II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEH HIJAU A.1. Botani dan Klasifikasi Teh Teh merupakan minuman kesehatan yang telah dikenal sejak sekitar 5000 tahun yang lalu di negeri Cina. Secara umum tanaman teh terdiri dari dua varietas besar yaitu varietas Sinensis yang berasal dari Cina dan varietas Assamica yang berasal dari India. Camellia sinensis varietas Assamica daunnya agak besar dengan ujung runcing, sedangkan Camellia sinensis varietas Sinensis daunnya lebih kecil dan ujungnya agak tumpul. (IPGRI, 1997).Teh varietas Assamica inilah yang dibawa ke Indonesia. Teh ini dikenal sebagai teh Jawa (Adisewodjo, 1982). Teh varietas Assamica memiliki kelebihan dari jumlah katekin yang lebih banyak dibandingkan teh varietas Sinensis (Hartoyo, 2003). Penampakan tanaman teh dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Tanaman teh (Yadi, 2009) Tanaman teh tumbuh dengan baik pada kondisi beriklim hangat dan lembab dengan curah hujan yang cukup tinggi dan juga terdapat banyak paparan sinar matahari, tanah berasam rendah serta drainasi tanah yang baik (Wan et al. di dalam Ho et al. 2009).Dalam istilah kekerabatan dunia tumbuh-tumbuhan, Tuminah (2004) menyebutkan bahwa teh digolongkan kedalam: Kingdom : Plantae Divisio : Spermatophyta Sub Divisio : Angiospermae Class : Dicotiledoneae Ordo : Guttiferales Famili : Theaceae Genus : Camellia Spesies : Camellia sinensis Secara umum, pengklasifikasian teh didasarkan pada proses pengolahannya terdapat tiga jenis, yaitu teh hitam, teh oolong, dan teh hijau (Shahidi et al., 2009). Teh hitam adalah teh yang mengalami proses fermentasi total, yakni dibuat dengan cara memanfaatkan terjadinya oksidasi enzimatis terhadap kandungan katekin teh. Teh oolong adalah teh yang proses pengolahannya disebut semi-fermentasi. Teh jenis ini dihasilkan melalui proses pemanasan yang dilakukan segera setelah proses penggulungan daun guna menghentikan proses fermentasi. Sementara teh hijau adalah teh yang tidak mengalami proses fermentasi (Setyamidjaja, 2000). Teh hijau adalah jenis teh yang dibuat dengan cara menginaktivasi enzim oksidase dan fenolase yang ada dalam pucuk daun teh segar (Hartoyo, 2003). Proses pengolahan teh hijau melalui
3
beberapa tahapan yaitu pemanasan, penggulungan, pengeringan. Menurut Hartoyo (2003) proses pemanasan ini bertujuan untuk menginaktifkan enzim katekol oksidase. Dengan inaktifnya enzim tersebut maka tanin yang terdapat dalam daun teh akan tetap utuh dan tersimpan dalam jaringan tanaman sehingga dengan demikian kadar tanin dalam teh hijau akan tetap tinggi. Pemanasan diartikan sebagai pelayuan daun dengan cara penguapan maupun penyangraian. Pelayuan dapat dilakukan dengan cara daun teh yang baru dipetik, ditebarkan untuk dikurangi kadar airnya hingga menjadi layu. Daun yang telah layu digoreng di atas wajan pada suhu 90˚C selama 8-10 menit, kemudian didinginkan dan harus segera digulung. Penggulungan pada teh hijau bertujuan untuk membentuk mutu secara fisik, karena selama penggulungan pucuk teh akan dibentuk menjadi gulungan kecil dan terjadi pemotongan. Penggulungan dilakukan di atas serumbu bambu yang bawahnya telah diletakkan arang yang membara. Selama proses penggulungan, pememaran daun dan pemerasan cairan sel yang terjadi harus berlangsung secara maksimal dan menempel pada permukaan daun. Tahap selanjutnya adalah pengeringan yang dilakukan menggunakan mesin pengering yang mempunyai suhu masuk 80-100˚C dan suhu keluar 55-60˚C selama 6-10 menit. Proses ini bertujuan mengurangi kadar air, memekatkan cairan sel daun, mengkilatkan kenampakan dan aroma, memperbaiki bentuk gulungan (Adisewodjo, 1982). Kadar air akhir yang diharapkan pada teh hijau adalah sekitar 5-8 % basis basah (Muchidin, 1994). Komposisi kimia yang terkandung dalam daun teh dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Kimia Daun Teh Komponen kimia
Daun segar (%)
Selulosa dan serat kasar 34 Protein 17 Klorofil dan pigmen 1.5 Pati 8.5 4 Kafein Tanin 25 Asam amino 8 Mineral 4 Abu 5.5 (Nasution dan Tjiptadi, 1975) Dasar yang digunakan untuk menentukan mutu teh hijau adalah sifat luar dan sifat dalam dari teh hijau. Sifat Luar dari teh hijau terdiri dari warna teh kering, ukuran, bentuk, dan aroma. Warna teh hijau kering adalah hijau muda dan hijau kehitam-hitaman dengan ukuran yang homogen dan tidak tercampur remukan. Sementara bentuk dari teh hijau adalah tergulung dan terpilin, dengan aroma wangi dan tidak apek. Sifat Dalam dari teh hijau dapat dilihat berdasarkan seduhan yakni air seduhan jernih dan sedikit berwarna hijau atau kekuning-kuningan. Warna tersebut tidak akan berubah meskipun seduhan menjadi dingin. Rasa khas dari teh hijau adalah sedikit pahit, dan lebih sepat dibandingkan dengan teh hitam (Spillane, 1992). Standardisasi mutu teh hijau berdasarkan SP-60-1977 adalah mutu I (Peko) yaitu bentuk daun tergulung kecil dengan warna hijau sampai kehitaman, aromanya wangi dan tidak apek, tidak ada benda asing (kotoran), tangkai daun maksimum 5%, dan kadar air maksimum 10%. Mutu II (Jikeng), yaitu bentuk daun tidak tergulung melebar, warnanya hijau kekuning-kuningan sampai kehitam-hitaman, aromanya kurang wangi dan tidak apek. Tidak ada benda asing, tangkai daun maksimum 7%, kadar air maksimum 10%. Mutu III (Bubuk) yaitu bentuk daun seperti bubuk dengan potongan-potongan datar, warnanya hijau kehitam-hitaman, aromanya kurang wangi dan
4
tidak apek, tidak ada benda asing, tangkai daun maksimum 0% dan kadar air maksimum 10%. Mutu IV (Tulang) yaitu sebagian besar berupa tulang daun warnanya hijau kehitam-hitaman, aromanya kurang wangi dan tidak apek, tidak ada benda asing, dan kadar air maksimum 10% (Tunggul, 2009).
A.2 Komponen Bioaktif Teh Jenis polifenol dalam tanaman pada umumnya adalah asam fenolat, flavonoid, dan tanin (Astawan, 2008). Ada sekitar 4000 jenis polifenol yang masuk ke dalam grup flavonoid (Seeram dan Nair, 2002). Flavonoid terbagi menjadi enam subkelas, yaitu flavanol, flavon, flavonol, isoflavon, flavanon, dan anthocyanin (Cadensas dan Parker, 2002). Adapun flavonoid pada teh terutama berupa flavanol dan flavonol. Flavonoid yang banyak terdapat di teh adalah katekin. Katekin teh masuk ke dalam kelas flavanol (Hartoyo, 2003). Katekin yang utama dalam teh adalah epicatechin (EC), epicatechin gallate (ECG), epigallocatechin (EGC), dan epigallocatechin gallate (EGCG). Perubahan aktivitas katekin selalu dihubungkan dengan sifat seduhan teh, yaitu rasa, warna dan aroma (Hartoyo, 2003). Katekin mudah mengalami kerusakan yang disebabkan oleh pemaparan oksigen, panas, dan cahaya. Jika katekin teroksidasi, maka EGCG, ECG, EGC, dan GC akan mengalami epimerisasi menjadi gallocatechin gallate (GCG), catechin gallate (CG), gallocatechin (GC), dan catechin (C) (Chen et al., 2001). Jenis flavonoid yang lain adalah flavonol, tetapi jumlahnya lebih sedikit dibandingkan flavanol. Flavonol yang terdapat di dalam teh adalah quercetin, myricetin, dan kaempferol. Berbeda dengan katekin, flavonol tidak dipengaruhi oleh enzim polifenol oksidase (Miean dan Mohamed, 2001). Kadar total empat katekin dalam teh hijau adalah sekitar 25% atas dasar berat kering. EGCG adalah katekin teh paling berlimpah yakni menyumbang 65% dari kandungan katekin total dalam teh hijau (Shahidi et al., 2009). EGCG diketahui juga memiliki aktivitas antioksidatif sangat kuat. Stabilitas katekin sangat dipengaruhi oleh pH dan suhu. Menurut penelitian Julian tahun 2011, semakin tinggi pH dan suhu, maka jumlah katekin pun akan semakin menurun. Penelitian tersebut dilakukan pada ekstrak teh hijau sebagai inhibitor amilase dan glukosidase, sementara Anggraeni (2011) melakukan pengujian inhibisi enzim amilase dan glukosidase pada ekstrak teh hitam. Kandungan katekin pada daun teh dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kandungan katekin dalam 100 g daun teh Katekin Epigalokatekin Galokatekin Epikatekin Katekin Epigalokatekin galat (EGCG) Epikatekin galat Suryatmo (2003).
g/100 g daun 2.35 0.37 0.63 0.35 10.55 2.75
Tanin merupakan fenol yang larut dalam air yang merupakan bagian dari reaksi fenol dan mempunyai kemampuan untuk mengikat alkaloid, gelatin, dan protein (Bhatia, 1957 diacu dalam Adisewodjo, 1964). Tanin memiliki sifat fisik yaitu berbentuk serbuk warna putih, kuning sampai kecoklatan dan berubah menjadi coklat tua bila kena sinar matahari, mempunyai rasa spesifik (sepat). Secara kimia, tanin dibagi menjadi dua golongan yaitu tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi (Hagerman, 2002). Tanin yang dapat dihidrolisis akan menghasilkan senyawa seperti asam galat,
5
asam elegat, atau asam-asam lainnya. Sedangkan tanin terkondensasi merupakan tanin yang terjadi karena proses kondensasi flavonol (Hagerman, 2002). Tanin pada teh merupakan tanin yang tidak dapat dihidrolisa atau tanin terkondensasi. Tanin tersebut mempunyai sifat larut dalam air, alkohol, gliserin, aseton, tidak larut dalam eter, benzen, berasa sepat, berwarna kuning, amorf, ringan dan tidak berbau (Rangari, 2007). Di dalam air, tanin tersebut akan berbentuk koloid. Apabila airnya diuapkan maka akan tinggal bubuk yang berwarna merah kecoklatan. Tanin terkondensasi sering disebut proantosianidin yang merupakan polimer katekin dan epikatekin (Hedqvist, 2004).
A.3 Penyeduhan Teh Kebanyakan masyarakat Indonesia membuat satu cangkir teh dengan formulasi 5 – 10 gram teh yang diseduh dalam 200 ml air panas dengan lama penyeduhan 5 menit (Somantri, 2011). Akan tetapi. beberapa negara Eropa, penyeduhan teh dilakukan selama 20 menit. Hal tersebut tidak mengakibatkan peningkatan penting dalam kandungan flavonoid yang dihasilkan. Teh yang diseduh dengan menuang 500 ml air mendidih pada 5 gram daun teh dengan lama penyeduhan lima menit mengandung flavonoid sebesar 30-40 mg/l (Afriansyah, 2006). Hampir semua senyawa yang terkandung di dalam teh mudah larut dalam air, kecuali tanin. Sebagai contoh, ketika teh diseduh selama 1-2 menit pertama, semua kafein akan larut tanpa tanin. Tanin merupakan senyawa yang larut dalam air tidak dalam waktu yang cepat akan tetapi tanin dapat bertahan di suhu tinggi. (Bhatia, 1957 diacu dalam Adisewodjo, 1964). Menurut Astill et al. (2001), senyawa-senyawa kimia seperti polifenol, kafein, tanin, dan theaflavin semakin meningkat jumlahnya seiring meningkatnya suhu dan waktu penyeduhan teh. Pada waktu penyeduhan, polifenol teh mengalami banyak perubahan kimia seperti oksidasi dan epimerisasi (Wrasiati et al., 2009). Reaksi epimerisasi katekin merupakan salah satu reaksi terpenting dalam penyeduhan. Masing-masing katekin dapat mengalami epimerisasi dari epistruktur menjadi non epistruktur. Penyeduhan menyebabkan kandungan senyawa epistruktur seperti EGCG, EGC, EC, dan ECG menjadi turun. Sementara itu kandungan katekin non epistruktur seperti GC, C, GCG, dan CG menjadi meningkat (Trilaksani, 2003). Air yang digunakan pada penyeduhan teh juga dapat memengaruhi kualitas minuman teh. Air dengan pH lebih dari 7, cenderung akan menghasilkan warna seduhan teh yang lebih gelap (Rohdiana, 2006). Konsumsi teh yang tergolong kental dapat menimbulkan sedikit masalah untuk orang yang konsumsi zat besinya rendah. Tanin yang terkandung dalam teh akan larut dan dapat mengganggu penyerapan zat besi dalam tubuh. Zat besi berikatan dengan tanin membentuk ikatan kompleks yang tidak larut pada sistem pencernaan makanan. Akibatnya, zat besi tak dapat diserap oleh tubuh dan akan dikeluarkan melalui feses. Ini dapat menyebabkan timbulnya anemia zat besi (Afriansyah, 2006).
B. LIPID B.1 Pencernaan Lipid Lipida merupakan senyawa yang kelarutannya kecil di dalam air. Senyawa ini dapat larut di dalam zat pelarut organik tidak polar. Pada umumnya, lipida ini bisa dibagi menjadi triasil gliserida, fosfo lipida, steroida, dan lain-lain (Martoharsono, 1978). Lipid, lipida, atau lemak secara umum dibutuhkan oleh manusia sebagai cadangan energi, komponen struktural membran sel, alat angkut vitamin, pemelihara suhu tubuh, dan pensinyalan molekul (Michelle et al. 1993; Almatsier 2006). Lipid di dalam tubuh berada dalam 4 bentuk, yaitu fosfolipid, trigliserida, asam lemak, dan sterol. Muchtadi et al. (2006) mengklasifikasikan lemak di dalam tubuh menjadi dua yaitu lemak
6
struktural dan lemak cadangan. Lemak struktural adalah lemak yang merupakan bagian yang dijumpai pada semua sel, jaringan, dan organ-organ. Lemak ini dapat berupa fosfolipid, glikolipid, dan kolesterol. Lemak cadangan adalah lemak sumber energi yang banyak ditemukan di jaringan adiposa. Lemak ini terdiri dari triasilgliserol dan sedikit kolesterol, vitamin larut lemak, dan senyawa larut lemak lainnya. Metabolisme lipid dibagi menjadi dua bagian yaitu eksogen dan endogen. Metabolisme eksogen memetabolisme lipid yang berasal dari makanan yang dimakan. Pencernaan lipid di dalam mulut dan lambung lebih banyak terjadi pada bayi dibandingkan orang dewasa, karena sistem pencernaan pada bayi terutama usus belum dapat bekerja dengan baik (Gurr, 1992). Lipid dicerna pertama kali di mulut, kemudian berikutnya di lambung partikel makanan akan bercampur dgn cairan lambung dan dipecah menjadi droplet-droplet halus dengan bantuan kontraksi lambung, droplet halus tersebut akan memudahkan enzim bekerja serta memudahkan terjadinya emulsifikasi karena luas area yang semakin banyak. (Berdanier et al., 2006). Emulsifikasi bertujuan untuk membetuk misel sehingga lemak yang tidak larut air dapat bersatu dengan enzim lipolitik yang bersifat larut dalam air. Misel cenderung membentuk agregat sehingga perlu distabilkan dengan garam empedu dari duodenum. Garam empedu merupakan agen pengemulsi yang kuat dengan dua sisi (hidrofobik dan hidrofilik). Dalam duodenum droplet-droplet tersebut dilarutkan oleh garam empedu. Trigliserida yang telah teremulsifikasi siap dicerna oleh lipase hasil sekresi pankreas menjadi asam lemak dan monogliserida (Wirahadikusumaha, 1977). Lemak simpanan di dalam tubuh tidak hanya berasal dari konsumsi lipid melainkan juga dari konsumsi karbohidrat dan protein. Selain itu, menurut Almatsier (2001), tubuh mempunyai kapasitas tidak terhingga untuk menyimpan lipid. Oleh karena itu, jika lemak simpanan berlebih di dalam tubuh maka resiko terhadap kelebihan berat badan akan meningkat yang kemudian pada akhirnya akan berdampak pada obesitas. Hal tersebut tentunya akan sangat merugikan tubuh, mengingat bahwa obesitas memiliki asosiasi atau hubungan yang sangat erat dengan munculnya penyakit kronis dan gangguan fungi fisiologis seperti penyakit kardiovaskuler, hipertensi, diabetes mellitus, dan kanker. Beberapa senyawa bioaktif dapat menurunkan penyerapan lipid antara lain dengan cara menghambat aktivitas lipase pankreas, berikatan dengan senyawa lipid misalnya kolesterol, berikatan dengan asam empedu yang diperlukan untuk emulsi lipid dan mengganggu stabilitas misel (Kirana et al., 2005).
B.2 Lipase Enzim adalah satu atau beberapa gugus polipeptida (protein) yang berfungsi sebagai katalis (senyawa yang mempercepat proses reaksi tanpa habis bereaksi) dalam suatu reaksi kimia. Enzim bekerja dengan cara menempel pada permukaan molekul zat-zat yang bereaksi dan dengan demikian mempercepat proses reaksi. Percepatan terjadi karena enzim menurunkan energi pengaktifan yang dengan sendrinya akan mempermudah terjadinya reaksi (Wirahadikusumahb, 1977). Sebagian besar enzim bekerja secara spesifik, yakni hanya dapat bekerja pada satu macam senyawa. Hal ini disebabkan perbedaan struktur kimia setiap enzim yang bersifat tetap. Setiap enzim membutuhkan suhu dan pH optimal yang berbeda-beda. Di luar pH dan suhu tersebut, enzim tidak dapat bekerja secara optimal, bahkan strukturnya akan mengalami kerusakan (Winarno, 1987). Suhu optimal lipase adalah 30-40˚C, aktivitas akan berkurang pada suhu dibawah 30˚C dan diatas 40˚C, sedangkan pH optimal yang dimiliki lipase adalah 6-9 (Salleh et al., 2006). Kisaran pH optimum ini tergantung pada sumber lipase. Enzim lipase dapat diperoleh dari beberapa sumber diantaranya adalah jaringan mamalia, susu, tumbuhan, dan mikroba. Lipase yang diperoleh dari pankreas babi bekerja pada pH optimum 7.9 (Kumar, 2003; Kuo dan Gardner, 2005).
7
Lipase beperan utama dalam penguraian lipid untuk mengabsorbsi lemak (Shin et al., 2003). Lipase dapat larut dalam air dan bekerja dengan mengkatalisis hidrolisis ikatan ester dalam substrat lipid yang tidak larut dalam air seperti trigliserida menjadi digliserida dan asam lemak. (Tarigan, 2009). Enzim lipase merupakan salah satu kelompok enzim yang penting, karena berperan dalam metabolisme, terutama dalam degradasi lemak. Menurut sistem IUB (International Union of Biochemistry), enzim lipase diklasifikasikan sebagai enzim hidrolase dengan nama sistematik gliserol ester hidrolase dengan nama sistematik gliserol ester hidrolase (EC 3.1.1.3), yang menghidrolisis trigliserida menjadi asam lemak bebas (ALB), gliserida parsial (monogliserida atau digliserida), dan gliserol (Winarno, 2010). Enzim lipase memiliki gugus polar dan non polar. Pada lingkungan aqueous gugus non polar (hidrofobik) berada di dalam struktur enzim dan gugus polar (hidrofilik) berada di luar, dan sebaliknya. Enzim lipase yang berasal dari mamalia dikelompokkan berdasarkan sumbernya menjadi: lipase pada sistem pencernaan seperti lingual, lambung, dan pankreas; lipase jaringan seperti hati, paru-paru, dan ginjal; lipase dalam air susu. Akan tetapi hanya lipase pankreas yang telah banyak diteliti. Lipase dari pankreas babi paling banyak telah dipelajari dan digunakan dalam beberapa penelitian. Hal ini mungkin karena pankreas babi mengandung lipase yang tinggi, sekitar 2.5 persen dari jumlah protein dalam pankreas. Enzim lipase disintesis oleh sel-sel parenkim pankreas dan ditransfer ke permukaan luminar usus halus untuk menghidrolisis substrat. Substratnya berupa lemak/minyak dari makanan dalam bentuk trigliserida. Lipase pankreas menghidrolisis 50-70% dari total lemak dari makanan (Birari dan Buthani, 2007). Lipase pankreas bekerja pada daerah permukaan minyak air dan titik-tik lipid yang teremulsi secara halus dibentuk oleh gerakan mekanis dalam usus dengan adanya garam empedu. Semakin aktif kerja enzim, maka lemak dan minyak yang dihidrolisis semakin banyak. Monogliserida yang diserap oleh usus halus dan disimpan sebagai cadangan lemak dalam jaringan adiposa akan meningkat sehingga mengakibatkan tumpukan lemak.
C. ANTILIPASE Kerja enzim dipengaruhi oleh beberapa faktor dan salah satu diantaranya adalah inhibitor. Penghambatan aktivitas enzim oleh beberapa jenis molekul kecil dan ion-ion sangat penting karena merupakan mekanisme pengendalian kerja enzim secara biologis. Penghambatan enzim dikelompokkan menjadi penghambatan yang reversible (tidak stabil) dan penghambatan irreversible (stabil) (Nielsen, 2010). Dalam pengikatan yang irreversible, senyawa penghambat (inhibitor) akan terikat secara kovalen pada lokasi aktif enzim atau sedikitnya senyawa tersebut terikat sedemikian kuat sehingga disosiasi terjadi sangat lambat (Winarno, 2010). Selain itu, Poedjiadi (2005) menambahkan bahwa hambatan irreversible ini dapat terjadi karena inhibitor bereaksi tidak reversible dengan bagian tertentu pada enzim, sehingga mengakibatkan berubahnya bentuk enzim dan menyebabkan aktivitas katalitiknya menurun. Penghambatan reversible dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu penghambatan kompetitif, penghambatan nonkompetitif, dan penghambatan unkompetitif. Penghambat kompetitif adalah inhibitornya merupakan senyawa yang mirip dengan substrat dan dapat terikat pada sisi aktif enzim. Dengan cara ini, maka inhibior menghalangi masuknya substrat ke sisi aktif enzim (Bisswanger, 2008). Pada penghambatan nonkompetitif, senyawa penghambatnya tidak mirip dengan substrat, jadi sisi aktif masih terisi oleh substrat yang normal tetapi senyawa penghambat membentuk lekukan pada bidang permukaan enzim lain. Akibatnya reaksi enzimatik masih berlangsung (Winarno, 2010). Sedangkan, penghambatan unkompetitif merupakan senyawa yang berikatan secara reversibel pada
8
molekul kompleks enzim substrat, membentuk kompleks Enzim Substrat Inhibitor (ESI) yang bersifat inaktif sehingga tidak dapat menghasilkan produk (Bisswanger, 2008). Antilipase merupakan suatu senyawa yang dapat menginhibisi kerja enzim lipase baik secara irreversible maupun reversible. Tanin dari alga Phaeopyta, toxin caulerpenyne dari alga Caulerpa taxifolia, karotenoid dari Undaria pinnatifidaaiai dan Sargassum fulvellum merupakan beberapa contoh pangan hasil laut yang potensial menghambat aktivitas enzim lipase (Bitou et al. 1999; Matsumoto et al. 2010). Selain itu, kerja enzim lipase dapat dihambat oleh beberapa ekstrak yang dibuktikan pada penelitian terdahulu yaitu pada tanaman berry (McDougall at al., 2009), Actinidia arguta dan flavangenol (Jang et al., 2008; Shimada et al., 2009), Kochia scoparia (Han et al., 2006), jati belanda (Iswantini et al., 2003), Zingiber officinale Roscoe (Han et al., 2005), buah asam gelugur, rimpang lengkuas, dan kencur (Iswantini et al., 2011), tanaman bangle (Martatilofa, 2008), ekstrak air tanaman teh oolong (Rahardjo, 2005), rosela (Urifah, 2011), dan daun teh (McDougall et.al, 2010). Berbagai macam senyawa antilipase yang telah diteliti pada ekstrak tanaman ditunjukkan pada Tabel 3. Komponen bioaktif pada tanaman berry yang mampu menghambat kerja enzim lipase diduga tanin beserta turunannya seperti proanthocyanidin (McDougall et al.,2010). Pada pengujian aktivitas inhibisi lipase oleh ekstrak rosela, penghambatan yang terjadi adalah penghambatan unkompetitif (Urifah, 2011). Sementara itu, berdasarkan penelitian Gondoin et al. pada tahun 2010, teh putih memiliki aktivitas lebih tinggi daripada teh hijau dan teh hitam. Senyawa dalam teh putih yang berperan dalam menghambat aktivitas lipase adalah strictinin dan flavan-3-ol. Strictinin dapat berikatan secara langsung dengan enzim lipase sehingga menghambat kerja enzim dalam mengikat substrat. Penelitian ini melakukan pengujian aktivitas enzim lipase yang terdapat pada ekstrak teh hijau. Sebagai kontrol positif yang digunakan dalam penelitian adalah Orlistat. Orlistat merupakan obat yang telah terbukti dapat menghambat kerja enzim lipase. Orlistat memiliki rumus molekul C29H53NO5 dan beratmolekul 495.73482 (PubChem, 2005). Sjostrom et al. (2000) menyatakan bahwa penggunaan Orlistat diikuti dengan pola makan sehat akan memberikan hasil penurunan berat badan 70% lebih besar daripada hanya sekedar diet saja. Rissanen et al. (1999) juga menyatakan bahwa dengan Orlistat, seseorang dapat menurunkan berat badan rata-rata sekitar 14.5% dari berat tubuh awal. Selain itu, penelitian tentang Orlistat menunjukkan bahwa 2 kali lebih banyak penderita kegemukan yang mengkonsumsi Orlistat, mencapai 10% penurunan berat badan dibandingkan mereka yang diet saja (Krempf et al. 2001). Dalam penelitiannya, Sjostrom et al. (2000) menyatakan bahwa Orlistat menghambat enzim lipase secara irreversible dengan cara membentuk suatu ikatan kovalen pada bagian serine yang aktif dari lipase pankreas dan lambung. Mekanisme penghambatan lipase oleh Orlistat dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Mekanisme penghambatan Orlistat (Carriere et al. 2001)
9
Tabel 3. Berbagai macam senyawa antilipase dari ekstrak tanaman Komponen
Tanaman Sumber
Flavonoid
Lesser galangal, dandelion, dan kiwi, jati belanda
Polyphenol
Kacang tanah, mangga, alfalfa, bunga lotus, dan kotala himbutu
Proanthocyanidin Saponin
Noname Herba, cinnamon, coklat, anggur Horse chestnut, bearberry, marlberry, oat, kopi, yam, gingseng, sessiloside, cape jasmine, burningbush, apel, balsampear, zaitun,doraji, soapberry, pincus hion, tomat, jahe, jati belanda, dan bangle Salvia, lidah buaya, birch, potmarigold, lemon balm, dan oregano
Triterpen Trigonellin Hydroxycitric acid Tanin escin saponin
T. foenum-graecum Garcinia Cambodia Areca catechu A. turbinata escins Teh china
chakasaponin I, II, & III (Garza et al., 2011; Bhutani dan Gohil, 2010; Tucci et al., 2010; Tanaka et al., 2009; Silitonga, 2008)
10