6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pupuk Organik Menurut Permentan No.2/Pert/Hk.060/2/2006, tentang pupuk organik dan pembenah tanah, dikemukakan bahwa pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan mensuplai bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Definisi tersebut menunjukkan bahwa pupuk organik lebih ditujukan kepada kandungan C-organik atau bahan organik daripada kadar haranya, nilai C-organik itulah yang menjadi pembeda dengan pupuk anorganik (Simanungkalit dkk., 2006). Pupuk organik dapat dibuat dari berbagai jenis bahan, antara lain sisa panen (jerami, brangkasan, tongkol jagung, bagas tebu, sabut kelapa), serbuk gergaji, kotoran hewan,limbah media jamur, limbah pasar, limbah rumah tangga dan limbah pabrik, serta pupuk hijau. Karena bahan dasar pembuatan pupuk organik bervariasi, kualitas pupuk yang dihasilkan juga beragam sesuai dengan kualitas bahan asalnya. Pemakaian pupuk organik terus meningkat dari tahun ke tahun sehingga perlu ada regulasi atau peraturan mengenai persyaratan yang harus dipenuhi oleh pupuk organik agar memberikan manfaat maksimal bagi pertumbuhan
tanaman
dan
tetap
menjaga
kelestarian
lingkungan
(http://www.pustaka-deptan.go.id, 2010). Pupuk organik mempunyai keunggulan dan kelemahan. Beberapa keunggulan dari pupuk oganik adalah antara lain : meningkatkan kandungan
7
bahan organik di dalam tanah, memperbaiki struktur tanah, meningkatkan kemampuan tanah menyimpan air (Water holding capacity), meningkatkan aktivitas kehidupan biologi tanah, meningkatkan kapasitas tukar kation tanah, mengurangi fiksasi fosfat oleh Al dan Fe pada tanah masam, dan meningkatkan ketersediaan hara di dalam tanah. Kelemahan dari pupuk organik antar lain : kandungan haranya rendah, relatif sulit memperolehnya dalam jumlah yang banyak, tidak dapat diaplikasikan secara langsung ke dalam tanah, tetapi harus melalui suatu proses dekomposisi, pengangkutan dan aplikasinya mahal karena jumlahnya banyak. Pupuk organik terdiri dari : pupuk kandang, pupuk hijau, kompos, tepung tulang dan tepung darah (Hasibuan, 2006). Pupuk kandang didefinisikan sebagai semua produk buangan dari binatang peliharaan yang dapat digunakan untuk menambah hara, memperbaiki sifat fisik, dan biologi tanah. Apabila dalam memelihara ternak tersebut diberi alas seperti sekam pada ayam, jerami pada sapi, kerbau dan kuda, maka alas tersebut akan dicampur menjadi satu kesatuan dan disebut sebagai pupuk kandang. Beberapa petani di beberapa daerah memisahkan antara pupuk kandang padat dan cair (Hartatik dan Widowati, 2010). Jenis pupuk kandang berdasarkan jenis ternak atau hewan yang menghasilkan kotoran antara lain adalah : pupuk kandang sapi, pupuk kandang kuda, pupuk kandang kambing atau domba, pupuk kandang babi, dan pupuk kandang unggas (Hasibuan, 2006). Ada beberapa jenis pupuk kandang, pupuk kandang sapi yang mempunyai kadar serat yang tinggi seperti selulosa, pupuk kandang sapi dapat memberikan beberapa manfaat yaitu menyediakan unsur hara makro dan mikro bagi tanaman, menggemburkan tanah, memperbaiki tekstur dan
8
struktur tanah, meningkatkan porositas, aerasi dan komposisi mikroorganisme tanah, memudahkan pertumbuhan akar tanaman, daya serap air yang lebih lama pada tanah. Tingginya kadar C dalam pupuk kandang sapi menghambat penggunaan langsung ke lahan pertanian karena akan menekan pertumbuhan tanaman utama. Penekanan pertumbuhan terjadi karena mikroba dekomposer akan menggunakan N yang tersedia untuk mendekomposisi bahan organik tersebut sehingga tanaman utama akan kekurangan N. Untuk memaksimalkan penggunaan pupuk kandang sapi harus dilakukan pengomposan dengan rasio C/N di bawah 20. Adapun komposisi unsur hara yang terkandung dalam pupuk organik yang berasal dari kompos ternak sapi yaitu : N (0,7 – 1,3 %), P2O5 (1,5 – 2,0 %), K2O (0,5 – 0,8 %), C organik (10,0 – 11,0 %), MgO (0,5 – 0,7 %), dan C/N ratio (14,0 – 18,0 %) (Hartatik dan Widowati, 2010). Syarat dan tata cara pendaftaran pupuk organik telah dituangkan dalam SK Mentan No. 2, tahun 2006. Berdasarkan persyaratan pendaftaran pupuk organik, dan pembenah tanah selain diperlukan pengujian mutu pupuk, juga diperlukan uji keefektifan yang dapat dilakukan di laboratorium, atau rumah kaca, dan atau di lapangan, walaupun peranan pupuk organik atau pembenah tanah terhadap produktivitas tanah dan tanaman tidak bisa terlihat dalam waktu yang pendek (satu semusim) tetapi memerlukan waktu jangka panjang (2–3 musim tanam).
2.2 Kompos Kompos merupakan bahan organik yang telah mengalami degradasi / penguraian / pengomposan sehingga berubah bentuk dan sudah tidak dikenali lagi
9
bentuk aslinya, berwarna kehitam-hitaman, dan tidak berbau. Menurut Indriani (2011), kompos merupakan hasil fermentasi atau dekomposisi dari bahan-bahan organik seperti tanaman, hewan atau limbah organik lainnya. Kompos yang digunakan sebagai pupuk disebut pula pupuk organik karena penyusunannya terdiri dari bahan-bahan organik. Sedangkan proses pengomposan adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses ini meliputi membuat campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup, mengaturan aerasi, dan penambahan aktivator pengomposan. Secara alami bahan-bahan organik akan mengalami penguraian di alam dengan bantuan mikroba maupun biota tanah lainnya. Namun proses pengomposan yang terjadi secara alami berlangsung lama dan lambat. Untuk mempercepat proses pengomposan ini telah banyak dikembangkan teknologi-teknologi pengomposan. Baik pengomposan dengan teknologi sederhana, sedang, maupun teknologi tinggi. Pada prinsipnya pengembangan teknologi pengomposan didasarkan pada proses penguraian bahan organik yang terjadi secara alami. Proses penguraian dioptimalkan sedemikian rupa sehingga pengomposan dapat berjalan dengan lebih cepat dan efisien. Teknologi pengomposan saat ini menjadi sangat penting artinya terutama untuk mengatasi permasalahan limbah organik, seperti untuk mengatasi masalah sampah di kota-kota besar, limbah organik industri, serta limbah pertanian dan perkebunan. (Murbandono, 2009).
10
2.3 Prinsip Pengomposan Prinsip dasar dari pengomposan adalah mencampur bahan organik kering yang kaya karbohidrat dengan bahan organik basah yang banyak mengandung N. Pencampuran kotoran ternak dan karbon kering, seperti serbuk gergaji atau jerami, ternyata dapat menghasilkan kompos yang berguna untuk memperbaiki struktur tanah. Bahan organik tidak dapat digunakan secara langsung oleh tanaman karena perbandingan kandungan C/N dalam bahan tersebut tidak sesuai dengan C/N tanah. Rasio C/N merupakan perbandingan antara karbohidrat (C) dan nitrogen (N). Rasio C/N tanah berkisar antara 10-20. Apabila bahan organik mempunyai rasio C/N mendekati atau sama dengan rasio C/N tanah, maka bahan tersebut dapat digunakan tanaman. Prinsip pengomposan adalah untuk menurunkan rasio C/N bahan organik hingga sama dengan C/N tanah (<20). Semakin tinggi rasio C/N bahan organik maka proses pengomposan atau perombakan bahan semakin lama. Waktu yang dibutuhkan bervariasi dari satu bulan hingga beberapa tahun tergantung bahan dasar. Proses perombakan bahan organik terjadi secara biofisiko-kimia, melibatkan aktivitas biologi mikroba dan mesofauna. Secara alami proses peruraian tersebut bisa dalam keadaan aerob dengan O2 maupun anaerob tanpa O2 (Sugihharto, 2011). Dalam pengomposan aerobik akan dihasilkan CO2, air dan panas. Sementara itu dalam pengomposan anaerobik akan dihasilkan metana (alkohol), CO2, dan senyawa antara seperti asam organik. Dalam proses pengomposan anaerobik, sering menimbulkan bau yang tajam (Indriani, 2011).
11
Proses pengomposan dapat berlangsung beberapa hari hingga beberapa minggu. Suhu akan meningkat sejalan dengan proses penguraian bahan organik itu. Ciri fisik yang dapat dilihat pada kompos yang telah matang, antara lain, terjadinya penurunan volume, warnanya menjadi coklat kehitaman, dan bahannya menjadi lunak/ hancur (Isroi dan Yuliarti, 2009). Sebaiknya sebelum pengomposan dilakukan, terlebih dahulu dirancang urutan kerja yang akan dilaksanakan. Setelah itu, baru diatur tata laksana bangunan dan kerjanya. Tata laksana pengomposan umumnya sering dikaitkan dengan masyarakat sekitar, terutama pada proses pengomposan skala besar. Pembalikan, pemberian air, dan aerasi merupakan bagian utama dari tata laksana proses pengomposan. Akan tetapi, bagian lain tidak dapat didiamkan begitu saja. Misalnya, penggunaan alat, pengadukan, dan pengeringan. Bagian ini sering disebut dengan tata laksana sekunder. Karena hampir sama penting, bagian sekunder dari proses pengomposan bisa menjadi sama pentingnya dengan bagian primer.
2.4 Manfaat Pupuk Kompos 1. Memperbaiki struktur tanah. Lahan pertanian atau media tanam pada pot yang sudah terlalu lama dipupuk dengan pupuk kimia, terutama urea (pupuk dengan kandungan N tinggi) akan menjadi keras, liat, dan asam. Pupuk kompos yang remah dan gembur akan memperbaiki pH dan strukturnya. 2. Memiliki kandungan unsur mikro dan makro yang lengkap. Walaupun kandungan unsur mikro atau makro akan terhambat pertumbuhannya, bahkan dapat menyebabkan tanaman tidak bisa menyerap unsur hara yang diperlukan.
12
3. Ramah lingkungan. Sesuai slogan “Go Organic 2010” pemakaian kompos dalam pertanian ataupun hobi bercocok tanam yang ramah lingkungan, dibandingkan dengan pemakaian pupuk kimia, akan menjaga kelestarian lingkungan. 4. Murah dan mudah didapat, bahkan dapat dibuat sendiri. 5. Mampu menyerap dan menampung air lebih lama dibandingkan dengan pupuk kimia. 6. Membantu meningkatkan jumlah mikroorganisme pada media tanam, sehingga dapat meningkatkan unsur hara tanaman. Kompos sangat baik digunakan sebagai pupuk pada tanah-tanah yang bertekstur keras untuk memperbaiki strukturnya. Biasanya penggunaan kompos diimbangi dengan pemberian pupuk kandang. Hal ini akan membantu meningkatkan kandungan unsur hara di dalam tanah (AgroMedia, 2007).
2.5 Bahan Baku Kompos Pada prinsipnya hampir semua limbah organik dapat dikomposkan. Limbah itu dapat berupa sisa panen, limbah industri pertanian, kotoran ternak, maupun serasah atau dedaunan. Sisa panen dapat berupa jerami, sisa-sisa tanaman, daun, sisa-sisa sayuran, dan lain sebagainya. Limbah industri pertanian antara lain onggok, ampas tahu, serbuk gergaji, dan lain-lain. Rumput-rumputan juga dapat dibuat kompos. Limbah organik yang sebaiknya tidak dikomposkan antara lain kayu keras, bambu, tulang, dan tanduk. Bahan-bahan tersebut
13
memerlukan waktu yang lama menjadi kompos, sehingga sebaiknya dikomposkan secara terpisah dari bahan-bahan yang lunak (Isroi dan Yuliarti, 2009). Salah satu hasil sampingan dari peternakan adalah kotoran ternak. kotoran ternak juga memiliki nilai ekonomis karena dapat dijadikan pupuk kandang. Namun, pupuk kandang perlu diuraikan terlebih dahulu agar unsur haranya siap untuk diserap oleh tanaman. Pupuk kandang yang masih mentah akan mengakibatkan tanaman mati, karena suhunya yang panas dapat membakar akar tanaman (AgroMedia, 2007) Semua bahan baku kompos sebaiknya dikumpulkan di dekat tempat pengomposan. Bahan yang harus segera dikomposkan adalah kotoran ternak. Jika dibiarkan selama beberapa hari, kotoran ini dapat menjadi padat, sehingga suasana menjadi anaerobik. Selain itu kotoran ternak berpeluang menimbulkan bau dan potensi kehilangan N akibat penguapan tinggi. Ada baiknya semua bahan baku kompos disortir terlebih dahulu sebelum digunakan dalam proses pengomposan (Djaja, 2008).
2.6 Faktor Yang Mempengaruhi Proses Pengomposan Setiap organisme pendegradasi bahan organik membutuhkan kondisi lingkungan dan bahan yang berbeda-beda. Apabila kondisinya sesuai, maka dekomposer tersebut akan bekerja giat untuk mendekomposisi limbah padat organik. Apabila kondisinya kurang sesuai atau tidak sesuai, maka organisme tersebut akan dorman, pindah ke tempat lain, atau bahkan mati. Menciptakan kondisi yang optimum untuk proses pengomposan sangat menentukan keberhasilan proses pengomposan itu sendiri.
14
Menurut Isroi dan Yuliarti (2009). Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengomposan antara lain adalah sebagai berikut: 1. Rasio C/N Rasio C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30:1 hingga 40:1. Mikroba memecah senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N untuk sintesis protein. Pada rasio C/N di antara 30 s/d 40 mikroba mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk sintesis protein. Apabila rasio C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk sintesis protein sehingga dekomposisi berjalan lambat. 2. Ukuran Partikel Aktivitas mikroba berada di antara permukaan area dan udara. Permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan dan proses dekomposisi akan berjalan lebih cepat. Ukuran partikel juga menentukan besarnya ruang antar bahan (porositas). Untuk meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel bahan tersebut. 3. Aerasi Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup oksigen (aerob). Aerasi secara alami akan terjadi pada saat terjadi peningkatan suhu yang menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam tumpukan kompos. Aerasi ditentukan oleh porositas dan kandungan air bahan (kelembapan). Apabila aerasi terhambat, maka akan terjadi proses anaerob yang akan menghasilkan bau yang tidak sedap. Aerasi dapat ditingkatkan dengan melakukan pembalikan atau mengalirkan udara di dalam tumpukan kompos.
15
4. Jumlah Mikroorganisme Dengan semakin banyaknya jumlah mikroorganisme maka proses pengomposan
diharapkan
akan
semakin
cepat.
Dari
sekian
banyak
mikroorganisme ada lima golongan yang pokok yaitu, bakteri fotosintesis, lactobasilius sp, aspergillus sp, ragi (yeast), dan actinomycetes. 5. Kelembaban (Moisture content) Kelembaban memegang peranan yang sangat penting dalam proses metabolisme mikroba dan secara tidak langsung berpengaruh pada suplay oksigen. Mikroorganisme dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik tersebut larut di dalam air. Kelembapan 40 - 60 % adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikroba. Apabila kelembapan di bawah 40%, aktivitas mikroba akan mengalami penurunan dan akan lebih rendah lagi pada kelembapan 15%. Apabila kelembapan lebih besar dari 60%, hara akan tercuci, volume udara berkurang, akibatnya aktivitas mikroba akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau tidak sedap. 6. Temperatur/suhu Panas dihasilkan dari aktivitas mikroba. Ada hubungan langsung antara peningkatan suhu dengan konsumsi oksigen. Semakin tinggi temperatur akan semakin banyak konsumsi oksigen dan akan semakin cepat pula proses dekomposisi. Peningkatan suhu dapat terjadi dengan cepat pada tumpukan kompos. Temperatur yang berkisar antara 30-60oC menunjukkan aktivitas pengomposan yang cepat. Suhu yang lebih tinggi dari 60oC akan membunuh sebagian mikroba dan hanya mikroba thermofilik saja yang akan tetap bertahan hidup.
16
7. Reaksi Pupuk (pH) Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang lebar. pH yang optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6,5 sampai 7,5. pH kotoran ternak umumnya berkisar antara 6,8 hingga 7,4. Proses pengomposan sendiri akan menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH bahan itu sendiri. Sebagai contoh, proses pelepasan asam, secara temporer atau lokal, akan menyebabkan penurunan pH (pengasaman), sedangkan produksi amonia dari senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen akan meningkatkan pH pada fase-fase awal pengomposan. Menurut Utomo (2010) tidak semua mikroorganisme dapat hidup dengan baik pada kondisi kemasaman yang tinggi. Mikroorganisme tanah memiliki batas-batas hidup yang berbeda sesuai dengan kondisi lingkungannya. 8. Kandungan Hara NPK Kompos yang sudah matang memiliki kandungan hara kurang lebih: 1,69% N, 0,34% P2O5, dan 2,81% K. dengan kata lain, seratus kilogram kompos setara dengan 1,69 kg urea, 0,34 kg SP-36, dan 2,81 kg KCl. Misalnya untuk memupuk tanaman padi kebutuhan unsur haranya 200 kg Urea/ha, 75 kg Sp36/ha, dan 37,5 kg KCl/ha, maka membutuhkan kompos kurang lebih sebanyak 22 ton kompos/ha. Nitrogen (N) berperan penting dalam merangsang pertumbuhan vegetatif dari tanaman. Selain itu N merupakan penyusun plasma sel dan berperan penting dalam pembentukan protein. Fosfor (P) adalah unsur hara makro kedua setelah nitrogen yang banyak dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhannya dan diserap tanaman dalam bentuk
17
ion. Sumber utama fosfor di dalam tanah berasal dari pelapukan mineral-mineral yang mengandung fosfat. Kalium (K) adalah unsur hara makro yang banyak dibutuhkan tanaman, dan diserap tanaman dalam bentuk ion K+. Di dalam tubuh tanaman kalium bukanlah sebagai penyusun jaringan tanaman, tetapi lebih banyak berperan dalam proses metabolisme tanaman seperti mengaktifkan kerja enzim, membuka dan menutup stomata, transportasi hasil-hasil fotosintesis, dan meningkatkan daya tahan tanaman terhadap kekeringan dan penyakit tanaman (Hasibuan, 2006). 9. Kandungan Bahan Berbahaya Beberapa bahan organik mungkin mengandung bahan-bahan yang berbahaya bagi kehidupan mikroba. Logam-logam berat seperti Mg, Cu, Zn, Nickel, Cr adalah beberapa bahan yang termasuk kategori ini. Logam-logam berat akan mengalami imobilisasi selama proses pengomposan. 10. Lama Pengomposan Lama waktu pengomposan tergantung pada karakteristik bahan yang dikomposkan, metode pengomposan yang dipergunakan dan dengan atau tanpa penambahan
aktivator
pengomposan.
Secara
alami
pengomposan
akan
berlangsung dalam waktu beberapa minggu sampai 2 tahun hingga kompos benarbenar matang.
18
2.7 Spesifikasi Kompos Kandungan unsur hara di dalam kompos sangat bervariasi. Tergantung dari jenis bahan asal yang digunakan dan cara pembuatan kompos. Ciri fisik kompos yang baik adalah berwarna coklat kehitaman, agak lembab, gembur, dan bahan pembentuknya sudah tidak tampak lagi. Produsen kompos yang baik akan mencantumkan besarnya kandungan unsur hara pada kemasan. Meskipun demikian, dosis pemakaian pupuk organik tidak seketat pada pupuk buatan karena kelebihan dosis pupuk organik tidak akan merusak tanaman (Novizan, 2005). Indonesia telah memiliki standar kualitas kompos, yaitu SNI 19-70302004 dan Peraturan Menteri Pertanian No. 02/Pert/HK.060/2/2006. Di dalam standar ini termuat batas-batas maksimum atau minimum sifat-sifat fisik atau kimiawi kompos, termasuk di dalamnya batas maksimum kandungan logam berat. Untuk memastikan apakah seluruh kriteria kualitas kompos ini terpenuhi maka diperlukan analisis laboratorium. Pemenuhan atas standar tersebut adalah penting, terutama untuk kompos yang akan dijual ke pasaran. Standar itu menjadi salah satu jaminan bahwa kompos yang akan dijual benar-benar merupakan kompos yang siap diaplikasikan dan tidak berbahaya bagi tanaman, manusia, maupun lingkungan (Isroi dan Yuliarti, 2009). Kematangan kompos ditunjukkan oleh hal-hal berikut : 1. C/N rasio mempunyai nilai (10-20) : 1 2. Suhu sesuai dengan suhu air tanah 3. Berwarna kehitaman dan tekstur seperti tanah 4. Berbau tanah
19
2.8 Pentingnya Baku Mutu Pupuk Organik Pupuk organik merupakan pupuk yang berasal dari sisa tanaman, hewan atau manusia seperti pupuk kandang, pupuk hijau, dan kompos yang berbentuk cair maupun padat. Pupuk organik bersifat bulky dengan kandungan hara makro dan mikro rendah sehingga diperlukan dalam jumlah banyak. Keuntungan utama menggunakan pupuk organik adalah dapat memperbaiki kesuburan kimia, fisik dan biologis tanah, selain sumber hara bagi tanaman. (Suriadikarta dkk., 2006). Saat ini, pembuatan pupuk organik banyak dilakukan dalam skala industri karena minimnya tenaga kerja di pedesaan. Hanya sedikit petani yang dapat memproduksi kompos untuk memenuhi kebutuhannya. Sebagian petani membeli kompos dari pabrik lokal maupun kompos impor. Pemakaian pupuk organik akan semakin meningkat dari tahun ke tahun, maka sangat diperlukan regulasi atau peraturan mengenai persyaratan yang harus dipenuhi oleh pupuk organik agar memberikan manfaat maksimal bagi pertumbuhan tanaman dan disisi lain tetap menjaga kelestarian lingkungan. Tabel 2.1 Sumber bahan dan bentuk pupuk organik yang umum digunakan di Indonesia Sumber Pertanian
Nonpertanian
-
Sumber : Kurnia et al., 2001
Asal Bahan Pangkasan tanaman legum Sisa hasil panen tanaman Limbah ternak besar Limbah ternak unggas Kompos Limbah organik kota Limbah penggilingan padi Limbah organik pabrik gula Limbah organik pabrik kayu (serbuk gergaji) Gambut (abu bakar gambut) Limbah pabrik bumbu masak
-
Bentuk Padat Padat Padat dan cair Padat Padat Padat dan cair Padat dan cair Padat dan cair
-
Padat Padat Padat dan cair
20
Komposisi hara dalam pupuk organik sangat tergantung dari sumbernya. Menurut sumbernya, pupuk organik dapat diidentifikasi berasal dari pertanian dan nonpertanian. Dari pertanian dapat berupa sisa panen dan kotoran ternak. Sedangkan dari nonpertanian dapat berasal dari sampah organik kota, limbah industri dan sebagainya. Pembagian sumber bahan dasar kompos secara lebih detail disajikan dalam Tabel 2.3 Bahan organik dari berbagai sumber ini sering dikomposkan terlebih dahulu untuk meningkatkan mutu gizinya. Komposisi hara dalam sisa tanaman sangat spesifik dan bervariasi, tergantung dari jenis tanaman. Pada umumnya rasio C/N sisa tanaman bervariasi dari 80:1 pada jerami, gandum hingga 20:1 pada tanaman legum. Sekam padi dan jerami mempunyai kandungan silika sangat tinggi namun berkadar nitrogen rendah. Sisa tanaman legum seperti kacang kedelai, kacang tanah, dan serbuk kayu mengandung nitrogen cukup tinggi. Sedangkan batang gandum, jagung mengandung kalium yang tinggi. Kandungan Ca tanaman yang tinggi dijumpai pada tanaman kedelai dan serbuk kayu (Tabel 2.4). Tabel 2.2 Komposisi hara dalam tanaman Tanaman
N P -------------Gandum 2,80 0,36 Jagung 2,97 0,30 Kc. tanah 4,59 0,25 Kedelai 5,55 0,34 Kentang 3,25 0,20 Ubi jalar 3,76 0,38 Jerami padi 0,66 0,07 Sekam 0,49 0,05 Bt. Jagung 0,81 0,15 Bt. Gandum 0,74 0,10 Serbuk kayu 1,33 0,07 Sumber Tan (1994)
K Ca Mg % -----------------2,26 0,61 0,58 2,39 0,41 0,16 2,03 1,24 0,37 2,41 0,88 0,37 7,50 0,43 0,20 4,01 0,78 0,68 0,93 0,29 0,64 0,49 0,06 0,04 1,42 0,24 0,30 1,41 0,35 0,28 0,60 1,44 0,20
Fe Cu Zn Mn B ----------- mg kg-1 -----------155 28 45 108 23 132 12 21 117 17 198 23 27 170 28 190 11 41 143 39 165 19 65 160 28 126 26 40 86 53 427 8 67 365 173 7 36 109 186 7 30 38 260 10 34 28 999 3 41 259 -