II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Kamandrah (Croton tiglium L.) Tanaman kamandrah (Croton tiglium L.) banyak terdapat di daerah Kalimantan Tengah. Kamandrah merupakan nama lokal untuk daerah Kalimantan Tengah, di daerah lain tanaman ini disebut Simalakian (Sumatera Barat), ada, ceraken (Jawa), roengkok (Sumatera Utara), semoeki (Ternate), Kowe (Tidore). Menurut Hutapea (1994), tanaman kamandrah diklasifikasikan sebagai berikut : Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Class
: Dicotyledoneae
Ordo
: Euphorbiales
Famili
: Euphorbiaceae
Genus
: Croton
Spesies
: Croton tiglium L.
Tanaman kamandrah (Croton tiglium L.) merupakan tanaman semak, pohon kecil atau perdu, tinggi antara 5-24 m.
Batang tanaman kamandrah tegak, bulat,
berambut dan berwarna hijau. Daun tanaman dicirikan pada bagian pangkal daun tepinya bergerigi, berseling, lonjong, pada bagian ujung runcing, pangkal membulat, berdaun tunggal, panjang daun 3-4,5 cm, lebar 1-3,5 cm, tangkai silendris, panjang 22,5 cm, pertulangan menyirip dan berwarna hijau. Bunganya dicirikan berbentuk majemuk, bentuk bulir, diujung batang, kelopak membulat, bertoreh, warna hijau, benang sari banyak, putih kekuningan, kepala putik bulat, kuning, mahkota bentuk corong kuning. Buah berbentuk kotak, bulat, dengan diameter ± 0,5 cm, dan berwarna hijau. Biji tanaman ini berbentuk bulat telur, kecil, dan berwarna hitam. Akar termasuk akar tunggang, dan berwarna putih kotor.
7
Menurut Heyne (1988), untuk membudidayakan tanaman kamandrah ini tidak terlalu sukar. Perbanyakan tumbuhan ini dengan bijinya sangat mudah dan untuk pertumbuhannya tidak memerlukan persyaratan khusus, sehingga biji kamandrah (Croton tiglium L.) yang disebarkan ke permukaan tanah persemaian umumnya dapat tumbuh dengan baik. Tumbuhan ini berbunga dan berbuah sepanjang tahun. Setiap batang tanaman dapat menghasilkan 4-5 kg buah per tahun. Menurut Duke (1983) tumbuhan ini dapat dipanen pada bulan Nopember sampai dengan Desember. Setiap tahunnya tanaman ini dapat menghasilkan buah mencapai 200 – 750 kg biji/ha. Penyebaran tanaman kamandrah didunia cukup luas mulai dari India, Cina terus ke Asia tenggara. Pada umumnya tumbuh liar di hutan-hutan campuran pada ketinggian 1.500 m dari permukaan laut. Adapun penampakan tanaman kamandrah (Croton tiglium L.) seperti pada Gambar 1.
Gambar 1. Tanaman Kamandrah (Croton tiglium L.) Ketinggian 150 cm
8
1. Khasiat Tanaman Kamandrah Menurut Guerrero et al., (1990), tumbuhan kamandrah (Croton tiglium L.) mengandung rotenon dan saponin. Di Filipina, air rebusan akarnya digunakan untuk menggugurkan kandungan.
Sehingga akarnya sering disebut sebagai bahan yang
bersifat abortif. Menurut Bimantoro (1977), minyak kental yang diperoleh dari biji kamandrah (Croton tiglium L.) digunakan sebagai obat cuci perut, sedangkan minyak encer digunakan sebagai penawar rasa nyeri. Adapun diagram pohon industri tanaman kamandrah seperti pada Gambar 2.
Bahan abortif Akar Obat demam
Tanaman kamandrah
Batang/ Ranting
Insektisida
Daun
Penurun panas
Biji
Dimakan
Pencahar
Dibalur
Obat Kembung
Minyak kental
Cuci perut
Minyak encer
Cuci perut
Gambar 2. Diagram Pohon Industri Tanaman Kamandrah Biji kamandrah (Croton tiglium L.) mengandung stearin, palmitin, olein dan berbagai macam senyawa lemak.
Kandungan minyak croton yang terdapat dalam
9
bijinya berkisar 53-56% (Quisumbing, 1951). Menurut Hutapea (1994), akar tanaman kamandrah berkhasiat sebagai obat demam dan daunnya untuk urus-urus. Sebagai obat urus-urus dipakai ± 10 g daun kamandrah, dicuci dan disaring dengan 1 gelas air matang, dan di saring. Hasil saringannya diminum sekaligus. Menurut Siagian dan Rahayu (1999), tanaman kamandrah merupakan tanaman yang multiguna. Bagian tanaman ini dapat digunakan sebagai obat antara lain irisan bijinya seberat 1.0-2.0 g dapat digunakan sebagai obat pencahar, bijinya dibakar dan digiling dibalur pada bagian perut dapat mengobati perut kembung. Daun tanaman ini juga bermanfaat dengan cara dihancurkan memakai air, kemudian dibalur keseluruh tubuh sebagai obat penurun panas. Sedangkan ranting/dahan dan batang tanaman ini bila dibakar akan berbau khas, yang berfungsi sebagai bahan insektisida nabati (pengusir nyamuk). Menurut Heyne (1988) hasil gerusan 0,5 biji kamandrah dapat digunakan untuk menyembuhkan perut membesar karena cacing pada anak-anak. Penggunaan obat tradisional telah dilakukan oleh masyarakat secara turuntemurun. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang secara turun-temurun
telah digunakan untuk pengobatan
berdasarkan pengalaman. Menurut Badan POM (2005), penggolongan obat tradisional dibagi menjadi empat kelompok yaitu (1) obat tradisonal jamu, (2) ekstrak terstandar, (3) fitofarmaka, dan (4) suplemen/nutrasetikal. Yang dimaksud dengan obat tradisional jamu harus memenuhi kriteria (a) aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan; (b) klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris; dan (c) memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. Ekstrak terstandar harus memenuhi kriteria (a) aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan; (b) klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/pra klinik; dan (c) telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk
10
jadi. Kelompok fitofarmaka harus memenuhi kriteria (a) aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan; (b) klaim khasiat harus dibuktikan berdasarkan uji klinik; (c) telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi; dan (d) memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. Suplemen/nutrasetikal adalah hasil ekstrak bahan alam yang digunakan untuk meningkatkan stamina atau kebugaran tubuh, dalam penggunaannya hasil ekstrak tersebut dapat digunakan tanpa terlebih dahulu dilakukan pengujian pra klinis.
2. Karakteristik Tanaman Kamandrah Menurut Duke (1983), minyak yang terkandung dalam biji kamandrah mengandung 3,4% resin, 37 % oleat, 19,0% linoleat, 1,5% arakidat, 0,3% stearat, 0,9% palmitat, 7,5% miristat, 0,8% format, laurat, linoleat, valerat, dan butirat, ditambah dengan senyawa lainnya. Minyak kamandrah (Croton tiglium L.) mengandung gliserida dari asam linoleat (19 – 37%), asam oleat (19 – 37%), asam arakinat (1,5%), asam palmitat, asam stearat, asam laurat, asam valerianat, asam bebas (8%) dan beberapa asam lainnya (Sutedjo, 1990). Menurut Hutapea (1994), kandungan kimia yang terdapat pada daun dan buah kamandrah (Croton tiglium L.) mengandung saponin, disamping itu daunnya juga mengandung alkaloida dan polifenol. Menurut Dictionary of Natural Products (1982), pada tanaman kamandrah (Croton tiglium) terdapat beberapa senyawa bahan aktif yang dapat digunakan dalam fitofarmaka : 1.Minyak croton (Croton tiglium) dan Sapium sebagai sumber hidro pada cocarcinogens yang digunakan sebagai obat tumor dengan rumus molekul 4,9,12,13,20-pentahidroxi-1,6-tigliadien-3-one, dengan Gambar 3.
struktur kimianya
seperti
11
OH OH 12
H
H
13
OH 4
O
HO CH 2 OH
Gambar 3. (4α,9α,12β,13α)-pentahidroksi-1,6-tigliadien-3-one (Dictionary of Natural Products, 1982) 2. Biji tanaman kamandrah (Croton tiglium) dengan rumus molekul 6-Amino-9-β-Dribofururanosil-9H-purin-2(1H)-on,8Cl. 9-β-D-Ribofuranosilisoguanin. Crotonosida 2hidroxiadenosin, digunakan sebagai AMP siklis dalam jaringan otak, inhibitor pada inosin monofhosfhat pirofosfonilase dan dehidrogenase asam glutamat. Struktur kimianya seperti pada Gambar 4. NH2 N
N
1
2 3
O
N
N H O
HOH2C
HO
OH
Gambar 4. 6-Amino-1,3-dihidro-2H- purin-2-on, 9Cl (Dictionary of Natural Products, 1982)
3. Isolasi Aglikon dari kamandrah (Croton tiglium) nama senyawa turunannya 6amino-2hidroxipurin, sinonim 6-amino-1,3-dihidro-2H-purin-2-on, 9Cl. isoguanin.
12
guanopterin dengan formula molekul C5H5N5O. Adapun struktur kimia dari senyawa ini seperti pada Gambar 5. NH2 N
HO
Gambar
5.
NH2 N
N
1 3
N
9
N H
O
N H
H N
N
6-Amino-9-β-D-ribofururanosil-9H-purin-2 (1H)-one,8Cl. 9-βribofuranosilisoguanin(Dictionary of Natural Products, 1982)
B. Optimasi Proses Ekstraksi 1. Ekstraksi Metode Maserasi Maserasi merupakan metode ekstraksi yang paling sering digunakan dibandingkan metode ekstraksi yang lain. Maserasi dibedakan menjadi tiga jenis yaitu Maserasi sederhana, kinetik Maserasi, dan Maserasi dengan penggunaan tekanan (List and Scmidt, 1989). Metode Maserasi digunakan untuk mengekstrak contoh yang tidak tahan panas sebab Maserasi merupakan metode ekstraksi yang tidak menggunakan pemanasan.
Menurut (Meloan, 1999) metode Maserasi biasanya digunakan untuk
mengekstraksi jaringan tanaman yang belum diketahui kandungan senyawanya yang kemungkinan bersifat tidak tahan panas sehingga kerusakan komponen tersebut dapat dihindari. Keuntungan metode Maserasi ialah metodenya yang sederhana dan dapat menghindari terjadinya kerusakan komponen tertentu yang tidak tahan panas, tetapi metode ini membutuhkan jumlah pelarut yang cukup banyak jika dibandingkan dengan metode ekstrak yang lainnya.
13
Ekstraksi
adalah proses pemisahan komponen-komponen terlarut dari
campuran komponen tidak terlarut dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Ekstraksi dengan pelarut dilakukan dengan melarutkan bahan ke dalam suatu pelarut organik, sehingga komponen pembentuk bahan akan terlarut ke dalam pelarut (Thorpe dan Whiteley, 1954). Ekstraksi merupakan proses pemisahan dengan pelarut yang melibatkan perpindahan zat terlarut ke dalam pelarut (Aguilera, 1999). Proses perpindahan komponen bioaktif dari dalam bahan ke pelarut dapat dijelaskan dengan teori difusi. Proses difusi merupakan pergerakan bahan secara spontan dan tidak dapat kembali (irreversible) dari fase yang memiliki konsentrasi lebih tinggi menuju ke fase dengan konsentrasi yang lebih rendah (Danesi, 1992).
Proses ini akan terus
berlangsung selama komponen bahan padat yang akan dipisahkan menyebar diantara kedua fase dan akan berakhir bila kedua fase berada dalam kesetimbangan. Kesetimbangan akan terjadi bila seluruh zat terlarut sudah larut semuanya di dalam zat cair dan konsentrasi larutan yang terbentuk menjadi seragam.
Kondisi ini dapat
tercapai dengan mudah atau sulit tergantung pada struktur zat padatnya. Rangkaian proses ekstraksi meliputi persiapan bahan yang akan diekstrak, kontak bahan dengan pelarut, pemisahan residu dengan filtrat dan proses penghilangan pelarut dari ekstrak. Perpindahan massa komponen bahan dari dalam padatan ke cairan terjadi melalui dua tahapan pokok. Tahapan pertama adalah difusi dari dalam padatan ke permukaan padatan dan tahapan kedua adalah perpindahan massa dari permukaan padatan ke cairan. Kedua proses tersebut berlangsung secara seri. Bila salah satu proses yang lambat, tetapi bila kedua proses berlangsung dengan cepat yang tidak jauh berbeda, maka kecepatan ekstraksi ditentukan oleh kedua proses tersebut. Hasil ekstrak yang diperoleh bergantung pada kandungan ekstrak yang terdapat pada contoh dan jenis pelarut yang digunakan. Pelarut yang digunakan merupakan pelarut organik yang
14
mempunyai titik didih rendah, tidak beracun, dan tidak mudah terbakar. Kelarutan zat dalam pelarut tergantung dari ikatan polar dan nonpolar. Pemilihan pelarut untuk proses ekstraksi tergantung dari sifat komponen yang akan diekstraksi.
Salah satu sifat yang penting adalah polaritas suatu senyawa.
Ekstraksi senyawa aktif dari suatu jaringan tanaman dengan berbagai jenis pelarut pada tingkat kepolaran yang berbeda bertujuan untuk memperoleh hasil yang optimum, baik jumlah ekstrak maupun senyawa aktif yang terkandung dalam bahan.
Menurut
McCabe dan Smith (1974) metode yang digunakan untuk melarutkan komponen yang dapat larut dari zat padat yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut tertentu disebut dengan pencucian (leaching) atau ekstraksi padat/cair (solid/liquid extraction). Pelarut organik yang umum digunakan untuk memproduksi konsentrasi, ekstrak, absolut atau minyak dari daun, biji, akar, batang dan bagian lain dari tanaman adalah etil asetat, heksan, petroleum eter, benzen, toluen, etanol, isopropanol, aseton, dan air (Mukhopadhyay, 2002). Nilai titik didih dan polaritas beberapa pelarut tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Titik Didih dan Polaritas Beberapa Jenis Pelarut Organik No.
Pelarut
Titik Didih (oC)
Polaritas (EoC)
1.
Etanol
78.3
0.68
2.
Aseton
56.2
0.47
3.
Etil Asetat
77.1
0.38
4.
Heksana
68.7
0
5.
Pentin
36.2
0
6.
Diklorometan
40.8
0.32
7.
Isopropanol
82.2
0.63
8.
Propilen Glikol
187.4
0.73
9.
Dietil Eter
34.6
-
10.
Karbondioksida
-56.6
0
Sumber : (Mukhopadhyay, 2002)
15
Daya ekstraksi akan semakin meningkat dengan semakin kecilnya ukuran bahan, karena kontak antara bahan dan pelarut merupakan proses osmosis yang berjalan lambat. Namun demikian, bahan yang terlalu halus dapat membentuk suspensi dengan pelarut dan dapat terjadi penguapan senyawa volatil yang berlebihan sebelum proses ekstraksi. Metode ekstraksi tergantung pada polaritas senyawa yang akan diekstraksi. Suatu senyawa menunjukkan kelarutan yang berbeda dalam pelarut yang berbeda. Halhal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah selektivitas, kemampuan mengekstrak, toksisitas, kemudahan untuk diuapkan, dan harga pelarut. Menurut Harborne (1987) metode ekstraksi dikelompokkan menjadi dua yaitu ekstraksi sederhana dan ekstraksi khusus. Ekstraksi sederhana terdiri dari Maserasi, Perkolasi, reperkolasi evakolasi dan dialokasi. Menurut Bombardelli (1991) ekstraksi senyawa aktif dari tanaman obat adalah pemisahan secara fisik atau kimiawi dengan menggunakan cairan atau padatan dari bahan padat. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hasil ekstraksi yaitu penggembungan bahan baku, difusi, pH, ukuran partikel, suhu, dan pemilihan pelarut. Penggembungan dari bahan tanaman meyakinkan perembesan dari pelarut dan mengakibatkan pergerakan substansi bahan terlarut di dalamnya. Akibat dari penggembungan bahan baku memastikan penyerapan dari pelarut terhadap zat yang akan diekstrak. Dalam mengekstrak senyawa aktif dari tanaman obat, pelarut haruslah terlarut secara sempurna di dalam pelarut sehingga tercapai kesetimbangan antara pelarut dan bahan terlarut. Kecepatan untuk mengambil senyawa aktif biasanya tergantung kepada suhu, pH, ukuran partikel dan pergerakan pelarut di sekitar partikel.
Biasanya pH
memainkan peran dalam masalah selektivitas, sedangkan suhu dan pergerakan pelarut di sekitar padatan dapat mempengaruhi pergerakan kesetimbangan kejenuhan pelarut.
16
Pergerakan
pelarut
dapat
dilakukan
dengan
melakukan
perputaran
pelarut
menggunakan pompa atau mesin pengaduk yang akan membuat pencampuran pelarut dan bahan baku secara berkesinambungan atau dengan menggunakan gelombang ultrasonik. Ukuran partikel berpengaruh terhadap kecepatan ekstraksi, ukuran partikel bahan yang lebih kecil akan cepat terekstrak bila dibandingkan dengan ukuran partikel yang lebih besar. Hasil ekstraksi yang memberikan senyawa obat secara lengkap dapat diperoleh jika pelarut memberikan selektivitas maksimum, yaitu yang paling baik kapasitasnya dalam batas waktu tertentu untuk mencapai koefisien penjenuhan.
2. Metode Permukaan Respon (Respon Surface Methodology) Response Surface Methodology (RSM) adalah kumpulan teknik matematik dan statistik yang digunakan untuk membentuk model dan menganalisis masalah dalam suatu respon yang dipengaruhi oleh beberapa peubah dan bertujuan untuk mengoptimalisasi respon ini (Box et al., 1978). Dalam banyak masalah RSM, bentuk hubungan antara respon dan peubah bebasnya tidak diketahui. Jadi langkah pertama adalah mendapatkan suatu pendugaan yang cocok untuk fungsi yang sebenarnya antara y dan himpunan bebasnya. Untuk pendugaan ini biasanya digunakan suatu polinomial orde rendah. Jika respon telah dimodelkan dengan baik oleh fungsi linier dari peubah bebasnya, maka fungsi yang diduga adalah model ordo pertama. Y = βo + βixi + β2x2 + …. + βkxk + ε Jika ada lengkungan dalam sistem, maka polinomial dengan ordo yang lebih tinggi harus digunakan, seperti pada model ordo kedua. Y = βo + ∑βixi + ∑β2x2 + …. + ∑βkxk + ε i=1
i=1
I<1
Hampir semua persoalan RSM menggunakan salah satu dari kedua model ini. Memang model polinominal ini bukan satu-satunya model untuk menduga hubungan
17
fungsi yang sebenarnya, tetapi untuk wilayah yang relatif kecil maka model ini dapat digunakan dengan baik. Metode kuadrat terkecil juga dapat digunakan untuk menduga parameter dalam pendugaan polinominal. Analisis respon surface kemudian dibentuk menggunakan pengepasan surface.
Jika pengepasan surface merupakan suatu
pendugaan yang memadai dari fungsi respon yang sebenarnya, maka analisis dari pengepasan surface kira-kira sama dengan analisis sistem yang sebenarnya (Montgomery, 1997). Analisis untuk menduga fungsi respon sering disebut sebagai analisis permukaan respon yang pada dasarnya serupa dengan analisis regresi yaitu menggunakan prosedur pendugaan parameter fungsi respon berdasarkan metode kuadrat terkecil (least square method), hanya saja dalam analisis permukaan respon diperluas dengan menerapkan teknik-teknik matematik untuk menentukan titik-titik optimum agar dapat ditemukan respon yang optimum.
Penentuan kondisi operasi
optimum diperlukan fungsi respon ordo kedua dengan menggunakan rancangan komposit terpusat dalam mengumpulkan data percobaan. Penentuan kondisi optimum proses dilakukan menggunakan analisis kononik dan analisis plot kontur permukaan respon. Analisis kanonik dalam metode permukaan respon adalah mentransformasikan permukaan respon dalam bentuk kanonik. Sedangkan plot kontur adalah suatu seri garis atau kurva yang mengidentifikasikan nilai-nilai peubah uji pada respon yang konstan dan plot kontur ini memegang peranan penting dalam mempelajari analisis permukaan respon. Ada beberapa hal yang penting diketahui dalam melakukan optimasi antara lain dalam pengujian model pada teknik optimasi untuk mengetahui ketepatan model didasarkan atas uji penyimpangan model (lack of fit), koefisien determinasi (R2), uji signifikan model, dan uji asumsi residual (Box et al., 1978).
Dimaksud dengan
ketepatan model yang dianggap tepat bila uji simpangan model (lack of fit) apabila
18
bersifat tidak nyata secara statistik sedangkan suatu model dianggap tidak cocok untuk menerangkan fenomena sistem yang dipelajari apabila uji lack of fit bersifat nyata secara statistik, walaupun kreteria lain cukup baik. Nilai R2 merupakan ukuran kesesuaian model dalam kemampuannya untuk menerangkan keragaman nilai peubah Y, semakin tinggi R2 berarti model semakin mampu menerangkan perilaku peubah Y (Mattjik dan Sumertajaya, 2002). Uji signifikansi model dan uji asumsi residual dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap respon dan jika model dikatakan tepat apabila uji asumsi residual menunjukkan plot residual menyebar acak disekitar nol dan mendekati garis lurus sehingga terdistribusi secara normal (Rigas et al., 2001).
C. Kandungan Bahan Aktif Berkhasiat Sebagai Laksatif 1. Tinjauan Fitokimia Dalam Bahan Tanaman Bahan tanaman yang diketahui secara turun-temurun (empiris) berkhasiat sebagai tanaman obat, selanjutnya perlu diketahui senyawa aktif apa saja yang terdapat dalam bahan tersebut. Penentuan kandungan fitokimia penting dilakukan untuk mengetahui kandungan senyawa yang terkandung dalam bagian tanaman antara lain senyawa alkaloid, flavonoid, steroid, triterpenoid dan tannin (Harborne, 1987).
a. Alkaloid Alkaloid merupakan golongan terbesar senyawa metabolik sekunder pada tumbuhan.
Menurut Hutapea (1994), kandungan kimia yang terdapat pada daun
tanaman kamandrah banyak mengandung alkaloid dan polifenol. Telah diketahui sekitar 5500 senyawa alkaloid yang tersebar di berbagai famili. Istilah alkaloid diberikan kepada golongan senyawa organik yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, umumnya merupakan bagian dari cincin heterosiklik (sebagai
19
gugus amina atau amida) dan bersifat basa. Alkaloid dapat ditemukan dalam berbagai bagian tumbuhan seperti biji, daun, ranting dan kulit kayu. Selain ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi maupun tingkat rendah, alkaloid juga ditemukan pada hewan. Pada umunya alkaloid banyak ditemukan pada tumbuhan yang termasuk kelas dikotil dan alkaloid jarang ditemukan pada kelas Angiospermae. Alkaloid seringkali beracun bagi manusia dan banyak yang mempunyai kegiatan fisiologi yang menonjol, sehingga dipergunakan secara luas dalam bidang pengobatan. Sampai saat ini, penggolongan senyawa alkaloid belum ada yang digunakan secara umum. Hal ini disebabkan alkaloid mempunyai struktur yang banyak jenisnya, sehingga penggolongan alkaloid berdasarkan strukturnya untuk membedakan jenis yang satu dengan yang lain sukar dilakukan. Alkaloid sebagian besar memiliki daya aktif farmakologi dan ada juga bersifat racun. Alkaloid banyak digunakan dalam industri farmasi karena memiliki aktivitas fisiologis yang menonjol. Manfaat alkaloid dalam bidang kesehatan adalah sebagai pemacu sistem syaraf, menaikan tekanan darah, mengurangi rasa sakit dan dapat melawan infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme. Sedangkan pada tanaman sendiri, alkaloid berfungsi sebagai zat racun untuk melawan serangga atau hewan pemakan tanaman, pengatur tumbuh, sebagai substansi cadangan untuk memenuhi kebutuhan akan sumber nitrogen atau elemen-elemen lain yang penting bagi tumbuhan, dan merupakan hasil akhir pada reaksi detoksifikasi dari suatu zat berbahaya bagi tumbuhan.
b. Flavonoid Flavonoid merupakan senyawa polar, karena memiliki beberapa gugus hidroksil berupa gula. Senyawa yang dapat digunakan sebagai pelarut dalam mengekstrak flavonoid juga merupakan senyawa polar seperti etanol, metanol, butanol, aseton, dimetilsulfoksida, dimetilformamida, air dan sebagainya (Markham, 1988).
20
Dalam tumbuhan, aglikon flavonoid terdapat dalam berbagai bentuk struktur. Semuanya mengandung 15 atom C dalam inti dasar tersusun dalam konfigurasi C6 – C3 – C6, yaitu dua cincin aromatik yang dihubungkan oleh tiga karbon yang dapat atau tidak dapat membentuk cincin ketiga. Susunan yang demikian menyebabkan golongan senyawa ini dapat memiliki tiga macam bentuk struktur yaitu isoflavonoid, neoflavonoid dan flavonoid. Perbedaan struktur dari ketiga flavonoid tersebut pada letak gugus fenil rantai propana (C3).
Adapun jalur biosintesis flavonoid dalam
tumbuhan seperti pada Gambar 6. CO2
H2O
Siklus Calvin
O2
Asam piruvat
Asam Asetat
Asam Sikimat
Asam Malonat
Fenilalanin
Asam Sinamat
Sinamil Alkohol Flavonoid
Gambar 6. Jalur Biosintesis Flavonoid dalam Tumbuhan (Gottlich, 1980)
21
Menurut Vickery dan Vickery (1981) dalam dunia pengobatan beberapa senyawa flavonoid berfungsi sebagai zat antibiotik, seperti sebagai anti virus jamur, anti peradangan pembuluh darah dan dapat digunakan sebagai racun ikan. Flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa fenolik disamping fenol sederhana, fenilpropanoid dan kuinonfenolik (Gottlich, 1980).
Flavonoid ditemukan dalam
tumbuhan tingkat tinggi, tetapi tidak dalam mikroorganisme. Flavonoid terdapat pada semua bagian tumbuhan termasuk daun, akar, kulit kayu, tepung sari, bunga, buah dan biji.
c. Steroid/Triterpenoid Steroid merupakan triterpenoid dengan kerangka dasar cincin siklopentana perhidrofenantrena.
Steroid banyak ditemukan pada hewan atau tumbuhan.
tumbuhan tingkat tinggi, steroid ditemukan sebagai senyawa fitosterol,
Pada seperti
sitosterol, stimosterol, dan komposterol. Biji kamandrah (Croton tiglium L.) mengandung stearin, palmitin, olein dan berbagai macam senyawa lemak.
Menurut Guerrero et al.,
(1990), tumbuhan
kamandrah (Croton tiglium L.) mengandung rotenon dan saponin. Di Filipina, air rebusan akarnya digunakan untuk menggugurkan kandungan. Sehingga akarnya sering disebut sebagai bahan yang bersifat abortif. Triterpenoid sendiri adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik yaitu skualena.
Triterpenoid merupakan
senyawa tidak berwarna, berbentuk kristal, seringkali bertitik leleh tinggi, optik aktif dan umumnya sukar dicirikan karena tidak memiliki kereaktifan kimia.
Dengan
demikian triterpenoid dibagi menjadi empat golongan yaitu triterpena sejati, steroid, saponin, dan kardenolid.
22
Senyawa triterpenoid dalam pengobatan berguna sebagai zat antibiotik diantaranya sebagai anti jamur, bakteri dan virus. Steroid dapat merangsang aktivitas hormon estrogen dan progesterone pada satwa dan manusia. Steroid juga diketahui menjadi sumber makanan bagi mikroorganisme pengurai.
d. Tanin Menurut Hutapea (1994), kandungan kimia yang terdapat pada daun dan buah kamandrah (Croton tiglium L.) mengandung saponin, disamping itu daunnya juga mengandung alkaloid dan polifenol. Tanin merupakan senyawa polifenol yang tersebar luas dalam tumbuhan terutama dalam tumbuhan berpembuluh. Tanin terbagi dalam dua kelompok yaitu tannin terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Dalam uji kualitatif tanin dapat membentuk kompleks dengan larutan feriklorida menghasilkan warna biru kehitaman. Tanin merupakan senyawa yang berpotensi sebagai astrigen, selain itu senyawa ini dapat menghambat aktivitas enzim. Keadaan tersebut menyebabkan kecernaan protein menurun sehingga dapat mengganggu mekanisme proses metabolisme makanan di dalam mikroorganisme dan berpeluang sebagai bakteriostatik (dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme).
e. Kuinon Kuinon merupakan senyawa alam berwarna, termasuk dalam golongan fenol yang memiliki dua gugus keton pada cincinnya. Senyawa kuinon terbagi atas empat kelompok yaitu benzokuinon, naftokuinon, antrakuinon, dan kuinon isoprenoid. Kelompok
benzokuinon,
naftokuinon
dan
antrakuinon
termasuk
senyawa
terhidroksilasi dan bersifat senyawa fenol. Sedangkan kuinon isoprenoid terlibat dalam respirasi sel dan fotosintesis.
23
2. Uji Toksisitas Terhadap Hewan Uji Uji toksisitas merupakan uji pendahuluan untuk mengamati aktivitas farmakologi suatu senyawa. Senyawa aktif yang dikandung ekstrak kasar tumbuhan akan menghasilkan tingkat kematian yang tinggi. Uji toksisitas akut dilakukan sebagai pemenuhan atas prasyarat keamanan calon obat untuk pemakaian pada manusia dan hewan. Nilai pengujian yang diperoleh ini selanjutnya akan menjadi penentu kriteria keamanan formulasi obat. Kriteria penilaian dosis letal akut mulai dari yang praktis tidak toksik sampai yang amat toksik ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Penilaian Dosis Letal Akut (LD50) Pada Hewan Percobaan Penilaian Dosis Letal Praktis tidak toksik
LD50 >15 mg/kg BB
Sedikit toksik
5 - 15 mg/kg BB
Toksisitas sedang
0,5 – 5 mg/kg BB
Sangat toksik
50 - 500 mg/kg BB
Luar biasa toksik Super toksik
1 - 50 mg/kg BB < 1 mg/kg BB
Sumber : Loomis (1978). Untuk menentukan keamanan suatu obat, biasanya dilakukan dengan cara penentuan LD50, yaitu dosis tertentu yang menyebabkan kematian pada 50% hewan percobaan, sedangkan yang dimaksud dengan ED50 adalah dosis efektif tertentu pada 50% hewan percobaan. Angka 50, merupakan batas dosis tertinggi pada penentuan varian dosis ekstrak dalam pengujian, dimana memilki variasi yang relatif rendah antara hewan uji yang sensitif dan resisten. Nilai LD50 yang merupakan dosis efektif dari suatu obat dipengaruhi oleh banyak faktor. Beberapa faktor tersebut antara lain spesies hewan percobaan, umur hewan, berat badan hewan, jenis kelamin dan kesehatan hewan.
24
Pemeriksaan toksisitas diperlukan untuk mengetahui berapa konsentrasi yang dapat menyebabkan keracunan sehingga dapat diketahui jumlah penggunaan konsentrasi yang tepat.
Tingkat konsentrasi yang dapat menyebabkan keracunan
ditentukan dengan letal Dosis 50 (LD50). LD50 adalah dosis dari suatu bahan yang menyebabkan 50% kematian dalam suatu populasi.
LD50 dapat digunakan untuk
menentukan toksisitas dari suatu zat. Data mortalitas hewan uji yang diperoleh dapat diolah untuk mendapatkan nilai LD50 dengan selang kepercayaan 95% dengan menggunakan probit analysis method yang pertama kali dikemukakan oleh Finney. Nilai LD50 ini dijadikan sebagai batas konsentrasi tertinggi pada penentuan varian konsentrasi ekstrak dalam uji enzimatik. Menurut Meyer et al., (1982) apabila hasil penelitian menunjukkan nilai LC50 < 1000 ppm maka bahan yang diuji dikatakan memiliki potensi bioaktivitas.
D. Sediaan Bahan Aktif Sebagai Laksatif 1.
Mekanisme Laksansia Sebagai Bahan Laksatif (pencahar) Laksansia adalah obat yang digunakan untuk meningkatkan defekasi, merubah
konsistensi tinja menjadi lembek, sampai cair serta menambah massa tinja yang dikeluarkan.
Frekuensi defekasi yang berkurang, demikian juga massa tinja yang
berkurang, konsistensi tinja yang bertambah keras, disebabkan terutama karena terjadi dehidrasi material yang tinggal terlampau lama di dalam usus besar sebelum dikeluarkan. Mekanisme kerja laksansia umumnya dapat dikelompokkan menjadi tiga (3) kategori yaitu 1) bersifat hidrofilik atau osmotiknya, laksansia mengakibatkan retensi cairan di dalam kolon, sehingga meningkat massa isi kolon, meningkatkan kelembekan konsistensinya dan mempercepat transitnya, 2) laksansia dapat bekerja secara langsung
25
atau tidak langsung terhadap mukosa kolon untuk mengurangi absorpsi berat bersih dari air dan NaCl, 3) laksansia dapat bekerja meningkatkan motilitas usus sehingga absorpsi air dan garam berkurang sebagai akibat perpendekan waktu lintas usus. Adapun cara kerja pencahar usus tersebut seperti pada Gambar 7.
Gambar 7. Cara kerja Pencahar dalam Usus (Smith, 1982)
Menurut Smith (1982) ada tiga cara kerja dari obat pencahar dalam usus yaitu pencahar sebagai perangsang, sebagai emolien dan sebagai pembentuk massa. Pencahar sebagai perangsang bertujuan untuk merangsang mukosa usus sehingga menimbulkan refleks peristalsis dalam usus, bahan yang dapat digunakan antara lain minyak kastor, kalomel, sulfur, fenol pthalein, dan minyak croton. Pencahar sebagai emolien bertujuan sebagai pelunak feces yang terdapat dalam usus, bahan yang digunakan dapat berupa parafin cair, lemak dan lain-lain. Sedangkan pencahar sebagai pembentuk massa bertujuan sebagai merenggang usus besar, bahan yang digunakan biasanya bekatul, garam dan lain-lain. Keinginan pengeluaran tinja (defekasi) dikendalikan oleh pengisian rektum. Senyawa aktif yang bekerja terhadap usus halus melalui proses hidrolisis dan kerja lipase membebaskan asam risinolat, asam 12-r-hidroksioleat.
Asam risinolat
menyebabkan perangsangan selaput mukosa usus halus disertai penimbunan cairan di
26
dalam lumen, serta memperkuat peristalsis, melalui pembebasan histamin (Schunack
et al., 1990). Menurut Schmitt (1996) senyawa bioaktif juga dapat bereaksi dengan membran sel.
Mekanisme yang terjadi adalah menyerang membran sitoplasma dan
mempengaruhi integritas membran sitoplasma sehingga mengakibatkan kebocoran dinding sel intraselular.
Kondisi ini terjadi pada senyawa fenol yang dapat
mengakibatkan lisis sel dan dapat menyebabkan denaturasi protein, menghambat pembentukan protein sitoplasma dan asam nukleat serta menghambat ikatan ATP-ase pada membran. Selain itu senyawa bioaktif dapat mengubah permeabilitas membran sitoplasma sehingga mengakibatkan kebocoran zat nutrisi dalam sel sehingga menghambat transportasi substrat.
2. Bahan Laksatif Produk Farmasi Yang Dipasarkan Zat gastrointestinal, golongan ini merupakan obat yang heterogen kebanyakan digunakan sebagai laksatif atau pencahar. Jika digunakan dengan dosis yang tepat, berguna untuk memudahkan defekasi pada pasien dengan hemoroid, hernia atau gangguan hipotensif.
Bermanfaat untuk mengosongkan saluran intestinal bagian
bawah. Menurut Doerge dalam Wilson and Gisvold, (1982) ada beberapa sediaan obat yang dijual dipasaran antara lain :
a. Minyak Mineral Parafin cair, minyak mineral putih, petrolatum cair berat. Minyak mineral adalah campuran hidrokarbon cair dari minyak bumi. Kandungan hidrokarbonnya bervariasi dari C18 sampai C24. Minyak mineral digunakan secara luas sebagai lubrikan usus dan laksatif untuk pelunakan kandungan usus bagian bawah dalam pengobatan hemoroid dan gangguan rektal. Dosis yang lazim digunakan adalah 15 sampai 60 ml, sekali sehari.
27
b. Minyak Jarak Minyak ini diperoleh dari ekstraksi biji Ricinus communis Linne (famili
Euphorbiaceae). Disebabkan adanya gliserida asam risinoleat (80%), minyak ini dapat digunakan sebagai laksatif. Minyak ini dapat larut dalam alkohol, dengan demikian jika ditambah ke dalam kolodion meningkatkan kelenturannya. alkohol disebabkan adanya gugus hidroksil dalam resinolein.
Kelarutan dalam Dosis yang umum
digunakan adalah 15 sampai 60 ml permeter persegi permukaan badan.
c. Bisakodil Dulkolak@ adalah bahan aktif sebagai pencahar yang dijual dipasaran mengandung ester diasetat 4,4’-(2-piridilmetilen) difenol. Senyawa ini berupa kristal tidak berasa yang praktis tidak larut dalam air dan larutan alkalis, larut dalam asam dan pelarut organik. Struktur kimia dari ester diasetat 4,4’-(2-piridilmetilen) difenol seperti pada Gambar 8. O
O C
CH
3
O C N
O
C
CH
3
H
Gambar 8. Struktur Kimia Dulkolak@ (Wilson dan Gisvold, 1982)
Bisakodil terlihat bereaksi langsung pada kolon dan mokusa rektal dengan efek kecil pada usus halus. Dosis yang lazim digunakan adalah 10 mg per kg.berat badan.
d. Dantron Jenis bahan aktif sebagai pencahar yang biasa dijual dipasaran adalah Dorbane@, adalah 1,8-dihidroksi-antrakinon.
Secara struktural sejenis turunan
antrakinon terdapat dalam Cascara sagrada dan katartik tumbuhan lain.
28
Dantron diberikan secara oral pada waktu mau tidur. Sering digunakan dalam kombinasi dengan zat pelunak tinja, dioktil natriumsulfosuksinat. Dosis yang lazim digunakan adalah 75 sampai 150 mg per kg.berat badan. Struktur kimianya seperti pada Gambar 9.
HO
O
HO
O Gambar 9. Struktur Kimia Dorbane@ (Wilson dan Gisvold, 1982)
e. Fenolftalein Struktur kimia senyawa ini adalah 3,3-bis (p-hiroksifenil) ftalida, berupa serbuk kristalin putih atau putih kekuning-kuningan, larut dalam alkohol (1:15), dalam eter (1:100) dan dalam basa encer tetapi hampir tidak larut dalam air. Sediaan yang dijual dipasaran adalah tablet fenol fthalein dengan dosis penggunaan 60 mg per meter persegi permukaan badan.
f. Metoklopramid hidroklorida Struktur
kimia
dari
senyawa
ini
adalah
4-amino-5-kloro-N-{(2-
dietilamino)etil}-2-metoksibenzamid hidroklorida dalam obat pasaran dikenal sebagai Reglan@. Zat ini digunakan dengan injeksi untuk meningkatkan motilitas saluran cerna bagian atas.
Digunakan untuk memudahkan intubasi usus kecil dan merangsang
pengosongan lambung dan transit intestinal batrium sulfat. Struktur kimianya adalah seperti pada Gambar 10.
29
Cl O H2 N
C
HN
CH2CH2N
C2H5 .HCl C2H5
OCH3 Gambar 10. Struktur Kimia Reglan@ (Wilson dan Gisvold, 1982)
E. Pengembangan Teknologi Proses Produk Sediaan 1. Perancangan Proses Perancangan merupakan salah satu kegiatan utama seorang rekayasawan dan melibatkan kegiatan kreatif.
Oleh karena itu perancangan proses adalah kegiatan
kreatif untuk mereka atau menciptakan gagasan dan menterjemahkan ke dalam peralatan dan proses untuk menghasilkan bahan baru atau meningkatkan nilai tambah suatu bahan. Agar didapatkan hasil sesuai dengan tujuan penelitian ini diperlukan perancangan teknologi proses, yang diharapkan dapat mengungkapkan penomena dari tanaman kamandrah (Croton tiglium L.) menjadi bahan ekstrak terstandar. Menurut Seider et al., (1999) tujuan rekayasa adalah menciptakan produk baru yang dalam lingkup rekayasa proses, tujuan tersebut diterjemahkan melalui pengubahan kimiawi (atau biokimiawi) dan/atau pemisahan bahan.
Sedangkan ciri utama perancangan
adalah berawal dari masalah yang tak terdefinisikan dan diupayakan menjadi pernyataan yang jelas.
2. Metode Perancangan Proses 2.1. Sintesis Proses Pola kegiatan yang berurutan dan terpadu untuk memasok kesenjangan informasi diperlukan beberapa asumsi yang berkaitan dengan jenis satuan proses yang
30
digunakan dan rangkaian satuan-satuan, serta kondisi proses yang akan diterapkan. Pola kegiatan yang berurutan dan terpadu inilah yang merupakan suatu sintesis (Seider et al., (1999). Menurut Rudd dan Watson (1973), sintesis proses yang dikemukakan meliputi lima tahapan yaitu (1) pemilihan jalur reaksi atau proses, (2) alokasi bahan atau pereaksi, (3) pertimbangan teknik pemisahan atau proses hilir, (4) pemilihan operasi pemisahan, dan (5) pemaduan atau integrasi rancangan. Setiap proses sintesis sebaiknya diikuti dengan analisis yang tidak hanya mendapatkan suatu model fungsi, melainkan juga mengevaluasi sehingga mendapatkan kondisi sistem yang optimum. Menurut Hartmann dan Kaplick (1990) sintesis sistem adalah pengubahan input yang ada menjadi output yang merupakan perancangan elemen komplek, interkoneksi dan model fungsi. Sedangkan sintesis proses meliputi jalur proses, makro/unit proses, kolom distilasi, sub atau parsial proses, elemen volume/mikro proses, proses elementer. Dalam melakukan sintesis proses metode yang dapat digunakan adalah metode kuantitatif (algoritma dan prosedural) dan kualitatif yaitu dengan menggunakan heuristik (pengalaman). Beberapa kasus dapat mengikuti kaidah umum (heuristik) untuk mengurangi pilihan proses tertentu untuk pertimbangan lebih lanjut. Menurut Douglas (1988) ada lima langkah heuristik untuk perancangan proses, (1) penentuan proses curah (batch) atau sinambung (continous), (2) penentuan struktur masukan dan keluaran untuk penyusunan diagram alir proses, (3) pertimbangan adanya struktur daur ulang (recycle) pada diagram alir, (4) penyusunan struktur sistem pemisahan (sistem pemisahan fasa uap dan sistem pemisahan fasa cair), serta (5) penyusunan jaringan penukar panas. Menurut Seider et al., (1999) teknik heuristik untuk perancangan proses terdiri dari lima tahapan (1) pengurangan perbedaan jenis molekul bahan atau pemilihan jalur reaksi/proses, (2) pembagian pereaksi atau bahan dengan cara mempertemukan sumber
31
dan tujuan proses, (3) pengurangan perbedaan komposisi, yang antara lain dilakukan dengan penerapan sistem pemisahan, (4) pengurangan perbedaan suhu, tekanan, dan fasa, (5) pemaduan tahapan, yaitu menggabungkan kegiatan operasi ke dalam satuansatuan proses. Tiap tahapan heuristik senantiasa merupakan hasil pilihan terbaik dari beberapa pilihan yang dicanangkan. Oleh karena itu pengambilan keputusan secara heuristik dalam perancangan proses dapat digambarkan sebagai pohon sintesis. Hasil akhir dari sintesis adalah tersusun rancangan awal diagram alir proses yang menunjukkan proses yang akan dikembangkan serta penentuan satuan operasi serta proses (kimia) yang diperlukan.
2.2. Simulasi Proses Metode simulasi proses adalah suatu metode simulasi yang bertujuan untuk mempermudah perancangan proses yang akan dikembangkan. Simulasi proses dapat dilakukan dengan bantuan komputer menggunakan software HYSYS(Hyprotech, Ltd.), ASPEN PLUS dan DYNAPLUS (Aspen Technology, Inc.), PRO/II (Simulation Sciences, Inc.) dan CHEMCAD (Chem Stations, Inc.), kemudian dianalisis terhadap output yang dihasilkan (Seider dan Seader, 1999) . Untuk menduga kelayakan dari perancangan teknologi proses perlu diamati keseluruhan tahapan simulasi proses. Prosedur untuk menentukan simulasi proses meliputi penentuan senyawa kimia, pemilihan metode yang digunakan, aplikasi produk, penentuan kapasitas produk dan pemilihan unit operasi proses yang sesuai, serta penentuan kondisi input yang diinginkan (Zhang et al., 2003). Komponen yang digunakan sebagian besar berupa metanol, gliserol, asam sulfur, sodium hidroksida dan air. Sedangkan unit proses utama yang diperlukan meliputi reaktor, kolum distilasi, kolum ekstraksi, pumpa, dan separator. Dalam menduga kelayakan komersial dari suatu proses, diperlukan simulasi proses yang lengkap agar hasil yang diperoleh lebih akurat. Meskipun terdapat
32
beberapa perbedaan antara hasil pendugaan simulasi proses dan kenyataan operasi proses yang dilakukan tetapi hasil simulasi menggunakan software komputer dalam suatu proses operasi informasinya lebih dapat dipercaya, sebab secara keseluruhan proses dikemas dalam termodinamika, yang banyak memuat komponen pustaka dan teknik perhitungan yang baik (Zhang et al., 2003).
3. Kelayakan Teknis dan Ekonomis Rancangan Proses Agar supaya rancangan proses untuk mengetahui kelayakan produk yang dihasilkan dapat dilakukan tingkat kelayakannya untuk dikembangkan dan diterapkan lebih jauh, diperlukan analisis evaluasi kelayakan teknis dan ekonomis rancangan proses yang dihasilkan.
Analisis evaluasi kelayakan yang umumnya dilakukan
terhadap pengembangan proses meliputi : Net Present Value (NVP), Internal Rate of
Return (IRR), Profitability Index (PI), Payback Period (PBP), serta analisis sensitivitas yang memberi nilai tambah dari produk yang dikaji. Adapun perhitungannya dilakukan sebagai berikut :
a. Net Present Value (NVP) Net Present Value (NVP) merupakan aliran kas (net cas flow) di masa akan datang yang didiskontokan menjadi nilai sekarang dengan tingkat suku bunga tertentu. Dihitung menggunakan rumus : N
Po =
ΣY
t
(1 + i)-t
t=0
dengan, Po = Net Present Value Yt = Net Cash Flow pada akhir periode t ij = umur ekonomis t = periode investasi (t = 0,1,2, …, N) J = periode di dalam t (j = 0,1,2,…, t)
33
Adapun kriteria keputusan yang digunakan untuk investasi yang independen, layak jika NPV > 0 (positif),
sedangkan untuk investasi yang bersifat mutually
exclusive dipilih yang terbesar. b. Internal Rate of Return (IRR) Internal Rate of Return (IRR) merupakan tingkat bunga (i) yang menyebabkan nilai NPV sama dengan nol, sehingga nilai sekarang (present value) dari aliran uang tunai yang masuk sama dengan nilai sekarang dari aliran uang tunai yang keluar. Rumus yang digunakan untuk menghitung IRR adalah sebagai berikut :
IRR = i +
PV (i2 – i1) PV + NV
dengan, PV = NPV positif NV = NPV negatif I1 = tingkat bunga PV I2 = tingkat bunga NV Kriteria pembanding IRR adalah tingkat suku bunga yang berlaku (i), jika IRR > i, maka keputusan adalah layak.
b. Profitability Index (PI) Profitability Index (PI) adalah perbandingan antara nilai sekarang penerimaanpenerimaan kas bersih pada masa mendatang dengan nilai sekarang investasi. Proyek dapat dikatakan menguntungkan jika memiliki nilai PI > 1. Profitability Index (PI) ditentukan dengan menggunakan rumus :
P PI = I dengan, PI = profitability index P = nilai sekarang penerimaan-penerimaan kas bersih I = nilai sekarang investasi
34
c. Payback Period (PBP) Payback Period (PBP) adalah periode atau jangka waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan investasi semula, dimana keputusannya diambil berdasarkan kriteria waktu. Perhitungan dalam menentukan Payback Period (PBP) adalah sebagai berikut :
P PBP = Y dengan, P = investasi awal pada t = 0 Y = aliran uang seragam pada akhir periode uang dihasilkan oleh proyek atau aliran uang masuk tiap tahun.
d. Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui kondisi industri, jika pendapatan menurun, biaya operasional untuk ekspoloitasi meningkat dan biaya investasi meningkat akibat dari meningkatnya nilai tukar US$ terhadap rupiah.