyanto (2005), ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi adalah (i) kemampuan keuangan daerah, artinya daerah memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola 5
dan
menggunakan
keuangannya
sendiri
untuk
membiayai
Dikutip dari Publikasi Statistik Keuangan Pemerintahan Daerah Tingkat II Berbagai tahun, BPS
23
penyelenggaraan pemerintahan; (ii) ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, artinya Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijkan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Kedua ciri tersebut akan mempengaruhi pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Secara konseptual, pola hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah harus sesuai dengan kemampuan daerah dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan. Atas dasar alasan tersebut, untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi dapat digambarkan melalui kinerja keuangan daerah. Kinerja keuangan daerah dapat diukur dengan derajat desentralisasi fiskal (Musgrave dan Musgrave, 1991). Akai dan Sakata (2005) membagi ukuran desentralisasi fiskal menjadi dua, yaitu derajat kewenangan (authority power) dan derajat kemandirian (autonomy power). Derajat kewenangan pemerintah daerah diukur menggunakan tiga indikator, yaitu Revenue Indicator (RI), Production Indicator (PI), dan Production-Revenue Indicator (PRI). Sedangkan derajat kemandirian diukur dengan Autonomy Indicator (AI) yang merupakan rasio penerimaan sendiri pemerintah daerah (PAD) terhadap total penerimaan daerah. 2.6. Rasio Keuangan Daerah Pemerintah daerah sebagai pihak yang diberikan tugas menjalankan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan daerah sebagai dasar penilaian kinerja keuangannya. Selain dengan derajat desentralisasi fiskal, ukuran untuk menganalisis kinerja keuangan pemerintah daerah dapat dilakukan dengan analisis rasio keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakan (Halim, 2002). Penggunaan analisis rasio keuangan sebagai alat analisis kinerja keuangan secara luas telah diterapkan pada lembaga perusahaan yang bersifat komersial, sedangkan pada lembaga publik khususnya pemerintah daerah masih sangat terbatas. Dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang transparan, jujur, demokratis, efektif, efisien, dan akuntabel, analisis rasio keuangan terhadap pendapatan belanja daerah perlu dilaksanakan meskipun terdapat perbedaan
24
kaidah pengakuntansiannya dengan laporan keuangan yang dimiliki perusahaan swasta (Mardiasmo, 2002). 2.7. Pertumbuhan Ekonomi dan PDRB per Kapita Secara normatif diharapkan bahwa desentralisasi merupakan keputusan yang efisien terhadap pelayanan publik yang akan menghasilkan pembangunan ekonomi secara cepat. Namun secara empiris beberapa literatur mengemukakan bahwa tidak ada hubungan yang jelas antara desentralisasi dan pertumbuhan. Studi terhadap 46 negara tahun 1970 – 1989, Davoodi and Zou (1997) menemukan hubungan negatif antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi di negara berkembang dan tidak ada hubungannya di negara maju. Atsushi Iimi, 2004 menemukan bahwa ada hubungan positif dan signifikan antara rata-rata pertumbuhan per kapita dan desentralisasi fiskal yang diukur oleh andil pengeluaran lokal terhadap total pengeluaran pemerintah. Pertumbuhan ekonomi merupakan peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) dari satu tahun ke tahun berikutnya (Blanchard, 2000). PDB adalah nilai barang dan jasa final (untuk tujuan konsumsi) yang diproduksi oleh seluruh kegiatan ekonomi pada suatu periode waktu tertentu. PDB dapat diperoleh dengan dua cara yakni PDB atas dasar harga berlaku dan PDB atas dasar harga konstan. Pada umumnya pertumbuhan ekonomi diukur berdasarkan PDB atas dasar harga konstan, seperti halnya Zang and Zou (1998) dalam penelitiannya yang mengukur pertumbuhan ekonomi menggunakan PDB atas dasar harga konstan. Untuk tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, nilai barang dan jasa yang diproduksi oleh seluruh kegiatan ekonomi pada periode tertentu disebut Produk Domestik Regional Buto (PDRB). Fungsi produksi memberikan hubungan kuantitatif antara input dan output (Dornbush, 2001). Model Solow menggunakan empat variabel, yaitu output (Y), modal (K), tenaga kerja (L) dan teknologi (A). Output tergantung pada input utama ( L dan K) dan teknologi. Semakin tinggi teknologi, maka semakin besar output yang dihasilkan dan semakin meningkatnya kemampuan tenaga kerja juga akan meningkatkan output. Hubungan antara output dan input dapat diformulasikan dalam persamaan berikut:
25
Y = F ( K (t ), L(t ), A(t )) ………………………………………………..….... (1) t adalah variabel waktu yang menentukan fungsi produksi melalui variabel input L, K, dan A. Output akan berubah selama variabel input juga berubah dalam kurun waktu tertentu.
2.8. Pengangguran 2.8.1. Kurva Phillips Kurva Phillips menunjukkan hubungan terbalik antara pengangguran dan tingkat kenaikan upah nominal. Semakin tinggi tingkat pengangguran, semakin rendah tingkat inflasi upah atau terdapat tradeoff antara inflasi upah dan pengangguran (Dornbush, 2001). Jika Wt adalah upah periode sekarang dan Wt+1 adalah upah periode berikutnya, maka tingkat inflasi upah (gw)didefinisikan sebagai:
gw =
Wt +1 − Wt ……………………………………………………………… (2) Wt Jika u* menggambarkan tingkat pengangguran alamiah, dapat disusun kurva
Phillips sederhana sebagai berikut: g w = −ε (u − u*) ……………………………………………………….…….. (3) dimana ε merupakan tingkat resposifitas dari upah terhadap pengangguran. Upah turun ketika
tingkat pengangguran
melebihi tingkat pengangguran alamiah
(u > u*) dan naik ketika tingkat pengangguran berada dibawah tingkat pengangguran alamiah (u > u*). Kurva Phillips berimplikasi bahwa upah dan harga menyesuaikan diri terhadap permintaan agregat. Dengan naiknya upah tingkat pengangguran akan turun. Upah akan bergerak naik, termasuk harga dan akhirnya perekonomian akan kembali ke tingkat full employment dari output dan pengangguran sehingga diperoleh persamaan berikut: Wt +1 = Wt [1− ⊥ (u − u *)] ….…………………………………………………. (4) Agar upah naik dari periode sebelumnya, tingkat pengangguran harus turun dibawah tingkat alamiahnya. Betuk Kurva Phillips:
26
Sumber: Dornbush (2004) Gambar 5. Kurva Phillips
2.8.2. Ekspektasi Inflasi dan Kurva Phillips Kurva Phillips sederhana tidak lagi cocok dengan data tahun 1970 an dan 1980 an, perlu diperhatikan ekspektasi atau antisipasi inflasi sehingga persamaan (3) menjadi: ( g w − π e ) = −ε (u − u*) ……………………………………………………… (5) dimana πe merupakan tingkat ekspektasi inflasi harga. Dengan asumsi upah riil konstan, inflasi aktual (π) akan sama dengan inflasi upah, maka persamaan untuk Kurva Phillips versi modern the (inflation)-expectation-augmented Phillips curve adalah:
π = π e − e(u − u*) …………………………………………………………… (6) -
Ekspektasi inflasi dimasukkan ke dalam inflasi aktual secara proporsional.
-
Pengangguran berada pada tingkat alamiah ketika inflasi aktual sama dengan ekspektasi inflasi.
27
T i n g k a t I n f l a s i (%)
πe awal 80 an = 7%
7
Kurva Phillips awal 80
πe akhir 90 an = 2%
2
Kurva Phillips akhir 90
u* Tingkat Pengangguran
Sumber: Dornbush (2004) Gambar 6. Ekspektasi Inflasi dan Kurva Phillips Jangka Pendek
2.8.3. Teori Upah Efisiensi Penawaran tenaga kerja adalah hubungan antara tingkat upah dengan jumlah tenaga kerja, permintaan tenaga kerja merupakan hubungan antara upah dan jumlah tenaga kerja. Permintaan perusahaan terhadap tenaga kerja tergantung pada permintaan masyarakat terhadap barang yang diproduksi oleh suatu perusahaan, sehingga permintaan terhadap tenaga kerja dapat diturunkan dari fungsi produksi yang merupakan fungsi dari tenaga kerja (L) dan modal (K), sebagai berikut: Y = f(L, K) …………………………………………………………………… (7) dimana: Y = Total Produksi (output) L = Tenaga kerja K = Modal
28
Dalam pasar persaingan sempurna (perfect competition), tingkat penyerapan tenaga kerja dan harga (tingkat upah) ditentukan oleh harga-harga sejumlah output dan faktor-faktor produksi lainnya selain tenaga kerja (Todaro, 2000).
Sumber : Nicholson (1998) Gambar 7. Keseimbangan di Pasar Tenaga Kerja
Pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa keseimbangan di pasar tenaga kerja tercapai pada saat jumlah tenaga kerja yang ditawarkan di pasar tenagakerja (SL) sama dengan yang diminta oleh perusahaan (DL), yaitu pada tingkat upah ekuilibrium (W0). Pada tingkat upah yang lebih tinggi (W2) penawaran tenaga kerja melebihi permintaan tenaga kerja, sehingga persaingan dalam rangka memperebutkan pekerjaan akan mendorong turunnya tingkat upah mendekati atau tepat ke titik W0. Sebaliknya, pada tingkat upah yang lebih rendah (W1) jumlah tenaga kerja yang diminta oleh para produsen melebihi jumlah penawaran yang ada, sehingga terjadi persaingan di antara perusahaan dalam memperebutkan tenaga kerja sehingga akan mendorong kenaikan tingkat upah mendekati atau tepat ke titik W0. Pada titik W0 jumlah kesempatan kerja adalah L0, pada titik L0 ini terjadi penyerapan tenaga kerja secara penuh (full employment), artinya pada tingkat upah ekuilibrium semua orang yang menginginkan pekerjaan akan memperoleh pekerjaan sehingga tidak akan terdapat pengangguran, kecuali pengangguran secara sukarela.
29
Perusahaan akan beroperasi lebih efisien jika upah berada diatas titik ekuilibrium,
jadi
akan
lebih
menguntungkan
perusahaan
untuk
tetap
mempertahankan upah tetap tinggi meskipun penawaran tenaga kerja berlebih. Menurut teori upah efisiensi yang dikembangkan oleh Cafferty, 1990 dalam Mankiw, 2003, apabila pekerja mendapatkan upah yang tinggi maka dia dapat memenuhi kebutuhan fisik minimum hidupnya, sehingga dengan demikian apabila kebutuhan fisiknya sudah terpenuhi maka pekerja akan berangkat ketempat pekerjaannya dengan tenang dan akan memberikan konsentrasi penuh serta mencurahkan pemikiran dan tenaganya secara maksimal selama dia berada di tempat pekerjaannya. Dampak secara ekonomi bagi perusahaan adalah produktivitas tenaga kerja akan meningkat yang pada akhirnya akan memacu tingkat pertumbuhan ekonomi. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan menyerap lebih banyak tenaga kerja sehingga pengangguran akan menurun.
Gambar 8. Pergeseran Penyerapan Tenaga Kerja Berapa banyaknya tenaga kerja yang akan dipakai oleh pengusaha sangat ditentukan oleh upah tenaga kerja serta harga dari outputnya. Nilai tambahan output sebagai akibat tambahan satu unit tenaga kerja disebut dengan nilai produk marginal, yaitu produk marginal dikalikan dengan harga out put dengan anggapan pengusaha menghadapi pasar persaingan sempurna. Pengusaha akan menambah tenaga kerja selama nilai produk marginal masih lebih tinggi dari upah tenaga kerja yang dibayarkan, penambahan tenaga kerja akan berhenti jika nilai produk marginal sama dengan upah Elfindri dan Bachtiar (2004). Dalam bentuk persamaan dapat diuraikan sebagai berikut :
30
MPL x P = W ………………………………………………………………... (8) Dimana
:
MPL = Produk Marginal Tenaga Kerja P
= Harga Output
W
= Upah Tenaga Kerja
2.9. Pemodelan Ekonometrika Main Hypotheses (H)
Auxiliary Hypotheses (Ai)
Deduction Data on Salient Variables
Prediction
Modify the treatment of the auxiliary hypotheses
Modify the treatment of the auxiliary hypotheses
Testable form of the theory Y = XB + error
Residuals Consistent White White Noise Errors
Residuals not Consistent with White Noise Errors
Test Main Hypotheses
Main Hypotheses Rejected
Main Hypotheses Not Rejected
31
Cannot Test this Particular Specification of The Main Hypotheses
Sumber: Juanda (2007) Gambar 9. Tahapan Model Empiris untuk Memperoleh Model yang Terspesifikasi dengan Benar Model ekonometrika terdiri dari dua golongan variabel, yaitu variabel terikat (dependent variables) dan variabel bebas (independent variables). Jumlah variabel bebas bisa lebih dari satu variabel. Untuk model dengan satu variabel bebas disebut dengan regresi tunggal (single regression), sedangkan untuk model yang mempunyai lebih dari satu variabel bebas disebut regresi berganda (multiple regression). Model ekonometrika merupakan gambaran hubungan antara variabel penjelas (explanatory variables) dengan peubah endogen (dependent variables). Metode ekonometrika merupakan serangkaian tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk melakukan analisis terhadap kejadian-kejadian ekonomi. Menurut Juanda (2007), dalam realitas kita tidak pernah tahu bahwa spesifikasi model yang disusun pasti benar, maka perlu dilakukan respesifikasi model berdasarkan pertimbangan-pertimbangan statistik (misalnya berdasarkan pola error) sehingga diperoleh model terbaik. Tahapan model empiris dalam memperoleh spesifikasi model yang benar dapat dilihat pada Gambar 9.
2.9.1. Sistem Persamaan Simultan Sistem persamaan simultan adalah suatu sistem persamaan yang terdiri dari dua atau lebih persamaan, yang menggambarkan hubungan ketergantungan secara bersama antar peubah-peubah. Dalam perekonomian, sistem persamaan simultan sering dijadikan acuan untuk membangun model ekonometrika karena sifatnya yang fleksibel dan dibangun dalam kerangka teoritik. Artinya hubunganhubungan yang dibangun dilandasi oleh suatu pemahaman yang komprehensif mengenai permasalahan perekonomian yang sedang dihadapi. Model persamaan simultan berbeda dengan model regresi linear yang hanya terdiri dari satu persamaan saja dengan hanya satu variabel tak bebas, misalnya Y dihubungkan dengan satu variabel bebas X atau lebih (X1 X2, … Xk),
32
variabel-variabel bebas ini diasumsikan tidak berkorelasi dengan galat. Dengan model persamaan simultan, bisa diperhitungkan pengaruh variabel-variabel yang saling mempengaruhi, sedangkan dengan model satu persamaan biasa kita hanya dapat membuat analisis yang memperhitungkan pengaruh satu arah saja, misalnya pengaruh X terhadap Y, padahal dalam kenyataannya Y juga dapat mempengaruhi X. Dalam sistem persamaan simultan, variabel dibedakan menjadi endogen dan eksogen. Variabel endogen adalah variabel tak bebas yang nilainya ditentukan di dalam sistem persamaan, walaupun variabel-variabel tersebut mungkin juga muncul sebagai variabel bebas didalam sistem persamaan. Variabel eksogen ialah variabel yang nilainya ditentukan di luar model. Dalam model persamaan simultan, variabel tak bebas yang sudah muncul dalam suatu persamaan bisa muncul lagi dalam persamaan lainnya sebagai variabel bebas. Variabel yang mempunyai dua fungsi, baik sebagai variabel tak bebas maupun variabel bebas, pada saat berfungsi sebagai variabel bebas dalam suatu persamaan akan berkorelasi dengan galat term, sehingga penggunaan metode kuadrat terkecil (Ordinary Least Square = OLS) tidak akan menghasilkan penaksir yang konsisten, artinya meskipun sampelnya diperbesar sampai tak terhingga nilai penaksir tidak akan sama dengan parameternya.
2.9.2. Identifikasi Sistem Persamaan Simultan Identifikasi (identification) adalah suatu keadaan tentang ada atau tidak adanya kemungkinan untuk memperoleh parameter struktural (koefisien-koefisien dari persamaan asli), suatu sistem persamaan simultan dari parameter bentuk sederhana (reduced form). a.
Identifikasi tepat (exactly identification). Suatu persamaan dalam suatu model disebut "just or exactly identified" apabila banyaknya variabel eksogen yang tidak tercakup dalam persamaan sama dengan banyaknya variabel endogen dalam persamaan dikurangi satu (-1). Bagi suatu persamaan yang exactly identified, nilai yang unik (unique value), bagi parameter struktural dapat dihitung dari parameter bentuk sederhana (nilai unik berarti nilai satusatunya, tidak ada yang lain). 33
b.
Identifikasi lebih (over identified). Suatu persamaan dalam suatu model disebut "overidentified" kalau banyaknya variabel
eksogen
yang tidak
tercakup di dalam persamaan melebihi banyaknya variabel endogen dalam persamaan dikurangi satu. Di dalam hal suatu model over identified, akan ada lebih dari satu nilai (tidak unik), bagi parameter struktural dapat dihitung dari parameter bentuk sederhana. c.
Identifikasi kurang (underidentified). Suatu persamaan dalam suatu model disebut "underidentified" atau "unidentified" kalau banyaknya variabel eksogen yang tidak tercakup di dalam persamaan lebih kecil daripada banyaknya variabel endogen dalam persamaan dikurangi satu. Di dalam model seperti ini tidak satu pun dari parameter struktural yang dapat dihitung dari parameter bentuk sederhana.
2.9.3. Metode Estimasi Sistem Persamaan Simultan 2.9.3.1.
Metode Rekursif dan Metode OLS
Karena adanya saling ketergantungan (interdependence) antara kesalahan pengganggu dengan "endogeneous explanatory variables", metode kuadrat terkecil yang biasa (OLS) tidak tepat untuk dipergunakan di dalam pembuatan perkiraan suatu persamaan dari suatu sistem persamaan simultan yang merupakan suatu model. Apabila OLS dipergunakan secara keliru (erroneously), maka akibatnya hasil perkiraan selain bias (dalam sampel yang kecil), juga tidak konsisten (inconsistent), maksudnya bias tersebut tetap ada, tidak akan hilang betapapun besarnya sampel. Akan tetapi, ada suatu situasi di mana penggunaan OLS bisa tepat, walaupun dalam hubungannya dengan persamaan yang simultan, yaitu dalam hal: "recursive, triangular, atau causal models".
2.9.3.2. Metode Indirect Least Square (ILS) Untuk "a just exactly identified structural equation" metode untuk memperoleh perkiraan tentang koefisien struktural berdasarkan perkiraan OLS
34
dari koefisien bentuk sederhana, dikenal dengan nama metode kuadrat terkecil tak langsung atau Indirect Least Squares (ILS) dan perkiraan yang diperoleh disebut perkiraan ILS. Metode ILS mengikuti tiga langkah berikut. 1. Kita buat persamaan bentuk sederhana (reduced form) terlebih dahulu. Seperti telah diuraikan sebelumnya, persamaan-persamaan bentuk sederhana ini setelah dibuat, bentuknya sangat unik, yaitu bahwa variabel tak bebas pada setiap persamaan hanya merupakan variabel endogen (Y), sebagai fungsi dari predetermined variables, baik yang eksogen (X) maupun yang endogen beda kala (Yt-1,Yt-2 , dan seterusnya), dan kesalahan pengganggu. 2. Kita pergunakan metode OLS untuk setiap persamaan secara individual. Hal ini diperbolehkan, sebab explanatory variable di dalam persamaan-persamaan bentuk sederhana ini sudah ditentukan nilainya (predetermined) dan tidak berkorelasi dengan kesalahan pengganggu. Perkiraan yang dihasilkan konsisten. 3. Kita peroleh perkiraan koefisien bentuk sederhana yang merupakan hasil dari butir (2). Kalau suatu persamaan just identified, ada persesuaian satu lawan satu (one to one correspondence) antara perkiraan bentuk sederhana dengan perkiraan struktural, maksudnya satu perkiraan koefisien bentuk sederhana menghasilkan satu perkiraan koefisien struktural. Metode ILS memiliki kelemahan, di antaranya: 1.
Tidak memberikan standar error bagi parameter struktural yang dihitung berdasarkan parameter dari bentuk sederhana.
2.
Tidak dapat menghitung perkiraan parameter struktural yang unik dan konsisten bagi suatu persamaan over identified dalam suatu model atau sistem persamaan.
2.9.3.3.
Metode Two-Stage Least Square (2SLS)
Menurut Juanda (2009), metode Kuadrat Terkecil Dua-Tahap (2SLS) merupakan suatu prosedur untuk menduga parameter model struktural yang overidentified. Metode ini menggunakan informasi yang tersedia dari spesifikasi model sistem model simultan untuk memperoleh dugaan yang unik untuk masing-
35
masing parameter struktural. Tahapan-tahapan metode 2SLS adalah sebagai berikut : (1). Lakukan pendugaan koefisien bentuk tereduksi untuk semua peubah endogen dengan menggunakan metode OLS, (2). Menduga koefisien strukturalnya dengan menggunakan dugaan peubah endogen yang diperoleh pada langkah pertama. Pada metode 2SLS, peubah endogen diganti dengan nilai dugaannya sendiri dengan memperhitungkan seluruh peubah-peubah eksogen, sehingga metode ini mengasumsikan bahwa peubah-peubah eksogen dalam model telah diketahui secara lengkap. Metode 2SLS dapat juga diterapkan pada kasus exactly identified. Metode 2SLS, penerapannya melalui penggunaan OLS secara dua tahap. Tahap pertama, setiap variabel endogen diregresikan terhadap semua "predetermined variables" dari suatu sistem sehingga kita peroleh persamaan bentuk sederhana (reduced form). Tahap kedua, nilai perkiraan (ramalan), misalnya Y1, dari variabel endogen dan bukan nilai hasil pencatatan, katakan Y, dipergunakan untuk memperkirakan persamaan struktural dari model. Nilai perkiraan atau ramalan dari variabel endogen diperoleh dengan memasukkan nilai observasi dari variabel eksogen ke dalam persamaan bentuk sederhana. Nilai perkiraan dari variabel endogen tidak berkorelasi dengan kesalahan pengganggu, sehingga 2SLS menghasilkan perkiraan parameter struktural yang konsisten. Kebaikan 2SLS apabila dibandingkan dengan ILS adalah 2SLS dapat dipergunakan untuk memperoleh perkiraan yang konsisten, baik bagi persamaan yang just or exactly identified maupun yang over identified. Kebaikan dari 2SLS lainnya ialah bahwa 2SLS dapat memberikan standard error dari perkiraan parameter struktural secara langsung, sedangkan ILS tidak dapat. Oleh karena pada umumnya persamaan yang identified kenyataannya over identified, maka 2SLS lebih berguna dibanding dengan ILS. Selain itu, 2SLS sangat sederhana dan sering dipergunakan dalam praktik untuk memecahkan suatu model atau sistem persamaan simultan.
2.9.4. Uji Kriteria Statistik (uji F, uji t, dan R2)
36
Pengujian kriteria statistik diperlukan untuk melihat korelasi antar variabel di dalam model, yaitu dengan menggunakan uji F, uji t dan R2.
2.9.4.1. Uji F Uji F dilakukan terhadap model penduga untuk melihat pengaruh variabel bebas (eksogen) terhadap variabel tak bebas (endogen) secara keseluruhan dengan menggunakan pengujian F-hitung. Selain itu, uji F juga dilakukan untuk mengetahui apakah model penduga yang diajukan sudah layak untuk menduga parameter yang ada dalam fungsi. Hipotesis yang digunakan dalam uji F adalah sebagai berikut : H0 : β0 = β1 = β2 = … = βi = 0, artinya tidak ada satu pun variabel-variabel bebas dalam model yang berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas H1 : minimal salah satu βi ≠ 0, artinya paling sedikit ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas i = 1. 2. 3. …, n
β = dugaan parameter
Statistik uji F: F − hitung =
R2 / k −1 ………………...…..…………………………… (9) (1 − R 2 ) / n − k
R2 = koefisien determinasi, n = banyaknya pengamatan, k = jumlah koefisien regresi dugaan. Hasil dari F-hitung lalu dibandingkan dengan F-tabel. Kriteria uji F: F-hitung > F α(k-1, n-k), maka tolak H0, F-hitung < F α(k-1, n-k), maka terima H0. artinya minimal ada satu variabel bebas dalam model yang berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas. Sedangkan jika F-hitung < F-tabel maka terima H0, artinya tidak ada satu pun variabel yang berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas.
37
2.9.4.2. Uji t Uji t dilakukan pada masing-masing parameter untuk melihat tingkat signifikansi variabel bebas, apakah masing-masing variabel bebas berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel tak bebas. Perbandingan antara nilai t-statistik dengan nilai t-tabel dapat menunjukan daerah atau wilayah penolakan. Uji ini dapat digunakan untuk melihat keabsahan dari hipotesis dan membuktikan bahwa koefisien regresi dalam model secara statistik signifikan atau tidak. Hipotesis : H0 : βi = 0 H1 : βi ≠ 0 dimana i = 1, 2, 3, …., n
β = dugaan parameter Statistik uji t :
t − hitung =
b−β …………………………………………………………. (10) Sb
b = Koefisien regresi parsial sampel,
β = Koefisien regresi parsial populasi, Sb = Simpangan baku koefisien dugaan. Hasil t-hitung dibandingkan dengan t-tabel. Kriteria uji t: t-hitung > t α/2(n-k) , maka tolak H0, t-hitung < t α/2(n-k) , maka terima H0. Jika t-hitung > t-tabel maka tolak H0, artinya variabel bebas yang digunakan berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas pada taraf nyata α. Sedangkan jika t-hitung < t-tabel maka terima H0, artinya varibel bebas yang digunakan tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas pada taraf nyata α.
2.9.4.3. Uji Koefisien Determinasi (R2) dan Adjusted R2 Koefisien determinasi (R2) dan Adjusted R2 digunakan untuk mengetahui sejauhmana variabel bebas mampu menerangkan keragaman variabel tak
38
bebasnya di dalam model dan untuk melihat seberapa kuat variabel yang dimasukkan ke dalam model dapat menerangkan model tersebut. Menurut Gujarati (2003) terdapat dua sifat R2, yaitu : (a). R2 merupakan besaran non-negatif dan (b). Batasan R2 adalah 0 ≤ R2 ≤ 1. Jika R2 bernilai 1 berarti ada kecocokan sempurna antara variabel bebas dengan variabel terikat, sedangkan jika R2 bernilai 0 berarti tidak ada hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikatnya. Nilai koefisien determinasi dapat dihitung sebagai berikut:
R2 =
ESS …………………………………………………………………... (11) TSS
ESS = jumlah kuadrat yang dijelaskan (explained sum square), TSS = jumlah kuadrat total (total sum square).
2.9.4.4. Uji Kriteria Ekonometrika Dalam menggunakan metode regresi terdapat beberapa permasalahan yang harus diidentifikasi, yaitu masalah autokorelasi, heteroskedastisitas dan multikolinieritas. Untuk memastikan bahwa model yang dibangun terbebas dari permasalahan tersebut, perlu dilakukan pengujian sebagai berikut:
2.9.4.4.1. Uji Autokorelasi
Autokorelasi merupakan korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu (seperi dalam data deret waktu) atau ruang (seperti dalam data cross-sectional). Autokorelasi akan menyebabkan parameter koefisien regresi bias, tidak konsisten, mempuanyai standar eror yang lebih kecil dari nilai yang sebenarnya sehingga nilai statistik uji-t tinggi (over estimate) dan penduga OLS menjadi tidak efisien lagi. Untuk mendeteksi adanya autokorelasi pada data time series dapat menggunakan uji Durbin-Watson. Hipotesis yang digunakan dalam uji Durbin-Watson adalah sebagai berikut : H0 : tidak terdapat autokorelasi H1 : terdapat autokorelasi
39
Statistik Durbin-Watson (DW):
∑ (e DW =
t
− et −1 ) 2 et2
≈ 2(1 − ρˆ ) …………………………………………….. (12)
Kriteria Uji: (1). 4-dL < DW < 4, tolak H0; artinya ada autokorelasi negatif, (2). 4-du < DW < 4-dL, artinya tidak terdeteksi autokorelasi, (3). du < DW < 4-du, terima H0; artinya tidak terdapat autokorelasi, (4). du < DW < dL artinya tidak terdeteksi autokorelasi, (5). 0 < DW < dL tolak Ho; artinya ada autokorelasi positif.
2.9.4.4.2. Uji Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas merupakan suatu penyimpangan asumsi dalam bentuk varians gangguan estimasi yang dihasilkan oleh estimasi tidak bernilai sama (konstan). Heteroskedastisitas akan menyebabkan varians tidak minimum sehingga
penduga
menjadi
tidak
efisien.
Untuk
memeriksa
adanya
heteroskedastisitas dapat ditunjukkan dengan White-Heteroscedasticity Test. Hipotesis : H0 : γ = 0 (homoskedastisitas), H1 : γ ≠ 0 (heteroskedastisitas). Kriteria: a. Apabila nilai peluang R2 > taraf nyata yang digunakan maka hipotesis H0 diterima yang berarti tidak terdapat gejala heteroskedastisitas pada model, b. Apabila nilai peluang R2 < taraf nyata yang digunakan maka hipotesis H0 ditolak yang berarti terdapat gejala heteroskedastisitas pada model. Solusi dari masalah heteroskedastisitas adalah mencari transformasi model asal sehingga model yang baru akan memiliki error-term dengan varians yang konstan.
2.9.4.4.3. Uji Multikolinieritas Multikolinieritas adalah adanya hubungan linear yang sempurna atau pasti diantara beberapa atau semua variabel penjelas di dalam model regresi.
40
Konsekuensi dari terjadinya multikolinieritas adalah koefisien regresi menjadi tidak dapat ditaksir dan nilai standard error setiap koefisien regresi menjadi tidak terhingga. Gujarati (1993) mengemukakan tanda-tanda adanya multikolinieritas adalah : a. Tanda tidak sesuai dengan yang diharapkan, b. R2 tinggi tetapi uji individu tidak banyak bahkan tidak ada yang nyata, c. Korelasi sederhana antara variabel individu tinggi (rij tinggi), d. R2 < rij menunjukkan adanya masalah multikolinieritas. Masalah multikolinieritas dapat diatasi dengan cara: a. Menggunakan informasi sebelumnya, b. Mengkombinasikan data cross-sectional dan data deret waktu, c. Meninggalkan variabel yang sangat berkorelasi, d. Mentransformasikan data, e. Menambahkan data baru.
2.10. Pemekaran Wilayah
Salah satu aspek yang sangat penting dari pelaksanaan otonomi daerah adalah terkait dengan pemekaran dan penggabungan wilayah yang bertujuan untuk memperkuat hubungan antara pemerintah daerah dan masyarakat lokal dalam rangka pertumbuhan kehidupan demokrasi. Upaya pemekaran wilayah dipandang sebagai sebuah terobosan untuk mempercepat pembangunan melalui peningkatan kualitas dan kemudahan memperoleh pelayanan bagi masyarakat. Pemekaran wilayah juga merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan kemampuan
pemerintah
daerah
dalam
memperpendek
rentang
kendali
pemerintah sehingga meningkatkan efektifitas penyelenggaraan pemerintah dan pengelolaan pembangunan. Prosedur pemekaran wilayah mengacu pada pasal 16 PP 129/2000, yang mencakup beberapa tahapan kegiatan sebagai berikut: a. Ada kemauan politik dari pemerintah daerah dan masyarakat yang bersangkutan b. Pembentukan daerah harus didukung oleh penelitian awal yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah
41
c. Usul pembentukan kabupaten/kota disampaikan kepada Pemerintah cq. Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah melalui Gubernur dengan dilampirkan hasil penelitian daerah dan persetujuan DPRD Kabupaten/Kota serta persetujuan provinsi, yang dituangkan dalam keputusan DPRD d. Dengan memperhatikan usulan Gubernur, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah memproses lebih lanjut dan dapat menugaskan Tim untuk melakukan observasi ke daerah yang hasilnya menjadi bahan rekomendasi kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah e. Berdasarkan rekomendasi pada huruf d, Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah meminta tanggapan para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dan dapat menugaskan Tim Teknis Sekretariat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah ke Daerah untuk melakukan penelitian lebih lanjut f. Para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah memberikan saran dan pendapat secara tertulis kepada Ketua Dewan Pertimbangan otonomi Daerah, usul pembentukan suatu daerah diputuskan dalam rapat anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah g. Apabila berdasarkan hasil keputusan rapat anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah menyetujui usul pembentukan Daerah, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah selaku Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah mengajukan usul pembentukan Daerah tersebut beserta rancangan Undangundang Pembentukan Daerah kepada Presiden. h. Apabila Presiden menyetujui usul dimaksud, Rancangan Undang-undang pembentukkan Daerah disampaikan kepada DPR-RI untuk mendapat persetujuan. Pemekaran daerah menyebabkan daerah berkompetisi dalam menyediakan pelayanan terhadap masyarakat. Masyarakat cenderung untuk pindah ke tempat yang menawarkan layanan terbaik sesuai dengan preferensi mereka. Studi empiris
Tiebout membandingkan beban pajak daerah dengan barang publik lokal dan layanan yang tersedia di setiap yurisdiksi lokal. Tiebout mewakili pemilihkonsumen sebagai individu yang memilih yurisdiksi yang lebih baik memenuhi preferensinya untuk barang publik lokal dan jasa. Pemilih-konsumen menunjukkan preferensinya untuk barang publik lokal dan jasa dengan bergerak dari satu
42
yurisdiksi ke yurisdiksi yang lain. Dia membandingkan beban pajak daerah dengan barang publik lokal dan layanan yang tersedia di setiap yurisdiksi lokal6. Beberapa penulis berpendapat bahwa beberapa orang memiliki informasi lengkap tentang kondisi fiskal dan barang publik yang ditawarkan oleh pemerintah daerah (Dowding et al, 1994). Argumen-kontra adalah beberapa orang mampu mengidentifikasi yurisdiksi lokal yang menawarkan barang publik dan jasa yang mereka sukai dan akibatnya mereka memilih tempat yang sesuai dengan preferensinya sebagai lokasi pemukiman (Teske et al, 1993).
6
Charles M. Tiebout: Sebuah Teori Murni Pengeluaran Daerah, 1956
43
Namun di lain pihak, sejak otonomi daerah diberlakukan, proses pemekaran wilayah terjadi sangat pesat dan cenderung tidak terkendali (Effendy, 2007). Menurut Mendagri (2007), pemekaran daerah belum memberikan dampak signifikan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pemekaran daerah sarat dengan muatan politik dan cenderung menambah beban biaya rutin yang harus ditanggung Negara.
2.11. Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian nasional maupun daerah telah banyak dilakukan, baik di Indonesia maupun di negara lain. Penelitian desentralisasi di Indonesia antara lain dilakukan oleh Azis (1994), Antara (1999), Sartiyah (2001), Isdijoso (2001), Yuliyati (2001), Sinaga dan Siregar (2003), Sumedi (2005), Saefudin (2005), Pardede (2005), Pakasi (2005), Panjaitan (2006), dan Astuti (2007). Penelitian Antara (1999) menemukan bahwa
peningkatan pengeluaran
pemerintah secara bersamaan dengan pengeluaran wisatawan mendorong peningkatan kinerja perekonomian, yang digambarkan dengan PDRB Provinsi Bali. Hasil simulasi dalam penelitian Sartiyah (2001) menunjukkan daerah yang memiliki potensi dan sumber daya kecil mempunyai ketergantungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang potensi sumber dayanya tinggi. Kesimpulan dalam studi Isdijoso (2001) antara lain menyebutkan bahwa respon daerah berbeda antara daerah kota dan kabupaten dalam hal PAD, yaitu pemerintah kota lebih mengutamakan strategi intensifikasi pajak sedangkan pemerintah kabupaten lebih menekankan ekstensifikasi pajak. Hasil penelitian Sumedi (2005) menunjukkan dampak desentralisasi fiskal pada tingkat provinsi, disparitas ekonomi semakin kecil, sedangkan pada tingkat kabupaten/kota Penelitian
menunjukkan
Sinaga
dan
distribusi
Siregar
(2003)
pendapatan
semakin
memburuk.
menemukan bahwa
pelaksanaan
desentralisasi fiskal berpengaruh terhadap sisi penerimaan dan pengeluaran fiskal daerah. Pada sisi penerimaan terjadi peningkatan yang tinggi pada dana
44
perimbangan dan PAD, dimana peranan dana perimbangan semakin tinggi sedangkan peranan PAD semakin menurun. Pakasi (2005) antara lain menemukan DAU berdampak positif terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah di masing-masing kabupaten/kota, meningkatnya
kebutuhan
fiskal
akan
meningkatkan
upaya
pemerintah
kabupaten/kota di Sulawesi Utara untuk meningkatkan pengeluaran rutin dan pengeluaran sektoral yang selanjutnya berpengaruh terhadap produksi sektoral dan realokasi dari pengeluaran rutin ke pengeluaran pembangunan sektoral khususnya sektor publik diramalkan dalam jangka pendek akan meningkatkan kinerja fiskal dan perekonomian daerah. Hasil penelitian Pardede (2005) menunjukkan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal meningkatkan kinerja perekonomian daerah, namun disisi lain desentralisasi fiskal menimbulkan disparitas output per kapita dan pendapatan per kapita yang semakin besar dan realokasi pengeluaran dari sektor non pertanian ke sektor pertanian di Tapanuli Utara berdampak positif terhadap peningkatan output, pendapatan, dan kesempatan kerja. Penelitian Astuti di Provinsi Bengkulu (2007) menyimpulkan kebutuhan fiskal setelah desentralisasi meningkat hampir 100 persen, kapasitas fiskal meningkat 100 - 150 persen, dan kesenjangan fiskal semakin besar (81 - 137 persen), sedangkan kemampuan fiskal daerah yang diindikasikan dengan rasio kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal masih dibawah 10 persen. Selain itu ditemukan bahwa faktor-faktor yang secara nyata mempengaruhi komponen penerimaan daerah adalah aktifitas ekonomi yang tercermin dari besarnya PDRB sektoral, kesenjangan fiskal, jumlah penduduk, luas daerah, dan jumlah kendaraan bermotor. Pengeluaran daerah responsif terhadap perubahan penerimaan daerah yang sifatnya jangka pendek maupun jangka panjang. Semakin besar penerimaan daerah maka pengeluaran daerah untuk rutin maupun pembangunan akan semakin besar.
45