II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Kebakaran Hutan/Lahan
Kebakaran hutan dan lahan merupakan istilah yang relatif baru di Indonesia yakni tahun 1995 setelah terbitnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 188/Kpts-II/1995 tentang Pembentukan Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan Nasional (Pusdalkarhutnas). Salah satu butir dari Keputusan Menteri Kehutanan tersebut adalah perintah kepada gubernur untuk membentuk pusat pengendalian kebakaran hutan daerah di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten. Para gubernur kemudian membentuk organisasi yang dimaksud, tetapi dengan memasukkan kata ‘lahan’ sehingga terbentuk pusat pengendalian kebakaran hutan dan lahan daerah (pusdalkarhutlada) di hampir setiap provinsi. Sejak itulah istilah kebakaran hutan dan lahan digunakan, yang di dalam disertasi ini disebut kebakaran hutan/lahan sesuai dengan istilah di dalam Penjelasan Undang-Undang nomor 24 tahun 2007. Pembacaannya adalah “kebakaran hutan dan lahan.”
2.1.1. Pengertian dan Tren Kebakaran Hutan/Lahan
Istilah kebakaran hutan/lahan digunakan secara eksklusif di Indonesia. Istilah tersebut digunakan untuk menegaskan perbedaan lokasi terjadinya kebakaran yaitu di kawasan hutan dan di luar kawasan hutan. Suprayitno dan Syaufina (2008) membedakan kebakaran hutan dari kebakaran lahan berdasarkan lokasi terjadinya di mana kebakaran hutan merupakan kebakaran biomas yang terdapat di dalam kawasan hutan, sedangkan kebakaran lahan adalah kebakaran yang terjadi di ladang atau lahan masyarakat atau lahan berhutan. Beberapa negara seperti Thailand, Amerika Serikat dan Kanada menggunakan istilah kebakaran hutan (forest fire) atau kebakaran lahan liar (wildland fire), sedangkan Australia menggunakan istilah kebakaran semak (bush fire). Kebakaran hutan/lahan dalam pengertian umum menurut Gaylor (1974) dan Saharjo (2003) mencakup dua macam yaitu kebakaran liar atau yang tidak diinginkan (wildfire atau unwnated fire) dan kebakaran yang diinginkan atau
12 direncanakan atau pembakaran terkendali (controlled burning atau prescribed burning). Kejadian kebakaran hutan/lahan di Indonesia berkaitan erat dengan kondisi lingkungan, terutama cuaca. Beberapa kejadian kebakaran besar atau yang tersebar luas terjadi bersamaan dengan terjadinya fenomena El-Nino. Qadri (2001) menjelaskan fenomena El-Nino sebagai suatu fenomena periodik yang berkaitan dengan kondisi lautan di mana penghangatan yang kuat dan meluas terjadi di lautan tropis bagian atas Pasifik timur. El-Nino berpengaruh pada penguatan suatu arus hangat lautan, yang disebut arus balik ekuator di Pasifik tengah, yang menyebabkan terganggunya mekanisme cuaca keseluruhan. Kejadian El-Nino berkaitan dengan suatu perubahan dalam tekanan atmosfer yang dikenal sebagai Southern Oscillation, dan oleh sebab itu fenomena tersebut secara bersama-sama disebut sebagai El-Nino Southern Oscillation atau ENSO. ENSO inilah yang menyebabkan musim kering yang lebih panjang bagi sebagian besar wilayah Indonesia. Musim kering yang lebih panjang memicu lebih banyaknya kejadian kebakaran hutan/lahan. Qadri (2001) dan Suratmo (2003) mencatat bahwa ElNino yang terjadi pada tahun-tahun 1982-1983, 1994, dan 1997-1998 telah mengakibatkan kebakaran yang relatif lebih luas dari pada kebakaran di luar kondisi El-Nino. Hal ini dapat dilihat dari data yang disampaikan Bappenas (1999) bahwa luas kebakaran di luar kondisi El-Nino rata-rata di bawah satu juta hektar, sedangkan pada kondisi El-Nino jauh di atas satu juta, seperti data berikut: 1983 seluas 3,2 juta hektar, 1987 seluas 66 ribu hektar, 1991 seluas 500 ribu hektar, 1994 seluas 4,87 juta hektar, dan 1997/1998 seluas 9,5 juta hektar. Frekuensi dan intensitas El-Nino menurut para ilmuwan cenderung meningkat. Pada abad ke-19, El-Nino muncul rata-rata setiap tujuh setengah tahun dan pada abad ke-20 sekitar setiap lima tahun, sedangkan sekarang terjadi setiap kurang dari lima tahun. Alasan terjadinya peningkatan frekuensi El-Nino tersebut belum jelas (Qadri 2001). Peningkatan frekuensi terjadinya El-Nino tersebut dapat mengindikasikan pula tren kenaikan frekuensi terjadinya kebakaran besar. Tren kejadian kebakaran hutan/lahan di luar kondisi El-Nino pun beberapa tahun ke
13 depan tampaknya masih meningkat sejalan dengan meningkatnya faktor-faktor penyebab kebakaran. Indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan dapat pula dilihat dari hasil pantauan titik-titik panas (hotspots). Hiroki dan Prabowo (2003) menjelaskan titik panas sebagai hasil penginderaan jauh sistem termal dengan menggunakan citra NOAA-AVHRR (National Oceanic and Atmospheric Administration – Advance Very High Resolution Radiometer), sebuah satelit lingkungan yang bernaung di bawah NESDIS (National Environmental Satelitte Data and Information Services), Department of Commerce, Amerika Serikat. Titik-titik panas dipantau melalui satelit tersebut pada saluran 3 dengan panjang gelombang 3,55 µm – 3,92 µm, saluran 4 dengan panjang gelombang 10,3µm – 11,3µm, dan saluran 5 dengan panjang gelombang 11,5 µm – 12,5µm, di mana pancaran energi termal dari benda-benda yang bersuhu antara 550K – 1800K akan terekam. Titik panas memang tidak selalu berarti kebakaran hutan/lahan (Hiroki & Prabowo 2003), namun titik-titik tersebut dapat menjadi indikasi terjadinya kebakaran (Suprayitno & Syaufina 2003).
2.1.2. Penyebab Kebakaran Hutan/Lahan
Penyebab kebakaran hutan/lahan di berbagai negara berbeda-beda. Kebakaran di daerah-daerah sub-tropis seperti Amerika Serikat dan Kanada di belahan utara dan Australia di belahan selatan disebabkan terutama oleh alam yaitu petir (Gaylor 1974; Pyne et al. 1996; Qadri 2001), sedangkan di daerahdaerah tropis kebakaran pada umumnya disebabkan oleh manusia (Suyanto & Applegate 2001; Qadri 2001; Suratmo et al. 2003). Suryanto dan Applegate (2001) mengelompokkan penyebab kebakaran hutan/lahan di Indonesia ke dalam penyebab langsung dan penyebab taklangsung. Penyebab langsung kebakaran meliputi empat hal yaitu: (1) api digunakan dalam pembukaan lahan, (2) api digunakan sebagai senjata dalam permasalahan konflik tanah, (3) api menyebar secara tidak sengaja, dan (4) api yang berkaitan dengan ekstraksi sumber daya. Penyebab tak langsung, yang juga disebut oleh Bappenas (1999), Barber dan Schweithelm (2000), Qadri (2001), dan
14 Adinugroho et al. (2005) sebagai akar permasalahan atau penyebab mendasar (underlying causes, atau primary causes) kebakaran hutan/lahan meliputi: 1. Penguasaan lahan, di mana pembakaran dipandang sebagai suatu cara untuk menunjukkan klaim atas lahan; 2. Kebijakan alokasi penggunaan lahan yang tidak tepat, tidak adil, dan tidak terkoordinasi. Hal ini sebagai kebalikan dari butir 1 di atas, di mana pembakaran digunakan untuk mengusir penguasa lahan yang sudah ada yang dianggap tidak sah pemilikannya; 3. Insentif dan disinsentif ekonomi, di mana pembakaran dipandang sebagai cara yang mudah dan murah untuk konversi hutan menjadi non-hutan; 4. Degradasi hutan dan lahan yang mengakibatkan peningkatan kepekaan hutan dan lahan terhadap bahaya kebakaran; 5. Dampak dari perubahan karakteristik kependudukan, di mana peningkatan jumlah penduduk akibat tingginya tingkat migrasi mendorong pembukaan hutan dan lahan dengan cara membakar; 6. Lemahnya kapasitas kelembagaan pada para pemangku kawasan hutan mengakibatkan lemahnya insentif bagi masyarakat untuk menjaga hutan dari bahaya kebakaran. Bappenas (1999) yang mencatat dari berbagai literatur menyatakan adanya pergeseran dalam hal penyebab prinsip dari kejadian-kejadian kebakaran hutan/lahan, di mana pada masa lalu penyebab prinsip kebakaran adalah perorangan dan sekarang bergeser pada perusahaan-perusahaan besar. Penyebab prinsip kebakaran pada tahun 1982-1983 sampai dengan 1987 adalah para spekulator lahan dan para peladang berpindah, sedangkan pada tahun 1991 – 1994 adalah kelalaian penggunaan api dalam penyiapan lahan-lahan pertanian dan pada tahun 1997-1998 sampai dengan sekarang penyebabnya lebih didominasi oleh pembakaran untuk konversi hutan menjadi lahan-lahan perkebunan besar terutama karet dan kelapa sawit.
15
2.1.3. Dampak Kebakaran hutan/lahan
Kajian terhadap dampak kebakaran hutan/lahan cukup banyak. Dampak tersebut dapat mengenai pada berbagai aspek, antara lain aspek ekonomi dan aspek lingkungan (Suprayitno & Syaufina 2008), nilai estetis dan nilai ilmiah serta politik dan sosial (Hasoloan 2001). Dampak kebakaran terhadap aspek ekonomi dapat berupa kerugian dari berkurang atau hilangnya sumber daya ekonomi, biaya penanganan kebakaran dan dampaknya, dan terganggunya fungsi sosial ekonomi hutan dan lahan bagi masyarakat. Sementara itu, dari aspek lingkungan, kebakaran hutan/lahan dapat berdampak terhadap: (a) sifat fisik tanah antara lain struktur dan porositas tanah, (b) sifat kimia tanah melalui pelepasan mineral, perubahan mikroklimat, dan dekomposisi mineral liat dan penyederhanaan struktur organik menjadi bahan inorganik, (c) sifat biologi tanah berupa perubahan populasi organisme dan mikroorganisme tanah, (d) air melalui gangguan terhadap intersepsi atau peresapan air ke dalam tanah melalui kanopi tumbuhan dan serasah; evapotranspirasi berupa penguapan dari permukaan tanah, vegetasi, maupun badan-badan air; infiltrasi atau masuknya air ke dalam tanah karena meningkatnya densitas tanah dan menurunnya porositas tanah; dan simpanan air tanah baik dalam kuantitas maupun kualitasnya, (e) vegetasi berupa kematian tumbuhan dan kerusakan bagian-bagian tumbuhan, (f) udara berupa peningkatan suhu udara dan perubahan komponen-komponen kimia di atmosfer. Kebakaran hutan/lahan yang terjadi di Indonesia juga telah menimbulkan kerugian yang sangat besar. Perhitungan kerugian akibat kebakaran hutan/lahan memang masih bersifat pendekatan baik dari data luasan kebakarannya maupun metode penghitungannya. Kebakaran di Kalimantan Timur pada tahun 1982-1983, misalnya, menurut perkiraan Goldammer et al. (1996, diacu dalam Qadri 2001)
16 mencapai luasan lima juta hektar dan menimbulkan kerugian total sekitar US$ 9,1 juta, sedangkan perkiraan Barber dan Schweithelm (2000) luasan tersebut sekitar 3,2 – 3,6 juta hektar. Kebakaran hutan/lahan tahun 1997-1998 yang juga terkenal karena luasnya cakupan dampak asapnya dicatat dengan angka yang berbedabeda. The Singapore Center for Remote Imaging, Sensing and Processing (CRISP) berdasarkan citra satelit SPOT (Sisteme Pour L’observation de la Terre) mencatat luas kebakaran hutan/lahan tahun 1997 sekitar 1,5 juta ha di Sumatera dan tiga juta ha di Kalimantan, sedangkan kebakaran tahun 1998 tercatat 2,5 juta ha di Kalimantan Timur. Sementara WWF Indonesia menghitung antara 1,97 juta dan 2,3 juta ha terbakar di Kalimantan antara Agustus – Desember 1997 (Barber & Schwithelm 2000). Proyek kerja sama Dep. Kehutanan dengan Uni Eropa di Sumatera Selatan (Forest Fire Prevention and Control Project/FFPCP) menghitung luas kebakaran tahun 1997 berdasarkan citra satelit seluas 2,3 juta ha hanya untuk Sumatera (Ramon & Wall 1998). Mayell (2001) menyatakan bahwa hasil pengamatan dengan citra satelit dan survei udara di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa kebakaran yang terjadi pada tahun 1998 di provinsi tersebut menghanguskan sekitar lima juta hektar konsesi hutan, perkebunan dan lahan konversi pertanian. Berdasarkan data tersebut, CIFOR (Center for International Forestry Research) memperkirakan kerugian ekonomi bagi Indonesia mencapai US$ sembilan miliar. Jumlah tersebut jauh lebih besar dari jumlah yang diperkirakan Qadri (2001). Qadri berdasarkan pendugaan melalui distribusi spasial terhadap kawasan-kawasan yang terbakar pada tahun 1997-1998 memperkirakan jumlah kerugian secara keseluruhan hanya US$ enam milyar. Kerugian dihitung dari luasan yang terbakar yaitu enam juta hektar di Kalimantan, lebih dari 1,5 hektar di Sumatera, sekitar satu juta hektar di Irian Jaya, 400 ribu hektar di Sulawesi dan 100 ribu hektar di Jawa, serta dari luasan tersebut 4,65 juta ha di antaranya adalah kawasan hutan. BAPPENAS (1999) yang menghimpun data dari berbagai sumber melalui proyek Perencanaan Pencegahan Kebakaran dan Pengelolaan Kekeringan di BAPPENAS yang didanai oleh bantuan teknis dari Asian Development Bank (ADB) pada tahun 1999 membukukan nilai-nilai kerugian yang berkisar antara
17 US$ 8,7 milyar dan US$ 9,7 milyar dan mengambil angka rata-rata sebesar US$ 9,3 milyar (BAPPENAS 1999). Di lingkungan global, catatan sejarah kebakaran di dunia menunjukkan bahwa kebakaran telah berdampak pada dua sisi, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan. Di satu sisi, kebakaran berdampak positif terhadap ketersediaan pakan bagi satwa liar maupun hewan ternak serta untuk pengendalian hama dan penyakit tumbuhan, hewan dan manusia. Bowman (2003) dan Qadri (2001) menceritakan bahwa pada masa prasejarah, api atau kebakaran banyak digunakan dalam aktivitas manusia sehari-hari terkait dengan pemenuhan kebutuhan hidupnya, antara lain dalam perburuan, perladangan dan pertanian. Di sisi lain, kebakaran telah merusak begitu banyak aset perekonomian masyarakat. Qadri (2001) menyebutkan beberapa contoh kerugian akibat kebakaran hutan/lahan di masa lampau. Kebakaran di Brazil pada tahun 1963 menghanguskan 2 juta ha lahan, merusak lebih dari 5000 rumah dan 110 jiwa. Kemudian pada tahun 1987 Brazil’s Legal Amazon yang luasnya 500 juta ha terbakar seluas 20,5 juta ha di mana delapan juta di antaranya dianggap sebagai deforestasi dari hutan yang lebat. Pada tahun 1998 kebakaran menghanguskan 3,2 – 3,5 juta ha lahan, 200 ribu ha di antaranya merupakan hutan lebat. Australia juga mencatat kerugian dari kebakaran berupa korban jiwa manusia 76 orang, 300 ribu domba dan rusa mati dan lebih dari 2500 rumah terbakar pada tahun 1983. Kebakaran yang fenomenal di Amerika Serikat pada tahun 1988 yang menghanguskan hampir seluruh kawasan Taman Nasional Yellowstone, menyebabkan kerugian di sektor pariwisata antara tahun 1988 dan 1990 mencapai sekitar US$ 60 juta. Kebakaran hutan/lahan di Italia dalam periode 1970-2005 setiap tahunnya menghanguskan sekitar 45.000 hektar hutan. Contoh-contoh lain menunjukkan dampak kebakaran hutan/lahan di berbagai negara seperti RRC, Nicaragua, Afrika Barat, Rusia, Mexico dan Amerika Tengah dan Mongolia, di mana kebakaran berdampak pada usaha peternakan akibat terbunuhnya ratusan ribu hewan ternak seperti sapi, kambing, domba dan sebagainya. Kerugian lain dari kebakaran hutan/lahan juga mencakup biaya-biaya yang dikeluarkan baik secara langsung untuk operasi pemadaman kebakaran maupun yang secara tak langsung keluar atau hilang atau terganggu akibat kebakaran
18 tersebut. Asap dari kebakaran hutan/lahan juga menimbulkan kerugian yang sangat besar terhadap perekonomian. Kebakaran hutan/lahan pada tahun 19971998 di wilayah Asia Tenggara, misalnya, telah menyebabkan polusi asap yang mengganggu tidak kurang dari 70 juta orang di wilayah tersebut dan menyebabkan kerugian bagi Indonesia sekitar US$ 9,3 milyar atau kurang lebih Rp 5,96 trilyun setara dengan sekitar 70,1% dari nilai PDB sektor Kehutanan tahun 1997 (BAPPENAS 1999; Qadri 2001). Kerugian secara ekonomi akibat kebakaran tidak hanya berasal dari kerusakan atau hilangnya sumberdaya hutan, melainkan juga akibat keluarnya biaya-biaya untuk operasi pemadaman. BAPPENAS (1999) mencatat biaya pemadaman kebakaran tahun 1997-1998 mencapai US$ 12 juta atau Rp 144 milyar. Pemerintah Amerika Serikat (AS) membelanjakan tidak kurang dari US$ 1,6 milyar untuk mengatasi kebakaran hutan/lahan pada tahun 2002 saja, sedangkan untuk pemadaman kebakaran hutan di Taman Nasional Yellowstone pada tahun 1988 AS membelanjakan sekitar US$ 160 juta (Polzin et al. 1993, diacu dalam Qadri 2001). Butry et al. (2001) menggolongkan biaya dan kerusakan akibat kebakaran ke dalam tujuh kategori besar yaitu: biaya-biaya prapemadaman, biaya pemadaman, belanja penanganan bencana (disaster relief expenditures), kerugian dari kayu, kerusakan barang-barang milik, kehilangan yang terkait dengan pariwisata, dan efek terhadap kesehatan manusia. Sebenarnya masih banyak komponen-komponen kerugian yang lain seperti misalnya hilangnya kesempatan memperoleh upah (lost wages), menurunnya kualitas hidup, pembelanjaan bagi pemadaman jangka panjang, rehabilitasi lansekap, dan degradasi lingkungan. NIFC (National Interagency Fire Center), lembaga pengelola kebakaran hutan/lahan AS, dalam laporan tahun 2000 seperti dikutip Butry et al. (2001) menyatakan bahwa pada periode 1994-1999 pemerintah federal telah membelanjakan rata-rata US$ 500 juta per tahun untuk pemadaman kebakaran. Kerugian akibat kebakaran terhadap lingkungan hidup juga sangat besar. Para ahli kehutanan dan lingkungan sepakat bahwa hutan tropis memiliki kemampuan sangat tinggi dalam penyerapan karbon. Alikodra dan Syaukani (2004) secara tegas menyatakan bahwa seandainya hutan tropis musnah maka
19 pemanasan global akan makin menjadi-jadi. Hal ini terkait dengan kemampuan hutan menyerap CO 2 yang cukup tinggi yakni sekitar 3 – 5 milyar ton per tahun, sementara itu atmosfer bumi ketambahan CO 2 sebanyak tiga milyar ton (Chomitz et al. 2007) sampai dengan enam milyar ton setiap tahunnya. Penambahan CO 2 tersebut dapat berasal dari pembakaran biomasa di kawasan hutan dan lahan. Qadri (2001) mencatat bahwa pembakaran biomasa ditengarai sebagai sumber emisi global yang signifikan dengan kontribusi sedikitnya 10% dari total karbon dioksida dan 38% dari ozon troposfer. Emisi akibat pembakaran biomasa dapat mencapai 220 – 13.500 gigaton (Tg) karbon dioksida, 120 – 680 Tg karbon monooksida, 2 – 21 Tg nitro oksida, dan 11 – 53 Tg gas metana. Kebakaran juga mengancam kelestarian keanekaragaman hayati (kehati). Sumarwoto (1994, diacu dalam Atmojo 2005) menyatakan bahwa hutan hujan tropis (tropical rain forest) memiliki kehati begitu besar. Kehati tersebut sangat penting untuk menjamin ketersediaan sumberdaya, khususnya pangan, bagi kehidupan umat manusia. Daerah Asia Tenggara, termasuk Indonesia, merupakan daerah asal jenis pertanian tertentu yang disebut Pusat Vavilov. Pencagaran Pusat Vavilov sangat penting karena memiliki nilai ekonomi tinggi. Kebakaran hutan dapat menyebabkan hancurnya pusat-pusat Vavilov sehingga secara tak langsung dapat mengancam kehidupan umat manusia.
2.1.4. Pengendalian Kebakaran hutan/lahan
Kebakaran liar memerlukan pencegahan dan pemadaman sedangkan kebakaran yang diinginkan justru dibuat atau dilakukan karena adanya kepentingan tertentu. Kebakaran yang diinginkan perlu pengendalian agar dapat terlaksana sesuai dengan yang diinginkan, sedangkan kebakaran liar perlu pengendalian agar tidak terjadi, dan kalaupun terjadi terdapat pilihan-pilihan yaitu dipadamkan ataukah cukup diawasi dan dibiarkan padam dengan sendirinya. Pemahaman mengenai terkendalinya kebakaran hutan/lahan dengan demikian menjadi sangat penting. Kebakaran hutan/lahan merupakan suatu situasi darurat (Gaylor 1974) dan termasuk salah satu dari jenis bencana menurut UU No. 24 tahun 2007, dan oleh
20 karena itu pengertian dari istilah “pengendalian kebakaran” dapat dirumuskan dari berbagai pustaka mengenai situasi-situasi darurat. Situasi darurat, baik perang, gangguan keamanan dan ketertiban (Mulyadikrama dan Tamzis 1990), bencana (Bakornas PB 1999), maupun kebakaran (Gaylor 1974) dapat dikatakan terkendali jika telah diketahui karakteristiknya sehingga penanganan situasi tersebut dapat efektif dan efisien dan dampaknya tidak merugikan. Berdasarkan pengertian mengenai pengendalian situasi darurat tersebut, dapat dirumuskan pengertian mengenai kebakaran yang terkendali yaitu situasi di mana kebakaran hutan/lahan telah dapat diketahui karakteristiknya dan dapat ditangani secara efektif dan efisien sehingga dampaknya tidak merugikan. Efektif dan efisien yang dimaksud di sini adalah bahwa penanganan kebakaran dilakukan dengan cepat dan tepat langkah-langkahnya serta sasarannya sesuai dengan karakteristik kebakarannya. Karakteristik kebakaran hutan/lahan mencakup selain kebakarannya itu sendiri juga penyebab dan dampak kebakaran sebagaimana telah diuraikan di atas. Pengendalian kebakaran hutan/lahan berkenaan dengan pengendalian penyebab, pengendalian ketika kebakaran terjadi dan pengendalian dampak kebakaran. Para pakar, seperti Kartodihardjo (2006), Adinugroho et al. (2005), Doscemascolo (2004), Suratmo et al. (2003), Anggraeni dan Syumanda (2001), Qadri (2001), Simorangkir (2001), Suyanto dan Applegate (2001), Barber dan Schweithelm (2000), Bowen et al. (2000), Shulman (2000), dan KMNLH-UNDP (1998) telah mengidentifikasi permasalahan di dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan di Indonesia. Penulis melihat bahwa permasalahan kebakaran sebenarnya dapat digolongkan ke dalam dua kelompok yaitu permasalahan teknis dan non-teknis. Permasalahan teknis berkaitan dengan unsur-unsur segitiga api, sedangkan permasalahan non-teknis berkaitan dengan kelembagaan. Kebakaran hutan/lahan secara teknis terjadi karena adanya tiga unsur api, yang disebut segitiga api (fire triangle), yaitu bahan bakar, panas dan oksigen dalam keadaan yang memadai pada waktu dan tempat yang sama (Adinugroho et al. 2005; Saharjo 2003; Gaylor 1974) seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Di Indonesia, kebakaran hutan/lahan lebih banyak disebabkan oleh api yang digunakan dalam kegiatan manusia, terutama pada kegiatan penyiapan lahan untuk bermacam kepentingan. Oleh karena itu, terkait dengan kebakaran
21 hutan/lahan diperkenalkan istilah segiempat kebakaran yang meliputi tiga unsur dari segitiga api ditambah manusia sebagai unsur keempat. Besarnya dampak dan kerugian akibat kebakaran ditentukan antara lain oleh intensitas kebakaran, dan intensitas kebakaran ditentukan oleh tingkat ketersediaan ketiga unsur segitiga api tersebut (Brown & Davis 1973). Pengendalian kebakaran hutan/lahan secara teknis pada dasarnya adalah mengusahakan agar ketiga unsur tersebut tidak berada pada kondisi yang memadai untuk terjadinya kebakaran (Suprayitno & Syaufina 2008), sehingga penyebab teknis dapat diatasi dengan metode pencegahan dan metode pemadaman.
Gambar 2 – Segitiga api (Sumber: Brown & Davis 1973; Saharjo 2003) Pencegahan pada prinsipnya dilakukan dengan modifikasi unsur-unsur dari segitiga api sehingga ketiganya tidak berada pada kondisi yang memadai untuk terjadinya api dan melalui perlakuan terhadap unsur keempat dari segiempat kebakaran yaitu manusia dengan meningkatkan pemahaman mengenai bahaya dan risiko kebakaran hutan/lahan. Saharjo (2003) memberikan panduan bahwa dari ketiga unsur api tersebut, oksigen merupakan unsur yang tersedia melimpah dan sulit dikendalikan, maka pengendalian ditekankan pada dua unsur lainnya. Dari segi bahan bakar, karakteristik yang perlu diketahui untuk mengendalikan kebakaran adalah kadar airnya. Saharjo menyatakan bahwa bahan bakar tidak terbakar bila kadar airnya di atas 25% dan akan mudah terbakar ketika kadar
22 airnya di bawah 5%, sedangkan dari segi panas diperlukan suhu penyalaan antara 220°-250° C. Pemadaman kebakaran dapat dilakukan baik dengan metode pemadaman langsung (direct attack) yakni mematikan langsung pada titik atau garis nyala api maupun dengan metode pemadaman tak langsung (indirect attack) yakni mencegah perambatan api yang lebih luas dengan mendayagunakan sekat bakar atau fire break dan membuat ilaran api atau fire line. Pemadaman dapat dilakukan dari darat atau ground attack atau dipadukan dengan pemadaman dari udara atau aerial attack (Adinugroho et al. 2005; Saharjo 2003; Sumantri 2003; Gaylor 1974). Keberhasilan pengendalian kebakaran secara teknis ditentukan pula oleh dukungan dari upaya-upaya non-teknis berupa kelembagaan dan manajemen pengendalian kebakaran yang baik.
2.2. Organisasi dan Manajemen
2.2.1. Pengertian
Pengertian istilah organisasi telah mengalami pergeseran (Cahayani 2003; Drucker 1997). Organisasi menurut pengertian awal yang sederhana yaitu suatu kerja sama sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan dan mau terlibat dengan peraturan yang ada. Sekarang organisasi lebih dikenal sebagai alat dan wadah atau tempat untuk melakukan kegiatan bersama agar dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama (Siswanto 2009; Cahayani 2003). Drucker (1997) menyatakan bahwa organisasi menurut definisi pertama yang disebutnya sebagai teori pertama tentang organisasi di pertengahan abad ke-18, adalah bagaimana pekerjaan yang berbeda dilakukan. Pengertian organisasi tersebut kemudian bergeser yang dikatakan sebagai gerakan menuju organisasi baru (moving toward the new organization) yang menegaskan bahwa organisasi bukan sekadar sebuat alat. Organisasi menyatakan nilai-nilai, dan oleh karenanya tidak ada organisasi yang ideal. Organisasi berbeda sesuai dengan tujuannya, jenis pekerjaannya, orang-orangnya, dan budayanya. Organisasi dapat diartikan dalam arti dinamis dan dalam arti statis (Siswanto 2009). Organisasi dalam arti dinamis adalah suatu proses penetapan
23 dan pembagian kerja yang akan dilakukan, pembatasan tugas dan kewajiban, otoritas dan tanggung jawab serta penetapan hubungan di antara elemen organisasi. Organisasi dalam arti statis adalah suatu bagan atau struktur yang berwujud dan bergerak demi tercapainya tujuan bersama. Louis A. Allen, sebagaimana dikutip Hasibuan (2008) melihat organisasi seperti definisi Siswanto (2009) untuk arti dinamis di mana organisasi merupakan proses penentuan dan pengelompokan pekerjaan yang akan dikerjakan, menetapkan dan melimpahkan wewenang dan tanggung jawab, dengan maksud untuk memungkinkan orangorang bekerja sama secara efektif dalam mencapai tujuan. Hasibuan (2008) merangkum dari berbagai literatur bahwa sebuah organisasi baru ada jika memiliki tujuh unsur yaitu: (1) manusia, (2) tempat kedudukan, (3) tujuan, (4) pekerjaan, (5) struktur, (6) teknologi, artinya ada unsur teknis, dan (7) lingkungan. Siswanto (2009) menyatakan bahwa suatu organisasi memiliki sedikitnya tiga unsur yaitu (1) sekelompok orang, (2) interaksi dan kerja sama, dan (3) tujuan bersama. Hasibuan (2008) lebih lanjut menguraikan bahwa untuk terwujudnya suatu organisasi yang baik, efektif, efisien dan sesuai dengan kebutuhan, organisasi harus memegang secara selektif asas-asas atau prinsipprinsip organisasi yang terdiri atas: (1)
asas tujuan (principle of organizational objectives) di mana tujuan organisasi harus jelas dan rasional;
(2)
asas kesatuan tujuan (principle of unity of objective), di mana organisasi secara keseluruhan dan tiap-tiap bagiannya harus memiliki tujuan yang sama;
(3)
asas kesatuan perintah (principle of unity of command) di mana setiap bawahan menerima perintah hanya dari satu atasan, tetapi seorang atasan dapat memerintah beberapa orang bawahan;
(4)
asas rentang kendali (principle of span of management) di mana seorang pemimpin hanya dapat memimpin secara efektif sejumlah bawahan tertentu;
(5)
asas pendelegasian wewenang (principle of delegation of authority) di mana wewenang hendaknya didelegasikan kepada orang lain secara jelas dan efektif sehingga orang yang diberi wewenang mengetahui wewenangnya;
24 (6)
asas keseimbangan wewenang dan tanggung jawab (principle of parity of authority and responsibility) di mana wewenang yang didelegasikan dan tanggung jawab yang timbul karenanya harus sama besar;
(7)
asas
tanggung
jawab
(principle
of
responsibility)
di
mana
pertanggungjawaban dari bawahan terhadap atasan harus sesuai dengan garis wewenang (line authority) dan pelimpahan wewenang; (8)
asas pembagian kerja (principle of departementation atau principle of division of work) di mana pengelompokan tugas-tugas atau pekerjaanpekerjaan yang sama ke dalam satu unit hendaknya didasarkan atas eratnya hubungan tugas tersebut;
(9)
asas penempatan personalia (principle of personnel placement) yaitu penempatan orang-orang pada setiap jabatan harus didasarkan atas kecakapan, keahlian dan ketrampilannya;
(10) asas jenjang berangkai (principle of scalar chain) yakni saluran perintah atau wewenang dari atas ke bawah maupun saluran pertanggungjawaban dari bawahan ke atasan merupakan mata rantai vertikal yang jelas dan tidak terputus-putus; (11) asas efisiensi (principle of efficiency) di mana organisasi dalam mencapai tujuannya harus dapat mencapai hasil yang optimal dengan pengorbanan yang minimal; (12) asas kesinambungan (principle of continuity) yakni organisasi harus mengusahakan cara-cara untuk menjamin kelangsungan hidupnya; (13) asas koordinasi (principle of coordination) yaitu bahwa organisasi harus mensinkronkan dan mengintegrasikan segala tindakan supaya terarah kepada sasaran yang ingin dicapai. Organisasi berkaitan erat dengan manajemen. Organisasi merupakan wadah atau alat sedangkan manajemen merupakan prosesnya dan kedua-duanya adalah untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Hasibuan 2008). Manajemen adalah proses penggunaan sumber daya organisasi secara efektif dan efisien untuk mencapai
tujuan
melalui
fungsi-fungsi
perencanaan,
pengorganisasian,
pengarahan (leading/influencing) dan pengawasan (Dubrin & Ireland 1993; Gordon et al. 1990). Proses tersebut saling berkaitan dan berurutan (Siswanto
25 2009). Sumber daya organisasi dapat berupa sumber daya manusia, sumberdaya finansial, sumber daya fisik dan sumber daya informasi (Dubrin & Ireland 1993). Sifat
gerak
manajemen
suatu
organisasi
ditentukan
oleh
bentuk
organisasinya (Siswanto 2009). Organisasi berdasarkan skala atau ukurannya dapat berupa organisasi kecil, menengah, dan besar, sedangkan berdasarkan tujuannya terdapat dua macam yaitu (1) organisasi publik atau sosial atau nirlaba (non-profit organzation) yang tujuan utamanya untuk melayani kepentingan umum dan tanpa perhitungan untung rugi, dan (2) organisasi perusahaan (business organization) yakni organisasi yang didirikan untuk tujuan komersial dan semua tindakannya bermotifkan laba (profit motive). Berdasarkan kaitan hubungannya dengan pemerintah, organisasi dapat berupa organisasi resmi yaitu (1) organisasi yang dibentuk oleh atau ada hubungannya dengan pemerintah dan atau harus terdaftar pada Lembaran Negara, dan (2) organisasi tidak resmi yaitu organisasi yang tidak ada hubungannya dengan pemerintah dan tidak terdaftar pada Lembaran Negara. Setiap organisasi berhadapan dengan dua jenis lingkungan, yaitu lingkungan internal dan lingkungan eksternal (Siagian 2008). Kedua jenis lingkungan tersebut seringkali begitu kompleks sejalan dengan semakin kompleksnya organisasi. Lingkungan tersebut, antara lain semakin banyaknya pihak yang berkepentingan baik pihak internal maupun pihak eksternal yang harus dipuaskan dan tantangan eksternal yang dihadapi organisasi. Siagian (2008) menyarankan diterapkannya manajemen stratejik untuk menghadapi situasi organisasi yang kompleks tersebut. Manajemen stratejik adalah serangkaian keputusan dan tindakan mendasar yang dibuat oleh manajemen puncak dan diimplementasikan oleh seluruh jajaran suatu organisasi dalam rangka pencapaian tujuan organisasi tersebut (Siagian 2008). Esensi dari manajemen stratejik adalah bahwa manajemen puncak dari suatu
organisasi
harus
mampu
merumuskan
dan
menentukan
strategi
organisasinya sehingga organisasinya mampu mempertahankan eksistensinya sekaligus mampu menyesuaikan diri dan berubah untuk meningkatkan efektivitas dan produktivitasnya. Faktor-faktor yang harus diperhitungkan dalam manajemen stratejik menurut Siagian (2009) antara lain; (a) tipe dan struktur organisasi, (b) gaya manajerial, (c) kompleksitas lingkungan eksternal, (d) kompleksitas proses produksi, dan (e) hakikat berbagai masalah yang dihadapi.
26 Siagian (2009) lebih lanjut menjelaskan ciri-ciri organisasi yang efektif dan produktivitas atau kinerja tinggi antara lain: (1) mempunyai arah yang jelas untuk ditempuhnya, (2) memiliki sumber daya manusia yang berpengetahuan dan berketrampilan tinggi, (3) para pimpinannya memiliki komitmen kuat pada suatu rencana stratejik, (4) berorientasi pada hasil dan memiliki kesadaran tinggi tentang efektivitas dan produktivitas yang meningkat, (5) para pimpinannya bersedia membuat komitmen yang mendalam pada strategi yang telah ditentukan dan berupaya bersama seluruh komponen organisasi agar strategi tersebut membuah hasil yang diharapkan. Organisasi yang efektif yang memiliki cukup sumber daya tersedia dengan berbagai aturan-aturannya (rules) menurut Torrington dan Weightmen (1994) merupakan syarat bagi manajemen yang efektif. Torrington dan Weightmen (1994)
juga
kedudukan
menggarisbawahi hirarkinya,
di
pentingnya
mana
ada
orang-orang
atasan
(people)
(superiors)
dan
dengan bawahan
(subordinates), yang memerlukan kerja sama (cooperation), sinkronisasi dan komunikasi dalam menjalankan manajemen. Hal ini berarti bahwa sumber daya manusia merupakan komponen penting baik di dalam organisasi maupun di dalam manajemen. Sebagaimana disebutkan di atas, manajemen merupakan suatu proses. Siswanto (2009) mengartikan proses manajemen sebagai suatu rangkaian aktivitas yang harus dilakukan oleh seorang manajer dalam suatu organisasi. Rangkaian aktivitas tersebut merupakan fungsi seorang manajer, yang dapat dilihat dalam dua arah yaitu fungsi ke dalam organisasi dan fungsi ke luar organisasi. Fungsi ke dalam dapat dilihat dari dua sudut yaitu (1) fungsi dari sudut proses, dan (2) fungsi dari sudut spesialisasi kerja. Fungsi ke luar organisasi meliputi aktivitas yang berhubungan dengan pihak luar organisasi yang menyangkut masalah yuridis, keuangan, administratif, hubungan antar manusia, dan sebagainya. Fungsi manajemen dari sudut proses merupakan tahapan aktivitas.
Beberapa
pakar manajemen menyebutkan tahapan aktivitas tersebut berbeda-beda. Berdasarkan rangkuman Siswanto (2009) dan Hasibuan (2008), jumlah tahapan tersebut berkisar dari dua tahapan sampai dengan tujuh tahapan. Dua tahapan manajemen disampaikan oleh John D. Millet yaitu (1) directing, dan (2) facilitating. Para pakar yang lain seperti G. R. Terry, Henry Fayol, John F. Mee,
27 Mc Namara, Luther Gullick, dan Oey Liang Lee, yang menyebutkan empat, lima, enam atau tujuh tahapan memiliki kesamaan yaitu semuanya memasukkan tiga tahapan
dalam
manajemen
yakni
planning
(perencanaan),
organizing
(pengorganisasian), dan controlling (pengendalian). 2.2.2. Pengorganisasian dan Peranan Organisasi
Pengertian organisasi berbeda dari pengertian pengorganisasian. Siagian (2004) dan Cahayani (2003) mendefinisikan pengorganisasian (organizing) sebagai salah satu dari empat fungsi manajemen yakni yang menentukan jenis organisasi terbaik untuk mencapai tujuan dan mampu mengembangkan organisasi tersebut, sedangkan organisasi sebagai hasil dari pengorganisasian merupakan alat yang digunakan oleh manusia untuk mencapai tujuan tertentu. Hasibuan (2008) menjelaskan perbedaan pengertian kedua istilah tersebut menurutnya sendiri dan menurut beberapa pakar manajemen. Soekarno dan Manulang (di dalam Hasibuan, 2008), misalnya, memandang baik pengorganisasian maupun organisasi sebagai fungsi manajemen, di mana pengorganisasian mengandung pengertian organisasi dalam arti dinamis. Pengorganisasian sebagai suatu proses untuk memperoleh organisasi yang menjadi alat dan wadah untuk melakukan aktivitas dalam mencapai tujuan. Hasibuan (2008) sendiri maupun Siswanto (2009) mendefinisikan pengorganisasian sebagai
suatu
proses penentuan,
pengelompokan,
dan
pengaturan bermacam-macam aktivitas yang diperlukan untuk mencapai tujuan, menempatkan orang-orang pada setiap aktivitas, menyediakan alat-alat yang diperlukan, menetapkan wewenang yang secara relatif didelegasikan kepada setiap individu yang akan melakukan aktivitas-aktivitas tersebut. Dalam konteks penelitian disertasi ini, individu yang dimaksud bukan hanya dalam arti orang per orang
melainkan
dapat
pula
organisasi-organisasi
yang
terlibat
dalam
pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan. Pengorganisasian itu sendiri memerlukan beberapa tahapan. Siswanto (2009) menyatakan bahwa pengorganisasian memerlukan enam tahapan yaitu: (1) mengetahui dengan jelas tujuan yang hendak dicapai, (2) deskripsi pekerjaan yang harus dioperasikan dalam aktivitas tertentu, (3) klasifikasi aktivitas dalam
28 kesatuan yang praktis, (4) memberikan rumusan yang realistis mengenai kewajiban yang hendak diselesaikan, sarana dan prasarana fisik serta lingkungan yang diperlukan untuk setiap aktivitas atau kesatuan aktivitas yang hendak dioperasikan, (5) penunjukan sumber daya manusia yang menguasai bidang keahliannya, dan (6) mendelegasikan otoritas yang dianggap perlu kepada bawahan yang ditunjuk. Thomas (1997) menegaskan bahwa organisasi-organisasi di masa depan akan beroperasi pada suatu lingkungan yang tidak pasti, sangat kompetitif, dan kompleks. Situasi yang dihadapi organisasi akan sangat beragam (diverse), oleh sebab itu organisasi harus mampu mengelola keberagaman tersebut bagi keuntungan organisasi. Para manajer akan dituntut untuk terus-menerus menangani lingkungan yang terus berubah melalui dua percampuran keberagaman (diversity mixtures) yang sangat rumit yaitu: (1) percampuran yang terkait dengan pergolakan lingkungan (environmental turbulence), dan (2) percampuran yang terkait
dengan
transformasi
dan
perubahan
organisasi
(organizational
transformation and change). Pengelolaan keberagaman tersebut mensyaratkan para pimpinan untuk memiliki baik pemahaman yang luas mengenai keberagaman maupun kerangka kerja yang konseptual. Kunci dari pengelolaan keberagaman adalah mengelola yang efektif (effective managing), di mana mengelola adalah memberdayakan dan memampukan (to empower and enable), bukan memerintah dan mengawasi (to command and control). Keberhasilan sebuah organisasi maupun pengorganisasian dalam mencapai tujuannya ditentukan antara lain oleh peranan dan pemerannya (roles and players) dalam organisasi atau pengorganisasian tersebut (Wehmeyer et al. 2001; Colman & Han, 2005). McNamara (2010 1). Menurut McNamara (2010) peranan merupakan sekumpulan tanggung jawab atau hasil-hasil yang diharapkan terkait dengan suatu pekerjaan (job). Sebuah job mencakup beberapa peranan. Job merupakan sekumpulan tugas dan tanggung jawab yang menjadi tanggung jawab seorang pegawai atau karyawan untuk melaksanakannya.
1
http://www.managementhelp.org [31-12-2010]
29 Peranan dalam organisasi menurut Brown dan Harvey (2006) terbagi atas tiga kelompok fungsi yaitu: (1) fungsi-fungsi tugas kelompok (group task functions) yang mencakup perilaku anggota yang secara langsung membantu organisasi menyelesaikan tugasnya; (2) fungsi-fungsi pembangunan dan pemeliharaan kelompok (group building and maintenance functions) yang mencakup perilaku yang membantu organisasi tumbuh dan meningkatkan hubungan-hubungan antar pribadi para anggotanya, dan (3) fungsi-fungsi individu (individual functions) yakni perilaku yang memuaskan kebutuhan-kebutuhan individu dan yang disfungsional atau inkonsekuensial terhadap tugas dan pemeliharaan organisasi. Pembagian peranan menurut Brown dan Harvey (2006) merupakan hal yang sangat penting dalam pengembangan tim (team development) dan agar tepat dalam pembagian peranan maka diperlukan teknik analisis peranan (role analysis technique atau RAT). RAT digunakan untuk mengklarifikasi ketidaksesuaian peranan (role discrepancies), harapan peranan (role expectations) dan konsepsi peranan (role conception). Diskrepansi peranan timbul antara apa yang diharapkan dari seorang anggota tim dengan perilaku yang sebenarnya ia lakukan. Ekspektasi peranan adalah perilaku yang diharapkan atau diprakirakan oleh para anggota tim lainnya dari seorang anggota tim, sedangkan konsepsi peranan adalah gagasan seseorang mengenai perilaku peranan yang tepat. Setiap anggota tim seharusnya benar-benar memahami peranannya sendiri serta peranan anggota-anggota lainnya. Kondisi yang ada adalah seperti yang disebut oleh Brown dan Harvey (2006) sebagai role ambiguity di mana anggota tim kurang paham terhadap peranan yang diharapkan dari anggota lain dengan istilah, dan role conflict di mana terdapat suatu ketidaksesuaian antara ekspektasi peranan dengan konsepsi peranan.
2.2.3. Hubungan Antar Organisasi
Pengelolaan pengendalian kebakaran hutan/lahan di Indonesia pada saat ini dan ke depan tampaknya tetap akan melibatkan banyak organisasi. Pelibatan banyak organisasi selain memerlukan pemahaman mengenai organisasi secara
30 individual dan pengorganisasian sebagai bagian dari fungsi manajemen di dalam suatu organisasi, juga memerlukan pemahaman mengenai hubungan antar organisasi-organisasi yang terlibat. Mulford dan Klonglan (1982) menegaskan bahwa organisasi tunggal yang bekerja sendirian tidak dapat mengatasi permasalahan masa kini yang kompleks, sekalipun ia memiliki sumberdaya yang mencukupi. Simbol-simbol organisasi masa kini dan masa depan telah bergeser ke arah jejaring kerja atau networks (Ulrich 1997). Pergeseran citra organisasi bukan pada morfologi dan strukturnya tetapi lebih pada konsep kemampuannya (concept of capabilities). Ulrich menguraikan lebih lanjut bahwa kemampuan atau kapabilitas organisasi ditunjukkan oleh sumber daya berupa ketrampilan, kepandaian dan keahlian di dalam suatu organisasi. Kapabilitas organisasi merupakan kumpulan dari kompetensi-kompetensi indinvidu yang berubah menjadi kompetensi organisasi. Organisasi masa depan harus membangun pola pikir untuk mampu dan mau berbagai (share mindset), belajar untuk menangkap modal intelektual anggotanya, menghilangkan batas-batas yang mengungkung organisasi, menciptakan kapasitas untuk perubahan, dan menciptakan kemampuan belajar cepat (rapid learning capability) di mana gagasan-gagasan baru terus diciptakan dan segera disosialisasikan kepada seluruh bagian dari organisasi. Setiap organisasi mungkin memiliki hanya sedikit kemampuan, oleh sebab itu pelibatan berbagai organisasi akan lebih menguntungkan. Hubungan
antar
organisasi
dapat
mengambil
bentuk
cooperation,
collaboration dan coordination. Di berbagai literatur istilah-istilah tersebut sering saling dipertukarkan. Ketiganya seringkali diartikan sama dan merupakan lawan dari competition. Mooi (2007), Faerman, McCaffrey dan Van Slyke (2001), dan Mulfrod dan Klonglan (1982) menempatkan kolaborasi dan koordinasi sebagai bentuk cooperation dan lawan dari kompetisi dan konflik. Mooi (2007) membatasi pengertian cooperation, dan konflik, dalam konteks pemasaran barang dan jasa sebagai bentuk hubungan satu lawan satu yakni penjual dan pembeli (buyer-seller relationship). Jika hubungan tersebut sudah melibatkan tiga atau lebih pihak maka dikatakan sebagai jaringan (network).
31 Pembentukan jaringan antar-organisasi (interorganizational networks) menurut Wehmeyer et al. (2001) diarahkan oleh beberapa tujuan yang secara partial saling tumpang tindih, yaitu (1) pengurangan risiko, (2) ekonomis dari skala dan/atau cakupan, (3) pertukaran teknologi, (4) penanganan atau pembatasan persaingan, (5) penanganan kendala-kendala investasi atau perdagangan yang dimandatkan oleh pemerintah, (6) fasilitasi ekspansi internasional dan pembukaan pasar-pasar (global) baru, (7) pengaitan kontribusi-kontribusi komplementer dari rekan-rekan dalam suatu sistem nilai (integrasi semu vertikal), dan (8) pencapaian efek-efek sinergi. Wehmeyer et al. (2001) menggunakan organisasi virtual sebagai contoh jaringan antar organisasi. Jaringan antar organisasi sangat ditentukan oleh koordinasi dan dalam koordinasi tersebut terdapat peranan-peranan (roles) yang harus dimainkan oleh masing-masing organisasi yang terlibat. Goransson dan Schuh sebagaimana dikutip Wehmeyer et al. (2001) mengidentifikasi lima peranan koordinasi (coordination roles). yaitu: (1) network coach, yang bertanggung jawab atas pengelolaan gerbang (entry management), pengembangan infrastruktur dan pemantapan hubungan antara rekan-rekan, (2) broker, yang menangani manajemen hubungan pelanggan dan tugas-tugas pasar lainnya, (3) task manager, yang mengonfigurasi rantai nilai tertentu (specific value chain), (4) project manager, yang bertanggung jawab atas transaksi pesanan, manajemen proses, dan perencanaan, dan (5) auditor, yang menangani aspek-aspek kompetisi, terutama manajemen konflik. Pendekatan lain oleh Hess dan Schumann seperti dikutip juga oleh Wehmeyer (2001) menyatakan hanya ada dua peranan koordinasi yaitu (1) network coordinator yang menangani jaringan, dan (2) order coordinator yang menangani jaringan pesanan dan pemrosesan pesanan serta manajemen proyek. Koordinasi dan ketergantungan merupakan konsep kunci kerja sama (cooperation). Menurut Malone et al. (1999), koordinasi adalah mengelola ketergantungan di antara kegiatan-kegiatan (managing dependencies among activities). Mekanisme koordinasi adalah mekanisme pengelolaan ketergantungan. Malone et al. (1999) menggolongkan ketergantungan atas tiga bentuk dasar yaitu aliran (flow dependencies), berbagi (sharing dependencies), dan kecocokan (fit dependencies). Flow dependencies muncul ketika satu aktivitas menghasilkan
32 sumberdaya yang akan digunakan oleh aktivitas lain. Sharing dependencies terjadi ketika berbagai aktivitas menggunakan sumberdaya yang sama, dan fit dependencies terjadi ketika berbagai aktivitas menghasilkan suatu sumberdaya tunggal. Rancangan organisasi (organizational design) lanjut Malone et al. (1999), dilakukan dengan mengelola ketergantungan yang pada dasarnya adalah penetapan tugas atau peranan (task assignment, role assignment). Hal ini menunjukkan bahwa sebuah organisasi, termasuk organisasi pengendalian kebakaran hutan/lahan di Indonesia, harus dirancang berdasarkan tugas-tugas atau peranan-peranan yang akan dilakukan. Koordinasi menurut Bolland dan Wilson (1994) merupakan istilah yang sering digunakan tanpa referensi yang tepat. Para peneliti sering melaporkan tentang kurangnya koordinasi, tetapi penjelasannya tanpa menunjukkan suatu dasar empiris bagi kesimpulannya, ataupun menunjukkan temuan-temuan empiris yang akan diterima sebagai bukti koordinasi. Bolland dan Wilson lebih lanjut mengungkapkan tentang telah adanya pergeseran paradigma koordinasi dari pandangan bahwa koordinasi selalu dikaitkan dengan aturan-aturan, prosedurprosedur organisasi ke arah formulasi yang lebih kompleks di mana koordinasi merupakan sebuah jejaring (network) yang terpadu yang dikenal sebagai integrative coordination. Bentuk lain dari hubungan antar organisasi yaitu kolaborasi. Longoria (2005) menyatakan bahwa membakukan arti dari istilah “kolaborasi” sangat sulit karena tidak adanya keseragaman pemahaman terhadap konsep kolaborasi. Longoria (2005) kemudian menyatakan bahwa pengertian kolaborasi mencakup empat ciri rasional yang dinamis. Pertama, kolaborasi dideskripsikan sebagai suatu hubungan yang terjadi antara dua atau lebih entitas. Kedua, hubungan tersebut dapat membentuk sebuah struktur yang lebih besar yang menghubungkan para pemangku kepentingan (stakeholders) bersama-sama. Ciri ketiga dari kolaborasi adalah adanya kualitas sinerjik dari hubungan tersebut, artinya pencapaian suatu tujuan akan lebih mudah dilakukan oleh hubungan tersebut dibandingkan jika dilakukan oleh masing-masing secara individual. Ciri keempat yaitu hubungan berada dalam suatu struktur terikat (a bounded structure) dengan sistem.
33 Meijers dan Stead (2004) dalam konteks pembahasan tentang kebijakan menawarkan konsep hubungan antar organisasi dalam pembuatan kebijakan yang disebutnya policy integration. Integrasi kebijakan merupakan konsep teoritis (theoretical concept) tentang manajemen isu-isu dalam pembuatan keputusan yang melintasi batas-batas bidang kebijakan dan yang tidak mengacu pada tanggung jawab kelembagaan dari departemen-departemen individual. Integrasi kebijakan tidak hanya berbicara tentang manajemen tanggung jawab kebijakan di dalam sebuah organisasi atau sektor, melainkan juga tentang integrasi sektor horizontal (antara departemen-departemen dalam otoritas publik) dan integrasi vertikal antar pemerintahan dalam pembuatan kebijakan. Persyaratan pokok bagi suatu kebijakan dikatakan sebagai ‘integrated” adalah ‘comprehensiveness’ atau ‘kemenyeluruhan’ yakni perhatian terhadap suatu lingkup yang lebih luas dari konsekuensi kebijakan dalam hal waktu, ruang, aktor, dan isu; agregasi yakni suatu bentang minimal sejauh mana alternatif-alternatif kebijakan dievaluasi dari suatu perspektif ‘keseluruhan’; dan konsistensi yakni sejauh mana suatu kebijakan merasuki (penetrate) semua level kebijakan dan semua instansi pemerintahan. Penjelasan tersebut dapat memberikan pandangan bahwa hubungan antar organisasi dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan di Indonesia lebih dekat kepada bentuk hubungan koordinasi, dan koordinasi yang tampaknya sesuai untuk dibangun adalah koordinasi integratif. Kebenaran premis tersebut dapat dianalisis menggunakan prosedur analisis yang digunakan Bolland dan Wilson (1994) dan Malone et al. (1999). Prosedur yang digunakan Bolland dan Wilson (1994) untuk menganalisis hubungan antar-organisasi dalam bidang kesehatan dan layanan lanjut usia atau lansia (health and elderly services) tampaknya dapat juga diaplikasikan untuk menganalisis hubungan antar organisasi dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan. Seperti halnya konsep yang dikembangkan Bolland dan Wilson untuk layanan kesehatan dan lansia tersebut, pengendalian kebakaran hutan/lahan juga melibatkan banyak organisasi, dan hubungan antar organisasi yang terjadi tampaknya adalah juga hubungan koordinasi. Oleh sebab itu, prosedur analisisnya serupa. Bolland dan Wilson (1994) di dalam analisisnya mengidentifikasi bahwa hubungan antar organisasi mencakup tiga fungsi umum yang khas bagi layanan
34 kesehatan dan lansia yaitu: service delivery, administration, dan planning. Ketiganya tidak hanya berlaku pada organisasi-organisasi seperti tersebut di atas, melainkan dapat pula terjadi pada organisasi-organisasi lain. Ketiga fungsi tersebut menurut Bolland dan Wilson dapat disejajarkan dengan tiga fungsi dalam model proses kebijakan yakni planning sebagai agenda setting, administration sebagai enactment, dan service delivery sebagai implementation. Penyejajaran ketiga fungsi tersebut dengan tiga fungsi pengendalian kebakaran yaitu pencegahan, pemadaman, dan pasca-kebakaran tampaknya tidak tepat. Ketiga fungsi yang digunakan Bolland dan Wilson (1994) tampaknya lebih tepat untuk diadopsi apa adanya. Service delivery dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan menggambarkan jenis-jenis layanan yang dapat diberikan atau dilakukan
oleh
organisasi.
Administration
menggambarkan
sumberdaya-
sumberdaya administrasi yang dapat diberikan oleh organisasi, sedangkan planning menggambarkan keterlibatan organisasi dalam proses perencanaan pengendalian kebakaran hutan.
2.2.4. Pengembangan Organisasi dan Efektivitas Organisasi
Pengembangan organisasi (organizational development/OD) adalah upaya dan program jangka panjang yang dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan organisasi dalam bertahan hidup melalui pengubahan proses-proses penyelesaian masalah dan pembaruan (Brown & Harvey 2006). OD merupakan proses di mana organisasi mengembangkan kapasitas internalnya untuk menjadi paling efektif dalam mencapai misinya dan untuk bertahan hidup dalam jangka panjang (Philbin & Mikush 2008). Organisasi harus efektif agar dapat bertahan hidup dan berkembang. Berbagai studi tentang efektivitas organisasi mengangkat empat isu penting yaitu isu mengenai efektivitas atau kinerja, level analisis, pengukuran persepsi dan kriteria pengukuran (Young Lee & Whitford 2008). Isu pertama membedakan efektivitas dari kinerja.Wikipedia 2 mengartikan efektivitas sebagai melakukan 2
http://en.wikipedia.org/wiki/Effectiveness
35 hal-hal yang benar (doing “right” things), misalnya menetapkan target yang benar untuk mencapai keseluruhan tujuan, sedangkan efisiensi dikatakan sebagai melakukan hal-hal dengan benar (doing things “right”), misalnya dengan cara yang terbaik dan paling ekonomis. Kinerja (performance), di sisi lain, dalam konteks pengembangan organisasi (organizational development) dinyatakan sebagai seberapa besar hasil yang dicapai dibandingkan dengan hasil yang diinginkan (actual results vs desired results). Level analisis dilihat dari dua dimensi yaitu locus of analysis dan focus of analysis. Lokus yang dimaksud adalah tempat di mana efektivitas diukur, sedangkan fokus adalah subyek yang diukur efektivitasnya, misalnya, individu pegawai, sub unit organisasi, organisasi tunggal, beberapa organisasi, dan levellevel pemerintahan. Pengukuran persepsi mencakup ukuran obyektif dan ukuran subyektif. Ukuran obyektif biasanya dibangun dari catatan-catatan dan arsip-arsip, sedangkan ukuran subyektif dibangun dari respon survei yang diperoleh dari para anggota organisasi ataupun dari luar organisasi. Young Lee dan Whitford (2008) menjelaskan bahwa telah banyak penelitian mengenai kriteria bagi kinerja, tetapi sedikit sekali penelitian mengenai kriteria pengukuran efektivitas, apalagi bagi efektivitas organisasi pemerintah. Penelitian yang dilakukan Young Lee dan Whitford tersebut adalah dalam konteks perbandingan efektivitas pemerintah dari berbagai negara. Substansi dari empat isu yang digunakan tersebut dalam banyak hal tampaknya tidak dapat diterapkan untuk penelitian tentang efektivitas organisasi pemerintah di satu negara seperti yang akan penulis lakukan, tetapi beberapa hal, termasuk gagasan mengenai empat isu tersebut, dapat diadopsi dalam penelitian ini. Muhammad (2004) dan Kasim (1993) menyatakan bahwa organisasi yang efektif adalah organisasi yang mengidentifikasi dan mengembangkan suatu pengertian yang jelas dan tegas nilai-nilai/kepercayaan, prioritas, dan arahan sedemikian rupa sehingga setiap orang paham dan dapat berkontribusi. Penilaian terhadap efektivitas organisasi dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Kasim (1993) menilai organisasi dengan menggunakan empat model sebagai landasannya yaitu: model tujuan rasional (rational goal model), model hubungan
36 manusia (human relation model), model sistem terbuka (open system model), dan model proses internal (internal process model). Pengukuran efektivitas organisasi memang tidak mudah dan butuh klarifikasi tentang efektivitas yang diacu yakni efektif dalam hal apanya, apakah dalam hal pencapaian pendapatan tahunan, kemampuan bekerja sama dengan yang lain dan sebagainya. Majalah Fortune (Kreitner dan Kinicki 1992) dalam survei tahunan untuk Most Admired Corporation menerapkan 8 kriteria efektivitas, yaitu kualitas manajemen, kualitas produk/jasa, keinovativan (innovativeness), nilai investasi jangka panjang, kondisi finansial, kemampuan untuk menarik minat, mengembangkan dan mempertahankan orang-orang berbakat, tanggung jawab kepada masyarakat/lingkungan, dan penggunaan asetaset perusahaan. Kreitner dan Kinicki (1992) memberikan panduan berupa empat pendekatan untuk mengukur efektivitas organisasi yang meliputi (1) pencapaian tujuan, yakni seberapa besar organisasi mencapai tujuan-tujuan yang telah dinyatakan sebelumnya, (2) akuisisi sumberdaya, yakni seberapa besar organisasi mampu menarik atau mendapatkan faktor-faktor produksi atau sumber daya yang diperlukan, (3) proses internal atau disebut pendekatan sistem-sistem yang sehat (healthy systems), di mana sebuah organisasi dinyatakan sehat jika informasi mengalir dengan baik, pegawainya loyal, terdapat komitmen, kepuasan kerja dan kepercayaan,
atau
dengan
perkataan
lain,
organisasi
memiliki
konflik
disfungsional dan manufer politik merusak yang kecil, dan (4) kepuasan para pengikut strategis (strategic constituencies), yaitu organisasi dapat memberikan kepuasan setidak-tidaknya pada level terendah kepada mereka yang terlibat di dalam organisasi, seperti misalnya para penyedia kebutuhan organisasi dan para pemakai produk/jasa organisasi. Tanpa arahan yang lebih rinci pada masingmasing pendekatan tersebut membuatnya tidak mudah untuk menerapkannya. Pengukuran efektivitas organisasi yang tampaknya cukup baik untuk diterapkan pada organisasi pemerintah adalah yang diajukan oleh Philbin dan Mikush (2008). Mereka menekankan pentingnya visi, nilai dan misi yang dikatakan sebagai jantungnya sebuah organisasi (the heart of an organization). Efektivitas sebuah organisasi bergantung pada suatu pemahaman dan komitmen
37 bersama terhadap visi, nilai-nilai dan misi. Inilah komponen inti dari efektivitas organisasi.
Komponen-komponen
lainnya
adalah:
Governance
(tata
pemerintahan), Strategic Thinking and Planning (pemikiran dan perencanaan strategis), Program Development and Implementation (pengembangan dan pelaksanaan program), Evaluation, Learning and Accountability (evaluasi, pembelajaran dan akuntabilitas), Human Resource Management (manajemen sumberdaya manusia), Organizational Culture (budaya organisasi), Management Systems and Structures (sistem dan struktur manajemen), Legal Compliance, Fiscal Management and Public Accountability (kepatuhan terhadap hukum, manajemen
fiskal
dan
akuntabilitas
publik),
Resource
Development
(pengembangan sumberdaya), Constituent Relationships (hubungan konstituen), dan Collaboration (kolaborasi). Penilaian efektivitas organisasi berarti penilaian terhadap komponenkomponen tersebut, dan hal tersebut sangat sulit dilakukan. Philbin dan Mikush (2008) menyarankan bahwa dalam berbagai keterbatasan yang ada, penilaian dapat dilakukan terhadap beberapa komponen saja. Hal yang terpenting adalah komponen intinya yaitu visi, nilai-nilai dan misi. Organisasi akan efektif dan sehat jika orang-orang di dalam organisasi memahami dan memegang teguh nilai-nilai, visi dan misi organisasi tersebut. Komponen lain yang juga sangat penting menurut Philbin dan Mikush (2008) adalah manajemen sumber daya manusia (SDM). Organisasi yang efektif mengembangkan para staf, pimpinan dan relawan yang memegang teguh dan mendukung nilai-nilai, visi dan misi organisasi. Organisasi yang efektif mengembangkan sistem dan struktur bagi tata pemerintahan, SDM, manajemen dan teknologi informasi, komunikasi, finansial, pelatihan, perencanaan dan evaluasi dan lain-lain. Organisasi yang efektif mempunyai rencana yang jelas tentang pengembangan sumberdaya dan kapasitas SDM
untuk
melaksanakan
rencana
tersebut.
Rencana
menggambarkan
pengembangan sumberdaya pada jangka pendek (tahunan) dan jangka panjang yang mencakup rencana pengadaan, penganggaran, staf yang terampil, dan sistem pencatatan, komunikasi, evaluasi dan pelaporan yang efektif. Aspek lain dari efektivitas organisasi yaitu kolaborasi dengan organisasi-organisasi lain.
38 Organisasi yang efektif ditunjukkan oleh terbangunnya jaringan kerja kolaboratif secara lokal, provinsi, nasional dan internasional. Organisasi di masa depan tidak lagi menjadi entitas yang berdiri sendiri yang beroperasi pada lingkungan yang relatif stabil, melainkan merupakan bagian dari suatu sistem keterkaitan dan saling berhubungan yang berada pada suatu keadaan yang terus dinamis. Oleh karena itu, organisasi masa kini dan masa depan harus sehat (Beckhard 1997). Ia menyarankan 15 kriteria tentang organisasi yang sehat, di antaranya yaitu organisasi tersebut mendefinisikan diri sebagai sebuah sistem, beroperasi dalam suatu mode “bentuk mengikuti fungsi” yang berarti pekerjaan yang akan dilakukan menentukan struktur dan mekanisme untuk mengerjakan pekerjaan tersebut, dan secara eksplisit menghargai inovasi dan kreativitas serta memiliki toleransi tinggi terhadap perbedaan gaya berpikir. Berdasarkan beberapa uraian mengenai efektivitas organisasi di atas, terutama komponen-komponen yang dikemukakan Philbin dan Mikush (2008) dan standar good governance dari OPM & CIPFA (2004) dirangkum beberapa kriteria bagi efektivitas organisasi pengendalian kebakaran hutan/lahan yang dapat digunakan dalam penelitian ini. Kriteria yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Memiliki visi dan misi yang dinyatakan dengan jelas yang mencakup pandangannya tentang terkendalinya kebakaran hutan/lahan di masa depan; 2. Memiliki
struktur
pengendalian
organisasi
kebakaran
yang
hutan/lahan
menggambarkan yang
mencakup
fungsi-fungsi pencegahan,
pemadaman, dan penanganan pasca kebakaran serta dukungan manajemennya; 3. Memiliki sumber daya manusia yang memadai dalam kuantitas dan kualifikasi untuk menjalankan fungsi-fungsi manajemen pengendalian kebakaran hutan/lahan serta sistem pengembangan sumber daya manusia yang selalu mendorong motivasi untuk bekerja lebih baik; 4. Memiliki sarana dan prasarana dalam jenis dan jumlah yang memadai untuk menjalankan fungsi-fungsi manajemen pengendalian kebakaran; 5. Memiliki mekanisme kerja organisasi, baik mekanisme kerja internal maupun eksternal, terutama dalam pembuatan kebijakan dan keputusan-keputusan organisasi.
39 Kriteria tersebut di atas digunakan untuk menilai efektivitas organisasi secara internal. Jika organisasi yang diamati telah memenuhi kriteria tersebut di atas, maka organisasi tersebut dapat dikatakan efektif secara internal. Hal ini bermakna bahwa organisasi tersebut sebenarnya telah memiliki sumber daya yang memadai untuk dapat mencapai tujuannya. Seandainya organisasi ternyata belum dapat mencapai tujuannya, terdapat kemungkinan adanya faktor-faktor dari luar organisasi yang mempengaruhi keberhasilan organisasi tersebut. Penelitian ini akan mengkaji kriteria internal tersebut, sedangkan faktor-faktor eksternal dikaji tersendiri, namun di dalam penelitian ini faktor-faktor tersebut turut dilihat melalui pengamatan terhadap peranan yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan dan mekanisme hubungan kerja eksternal. Pengukuran kelima kriteria tersebut di atas sesuai dengan petunjuk dari Young Lee dan Whitford (2008) dilakukan secara obyektif dari profil organisasi dan catatan-catatan serta arsip-arsip yang ada dan secara subyektif dari respon survei yang diperoleh dari para anggota organisasi ataupun dari luar organisasi.
2.3. Pengorganisasian Pengendalian Kebakaran Hutan/Lahan di Indonesia dan Beberapa Negara
Kebakaran hutan/lahan di Indonesia menurut sejarah telah dikelola sejak masa sebelum kemerdekaan. Direktorat Perlindungan Hutan dan Kebun (2003) mencatat bahwa berbagai peraturan mengenai siaga di musim kemarau dan penggunaan api telah diterbitkan di masa pemerintah kolonial Belanda tahun 1927 dan di awal kemerdekaan. Pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan kemudian mulai dibangun sejak berdirinya Departemen Kehutanan pada tahun 1983 dengan adanya Seksi Kebakaran Hutan (eselon IV) pada Direktorat Perlindungan Hutan. Peningkatan level organisasi terjadi pada tahun 1994 dengan dibentuknya Sub Direktorat Kebakaran Hutan (eselon III) di bawah Departemen Kehutanan dan tahun 2000 dengan dibentuknya Direktorat Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Kebun di Departemen Kehutanan dan Direktorat Pengendalian Kebakaran di Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH). Pada tahun 2002 organisasi yang berada di bawah
40 KLH dihapus dan organisasi yaang berada di Departemen Kehutanan diubah namanya menjadi Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan (Dit. PKH). Kebakaran hutan/lahan di Indonesia secara nasional dikelola oleh beberapa instansi atau organisasi menurut status kawasannya. Kebakaran di kawasan hutan dikelola oleh Departemen Kehutanan yakni secara struktural oleh Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dan sebagai pelaksana di lapangan dibentuk lembaga tersendiri menurut Pasal 22 PP No. 45 Tahun 2004 yaitu Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan Manggala Agni. Brigade tersebut dibentuk tahun 2002 sebelum terbitnya PP No. 45 Tahun 2004 dengan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (DJ-PHKA) No. 21/Kpts/DJIV/2002. Keputusan DJ-PHKA tersebut sampai saat ini belum diubah untuk menyesuaikan dengan PP No. 45 tersebut. Brigade tersebut lebih ditujukan untuk pengendalian kebakaran di kawasan konservasi, sedangkan untuk pengendalian kebakaran di kawasan hutan yang lain diserahkan kepada pemangku kawasan sesuai dengan kebijakan otonomi daerah. Selain itu, Pasal 24 PP No. 45 Tahun 2004 tersebut juga memerintahkan pembentukan Pusat Pengendalian Operasi Kebakaran Hutan untuk koordinasi dan mobilisasi. Departemen Kehutanan pada Februari 2008 membentuk satu organisasi baru lagi yaitu Tim Koordinasi Pengendalian Kebakaran Hutan/Lahan. Kebakaran di lahan pertanian dan perkebunan dikelola oleh Departemen Pertanian, tetapi tidak ada lembaga yang secara eksplisit menangani kebakaran lahan pertanian dan perkebunan. Kebakaran perkebunan ditangani sebagai bagian dari tugas dan fungsi pada tingkat eselon terendah (eselon IV) yakni Seksi Penanggulangan Gangguan Usaha. Kebakaran di lahan untuk fungsi-fungsi lainnya yang dikelola oleh pengelola lahan yang bersangkutan. Pembagian
kewenangan
pengelolaan
kebakaran
menurut
skala
kebakarannya berdasarkan pada PP No. 4 Tahun 2001 dan PP No. 45 Tahun 2004. Pemangku kawasan bertanggung jawab atas pengelolaan kebakaran di unit kawasan pengelolaannya, sedangkan pada tingkat kabupaten oleh bupati dan pada tingkat provinsi oleh gubernur. Jika skala kebakaran atau dampaknya terjadi lintas provinsi dan lintas batas negara, maka kewenangan menurut kedua PP tersebut ada pada Menteri Kehutanan. Sementara itu, UU No 24 Tahun 2007 memasukkan
41 kebakaran sebagai salah satu jenis bencana sehingga penanganannya dilakukan oleh lembaga baru yang diamanatkan oleh UU tersebut yaitu Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di tingkat nasional dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota. Organisasi-organisasi
tersebut
di atas
merupakan
organisasi
yang
menangani langsung kebakaran hutan/lahan. Organisasi-organisasi lain baik di pemerintahan nasional maupun pemerintahan daerah terlibat dalam penanganan urusan-urusan sesuai dengan bidang tugas pokok organisasi-organisasi tersebut. Sebagai contoh, urusan dampak kebakaran terhadap kesehatan ditangani Departemen Kesehatan di tingkat nasional dan Dinas Kesehatan di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten. Pengendalian kebakaran hutan/lahan di Indonesia biasanya mengacu pada beberapa negara yang dianggap telah memiliki pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan yang maju antara lain adalah Amerika Serikat, Kanada, Australia dan Thailand. Negara-negara tersebut mengalami kebakaran hutan/lahan yang luas dan terjadi hampir setiap tahun. Manajemen dan organisasi pengendalian kebakaran yang telah berkembang membuat negara-negara tersebut terlepas dari komplain dan mendapat permaafan (excuse) dari negara-negara lain terutama negara tetangganya dan masyarakat dunia pada umumnya jika mereka mengalami kebakaran hutan/lahan. Indonesia masih selalu mendapat komplain, bahkan kecaman dari negara-negara tetangga dan masyarakat internasional jika mengalami kebakaran hutan/lahan. Hal tersebut mungkin disebabkan antara lain oleh anggapan bahwa Indonesia masih belum mampu mengendalikan kebakaran hutan/lahannya (Qadri 2001; Barber dan Schweithelm 2000). Amerika Serikat (AS) dan Kanada menerapkan sistem pengorganisasian multi-lembaga. Di Amerika Serikat lembaga tersebut dinamakan National Interagency Fire Center/NIFC (Anonim 2008a). NIFC terdiri dari lembagalembaga pemerintah federal yang terkait dengan pengelolaan hutan atau lahan. Misi utamanya adalah menjadi pusat dukungan negara bagi pengendalian kebakaran hutan/lahan. Lembaga ini dipimpin oleh direktur yang diangkat dari pegawai yang ditunjuk dari lembaga-lembaga tersebut secara bergilir. Masingmasing lembaga yang memangku kawasan bertanggung jawab atas kebakaran di
42 kawasannya. Jika lembaga tersebut suatu waktu tidak mampu mengendalikan kebakaran di kawasannya atau kebakaran melanda lintas kawasan, maka ia dapat meminta dukungan kepada NIFC. Hal serupa terjadi di Kanada dengan lembaganya yang dinamakan Canadian Interagency Forest Fire Centre atau CIFFC (Anonim 2008b). Perbedaannya dari NIFC di AS adalah bahwa NIFC merupakan lembaga pemerintah sedangkan CIFFC merupakan sebuah badan usaha (corporation) nirlaba swasta. Lembaga yang dibentuk pada 2 Juni 1982 ini dikelola oleh dua level manajemen yang mengarahkan operasinya, yaitu: (1) The Board of Corporate Trustees yang terdiri dari wakil menteri-menteri (Deputy-Ministers) yang bertanggung jawab atas kehutanan yang mewakili setiap Provinsi, Teritori dan Pemerintah Federal. Kelompok ini menyiapkan kebijakan, memberikan arahan dan persetujuan anggaran tahunan untuk CIFFC, dan (2) The Board of Directors yang terdiri dari para direktur yang bertanggung jawab atas manajemen kebakaran hutan untuk setiap Provinsi, Teritori, dan seorang wakil dari Pemerintah Federal. Kelompok ini menyiapkan anggaran dan kebijakan-kebijakan serta mengendalikan operasi dan pembiayaan CIFFC. Program-program yang telah disetujui oleh Board of Directors dan Board of Corporate Trustees dioperasikan dan dilaksanakan oleh staf pusat kebakaran (Fire Centre staff) dan kelompok-kelompok kerja (working groups) yang dibentuk untuk menangani tugas-tugas khusus. Di samping itu, Pemerintah Kanada membentuk organisasi berupa Dewan Menteri-Menteri Kehutanan (Canadian Council of Forest Ministers/CCFM) pada tahun 1985. Dewan yang beranggotakan para menteri yang menangani kehutanan dari pemerintah provinsi, teritori dan federal (nasional) tersebut menangani isu-isu nasional dan internasional serta menyusun arahan untuk menjaga dan mengelola secara lestari hutan-hutan Kanada. Kepemimpinan organisasi dilakukan bergilir untuk jangka waktu satu tahun mulai Oktober sampai dengan September tahun berikutnya. Dewan Menteri
43 tersebut juga menyusun strategi pengendalian kebakaran hutan nasional (Canadian Wildland Fire Strategy/CWFS). Negara di Asia yang memiliki permasalahan kebakaran hutan/lahan serupa dengan Indonesia dan dipandang cukup maju dalam kelembagaannya adalah Thailand. Thailand tidak memiliki undang-undang yang khusus mengatur kebakaran hutan/lahan, namun beberapa undang-undang yang berkaitan dengan kehutanan berisi bagian-bagian yang mengatur hukuman bagi orang-orang yang melakukan pembakaran hutan (Anonim 2008c). Organisasi yang menangani kegiatan pengendalian kebakaran hutan/lahan adalah Forest Fire Control Division (FFCD) di bawah National Park, Wildlife and Plant Conservation Department. FFCD di tingkat nasional dibagi menjadi 5 subdivisi, yaitu Strategy and Planning, Information and Research, Training and Development, Special Operation, dan Foreign Collaboration, di mana masing-masing subdivisi bekerja sesuai dengan fungsinya yang tergambarkan oleh namanya. Operasional pemadaman berada di bawah tanggung jawab dua subdivisi yaitu Special Operation, yang bertanggung jawab atas pembentukan pos komando, melaksanakan rencana mobilisasi dan operasi penyelamatan, dan Foreign Collaboration yang bertindak sebagai Pusat Pemantauan Kebakaran Nasional dan badan yang ditunjuk untuk kerja sama lintas negara, terutama dalam di bawah Protokol ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution.
2.4. Perangkat Analisis
Penelitian ini mengkaji pengorganisasian dengan menganalisis tiga masalah yaitu peranan organisasi, hubungan antar organisasi, dan efektivitas organisasi. Analisis tersebut dilakukan dengan menggunakan perangkat yaitu Interpretive Structural Modeling (ISM), coordination network analysis dari Bolland dan Wilson (1994) dan Analytical Hierarchy Process (AHP). Organisasi dan pengorganisasian juga merupakan suatu sistem dan oleh sebab itu diperlukan juga pemahaman mengenai sistem.
2.4.1. Interpretive Structural Modeling
44
Interpretive Structural Modeling (ISM) merupakan sebuah metode yang dapat diterapkan terhadap suatu sistem, misalnya suatu jejaring (network) atau masyarakat (society) untuk lebih memahami hubungan-hubungan baik langsung maupun tak langsung di antara komponen-komponen sistem tersebut. ISM ditemukan oleh J. Warfield pada tahun 1973 untuk menganalisis sistem-sistem sosial-ekonomi yang kompleks (Malone 1975). Eriyatno (2003) menyatakan bahwa teknik ISM merupakan alat strukturisasi (structuring tool) untuk hubungan langsung dengan permodelan deskriptif. ISM adalah proses yang mentransformasikan model mental yang tidak terang dan lemah penjelasannya menjadi model sistem yang tampak (visible) serta didefinisikan secara jelas dan bermanfaat untuk beragam tujuan (Eriyatno 2003). Karyana (2007) menggunakan teknik ISM untuk menganalisis posisi dan peranan lembaga-lembaga yang terlibat dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai Ciliwung. Teknik yang serupa tampaknya dapat pula digunakan untuk menganalisis posisi dan peranan organisasi-organisasi yang terlibat dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan. Langkah-langkah dalam teknik ISM dapat bermacam-macam sesuai dengan kebutuhan analisisnya, namun pada dasarnya dibagi menjadi dua bagian yaitu penyusunan hirarki dan klasifikasi sub-sub elemen.
Adapun langkah-langkah
penerapannya adalah sebagai berikut (Eriyatno 2003; Sing & Kant 2008): (1)
Identifikasi unsur-unsur yang relevan terhadap masalah atau isu. Hal ini dapat dilakukan dengan survei;
(2)
Bangun suatu hubungan kontekstual antara unsur-unsur
dalam bentuk
pasangan-pasangan dari unsur-unsur tersebut yang akan diuji; (3)
Buatlah sebuah matrik SSIM (structural self-interaction matrix) dari unsurunsur yang menunjukkan hubungan berpasangan antara unsur-unsur dalam sistem tersebut;
(4)
Buatlah sebuah matrik ketercapaian (reachability matrix) dari SSIM tadi , dan cek transivitas matriks tersebut – transivitas dari hubungan kontekstual tersebut menjadi asumsi dasar dalam ISM yang menyatakan bahwa jika A berkaitan dengan B dan B berkaitan dengan C, maka A berkaitan dengan C;
45 (5)
Sekat-sekatlah reachability matrix menjadi beberapa level;
(6)
Berdasarkan hubungan-hubungan yang ada dalam reachability matrix tersebut di atas, gambarlah directed graph (digraph) dan hapuslah sambungan-sambungan transitifnya;
(7)
Konversi resultant digraph ke dalam sebuah model berbasis ISM dengan mengganti node-node unsur dengan pernyataan-pernyataan; dan
(8)
Telaah model tersebut untuk mengecek inkonsistensi konseptualnya dan membuat modifikasi-modifikasi yang diperlukan. Pelaksanaan langkah-langkah tersebut di atas relatif rumit kalau dikerjakan
secara manual. Untuk itu, teknik ISM menyediakan program komputer untuk membantu proses yang rumit tersebut. Penentuan unsur-unsur dan hubungan antar unsur-unsur tersebut diperoleh melalui survei dan pendapat pakar yang menguasai permasalahan yang dikaji. ISM dapat menggambarkan hubungan-hubungan antar komponen dalam sistem dan komponen-komponen tersebut dapat berupa organisasi. Penelitian ini mengadopsi metode analisis dengan ISM seperti yang digunakan Karyana (2007) dalam menganalisis posisi dan peranan organisasi.
2.4.2. Analytical Hierarchy Process
Analytical Hierarchy Process (AHP) diperkenalkan oleh Saaty pada tahun 1970 sebagai suatu cara baru untuk mengambil keputusan pada lingkungan atau situasi yang kompleks atau tidak terstruktur (Nurani 2002; Saaty 1993). Situasi tersebut terjadi jika data atau informasi statistik dari masalah yang dihadapi sangat terbatas atau tidak ada sama sekali, dan kalaupun ada hanya bersifat kualitatif yang mungkin hanya didasari oleh persepsi, pengalaman, atau intuisi. Situasi demikian tampaknya terjadi dalam organisasi pengendalian kebakaran hutan/lahan di Indonesia di mana data dan informasi tentang organisasi dirasakan masih sangat minim karena kurangnya penelitian dalam masalah tersebut. AHP menurut Saaty (1993) merupakan suatu alat bantu untuk memecahkan persoalan dengan analisis logis eksplisit. Terdapat tiga prinsip pemikiran analitik dalam AHP yaitu (1) prinsip menyusun hirarki, (2) prinsip menetapkan prioritas, dan (3) prinsip konsistensi logis. Dalam penelitian ini, AHP digunakan untuk menentukan urutan tingkat kepentingan dan bobot dari komponen-komponen
46 efektivitas organisasi. Penetapan urutan dan bobot tersebut sangat penting untuk mengukur efektivitas organisasi dan untuk mengetahui faktor-faktor yang berperan bagi efektivitas organisasi pengendalian kebakaran hutan/lahan.
2.5. Sistem dan Model Konseptual
Studi ini mengkaji organisasi dan pengorganisasian sebagai suatu sistem. Winardi (2005) mengarahkan bahwa dalam memahami suatu organisasi, kita perlu memandangnya dalam keseluruhan kompleksitasnya, bukan sekadar melalui sebuah bidang fungsional atau komponen tertentu saja. Pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan merupakan sebuah sistem, yang tercermin dari sifat-sifat dasar sistem yang dapat diterapkan pada pengorganisasian tersebut. Suatu sistem menurut Winardi (2005), yang mengutip teori tentang pemikiran sistemik dari Churchman, memiliki lima sifat dasar. Pertama, suatu sistem memiliki sasaran atau tujuan dan upaya untuk mencapainya. Kedua, sistem memiliki lingkungan yang mencakup segala sesuatu yang terletak di luar pengendalian sistem yang bersangkutan dan segala sesuatu yang mendeterminasi performa sistem tersebut. Ketiga, sistem memerlukan sumber daya, yakni semua alat yang tersedia bagi sistem yang bersangkutan untuk melaksanakan kegiatannya dalam mencapai tujuan. Keempat, sistem mempunyai komponenkomponen, yakni misi, pekerjaan atau aktivitas-aktivitas yang harus dilaksanakan oleh sistem yang bersangkutan guna mencapai sasaran-sasarannya. Komponenkomponen juga bisa dalam bentuk departementasi. Kelima, sistem memerlukan manajemen terutama untuk dua fungsi yaitu perencanaan dan pengawasan. Kajian tentang sistem sebenarnya telah ada sejak dulu, di mana para arsitek Mesir telah menggunakan sistem pengukuran dalam konstruksi piramida, astronom Pholenician memelajari sistem perbintangan, dan ahli filsafat Yunani, Plato, telah memelajari sistem kemasyarakatan (Eriyatno 2003). Namun demikian, era sistem baru berkembang setelah Perang Dunia Kedua di mana suatu pengetahuan sistematik dan multidisiplin berkembang untuk operasi militer dan bisnis. Eriyatno lebih lanjut menegaskan bahwa sistem pada masa kini merupakan ilmu yang dilembagakan di dalam institusi akademis dan merupakan suatu bidang
47 keahlian sehingga muncul para ahli sistem. Perhimpunan atau organisasi para ahli sistem mulai dibentuk sejak tahun 1966 di Amerika Serikat. Sebuah sistem adalah himpunan atau gugus elemen yang saling terkait (Purnomo 2005). Sistem merupakan suatu susunan dari bagian-bagian yang saling berhubungan yang bekerja bersama-sama melalui berbagai cara (Pidwirny 2006). Sistem memiliki suatu struktur yang ditentukan oleh bagian-bagiannya dan proses-prosesnya. Lebih lanjut Pidwirny (2006) menjelaskan bahwa di dalam batas-batas sebuah sistem dapat ditemukan tiga hal: (1) unsur-unsur, yakni berbagai macam bagian untuk membangun sistem, (2) atribut-atribut, yakni karakter dari unsur-unsur yang dapat dikenali dan diukur, seperti misalnya jumlah, ukuran, dan sebagainya, dan (3) hubungan-hubungan, yakni
asosiasi-asosiasi
yang terjadi antara unsur-unsur dengan atribut-atribut, yang didasarkan pada sebab dan akibat. Manetch dan Park dalam Eriyatno (2003) mendefinisikan sistem sebagai suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan. Sistem terdiri atas kelompok-kelompok aktivitas yang berinteraksi dan saling berhubungan. Kelompok-kelompok tersebut dapat merupakan subsistem-subsistem dari sebuah sistem yang besar. Organisasi merupakan sistem sosial yang kompleks dan pengurangan bagian-bagian dari keseluruhan akan mengurangi efektivitas keseluruhan dari organisasi. 3 Smith (2010) juga menyarankan pentingnya memandang organisasi sebagai sebuah sistem, di mana organisasi haruslah dipandang sebagai sebuah kesatuan bukan bagian-bagian. Pemahaman terhadap organisasi dengan cara pandang sistem (system view) akan memberikan pemahaman yang baik mengenai pentingnya hubungan-hubungan antara prosesproses yang terjadi di dalam organisasi, antara para pegawai atau anggota organisasi, dan antara tindakan-tindakan dan hasil-hasilnya. Pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan di Indonesia juga dapat dipandang sebagai “sistem di dalam sistem” sesuai pandangan Winardi (2005). Banyak organisasi terlibat di dalam pengendalian kebakaran di mana 3
http://en.wikipedia.org/wiki/Systems_theory, [2 Agust 2010]
48 pengorganisasiannya merupakan sebuah sistem dan organisasi-organisasi yang terlibat di dalamnya masing-masing juga merupakan suatu sistem. Sebuah sistem adalah sekumpulan bagian-bagian yang saling terhubungkan, bekerja secara independen maupun bersama-sama dalam mencapai tujuan bersama di dalam suatu lingkungan yang kompleks. Penelitian disertasi ini ingin membuat model dari sistem pengorganisasian bagi pengendalian kebakaran hutan/lahan di Indonesia. Model adalah abstraksi dari sebuah sistem (Purnomo 2005). Sistem merupakan sesuatu yang terdapat di dunia nyata, dan model adalah abstraksinya, dan agar
model dapat
menggambarkan kondisi yang senyatanya maka diperlukan perumusan abstraksi yang jelas. Perumusan tersebut memerhatikan prinsip dasar penyusunan sebuah organisasi ataupun sistem pengorganisasian, yang mencakup lima bagian dasar (Winardi 2005) yaitu: (1) inti yang beroperasi (the operating core) yakni mereka yang melaksanakan pekerjaan dasar, (2) puncak strategi (the strategic apex) yakni para manajer puncak yang diberi tanggung jawab menyeluruh sehubungan dengan beroperasinya organisasi yang bersangkutan, (3) garis tengah (the middle line) yakni para manajer yang menghubungkan ‘inti yang beroperasi’ dengan ‘puncak strategis’, (4) teknostruktur (the technostructure) yaitu para ahli analisis yang bertanggung jawab untuk menciptakan bentuk standarisasi tertentu di dalam organisasi yang bersangkutan, dan (5) staf yang memberikan bantuan (the supporting staff) yaitu para karyawan yang berada pada kesatuan staf, yang memberikan bantuan tidak langsung bagi organisasi yang bersangkutan.