II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konvensi Perubahan Iklim Perubahan iklim adalah berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi antara lain suhu dan distribusi curah hujan yang membawa dampak luas terhadap berbagai sektor kehidupan manusia. Perubahan fisik ini tidak hanya terjadi sesaat. tetapi dalam kurun waktu yang cukup panjang. Perubahan ini terjadi karena adanya perubahan komposisi kimia gas-gas yang terdapat di atmosfer. yang disebut sebagai gas rumah kaca (Kementerian l.ingkungan hidup 2001) Gas Rumah Kaca (GRK) adalah gas-gas yang mempunyai kemampuan menyerap radiasi gelombang panjang dan memancarkan lagi ke permukaan bumi dalam bentuk energi panas. Dalam konteks isu perubahan iklim (konvensi) maka yang dimaksud dengan GRK adalah yang diakibatkan oleh manusia. Salah satu gas rumah kaca yang memberikan kontribusi terbesar terhadap efek rumah kaca adalah CO2 karena tingkat emisinya yang sangat tinggi. Gas CO2 menyumbang 50% dari efek rumah kaca. Sumber CO2 yang dilepaskan ke atmosfer terutama berasal dari kegiatan manusia yaitu penggunaan bahan bakar fosil dan perubahan penggunaan lahan atau deforestasi. Jumlah yang lebih kecil berasal dari hasil proses industri (Sobar 2004). Isu perubahan iklim pertama kali dibicarakan dalam agenda politik pada pertengahan decade 1980. Berdasarkan laporan pertama Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) bahwa terjadi perubahan iklim yang menunjukkan adanya dampak negatif terhadap semua aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu,
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
dalam
pertemuan
umum
tahun
1990
14
meluncurkan Kerangka Kerja Konvensi perubahan Iklim (United Nation Framework Convention on Climate Change, UNFCCC) dan membentuk Komite Negoisasi Antar Negara (Intergovernmental Negotiating Committee, INC) (Kementerian Lingkungan Hidup 2001). Konvensi Perubahan Iklim telah berlaku dan mengikat secara hukum sejak tanggal 21 maret 1994 setelah diratifikasi lebih dari 50 negara. Tujuan utamanya adalah untuk menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfer pada tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim. Tingkat konsentrasi tersebut harus dicapai dalam kurun waktu tertentu agar ekosistem dapat beradaptasi secara alamiah, produksi pangan tidak terancam dan tercapainya pembangunan berkelanjutan. Indonesia telah meratifikasi Konvensi tersebut dengan Undang-Undang No.6 tahun 1994 (Kementerian Lingkungan Hidup 2001). Dalam rangka pelaksanaan komitmen tersebut pada Konferensi Para Pihak (Conference of The Parties/COP) ketiga di Kyoto disepakati adanya aturan pelaksanaan yang dikenal dengan Protokol Kyoto. Protokol Kyoto memberikan 3 mekanisme penurunan emisi kepada Negara Annex B yaitu Joint Implementation (JI), Clean Development Mechanism (CDM) dan Emission Trading (ET) (Kementerian Lingkungan hidup 2001).
2.2. Clean Development Mechanism (CDM) Clean Development Mechanism (CDM) atau Mekanisme Pembangunan bersih merupakan salah satu bentuk pasar dari perdagangan karbon. Pada mekanisme ini memungkinkan keterlibatan negara-negara berkembang terutama yang memiliki hutan tropis dalam rangka mengurangi emisi CO2. Instrumen ini
15
dilakukan melalui kegiatan “carbon sink”, keanekaragaman hayati dan pengelolaan hutan yang berkelanjutan (Siringoringo 2000). Ada 2 mekanisme yang layak dilakukan untuk kegiatan CDM yaitu afforestasi yang bisa dilakukan di kawasan yang bukan merupakan hutan sejak (base year) 50 tahun lalu dan reforestasi pada kawasan hutan yang dikategorikan rusak hingga 31 Desember 1989 (atau sejak tahun 1990 yang menghasilkan Temporary Certified Emission Reduction (tCER) yang dapat dilakukan negara berkembang bekerja sama dengan negara Annex 1 yang punyai kewajiban untuk mengurangi emisi gas rumah kacanya (Forner 2006) . Jumlah emisi GRK yang diturunkan atau diserap oleh proyek CDM kemudian disertifikasi yang disebut dengan Certified Emission Reduction (CER) yang digunakan oleh negara maju untuk memenuhi komitmen mereka (Boer 2000). Dalam kaitannya dengan pelaksanaan proyek AR-CDM (AfforestationReforestation CDM), Menteri Kehutanan sudah mengeluarkan Surat Keputusan No. 14/2004 tentang Tata cara Pelaksanaan Proyek CDM Kehutanan. SK ini ditujukan untuk membantu para pemangku kepentingan yang berminat dalam membuat usulan proyek AR-CDM, khususnya untuk mengatasi beberapa hambatan peraturan seperti PP34/2002 dan juga hal lain yang terkait dengan masalah kepemilikan lahan dan kontribusi proyek terhadap pembangunan berkelanjutan.
Sebagai
upaya
mempercepat
proses
untuk
mendapatkan
persetujuan dari KOMNAS MPB, pengembang proyek menyampaikan konsep proyek atau proposal kepada Departemen Kehutanan melalui Sekretariat MPB di Departemen Kehutanan.
Kelompok Kerja yang ada di Sekretariat MPB
16
Kehutanan akan menilai sumbangan proyek terhadap pembangunan berkelanjutan dari sudut pandang kehutanan. Apabila proyek dinilai sudah memenuhi kriteria pembangunan berkelanjutan, maka Menteri Kehutanan akan mengeluarkan rekomendasi bahwa proyek dapat memenuhi ketentuan tersebut.
Selanjutnya
pengembang proyek menyusun atau menyempurnakan desain proyek CDM atau PDD (Project Design Document) dan menyerahkannya ke KOMNAS MPB untuk diproses lebih lanjut dengan memberikan satu copy ke Menteri Kehutanan. Sesuai dengan keputusan yang dibuat di COP9 untuk periode komitmen pertama (2008-2012), CDM mengadopsi definisi hutan sebagai lahan yang luasnya antara 0.05-1.0 ha yang penutupan tajuknya antara 10-30% dan pohon yang ada pada lahan tersebut berpotensi untuk tumbuh mencapai ketinggian antara 2-5.
Dikarenakan kriteria yang digunakan dalam penentuan hutan
berdasarkan keputusan COP memiliki selang, maka tiap negara peratifikasi harus menetapkan nilai yang dipilih dari selang tersebut. Indonesia, sebagai negara peratifikasi, melalui SK Menteri Kehutanan No. 14/2004 menentukan nilai yang dipilih untuk luas lahan, penutupan tajuk dan tinggi pohon berturut-turut adalah 0.25 ha, 30% dan 5 m. Sesuai kriteria ini dan kesepakatan COP8, maka daerah potensial CDM adalah daerah bukan hutan sejak tahun 1989. Dengan ketentuan lahan yang bukan hutan adalah lahan dengan luas minimal 0.25 ha, penutupan tajuk kurang dari 30% dan tinggi pohon secara potensial tidak akan melebihi 5 m. Berdasarkan kriteria ini lahan yang potensial untuk menjadi daerah CDM adalah lahan terbuka, belukar, semak/alang-alang, pertanian lahan kering dan padi sejak tahun 1990.
17
Hasil National Strategy Study menunjukkan bahwa lahan-lahan yang diperkirakan potensial untuk CDM (lahan Kyoto) ialah lahan-lahan terlantar atau lahan kritis yang sudah ada sejak tahun 1990 baik dalam bentuk alang-alang, lahan terbuka atau semak belukar, atau lahan pertanian yang sudah diusahakan sejak 50 tahun yang lalu. Sebagian lahan bekas perladangan berpindah yang mengalami degradasi kemungkinan juga memenuhi kriteria lahan Kyoto (MOE 2002). Ciri utama lahan kritis adalah gundul, terkesan gersang, dan bahkan muncul batu-batuan di permukaan tanah, topografi lahan pada umumnya berbukit atau berlereng curam. Tingkat produkivitas rendah yang ditandai dengan tingginya tingkat keasaman tanah, kekahatan hara P, K, C, N dan Mg, rendahnya kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan basa dan kandungan bahan organik, tingginya kadar Al dan Mn, yang dapat meracuni tanaman dan peka terhadap erosi. Selain itu, pada umumnya lahan kritis ditandai dengan vegetasi alang-alang yang mendominasi dengan sifat-sifat antara lain : memiliki ph tanah relatif rendah yaitu 4.8 – 5.2 mengalami pencucian tanah tinggi, ditemukan rhizoma dalam jumlah banyak dan menjadi hambatan mekanik dalam budidaya tanaman, terdapat reaksi zat alelopati dari akar rimpang alang-alang yang menyebabkan gangguan pertumbuhan tanaman budidaya pada lahan tersebut (Hakim et al. 1991). Di Indonesia studi yang mengevaluasi teknologi mitigasi (jumlah karbon bersih yang dapat diserap) di sektor kehutanan sudah dilakukan sejak tahun 1990 an (DNM Norway and MSE Indonesia 1993; Adi et al. 1999; Boer et al. 1999; Fuad 2000; Boer 2001). Berdasarkan hasil kajian tim NSS, dari total pasar karbon global CDM sebesar 566 juta ton CO2 per tahun, Indonesia secara potensial akan
18
mampu menyerap pasar karbon sebesar 36 juta ton CO2 per tahun (MOE, 2002). Dari 36 juta ton tersebut, sektor kehutanan akan menyerap sebesar 28 juta ton CO2 per tahun, dan sisanya oleh sektor energi. Untuk mencapai potensi tersebut, luas lahan yang ditanami diperkirakan sekitar 0.5 sampai 1.0 juta hektar per tahun. Secara ringkas kegiatan kehutanan di Indonesia yang dapat dimasukkan ke dalam kategori layak untuk CDM dapat dilihat pada Tabel 2. Potensi mitigasi atau kemampuan menyerap karbon dari lahan-lahan ini melalui kegiatan proyek CDM diperkirakan mencapai 3.5 juta ton karbon dalam kurun waktu 40 tahun atau setara dengan 7.5 juta ton CO2 per tahun. Tabel 2. Tipe Kegiatan Penambatan Karbon Hutan dan Lahan yang Tersedia (dihitung dari data tahun 1990). Lahan potensial Penggunaan dan penutup lahan
Standart C/ha
Tipe kegiatan
yang
Potensi
Total
potensial untuk
tersedia
Mitigasi
potensi
penambatan karbon
untuk
(tC/ha)
mitigasi (tC)
5
6 (4 x 5)
mitigasi (Ha) 1
2
Lahan kritis
5
Lahan kritis
5
Bera
37
Alang-alang
10 11
Perladangan berpindah
3
4 4 898 000
199
947 702 000
1 889 000
48
90 672 000
9 823 175
109
1 070 726 075
Penghijauan
3 219 648
278
895 062 144
Agroforestri 2
12 718 787
198
2 518 319 826
Reboisasi Hutan tanaman/ HTI (Timber estate)1 Hutan Kemasyarakatan
32 549 410
3 493 294 659
Catatan: Potensi mitigasi pada kolom 5 adalah nilai rataan yang diperoleh dari perhitungan berbagai kegiatan menggunakan COMAP (Sathaye et al., 1995), sedangkan standar karbon di kolom 2 adalah nilai rataan yang diprediksi dari perhitungan biomas yang berasal dari berbagai sumber. 1Rotasi pendek dari jenis cepat tumbuh (7-8 tahun). 2 dalam bentuk kehutanan sosial /hutan tanaman multi fungsi (MPTS) atau hutan rakyat. Sumber (MOE, 2002)
19
Potensi lahan yang tersedia untuk kegiatan mitigasi tersebar di seluruh Indonesia termasuk daerah Sulawesi di sekitar Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, Sulawesi Tenggara. 2.3. Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) Kelompok hutan Rawa Aopa Watumohai seluas 105 194 ha ditetapkan sebagai taman nasional berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 756/Kpts-11/90 pada tanggal 17 Desember 1990. Sebelum menjadi taman nasional kelompok hutan Rawa Aopa Watumohai terdiri dari Taman Buru Gunung Watumohai seluas 50.000 ha (SK Menteri Pertanian No. 648/Kpts/Um/10/1976 tanggal 15 Oktober 1976), dan Suaka Margasatwa Rawa Aopa seluas 55 560 ha (SK Menteri Kehutanan No. 138/Kpts-11/1985 tanggal 11 Juni 1985). Latar belakang penetapannya sebagai taman nasional adalah karena kelompok hutan tersebut memiliki berbagai tipe ekosistem, antara lain ekosistem hutan bakau (mangrove), hutan pantai, savanna, hutan hujan pegunungan rendah dan ekosistem rawa, yang menjadi habitat berbagai jenis hidupan liar yang perlu dibina kelestariannya untuk dapat dimanfaatkan bagi kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan, kebudayaan, rekreasi, dan pariwisata. Setelah dikelola selama beberapa waktu melalui Proyek Pengembangan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, maka pada tahun 1997 status TN Rawa Aopa Watumohai telah ditingkatkan menjadi Unit Taman Nasional berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 185/Kpts-11/1997 tanggal 31 Maret 1997 (tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional dan Unit Taman Nasional).
20
Batas-batas wilayah, di sebelah Utara berbatasan dengan Kec. Tirawuta (Kab. Kolaka), sebelah Timur dengan Kec. Lambuya dan Tinanggea (Kab. Kendari), sebelah Barat dengan Kec. Ladongi (Kab. Kolaka), dan di sebelah Selatan berbatasan dengan Kec. Rumbia (Buton). Panjang batasnya ± 336 674 km, dengan jumlah pal batas keliling 4 158 buah TNRAW terletak pada ketinggian 0-980 m (dpl), dengan topografi bervariasi mulai dari datar, bergelombang, berbukit, dan bergunung, dengan puncak tertinggi Gunung Mendoke (980 m dpl). Kelerengan 0 hingga 40 %, dan jenis tanahnya Podzolik coklat merah kekuning-kuningan. Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schmidt-Fergusson iklimnya termasuk tipe C di bagian Utara dan D di bagian Selatan, dengan curah hujan tahunan bervariasi antara 1.500 sampai 2.000 mm. Bulan-bulan kering jatuh pada bulan Juli, Agustus, Oktober, dan Nopember. Suhu berkisar antara 20° hingga 33° C, dengan kelembaban 80%. TNRAW memiliki potensi keragaman jenis flora yang tersebar di keempat tipe vegetasi, yaitu vegetasi hutan mangrove, vegetasi savana, vegetasi rawa, dan vegetasi hutan hujan pegunungan rendah. Menurut hasil eksplorasi flora yang dilaksanakan oleh Balai Kebun Raya Purwodadi-LIPI pada bulan Juni 1993 berlokasi di Gunung Watumohai dan sekitarnya diperoleh data vegetasi yang terdiri atas 89 suku/famili, 257 marga/genus, dan 323 jenis/species tumbuhan. Permasalahan yang dihadapi TNRAW berupa perburuan gelap (poaching), dengan satwa buru yang digemari adalah rusa/jonga. Peralatan buru mulai dari yang tradisional (jerat) hingga senjata api. Untuk mengatasi gangguan ini, dilaksanakan penjagaan gerbang masuk/keluar kawasan, patroli, serta penyuluhan. Para pemburu seringkali melakukan pembakaran alang-alang, dengan maksud supaya
21
tumbuh tunas-tunas muda yang disukai rusa, sehingga para pemburu tinggal menunggu di tempat tersebut. Pembakaran ini seringkali menyebabkan terbakarnya areal dalam jumlah yang luas. Permasalahan lain berupa pemungutan rotan, pengambilan bahan tambang, penyerobotan kawasan, serta claim beberapa kelompok masyarakat atas tanah di dalam kawasan sebagai tanah leluhur (IDRAP 2006). Permasalahan yang terjadi di TNRAW di atas berdasarkan pengamatan di lapangan terjadi akibat kondisi ekonomi sekitar Taman Nasional yang kurang baik dengan pendapatan yang rendah. Widaningsih dan Djakamihardja (1991) menyatakan untuk maksud peningkatan pendapatan petani di satu sisi, dan tetap terjaminnya kelestarian (tidak terjadi degradasi) lahan di sisi lain, maka sistem pertanaman campuran (agroforestry) lebih tepat dilakukan di tempat itu. Boer (2001) memperkuat penyataan di atas dengan menyatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal dapat dikembangkan sistem Perhutanan Sosial yang kebanyakan diprogramkan di daerah transmigrasi atau daerah penyangga (antara hutan dan lahan masyarakat) termasuk agroforestri dengan menanam jenis tanaman kayu, buah-buahan dan pangan.
2.4. Agroforestri Satjapradja (1981) telah mengumpulkan beberapa pengertian agroforestri yang kemudian memberikan batasan umum sebagai suatu bentuk pemanfaatan lahan secara optimal pada suatu tapak yang mengusahakan produksi biologis berdaur pendek dan berdaur panjang (komoditi pertanian dan kehutanan), membentuk tajuk yang berlapis-lapis. berdasarkan kelestarian, baik ditanam
22
secara serentak maupun berurutan di dalam dan/atau di luar kawasan hutan, untuk kesejahteraan masyarakat. Agroforestri
dapat
dikategorikan
dalam
multiple
cropping,
yaitu
intensifikasi penanaman dalam dimensi waktu dan ruang dengan menanam dua atau lebih jenis tanaman pada lahan yang sama dalam satu tahun. Selanjutnya disebutkan bahwa perhatian penting dalam multiple cropping adalah penyediaan makanan bagi keluarga, menghasilkan makan dengan investasi modal yang minimum, meminimumkan resiko, dan menyebar pendapatan dan persediaan makanan sepanjang tahun Mandagi (2000). Nair (1989a) mendefinisikan agroforestri sebagai suatu sistem budidaya yang terdiri dari tanaman pohon dan non pohon yang tumbuh dalam asosiasi tertutup, dalam satu kesatuan kehutanan dan agronomis. Tujuannya adalah untuk memaksimumkan produksi dalam jangka panjang. Hasil yang diperoleh sekaligus berasal dari dua komponen tersebut yaitu tanaman pohon dan non pohon (sekurang-kurangnya pakan ternak). Berdasarkan struktur dan sifat komponennya, Nair (1984) membagi system agroforestri menjadi empat kelompok yaitu :
1. Agrisilvikultur, merupakan sistem pertanian yang terdiri dari campuran pepohonan dan tanaman pertanian termasuk semak dan tanaman merambat. Pelaksanaan sistem ini
meliputi pemanfaatan lahan bera dalam area
perladangan berpindah (Shifting Cultifation), sistem tumpang sari, kebun (Didominasi tanaman buah-buahan), penanaman sejajar garis kontur (Alley Cropping) dan penahan angin (Wind Breaks).
23
2. Silvopastoral, merupakan sistem pertanian yang terdiri dari campuran pepohonan, padang rumput dan hewan peliharaan (penggembalaan) 3. Agrosilvopastoral, merupakan sistem pertanian yang terdiri dari campuran pepohonan, tanaman pertanian, padang rumput dan hewan peliharaan (Penggembalaan). Pekarangan di sekitar tempat tinggal merupakan contoh yang baik untuk agrosilvopastoral. 4. Agrosilvofishery, merupakan sistem pertanian yang terdiri dari campuran pepohonan, tanaman pertanian dan ikan. Pelaksanaan sistem ini terutama pada lahan mangrove. Manfaat penerapan sistem agroforestri dapat dilihat dari keuntungan secara ekologis atau lingkungan, keuntungan secara ekonomis dan keuntungan secara sosial. Keuntungan secara ekologis dapat berupa (Nair 1989b; Chundawat dan Gautam 1993; Lai 1995): (a) pengurangan tekanan terhadap hutan, terutama hutan lindung dan suaka alam; (b) lebih efisien dalam siklus hara, terutama pemindahan hara dari kedalaman solum tanah ke lapisan permukaan oleh sistem perakaran tanaman pepohonan yang dalam; (c) penurunan dan pengendalian aliran permukaan, pencucian hara, dan erosi tanah; (d) pemeliharaan iklim mikro seperti terkendalinya temperatur tanah lapisan atas, pengurangan evaporasi dan terpeliharanya kelembaban tanah oleh pengaruh tajuk dan mulsa sisa tanaman; (e) sistem ekologis terpelihara dengan lebih baik dengan terciptanya kondisi yang menguntungkan dan populasi dan aktifitas mikroorganisme tanah; (f) Penambahan hara tanah melalui dekomposisi bahan organik sisa tanaman dan atau hewan dan (g) terpeliharanya struktur tanah akibat siklus yang konstan dari bahan organik sisa tanaman dan hewan.
24
Secara ekonomis, sistem agroforestri sangat menguntungkan terutama dalam hal (Nair 1989c; Chundawat dan Gautam 1993; Lai 1995): (a) peningkatan keluaran dalam arti lebih bervariasinya produk yang diperoleh yaitu berupa pangan, pakan, serat, kayu, bahan bakar, pupuk hijau dan atau pupuk kandang; (b) memperkecil kegagalan panen karena gagal atau menurunnya panen dari salah satu komponen, masih dapat ditutupi oleh adanya hasil (panen) komponen lain; dan (c) meningkatnya pendapatan petani, karena input yang diberikan akan menghasilkan output yang berkelanjutan. Keuntungan secara sosial dari diterapkannya sistem agroforestri adalah (Chundawat dan Gautam 1993; Lai 1995): (a) terpeliharanya standar kehidupan masyarakat pedesaan dengan keberlanjutan pekerjaan dan pendapatan; (b) terpeliharanya sumber pangan dan tingkat keseharian masyarakat karena peningkatan kualitas dan keragaman produk pangan, gizi dan papan; dan (c) terjaminnya stabilitas komunitas petani dan pertanian lahan kering sehingga dapat mengurangi dampak negatif urbanisasi. Selain kebaikan-kebaikan tersebut di atas, sistem agroforestri juga memiliki kelemahan-kelemahan, baik secara ekologis atau lingkungan, maupun secara sosial- ekonomis (Chundawat dan Gautam 1993). Kelemahan dari aspek lingkungan antara lain: (a) kemungkinan terjadinya persaingan sinar matahari, air tanah dan hara antara tanaman pohon (hutan) dengan tanaman pertanian/pangan dan pakan; (b) kerusakan tanaman pangan pada saat dilakukan pemanenan tanaman pohon (terutama saat penebangan kayu); (c) tanaman pohon secara potensial dapat menjadi inang bagi hama dan penyakit tanaman.
25
Kelemahan dari segi sosial-ekonomis antara lain (Chundawat dan Gautam, 1993): (a) terbatasnya tenaga kerja yang berminat di bidang pertanian, khususnya dalam membangun sistem agroforestri; (b) terjadinya persaingan antara tanaman pohon dengan tanaman pangan yang dapat menurunkan hasil tanaman pangan (sumber gizi keluarga) dibandingkan pada penanaman dengan sistem monokultur; (c) waktu yang cukup panjang untuk menunggu panen tanaman pohon dapat mengurangi produksi sistem agroforestri tersebut; (d) sistem agroforestri diakui lebih komplek sehingga lebih sulit diterapkan, apalagi dengan pengetahuan petani yang terbatas dibandingkan pada sistem pertanian monokultur; dan (e) keengganan sebagian besar petani untuk menggantikan tanaman pertanian/pangan dengan tanaman pohon atau sebaliknya, yang Iebih bemilai ekonomis. Dengan tingkat pengetahuan yang memadai, sebenarnya kelemahankelemahan sistem agoforestri tersebut di atas dapat dikendalikan sebagian atau seluruhnya dengan jalan (Nair I989c; Chundawat dan Gautam 1993): (a) penggunaan pohon kacangan atau tanaman berbuah polong yang sedikit dalam menghambat sinar matahari, sehingga kebutuhan cahaya untuk tanaman pangan dapat terpenuhi; (b) pemilihan tanaman pohon dengan sistem perakaran dalam, sehingga mengurangi persaingan hara dan air dengan tanaman pangan di sekitar permukaan atau tanah lapisan atas; dan (c) jarak tanaman pohon yang dibuat lebih lebar, sehingga mengurangi persaingan cahaya matahari, hara dan air tanah dengar, tanaman pangan. Tujuan akhir program agroforestri adalah juga meningkatkan kesejahteraan rakyat petani terutama yang di sekitar hutan, yaitu dengan memprioritaskan partisipasi aktif masyarakat dalam memperbaiki keadaan lingkungan yang rusak
26
dan berlanjut dengan memeliharanya (Departemen Kehutanan 1997). Beberapa jenis tanaman yang cocok untuk ditanam dengan sistem agroforestri (Mandagi 2000) : a. Padi (Oryza sativa) Padi gogo atau padi ladang termasuk dalam famili Gramineae. Padi gogo dapat tumbuh pada keinggian 0.2-500 mdpl pada suhu 24°C – 26 °C. Distribusi CH lebih penting dari CH total dimana kebutuhan CH adalah 100 mm/hari. Padi ladang ditanam pada bulan November/Desember. Pemakaian pupuk adalah 100 kg urea dan 150 kg TSP. Produksi padi gogo lebih rendah daripada padi sawah yaitu 2.1 ton/ha. b. Jagung (Zea mays L.) Jagung termasuk dalam famili Gramineae. Jagung dapat tumbuh pada ketinggian 0 – 3700 mdpl pada daerah kering dengan CH 250 mm/tahun sampai daerah basah dengan CH 5000 mm/tahun. Tanaman jagung dapat tumbuh pada tanah pasir sampai tanah liat di daerah datar sampai lereng yang curam. Sangat rentan terhadap udara dingin dan tidak cocok pada suhu ratarata di bawah 15°C. Kebutuhan pupuk adalah 200 kg urea, 200 kg TSP dan 50 kg KCL. Jagung ditanam pada dua musim pada bulan Oktober dan Februari tapi kadangkala dapat ditanam pada bulan Juni. Varitas lokal membutuhkan benih 40 -50 kg/ha, varitas unggul memerlukan 30 kg/ha. Umur panen jagung adalah 70-120 hari.
27
c. Jambu mete (Anacardium occidentale) Tanaman ini termasuk dalam famili Anacardiaceae. Jambu mete adalah tanaman keras yang tahan terhadap kekeringan, tumbuh dengan subur pada berbagai macam iklim dan kondisi tanah dan dapat tumbuh pada ketinggian 0 – 1 150 mdpl, tetapi paling baik di dataran rendah. Curah hujan 500 – 3 600 mm/tahun, paling baik pada tanah yang berpasir dengan drainase yang baik namun juga bisa tumbuh pada perbukitan yang terlalu kering dan berbatu untuk ditanami tanaman lain. Jarak tanam 3m x 3m, setelah berumur 10 tahun dapat dijarangkan sampai 6m x 6m. Pemanfaatan tanaman sela dapat dilakukan sampai dua tahun. Hasil ekonomis dapat diperoleh setelah tahun ketiga namun produksi penuh diperoleh baru pada tahun ke sepuluh dan terus berproduksi sampai 20 tahun. Produksi kacang mete minimal 10 kg/pohon d. Kakao (Theobroma Cacao L.) Tanaman Kakao termasuk dalam famili Sterculiaceae yang tumbuh di hutan tropis dengan habitat asli hutan tropis dengan naungan pohon-pohon yang tinggi, curah hujan tinggi, suhu sepanjang tahun relatif sama serta kelembaban tinggi dan relatif tetap, tetapi dalam habitat ini tanaman kakao akan menghasilkan sedikit bunga dan buah meskipun pohon tumbuh tinggi. Usaha tani kakao selalu menghadapi resiko kegagalan akibat serangan hama dan penyakit serta kondisi musim yang tidak mendukung produksi. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan tumpang sari. Tanaman yang biasa ditanam bersama kakao adalah kelapa yang berperan sebagai tanaman penaung atau dapat pula dengan sistem agroforestri dengan kombinasi tanaman Jati, kakao, lamtoro dan pisang dengan jarak tanam tertentu. Kakao biasanya
28
ditanam dengan jarak tanam 3 x 3 m atau 4 x 2 m, tanaman penaungnya yaitu kelapa ditanam dengan jarak tanam 10 x 10 m atau 12 x 4 m. e. Jati (Tectona grandis) Tanaman jati umumnya tersebar di kawasan Jawa, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat (Sumbawa), Maluku dan Lampung. Tanaman ini umumnya dapat tumbuh di ketinggian di bawah 700 mdpl dan tumbuh pada tanah-tanah vulkanis (abu, breksi) maupun tanah-tanah sedimen (formasi kapur dan napal) dan pada tanah-tanah alluvial berbagai asal, syarat yang lebih berat adalah terhadap keadaan fisik tanah dimana dia hanya tumbuh baik pada tanah-tanah sarang tetapi tidak terlalu kering dan agak basah dan aerasinya baik. Tanaman jati dibiakkan dengan mempergunakan biji atau dengan trubusan, tetapi yang lazim dilakukan adalah dengan menugal biji langsung di lapangan. Penanaman biji biasanya dilakukan pada awal musim hujan. Pada setiap ajir diletakkan tiga (3) benih dengan jarak antar benih 25 cm Benih ditanamkan pada bekas tangkai ke bawah sedalam 1 cm. Jarak antara ajir, yang juga merupakan jarak tanam bervariasi , tergantung pada bonita tanahnya. Untuk tanah berbonita 2-2.5 dipakai jarak tanam 1x 2 meter, pada bonita 3 dapat dipilih jarak tanam 1 x 2.5 meter dan pada bonita 3.5 ke atas digunakan jarak tanam 3 x1 meter. Tanaman jati dan tanaman sela akan berada dalam pemeliharaan petani selama 2 tahun sejak masa tanam jati. Pemeliharaan yang dilakukan meliputi : penyiangan, penyulaman, pemangkasan tanaman sela apabila tajuknya terlalu menaungi tanaman jati dan pemangkasan cabang dan ranting tanaman jati yang berdekatan dengan permukaan tanah.
29
Penjarangan pertama yang dilakukan tergantung kepada keadaan bonita tanahnya,berkisar antara umur 3 -5 tahun, kemudian 3 tahun sekali sampai umurnya lebih kurang 15 tahun. Setelah itu dijarangi setiap 5 tahun sekali sampai umur 30 tahun dan selanjutnya dijarangi 10 tahun sekali. f. Akasia (Acacia auriculiformis, A. Cunn.) Tanaman akasia termasuk dalam famili Leguminosae. Tanaman ini dapat tumbuh pada ketinggian sampai 600 mdpl dengan CH 1500-1800 mm/tahun dengan enam bulan kering, suhu 26°C sampai di atas 30°C . Tidak membutuhkan persyaratan yang tinggi baik terhadap tanah maupun iklim. Dapat tumbuh di tanah yang dangkal maupun dalam, pada lokasi padang alang-alang dan rumpun kering, seringkali pada tanah miskin unsur hara tetapi pohon ini menghasilkan nodul-nodul akar dan seringkali bisa bertahan hidup pada tanah dengan kandungan nitrogen dan bahan organik yang sangat rendah. Di Indonesia ditanam pada lereng yang tidak stabil untuk menjaga erosi dan direkomendasikan untuk tanah-tanah yang paling miskin. Mempunyai kapasitas untuk menghasilkan kayu bakar yang baik pada tanah miskin bahkan pada daerah-daerah dengan musim kemarau yang panjang. Jika pohon dipanen sekelompok tunas baru muncul dengan begitu cepat bahkan pada tanah-tanah marjinal. Daur berkisar antara 8-10 tahun dengan riap 23 m3/ha/tahun. Di Indonesia dan Malaysia riap tahunan adalah 17-20 m3/ha, rotasi 10-12 tahun. Bahkan pada tanah subur produksi mencapai 10 m3/ha/tahun pada kondisi yang lembab (Panel on Firewood Crops 1981; Direktorat Penghijauan dan Pengendalian Perladangan 1987; dan Direktorat Reboisasi 1995).
30
Kegiatan agroforestri merupakan bentuk kegiatan proyek CDM kehutanan yang memiliki potensi yang sangat besar, karena kegiatan ini merupakan bentuk kegiatan yang sudah banyak dilaksanakan oleh masyarakat. Sementara luas lahan yang layak di luar kawasan juga cukup besar.
Hasil kajian di Lampung
menunjukkan bahwa sistem agroforestri kebun (home garden system, HGS) yang berumur 30 tahun memiliki kandungan karbon sekitar 219-220 t C ha-1. Bahkan walaupun hasil kayunya diambil secara periodik, kandungan karbonnya masih tetap tinggi yaitu mencapai 184 t C ha-1, jauh lebih tinggi dari lahan alang-alang atau semak belukar yang kandungan karbon maksimum sekitar 35 tC ha-1 (Roshetko et al. 2002). Hasil analisis kandungan karbon terhadap lima jenis pool karbon (Carbon pools), biomass bagian atas, akar, sarasah, tanaman bawah, dan karbon tanah pada 19 jenis sistem agroforestri kebun umur 13.4 tahun diperoleh bahwa total kandungan karbonnya rata-rata sekitar 107 t C ha-1 dengan simpangan baku sekitar 8.1 t C ha-1 (Tabel 3). Tabel 3. Kandungan Karbon di Lima Jenis Pool Karbon pada Sistem Agroforestri Kebun (home garden system) Umur Rata-rata 13.4 Tahun. Jenis pool karbon Biomass bagian atas Akar Sarasah Tanaman bawah Tanah TOTAL Sumber: Roshetko et al. (2002)
Rata-rata kandungan karbon (t C ha-1) 35.2 8.8 2.0 0.3 60.8 107.1
Simpangan baku (t C ha-1) 21.0 5.3 1.2 0.07 4.4 8.1
2.5. Analisis Kelayakan Proyek dan Analisis Sensitivitas Analisis proyek dilakukan untuk menentukan apakah suatu proyek akan layak untuk dilaksanakan atau tidak. Secara implisit dapat dilihat bahwa analisis
31
proyek menghasilkan informasi yang penting. Analisis proyek yang efektif harus mempertimbangkan banyak aspek yang secara bersama-sama menentukan bagaimana keuntungan yang diperoleh dari suatu penanaman investasi tertentu dan harus dipertimbangkan pada setiap tahap dalam perencanaan proyek dan siklus perencanaannya. Pada proyek-proyek pertanian menurut Gittinger (1986) ada 6 aspek yang harus dipertimbangkan : 1. Aspek Teknis, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan penyediaan input dan output serta teknologi produksi. 2. Aspek Institusional-Organisasi-Manajerial, yaitu hal-hal yang berkenaan dengan pertimbangan mengenai sesuai tidaknya proyek dengan pola sosial budaya masyarakat setempat; susunan organisasi proyek agar sesuai dengan prosedur organisasi setempat; kesanggupan atau kehlian staf yang ada untuk menangani proyek. 3. Aspek Sosial, yaitu berkenaan dengan implikasi sosial yang lebih luas dari investasi yang diusulkan. 4. Aspek Komersial, yaitu berkenaan dengan rencana input dan rencana pemasaran yang dibutuhkan untuk kelangsungan proyek. 5. Aspek Finansial, yaitu berkenaan dengan pengaruh-pengaruh finansial terhadap peserta proyek. 6. Aspek Ekonomi, yaitu berkenaan dengan kontribusi proyek terhadap pembangunan ekonomi secara global. Dalam melakukan studi kelayakan, aspek finansial merupakan faktor yang menentukan, artinya berapapun aspek-aspek yang lain mendukung namun jika tidak tersedia dana maka akan sia-sia. Aspek finansial
berkaitan dengan
32
bagaimana menentukan kebutuhan jumlah dana dan sekaligus pengalokasian serta mencari sumber dana yang bersangkutan secara efisien, sehingga memberikan tingkat keuntungan yang menjanjikan bagi investor (Suratman 1989 dalam Siagian 2001). Tingkat keuntungan yang menjanjikan bagi investor adalah suatu tingkat keuntungan yang diukur berdasarkan kas, bukan berdasarkan laba akuntansi. Di samping
mendasarkan
pada
aliran
kas,
penilaian
investasi
harus
mempertimbangkan konsep nilai waktu uang (time value of money). Berbagai teknik analisis yang digunakan antara lain Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) dan Internal Rate of Return (IRR). Analisis sensitivitas adalah penelaahan kembali suatu analisis untuk melihat pengaruh-pengaruh yang terjadi akibat keadaan yang berubah-ubah (Gittinger
1986).
Analisis
sensitivitas
diperlukan
untuk
mengantisipasi
kemungkinan kesalahan dalam menilai biaya atau manfaat serta untuk mengantisipasi kemungkinan terjadi perubahan suatu unsur harga pada saat proyek tersebut dilaksanakan. Jadi analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat sampai berapa persen peningkatan atau penurunan faktor-faktor tersebut dapat mengakibatkan perubahan dalam kriteria investasi pada aspek keuangan yaitu dari layak menjadi tidak layak untuk dilaksanakan.
2.6. Program Tujuan Ganda Goal Programming atau disebut juga program tujuan ganda (multiple objective programming) merupakan alat analisis yang tepat untuk memecahkan permasalahan dengan lebih dari satu tujuan. la merupakan bentuk modifikasi atau variasi khusus dari linear programming, karena ia dikembangkan berdasarkan
33
teori dan asumsi-asumsi yang sama dengan linear programming. Perbedaannya hanya terletak pada terdapatnya sepasang variabel deviasional dalam model ini pada fungsi tujuan dan fungsi kendalanya. Variabel-variabel tersebut terdiri dari variabel deviasi positif dan deviasi negatif, yang tidak lain adalah merupakan variabel-variabel
slack
dan
surplus
dalam
model
linear programming
(Nasendi dan Anwar 1985). Di antara beberapa model matematis, goal programming dipertimbangkan sebagai model yang paling banyak diterapkan pada areal perencanaan penggunaan lahan (Bell 1975 dalam Contreras 1985). Di Indonesia, metode goal programming ini penerapannya sudah mulai banyak dikembangkan dan dipergunakan di beberapa bidang. Sebagai contoh, penerapannya di bidang perencanaan seperti bidang sumberdaya alam produksi dan pemasaran, keuangan
dan
investasi,
perencanaan
pola
tanam
dan
perencanaan
pengembangan sumberdaya alam suatu wilayah, dan lain-lain. Dalam rangka memecahkan persoalan tersebut, maka pengambilan keputusan harus menentukan satu di antara berbagai tujuan tersebut yang diutamakan atau diprioritaskan (selanjutnya ditetapkan sebagai prioritas ke-1), sedangkan tujuan yang kurang begitu penting ditetapkan sebagai prioritas ke-2 dan seterusnya. Pembagian prioritas ini disebut sebagai pengutamaan (preemptive) dan setiap tujuan disusun dalam suatu urutan (rangking) menurut skala prioritasnya. Model umum dari persoalan tujuan ganda yang memiliki struktur timbangan pengutamaan (preemptive weights) dengan urutan ordinal (ordinal rangking) dapat dirumuskan sebagai berikut (Nasendi dan Anwar 1985 ):
34
Fungsi tujuan meminimkan deviasi di antara berbagai tujuan dan sasaran yang ditetapkan. Meminimumkan : m
Z = ∑ Py W
+
i =1
i. y
d
+
i+
−
PW d i.s
s
−
i
…………….………..(1)
Syarat ikatan atau fungsi kendala : m
∑ X j =1
aij .
j
+
d
− i
−
d
+ i
=
b
i
…….....……….…………..(2)
untuk : I = 1,2, …,m tujuan atau target m
∑ j =1
gkj
.Xj
≤ atau ≥ Ck
……………….………….….…..….(3)
untuk : k = 1,2, …, p kendala fungsional j = 1,2, …, n peubah keputusan dan : Xj , d+I, d-I ≥ 0 .………………………………….………………………...(4) d-I . d+I = 0 ..…………………………………….……………………...…..(5) Keterangan : Z
= nilai skala dari kriteria pengambilan keputusan, merupakan fungsi tujuan
d-I dan d+I
= jumlah unit deviasi yang kekurangan (-) atau kelebihan (+) terhadap tujuan (bi)
W-I dan W+I
= timbangan atau penalty (ordinal atau cardinal) yang diberikan terhadap satu unit deviasi yang kekurangan (-) atau kelebihan (+) terhadap tujuan (bi)
Aij
=
koefisien teknologi fungsi
kendala
tujuan
yaitu yang
berhubungan dengan tujuan peubah pengambil keputusan (Xj)
35
Xj
= peubah pengambilan keputusan atau kegiatan yang selanjutnya dinamakan sebagai sub tujuan
bi
= tujuan atau target yang ingin dicapai
gkj
= koefisien teknologi fungsi kendala biasa
Ck
= jumlah sumberdaya yang tersedia
P y , Ps
= faktor-faktor prioritas dari tujuan