II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Memahami Konflik 2.1.1. Definisi, Penyebab dan Jenisnya Konflik seringkali diidentikkan dengan pertentangan antara dua pihak atau lebih dan berkonotasi negatif. Dalam pengantar buku ―Bagaimana Memahami Konflik‖, Hendricks (2004) menyebut konflik sebagai sesuatu yang tak terhindarkan, konflik melekat erat dalam jalinan kehidupan, umat manusia selalu berjuang dengan konflik. Ini berarti konflik akrab dengan kehidupan manusia. Fisher et al. (2000) mendefinisikan konflik sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Robbins (2006) memberi definisi lebih luwes, yaitu sebagai proses yang bermula ketika satu pihak merasakan bahwa pihak lain telah memengaruhi secara negatif, atau akan segera memengaruhi secara negatif, sesuatu yang menjadi kepedulian pihak pertama. Dari dua definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa konflik bukan sekedar perseteruan, meski situasi ini menjadi bagian dari konflik (Pickering 2001). Konflik harus dirasakan oleh pihak-pihak yang terkait; ada atau tidak adanya konflik merupakan masalah persepsi (Robbins 2006). Kesamaan lain dari definisi konflik tersebut adalah adanya ketidakcocokan antarpihak terhadap sesuatu. Konflik timbul karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan seperti kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang
tidak
seimbang
yang
kemudian
menimbulkan
masalah-masalah
diskriminasi (Fisher et al. 2000). Sedangkan menurut Fuad dan Maskanah (2000) konflik disebabkan perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan kelangkaan sumberdaya, dimana masing-masing pihak mempunyai kepentingan yang sama terhadap sumberdaya. Lebih dalam, Fisher et al. (2000) mengemukakan teori-teori utama mengenai sebab-sebab konflik yaitu: 1. Teori hubungan masyarakat, menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. 2. Teori negosiasi prinsip, menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisiposisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik.
5 3. Teori kebutuhan manusia, berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia-fisik, mental, dan sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi. 4. Teori identitas, berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak terselesaikan. 5. Teori kesepahaman antarbudaya, berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara berkomunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda. 6. Teori transformasi konflik, berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya, dan ekonomi. Jika
demikian,
maka
sumber
utama
konflik
adalah
perbedaan,
sebagaimana dikemukakan oleh Tadjudin (2000). Perbedaan tersebut bisa bersifat mutlak artinya secara objektif memang berbeda, namun bisa juga perbedaan tersebut hanya ada di tingkat persepsi. Pihak lain bisa dipersepsikan memiliki sesuatu yang berbeda atau pihak lain dicurigai sebagai berbeda, meskipun secara objektif sama sekali tidak ada perbedaan. Perbedaan bisa terjadi pada berbagai tataran (Tadjudin 2000), misalnya: perbedaan persepsi, pengetahuan, tata nilai, kepentingan, akuan hak ―kepemilikan‖. Menurut Fuad dan Maskanah (2000) konflik dapat berwujud konflik tertutup (latent), mencuat (emerging) dan terbuka (manifest). Ciri-ciri konflik tersebut adalah: (1) Konflik tertutup (latent), dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang, dan belum terangkat ke puncak kutub konflik seringkali salah satu atau kedua pihak belum menyadari adanya konflik bahkan paling potensial sekalipun; (2) konflik mencuat (emerging) adalah perselisihan dimana pihak-pihak yang berselisih telah teridentifikasi, diakui adanya perselisihan, kebanyakan permasalahannya jelas, tetapi proses penyelesaian masalahnya belum berkembang; (3) konflik terbuka (manifest) merupakan konflik dimana pihak-pihak yang berselisih terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi, mungkin sudah mulai untuk bernegosiasi mungkin pula telah mencapai tujuan buntu.
Sedangkan menurut taraf permasalahannya,
terdapat 2 jenis konflik yaitu konflik vertikal dan konflik horisontal. Konflik vertikal terjadi apabila pihak yang dilawan oleh pihak lainnya berada pada level yang
6 berbedai, sedangkan konflik horisontal terjadi antara masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya. Fisher (2000) menyebutkan bahwa konflik berubah setiap saat, melalui hubungan berbagai tahap aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Tahap-tahap ini penting sekali diketahui dan digunakan bersama alat bantu lain untuk menganalisis berbagai dinamika dan kejadian yang berkaitan dengan masing-masing tahap konflik, yaitu: 1. Prakonflik, ini merupakan periode dimana terdapat suatu ketidaksesuaian sasaran antara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik. 2. Konfrontasi, pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, mungkin para pendukungnya mulai melakukan aksi demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya. 3. Krisis, ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan atau kekerasan terjadi paling hebat. Pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak lainnya. 4. Pasca konflik, akhirnya situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah ke lebih normal di antara kedua pihak. 2.1.2. Mengelola Konflik Banyak pendapat yang menyatakan bahwa konflik adalah sesuatu yang harus dihindari; bahwa konflik menandakan adanya kesalahan fungsi dalam kelompok. Pandangan tersebut disebut Robbins (2006) sebagai pandangan tradisional. Masih menurut Robbins, terdapat pandangan yang mengemukakan bahwa konflik adalah hasil yang wajar dan tidak terelakkan dalam setiap kelompok dan bahwa itu tidak perlu dianggap buruk, melainkan sebaliknya berpotensi menjadi kekuatan positif dalam menetapkan kinerja kelompok. Pandangan ini disebut sebagai pandangan hubungan manusia. Perspektif ketiga, dan paling baru, mengemukakan bahwa konflik tidak hanya dapat menjadi kekuatan positif dalam kelompok tetapi juga mutlak diperlukan agar kelompok dapat berkinerja secara efektif. Aliran ketiga ini dinamakan pandangan interaksionis. Berbeda
dengan
pandangan
tradisional,
pandangan
interaksionis
menganggap tidak semua konflik itu buruk (Robbins 2006). Konflik bila dihadapi secara bijaksana dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang terlibat dan sistem yang ada (Pickering
2001), serta dapat menghasilkan kesepakatan-
7 kesepakatan inovatif (Daniels dan Walkers 1997). Di Uganda, konflik merupakan insentif bagi adopsi beragam teknologi pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat dan mendorong terjadinya perubahan sosial (Sanginga et al. 2006). Pandangan interaksionis tidak berpendapat bahwa semua konflik adalah baik (Robbins 2006). Mereka menyatakan bahwa beberapa konflik mendukung sasaran kelompok dan memperbaiki kinerjanya; inilah ragam konflik fungsional yaitu bentuk konflik yang konstruktif. Di samping itu, ada konflik yang merintangi kinerja kelompok; ini adalah ragam konflik yang disfungsional atau destruktif. Konflik
yang
fungsional dapat
tercipta
apabila
para
pihak
yang
bertentangan dapat menghargai perbedaan pendapat (Robbins 2006). Konflik bila dihadapi secara bijaksana dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang terlibat dan juga bagi sistem yang ada (Pickering 2001), misalnya mampu meningkatkan motivasi, identifikasi masalah meningkat, ikatan kelompok menguat, penyesuaian diri pada kenyataan, pengetahuan meningkat, kreativitas meningkat, membantu upaya mencapai tujuan, mendorong pertumbuhan. Semua manfaat ini tidak akan terwujud, jika konflik dibiarkan saja atau dicoba diatasi dengan cara-cara yang tidak tepat; karena konflik akan menjadi disfungsional. Penyelesaian konflik terbaik adalah pada saat konflik itu hanya melibatkan segmen kelompok yang paling kecil (Hendricks 2004). Terdapat lima pendekatan pada manajemen konflik yang telah umum diterima (Gambar 1) (Pickering 2001; Hendricks 2004). Tidak ada satupun pendekatan yang efektif untuk semua situasi.
Oleh
karena
itu,
penting
untuk
mengembangkan
kemampuan
menggunakan setiap gaya sesuai dengan situasi. Tinggi
Kerelaan membantu
Kolaborasi
Kompromi Peduli orang lain Menghindari
Mendominasi
Mementingkan diri sendiri
Tinggi
Gambar 1 Lima Gaya Manajemen Konflik (Pickering 2001; Hendricks 2004)
8 Kolaborasi (Kerjasama) adalah gaya menangani konflik sama-sama menang. Orang yang memilih gaya ini mencoba mengadakan pertukaran informasi. Ada keinginan untuk melihat sedalam mungkin semua perbedaan yang ada dan mencari pemecahan yang disepakati semua pihak. Gaya ini erat kaitannya dengan metode memecahkan persoalan dan paling efektif untuk persoalan yang kompleks (Pickering 2001; Hendricks 2004). Gaya penyelesaian konflik dengan kerelaan untuk membantu (obliging) menempatkan nilai yang tinggi untuk orang lain sementara dirinya sendiri dinilai rendah. Strategi rela membantu berperan dalam menyempitkan perbedaan antarkelompok dan mendorong mereka untuk mencari kesamaan dasar. Gaya penyelesaian konflik dengan mendominasi meremehkan kepentingan orang lain. Gaya ini adalah strategi yang efektif bila suatu keputusan yang cepat dibutuhkan atau jika persoalan tersebut kurang penting. Gaya mendominasi sangat membantu jika kurang pengetahuan atau keahlian tentang isu yang menjadi konflik. Strategi ini paling baik dipakai bila dalam keadaan terpaksa. Gaya
penyelesaian
konflik
dengan
menghindar
(avoiding)
tidak
menempatkan suatu nilai pada diri sendiri atau orang lain. Bila suatu isu tidak penting, tindakan menangguhkan dibolehkan untuk mendinginkan konflik. Inilah penggunaan gaya penyelesaian konflik menghindar yang paling efektif. Gaya ini juga efektif bila waktu memang dibutuhkan. Gaya penyelesaian konflik dengan kompromi (compromising)
adalah
orientasi jalan tengah. Dalam kompromi, setiap orang memiliki sesuatu untuk diberikan dan menerima sesuatu. Kompromi akan menjadi salah bila salah satu sisi salah. Kompromi adalah efektif sebagai alat bila isu itu kompleks atau bila ada keseimbangan kekuatan. Kompromi dapat menjadi pilihan bila metode lain gagal dan dua kelompok mencari penyelesaian jalan tengah. 2.1.3. Contoh Kasus: Konflik Kehutanan di Indonesia Kurang lebih 30% belahan bumi adalah hutan, sehingga menjadi sumberdaya alam yang sangat penting. Pada banyak komunitas, hutan merupakan sumber pangan, pemenuhan energi dan hasil hutan bukan kayu yang sangat signifikan dalam proporsi pendapatan rumah tangga. Kompetisi dalam menggunakan dan mengeksploitasi sumberdaya ini merupakan pemicu krisis dan konflik. Di negara berkembang, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan hutan menjadi wilayah konflik, misalnya karena dalam wilayah sengketa, didiami
9 oleh beragam kelompok etnis, kebijakan yang keliru, atau diklaim oleh kelompokkelompok yang berbeda secara simultan (OECD 2005). Secara khusus, Wulan et al. (2004)
melakukan analisis konflik sektor
kehutanan di Indonesia dalam periode 1997 sampai dengan 2003. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa dalam periode tersebut tercatat 359 peristiwa konflik, 39% diantaranya terjadi di areal Hutan Tanaman Industri, 27% di areal Hak Pengusahaan Hutan, dan 34% di kawasan konservasi. Faktor penyebab konflik-konflik ini, yaitu karena masalah tata batas, pencurian kayu, perambahan hutan, kerusakan lingkungan dan peralihan fungsi kawasan. Menurut Sardjono (2004) penyebab konflik sosial berkaitan dengan hutan dan kehutanan dapat dikelompokkan secara umum
menjadi penyebab yang
sifatnya obyektif dan penyebab yang sifatnya subjektif. Penyebab obyektif berarti bahwa antarkelompok pengguna hutan memiliki kepentingan yang berbeda terhadap sumberdaya yang sama. Sedangkan penyebab subyektif merupakan hasil dari perbedaan budaya yang tidak pernah diperhitungkan semula. Pihak pengelola kawasan hutan mendasarkan setiap tindakan yang dilakukan didasarkan pada aspek legal formal dan kepentingan usahanya, sedangkan pihak masyarakat lokal lebih melihat pada aspek kesejarahan dan keadilan. Davis et al. (2001) menyebutkan bahwa mengelola hutan berarti memanfaatkan hutan untuk mencapai tujuan pokok dari pemilik hutan dan masyarakat banyak (negara). Karenanya, jika tujuan pokok tersebut tidak tercapai maka kawasan itu dapat dikatakan tidak terkelola. Kinerja buruk kawasan hutan yang tidak terkelola menurut Kartodihardjo (2003) hanyalah merupakan sympton, masalah utamanya adalah kelembagaan pemerintah dan birokrasinya belum tertata Jika lebih dicermati, konflik-konflik kehutanan terjadi karena ada perubahan tertentu. Namun demikian, menurut Baron et al. (2004) konflik juga bisa menciptakan perubahan asalkan ada proses pengelolaan yang efektif. Bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, konflik wilayah hidup tidak bisa dilihat dari konflik saja namun perlu dilihat dalam kerangka krisis modal sosial dan krisis modal kehidupan (Kartodihardjo dan Jhamtani 2006). Menurut Kartodihardjo dan Jhamtani (2006) apabila transformasi sosial masyarakat mengarah pada penguatan institusi dan kohesi sosial maka masyarakat itu akan mampu mencegah dan atau mengelola konflik. Konflik mungkin bisa menjadi alat bantu perubahan ke arah yang lebih baik. Pertanyaan
10 atas pernyataan tersebut adalah ―Bagaimana menciptakan transformasi sosial yang mampu mengarahkan pada penguatan institusi dan kohesi sosial?‖. 2.2. Aksi Partisipatif; Upaya Transformasi Sosial 2.2.1. Mengapa harus partisipasi Menurut Putra (1999) diacu dalam Sardjono (2004), politik sentralisasi merupakan pangkal dari segala persoalan. Rezim berkuasa yang demikian kuat telah menutup peluang bagi para pihak kehutanan yang lain, terutama masyarakat lokal di lapisan bawah untuk turut berpartisipasi dalam proses pembuatan dan pengambilan keputusan, meskipun kebijakan atau upaya yang akan dilaksanakan tersebut akan terkait obyek yang erat dengan kehidupan dan masa depan mereka. Konflik kehutanan yang banyak mencuat setelah era reformasi (Wulan et al. 2004) merupakan salah satu ―buah‖ politik rezim orde baru yang sentralistik (Sardjono 2004). Menyadari akan hal ini, terminologi partisipasi banyak dimunculkan berbagai pihak dan menjadi ikon wajib programprogram pembangunan. Jika dicermati, makna partisipasi berbeda-beda menurut mereka yang terlibat, misalnya antara penentu kebijakan, pelaksana di lapangan, dan masyarakat. Oleh karena itu, beberapa pakar mencoba menggolong-golongkan tingkatan partisipasi ke dalam beberapa kelompok. Misalnya Deshler dan Sock (1985) diacu dalam Selener (1997) menyebut adanya partisipasi semu (pseudoparticipation) dan partisipasi sebenarnya (genuine participation). Arstein (1996) sebagaimana diacu dalam Mitchell et al. (2003) membagi partisipasi berdasarkan tingkatan pembagian kekuasan, yaitu (1) tidak ada partisipasi; (2) tokenism; dan (3) tingkatan kekuasan masyarakat. Syahyuti (2006) merujuk pendapat beberapa ahli yang menyebut ada tujuh karakteristik tipologi partisipasi, yaitu (1) partisipasi pasif; (2) partisipasi informatif; (3) partisipasi konsultatif; (4) partisipasi insentif; (5) partisipasi fungsional; (6) partisipasi interaktif; dan (7) Mandiri. Beragam penggolongan partisipasi yang dilakukan oleh beberapa ahli tersebut pada prinsipnya tidak berbeda, yakni dari tingkatan partisipasi paling rendah ke tahapan ideal. Berdasarkan ragam tipe partisipasi, Sajogyo (2002) kemudian memberi definisi partisipasi sebagai suatu proses dimana sejumlah pelaku bermitra punya pengaruh dan membagi wewenang di dalam prakarsa ‖pembangunan‖, termasuk mengambil keputusan atas sumberdaya. Dalam definisi ini membangun partisipasi akan mencapai puncaknya pada saat
11 pemberdayaan. Dengan demikian, sebuah lokakarya yang diselenggarakan dengan
cara
membagi
wewenang
dalam
pengambilan
keputusan
merupakan upaya membangun partisipasi menuju pemberdayaan (Sayogyo 2002). Upaya membangun partisipasi dalam pembangunan sangat berhubungan erat dengan modal sosial, karena bentuk pendekatan partisipasi juga berarti membangun modal sosial. Menurut Putnam (1993) dalam Rustiadi (2007), adanya modal sosial dalam kehidupan sosial akan terwujud berupa terbentuknya keputusan dan tindakan bersama para pihak yang lebih efektif di dalam mencapai tujuan bersama. Untuk membangun modal sosial secara efektif, pemerintah lokal (pemegang otoritas legal) harus berbagi peran dengan masyarakatnya, dalam arti harus bergeser dari yang semula sebagai pengontrol, regulator, dan penyedia menjadi lebih sebagai katalisator, penyelenggara pertemuan-pertemuan dan fasilitator (Rustiadi et al. 2007). Menurut Fisher et al. (2000) salah satu alasan mengapa suatu kelompok atau organisasi yang dikelola dengan baik berhasil dalam jangka panjang adalah karena semua orang yang terlibat merasa menjadi bagian dan sesuatu yang dikerjakan: didalamnya ada rasa saling memiliki. Setiap orang merasa memiliki tanggung jawab terhadap teman sejawat dan percaya untuk bekerja bersama demi masa depan bersama. Inilah wujud
konsep modal sosial. Dengan
demikian, maka partisipasi dapat pula diartikan sebagai sebuah proses yang dicita-citakan menuju transformasi sosial atau perubahan sosial sebuah institusi yang semula memiliki kohesi sosial lemah menuju kohesi sosial lebih kuat. Apabila bentuk aktifitas proses yang dilakukan oleh anggota komunitas tersebut berupa identifikasi sebuah masalah, pengumpulan dan analisis informasi, dan bertindak sesuai masalah guna menemukan solusi dan mendukung transformasi sosial dan politik, maka Selener (1997) menyebutnya sebagai penelitian partisipatif. Penelitian partisipatif mengkombinasikan tiga kegiatan utama, yakni penelitian, pendidikan dan aksi. Ini merupakan metode penelitian dimana orang secara aktif dilibatkan dalam melakukan sebuah penilaian sistematik terhadap gejala sosial dengan mengidentifikasi suatu masalah khusus guna dicari penyelesaiannya. Disebut proses pendidikan karena peneliti dan partisipan bersama-sama menganalisis dan mempelajari apa yang menjadi penyebab dan solusi apa yang mungkin untuk suatu masalah. Dikatakan aksi karena temuan-temuan diimplementasikan dalam bentuk solusi praktis.
12 Pada tataran praksis, berkaitan dengan masyarakat lokal sekitar hutan yang memiliki persepsi kehidupan sederhana dan selama ini terbiasa dikendalikan dengan segala program dari luar dan dari atas, mengharapkannya terlibat aktif menuju pada penyelesaian berbagai permasalahan kehutanan yang lestari atas dasar sukarela atau inisiatif sendiri tentu saja sangat berlebihan (Sardjono 2004). Dengan kata lain, diperlukan fasilitasi pihak luar yang dapat mendorong kesadaran masyarakat untuk dapat berpartisipasi dan kemudian secara perlahan dapat meningkat ke arah mobilisasi secara mandiri. Intenvensi pihak luar tersebut dapat dikatakan partisipatif apabila melibatkan para pihak yang relevan dalam proses perubahan (Pretty et al. 1995 dalam Groot dan Maarleveld 2000). 2.2.2. Fasilitasi dan Negosiasi Fasilitasi secara sederhana diartikan sebagai proses sadar yang dilakukan untuk membantu pihak lain atau kelompok guna mencapai transformasi sosial dan politik. Orang yang melakukan fasilitasi disebut fasilitator. Menurut Rölling yang disampaikan oleh Groot dan Maarleveld (2000) fasilitasi secara ideal seharusnya dapat mengubah arena perjuangan individu-individu menjadi sebuah forum pembelajaran sosial aktif menuju aksi yang efektif. Pembelajaran terjadi saat umpan balik informasi mempengaruhi keputusan berikutnya (Purnomo 2005). Pembelajaran adalah proses mengambil hikmah atas akibat tindakan-tindakan yang dilakukan secara terus menerus. Jika pengambil keputusan secara sadar mempelajari akibat dari keputusan-keputusan sebelumnya, dan mencoba memperbaiki keputusan yang akan diambil maka proses pembelajaran terjadi. Lup-lup pembelajaran (learning loops) adalah konsep yang sangat berguna untuk memahami pembelajaran (Argyris dan Schön 1996 diacu dalam Groot dan Maarleveld 2000). Pembelajaran lup tunggal terjadi ketika fasilitasi membawa perubahan kebiasaan orang-orang tanpa secara nyata merubah visinya, norma atau nilai-nilai. Perubahan perilaku hanya pada taraf kurang lebih sama, tetapi lebih baik. Pembelajaran lup ganda merubah tidak hanya kebiasaan tetapi juga pandangan dan prinsip-prinsip dasar. Pembelajaran lup tiga adalah pembelajaran bagaimana belajar, termasuk di dalamnya mempertanyakan bagaimana mengembangkan prinsip-prinsip dasar yang tetap atau berubah dalam pembelajaran lup tunggal dan ganda.
13 Fasilitasi, jika dihubungkan dengan pengelolaan konflik, sangat berperan dalam negosiasi. Negosiasi adalah sebuah bentuk pembuatan keputusan dimana dua pihak atau lebih saling berbicara dalam usaha untuk merubah kepentingan mereka yang berlawanan (Engel dan Korf 2005). Negosiasi selalu merupakan permulaan dari suatu proses pembelajaran, penyesuaian-penyesuaian dan pembangunan hubungan-hubungan (Malik et al. 2003). Tidak sempurnanya kesepakatan dikarenakan munculnya situasi yang tidak diharapkan serta adanya kesalahfahaman terhadap tujuan sebenarnya dari kata-kata yang digunakan. Karena itu, penyesuaian adalah perlu. Hal yang terpenting adalah bahwa suatu negosiasi harus dapat memperbaiki saling percaya dari para pihak yang berkonflik demi terfasilitasinya penyesuaian-penyesuaian dan kesepakatankesepakatan tentang topik-topik lain. 2.3. Berpikir Sistem (lunak) dalam Mengelola Kawasan Hutan Kawasan hutan disebut rawan konflik apabila terdapat kepentingan berbeda yang sulit dikompromikan antarpihak-pihak pengguna kawasan hutan, karena dianggap mengganggu atau dapat menghilangkan kepentingan yang lain. Bagi pengelola kawasan hutan, situasi ini menimbulkan kompleksitas masalah dan ketidakpastian. Cara yang diusulkan banyak ahli untuk memfasilitasi prosesproses yang kompleks dan dinamis adalah dengan berpikir sistem lunak (soft system thinking) (Groot dan Maarleveld 2000). 2.3.1. Pemikiran Sistem Berpikir sistem adalah berpikir secara holistik dengan melihat obyek yang dikaji dalam kaitannya dengan komponen-komponen lainnya. Mengapa harus berpikir sistem dalam pengelolaan sumberdaya alam. Karena sumberdaya alam didefinisikan sebagai sebuah sistem, maka pengelolaan sumberdaya alam haruslah dipandang sebagai pengelolaan sistem. Secara definitif sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu suatu gugus dari tujuan-tujuan (Manetsch dan Park 1979 dalam Eriyatno 2003). Checkland and Scholes (1990 dalam Lucket et al. 2001) mengartikan berpikir sistem lebih sederhana lagi. Menurut mereka berpikir sistem adalah suatu cara memandang dan memahami dunia. Sistem didefinisikan sebagai suatu kumpulan ―benda‖ dan beragam aktivitas yang saling berhubungan kemudian membentuk keseluruhan yang adaptif, untuk mencapai satu tujuan. Ini
14 berarti sistem tidak mengacu kepada sekumpulan benda dan aktivitas saja namun ada saling keterkaitan antara elemen-elemen itu. Satu
cara
membandingkannya
untuk
memahami
dengan
berpikir
pendekatan
sistem
reduksionis
adalah dalam
dengan
menangani
kompleksitas (Chapman 2004). Aspek penting pendekatan reduksionis adalah bahwa kompleksitas disederhanakan dengan membagi sebuah masalah ke dalam sub masalah atau menjadi komponen-komponen sedemikian rupa sehingga cukup sederhana untuk dianalisis dan dipahami. Operasi terhadap kompleksitas direkonstruksi dari operasi-operasi pada taraf sub masalah atau komponen-komponen. Cara ini memiliki potensi masalah. Bisa jadi fitur penting dari entitas kompleksitas justru terletak pada hubungan antarkomponen. Kompleksitas muncul ketika masing-masing komponen berkoneksi satu sama lain. Sehingga tindakan menyederhanakan dengan menghilangkan interkoneksi antarkomponen tidak akan dapat mengatasi kompleksitas. Berpikir sistem memiliki sebuah strategi alternatif untuk menyederhanakan kompleksitas, yaitu dengan meningkatkan taraf abstraksi. Taraf tertinggi dari abstraksi mampu menghilangkan detil masalah, dan ini berarti penyederhanaan. Ketika orang berbicara tentang organisasi maka ia mengeliminasi fungsi individuindividu atau kelompok. Organisasi berada pada taraf abstraksi yang lebih tinggi dari individu-individu di dalamnya. Namun, interkoneksi antarkomponen tetap dipertahankan
meski
taraf
abstraksinya
meningkat.
Abstraksi
atau
penyederhanaan dari dunia nyata yang mampu menggambarkan struktur dan interaksi elemen serta perilaku keseluruhannya sesuai dengan sudut pandang dan tujuan yang diinginkan didefinisikan sebagai model (Purnomo 2005). Dalam mempelajari tentang berpikir sistem adalah sangat membantu untuk membedakan dua kelas masalah, yaitu antara masalah yang rumit dan masalah yang sulit (Chapman 2004). Sebuah kesulitan dikarakterisasi oleh kesepakatan atas sebuah masalah dan oleh pemahaman tentang solusi apa yang mungkin, dan pemecahannya dibatasi oleh waktu dan sumberdaya. Sementara kerumitan dikarakterisasi oleh kesepakatan yang tidak jelas tentang apa sebenarnya masalah dan oleh ketidakpastian dan ambiguitas bagaimana memperbaiki masalah tersebut, dan ia tidak dibatasi oleh waktu dan sumberdaya. Perbedaan lainnya adalah jika seseorang mempunyai solusi atas suatu masalah yang sulit maka ia adalah aset, tetapi jika seseorang ingin menyelesaikan masalah yang rumit maka ia sendiri adalah bagian dari masalah tersebut.
15 Metode reduksionis (analisis) sangat tepat dalam menangani masalah yang sulit, tetapi kurang ampuh dalam menyelesaikan masalah yang rumit. Berpikir sistem dengan pendekatan sistem lunak menyediakan kerangkakerja yang terbukti berhasil menangani masalah rumit (Chapman 2004). Namun demikian, hal ini tidak berarti bahwa pendekatan sistem berkontradiksi dengan pendekatan analitik. Pemikiran sistem tidak menyisikan pemikiran analitis, justru ia suplemen bagi pemikiran analitis (Winardi 2005). Winardi (2005) mengutip karya Blaise Pascal yang menyebutkan bahwa adalah aneh untuk mengira bahwa kita akan memahami keseluruhan tanpa secara khusus mengenal bagian-bagiannya. Aplikasi berpikir sistem dalam manajemen organisasi telah menghasilkan beberapa metodologi, seperti perekayasaan sistem, analisis sistem, dinamika sistem, riset operasi, dan manajemen sibernetik. Kumpulan metodologi ini dikenal sebagai pemikiran sistem keras. Checkland (1981) dalam Simonsen (1994) membedakan antara sistem keras (hard system) dengan sistem lunak (soft system) sebagai upaya menggunakan konsep sistem dalam memecahkan masalah. Berpikir sistem keras diidentifikasi dalam perekayasaan sistem dan analisis sistem. Ini dimulai dari masalah-masalah yang terstruktur dan tujuan sistem tersebut dapat dibatasi dan konsisten. Berpikir sistem lunak dimulai dari masalah-masalah
tidak
terstruktur di dalam sistem-sistem aktifitas sosial yang dirasakan sebagai situasi masalah yang tidak jelas. Checkland menyebut berpikir sistem keras sebagai ‗paradigma
optimisasi‘
dan
berpikir
sistem
lunak
sebagai
‗paradigma
pembelajaran‘. Pemikiran sistem yang dibedahkan menjadi sistem keras dan sistem lunak dianalogikan oleh Flood (2001) sebagai pemikiran sistem (systems thinking) dan pemikiran sistemik (systemic thinking). Pemikiran sistem mengacu kepada cara berpikir tentang
sistem sosial riil karena memang sistem tersebut
ada.
Sementara pemikiran sistemik muncul dari anggapan bahwa konstruksi sosial itu bersifat sistemik. Pemikiran sistem didasarkan pada prinsip objektif, sementara pemikiran sistemik mengandalkan posisi subjektifitas. Pemikiran sistem lunak adalah bentuk pemikiran sistemik yang memahami realitas sebagai konstruksi kreatif umat manusia (Jackson 1991 diacu dalam Flood 2001). Pemikiran ini melihat realitas sosial sebagai konstruksi dari penafsiran
orang-orang
terhadap
pengalamannya.
Ini
berarti,
cara
ini
berhubungan erat dengan teori interpretatif (interpretative theory). Oleh karena
16 itu pemikiran sistem lunak dihasilkan dan dijalankan dengan melibatkan sudut pandang dan maksud orang-orang. Menurut Sinn (1998) keragaman metodologi dalam ilmu sistem sebetulnya tidak saling berkompetisi, namun menempati relung kontekstual yang berbeda. Sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 1, sistem metodologi-metodologi sistem adalah berupa matriks 2 x 3 yang menggambarkan konteks masalah yang dibentuk oleh dimensi kompleksitas teknis dan keragaman sudut pandang partisipan. Metode-metode pemecahan masalah dikategorikan ke dalam enam sel. Misalnya, Metodologi Sistem Lunak adalah paling cocok untuk menangani masalah pada sistem kompleks dimana situasi masalah melibatkan banyak pihak. Sementara, apabila situasi masalah dianggap kompleks namun tidak melibatkan interaksi manusia maka Teori Sistem Umum layak digunakan. Tabel 1 Tipologi metodologi pemecahan masalah berbasis sistem menurut Flood dan Jackson (1991) Kompleksitas sistem Sederhana
Kompleks
Keragaman perspektif diantara partisipan potensial Seragam
Jamak
Saling memaksakan
Riset operasi Analisis sistem Perekayasaan sistem Dinamika sistem
Desain sistem sosial Pengujian dan Penyingkapan Asumsi strategis
Sistem kritis Heuristik
Perencanaan interaktif Metodologi sistem lunak
?
Model sistem aktif Teori sistem umum Sistem sosioteknis Teori kontingensi Sumber : dalam Sinn (1998)
Interaksi manusia dengan manusia jika memiliki sasaran yang sama akan membentuk sistem aktivitas manusia (Human Activity System). Aktivitas manusia yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya alam yang terbatas seringkali menciptakan situasi masalah yang kompleks. Pada saat keragaman perspektif manusia dan kompleksitas situasi masalah menempati ruang yang sama maka Metodologi Sistem Lunak merupakan pilihan pendekatan analisis berbasis sistem yang kini diakui dan digunakan secara luas. 2.3.2. Metodologi Sistem Lunak (MSL) Metodologi Sistem Lunak dikembangkan pada tahun 1970-an oleh Peter Checkland dan rekan-rekannya dari Universitas Lancaster. Pendekatan MSL
17 muncul sebagai hasil ―pergerakan sistem‖ yang dipandang oleh Checkland sebagai usaha untuk memberi pendekatan yang holistik terhadap masalah, dimana
secara
tradisional
pendekatan
reduksionis
gagal
untuk
menyelesaikannya. MSL dikembangkan dari program riset aksi yang bertujuan untuk mencari cara mengatasi masalah dunia nyata yang tidak terstruktur. Riset aksi atau penelitian partisipatif adalah proses dimana anggota kelompok atau masyarakat melakukan identifikasi masalah, mengumpulkan dan menganalisis informasi, dan melakukan tindakan atas masalah tersebut dengan maksud untuk menemukan solusi dan mendukung transformasi sosial dan politik (Selener 1997). Proses seperti tersebut akan mampu mengatasi kendala bounded rationality yang dihadapi para pengelola ketika berhadapan masalah yang tidak terstruktur. Sebuah masalah yang tidak terstruktur atau situasi masalah kompleks adalah situasi dimana orang-orang merasa dapat memperbaikinya, tetapi mereka tidak tahu apa masalah sebenarnya (Checkland, 2000 dalam Holst dan Nidhall 2001). Masalah yang tidak terstruktur dan sukar untuk didefinisikan dianalisis melalui metode kualitatif, yaitu dengan memodelkan perspektif para pihak, tanpa mereka harus mencapai konsensus terhadap perbedaan pandangan tersebut. Semua asumsi yang mendasari pandangan orang-orang harus disampaikan secara eksplisit agar analisis ini berguna. Asumsi-asumsi tersebut merupakan ―cara pandang‖ (Dalam bahasa Jerman: Weltanschauung) yang seringkali diabaikan. Pendekatan holistik yang disokong oleh MSL berusaha untuk mendorong pencarian skenario masa depan melalui penyesuaian antara ―sistem baru‖ dengan kebutuhan aktual. Checkland (1999) menegaskan tentang analisis sistem dalam MSL sebagai berikut: So this takes the view that conflict deriving from different world views is endemic in human affair but these systems ideas based on the concept of a purposeful activity system as a device for structuring debate, can lead you into learning process for finding the accomodations which enable action to be taken to improve things. And that is the fundamental nature of the learning cycle which is SSM
Inti Metodologi Sistem Lunak adalah membangun model dari sistem-sistem yang berkaitan dengan situasi masalah. Model-model ini digunakan sebagai
18 media diskusi guna membawa perubahan situasi aktual. Proses diskusi membolehkan partisipan untuk berdebat dan saling bertanya sedemikian rupa sehingga keragaman perspektif dapat terungkapkan. Metodologi Sistem Lunak dilaksanakan secara klasik melalui 7 (tujuh) tahap, sebagai suatu proses (Checkland 1981 dalam berbagai referensi yang relevan).
Tahap 1 Memahami situasi masalah dalam kerangka pikir faktual dan aktual Ini adalah langkah untuk mengumpulkan sejumlah informasi yang dibutuhkan (sejarah, budaya, struktur sosial, jenis dan jumlah para pihak, pandangan dan asumsi para pihak). Tujuan tahap ini bukan untuk mendefinisikan masalah,
tetapi
untuk
memperoleh
sejumlah
pemikiran
yang
sedang
berkembang, sehingga rentang pilihan-pilihan keputusan yang mungkin menjadi terbuka. Tahap 2 Mengekspresikan situasi masalah Hasil tahap sebelumnya digunakan untuk membangun gambar situasi (rich picture) masalah yang sedang diperiksa. Gambar ini harus dapat melukiskan proses aktivitas dari setiap institusi yang terlibat dalam situasi masalah. Relasi antara aktivitas dan institusi seyogyanya mengilustrasikan masalah, peran-peran, dan elemen lingkungan yang mudah dipahami. Ini adalah basis bagi diskusi lebih lanjut.
Tahap 3 Mendefinisikan akar sistem yang berkaitan dalam situasi masalah Sistem aktivitas manusia diekspresikan dalam definisi akar, dalam bentuk kalimat kalimat terstruktur yang menyatakan tujuan mendasar setiap sistem yang muncul dari perbedaan persepsi partisipan. Pada tahap ini kita meninggalkan situasi masalah sebenarnya. Ini merupakan proses yang paling sulit. Definisi akar dari sistem sebaiknya dikonstruksi menggunakan mnemonic CATWOE. C = costumer
: Siapa yang mendapat manfaat dari aktivitas bertujuan?
A = actor
: Siapa yang melaksanakan aktivitas-aktivitas?
T = tranformation
: Apa yang harus berubah agar input menjadi output
W = World-view
: Cara pandang seperti apa yang membuat sistem berarti
O = owner
: Siapa yang dapat menghentikan aktivitas-aktivitas
E = environment
: Hambatan apa yang ada dalam lingkungan sistem
19 Inti dari definisi akar sistem ini adalah proses transformasi, yang mengubah input menjadi output. Input-output sebaiknya menggunakan kata benda, bukan kata kerja. Sehingga perubahan akan diisi oleh aktivitas-aktivitas untuk mengubah keadaan ―kebendaan‖ tersebut. Definisi akar ini semestinya merefleksikan keragaman cara pandang partisipan. Ide-ide aktivitas untuk memperbaiki keadaan bersifat akomodatif. Jadi, meskipun satu pihak tidak sepakat dengan sistem yang diinginkan pihak lain tapi dia dimungkinkan untuk menuangkan ide aktivitas sistem itu berdasarkan perspektif dirinya. Tahap 4 Mengkonstruksi model-model konseptual Setiap definisi akar yang dihasilkan dalam tahap 3 akan diwujudkan dalam model konseptual dalam tahap 4. Model konseptual secara sederhana merupakan suatu kumpulan aktivitas yang terstruktur secara logis dalam sebuah sistem gagasan yang telah dibatasi oleh definisi akar. Model konseptual tidak bermaksud menggambarkan situasi masalah, namun merupakan sebuah upaya untuk memahami aktivitas-aktivitas yang dibutuhkan guna mencapai suatu perubahan. Selain itu, model konseptual juga bermaksud merancang sebuah sistem yang merepresentasikan perspektif para pihak tentang sistem yang diinginkan dalam aktivitas interaksi mereka. Tahap ini membantu partisipan untuk berdiskusi mengenai langkah apa yang dapat diambil dalam situasi masalah sebenarnya. Model konseptual merupakan penyajian definisi akar sistem, dengan memakai
kata
kerja
(verb)
sebagai
bahasa
pemodelan
agar
model
merepresentasikan apa yang sistem harus lakukan, sebagaimana telah terdefinisi dalam tahap sebelumnya. Model konseptual tidak melukiskan kejadian di dunia nyata (fakta), namun berupa struktur beragam aktivitas untuk mencapai transformasi yang dimodelkan dalam sekuen saling bergantung secara logis. Jadi, dalam sebuah model, sebuah panah dari aktivitas x ke aktivitas y menunjukkan bahwa y tergantung kepada x. Tahap 5 Membanding model konseptual dengan situasi masalah Model konseptual yang dirancang dalam tahap 4 menyediakan struktur untuk terjadinya perdebatan mengenai situasi masalah. Ini menyisakan sejumlah pertanyaan. Ini juga menandai perbedaan antara situasi aktual dengan realitas yang dirasakan. Pembahasan mengenai model memberi kesempatan bagi
20 partisipan untuk memikirkan kembali asumsi-asumsi mereka. Ini membolehkan mereka membahas perubahan yang dapat memperbaiki situasi masalah. Checkland menggambarkan perbandingan ini sebagai sebuah konfrontasi antara ―apakah‖ dan ―bagaimana‖. Model sistem yang dihasilkan tahap 4 adalah deskripsi abstrak dan gambaran beragam aktivitas yang secara logis mesti ditunjukkan dalam sistem (apakah), sementara aktivitas dalam dunia nyata selalu menunjuk satu cara untuk melakukan sesuatu (bagaimana). ―Bagaimana‖ biasanya disampaikan lebih implisit, dibanding ―apakah‖. Tujuan model-model tersebut adalah untuk mempertanyakan apakah beragam aktivitas dalam model dalam diwujudkan dalam dunia nyata, bagaimana kinerjanya selama ini, atau cara alternatif apakah yang bisa diambil guna mewujudkan aktivitas tersebut. Tahap 6 Menetapkan perubahan yang layak dan diinginkan Tujuan langkah ini untuk mengidentifikasi dan mencari perubahan yang diinginkan secara sistemik dan layak menurut budaya. Perubahan ini dapat saja terjadi dalam hal struktur, prosedur, atau sikap orang-orang. Struktur disini menyangkut organisasi kelompok pihak, atau struktur tanggungjawab fungsional. Perubahan prosedur meliputi semua aktivitas yang dilakukan organisasi, seperti tindakan-tindakan operasional. Perubahan sikap mengacu kepada perubahan dalam cara pandang mengenai sasaran dalam situasi masalah sehingga orangorang akan memahami bagaimana seharusnya berperilaku dalam hubungan antarmereka. Tahap 7. Membuat perubahan untuk memperbaiki keadaan Ini merupakan langkah implementasi. Siapa yang akan melaksanakan? Bentuk tindakan apa yang diambil? Dimana? Kapan? adalah penting dalam tahap ini. Perubahan sikap dan perilaku sebaiknya dipertimbangkan sebagai dimensi untuk menggerakkan sistem baru. Perubahan yang menggoyakan perubahan sebaiknya dihindari. Tahap ini membutuhkan komitmen dan tanggungjawab aktor –aktor untuk mewujudkan rencana aksi. Metodologi Sistem Lunak merupakan proses berlanjut, namun menurut Checkland (1981) dalam Simonsen (1994) tidak seharusnya pendekatan ini diperlakukan sebagai teknik atau metode, tetapi sebagai sebuah metodologi. Karenanya, tahapan-tahapan ini tidak bersifat kaku sebagaimana metode, tetapi dapat disesuaikan dengan situasi khusus tertentu.
21 2.3.3. Beragam pengunaan Metodologi Sistem Lunak Metodologi Sistem Lunak sejak diperkenalkan oleh Peter Checkland dan rekan-rekannya di Universitas Lancester Inggris pada awal dekade 1980-an, telah diadopsi secara luas dan dianggap berhasil menangani beragam masalah di berbagai bidang (Mingers 2000; Holwell 2000; Jackson 2001; Pala et al. 2003). Misalnya, di Cina, MSL digunakan untuk mengidentifikasi tantangan dan kelemahan yang mungkin dalam sistem logistik daur ulang baterai (Li et al. 2007). Di Vietnam, MSL dipakai untuk menginvestigasi persyaratan dan potensi kemajuan pengembangan industri (Braver et al. 2007). Di Australia, ia dipakai untuk mengembangkan kemampuan sistem informasi militer Departemen Pertahanan (Staker 1999) dan pengelolaan sektor kesehatan (Braithwaite 2002). Di Inggris MSL telah digunakan secara luas dalam banyak bidang, misalnya untuk perbaikan kinerja dan perubahan organisasi Pelayanan Kesehatan Nasional (Jacobs 2004), eksplorasi pengembangan perawat khusus bagi orang jompo (Reed et al. 2007), pengelolaan objek data digital (Chilvers 2000), memperbaiki komunikasi antar unit pengelola dalam pusat rehabilitasi orang cacat (Brenton, 2007), memahami bagaimana terjadinya tragedi antar pendukung sepakbola di Stadion Hillsborough (Lea et al. 1998). Di Amerika Serikat, MSL menghasilkan langkah-langkah menuju perubahan sistem program makan siang di sekolah-sekolah umum sebagai upaya mengatasi obesitas pada anak dan remaja (Suarez-Balcazar et al. 2007), dipakai pula sebagai pendekatan untuk menstrukturkan masalah dalam manajemen proyek (Reed et al. 2006), dan sistem informasi bagi konsultan teknologi (Hogan et al. 2003). Beragamnya bidang pemanfaatan Metodologi Sistem Lunak menunjukkan handalnya pendekatan ini dalam membantu pemecahan masalah yang berkaitan dengan kompleksitas interaksi manusia. Dalam bidang manajemen saja, Holwell (2000) mencatat 250 referensi seperti makalah jurnal, makalah seminar, dan buku teks yang menggunakan pemikiran Metodologi Sistem Lunak. MSL juga telah diaplikasikan dalam bidang manajemen sumberdaya alam dan lingkungan Dalam bidang ini, Nidumolu et al. (2006) berhasil memanfaatkan pendekatan MSL untuk menyusun program perencanaan tata guna lahan di India. Bunch (2002) mampu membuat rekomendasi pengelolaan lingkungan bantaran sungai di India. Haklay (1999) menganalisis dampak lingkungan pembangunan perumahan di Israel. Namun, MSL masih jarang digunakan oleh peneliti dan praktisi di Indonesia (Eriyatno 2003; Eriyatno dan Sofyar 2007).
22 Di Indonesia, Purnomo et al. (2003) dalam penelitian pengelolaan kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut di Kabupaten Pasir Kalimantan Timur, telah membuktikan
bahwa
mengharmoniskan
pendekatan
Metodologi
Sistem
Lunak
dapat
para pihak yang berbeda kepentingan, menguatkan
pembelajaran bersama, dan mendorong mereka membuat formulasi rencana aksi kolaboratif. Konteks dan hasil penelitian ini relevan dengan permasalahan pengelolaan kawasan hutan ―tidak terkelola‖ yang banyak terjadi pada taman nasional dan hutan penelitian.