II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Karet 2.1.1. Penyebaran Tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) yang tumbuh dan berkembang di Indonesia sampai saat ini merupakan tanaman introduksi dari Arnerika Selatan. Pusat asalmuasal tanaman karet terletak di selutar lembah Amazone, Brazilia. Orang yang paling berjasa dalam penyebaran tanaman karet ke wilayah Asia termasuk Indonesia adalah Henry Wickham yang dilahukan sekitar tahun 1876 (Dijkman 1951, Jone & Allen 1992). Populasi awal tanaman karet di Indonesia dan negara-negara produsen utama karet alam lainnya berasal dari keturunan populasi introduksi Wickham. Pada tahun 1916 ditemukan teknik perbanyakan vegetatif dengan okulasi yang dapat rnempertahankan sifat unggul genotipe tanaman karet terpilih. Penemuan teknik perbanyakan tanaman ini mendorong kegiatan pemuliaan karet sehingga diperoleh klon-klon unggul baru yang mernpunyai potensi produksi lebih tinggi (Dijkman 1951, h v a r & Suhendry 1998). Pada saat ini karet menjadi komoditas perkebunan yang cuhcp penting, khususnya bagi Indonesia, Thailand, dan Malaysia. Luas total perkebunan karet yang terdapat di ketiga negara tersebut sekitar 7,l juta hektar atau 71,3 % dari luas total perkebunan karet di dunia dengan jumlah produksi sekitar 4,8 juta ton per tahun atau 72,4 % dari total produksi dunia (IRSG 1999). Di luar negara produsen utama tersebut terdapat beberapa negara lain yang tercatat sebagai produsen karet alam, antara lain : India, Sri Lanka, China, Vietnam, Kamboja, Philipina, dan beberapa negara Afrika. Di negara asalnya, tanaman karet tidak dapat berkernbang karena adanya serangan penyakit hawar daun Amerika Selatan (South
American Leaf Blight, SALB) yang sampai saat ini belum dapat dikendalikan dengan baik (Sanier et al. 1992). Penyakit ini disebabkan oleh cendawan Microcyclus ulei (P.Henn)
Arx. yang dapat menyebabkan kematian pohon. Hingga saat ini Indonesia berhasil mencegah masuknya patogen tersebut. Di Indonesia, tanaman karet tersebar di beberapa pulau terutama Sumatra (2,4 juta ha), Kalimantan (0,8 juta ha), dan Jawa (0,15 juta ha) (Di rjenbun 1999). Di pulau-pulau laimya di Indonesia bagian Timur, tanaman karet tidak banyak dikembangkan karena sebagian besar mempunyai agroklimat terlalu kering untuk tanaman tersebut.
2.1.2. Keragaman genetik Disamping H. brusiliensis, terdapat beberapa spesies tanaman lain yang dapat menghasilkan karet. Spesies-spesies tersebut antara lain : Ficus elustica Roxb., Castiloa elustica Cerv., Funtumia elustica Stapf., FVillughbeia spp., Landolphia spp., Palaquium gutta Burck., Puyena spp., Mimosops balata (Aubl.) Gaertn., Achras zapota L., Manihot glaziovii Muell Arg., Cryptostegia spp., Purthenium argentaturn Gray dan Solidago spp. (Dijkrnan 1951, Jones & Allen 1992). Meskipun demikian spesies-spesies tersebut tidak dapat berkembang secara komersial seperti halnya H. brasiliensis karena secara ekonomis tidak menguntungkan. Karet Hevea merupakan tumbuhan dikotil, mempunyai jumlah kromosom 2n = 36 dan bersifat penyerbuk silang. Dalam genus Hevea terdapat sepuluh spesies yang berbeda, yaitu : H. benthamianu Muell Arg., H. brasiliensis Muell Arg., H. camargoana Pires, H. camporum Ducke, H. guianensis Aubl., H. microphylla Ule, H. nitida Muell Arg., H. putlcrflora Muell Arg., H. rigidofolia Muell Arg. dan H. spuceunu Muell Arg. (Webster & Paardekooper 1989, Wycherley 1992). Kecuali H. brusiliensi.~,spesies-spesies tersebut
kurang layak diusahakan secara komersial karena potensi produksinya rendah (Webster & Paardekooper 1989). Diantara spesies Hevea lainnya, H. brusiliensis mempunyai sifat pertumbuhan lebih baik. Pada perkebunan komersial yang ditanam dengan kerapatan 500 pohon per hektar, tinggi rata-rata spesies tanaman tersebut dapat mencapai sekitar 25 m. Tanaman karet pada umumnya baru disadap pada umur sekitar lima tahun, setelah lingkar batang mencapai ukuran lebih dari 45 cm. Apabila dipelihara dengan baik, tanaman karet dapat disadap terus menerus sampai berumur 30 tahun. Perkebunan karet di Indonesia pada awalnya diusahakan dalam bentuk tanaman yang berasal dari biji (seedling) dari keturunan populasi Wickham. Dengan menggunakan bahan tanaman tersebut produktivitasnya masih rendah, berkisar antara 330-648 kg/ha/tahun. Seleksi individu terhadap populasi segregasi Wickham yang kemudian diperbanyak secara vegetetif menghasilkan klon-klon primer dengan potensi produksi lebih dari dua kali lipat dari produktivitas sebelumnya (Dijkrnan 1951). Klon-klon primer yang masih sering dijumpai di lapangan sampai saat ini antara lain GT 1, LCB 1320, dan PR 107. Selain Indonesia, program pemuliaan tanaman karet juga dilakukan oleh Malaysia, Sri Lanka, India, Vietnam, dan negara-negara produsen karet lainnya. Pemuliaan dilakukan dengan berbagai program persilangan antar tetua yang mempunyai sifat-sifat tertentu. Persilangan antar klon-klon primer menghasilkan klon-klon sekunder seperti PR 255, PR 303, BPM 1, dan RRIM 600, sedangkan persilangan antar klon sekunder atau klon sekunder dengan klon primer menghasilkan klon-klon tersier seperti BPM 24, RRIM 712, dan PB 260. Produktivitas dan sifat pertumbuhan klon-klon sekunder dan tersier lebih baik dibanding dengan klon-klon primer. Pada lingkungan yang sesuai, produktivitas klon-klon karet tersebut dapat rnencapai lebih dari 2000 kg/ha/tahun, serta tanaman telah dapat
disadap pada umur kurang dari empat tahun (Azwar &: Suhendry 1998, Suhendry et al. 200 1). Klon-klon karet yang dikembangkan dewasa ini terutama berasal dari populasi Wickham, sehingga keragaman genetiknya relatif sempit (Chevallier 1988, Luo et al. 1995, Nurhaimi-Haris et al. 1998, Yeang et al. 1998). Sempitnya sumber genetik karet yang tersedia menyebabkan kemajuan seleksi daya hasil karet semakin rendah dibanding kemajuan yang dapat dicapai sebelumnya (Azwar & Suhendry 1998). Menyadari sempitnya keragaman genetik plasma nutfah karet yang tersedia, Pusat Penelitian Karet pada tahun 1981 telah melakukan introduksi plasma nutfah karet dari Amerika Selatan. Meskipun demikian dari sekitar 9000 genotipe yang diintroduksi hanya beberapa genotipe saja yang menunjukkan potensi hasil agak tinggi (Ginting et al. 1995). Untuk memperoleh efek heterosis yang lebih tinggi dibutuhkan dua tanaman tetua yang berjarak genetik lebih jauh dari yang ada pada saat ini.
2.1.3. Lingkungan tumbuh Produh~ivitastanaman karet ditentukan oleh faktor genetik klon karet yang ditanam serta faktor lingkungan tempat tumbuh, baik lingkungan biotik maupun abiotik. Pemilihan klon karet berdaya hasil tinggi yang dapat beradaptasi dengan baik pada agroekosistem setempat dapat memberikan keuntungan ekonomis yang optimal (Sugiyanto et al. 1998). Karakteristik iklim yang optimal untuk pertumbuhan tanaman karet adalah sebagai berikut : curah hujan sekitar 2000 mmltahun dengan jumlah hari hujan sekitar 125-150 hari per tahun, suhu rata-rata bulanan 25-28 OC dengan suhu maksimal34 OC dan suhu minimal 20 OC, kelembaban udara sekitar 80 %, kecepatan angin rendah sampai sedang, serta lama penyinaran matahari minimal 2000 jam per tahun atau rata-rata sekitar 6 jam per hari (Rao 7
& Vijayakumar 1992). Kondisi lingkungan demikian pada umumnya merupakan tipologi
agroekosistem daerah tropika basah. Elevasi kebun yang optimal untuk budidaya tanaman karet terletak antara 0-200 m di atas permukaan laut (Damandono 1996). Perkebunan karet di Indonesia tersebar pada berbagai kisaran tipe agroklimat yang mempunyai curah hujan antara 1500-4000 mmttahun. Pada daerah yang kering pertumbuhan tanaman karet lambat serta produktivitas tanaman rendah. Sebaliknya kebun yang mempunyai curah hujan terlalu tinggi juga kurang baik, karena mempunyai resiko lebih tinggi terhadap adanya serangan penyakit daun dan bidang sadap. Disamping itu jumlah hari hujan pada suatu kebun karet umurnnya berkorelasi negatif dengan jumlah hari sadap, sehingga pada daerah yang terlalu basah akumulasi hasil karet dalam setahun lebih rendah.
2.2. Penyakit Gugur Daun Corynespora Pada saat ini diketahui ada empat jenis cendawan penyebab penyakit daun yang cukup merugikan perkebunan karet di berbagai wilayah. Keempat jenis cendawan tersebut adalah : Microcyclus ulei, Oidium heveae Stein, Colletotrichzrmgloeosporioides Penz, dan Corynespora cassiicola (Berk & Curt) Wei. Cendawan M. ulei menyebabkan penyakit
hawar daun SALB (Sanier et al. 1992). SALB merupakan penyakit endemik perkebunan karet Amerika Selatan dan belum masuk ke Indonesia. Penyakit ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kematian pohon karet. Sampai saat ini belum ditemukan klon karet yang tahan terhadap penyakit tersebut. Pemuliaan untuk memperoleh klon karet tahan
M. ulei tidak mudah dilakukan karena ternyata sifat ketahanan tanaman karet terhadap penyakit tersebut selalu berasosiasi dengan daya hasil yang rendah (Tan & Tan 1996).
Penyakit yang disebabkan oleh 0. heveae juga dikenal sebagai penyakit embun tepung (Semangun 1988) karena adanya konidia cendawan yang berwarna putih seperti tepung pada bagian bawah helaian daun karet. Penyakit ini biasanya menyerang tanamah karet pada saat pembentukan daun-daun baru, yaitu setelah tanaman mengalami periode gugur daun alami. Serangan patogen pada umurnnya terjadi pada pertengahan musim kemarau sampai menjelang musim hujan. Cendawan ini dapat berkembang dengan baik pada kelembaban udara 75-80 %, tidak banyak sinar matahari dan suhu agak rendah (Semangun 1988, Pawirosoemardjo 1996). Daun-daun karet muda yang terserang akan gugur, sedang daun yang lebih tua dapat bertahan dengan meninggalkan bercak-bercak pada helaian daun. Penyakit ini akan hilang dengan sendirinya setelah musim hujan tiba, karena konidia yang terdapat pada permukaan daun akan mati oleh genangan air hujan. Cendawan C. gloeosporioides menyerang tanaman karet selama musim penghujan berlangsung, menyebabkan daun-daun muda yang baru berumur 1-10 hari mengalami keguguran (Semangun 1988, Pawirosoemardjo 1996). Penyakit ini juga disebut sebagai penyakit gugur daun sekunder, karena sering merupakan kelanjutan dari serangan penyakit gugur daun oidium yang terjadi menjelang musim hujan sebelumnya. Daun karet yang lebih tua lebih tahan terhadap penyakit ini dengan hanya meninggalkan bercak-bercak bulat benvarna coklat yang dikelilingi halo kuning pada helaian daun yang terserang. Disamping itu tepi dan ujung daun pada umumnya berkeriput. Penyakit ini relatif mudah dikendalikan, baik dengan menggunakan klon karet yang tahan maupun dengan cara penyemprotan fungisida yang berbahan aktif mancozeb (Pawirosoemardjo 1996). Penyakit gugur daun corynespora merupakan penyakit daun karet yang paling berbahaya pada saat ini, baik di Indonesia maupun negara produsen karet alam lainnya
(Pusat Penelitian Karet 1996). Cendawan dapat menyerang daun karet pada berbagai tingkatan umur. Pada klon-klon karet yang rentan, serangan C. cussiicolu menyebabkan terjadinya gugur daun sepanjang tahun sehingga pertumbuhan tanaman
terhambar.
Apabila serangan penyakit tersebut terus berlanjut, maka tanaman karet akan mati. Pada tanaman karet dewasa, serangan cendawan tersebut dapat menyebabkan terjadinya penurunan produksi karet secara nyata. Nama C. cassiicola bersinonim dengan C. melonis (Looke) Lindau, Helminthosporium cassiicola Berk & Curt, H. vignae Oliveapud Olive, Bain & Lefebure, H. pupayae
H. Sydow dan Cercosporu vignicola Kawamura (Chee 1988). Cendawan C. cassiicola diketahui mempunyai banyak tanaman inang, antara lain miana (Coleus sp), hanjuang (Cordyline terminalis), akasia (Acusiu uuricullformis), flamboyan (Delonix regiu), ubi kayu, palma bintang (Livistomia sinensis), suplir (Adiantum cuneantum), angsana (Pterocarpus indicus), gelotrak (Borreria ulatus), Pueraria phuseoloides dan P. juvanica (Situmorang & Budiman 1984). Meskipun demikian C. cassiicola yang berasosiasi dengan tanaman karet mempunyai kisaran inang yang sempit, karena isolat virulen yang menyerang tanaman karet pada umumnya tidak dapat menimbulkan kerusakan pada jenis tanaman inang yang lain atau sebaliknya (Chee 1988, Sinulingga & Alwi 1990).
2.2.1. Gejala serangan PGDC Cendawan C. cassiicolu dapat menyerang tanaman karet pada berbagai stadia pertumbuhan tanaman (Situmorang & Budiman 1984, Chee 1988, Soepena et ul. 1996). Gejala serangan PGDC pada awalnya berupa bercak coklat kekuningan berbentuk bulat atau tidak teratur pada helaian daun karet. Diameter bercak sekitar 2 mm dengan bagian
tengah benvarna abu-abu rnuda. Bila serangan terjadi pada daun karet stadia muda menyebabkan daun tersebut keriput kemudian mengering serta akhimya gugur. Pada daun karet yang lebih tua, urat dan tulang daun mengalami nekrotik dan rnenjadi coklat sehingga membentuk gejala khas seperti susunan tulang ikan. Pada daun klon karet rentan, infeksi
PGDC rnenyebabkan terjadinya perubahan wama daun dari hijau menjadi kuning kecoklatan sebelum a b m y a gugur (Chee 1988, Sinulingga & Alwi 1990, Punvantara & Pawirosoemardjo 199 1). Kadang-kadang daun yang masih hijau j uga akan gugur apabila infeksi terjadi pada pangkal tangkai daun (Siturnorang & Budiman 1984, Chee 1988). Gejala serangan pada tangkai daun berupa bercak coklat kehitarnan. Serangan C. cassiicola juga dapat tejadi pada ranting-ranting pohon karet. Gejala yang tampak berupa bercak kebasahan yang kemudian berkembang menjadi bercak hitam dan rnelebar sehingga menyebabkan kematian pucuk (Punvantara & Pawirosoemardjo 1991). Tejadinya perubahan wama daun setelah infeksi PGDC disebabkan oleh adanya toksin yang dihasilkan cendawan tersebut. Toksin cendawan C. cassiicola merupakan suatu glikoprotein yang larut dalarn air dengan berat molekul sekitar 6,5 kDa serta dikenal sebagai kasiikolin (cussiicolin) (Breton et al. 1996). Pada pengamatan secara histologis terhadap daun klon rentan yang terinfeksi memperlihatkan tejadinya degenerasi inti sel pada jaringan daun yang terletak di sekitar titik infeksi. Sebagian isi sel kosong, tidak ditemukan butir-butir tepung di dalarnnya sebagaimana banyak ditemukan pada sel-sel yang sehat. Pengaruh toksin dapat terlihat dengan jelas setelah 48 jam infeksi. Adanya toksin yang dihasilkan oleh C. cassiicola juga pemah dilaporkan oleh peneliti sebelumnya (Punvantara 1987, Nugalewa et al. 1989).
2.2.2. Epidemiologi PGDC Pada beberapa tahun terakhir, penyaht gugur daun corynespora telah menyebar pada hampir seluruh negara produsen karet alam. Penyakit ini mula pertama ditemukan di India pada tahun 1958 (Rajalaksmy & Kothandaraman 1996). Penyakit yang sama ditemukan pertama kali di Malaysia pada tahun 1960 (Shukor & Hidir 1996), di Indonesia pada tahun 1980 (Sinulingga 1986, Situmorang & Budiman 1984, Soepena 1983, Soepena et al. 1996) dan di Srilanka pada tahun 1985 (Jayasinghe & Silva 1996a). PGDC juga
dilaporkan menirnbulkan kerusakan cukup berat pada perkebunan karet di beberapa negara Afrika (Wahounou et ul. 1996). Di Indonesia, gejala serangan PGDC pertama kali dilaporkan dari Sumatra Utara pada tahun 1980, terjadi pada kebun pengujian klon karet pertukaran internasional. Klonklon karet yang terserang berat adalah RRIC 103, RRIM 725, dan KRS 21 yang merupakan klon-klon karet introduksi dari SriIanka, Malaysia, dan Thailand. Selanjutnya pada tahun 1982 juga dilaporkan adanya serangan penyakit tersebut pada kebun pengujian klon karet pertukaran internasional yang terletak di Sumatra Selatan. Klon karet yang terserang meliputi klon introduksi seperti tersebut di atas serta klon-klon yang berasal dari dalam negeri seperti : PPN 2058, PPN 2444, dan PPN 2447 (Soepena et ul. 1996). Pada tahun 1984 sampai dengan 1986 terjadi serangan yang lebih luas pada beberapa kebun karet di Sumatra Utara, Sumatra Selatan, dan Jawa, sehingga lebih dari 1200 ha kebun karet mengalami kerusakan cukup berat dan dibongkar. Kerugian akibat serangan PGDC tersebut sampai dengan tahun 1988 ditaksir lebih dari Rp 200 milyar. Pada tahun 1996 PGDC menyerang sekitar 30 % areal perkebunan besar dan 63 % perkebunan rakyat di
Malaysia (Shukor & Hidir 1996), serta lebih dari 4600 ha perkebunan karet di Sri Lanka (Jayasinghe & Silva 1996a). Ada dua faktor penting yang memicu .terjadinya epidemi penyakit gugur daun corynespora, yaitu banyaknya klon karet rentan di lapangan dan kondisi agroklimat yang sesuai untuk perkembangan cendawan C. cassiicolu. Klon karet rentan yang terdapat dalam suatu areal perkebunan karet akan menjadi sumber inokulum terhadap klon-klon lain di sekitarnya sehlngga dapat menimbulkan epidemi PGDC yang lebih luas dan cepat. Klon-klon karet yang dikenal sangat rentan terhadap C. cassiicola antara lain : KRS 21, FX 25, RRIC 103, RRlM 725, PPN 20.58, PPN 2444 dan PPN 2447 (Jayasinghe & Silva 1996a, Shukor & Hidir 1996, Sinulingga et al. 1996, Situmorang et al. 1996). Keadaan agroklimat dapat mempengaruhi pembentukan, pelepasan, penyebaran, dan perkecarnbahan spora serta perkembangan penyakit setelah tejadinya infeksi. Fah?or agroklimat yang terpenting adalah kelembaban udara, suhu udara serta keadaan angin. Daerah yang mempunyai curah hujan merata sepanjang tahun tanpa mengalami bulan kering yang tegas mempunyai resiko terserang PGDC lebih berat dibanding daerah yang lebih kering (Semangun 1988, Situmorang et al. 1996). Konidia C. cassiicola akan berkecambah dengan baik pada kelembaban udara 96-100 % atau adanya titik-titik air pada permukaan daun. Suhu optimal untuk perkembangan penyakit sekitar 28-30 OC (Liyanage 1987, Pacvirosoemardjo &: Punvantara 1987). Pada kelembaban yang lebih rendah dan suhu dibawah 20
OC
atau di atas 35
OC,
perkecambahan konidia akan terhambat. Angin
akan membantu penyebaran konidia pada daerah yang lebih luas.
2.2.3. Ras fisiologi cendawan C. cassiicoln Cendawan C. cassiicolu penyebab PGDC pada tanaman karet diketahui telah membentuk beberapa ras fisiologi. Adanya keragaman ras fisiologi tersebut dapat dibuktikan dengan adanya keragaman tingkat virulensi cendawan (Situmorang et al. 1996, Suwarto et al. 1996) dan keragaman karaher molekuler antar isolat (Darmono et al. 1996). Disamping itu, adanya keragaman ras fisiologi C.cassiicola dapat diketahui dengan adanya perbedaan kepekaan antar isolat cendawan tersebut terhadap beberapa fungisida tertentu (Silva et ul. 1996). Ras fisiologi patogen terbentuk karena adanya proses interaksi inang-patogen yang berlangsung dalam kurun wabu lama yang melibatkan hubungan gen untuk gen (gene-forgene relationship). Konsep yang diperkenalkan pertama kali oleh Flor tahun 1955 ini menerangkan bahwa setiap gen ketahanan pada tanaman inang selalu berkorespondensi dengan gen virulensi pada patogen (Ellingboe 1976, Beynon 1977). Setiap perubahan yang terjadi pada gen ketahanan inang selalu diikuti oleh perubahan pada gen virulensi patogen, sehingga terbentuk ras-ras fisiologi yang baru. Sifat ketahanan yang hanya dikendalikan secara monogenik akan lebih mudah terpatahkan dibanding ketahanan poligenik (Tan & Tan 1996). Proses evolusi akan berulang bila suatu ras fisiologi patogen menghadapi tanaman inang dan lingkungan biotik baru yang tidak sesuai untuk perkembangannya (Van der Plank 1968). Ras fisiologi C. cassiicolu pada tanaman karet dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan, yaitu : (a) ras yang beradaptasi dengan kondisi geografis, (b) ras yang beradaptasi dengan tumbuhan inang selain karet dan (c) ras yang beradaptasi dengan klon karet (Situmorang et al. 1996). Ras yang beradaptasi dengan kondisi geografis kebun karet
dibubikan dengan adanya perbedaan virulensi antar isolat yang berasal dari berbagai daerah berbeda (Rodesuchit & Kajornchaiyakul 1996, Situmorang e f al. 1996, Suwarto et ul. 1996). Di Indonesia, isolat cendawan C. cussiicola yang berasal dari Sumatra Selatan
diketahui paling virulen dibanding dengan isolat dari daerah lain (Suwarto el ul. 1996). Di Thailand, isolat yang berasal dari daerah Kanthull memperlihatkan virulensi lebih tinggi dibanding yang berasal dari daerah yang lain (Rodesuchit & Kajornchaiyakul, 1996). Cendawan C. cussiicolu yang menyerang tanaman karet diketahui mempunyai kisaran inang sempit. Ras C. cussiicola yang berasal dari tumbuhan inang lain pada umumnya tidak berbahaya karena pada tanaman karet virulensinya sangat rendah (Chee 1988, Sinulingga & Alwi 1990). Yang paling berbahaya adalah
ras patogen yang
beradaptasi dengan klon-klon karet anjuran, mengingat siklus peremajaan baru dilakukan setelah tanaman karet berumur sekitar 30 tahun. Selama kurun waktu yang panjang tersebut ada kemungkinan patogen mengalami proses penyesuaian diri sehingga menyebabkan munculnya ras-ras baru yang lebih virulen. Disamping itu adanya penggantian klon-klon karet rentan dengan klon-klon baru yang lebih tahan meningkatkan tekanan seleksi terhadap patogen sehingga mempercepat terbentuknya ras baru. Ras-ras fisiologi C. cassiicolu yang beradaptasi dengan klon karet anjuran telah terbentuk, terbubi klon GT 1 dan RRDA 600 yang sebelumnya dikenal tahan pada saat ini dapat terserang PGDC (Situmorang et a!. 1996, Suwarto et al. 1996). Turumya tingkat ketahanan klon terhadap PGDC juga telah terjadi di Srilanka (Jayasinghe & Silva 1996b) maupun Malaysia (Othman et ul. 1996). Guna menghambat munculnya ras-ras ban! yang lebih virulen, maka program pemuliaan harus diarahkan untuk memperoleh klon-klon baru yang sifat ketahanannya dikendalikan secara poligenik (Othman et ul. 1996, Tan & Tan 1996).
2.3. Ketahanan Tanaman Istilah ketahanan atau resistensi (resistuncy) dan kerentanan (susceptibility) digunakan untuk menggambarkan respons tanaman inang terhadap serangan patogen. Ketahanan tanaman terhadap patogen mengandung dua pengertian, yaitu : (a) kemampuan tanaman menahan infeksi patogen secara struktural pada situs infeksi dan (b) kemampuan tanaman menghambat perkembangan dan kolonisasi patogen di dalam jaringan, sehingga penyakit tidak dapat berkembang lebih lanjut (Nelson 1973, Agrios 1988). Tanaman tahan dapat dibedakan dengan tanaman yang rentan secara visual berdasar perbedaan gejala serangan penyaht yang terjadi. Tanaman yang tahan penyakit akan memperlihatkan jumlah dan ukuran gejala yang rendah yang mencerminkan tingkat keparahan penyakit rendah. Tanaman rentan tidak mempunyai mekanisme ketahanan yang memadai terhadap proses penetrasi, infeksi, kolonisasi, atau reproduksi patogen, sehingga gejala kerusakan yang ditimbulkan lebih parah yang mencerminkan tingkat penyakit tinggi.
2.3.1. Mekanisme ketahanan tanaman Mekanisme ketahanan tanaman terhadap suatu penyakit dapat dibedakan dalam bentuk ketahanan struktural dan ketahanan biokimia (Agrios 1988). Ketahanan struktural dapat berupa pembentukan lapisan gabus, lapisan absisik atau pembentukan tilosa. Ketahanan struktural juga dapat terjadi karena adanya penguatan dinding sel melalui proses lignifikasi (Dixon et ul. 1994). Reaksi hipersensitif juga dapat dipandang sebagai bentuk pertahanan struktural, karena dengan kematian sel-sel di sekitar titik infeksi patogen obligat terisolasi dari sel-sel sehat di sekitamya (Agrios 1988). Ketahanan biokimia dibangun dengan cara peningkatan biosintesis senyawa tertentu seperti fen01 dan
fitoaleksin (Agrios 1988, Hammond-Kosack & Jones 1996, Daay-f et al. 1997), serta senyawa-senyawa anti mikroba lain seperti saponin, glikosida sianogenik, dan glukosinolat (Osbourn 1996). Respon pertahanan biokimia pada tanaman tahan berlangsung sangat cepat, senyawa yang dibutuhkan telah mulai disintesis pada kurun waktu lebih pendek, dalam ukuran menit sampai jam setelah infeksi terjadi. Sementara itu pada tanaman rentan reaksinya sangat lambat, sehingga jaringan tanaman terlanjur rusak sebelum senyawa yang diperlukan untuk pertahanan konsentrasinya memadai (Leon et ul. 1993, Breton et al. 1996). Mekanisme ketahanan tanaman juga dapat dibedakan menjadi pertahanan pasif dan pertahanan aktif berdasar respon tanaman terhadap terjadinya infeksi patogen. Pertahanan yang bersifat pasif diekspresikan secara konstitutif oleh tanaman, dan telah terbentuk sebelum proses infeksi terjadi (Agnos 1988, Leon et al. 1993, Hutcheson 1998). Mekanisme ketahanan pasif dapat berupa hambatan struktural seperti jumlah dan kualitas lilin serta kutikula yang menutupi sel epidermis. Disamping itu struktur dinding sel, karakteristik stomata dan lentisel daun juga berpengaruh terhadap penghambatan proses penetrasi patogen ke dalam sel inang. Pada sebagian tumbuhan, adanya akumulasi senyawa anti mikroba dalam sel dapat menghambat kolonisasi patogen pada jaringan. Senyawa anti mikroba yang dihasilkan tanaman inang terdiri dari bermacam-macam, sebagian besar berupa senyawa fen01 dan turunannya (Agrios 1988, Van Loon 1997). Mekanisme pertahanan aktif terjadi karena adanya interaksi antara tanaman inang dengan patogen (Leon et al. 1993, Dixon et al. 1994, Van Loon 1997, Hutcheson 1998). Salah satu bentuk ekspresi pertahanan aktif adalah tejadinya respon hipersensitif (Mittler et ul. 1996, Naton et ul. 1996, Peterhansel et ul. 1997). Respon hipersensitif berupa
kematian sel secara terprogam di sekitar titik infeksi yang terjadi secara mendadak dan cepat sehingga meninggalkan bercak-bercak nekrosis terbatas (Agrios 1988, Jackson & Taylor 1996, Delaney 1997, Pennel & Lamb 1997, Gilchrist 1998). Patogen akan terisolasi pada sel-sel yang mati tersebut sehingga tidak dapat berkembang ke jaringan sehat di sekitarnya. Selain itu fitoaleksin meningkat pada sel-sel di sekitar patogen, sehingga membunuh patogen yang terdapat di dalamnya. Selama reaksi hipersensitif berlangsung, terjadi akumulasi 02- dan Hz02 serta peningkatan akumulasi ~ a sitosol. ' ~ Pada tanaman karet, respons hipersensitif diperlihatkan oleh klon-klon yang tahan terhadap penyakit gugur daun yang disebabkan oleh cendawan C. gloeosporioides ( Breton et al. 1996). Ketahanan ras spesifik tanaman barley terhadap cendawan Erysiplze graminis juga dimanifestasikan dengan reaksi hipersensitif (Peterhansel et al. 1997). Mekanisme pertahanan aktif baru tejadi setelah infeksi patogen berlangsung, berperan menghambat invasi patogen dalam jaringan. Sistem pertahanan aktif melibatkan proses-proses metabolisme untuk menghasilkan senyawa-senyawa yang diperlukan dalam suatu sistem pertahanan tanaman terhadap serangan patogen (Leon et al. 1993, Daayf et al. 1997, Delaney 1997). Mekanisme pengabifan sistem pertahanan oleh infeksi patogen secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut : pada saat tejadi kontak antara patogen avirulen dengan sel tanaman inang terjadi pelepasan elisitor yang dapat dikenali oleh reseptor yang terdapat pada membran sel inang (Dixon et ul. 1994, Knogge 1996, Wu
el
al. 1997, Hutcheson
1998). Elisitor dapat berupa protein, karbohidrat, atau lemak yang dihasilkan oleh patogen selama proses infeksi. Senyawa (3-glukan (P-glztcan), kitin (chitin), atau kitosan (cl~itosan) merupakan contoh elisitor aktif yang merupakan substrat untuk aktivitas enzim-enzim
glukanase dan kitinase yang terdapat dalafn sel tanaman (Dixon et al. 1994, Knogge 1996). Reseptor merupakan protein yang berperan khusus untuk mengenali dan menangkap elisitor. Penangkapan elisitor oleh reseptor diikuti reaksi berantai sehingga mengaktifkan gen-gen pertahanan pada tanaman inang.
2.3.2. Ketahanan tanaman karet terhadap PGDC Mekanisme ketahanan tanaman karet terhadap penyakit gugur daun corynespora sampai saat ini belum diketahui dengan jelas. Tebal kutikula, epidermis, dan mesofil daun terbukti tidak menentukan tingkat ketahanan tanaman karet terhadap penyakit tersebut. Kerapatan stomata daun menentukan tingkat ketahanan meskipun pengaruhnya kecil (Sinulingga 1995). Proses infeksi cendawan C. cassiicola dapat terjadi secara aktif melalui penetrasian dinding sel dengan pembentukan kapak infeksi (Breton 1997). Mekanisme pertahanan struktural yang berupa penguatan dinding seI melalui proses deposisi Iignin tidak efektif untuk menahan infeksi patogen. Proses deposisi lignin terlalu lambat, sedangkan pada tanaman yang rentan kerusakan jaringan sudah mulai terjadi pada kurun waku kurang dari 24 jam. Ketahanan tanaman karet terhadap C. cassiicola juga tidak dapat diterangkan melalui reaksi hipersensitif, karena beberapa saat setelah infeksi tidak terdeteksi adanya peningkatan akumulasi hidrogenperoksida (HzOr) sebagai salah satu ciri adanya reaksi hipersensitif (Breton et al. 1996, Penel & Lamb 1997). Akan tetapi berdasarkan gejala nekrosis yang terjadi pada tanaman yang tahan, ada kemungkinan reaksi hipersensitif ikut berperan dalam mekanisme ketahanan tanaman karet terhadag PGDC (Breton et al. 2000). Beberapa saat setelah menginfeksi tanaman, cendawan C. cassiicola akan berkembang dan menghasilkan toksin yang disebut sebagai kasiikolin (Liyanage &
Liyanage 1986, Breton et al. 1996). Pada tanaman yang rentan, pengaruh toksin sudah terjadi dalam kurun waktu 24 jam setelah infeksi. Jadi kemampuan tanaman dalam menetralisir toksin kasiikolin merupakan kemungkinan lain mekanisme ketahanan tanaman karet terhadap PGDC (Breton et al. 1996).
2.3.3. Genetika ketahanan tanaman Pada tanaman tahan terdapat gen ketahanan yang mengendalikan biosintesis protein reseptor (Jackson & Taylor 1996, Hutcheson 1998). Gen ketahanan terhadap ras tertentu mengendalikan biosintesis protein reseptor tertentu yang mengenali elisitor ras patogen avirulen tertentu. Hal ini sesuai dengan konsep gen-untuk-gen (gene-for-gene concept) yang dikembangkan Flor (Jackson & Taylor 1996). Dengan reseptor khusus ini terjadinya kontak sel inang dengan patogen akan segera terdeteksi, sehingga mengaktiflran reaksi biokimia secara berantai dalam bentuk lintasan signal transduksi (Gilchnst 1998, Hutcheson 1998). Pada tahap akhir lintasan signal transduksi akan teqadi interaksi antara faktor-trans (trans-factors) dan elemen-cis (cis-elements) yang mengaktifkan gen-gen pertahanan (defense genes) yang terdapat di dalam inti sel (Dixon et al. 1994, HammondKosack & Jones 1996, Beynon 1997). Gen-gen pertahanan tersebut kemudian melakukan transknpsi dan translasi protein yang berfungsi sebagai enzim-enzim yang mengkatalisis reaksi-reaksi untuk pertahanan, seperti reaksi hipersenstif, dan deposisi lignin pada dinding sel. Pengaktifan gen-gen pertahanan juga sering disertai dengan sintesis protein-PR (PRproteins) (Harnmond-Kosack & Jones 1996, Van Loon 1997) seperti chitinase dan glukanase yang berperan rnembunuh patogen melalui reaksi hidrolisis dinding sel patogen. Adanya reaksi-reaksi tersebut di atas akan mendorong pengaktifan gen-gen pertahanan yang terdapat dalam sel-sel dan jaringan yang lebih luas, sehingga seluruh bagian tanaman
akan menjadi tahan terhadap patogen tersebut. Mekanisme ketahanan demikian dikenal sebagai ketahanan terimbas (induced resistance) (Daayf et al. 1997, Delaney 1997, Wu et ul. 1997, Van Loon 1997, Hutcheson 1998). Berdasar jumlah
ras patogen yang dihadapi, ketahanan tanaman dapat
dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu ketahanan khusus (spesfic resistance) dan ketahanan umum (general resistance) (Bell 1982, Nelson 1973). Ketahanan khusus dikendalikan oleh satu atau beberapa gen dan hanya efektif untuk menghadapi satu atau beberapa ras patogen. Ketahanan khusus dapat disinonimkan dengan ketahanan monogenik, ketahanan vertikal, atau ketahanan lengkap. Ekspresi ketahanan inonogenik sangat jelas dan mengikuti pewarisan Mendel (Oka 1993). Ketahanan umum dikendalikan secara poligenik yang cukup efektif untuk menghadapi semua ras patogen yang ada. Ketahanan umum juga dapat disamakan dengan ketahanan poligenik, ketahanan horizontal, ketahanan gen minor, ketahanan tidak lengkap, atau ketahanan lapang (Nelson & MacKenzie 1973, Bell 1982). Fenotipe ketahanan poligenik sangat beragam dan bersifat kontinyu, sehingga tingkat ketahanan antar genotipe sulit dibedakan (Tan & Tan 1996). Pewarisan sifat ketahanan poligenik tidak mengikuti pewarisan Mendel (Oka 1993). Sampai sekarang belum diketahui dengan pasti berapa jumlah gen yang mengendalikan sifat ketahanan tanaman karet terhadap penyakit gugur daun corynespora. Berdasar pengamatan fenotipe gejala yang terlihat pada tanaman di lapangan, ada yang berpendapat bahwa ketahanan tanaman karet terhadap PGDC dikendalikan secara poligenik (Tan & Tan 1996). Bila pendapat ini benar maka seharusnya sifat ketahanan dapat bertahan lebih lama karena tidak mudah terpatahkan oleh munculnya ras fisiologis yang baru dari patogen. Menurut laporan terakhir telah diketahui adanya ras-ras fisiologi
baru dari cendawan C. cassiicola yang dapat mematahkan ketahanan klon-klon karet anjuran yang sebelumnya dikenal cukup tahan terhadap penyakit tersebut (Silva et al. 1996, Situmorang et al. 1996, Suwarto et al. 1996). Fenomena ini menunjukkan bahwa sifat ketahanan tanaman karet terhadap C. cassiicola tidak dikendalikan secara poligenik. Bila terbukti sifat ketahanan tanaman karet terhadap PGDC bersifat vertikal yang dikendalikan oleh sejumlah kecil gen utama, maka klon-klon tahan yang sekarang dibudidayakan pekebun akan menghadapi masalah. Ketahanan klon terhadap penyakit tersebut pada suatu saat akan terpatahkan oleh munculnya ras-ras fisiologi baru C. cassiicola. Terjadinya proses adaptasi ras patogen tersebut terhadap ketahanan klon karet
telah dilaporkan peneliti terdahulu (Situmorang et al. 1996). Agar ketahanan tanaman karet terhadap PGDC dapat berlangsung lebih lama dan mengingat tanaman karet diusahakan sampai dengan umur 30 tahun, maka perlu dipikirkan kemungkinan menciptakan klon unggul baru yang mempunyai ketahanan oligogenik atau poligenik.
2.4. Penanda Molekul Keragaman dari suatu populasi tanaman dapat diketahui dengan mempelajari penampilan morfologi tiap individu yang dapat diamati secara langsung. Fenotipe atau morfologi suatu sifat tertentu keragaannya ditentukan oleh faktor genetik dan lingkungan tempat tumbuh tanaman. Pada tanaman karet, proporsi pengaruh faktor genetik terhadap produktivitas tanaman sekitar 60 %, sedangkan pengaruh lingkungan termasuk sistem budidaya sekitar 40 % (Azwar et a!. 2000). Produktivitas adalah sifat kuantitatif yang dikendalikan secara poligenik, sehingga keragaannya sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
Sifat ketahanan tanaman karet terhadap suatu penyakit dapat dikendalikan secara monogenik atau poligenik. Ekspresi sifat ketahanan monogenik sangat jelas, sehingga genotipe tahan dan genotipe rentan rnudah dibedakan. Oleh karena itu seleksi ketahanan dengan penanda morfologi cukup efektif dan mudah dilakukan, karena keragaannya tidak banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Sifat ketahanan yang dikendalikan oleh banyak gen keragaannya bersifat kontinyu, sehingga antara genotipe tahan dan rentan tidak mudah dibedakan (Tan & Tan 1996). Sifat ketahanan tanaman karet terhadap PGDC belum diketahui dengan jelas apakah dikendalikan secara monogenik atau poligenik. Analisis genetik berdasar penanda fenotipe seringkali sulit dilakukan, karena ekspresinya dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain lingkungan tumbuh, umur tanaman, dan kecermatan pengamat. Oleh karena itu seleksi fenotipe ketahanan tanaman terhadap suatu penyakit perlu diverifikasi dengan penanda molekul. Seleksi genetik dengan penanda molekul tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut di atas (Toruan-Mathius & Hutabarat 1996a). Penanda molekul yang sering digunakan untuk keperluan tersebut antara lain isozim dan RAPD. Isozim adalah enzim-enzim yang mempunyai bentuk molekul berbeda tetapi mengkatalisis reaksi yang sama. Alel-ale1 isozim yang tampak sebagai pita isozim dipisahkan berdasar berat molekulnya dengan elektroforesis (Shannon 1968, Wendel & Weeden 1989). Keragaman pola pita isozim mencerminkan keragaman genetik tanaman, karena isozim merupakan produk fungsional DNA. Pola pita isozim dapat terlihat karena reaksi pewarnaan, yaitu reaksi oleh enzim-enzim tertentu setelah ditambahkan substrat yang sesuai. Dibanding teknik molekular yang lain, teknik isozim mempunyai beberapa kelebihan antara lain biaya analisis relatif murah dan mudah dikerjakan (Yeang et ul.
1998). Penanda isozim bersifat kodominan, artinya dapat mendeteksi sifat homosigot maupun heterosigot dari suatu genotipe yang dipelajari (Acquaah 1992). Kelemahan penggunaan penada isozim untuk analisis genetik tanaman antara lain terbatasnya jumlah isozim yang dapat dianalisis sehingga kegunaannya kurang optimal. Meskipun demikian, t e h k isozim telah banyak digunakan dalam analisis genetik dan pemuliaan tanaman. Beberapa contoh kegunaan yang dapat dikemukakan antara lain untuk mempelajari keragaman genetik dalam populasi tanaman (Brown & Weir 1983, Chevallier 1988, Sukmadjaja 1996), sistematika dan hubungan kekerabatan suatu spesies tanaman (Crawford 1983, Crawford 1989, Yeang et al. 1998), jarak penyebaran polen dan intensitas kejadian penyerbukan sendiri pada tanaman karet (Sunderasan et al. 1994), isozim sebagai penanda sifat-sifat kuantitatif (Stuber 1989), identifikasi sifat tanpa biji pada buah anggur (Schwenensen et al. 1983), identifikasi sifat ketahanan tanaman terhadap penyakit (Burdon & Marshall 1983, Alcazar et al. 1995, Runtunuwu 2000), dan untuk pemuliaan tanaman keras ( Adam 1983). Analisis molekul dengan menggunakan Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) mempakan metode yang banyak digunakan dalam analisis genetik tanaman (William et 01. 1990). Dibanding analisis DNA dengan metode RFLP (restrictionfragment length polymorphisms) atau AFLP (amplrfied fragment length polymorphisms), metode
RAPD relatif lebih murah dan mudah dikerjakan. RAPD mendeteksi keragaman genetik tanaman berdasar polimorfisme pita DNA yang terjadi setelah amplifikasi melalui reaksi berantai polimerasi DNA (polymerase chain reuction, PCR). P o l i m ~ ~ s mpita e RAPD mencerminkan keragaman sekuen DNA pada situs pelekatan (binding site) primer dan perbedaan panjang sekuen DNA antar situs tersebut.
Prinsip RAPD didasarkan atas kesamaan urutan basa pada primer yang digunakan dengan sekuen DNA cetakan (template DNA). Apabila terdapat kesamaan urutan basa antar keduanya, maka primer akan melekat pada kedua utas DNA cetakan pada situs yang berbeda. Arnplifikasi sekuen DNA dalam mesin PCR akan tejadi bila jarak antara kedua situs pelekatan primer pada sekuen DNA cetakan tidak terlalu jauh (Tingey et al. 1992, Thorman & Osborn 1992). Setelah dielektroforesis, hasil amplifikasi DNA berupa pita-pita RAPD dengan ukuran yang berbeda-beda. Metode RAPD telah banyak digunakan untuk analisis genetik tanaman dengan bermacam tujuan, antara lain : untuk mempelajari keragaman genetik tanaman kelapa sawit (Shah et al. 1994), tanaman kelapa (Matondang et al. 2001, Roslin et al. 2003), dan kakao (Toruan-Mathius et ul. 1997), analisis penanda ketahanan tanaman kopi robusta terhadap cekaman kekeringan (Toruan-Mathius & Hutabarat 1996b), analisis penanda ketahanan kacang tanah terhadap nematoda (Burow et al. 1996), dan analisis penanda ketahanan tanaman kopi terhadap cofee berry disease (Agwanda et 01. 1997). Pada tanaman karet, metode RAPD antara lain digunakan untuk mempelajari hubungan kekerabatan antar klon karet di Indonesia (Nurhaimi-Haris et al. 1998), dan analisis keragaman genetik serta hubungan kekerabatan antara klon-klon karet yang telah dibudidayakan dengan tanaman karet liar yang terdapat di hutan asalnya (Varghese et al. 1997).