II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kebijakan Umum Kehutanan Situasi industri kayu bulat dan industri pengolahan tidak terlepas dari kebijakan pengelolaan kawasan dan sumberdaya hutan Indonesia yang mulai dilakukan sejak diterbitkannya Undang Undang Pokok Kehutanan No.5 tahun 1967 dan kebijakan pengusahaan hutan pada tahun 1970-an, serta peraturanperaturan setelah itu.
Menurut Ngadiono (2004) pengelolaan kawasan dan
sumberdaya hutan di Indonesia mulai dari Orde Baru, atau lebih spesifik lagi mulai 1968,
dapat dibagi menjadi empat periode pengelolaan yang masing-
masing mempunyai penekanan yang berbeda antar yang satu dengan lainnya. Periode pertama antara tahun 1968 sampai 1980 pada saat Indonesia sedang mengejar pertumbuhan ekonomi, sumberdaya hutan dijadikan modal pembangunan
dengan
memanfaatkan
kayu
sebanyak-banyaknya
melalui
pengusahaan hutan yang difasilitasi oleh Undang-Undang No.1 tahun 1967 mengenai Penanaman Modal, dan Undang-Undang No. 5 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok
Kehutanan.
Kondisi
ini terus
berlanjut
dengan
berbagai
penyempurnaan peraturan sampai dengan tahun 1980 di mana hampir semua kawasan Hutan Produksi (HP) dieksploitasi melalui pemberian Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di mana setiap pemegang hak dibebani kewajiban untuk membayar Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) atau license fee, Iuran Hasil Hutan (IHH), dan Dana Jaminan Reboisasi (DJR). Pada akhir periode ini kawasan HP menjadi semakin terdegradasi, dan penebangan untuk produksi kayu bulat semakin jauh
12
dari infrastruktur karena pohon-pohon terdekat sudah mulai berkurang bahkan habis, sehingga biaya dan harga kayu bulat menjadi semakin tinggi. Dengan pengalaman itu maka pada periode kedua, yaitu antara tahun 1980 dan 1990 sumberdaya hutan ditempatkan sebagai suatu ekosistem yang diperlukan untuk menunjang kehidupan (life supporting system). Dengan sistem ini tebangan dan produksi kayu bulat sangat dibatasi dengan berbagai peraturan, termasuk dengan diaplikasikannya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Periode ini ditandai dengan adanya penunjukkan kawasan hutan secara makro dan indikatif di tiap provinsi melalui Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan, atau yang biasa disebut sebagai Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Pada periode ini pula pemerintah mulai memikirkan pembangunan industri pengolahan kayu primer guna memperoleh nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja, sehingga ekspor dikurangi. Pada periode ketiga, yaitu antara tahun 1990 hingga 2000 kawasan hutan dan sumberdaya yang ada di atasnya dipandang sebagai bagian dari kesatuan ruang yang harus dikelola secara lestari dengan memperhatikan keamanan dan kenyaman lingkungan hidup.
Periode ini ditandai dengan terbitnya Undang-
Undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Habitatnya, serta Undang-Undang No.24 tahun 1992 mengenai Penataan Ruang. Dengan kedua Undang-Undang tersebut maka pengelolaan sumberdaya hutan menjadi semakin konservatif, sehingga target produksi kayu bulat menjadi semakin mengecil meskipun realisasinya masih tetap besar karena adanya peningkatan permintaan industri pengolahan kayu primer yang semakin berkembang.
13
Pada periode keempat yaitu antara tahun 2000 hingga sekarang, seharusnya arah pengelolaan sumberdaya hutan yang lestari secara ekologis bisa dilanjutkan sehingga produksi hasil hutan merupakan bagian dari kesatuan pembangunan ruang wilayah. Namun pada periode ini terjadi perubahan politik yang besar di mana sebagian besar urusan kehutanan didesentralisasikan ke pemerintah daerah. Tabel 3. Deforestasi per Wilayah di Indonesia Tahun 2001-2005 Luas Deforestasi (hektar) per Wilayah di Indonesia Periode
Sumatera
20002001 20012002 20022003 20032004 20042005 Jml RataRata
259 500 202 600 339 000 208 700 335 700 1 345 500 269 100
Kalimntan
212 000 129 700 480 400 173 300 234 700 1 230 100 246 020
Papua
Jawa
Bali & Nusa
Indonesia
20 000
147 200
118 300
107 200
1 018 200
150 400
41 400
160 500
142 100
99 600
926 300
385 800
132 400
140 800
343 400
84 300
1 906 100
41 500
10 600
100 800
71 700
28 100
634 700
134 600
10 500
169 100
37 300
40 600
962 500
866 300
214 900
718 400
712 800
359 800
5 447 800
173 260
42 980
143 680
142 560
71 960
1 089 560
Sulawesi
Maluku
154 000
Sumber: Departemen Kehutanan, 2006 Secara khusus urusan produksi kayu menjadi wewenang dari pemerintah kabupaten, yang sayangnya pada suasana euphoria reformasi wewenang tersebut dilaksanakan secara berlebihan (excessive) sehingga menimbulkan berbagai kerusakan dan penurunan produktivitas hutan alam atau deforestasi (Barr, 2006; dan Santoso, 2008), sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 3. Pada periode inilah selisih antara permintaan kayu bulat untuk industri pengolahan dengan penawaran legal dari kawasan hutan sangat besar, dan tebangan illegal marak terjadi di hampir semua provinsi.
14
Ekploitasi sumberdaya hutan yang berlebihan menjadikan semakin menurunnya sumberdaya hutan yang dimiliki Indonesia.
Secara ekonomi,
eksploitasi sumberdaya hutan yang berlebihan dapat merupakan akibat dari tidak tercapainya kondisi pasar persaingan sempurna sebagai akibat dari adanya ketidaksimetrisan informasi (asymmetrical information) dalam perdagangan hasil hutan terutama kayu. Kondisi ini mendorong terjadinya kegagalan pasar, salah satu sumber terjadinya ketidaksimetrisan informasi ini adalah tingkat pengetahuan produsen dan konsumen kayu yang berbeda terhadap kualitas kayu. Faktor ini memungkinkan kayu dengan berbagai kualitas dijual pada tingkat harga yang sama dan konsumen tidak punya kemampuan untuk membedakan kualitas kayu tersebut. Sehingga pemasok kayu akan mengeksploitasi sumberdaya kayu dengan berbagai kualitas mulai dari yang paling rendah. Kaitannya dengan pencegahan pembalakan liar, pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya seperti penjaminan kepastian legalitas dan asal usul kayu. Upaya yang dilakukan dengan membangun sebuah inisiatif kerjasama antara negara-negara produsen dengan konsumen untuk bekerjasama dalam pemberantasan penebangan liar. Salah satu bentuk kerjasama tersebut adalah penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Skema ini dibangun secara multipihak untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan. 2.2. Studi Global Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat Adam dan Castano (2002) memberi gambaran mengenai penawaran dan permintaan kayu dunia secara umum dalam dasawarsa 1990 - 2000, dengan melihat ekspor dan impor kayu per wilayah dunia. Analisis yang mereka lakukan
15
didasarkan atas laporan-laporan dari the Intergovernmental Forum on Forests, the ITTO Libreville Action Plan, 1998-2001, dan the FAO's Strategic Plan for Forestry. Dalam analisisnya, mereka membedakan produk kayu menjadi dua kategori, yaitu produk kayu primer dan produk kayu sekunder, kemudian dari data yang ada dilihat proses-proses perluasan dan penyusutan perdagangan kedua kategori produk produk tersebut di pasar dunia (expansion or contraction processes). Studi mereka juga melihat berbagai dampak intervensi pemerintah terhadap penawaran dan permintaan produk-produk kayu di setiap negara, serta berbagai permasalahan yang dihadapi oleh negara-negara tersebut.
Studi ini
melaporkan bahwa perdagangan produk kayu dunia pada periode tahun 19971998 mengalami penurunan sebesar 3.9%, dan diperkirakan akan naik kembali sebesar 5% pada tahun 1999, dan kenaikan ini merefleksikan perbaikan pada permintaan pasar Asia, perbaikan atas harga beberapa jenis produk, serta adanya pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi pada negara-negara Amerika Utara dan Eropa. Produksi kayu bulat diramalkan naik 2% pada tahun 1998, hal ini terutama disebabkan oleh kenaikan produksi kayu bulat tropika, meskipun perekonomian pada negara-negara wilayah ini terkena dampak yang cukup parah oleh krisis moneter. Dilaporkan pula bahwa meskipun produksi kayu lapis dunia meningkat sekitar 2.5% dikarenakan adanya kenaikan kapasitas industri-industri baru, namun pasar untuk produk ini kurang menarik. Dalam konteks ini dicatat pula bahwa dalam jangka panjang akan ada kenaikan substitusi kayu lapis diantaranya oleh medium density fibre boards (MDFs) dan jenis-jenis panel kayu lainnya. Dalam
16
jangka panjang juga diramalkan akan ada penurunan produksi kayu lapis tropika karena adanya kesulitan bahan baku. Secara spesifik untuk situasi global penawaran dan permintaan kayu bulat diteliti oleh Multi-Client Studies pada tahun 1998. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengevaluasi kembali asumsi-asumsi dasar dalam analisis penawaran dan permintaan kayu bulat dunia. Penelitian ini ditujukan juga untuk meramalkan situasi permintaan dan penawaran kayu bulat dunia periode 1997-2030. Disamping itu, penelitian ini juga dimaksudkan untuk membuat ramalan baru mengenai perdagangan, investasi, dan kecenderungan harga kayu bulat dan produk-produk turunannya. Penelitian ini menyingkapkan kekeliruan ramalan studi-studi yang sebelumnya. Bila pada awal tahun 1990 beberapa studi memproyeksikan adanya defisit kayu bulat pada millenium ketiga karena eksploitasi hutan ditengarai telah melebihi batas-batas kelestarian. Namun demikian, sejak 1995 dunia dibanjiri dengan pasokan kayu yang cukup banyak yang diperoleh melalui eksploitasi yang relatif murah, sehingga harganya kurang bagus. Saat ini penawaran kayu bulat dunia diperkuat dengan perluasan hutan tanaman dan peningkatan produktivitas hutan. Permintaan kayu bulat oleh negara-negara Asia terpengaruh oleh restrukturisasi perekonomian negara-negara tersebut, serta melambatnya laju pertumbuhan perekonomian dunia. 2.3. Studi Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat di Beberapa Negara Berbagai studi dan penelitian yang terkait dengan penawaran (supply) dan permintaan (demand) kayu bulat telah dilakukan di beberapa negara, baik yang
17
dihubungkan pada satu produk kayu olahan tertentu maupun pada berbagai produk sebagaimana dilakukan pada penelitian ini. Dari sisi metodologi, studi tersebut diantaranya menggunakan ekonometrika untuk menganalisis perilaku penawaran dan permintaan kayu bulat. Studi penawaran dan permintaan kayu bulat yang dilakukan di Amerika Serikat, diarahkan untuk mengetahui situasi sumberdaya sampai dengan tahun 2050, terutama untuk: memproyeksikan ketersediaan kayu dan faktor-faktor yang terkait dengan itu, estimasi berbagai kemungkinan perubahan penggunaan hutan dan sumberdaya hutan, melihat berbagai implikasi kebijakan dari proyeksi dan estimasi sumberdaya tersebut, dan mencari opsi-opsi logis untuk memenuhi kebutuhan kayu domestik. Studi tersebut menyimpulkan bahwa sampai dengan tahun 2050 akan ada surplus ketersediaan kayu lunak di negara-negara bagian Selatan, sedangkan untuk negara-negara di bagian utara akan cenderung akan mengalami penurun produksi kayu keras (Haynes, 2000).
Secara keseluruhan wilayah, proyeksi
ketersediaan atau penawaran kayu bulat untuk Amerika Serikat akan cukup untuk memenuhi konsumsi atau permintaan domestik negara ini pada 50 tahun ke depan. Dengan demikian tidak perlu dilakukan kebijakan untuk mengimpor atau membatasi permintaan dengan menaikkan harga kayu.
Meskipun demikian,
skenario ini hanya akan menjadi kenyataan apabila: negara-negara di bagian Selatan meneruskan upaya penanaman kayu lunak, disertai dengan kenaikan intensitas manajemen hutan tersebut, secara nasional harus ada pengurangan permintaan kayu keras secara tepat (moderat), dan penelitian dan pengembangan untuk
meningkatkan
upaya
pemulian
pohon
(tree
improvement)
dan
18
meningkatkan efisiensi input kayu bulat pada industri pengolahan kayu, termasuk pulp harus terus dilanjutkan. Skenario ini juga memberikan beberapa implikasi manajemen, diantaranya negara-negara di bagian Barat tidak perlu meningkatkan kapasitas produksi industri pulp panel kayu (kayu lapis dan lain-lain). Di Taiwan studi penawaran dan permintaan kayu dilakukan oleh Chang dan Jen pada 1986-an dengan merinci komoditi itu kedalam dua sektor, yaitu sektor kayu untuk kertas dan kayu utuh (solid wood).
Sektor solid wood
kemudian dirinci lagi menjadi industri produk-produk solid wood, dan pasar kayu keras dan kayu lunak. Melalui teori dualitas (duality theory) fungsi-fungsi biaya dan keuntungan yang terkait dengan fungsi produksi Cobb-Douglas digunakan untuk menurunkan fungsi output supply dan fungsi permintaan factor input. Fungsi-fungsi ini kemudian digunakan untuk membangun model ekonometrik non-linier. Dari analisis ini diketahui bahwa sektor kertas Taiwan tidak mempunyai skala ekonomi.
Oleh karena itu biaya produksi per ton tidak akan menurun
mengikuti kenaikan produksi. Harga kertas tidak mempunyai pengaruh yang nyata kepada biaya produksinya. Baik konsumsi maupun impor kertas bersifat elastik terhadap pendapatan (income elastic) namun tidak elastik terhadap harga (price inelastic).
Untuk sektor industri solid wood,
diramalkan sudah tidak lagi
mengalami kenaikan yang pesat pada ekspor kayu furniture, oleh karena itu rencana investasi pada sektor ini harus dipertimbangkan dengan cermat. Kayu lapis mempunyai skala ekonomi yang signifikan, dimana dengan pengurangan kapasitas industri secara gradual maka akan terjadi diferensiasi harga yang tinggi antara kayu lapis produksi dalam negeri dengan kayu lapis impor. Adapun untuk
19
pasar kayu lunak dan kayu keras, produksinya tidak elastik terhadap harga (price inelastic). Dengan kebijakan kehutanan yang baru, maka produksi kayu lunak akan berkurang 15%, sedangkan produksi kayu keras akan berkurang 25%. Di Soviet, penelitian mengenai penawaran dan permintaan kayu bulat dimaksudkan untuk melihat kemampuan Soviet, khususnya Northern European Russia and Siberia memenuhi kebutuhan kayu domestik dan melayani pasar dunia (Barr, 1978). Secara lebih spesisik penelitian tersebut dilakukan untuk melihat: 1) pengaruh permintaan pasar kayu domestik dan internasional terhadap kinerja produksi dan penawaran kayu bulat di 87 wilayah Soviet, 2) Faktor-faktor yang menjamin keberlanjutan penawaran kayu bulat untuk wilayah masing-masing, dan 3) memperoleh perkiraan biaya produksi dan harga kayu yang tepat di tiap wilayah. Penelitian yang dilakukan oleh Barr ini menghasilkan kesimpulan bahwa dengan rencana pembangunan jangka menegah 15 tahun yang saat itu diberlakukan, sumberdaya yang ada mempunyai potensi untuk tetap bisa memenuhi kebutuhan kayu domestik, sekaligus masih mempunyai peran yang besar pada pasar kayu internasional, bila efesiensi pemanfaatan dan pengolahan kayu ditingkatkan melalui penyempurnaan teknologi. Di Jerman penelitian-penelitian serupa telah dilaksanakan sejak tahun 1970 di negara ini, namun tidak terselenggara secara kontinu dan belum menggunakan pendekatan ekonometrika, meskipun metode itu telah banyak dikembangkan di negara-negara di Amerika Utara dan Skandinavia. Pada tahun 1980 – 1985 ekonometrik digunakan oleh Mantau (1988) untuk melihat perilaku
20
ekonomi pada industri kertas, dengan mengamati 6 peubah dan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang memuaskan bagi kalangan usaha untuk bernegosiasi harga. Mantau (1996) membangun model ekonometrik pertama untuk pasar papan kayu gergajian Jerman. Model yang dibangun digunakan untuk simulasi ex-post untuk melihat fluktuasi nilai mata uang. Rintisan ini kemudian diteruskan oleh beberapa peneliti, antara lain Bergen dan Moog yang pada tahun 1988 melakukan kajian dengan menggunakan one demand one supply equation untuk melihat elastisitas penawaran kayu bulat jenis Spruce. Model pasar kayu bulat yang paling maju kemudian dibangun oleh Flinkmann dan Baudin. Model ini didasarkan pada spesifikasi 9 sektor pengguna akhir (end users) dan 7 sektor input untuk konstruksi, dan 5 pasar lainnya. Konsumsi kayu diturunkan dari koefisien teknis, dan peramalan dilakukan melalui proses autoregresif. Ronnila (1997) dalam makalahnya yang berjudul "Consequences of structural changes in roundwood and forest product markets" (Solber dan Maiseyev, 1997) menguraikan perkembangan model-model yang digunakan untuk manganalisis penawaran dan permintaan produk-produk hasil hutan kayu Finlandia. Terkait dengan faktor tenaga kerja, penelitian yang dilakukan oleh Ronnila untuk Finlandia menemukan fakta bahwa koefisien jumlah tenaga di sektor lain yang secara tidak langsung tergantung kepada sektor kehutanan adalah 0.74, ternyata pada beberapa penelitian terakhir telah diusulkan agar koefisien tersebut disesuaikan menjadi 0.52. Faktor tenaga kerja pada fenomena penawaran dan permintaan kayu bulat juga diteliti di Portugis. Dalam penelitian ini Borges (1990) menyatakan bahwa
21
pembangunan ekonomi Portugis sampai dengan tahun 1970 sangat tergantung kepada faktor tenaga kerja yang murah, serta hubungan perdagangan negara ini dengan negara-negara bekas koloninya di Afrika. Namun saat ini semuanya telah berubah setelah Portugis bergabung dalam Uni Eropa. Meskipun kehutanan mempunyai peran ekonomi yang sangat tinggi, selama ini penelitian dan studi ekonomi kehutanan di negara ini masih bersifat deskriptif, sekedar melakukan inventarisasi data tanpa disertai dengan pemodelan. Ekonomi kehutanan belum pernah diteliti dengan menggunakan pendekatan ekonometrika.
Penelitian yang agak canggih (sophisticated) yang pernah
dilakukan adalah dalam rangka memproyeksikan tingkat pertumbuhan dan mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan perubahan struktural di sektor kehutanan dengan menggunakan pendekatan struktur pasar (Schwarzebauer, 1966). Adapun penelitian-penelitian ekonomi kehutanan lainnya difokuskan pada decision support system lebih banyak dikonsentrasikan pada pengembangan teknik-teknik operation research. Ketersediaan data dan statistik merupakan penghambat utama mengapa pendekatan ekonometrika belum digunakan dalam penelitian-penelitian ekonomi kehutanan di negara ini. Data yang ada sangat tersebar di berbagai lembaga serta dalam format yang tidak konsisten, dan ini sangat menyulitkan dalam melakukan analisis perubahan struktural sektor kehutanan, terutama pada produksi kayu bulat. 2.4. Studi Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat Indonesia Model-model perencanaan kehutanan untuk analisis sektor kehutanan mulai dibangun sejak tahun 1970-an dan kembali disempurnakan pada awal tahun
22
1980-an. Model pertama dibangun oleh Buongiorno pada tahun 1978 (Nasendi, 1997) dan disebut Timber Supply Model for Indonesia (TSMI).
Model ini
kemudian diikuti dengan pembangunan model kedua oleh Buongiorno (1979), dengan mengkaitkan produksi kayu bulat dengan kapasitas pelabuhan dan pasar internasional.
Buongiorno (1980) kembali menyempurnakan model-modelnya
dengan mengkaitkan rencana perluasan industri dan pemenuhan kebutuhan kayu domestik dan pasar internasional. Model-model tersebut kemudian disempurnakan lagi dengan dibangunnya the Indonesian Forestry Optimization Model (INDOFOM) oleh Nasendi (1982), yang bila dilihat dari sifat dan strukturnya termasuk dalam kategori model optimalisasi, dengan metode linear programming, goal programming, separable programming dan integer programming. Sinaga (1989) membangun model ekonometrika untuk menjelaskan hubungan antara penawaran, permintaan, dan harga produk kayu keras Indonesia, dengan kebijakan dan intervensi pemerintah.
Secara khusus dalam studi ini
Sinaga melakukan simulasi untuk mengetahui dampak larangan ekspor kayu bulat yang dilakukan oleh Indonesia maupun Malaysia dan Filipina yang saat itu merupakan pesaing dagang Indonesia. Selain itu dilakukan pula simulasi untuk mengetahui dampak kenaikan pajak ekspor kayu bulat, kayu gergajian, dan kayu lapis, serta diuji pula dampak perubahan nilai tukar mata uang rupiah terhadap kinerja industri kayu bulat dan pengolahan kayu primer. Hubungan-hubungan ekonomi dalam sistem produksi kayu bulat dan kayu olahan Indonesia tersebut dirumuskan dalam model ekonometrika melalui persamaan simultan yang melibatkan 18 persamaan perilaku (behavioral equation), 3 persamaan hubungan harga, 3 persamaan teknis produksi, serta 7
23
persamaan identitas. Analisis dilakukan dengan menggunakan metoda Two-stage Least Square (2SLS) untuk mengestimasi parameter tiap persamaan perilaku. Dalam penelitian ini diantaranya diperoleh kesimpulan bahwa sektor kayu bulat domestik, luas tebangan, dan ekspor kayu bulat Indonesia dalam jangka panjang maupun pendek tidak elastik terhadap harga (price inelastic). Sementara itu konsumsi kayu bulat oleh industri kayu lapis lebih responsif terhadap perubahan nilai tukar dan harga bahan baku dan produk, dibanding industri kayu gergajian. Selain itu disimpulkan pula adanya kecenderungan menurunnya luas tebangan dan ekspor kayu bulat, sementara permintaan kayu bulat oleh industri penggergajian semakin meningkat. Dalam jangka panjang maupun pendek, ekspor kayu bulat secara elastik sangat sensitif terhadap produksi kayu bulat itu sendiri. Pada sektor kayu olahan, ekspor kayu gergajian elastik terhadap harga dalam jangka pendek maupun panjang, sedangkan ekspor kayu lapis hampir unitary price elastic pada jangka pendek dan kemudian akan menjadi elastik pada jangka panjang. Dari temuan-temuan di atas serta temuan lainnya, direkomendasikan bahwa kebijakan pembatasan ekspor kayu bulat secara umum merupakan kebijakan yang kurang menguntungkan, khusunya dalam menjaga neraca pembayaran. Kebijakan ini akan dipandang tepat bila industri pengolahan kayu domestik telah siap menyerap seluruh produksi kayu bulat Indonesia. Sementara itu, penghapusan pajak espor bagi kayu gergajian dan kayu lapis akan menjadi insentif harga yang akan merangsang pertumbuhan industri pengolahan kayu domestik, meskipun akan sedikit mengurangi pendapatan pajak.
24
Hasil penelitian di atas ditindak lajuti oleh penelitian Manurung (1995) yang kurang lebih menyatakan bahwa larangan ekspor kayu bulat akan berdampak pada meningkatnya pertumbuhan dan kinerja ekspor industri kayu lapis dan kayu gergajian, namun perolehan devisa dari kebijakan ini ternyata lebih kecil dibanding bila tidak ada larangan ekspor kayu gergajian. Pencabutan larangan ekspor kayu bulat akan meningkatkan penerimaan rata-rata 14% selama periode 1981-1989, namun larangan tersebut akan mengurangi tenaga kerja yang lebih besar dari pada peningkatan tenaga karena adanya pertumbuhan industri kayu lapis dan kayu gergajian. Selain kedua penelitian di atas, Sukmananto (2007) dalam mengkaji kinerja ekspor produk kayu olahan memperoleh temuan umum mengenai peubahpeubah yang berpengaruh terhadap penawaran dan permintaan bahan baku kayu untuk industri pengolahan yang berorientasi ekspor. Dalam penelitiannya, Sukmananto (2007) menemukan bahwa peubah suku bunga pinjaman, tingkat upah dan pengalaman produksi tahun sebelumnya mempunyai pengaruh terhadap produksi kayu bulat. Namun pengaruh tersebut tidak dibedakan berdasarkan asal usul kayu, di mana untuk konteks Indonesia kayu bulat bisa berasal dari hutan alam, hutan tanaman, maupun hutan rakyat, yang masing-masing mempunyai pertimbangan dan perhitungan produksi yang berbeda. 2.5. Studi Empirik Dari studi dan penelitian diberbagai negara maupun di Indonesia, sebagaimana di uraikan di atas dapat ditarik pelajaran bahwa kajian-kajian tentang penawaran dan permintaan kayu bulat untuk industri pengolahan kayu selalu menyentuh beberapa hal penting, antara lain yang terkait dengan: volume
25
produksi kayu bulat dan komponen-komponen biaya produksi kayu bulat, jumlah kayu bulat yang dibutuhkan oleh tiap industri pengolahan, produksi kayu olahan, harga kayu olahan, jumlah kayu olahan yang dijual, dan peubah-peubah eksogen seperti nilai mata uang, tingkat suku bunga pinjaman, bahkan pendapatan nasional bruto. Selain itu, studi-studi tersebut menyatakan bahwa untuk dapat melakukan analisis ekonomi dengan metode ekonometrika maka perlu dilakukan beberapa asumsi perubahan, terutama yang terkait dengan: 1) perubahan situasi fiskal dan moneter, 2) produktivitas unti-unit produksi yang ada dalam model analisis, 3) adanya kemungkinan perbedaan biaya produksi maupun harga produk karena adanya perbedaan lokasi (pertimbangan spasial), 4) adanya berbagai teknologi, dan 5) pentingnya ketersediaan dan konsistensi data dan statistik. Karena informasi mengenai fenomena penawaran dan permintaan kayu bulat tersebut sangat penting untuk pengaturan kelestarian sumber daya hutan Indonesia, maka hasil–hasil penelitian yang pernah dilakukan pada masa lalu perlu di mutakhirkan dengan penelitian yang menggunakan data yang telah berkembang hingga kini. Bila penelitian-penelitian terkini lebih telah difokuskan pada perdagangan kayu olahan ke luar negeri, maka penelitian ini yang lebih difokuskan pada pemenuhan bahan baku industri primer dalam negeri.