II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kemasan Polikarbonat
Pangan yang beredar saat ini praktis tidak lepas dari penggunaaan kemasan dengan berbagai maksud. Dari sisi keamanan pangan, kemasan pangan bukan sekedar bungkus tetapi juga sebagai pelindung agar makanan aman dikonsumsi. Namun tidak semua kemasan pangan aman bagi makanan yang dikemasnya (Sulchan, 2007). Berdasarkan UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan dan peraturanperaturannya, yang dimaksud dengan kemasan pangan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/ atau membungkus pangan, baik yang bersentuhan langsung dengan pangan maupun tidak. Sedangkan menurut Manurung (2010), kemasan pangan adalah wadah (pembungkus) yang dapat membantu mencegah atau mengurangi terjadinya kerusakan pada bahan yang dikemas. Saat ini, ada banyak jenis bahan yang digunakan untuk mengemas makanan diantaranya adalah berbagai jenis plastik, kertas, fibreboard, gelas, tinplate, dan aluminium. Kemasan yang banyak dijumpai adalah plastik dan berbagai jenis polimer yaitu Polietilen tereftalat (PET), Polivinil klorida (PVC), Polietilen (PE), Polipropilen (PP), Polistirena (PS), Polikarbonat (PC) dan melamin. Diantara kemasan plastik tersebut, salah satu jenis yang cukup populer di kalangan masyarakat produsen maupun konsumen adalah jenis polikarbonat. Polikarbonat adalah suatu kelompok polimer termoplastik, mudah dibentuk dengan menggunakan panas. Plastik jenis ini digunakan secara luas dalam industri kimia saat ini. Plastik ini memiliki banyak keunggulan, yaitu bening dan jernih seperti air, kekuatan benturan yang bagus, ketahanan terhadap pengaruh cuaca tinggi, suhu penggunaan tinggi, mudah diproses, dan tingkat flameabilitas yang rendah. Dari keunggulan tersebut membuat polikarbonat sering digunakan sebagai pengganti kaca dalam peralatan, pengolahan, dan aplikasinya. Dalam identifikasi plastik, polikarbonat berada pada nomor 7. Polikarbonat disebut demikian karena plastik ini terdiri dari polimer dengan gugus karbonat dalam rantai molekuler yang panjang (Gambar 1). Polikarbonat dibentuk dari hasil polimerisasi dari garam natrium bisphenolic dengan fosgen. Berdasarkan materi pengikat tipe polikarbonat yang paling umum adalah bisfenol-A (BPA). bisfenol-A merupakan tipe polikarbonat paling umum yang terdapat dalam plastik. Polikarbonat sendiri adalah material yang tahan lama dan dapat dilaminasi menjadi Kaca Anti Peluru, sedangkan sifat polikarbonat mirip dengan polimetil metakrilat (akrilik) namun polikarbonat lebih kuat dan dapat digunakan pada suhu tinggi. Polikarbonat akan mengalami transisi gelas pada temperatur 150oC sehingga polikarbonat akan menjadi lembek secara bertahap di atas temperatur ini, dan mulai mencair pada temperatur 300oC. Sehingga banyak digunakan dalam kemasan botol, termasuk kemasan botol susu bayi (Chapin, 2007).
Gambar 1. Struktur polimer polikarbonat (Sun, 2003). Pembuatan produk kemasan berbahan polikarbonat biasanya menggunakan proses dengan tehnik pengolahan termoplastik pada umumnya, yaitu : cetak injeksi, ekstruksi, cetak tiup, dan structural foam moulding. Salah satu teknik yang banyak digunakan dalam pembuatan botol polikarbonat di industri, yaitu dengan menggunakan metode extrusion blow mold. Keunggulan dari penggunaan metode ini adalah metode yang lebih sederhana dari metode blow mold yang terdiri dari
3
extruder dan blow, metode ini juga bisa digunakan untuk botol yang bervariasi dari bentuk, ukuran, bukaan leher botol, maupun bentuk handle. Tahapan-tahapan proses didalam pembuatan botolnya adalah sebagai berikut (Norman, 2008) : 1. Cairan plastik dikeluarkan dari ekstruder masuk kedalam cetakan tiup dengan pengarah lubang. 2. Cetakan ditutup. 3. Fluida (udara) dialirkan melalui pengarah lubang kedalam cairan plastik untuk menekan cairan plastik sehingga terbentuk cairan plastik seperti bentuk cetakan. 4. Cetakan dibuka untuk pengeluaran produk. Skema tahapan proses pembentukan botol polikarbonat dengan menggunakan metode extrusion blow mold dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Tahapan proses pembuatan botol polikarbonat menggunakan metode extrusion blow mold (Norman, 2008) Botol polikarbonat dari proses pencetakan selanjutnya dapat dilanjutkan keproses akhir seperti pelarutan dan adhesive bonding, pengecatan, printing, hot-stamping, dan ultrasonic welding (Iman Mujiarto, 2005). Didalam pengaplikasiannya kedalam sebuah produk, polikarbonat banyak digunakan diberbagai macam bidang, antara lain (Iman Mujiarto, 2005) : 1. Otomotif. Polikarbonat memberi performance tinggi pada lensa lampu depan/belakang. Polikarbonat opaque grade digunakan untuk rumah lampu dan komponen elektrik. Dan polikarbonat glass reinforced grade biasa digunakan untuk grill. 2. Pangan. Polikarbonat digunakan untuk tempat minuman, mangkuk pengolah makanan, alat makan/minum, microvwave, dan peralatan lain yang memerlukan produk yang jernih. 3. Medis Pada bidang ini polikarbonat biasa digunakan untuk pembuatan filter housing, tubing connector, dan berbagai macam peralatan operasi yang harus disterilisasai. 4. Industri elektrikal. Polikarbonat pada bidang ini biasa digunakan untuk pembuatan konektor, pemutus arus, tutup baterai, dan „light concentrating panels‟ untuk display kristal cair. 5. Alat/mesin bisnis. Polikarbonat pada bidang ini dapat digunakan untuk membuat : rumah dan komponen bagian dalam dari printer, mesin fotokopi, dan konektor telepon.
4
2.2
Bisfenol-A (BPA)
Bisfenol-A (2,2-bis (4-hydroxyphenyl) propane) atau BPA merupakan bagian terpenting dalam pembuatan plastik polikarbonat. bisfenol-A memiliki persamaan dengan senyawa kimia diethyl sylbestrat (DES) dan hormon estrogen. DES ini ternyata merupakan senyawa yang kurang baik karena dapat menyebabkan kanker dan masalah yang berhubungan dengan reproduksi. Selain itu juga merupakan zat kimia yang menyerupai hormon estrogen pada perempuan. BPA dapat digunakan sebagai hormon buatan yang bekerja seperti hormon estrogen untuk mengatai masalah kehamilan (Colborn et. al., 1997). Bahan ini apabila digunakan dalam jumlah yang tidak teratur dapat menimbulkan resiko terhadap kesehatan. Sehingga beberapa tahun terakhir ini mulai berkembang isu bahaya penggunaan BPA pada berbagai kemasan. Saat ini BPA banyak digunakan dalam pembuatan plastik polikarbonat dan beberapa untuk pembuatan resin epoxy yang sebagian besar banyak digunakan sebagai wadah makanan, minuman, dan sealant gigi (Alonso-Magdalena et. al., 2006). BPA merupakan salah satu bahan kimia yang paling berlimpah diproduksi di seluruh dunia dan memiliki kapasitas global pada tahun 2003 sebesar 6,4 miliar pounds dengan peningkatan produksinya sebesar 6-10% pertahun. Karena meluasnya penggunaan BPA dalam plastik polikarbonat serta lapisan kaleng, maka manusia terus-menerus terpapar bahan kimia ini, terutama di negara-negara maju (Calafat et. al., 2005). Dalam proses produksinya, plastik polikarbonat dihasilkan melalui proses kondensasi antara BPA dengan karbonil klorida (Gambar 3) (Sun, 2003). Penggunaan BPA pada plastik polikarbonat banyak diaplikasikan untuk berbagai produk plastik seperti kemasan makanan dan minuman, botol susu, botol air, kaleng susu formula, dan pipa-pipa saluran air. Penggunaan BPA dalam pembuatan plastik polikarbonat cukup diminati oleh industri karena botol yang dihasilkan tahan lama dan tampil lebih mengkilat. Sedangkan aplikasi BPA dalam pembuatan resin epoxy banyak digunakan pada bahan pelapis logam seperti kaleng makanan, botol air minum, kertas thermal, alat kesehatan, dan saluran air (Aschberger et.al., 2010). Penggunaan BPA semakin lama semakin meluas tidak hanya untuk produk pangan, tetapi juga digunakan sebagai bahan penambal gigi, pembuatan kepingan CD atau DVD, dan dalam pembuatan kacamata.
Bisfenol-A
Carbonyl Chloride
Polikarbonat formation
Gambar 3. Proses pembentukan polikarbonat (Sun, 2003). Beberapa penelitian telah berhasil mengetahui bahaya BPA bagi kesehatan. Saat ini banyak badan-badan kesehatan negara yang melihat potensi resiko kesehatan yang disebabkan oleh BPA. Oleh karena itu, negara-negara yang telah membuktikan bahaya BPA mulai melarang penggunaan bahan tersebut pada berbagai bentuk kemasan. Pusat Riset Toksikologi Nasional FDA bekerja sama dengan National Toxicology Program (NTP) saat ini melakukan kajian yang mendalam untuk mengklarifikasi dugaan tersebut. Sementara itu, US-FDA mengambil langkah-langkah pencegahan untuk mengurangi paparan BPA pada makanan, seperti mendorong industri untuk berhenti memproduksi botol bayi yang mengandung BPA dan peralatan makan bayi untuk pasar AS, memfasilitasi pengembangan alternatif untuk BPA, dan mendukung upaya untuk mengganti atau meminimalkan tingkat BPA dalam pelapis kaleng makanan (Lailya, 2010). Di lain sisi, Badan Kesehatan Kanada (The Health Canada) memilih kebijakan untuk mengambil tindakan pencegahan dan menyimpulkan bahwa BPA harus dianggap sebagai zat atau bahan yang dapat menimbulkan bahaya pada kehidupan atau kesehatan manusia. Sebagai langkah awal Pemerintah Kanada berencana
5
untuk membuat peraturan untuk melarang import, iklan, dan penjualan botol bayi berbahan polikarbonat (Joaquim Maia et.al., 2010). Selanjutnya, Organisasi kesehatan dunia (WHO) melalui forum panel yang beranggotakan 30 pakar dari Kanada, Eropa, dan Amerika Serikat pada 10 November 2010 di Ottawa, Kanada, menyampaikan bahwa kadar BPA yang terkandung dalam urine seseorang ternyata relatif sama dengan kadar BPA yang masuk ke dalam tubuh orang tersebut. Hal ini berarti sebagian besar atau bahkan mungkin semua BPA dapat diekskresikan secara alamiah dari dalam tubuh. Selain itu, WHO juga menyatakan bahwa berbagai penelitian yang telah dilakukan membuktikan meskipun dalam kadar yang rendah, BPA tetap dapat memberikan efek buruk bagi kesehatan (Anonim, 2010)1. Menurut Sun (2003), terdapat korelasi antara BPA masalah biologis pada laki-laki dan perempuan. Pada laki-laki, dapat menyebabkan penurunan produksi sperma, penambahan berat prostat, dan kanker testis. Sementara itu, pada perempuan dapat menyebabkan perkembangan endometrium yang tidak normal sehingga dapat menimbulkan infertilitas dan meningkatkan risiko terkena kanker payudara. Sun (2003) juga memaparkan bahwa bayi dan anak-anak juga akan terkena dampak negatif dari BPA ini. Pada anak-anak, terutama pada bayi yang masih dalam kandungan maupun bayi yang baru lahir, dapat menyebabkan ketidakseimbangan hormon yang berdampak buruk selama periode emas pertumbuhan anak, meskipun akibatnya tidak langsung tampak. Penelitian juga dilakukan oleh para peneliti di University of Missouri-Columbia untuk menentukan dampak dari BPA pada organ reproduksi tikus. Penelitian dilakukan adalah dengan cara menyuntikan BPA pada dua tikus betina yang sedang hamil dengan dua dosis yang berbeda (2 ppb dan 20 ppb). Setelah dua tikus betina tersebut lahir selanjutnya, dipilih secara acak anak tikus yang berkelamin jantan dari kedua tikus betina tersebut untuk dibesarkan dan diteliti pengaruhnya terhadap organ reproduksi tikus jantan. Hasilnya ditemukan bahwa pemberian dua dosis BPA yang berbeda pada indukan dapat memberikan efek yang berbeda pada kemampuan reproduksi anaknya. Untuk anak tikus betina yang diberikan dosis BPA sebesar 2 ppb memperlihatkan adanya efek peningkatan ukuran kelenjar preputial sebesar 35%, kelenjar preputial ini bertanggung jawab atas perilaku sociosexual pada tikus jantan. Sebaliknya, dosis yang sama mengurangi ukuran epididimis, organ yang menyimpan sperma pada tikus jantan. Hal ini juga yang akan mengurangi ukuran vesikula seminalis yang berguna untuk mengalirkan sperma saat ejakulasi dan hal ini yang menggambarkan tingkat kesuburan pada tikus jantan. Selanjutnya, untuk anak tikus betina yang diberikan dosis BPA sebesar 20 ppb secara signifikan menurunkan efisiensi produksi sperma sebesar 20% dibandingkan dengan kelompok tikus jantan kontrol. Dalam studi sebelumnya oleh kelompok ilmuwan yang sama, kelenjar prostat pada tikus jantan yang diberi dosis BPA yang sama (2 ppb dan 20 ppb) meningkat sebesar 30% dibandingkan dengan tikus jantan kontrol. Kedua hasil peneltian ini membuktikan bahwa pemberian berbagai dosis BPA pada tikus memberikan efek menurunkan fungsi pada organ reproduksinya. Dari dasar hasil penelitian inilah maka beberapa ilmuwan menduga sementara bahwa sangat mungkin BPA juga dapat mempengaruhi perkembangan bayi pada manusia (Vom Saal et. al., 1998). Setelah terbukti bahwa BPA memiliki efek negatif pada organ tikus, dilakukan lagi penelitian mengenai efek samping BPA terhadap manusia dan terlihat adanya suatu korelasi antara paparan BPA dengan penyakit ovarium pada wanita, kanker prostat pada pria, dan berkurangnya sistem kekebalan tubuh (Vom Saal et. al., 2005) Meskipun telah banyak penelitian mengenai bisfenol-A dan pelarangan penggunaannya tersebut didalam pembuatan kemasan pangan tetapi, penggunaan bisfenol-A sebagai bahan dasar pembuatan kemasan pangan masih banyak digunakan oleh beberapa industri. Hal ini terjadi karena kemasan pangan yang mengandung senyawa bisfenol-A masih di nyatakan aman oleh berbagai
6
lembaga internasional dan baru akan dinyatakan berbahaya apabila kadar bisfenol-A yang terkandung dalam pangan melebihi 0,03 µg/mL (30 ppb).
2.3
Migrasi Bisfenol-A (BPA)
Menurut Balai Besar Kimia dan Kemasan (2011), migrasi terbagi menjadi dua jenis, yaitu global migrasi dan spesifik migrasi. Global migrasi atau migrasi total merupakan hasil perpindahan komponen dari kemasan, dimana komponen tersebut tidak dibedakan antara yang berbahaya (toksik) dengan yang tidak berbahaya (non-toksik) pada kesehatan. Global migrasi ini dinyatakan dalam satuan mg bahan yang berpindah per satuan luas (mg/dm2) atau mg/kg bahan kemasan. Sementara spesifik migrasi merupakan proses perpindahan komponen-komponen dalam kemasan yang telah diketahui dapat membahayakan kesehatan manusia. Nasiri et.a.l (2009) menyatakan bahwa jumlah migrasi akan meningkat seiring dengan peningkatan suhu kontak, peningkatan waktu kontak, peningkatan kandungan bahan kimia dalam kemasan, peningkatan luas permukaan kontak, dan peningkatan agresifitas pangan yang dikemas. Suhu dan waktu kontak yang semakin meningkat akan mempercepat proses migrasi bahan kimia ke bahan makanan sehingga nilai migrasi yang dihasilkan akan lebih tinggi. Mudahnya terjadi migrasi BPA kepada makanan atau minuman dikarenakan ikatan kimia antar monomer BPA dalam polimer plastik sangat lemah dan tidak stabil. Apabila kemasan tersebut terus menerus kontak dengan pangan, maka senyawa BPA yang ada dalam bahan kemasan akan terlepas. BPA ini dapat bekerja dalam konsentrasi yang sangat kecil (dalam ppb atau ppt) sekalipun sehingga sangat berbahaya bagi kesehatan. Sebenarnya potensi migrasi ini dapat menurun apabila bobot molekul dari bahan kemasan tinggi, kontak antara pangan dan kemasan tidak langsung atau kering, daya difusi bahan kemasan rendah (inert), dan adanya lapisan pembatas yang inert (Barnes et. al. 2007). Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui migrasi senyawa kimia yang berasal dari plastik polikarbonat, yaitu senyawa bisfenol-A (BPA). Seperti penelitian yang dilakukan oleh Biedermann-Brem dan Grob pada tahun 2009, tentang pengaruh suhu terhadap migrasi BPA dalam air ledeng, menunjukan bahwa konsentrasi BPA dalam air ledeng pada suhu 50°C sebesar <0.0001 µg/mL meningkat menjadi 0.0006 µg/mL ketika air mendidih. Kemudian konsentrasi BPA dalam air pada pH 9.5 (50oC) sebesar <0.002 µg/mL meningkat menjadi 0.033 µg/mL ketika air mendidih. Menurut Biles et. al. (1997), konsentrasi terbesar migrasi BPA dari kemasan polikarbonat dalam air deionisasi dan air ledeng adalah sebesar 1 mg/l pada suhu 65°C selama 10 hari. Suhu merupakan salah satu faktor penyebab mudahnya BPA bermigrasi. BPA akan sangat mudah bermigrasi apabila suhunya dinaikkan atau dipanaskan. Sementara botol susu dalam penggunaannya selalu bersentuhan panas baik untuk sterilisasi dengan cara direbus, dipanaskan dengan microwave, hingga dituang dengan air mendidih atau air panas. Oleh karena itu peluang berpindahnya BPA dari kemasan kedalam produk yang dikemas sangat besar. Penelitian lain dilakukan oleh Sung-Hyun Nam et.al. (2010) yang menghitung kadar migrasi bisfenol-A dari botol bayi berbahan polikarbonat baru yang diisi dengan air bersuhu 40 oC hingga 95oC. Konsentrasi migrasi yang terukur pada suhu 40°C dan 95°C masing-masing adalah 0,03 µg/mL (0,03 ppb) dan 0,13 µg/mL (0,13 ppb). Kemudian masih menggunakan botol yang sama namun setelah digunakan selama 6 bulan menunjukan konsentrasi migrasi yang terukur pada suhu 40°C dan 95°C masing-masing adalah 0,18 µg/mL (0,18 ppb) dan 18,47 µg/mL (18,47 ppb). Tingkat migrasi akan semakin meningkat ketika suhu air lebih dari 80 oC. Sun (2003) juga melakukan penelitian mengenai migrasi BPA dalam botol susu botol susu bayi. Dalam penelitiannya digunakan simulan pangan berupa minyak dan etanol 10%. Inkubasi dilakukan pada suhu tinggi selama 8 jam, 72 jam, dan 240 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah migrasi BPA dalam minyak berkisar antara
7
ND (not detected) hingga 0.37 mg/inch2, sedangkan jumlah migrasi BPA dalam etanol 10 % berkisar ND hingga 1.92 mg/inch2 (Sun, 2003). Penelitian lain juga dilakukan oleh Wong et. al. (2005) yang menghitung jumlah migrasi yang terjadi pada 28 sampel botol susu polikarbonat dengan menggunakan simulant pangan ethanol 10% dan minyak jagung. Ethanol 10% digunakan sebagai food simulant yang mewakili makanan yang berair dan makanan yang mengandung asam. Sedangkan minyak jagung untuk mewakili makanan yang mengandung lemak. Inkubasi dilakukan pada suhu 70oC pada ethanol 10% dan 100oC pada minyak jagung. Sedangkan lama waktu inkubasi untuk kedua food simulant adalah selama 8, 72, dan 240 jam. Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai rata-rata migrasi BPA didalam ethanol 10% pada suhu 70oC untuk masing-masing lama waktu inkubasi adalah 0.028 ; 0.059 ; 0.625 (µg/in2). Sedangkan untuk nilai rata-rata migrasi BPA didalam minyak jagung pada suhu 100 0C untuk masingmasing lama waktu inkubasi adalah 0.107 ; 0.212 ; 0.405 (µg/in2). Dari hasil penelitian Wong et. al. (2005) dapat dilihat bahwa semakin lama waktu inkubasi, maka jumlah BPA yang bermigrasipun semakin meningkat. Sama halnya dengan suhu inkubasi, semakin tinggi suhu inkubasi, maka BPA yang bermigrasipun semakin banyak. Dan dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa besarnya BPA yang bermigrasi kedalam food simulant berbanding lurus dengan lamanya waktu dan suhu kontak.
2.4
Survei Konsumsi Pangan
Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok (kebutuhan dasar) manusia untuk hidup sehat (Harper et. al., 1985). Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang dimakan seseorang atau kelompok orang dengan tujuan tertentu (Suhardjo, 1989). Menurut Suhardjo (1990), penilaian konsumsi pangan dapat digunakan untuk menentukan jumlah dan sumber zat gizi yang dimakan melalui survei secara kuantitatif maupun kualitatif. Survei secara kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah pangan yang dikonsumsi, sedangkan survei secara kualitatif biasanya untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis bahan makanan yang dikonsumsi dan menggali informasi tentang kebiasaan makan serta cara memperolehnya (Vegan, 2009). Secara umum survei konsumsi pangan dimaksudkan untuk mengetahui kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan makanan dan zat gizi pada tingkat kelompok, rumah tangga dan perorangan serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi makanan tersebut (Vegan, 2009). Oleh karena itu, survei konsumsi pangan dapat menghasilkan data atau informasi yang bersifat kualitatif atau kuantitatif atau kedua-duanya. Dalam suatu survei konsumsi pangan jelas mempunyai tujuan tertentu baik yang bersifat umum maupun bersifat khusus. Masalahnya adalah siapa yang menjadi sasaran dari survei tersebut. Pada dasarnya sasaran survei ini dapat digolongkan yaitu individu/ kelompok individu, keluarga/ kelompok keluarga, dan penduduk (secara nasional/ regional). Survei konsumsi pangan terhadap individu dimaksudkan untuk memperoleh data konsumsi pangan individu atau kelompok individu yang diamati. Kadang-kadang tujuan survei ingin mengetahui keadaan tingkat konsumsi keluarga atau kelompok keluarga menurut suatu kriteria. Biasanya dalam survei konsumsi pangan keluarga ingin pula diketahuui pembagian antar anggota keluarga. Oleh karena itu, metode survei yang digunakan untuk individu juga digunakan dalam bentuk kombinasi. Pada dasarnya untuk mengetahui tingkat konsumsi pangan penduduk secara nasional atau regional dapat menggunakan metode yang sama dengan survei keluarga maupun individu. Masalahnya adalah bagaimana memperolah contoh yang representatif bagi seluruh penduduk skala nasional atau regional. Selain itu, data konsumsi yang dikumpulkan harus dapat mewakili keadaan yang nyata (Suhardjo et al., 1988).
8
2.5
Kuisioner Frekuensi Pangan atau Food Frequency Questionnaire (FFQ)
Tidak ada metode baku untuk mengumpulkan data konsumsi pangan. Data konsumsi pangan secara luas tersedia dan mungkin semua metode survei yang ada dapat digunakan. Metode pengambilan data konsumsi dapat dilakukan secara langsung pada tingkat individu dan secara tidak langsung dengan mengumpulkan informasi konsumsi dari pembelian produk pangan atau produksi suatu jenis pangan di industri. Salah satu metode langsung yang dapat digunakan adaah kuisioner frekuensi pangan atau food frequency questionnaire (FFQ) (Warsiki, 2010). Food Frequency Questionnaire (FFQ) adalah metode survei konsumsi pangan yang bertujuan untuk mendapatkan pola konsumsi bahan pangan tertentu. FFQ yang juga disebut kuisioner frekuensi pangan sering mengacu pada riwayat diet berdasarkan daftar (list-based diet history) yang terdiri dari daftar diet. Untuk setiap jenis pangan dalam daftar, responden ditanya untuk memperkirakan berapa kali makan dalam sehari, minggu, bulan atau tahun. Jumlah atau jenis pangan mungkin bervariasi seperti jumlah dan tiap kategori frekuensi. Validitas pola diet yang dikaji dengan FFQ tergantung pada keterwakilan pangan yang tercatat dalam kuesioner. Meskipun beberapa telah menyimpulkan bahwa FFQ menghasilkan data yang valid untuk pengkajian paparan diet, selebihnya telah ditemukan bahwa FFQ tidak menghasilkan estimasi yang nyata dari asupan beberapa nutrisi makro karena responden tidak ingat dengan pasti. FFQ biasanya digunakan untuk menentukan peringkat individu melalui konsumsi pangan atau nutrisi pilihan. Meskipun FFQ dirancang untuk digunakan mengukur paparan diet absolute, metode ini mungkin lebih akurat dibandingkan metode lain yang digunakan dalam mengestimasi paparan diet rata-rata untuk zat kimia dengan variabilitas hari ke hari dan yang relatif sedikit sebagai sumber survei (Nasiri et al., 2009). Kuesioner frekuensi pangan memberi daftar kelompok pangan untuk diisi frekuensi pangannya dan ditimbang, data grup pangan biasanya telah disiapkan pilihan frekuensi konsumsi dan ukuran penyajian. Metode ini merupakan metode yang paling sedikit membutuhkan tenaga dan dapat menangani banyak sampel. FFQ dapat bersifat khusus atau umum. Akan tetapi, data grup pangan yang disajikan sering kurang detail dalam penilaian paparan zat kimia, misalnya “ikan” tidak menunjukkan detail apakah ikan berminyak atau kerang. Selain itu, data level merk tidak dapat dikumpulkan (Warsiki, 2010).
2.6
Purposive Sampling
Secara sederhana, sampling adalah pengambilan sampel atau contoh dari populasi untuk diamati atau diteliti. Tetapi jika pengamatan atau penelititan dilakukan terhadap seluruh elemen atau anggota populasi maka kegiatan tersebut mempunyai istilah khusus, yaitu sensus. Keuntungan ekonomis sampling dibandingkan sensus adalah sangat besar, dan hal ini merupakan salah satu faktor penting yang menjadi pertimbangan mengapa kita melakukan sampling tersebut. Salah satu metode sampling yang biasanya digunakan adalah purposive sampling. Purposive sampling merupakan metode pengambilan sampel non probability dengan mempertimbangkan kriteria-kriteria tertentu sesuai dengan tujuan penelitian. Penarikan sampel dengan non probability pada umumnya dilakukan untuk suatu penelitian yang populasinya tidak diketahui (Gulo, 2002). Menurut Sugiyono (2010), sampling purposive adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Sampling yang purposive adalah sampel yang dipilih dengan cermat hingga relevan dengan desain penelitian. Dengan demikian diusahakan agar sampel itu memiliki ciri-ciri yang esensial dari populasi sehingga dapat dianggap cukup representatif. Keuntungan metode purposive sampling ialah sampel itu dipilih sedemikian rupa sehingga relevan dengan desain penelitian. Selain itu, cara ini relatif lebih mudah dan
9
murah untuk dilaksanakan. Sampel yang dipilih adalah individu yang menurut pertimbangan peneliti dapat didekati. Sedangkan kelemahannya adalah tidak ada jaminan sepenuhnya bahwa sampel itu representatif seperti halnya dengan sampel acakan atau random. Kriteria yang digunakan atas dasar pertimbangan peneliti harus didasarkan atas pengetahuan yang mendalam tentang populasi agar dapat dipertanggungjawabkan. Sekalipun demikian, pertimbangan itu tidak bebas dari unsur subyektifitas (Nasution, 2007). Menurut Hadi (1977), dalam purposive pemilihan sekelompok subyek didasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau sifatsifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Sebutan purposive menunjukkan bahwa teknik ini digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Semua sampling pasti bertujuan, karena itu sebutan purposive sampling untuk sesuatu teknik sampling sebenarnya kurang tepat. Akan tetapi yang lebih penting adalah mempunyai pengertian yang jelas tentang maksudnya dan memastikannya apakah yang dilakukan benar-benar memenuhi kriteria purposive sampling.
2.7
Paparan Zat Kontak Pangan Akibat Migrasi dari Kemasan Pangan
Sejak ditangani sampai digunakan konsumen, pangan harus tetap bersifat aman untuk dikonsumsi. Pangan yang aman dikonsumsi adalah pangan yang bebas (di bawah toleransi maksimum yang dipersyaratkan) dari cemaran berbahaya seperti cemaran biologis, kimia, dan benda asing yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia (Fardiaz, 1994). Lebih lanjut Hariyadi (2007) juga menjelaskan bahwa produk pangan yang mempunyai tingkat keamanan yang baik adalah produk pangan yang bebas cemaran biologis, kimia, dan benda asing yang dapat mengganggu, merµgikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Menurut UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan. Menurut Wirakartakusumah (1994), keamanan pangan merupakan masalah yang kompleks sebagai hasil interaksi antara toksisitas mikrobiologi, toksisitas kimiawi, dan status gizi. Hal ini, sangat berkaitan dimana pangan yang tidak aman akan mempengaruhi kesehatan manusia yang pada akhirnya dapat menimbulkan masalah terhadap status gizinya. Keamanan yang menurun pada suatu produk dapat memberikan efek keracunan pangan atau foodborne disease bagi konsumen yang mengkonsumsi produk tersebut. Menurut Nasiri et al. (2009), bahan kimia berbahaya atau cemaran merupakan salah satu penyebab berbagai masalah kesehatan yang serius dan menimbulkan dampak permanen atau bahkan kronis. Oleh karena itu diperlukan studi kesehatan masyarakat yang ditimbulkan dari adanya bahan kimia toksik (berbahaya) dalam pangan, dengan mengestimasikan paparan kontaminan asupan pangan harian yang kemudian dibandingkan dengan referensi toksisitas zat yang dimakan seperti Asupan Harian yang Ditoleransi (Tolerable Daily Intake, TDI) atau Asupan Mingguan yang Ditoleransi Sementara (Provisional Tolerable Weekly Intake, PWTI). Kajian tersebut bertujuan untuk memonitor kesesuaian paparan kontaminan dengan standar maksimum yang tercantum dalam peraturan. Penilaian paparan kontaminan sangat penting dalam membuat keputusan tentang status keamanan pangan. Paparan didefinisikan sebagai total bahan kimia yang dikonsumsi oleh manusia. Untuk memperkirakan tingkat paparan bahan kimia JECFA (joint FAO/ WHO Expert Committe on Food Additives) menggunakan tiga tipe pendekatan yaitu perkiraan per kapita, perkiraan dari survei konsumsi pangan dan analisis bahan kimia menggunakan metode TDS (Total Diet Study) (WHO, 1987). Kajian paparan mempelajari proses yang terjadi karena adanya interaksi antara lingkungan yang mengandung kontaminan dengan manusia. Kajian ini akan mengukur seberapa besar paparan kontaminan dapat diterima oleh organisme (manusia atau hewan) yang ditargetkan atau berapa banyak
10
paparan kontaminan akan mengakibatkan efek biologis pada organisme tersebut. Walaupun secara konsep kajian paparan berlaku untuk semua jenis kehidupan, namun dalam hal ini hanya akan diaplikasikan untuk kesehatan manusia sehingga kajian paparan merupakan salah satu alat bagi pengukuran kesehatan masyarakat (Warsiki, 2010). Kajian paparan adalah dasar untuk menetapkan asupan harian yang dapat ditoleransi (TDI), yang berdasarkan bahaya (toksisitas). Meskipun kadang suatu zat toksik tidak berbahaya bagi kesehatan manusia jika zat tersebut dikonsumsi dalam jumlah kecil, namun risiko kontaminan makanan tidak tergantung dari sumbernya tetapi dari kombinasi bahaya suatu zat (toksisitas) tersebut dan banyaknya zat tersebut dikonsumsi atau memapari konsumen. Keamanan pangan tidak hanya ditentukan hanya semata-mata pada toksisitas zat yang bermigrasi, tetapi juga jumlah zat berbahaya tersebut yang dikonsumsi (estimasi keberadaan) yang dikonsumsi (Warsiki, 2010). Kajian paparan (diet) akan mengombinasikan data konsumsi dengan data kadar zat kimia dalam pangan. Hasil dari estimasi paparan ini kemudian dibandingkan dengan data referensi nutrisi atau toksikologi terhadap zat kimia yang dikaji. Kajian paparan mungkin dilakukan untuk jangka pendek (akut) dan jangka panjang (kronis). Kajian paparan jangka pendek hanya menggunakkan data paparan selama 24 jam, sedangkan kajian paparan jangka panjang menggunakan data rata-rata paparan harian selama hidup seseorang. Adakalanya kajian paparan nutrien menggunakan asumsiasumsi dasar yang cenderung menghasilkan nilai estimasi paparan kurang dari sebenarnya sedangkan kajian paparan zat kimia toksik harus menggunakan asumsi-asumsi yang menghasilkan nilai estimasi paparan yang lebih tinggi dari sebenarnya (kasus terburuk). Persamaan umum untuk kajian paparan dapat dilihat berikut ini: ∑
Satuan paparan diet adalah milligram zat per kilogram berat badan per hari. Pengguna terminologi standar sangat dianjurkan untuk memastikan konsistensi di dalam aplikasi dan pemahaman. Konsumsi mengacu pada jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang baik dalam bentuk padatan maupun cairan dan paparan diet adalah jumlah zat kimia dalam pangan yang dikonsumsi (Warsiki, 2010).
11