30
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Pertumbuhan
Tiap negara menginginkan adanya peningkatan standar hidup rakyatnya.
Ini berarti semua negara akan senantiasa berusaha melakukan kegiatan
pembangunan, yaitu dengan mencoba menginventarisasi potensi-potensi
sumberdaya ekonomi yang dimiliki dan yang mungkin diperoleh, menyusun
rencana-rencana pembangunan dan melaksanakannya melalui partisipasi
masyarakat untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi. Demikian pula halnya
pada tingkat wilayah (daerah), setiap daerah ingin meningkatkan taraf hidup
penduduk di daerahnya. Untuk itu pemerintah daerah akan berusaha mendorong
pertumbuhan aktivitas ekonomi di daerahnya.
Menurut Glasson dalam Yakub (1990), analisis pertumbuhan ekonomi
makro dapat digunakan sebagai model pertumbuhan ekonomi wilayah (regional).
Pertumbuhan ekonomi wilayah secara agregat ditentuka n oleh faktor-faktor
endo genous da n eksoge nous. Faktor- faktor endogenous merujuk kepada teori
pertumbuhan dari Clark dan Fischer dalam Adisasmita (2008), yang berpendapat
bahwa adanya pertambahan pendapatan per kapita di suatu wilayah
dilatarbelakangi oleh adanya transformasi tenaga kerja secara berangsur-angsur
31
dari sektor primer (pertanian) ke sektor sekunder (industri) dan sektor tersier
(jasa).
Menurut Glasson dalam Ghalib (2005) pembangunan wilayah pada
dasarnya merupakan proses pengembangan lima strata ekonomi dengan urutannya
sebagai berikut: pertama, yang disebut strata ekonomi subsistence, di mana
ke luarga-keluarga berproduksi cukup untuk kehidupan sendiri, investasi dan
perdagangan relatif kecil. Penduduk pada umumnya bekerja di sektor pertanian
dan berorientasi pada lokasi sumber daya alam, kedua, di mana sektor transportasi
sudah berkembang, wilayah dapat mengembangkan perdagangan dan spesialisasi
produksi. Pada strata ini perekonomian mengembangkan usaha- usaha ind ustri
pedesaan bagi petani. Bahan baku dan tenaga kerja disediakan pedesaan, oleh
karena itu strata ini erat hubungannya dengan pengembangan dari strata satu,
ketiga,
yaitu dengan berkembangnya peringkat kedua (meningkatnya
perdagangan), diikuti pula oleh meningkatnya permintaan dan produksi sektor
pertanian. Sektor pertanian dikembangkan secara ekstensif yaitu mengembangkan
usaha- usaha prod uks i biji-bijian, peternaka n, buah-buahan da n sebagainya,
keempat,
dengan bertambahnya
jumlah penduduk
dan berkurangnya
pengembalian sektor pertanian, wilayah terpaksa mengalihkan harapan kepada
sektor perindustrian. Pengembangan sektor industri meliputi tiga tahap, yaitu (1)
mengemba ngka n industri pe ngolahan hasil- hasil pertanian, (2) mengembangkan
industri- industri lain yang spesifik, (3) akan menghadapi tekanan penduduk,
merosotnya taraf hidup penduduk, merosotnya ekonomi wilayah, dan kemunduran
ekonomi secara
keseluruhan,
da n kelima,
perekonomian
melakukan
pengembangan industri tahap ketiga, yaitu industri yang memproduksi barang-
32 barang untuk tujuan ekspor. Wilayah yang mencapai ekonomi peringkat ini diberi predikat sebagai wilayah maju, wilayah yang sudah sampai pada tahap mengekspor modal, keahlian, keterampilan/rekayasa dan dapat membantu manajemen pengelolaan wilayah-wilayah yang masih tertinggal. Proses pertumbuhan da n usaha- usaha pengembangan di atas merupakan dasar bagi pengembangan struktur organisasi industri. Proses ini memberikan perubahan- perubahan, di mana terjadi pengurangan dalam jumlah perusahaan-perusahaan kecil dan bertambahnya jumlah perusahaan-perusahaan yang besar dan kokoh, serta terbentuknya pola lokasi usaha dalam wilayah, berpindahnya perusahaan- perusahaan ke pusat-pusat pertumbuhan. Faktor-faktor penentu pertumbuhan ekonomi suatu wilayah sama saja dengan faktor- faktor pertumbuhan ekonomi nasional sebagaimana yang terdefinisikan dalam mode l- model ekonomi makro. Model- mode l tersebut berorientasikan penawaran, menjelaskan hubungan fungsional output wilayah dengan faktor- faktor produksi wilayah, yang diformulasikan sebagai berikut: On = fn (K, L, Q, Tr, T, So) ………………………………………… (2.1) Dimana: On = output potensial wilayah n, K = modal, L = tenaga kerja, Q = lahan (sumber primer), Tr = transportasi, T = teknologi, da n So = sistem sosial politik. Samuelson (2001) menamakan model pertumbuhan ekonomi makro dengan ”Aggregate Production Function (APF)”. Model APF ini menganalisis kontribusi relatif dari empat faktor pertumbuhan ekonomi: modal, tenaga kerja, teknologi, dan bahan baku terhadap pertumbuhan ekonomi suatu wilayah, yang diformulasikan sebagai berikut: Q = AF (K, L, R) ...............................................................................(2.2)
33
F adalah simbol fungsi. Jika input-input moda l (K), tenaga kerja (L) dan sumber
daya alam (R) meningkat maka dapat diharapkan output nyata (Q) akan
meningkat. Begitu pula sebaliknya, output diperkirakan akan turun jika faktor
produksi tersebut berkurang. Teknologi (A) berfungsi menambah meningkatkan
produktivitas input- input. Kemajuan teknologi, dapat membawa kemajuan pada
ekonomi wilayah, dalam pengertian dengan jumlah input yang sama dapat
memproduksi output yang lebih banyak.
Dari pendapat-pendapat (Richardson, 1969; Temple, 1994; dan McCann,
2001 dalam Rusli Ghalib, 2005) disimpulkan: (1) pertumbuhan ekonomi wilayah
umumnya akan selalu bervariasi antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya, (2)
suatu wilayah yang tertinggal akan mengalami pertumbuhan yang relatif cepat
bila dibuka perhubungannya dengan wilayah-wilayah yang relatif maju atau
dengan pusat-pusat perkembangan, (3) kota-kota (pusat-pusat pe ngemba ngan)
berperan sebagai penggerak pengembangan secara keseluruhan, (4) sedikit banyak
pertumbuhan ekonomi pada level nasional berbeda dengan level wilayah,
sehubungan dengan tingkat
kebebasan bergerak
sumberdaya-sumberdaya
ekonomi antar wilayah dibandingkan dengan antar negara, (5) pengembangan
suatu wilayah aka n mengakibatka n divergence da n convergence dalam jangka
panjang, dan (6) proses divergence da n convergence berkaitan erat dengan
aglomerasi dan urbanisasi.
McCann (2001) mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan
suatu proses yang kompleks, dan terkait dengan permasalahan pasar tenaga kerja
dan multiplier. Dia mengangkat dua perspektif analisis tentang pertumbuhan
ekonomi wilayah, yaitu perspektif Neo Klasik dan perspektif Keynesian.
34
2.1.1. Perspektif Neo Klasik
Teori pertumbuhan ini dikembangkan oleh Solow (1956) dan Swan
(1956). Menurut teori ini pertumbuhan ekonomi wilayah memiliki dua unsur
penting, yaitu (1) unsur yang berkaitan dengan alokasi dan migrasi faktor-faktor
produksi wilayah yang didasarka n pada dua kerangka analisis pula, yaitu analisis
”satu sektor” dan analisis ”dua sektor”, (2) unsur yang berkaitan dengan sifat-sifat
hubungan antar faktor- faktor produksi dan perubahan teknologi. Model ini
mengasumsikan bahwa perekonomian dalam kondisi persaingan, permintaan
terhadap faktor-faktor produksi telah ditentukan oleh produk marginalnya, yang
teralokasikan berdasarkan mekanisme pasar dan digunakan pada produktivitas
terbaiknya. Model satu sektor ini dikaitkan dengan alokasi dan migrasi faktor-
faktor produksi wilayah, di mana berlaku hukum penurunan tambahan hasil yang
semakin menurun (the law of diminishing marginal return), yang menentuka n
komposisi faktor produksi variabel terhadap sejumlah faktor produksi tetap.
Prinsip dasar teori ini berkaitan erat dengan penurunan produktivitas faktor-faktor
produksi. Model dua sektor ini dikaitkan dengan alokasi faktor produksi dan arus
faktor produksi yang tinggi langsung mengarah ke suatu wilayah yang disebabkan
oleh adanya perbedaan kondisi tertentu.
Model Solow mengasumsikan hubungan yang tidak berubah antara input
dan tenaga kerja serta output barang dan jasa. Tetapi mode l itu bisa dimodifikasi
untuk mencakup kemajuan teknologi yang merupakan variabel eksogen, yang
meningkatkan kemampuan masyarakat untuk berproduksi sepanjang waktu.
Untuk memasukkan kemajuan teknologi, harus kembali ke fungsi produksi yang
35
mengaitkan moda l total K dan tenaga kerja total L dengan output total Y. Jadi,
fungsi produksi itu adalah:
Y = F(K,L)
Kini ditulis fungsi produksi sebagai:
Y = F(K,L x E) ..................................................................................(2.3)
Dimana E adalah variabel baru (dan abstrak) yang disebut Efisiensi tenaga kerja.
Efisiensi tenaga kerja mencerminkan pengetahuan masyarakat tentang metode-
metode produksi, ketika teknologi mengalami kemajuan, efisien tenaga kerja
meningkat. L X E
mengukur jumlah para pekerja efektif. Perkalian ini
memperhitungkan jumlah pekerja L dan efisiensi masing- masing pekerja E.
Fungsi produksi yang baru ini menyatakan bahwa output total Y bergantung pada
jumlah unit moda l K dan jumlah pekerja efektif, L X E. Peningkatan efisiensi
tenaga kerja E, sebenarnya adalah seperti peningkatan angkatan kerja L, karena
adanya pengembangan dalam kesehatan, pendidikan atau keahlian angkatan kerja.
(Mankiw, 2003).
2.1.2. Pandangan Keynesian Tentang Pertumbuhan Ekonomi Wilaya h
Panda ngan-pandangan Keynesian tentang pertumbuhan ekonomi wilayah
merupakan pendekatan alternatif. Perekonomian suatu wilayah memiliki
keterkaitan ke dalam dan ke luar. Permintaan suatu wilayah meliputi permintaan
dari dalam dan dari luar wilayah, kedua-duanya akan membentuk arus pendapatan
dan multiplier wilayah. Ada kaitan antara arus investasi lokal dan pendapatan
wilayah. Sehubungan de ngan pa nda ngan tersebut
mazhab Keynesian
mengembangkan model multiplier pada tingkat wilayah (local multiplier). Sedikit
36
banyaknya ada perbedaan antar pendapatan wilayah dan tingkat nasional. Arus
pengeluaran pemerintah lokal cenderung mengalir untuk mengimbangi
pendapatan wilayah dan aliran tersebut relatif bebas dibandingkan dengan pada
tingkat nasional. Diasumsikan bahwa arus investasi sektor pemerintah lebih
banyak mengalir ke wilayah-wilayah di mana dana-dana lokal memungkinkan
terbentuknya modal investasi pada tahun berjalan dan tergantung pada tingkat
pendapatan tahun berjalan. Tingkat pengeluaran investasi lokal biasanya lebih
besar pada tahun berjalan, yang berimplikasi pada persediaan modal wilayah
dapat ditingkatkan menjadi lebih efisien. Pertumbuhan ekonomi dari dalam
wilayah bersumbe r dari jumlah da n mutu input- input lokal. Secara umum
pertumbuhan ekonomi yang bersumber dari dalam wilayah merupakan fungsi dari
modal wilayah. Model- model pertumbuhan wilayah Keynesian dikaitkan pula
dengan investasi- investasi sumber daya manusia. Persediaan modal lokal
merupakan fungsi dari pendapatan lokal per tahun. Dengan demikian tingkat
pertumbuhan lokal dibatasi oleh tingkat pendapatan lokal.
Tingkat pendapatan tahun berjalan akan dibatasi oleh permintaan terhadap
output. Umumnya diasumsikan bahwa banyak output wilayah yang d ikonsumsi di
luar wilayah. Pengeluaran wilayah juga tergantung pada pendapatan ekspornya.
Pengertian ekspor di sini meliputi ekspor antar wilayah dan luar negeri. Arus
pendapatan wilayah yang bersumber dari ekspor- impor
wilayah (neraca
pembayaran wilayah) berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah.
2.1.3. Analisis Harrod-Domar
37 Sir Roy Harrod dari Inggris dan E. Domar dari Amerika mencetuskan konsep pertumbuhan berimbang (eksponensial). Teori tersebut mencakup
penjelasan tentang tingkat pertumbuhan alamiah jangka panjang. Analisis Harrod-
Domar memberikan peranan penting kepada akumulasi modal dalam proses
pertumbuhan ekonomi secara terus menerus, tetapi mereka menekankan bahwa
akumulasi modal itu mempunyai peranan ganda, yaitu di satu pihak investasi
menghasilkan pendapatan dan di lain pihak investasi akan menambah kapasitas
produksi perekonomian.
Bertambahnya kapasitas produksi menghasilkan keluaran dengan tingkat
biaya produksi yang lebih rendah, tetapi di lain pihak mungkin pula menimbulkan
pengangguran yang lebih besar tergantung pada gerak- gerik pendapatan.
Selanjutnya dalam model pembangunan menurut Harrod-Domar, pertambahan
pendapatan nasional dihubungkan dengan pembentukan modal, hasrat marginal
untuk menabung (marginal propensity to save/ MPS), dan Incremental Capital
Output Ratio (ICOR) ke dalam suatu kesatuan hubungan ekonomi. Tingkat
pembangunan ekonomi (rate of development) ditentuka n oleh hubungan antara
pembentukan modal (capital formation), laju pertumbuhan pe nduduk (rate of
population growth) dan rasio modal-output (COR). Dari model tersebut nampak
jelas bahwa dalam pembangunan, seolah-olah hanya modal yang dianggap
sebagai parameter yang strategis, sedangkan faktor- faktor produksi lainnya dan
berbagai variabel lainnya dianggap konstan.
Model pertumbuhan Harrod-Domar dapat dipakai untuk menganalisis
pertumbuhan wilayah dengan memperhitungkan perpindahan modal dan tenaga
kerja antarwilayah. Pertumbuhan yang mantap (steady growth) harus memenuhi
38
syarat-syarat keseimbangan, yaitu adanya kesamaan antara tingkat pertumbuhan
output, tingkat pertumbuhan modal, dan tingkat pertumbuhan angkatan kerja.
2.1.4. Teori Kutub Pertumbuhan
Perkembangan modern dari teori pertumbuhan terutama dari karya ahli-
ahli teori ekonomi regional yang dipelopori oleh Francois Perroux (1955) telah
mengembangkan konsep kutub pertumbuhan. Menurut Perroux da lam Adisasmita
(2008), pertumbuhan ataupun pembangunan tidak dilakukan di seluruh tata ruang,
tetapi terbatas pada beberapa tempat atau lokasi tertentu. Tata ruang
diidentifikasikannya sebagai arena atau medan kekuatan yang di dalamnya
terdapa t kutub-kutub atau pusat-pusat. Setiap kutub mempunyai kekuatan
pancaran pengembangan ke luar dan kekuatan tarikan ke dalam. Teori ini
menjelaskan tentang pertumbuhan ekonomi dan khususnya mengenai perusahaan-
perusahaan da n industri- industri serta saling ketergantungannya, dan bukan
mengenai pola geografis dan pergeseran industri baik secara intra maupun secara
inter, pada dasarnya konsep kutub pertumbuhan mempunyai pengertian tata ruang
ekonomi secara abstrak.
Perroux menekankan pada dinamisme industri- industri dan aglomerasi
industri- industri di bagian-bagian
tata ruang geografis. Konsep kutub
pertumbuhan dapat digunakan sebagai alat untuk mengamati gejala-gejala
pembangunan, proses kegiatan-kegiatan ekonomi, timbul dan berkembangnya
industri- industri pendorong serta peranan keuntungan-keuntungan aglomerasi. Inti
pokok dari pertumbuhan wilayah terletak pada inovasi- inovasi yang terjadi pada
perusahaan-perusahaan da n ind ustri- industri berskala besar dan terdapatnya
39 ketergantungan antar pe rusahaan atau ind ustri. Konsep Perroux mempunyai pengertian adanya kaitan erat antara skala perusahaan, dominasi, dan dorongan untuk melakuka n inovasi. Dalam kerangka dasar pemikiran Perroux, suatu tempat merupakan suatu kutub pertumbuhan apabila di tempat tersebut terdapat industri kunci (key industry) yang memainkan peranan sebagai pendorong yang dinamik karena industri tersebut mempunyai kemampuan untuk melakuka n inovasi. Suatu kutub pertumbuhan dapat merupakan pula suatu kelompok industri, yang berkelompok di sekitar industri kunci. Industri kunci adalah yang mempunyai dampak berantai ke depan (forward linkage) yang kuat. Selain ind ustri kunci Perroux menggunakan istilah industri pendorong. Indutri pendorong adalah yang mempunyai pengaruh penting terhadap kegiatan-kegiatan pada industri- industri lainnya, baik sebagai pensuplai atau langganan untuk barang-barang dan jasa-jasa.
2.1.5. Model Pertumbuhan Tidak Seimbang
Sebagai suatu teori, analisis yang berkaitan dengan perubahan struktural
terutama yang telah dike muka ka n oleh Lewis masih sangat sederhana,
sehubungan dengan itu dalam studi ini juga dipaparkan teori dari Hirschman
untuk melengkapi penjelasan yang terkait de ngan peruba han struktural. Konsep
pertumbuhan tidak seimbang dikemukakan oleh.Hirscman memiliki pengertian
bahwa dalam pembangunan ekonomi didasarkan atas pertumbuhan yang tidak
seimbang (unbalanced growth). Menurut Hirscman dalam Jhingan (2003) dan
Arief (1998) investasi pada industri atau sektor-sektor perekonomian yang
strategis dan berhubungan satu dengan yang lain melalui keterkaitan (linkage)
40
akan menghasilkan kesempatan investasi baru dan membuka jalan bagi
pembangunan ekonomi lebih lanjut.
Pada hakikatnya konsep pertumbuhan tidak seimbang adalah suatu strategi
yang mengembangkan sektor yang memiliki keterkaitan kuat. Menurut teori
keterkaitan ini yang dimaksud adalah meliputi keterkaitan ke belakang (backward
linkage) dan ke depan (forward linkage). Usulan untuk mengembangkan sektor
ekonomi yang memiliki keterkaitan ini berlaku tidak hanya pada sektor industri
dan sektor pertanian tetapi juga untuk keseluruhan sektor ekonomi. Menurut
Hayami dan Ruttan (1971) konsep ketidakseimbangan dalam dan antarsektor
pertanian adalah suatu sumber penting dari keterkaitan ke belakang dan ke depan
dalam mentransmisikan kemajuan teknologi di dalam sektor pertanian terhadap
keseluruhan pembangunan ekonomi.
Menurut Hirscman pola pembangunan tidak seimbang didasarkan atas
pertimbangan sebagai berikut:
1.
Secara historis pembangunan ekonomi yang terjadi coraknya tidak seimbang.
2.
Untuk mempertinggi efisiensi penggunaan sumberdaya-sumberdaya.
3.
Pembangunan tidak seimbang akan menimbulkan kemacetan (bottlenecks)
atau ganggu an-gangguan dalam proses pembangunan tetapi akan menjadi
pendorong bagi pembangunan selanjutnya. (Arsyad, 1999).
Berdasarkan uraian di atas pada dasarnya Hirscman merumuskan model
yang selanjutnya dikenal dengan efek keterkaitan ke depan dan ke belakang.
Keterkaitan ke depan mendorong keputusan investasi pada sektor atau industri
yang memanfaatkan output tertentu untuk proses produksi selanjutnya. Hal ini
dapat menurunkan biaya produksi di industri hilir melalui external economies.
41
Keterkaitan ke belakang mendorong keputusan investasi pada sektor yang
menyediakan input. Peningkatan keterkaitan antarsektor atau antar industri
merangsang peningkatan investasi yang selanjutnya mendorong peningkatan
permintaan input yang merupaka n output dari suatu sektor atau industri tertentu
yang akhirnya mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi. Saling
ketergantungan antarsektor dapat dirumuskan dalam tiga jenis efek keterkaitan,
yaitu: (1) efek keterkaitan antar industri (interindustry linkage effect), mengukur
efek peningkatan satu unit permintaan akhir (final demand) terhadap tingkat
produksi dalam setiap sektor, (2) efek keterkaitan antar tenagakerja (employment
linkage effect), mengukur penggunaan total tenaga kerja dalam satu sektor sebagai
akibat perubahan satu unit permintaan akhir, dan (3) efek keterkaitan penciptaan
pendapatan (income generation linkage effect), mengukur efek perubahan salah
satu variabel eksogen dalam permintaan akhir terhadap peningkatan pendapatan
(Chenery da n Clark, 1959 dalam Ginting, 2006).
Peningkatan dalam satu unit permintaan akhir dapat meningkatkan
produksi dalam setiap sektor melalui efek keterkaitan antar industri dan tingkat
penyerapan tenaga kerja melalui efek keterkaitan ketenaga kerjaan. Peningkatan
output dan ketenaga kerjaan timbul dari keterkaitan ini, juga dicerminka n oleh
penciptaan pendapatan tenaga kerja melalui keterkaitan penciptaan pendapatan
mendorong peningkatan permintaan barang-barang konsumsi, menginduksi lebih
banyak output dan kesempatan kerja.
Pembangunan sektor pertanian di satu pihak meningkatkan permintaan
input antara (intermediate input), seperti: pupuk, insektisida, traktor dan lain- lain
yang dipasok oleh sektor bukan pertanian ini disebut keterkaitan kebelakang
42
(backward linkage). Namun di pihak lain industri pertanian meningkatkan
penawaran output sektor-sektor lain (industri pertanian), di samping ada yang
digunakan sendiri oleh sektor pertanian ini, disebut keterkaitan ke depan (forward
linkage). Dengan demikian kedua aspek inilah dikenal sebagai efek keterkaitan
antar industri (interindustry linkage effect) yang mengarah ke belakang dan ke
depan. Selain itu, pembangunan sektor pertanian akan meningkatkan penyediaan
kesempatan kerja dan pendapatan di sektor pertanian, yang selanjutnya
meningkatkan permintaan terhadap barang-barang konsumsi yang dihasilkan
sektor lain. Keinginan untuk mengkonsumsi barang-barang tersebut merupakan
dorongan untuk meningkatkan produktivitas dan akhirnya meningkatkan tabungan
di sektor pertanian. Hubungan inilah dikenal sebagai efek keterkaitan ketenaga
kerjaan (employment linkage effect). Dan efek keterkaitan penciptaan pendapatan
(income generation linkage effect).
2.1.6. Teori Basis Ekspor
Teori basis ekspor (export base theory) merupakan bentuk model
pendapatan regional yang paling sederhana. Sekalipun sederhana, namun teori ini
dapat memberikan kerangka teoritis yang berguna bagi banyak studi empirik
mengenai multiplier regional. Teori ini menyederhanakan sutu sistem regional
menjadi dua bagian, yakni daerah yang bersangkutan dan daerah-daerah
selebihnya. Asumsi pokok dari teori ini adalah bahwa ekspor merupakan satu-
satunya unsur otonom dalam pengeluaran dan semua komponen pengeluaran
lainnya dianggap sebagai fungsi dari pendapatan. Selain itu diasumsikan pula
43
bahwa fungsi pengeluaran dan fungsi impor tidak mempunyai intersep tetapi
bertolak dari titik nol. Dengan demikian, untuk daerah i dapat ditulis:
Yi = (Ei- Mi) + Xi ………………………………………………….
(2.4)
dimana, Yi adalah pendapatan daerah i, Ei adalah total pengeluaran daerah i, Mi,
adalah pengeluaran impor daerah i, (Ei - Mi) adalah pengeluaran domestik daerah
i, dan Xi adalah ekspor daerah i.
Ei = ei Yi ...........................................................................................(2.5)
Mi = mi Yi ..........................................................................................(2.6)
Xi =
X i (eksogen) ........................................................................(2.7)
Persamaan (2.5), (2.6) dan (2.7) disubstitusikan ke persamaan (2.4) menjadi:
Yi = eiYi – miYi + Xi
Dengan demikian
X Yi = 1ei ei mi
.............................................................................
(2.8)
Jadi, pendapatan regional adalah kelipatan dari ekspor jika marginal propensity
to expenditure secara lokal (e – m) lebih kecil daripada satu (Richardson, 2001).
Jika persamaan (2.9) diubah susunannya maka:
Yi X
1 = 1ei ei mi
Menurut teori ini, khususnya asumsi yang mendasarinya, tidak ada unsur-
unsur eksogen lainnya selain daripada ekspor, maka rasio rata-rata sama dengan
rasio marginal. Dengan demikian, multiplier basis adalah:
Ki =
1 ……………………………………………….. (2.9) 1ei ei mi
44
2.2. Pertumbuhan dan Pemerataa n
2.2.1. Hubunga n Pertumbuhan dan Pemerataa n
Hubungan pertumbuhan dan pemerataan hingga kini masih menjadi
kontroversi. Di satu pihak, ada yang berpendapat bahwa pertumbuhan dan
pemerataan saling bertentangan, tetapi di pihak lain, ada yang berpendapat
sebaliknya. Kelompok yang terakhir ini di dunia internasional tergolong
minoritas, sebab jumlah negara yang berhasil memadukan pertumbuhan dan
pemerataan tidak banyak. Justru yang banyak adalah negara yang berhasil
menciptakan pertumbuhan tinggi, tetapi dibarengi dengan ketimpangan yang
semakin melebar. Namun tidak sedikit negara yang pertumbuhan ekonominya
rendah tetapi diikuti dengan ketimpangan yang terus melebar.
Untuk menganalisis pengaruh pembagian pendapatan terhadap investasi
(I), perlu dilakukan beberapa penyederhanaan seperti yang dilakukan Kaldor
(dalam Ismail, 1995). Misalkan bahwa pendapatan nasional (Y) didistribus ika n
dalam dua bentuk, yaitu yang diterima kelompok pekerja berupa upah (W) dan
yang diterima kelompok pengusaha berupa keuntungan (F). Apabila kedua
kelompok masyarakat tersebut mempunyai hasrat menabung yang berbeda (sw
sF) dimana sw = hasrat menabung pekerja dan sF hasrat menabung pengusaha),
maka tabungan nasional bisa ditulis menjadi:
S = sY =( swW + sFF). ........................................................................ ( 2.10)
dengan asumsi hasrat menabung marginal sama dengan tabungan rata-rata.
45
Dalam model makroekonomi keynesien sederhana, keseimbangan terjadi
apabila I=S, de ngan mensubstitusika n syarat keseimbangan ini dengan persamaan
(2.10) diperoleh:
I = (swW) + (sFF)
Jika W sama dengan Y dikurangi F, maka
I = sw ( Y – F) + (sFF)
= (sF – sw)F + (swY)
Bila ruas kiri dan ruas kanan dibagi dengan Y, diperoleh
I Y
= (sF – sw) F/Y + sw ....................................................................
(2.11)
Ini berarti bahwa tingkat investasi (I/Y) merupakan fungsi dari tingkat
keuntungan (F/Y). Bila hasrat menabung dari kelompok buruh sama dengan nol
(biasanya terbukti di kebanyakan negara berkembang), maka tingkat investasi
ditentukan semata- mata oleh tingkat keuntungan, atau apabila dianggap bahwa
hasrat menabung ke lompok buruh lebih kecil daripada kelompok kapitalis
(biasanya terjadi di negara manapun), maka tingkat keuntungan tetap merupakan
faktor penting dalam
menentukan tingkat
investasi. Dengan demikian,
menurunkan proporsi keuntungan dalam pendapatan nasional untuk memperbaiki
distribusi pendapaan, mempunyai dampak negatif terhadap tingkat investasi.
Selanjutnya, persamaan (2.10) ditulis kembali menjadi:
S s= Y
=
(SFF) (SwW ) f Y
= sw + (sF – sw)
F Y
...............................
(2.12)
Dengan memasukka n persamaan (2.12) ke dalam formulasi pertumbuhan
Harrod-Domar (g = s/v, dimana s = hasrat menabung masyarakat, dan v= nisbah
antara kapital dan output), akhirnya diperoleh:
46
g=
sw (sF sw)(F / Y ) v
....................................................................
(2.13)
Dari persamaan (2.13) jelas bahwa pertumbuhan dan pemerataan
merupakan dua hal yang bertentangan. Jika dikehendaki tingkat pertumbuhan (g)
yang tinggi, maka proporsi pendapatan nasional yang d iterima kelompok ka pitalis
(F/Y) harus cukup tinggi pula, begitu sebaliknya bila dikehendaki distribusi
pendapatan yang lebih merata, maka tingkat pertumbuhan akan rendah.
Dalam literatur, paling sedikit ada tiga konsep distribusi pendapatan,
yakni: (1) distribusi fungsional, (2) distribusi fungsional yang diperluas, dan (3)
distribusi personal. Distribusi fungsional berkaitan dengan pembagian pendapatan
yang diterima pemilik faktor produksi tradisional dalam proses produksi (tanah,
mod al, dan tenagakerja). Distribusi fungs ional yang diperluas merupaka n be ntuk
lain dari distribusi fungsional, misalnya pembagian pendapatan menurut wilayah,
menurut sektor ekonomi (antara sektor pertanian dan sektor industri dan jasa),
atau menurut teknik produksi dalam sektor tertentu (antara industri modern dan
industri tradisional). Sedangkan distribusi personal berkaitan dengan pembagian
pendapatan yang diterima oleh indifidu atau rumah tangga.
Menurut Ismail (1995) teori neo-keynesian dan juga teori distribusi
pendapatan lainnya, lebih menitik beratkan pada masalah distribusi fungsional.
Teori semacam ini tidak sepenuhnya relevan bila digunakan sebagai landasan
untuk merumuskan kebijakan distribusi pendapatan di negara berkembang. Hal ini
disebabkan oleh dua hal, pertama, penggolongan penerima pendapatan dalam
teori distribusi fungsional terlalu sederhana, yaitu hanya terbatas pada buruh dan
pemilik modal, dan umumnya hanya meliputi mereka yang tergabung dalam
sektor formal. Pembagian semacam ini mengabaikan aspek penting dari problem
47
kemiskinan dan ketimpangan di negara berkembang. Sebagian besar kelompok
miskin di negara berkembang bekerja secara marginal di sektor tradisional dan
informal, dan kegiatan mereka biasanya tidak dimasukkan ke dalam perhitungan
pendapa tan nasional. Karena itu kebijaka n yang diarahka n untuk mempe ngaruhi
pola pembagian pendapatan antara pekerja dan pengusaha yang didasarkan pada
teor i distribusi fungsional hanya aka n menyentuh lapisan menengah da n lapisan
atas dari kelompok pendapatan.
Kedua, teori distribusi pendapatan fungsional tidak banyak membahas
konflik sosial-politik-ekonomi. Dalam proses pembangunan konflik semacam ini
menonjol, dan biasanya hal ini berkaitan dengan strategi pembangunan yang
dipilih. Distribusi fungsional dapat mengungkap kepentingan politik jika konflik
itu bersumber dari pemilik faktor produksi. Ketidak mampuan teori distribusi
fungsional untuk menjelaskan fenomena di negara berkembang adalah karena
konflik sosial-eko nomi di negara tersebut buka n terletak semata- mata pada
konflik antara upah dan modal, tetapi lebih mengarah pada konflik, misalnya
antara desa dan kota, antara sektor industri dan jasa serta industri pertanian, antara
sektor yang dilindungi dan sektor yang tidak dilindungi, antara industri substitusi
impor dan industri untuk ekspor, dan sebagainya. Karena itu teori distribusi
fungsional mempunyai kemampuan yang terbatas untuk menjelaskan proses dan
fenomena jangka panjang dari ketimpangan pendapatan di negara berkembang.
Pertumbuhan utamanya berasal dari sektor moderen, yang umumnya
tingkat pertumbuhannya jauh lebih cepat daripada sektor tradisional. Ketika
terjadi pertumbuhan, hasilnya menyebar ke seluruh sektor ekonomi, tetapi ada
sejumlah hambatan bagi orang-orang miskin untuk memperoleh manfaat dari
48 pertumbuhan tersebut. Hambatan-hambatan ini antara lain berupa renda hnya tingkat pendidikan, sempitnya lahan yang dimiliki, rendahnya modal, dan beberapa kebijakan ekonomi (fiskal dan moneter) yang melemahkan posisi mereka. Karena orang miskin tidak bisa diserap untuk menjadi buruh disektor modern, maka memburuknya pemerataan pendapatan pada awal pembangunan tidak bisa dihindari. 2.2.2. Distribusi Pendapatan Suatu studi untuk melihat berhasil tidaknya pembangunan ekonomi saat ini tidaklah cukup hanya diukur berdasarkan laju pertumbuhan ekonomi dan kenaikan pendapatan perkapita saja. Apakah artinya jika pertumbuhan ekonomi tinggi dan pendapatan perkapita meningkat, namun distribusi pendapatan yang terjadi tidak merata, dimana penduduk kaya yang berjumlah sedikit lebih banyak menikmati kenaikan pendapatan tersebut, seda ngka n penduduk miskin yang jumlahnya lebih banyak hanya sedikit menerima pendapatan. Dengan kata lain, dalam kondisi ketimpangan semacam itu penduduk yang merasakan kenaikan pertumbuhan ekonomi da n pe ndapaan pe r kapita tersebut hanyalah pe nduduk kaya yang jumlahnya sedikit, sementara penduduk miskin yang jumlah lebih banyak tidak mengalami perbaikan pendapatan. Sehubungan dengan itu pemahaman mengenai distribusi pendapatan ini sangat penting, terutama sekali bila ingin mengkaji keberhasilan suatu pembangunan ekonomi. Adelman dan Morris (1973) dalam Arsyad (1999) mengemukakan delapan penyebab ketidak merataan distribusi pendapatan sebagai berikut: 1. Pertambahan penduduk yang tinggi sehingga mengakibatkan menurunnya
pendapatan perkapita.
49
2. Inflasi, kenaikan harga secara terus menerus.
3. Ketidak merataan pembangunan antar daerah.
4. Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek padat modal (capital
intensive).
5. Rendahnya mobilitas sosial.
6. Pelaksanaan kebijakan industri
substitusi impor yang mengakibatkan
kenaika n harga-harga barang hasil industri untuk melindungi usaha-usaha
golonga n kapitalis. Memburuknya nilai tukar (term of trade) ba gi negara-
negara berkembang dengan negara-negara maju sebagai akibat ketidak
elastisitasan permintaan negara-negara terhadap barang-barang ekspor negara
berkembang.
7. Hancurnya ind ustri- industri ke rajina n rakyat.
2.3. Strategi Industri Berbasis Pertanian
Agricultural Demand-Led Industrialization Strategy (ADLI, strategi
industri berbasis pertanian) berperan penting dalam meningkatkan produktivitas
pertanian melalui inovasi teknologi dan peningkatan investasi dalam
meningkatkan pendapatan masyarakat di pedesaan. Strategi ini dianjurkan karena
produktif dan secara kelembagaan terkait dengan perekonomian secara
keseluruhan, stimulasi pertanian pangan menghasilkan insentif pangan yang kuat
(meningkatkan permintaan konsumen rumahtangga pedesaan) dan insentif
penawaran (meningkatkan suplai pangan tanpa meningkatkan harga). Insentif-
insentif ini mampu mengendalikan perluasan industri. Strategi ini berawal dari
kebijakan-kebijakan pertumbuhan akonomi.
50
Dalam strategi ADLI, perbaikan produktivitas lahan pertanian berdampak
pada sejumlah pasar. Pertama, perbaikan ini menstimulus permintaan input- input
antara (seperti pupuk, bibit unggul dan pestisida) dan barang-barang kapital baru
(seperti peralatan irigasi baru dan infrastruktur) serta meningkatkan permintaan
tenaga kerja. Investasi di sektor pertanian mampu menciptakan kesempatan kerja
di sektor non pertanian tergantung pada kekuatan keterkaitan ke belakang sektor
pertanian dan pembagian suplai antara produksi domestik dan impor. Peningkatan
produktivitas meningkatkan kesempatan kerja bagi penggarap tanah, apabila
inovasi dalam meningkatkan produktivitas lahan menggunakan metode pertanian
yang padat tenaga kerja (Adelman, 1984 dalam Adelman, 1995 dan Kasryno dan
Stepanek, 1985). Kedua, apabila tren pengeluaran rata-rata dari rumah tangga
pertanian kecil dan menengah lebih besar dari pemilik lahan, maka tambahan
pendapatan kelompok rumahtangga tersebut terutama lebih banyak dibelanjakan
pada komoditas-komoditas non pertanian dan jasa. Barang dan jasa ini meliputi
tekstil, pangan olahan, jasa perseorangan, pendidikan dan lainnya. Karena strategi
ini memberi efek terhadap pertumbuhan dan kesempatan kerja, keterkaitan
konsumsi rumahtangga pedesaan merupakan kunci dari sisi permintaan yang
mengendalikan industrialisasi di negara- negara sedang berkembang yang
berpendapatan rendah. Ketiga, peningkatan penawaran pertanian memastikan
upah nominal tidak meningkat, dengan demikian keuntungan industri terjamin,
upah nominal yang rendah memberikan imbas terhadap kesempatan kerja dalam
menghasilkan barang-barang nontradable dan jasa yang padat tenaga kerja.
Besaran dari efek kesempatan kerja tidak langsung mendorong industri dari sisi
penawaran.
51
Ada tiga implikasi kebijakan dalam penerapan strategi ADLI, pertama,
dalam rangka membangun tingkat pertumbuhan produksi pertanian yang kuat,
sangat penting memperluas investasi dalam bentuk fisik dan infrastruktur
kelembagaan. Ini termasuk investasi dalam riset budidaya dan diseminasinya,
investasi sosial pedesaan dan jasa pendidikan, serta investasi pemasaran dan
jaringan transportasi. kedua, para perencana harus menghi langka n unsur- unsur
perdagangan yang menyebabkan kerusakan pertanian berupa penghisapan
peningkatan surplus pedesaan potensial. Ketiga, para perencana seharusnya
membangun suatu kebijakan perdagangan terbuka.
Selanjutnya strategi ADLI tergantung pada asumsi bahwa elastisitas
pendapatan rumahtangga pedesaan dan elastisitas harga dari penawarannya
terhadap barang-barang non-tradables padat tenaga kerja tinggi. Jika elastisitas-
elastisitas ini rendah, maka keberhasilan strategi ADLI dalam jangka panjang
tidak terjamin. Oleh karenanya, pengembangan ekonomi terbuka menjadi
kekuatan untuk mendukung industrialisasi melalui ekspor primer dan pertanian
(De Janvry dan sadoulet, 1986 dan Adelman dan Vogel, 1991).
Agar bisa memberikan dampak yang luas terhadap pemerataan, sector
industri harus dikaitkan dengan sector pertanian, karena sektor pertanian sampai
sekarang masih terlalu banyak menangung beban penduduk. Perluasan dan
pengembangan agroindustri tampaknya bias menjembatani kedua sektor tersebut.
Beberapa keunggulan industri yang mengolah barang pertanian adalah (a) lebih
bersifat padat karya dibandingkan dengan industry manufaktur pada umumnya,
(b) mempunyai keterkaitan langsung dengan sektor pertanian terutama dalam
penyediaan bahan baku, (c) memungkinkan diversifikasi sektor pertanian, (d)
52 perluasan produksi pertanian tidak begitu import-intensive dibandingkan dengan perluasan di sektor manufaktur, dan (e) teknologinya tidak terlalu padat modal.
2.4. Ekonomi Pariwisata
Ekonomi pariwisata adalah suatu besaran ekonomi yang diciptakan oleh
transaksi yang dilakukan antara para wisatawan (terkait dengan pengeluaran
belanja wisata) dengan sektor-sektor ekonomi penyedia barang dan jasa.
Australian Bureau
of Statistics, ABS (1994) membagi ekonomi pariwisata
dimaksud dalam tiga elemen, yaitu : (1) wisatawan, dalam hal ini diperlakukan
sebagai konsumen yang mengkonsumsi barang dan jasa selama melakukan
perjalanan wisata, (2) transaksi untuk memperoleh barang dan jasa dimaksud baik
dalam perjalanan maupun di tempat tujuan wisata, dan (3) sektor/unit ekonomi
yang menyediakan barang dan jasa untuk memenuhi kegiatan wisata. Dengan
demikian ekonomi pariwisata menggambarkan seluruh transaksi ekonomi yang
terjadi antara kons umen (wisatawan domestik dan mancanegara) dengan unit-unit
ekonomi yang menyediakan barang dan jasa
dalam koridor
kegiatan
kepariwisataan.
Hall (1994) mengindikasikan bahwa Indonesia sebenarnya dalam proses
melakukan transformasi dari ekonomi industri kepada ekonomi jasa, terutama
dalam konteks bahwa penyampaian suatu produk menjadi bagian paling penting
dibanding penciptaan produk itu sendiri. Dunia pariwisata merupakan bagian dari
ekonomi jasa yang sarat dengan sensitivitas terhadap pelayanan produk yang
dikonsumsi. Untuk itu upaya memberi pelayanan
dan kenyamanan
wisatawan menjadi hal penting da lam ekonomi pariwisata (ekonomi jasa).
bagi
53
Eko nomi di provinsi Bali sebagaimana telah dikemukakan pada bab
terdahulu menunjukkan bahwa sektor yang terkait dengan pariwisata adalah sektor
yang masih memberikan kontribusi terbesar terhadap PDRB dan output yang
dipasarkan lebih berorientasi pada pariwisata (menurut BPS Bali tahun 2004
disebutkan produk unggulan yang menjadi andalan adalah sektor-sektor yang
terkait dengan pariwisata, antara lain sektor perdagangan, hotel dan restoran,
pengangkutan dan komunikasi, pertambangan dan penggalian,
industri
pengolahan). Oleh karenanya, pilihan strategi industri pariwisata bagi
pengembangan ekonomi provinsi Bali ke depan nampaknya masih dianggap
relevan. Namun demikian perlu dikaji lebih lanjut apakah kebijakan tersebut tepat.
Pengalaman di sejumlah negara berkembang mengajarka n bahwa
pariwisata mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, jika dikelola secara
cermat dengan menerapkan strategi yang berpihak pada orang miskin (pro-poor
tourism). Strategi ini mencoba mempertajam orientasi pembangunan pariwisata
dengan memperpendek mata rantai distribusi hasil pariwisata. Salah satu misalnya
adalah dengan memfasilitasi interaksi langsung antara masyarakat lokal dengan
wisatawan dalam penyediaan atau pengembangan objek serta daya tarik wisata.
Hal tersebut dilakukan dengan cara melibatkan masyarakat lokal yang
menjamin mereka memahami proses pengambilan keputusan tentang bentuk
kegiatan pariwisata sesuai dengan ketersediaan dan kapasitas sumber daya
setempat. Prinsip utamanya adalah bahwa pariwisata hanya mampu bertahan
(sustainable) jika dampaknya pada peningkatan kesejahteraan dirasakan
masyarakat secara langsung, khususnya mereka yang bermukim di destinasi
pariwisata. Oleh karena itu pemerintah diharapkan mampu mengakselerasi
54 pengembangan community-based tourism, yaitu Pariwisata Berbasis Komunitas (PBK), Damanik (2010). Wujud Pariwisata Berbasis Komunitas (PBK) berupa
pelibatan masyarakat dalam pelatihan peningkatan kapasitas, distribusi kredit
usaha, perencanaan bisnis, pengembangan produk, dan pemasaran pariwisata.
Dalam hal ini, peran dan inisiatif stakeholders sangat menentukan dalam
mengatasi keterbatasan masyarakat lokal, misalnya dalam bidang kompetensi
teknis pengelolaan pariwisata sehingga mengembangkan PBK berjalan lebih
cepat. Pada posisi ini masyarakat memerluka n pe nda mpingan lebih lanjut untuk
merumuskan gagasan dan mengalokasikan sumber daya bagi pengembangan
pariwisata.
Wood (2005) dalam tulisannya Pro-Poor as a means of Sustainable
Development in the Uctubamba Valley, Northern Peru, menjelaskan bahwa
masyarakat terutama masyarakat miskin dilibatkan dalam akses pasar pariwisata
yaitu masyarakat dilibatkan dalam proses perencanaan pariwisata yang berbasis
masyarakat, diikut sertakan dalam meningkatkan promosi dan memasarkan
barang dan jasa kepada wisatawan, dilibatkan melakukan kontak antara wisatawan
dan masyarakat serta masyarakat dapat dilibatkan untuk mensuplai barang dan
jasa terhadap tingkat permintaan akan barang dan jasa tersebut.
2.5. Tinjauan Studi Te rdahulu
Studi terdahulu yang ditujukan terhadap gambaran tentang distribusi
pendapatan pada sektor pariwisata dan sektor pertanian, pertumbuhan ekonomi,
kontribusi kedua sektor, keterkaitan antar sektor dalam perekonomian dan
distribusi pendapatan antar golongan rumahtangga, baik internasional, nasional
55
maupun daerah (provinsi, kota dan kabupaten), telah dilakukan oleh beberapa
peneliti sebelumnya sebagaimana terlihat dalam uraian berikut:
Nokkala (2002) melakukan studi dengan tujuan utama menelaah
implementasi program investasi sektor pertanian di Zambia dengan menggunakan
kerangka SAM 1995. Ada empat alternatif pola pengeluaran dana investasi sektor
pertanian yang dipresentasikan sebagai suatu skenario kebijakan, yaitu skenario:
(1) implementasi aktual, (2) implementasi optimal, (3) pengeluaran investasi
sepenuhnya pada pertanian non komersial, dan (4) setengah dari pengeluaran
investasi pada pertanian komersial dan setengahnya lagi pada pertanian non
komersial. Kerangka SAM yang dibangun terdiri dari tiga neraca endogen dan
tiga neraca eksogen. Hasil analisis empat skenario kebijakan investasi dari studi
ini menyatakan bahwa shocks pengeluaran aktual (skenario 1) agriculture sector
investment program mendorong produksi pertanian komersial tumbuh lebih besar
dari pada pertanian non komersial. Hasil skenario 2, 3 dan 4 memperlihatkan hal
yang senada dengan skenario 1, namun dengan komposisi besaran yang berbeda.
Heriawan (2004),
dalam studinya
menyatakan bahwa
pariwisata
merupakan sektor yang sangat penting dan strategis bagi perekonomian Indonesia.
Untuk mengukur dampak ekonomi pariwisata sebagai tujuan dari penelitian ini
digunakan pendekatan I-O dan SAM pada tahun 2003. Dari hasil analisis
diketahui bahwa sektor pariwisata cukup po tensiil menciptakan PDB (pro srowth)
dan lapangan kerja (pro labor) tetapi kurang mampu dalam membuat distribusi
pendapatan yang lebih baik. Dengan kata lain, pariwisata belum menyentuh
kelompok ekonomi miskin (pro poor tourism) yang sebagian besar berada di
pertanian dan perdesaan. Dari studi skenario kebijakan ditemukan bahwa
56 kebijakan penataan kelembagaan dan peraturan secara signifikan mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi pariwisata.(pro growth) dan perluasan lapangan kerja (pro labor). Nugrahadi (2008) melakukan studi dengan tujuan untuk menganalisis sumber pertumbuhan, keterkaitan dan distribusi pendapatan dalam perubahan struktur ekonomi provinsi Jawa Barat periode tahun 1993 – 2003 . Secara spesifik bertujuan (1) menganalisis pola perubahan struktural ekonomi berdasarkan perubahan struktur output , tenaga kerja dan distribusi pendapatan antara golongan rumahtangga, (2) menganalisis sumber-sumber pertumbuhan output ekonomi dan tenaga kerja yang menyertai pertumbuhan ekonomi tersebut, (3) menganalisis keterkaitan kebelakang ( back ward linkage) dan kedepan (ford ward linkage). Antar sektor-sektor produksi, (4) mengidentifikasi sektor-sektor ekonomi yang potensiil, dan (5) menganalisis dampak stimulus ekonomi terhadap output, kesempatan kerja dan distribusi pendapatan dari sektor-sektor ekonomi yang potensiil. Analisis menggunakan pendekatan ekonometrik, I-O (input – output) dan SAM (Social Accounting Matrx). Antara (1999), dalam hasil penelitian menyatakan bahwa pertumbuhan perekonomian Bali yang relatif tinggi sejak pelita I sampai tahun 1996, dicapai melalui alokasi investasi, salah satu adalah pengeluaran pemerintah. Melalui pengeluaran pemerintah pusat dan daerah, dibangun berbagai fasilitas fisik dan ekonomi termasuk fasilitas kepariwisataan untuk mengantisipasi peningkatan kedatangan wisatawan ke Bali. Peningkatan kunjungan wisatawan sudah tentu meningkatkan pengeluaran wisatawan, akhirnya akan meningkatkan efek pengganda (Multiplier effect) dan perolehan devisa.. Penelitian yang
57
menggabungkan SAM dengan aspek lingkungan (SAM lingkungan) dapat
dilakukan, pariwisata juga menimbulkan eksternalitas negatif disamping dampak
positif, sehingga diketahui dampak bersih
(net impact) pariwisata terhadap
perekonomian Bali. Keterbatasan dan ketimpangan alokasi sumber daya alam
Bali, khususnya lahan dan air, juga memerlukan suatu penelitian tentang
optimalisasi alokasi sumber daya alam dengan menggunakan model pemrograman
statis atau dinamik. Studi Hafizrianda (2007), secara khusus bertujuan untuk
mencari penjelasan dari pembangunan ekonomi berbasis pertanian terhadap
perekonomian regional, dan perbaikan distribusi pendapatan maupun penurunan
ketimpangan pendapatan. Mengingat sektor ekonomi yang berbasis pertanian
cukup beragam jenisnya maka perlu ditentukan prioritas pembangunan ekonomi
berbasis pertanian bagaimana yang paling besar pengaruhnya terhadap distribusi
pendapatan atau ketimpangan pendapatan di provinsi Papua. Untuk menjawab hal
tersebut, maka alat analisis yang digunakannya adalah Sistem Neraca Sosial
Ekonomi (SNSE). Berdasarkan analisis SNSE diperoleh gambaran secara umum
bahwa pembangunan ekonomi berbasis pertanian mampu memperbaiki distribusi
pendapatan di provinsi Papua, karena sebagian besar kebijakan pertanian yang
disimulasikan yang mencakup kebijakan dalam bidang investasi dan ekspor,
hasilnya dapat mengurangi ketimpangan pendapatan dalam perekonomian Papua.
Alim (2006), hasil studinya yang menggunakan
Model Interregional
Social Accountung Matrix Jawa dan Sumatera yang diberi nama SAMIJASUM
2002, dibangun berdasarkan data sekunder dalam bentuk matriks 59X59 dengan
menggunakan teknik cross entropy untuk balancing.
Dalam penelitiannya
menyatakan bahwa struktur ekonomi Jawa pada awal pembangunan ekonomi
58
(Pelita I) adalah sektor jasa, pertanian, industri pengolahan dan pertambangan.
Selama masa pembangunan ekonomi jangka panjang tahap pertama (PJPT-I),
sektor jasa dan sektor industri pengolahan secara bertahap mengalami penguatan
dan kemudian menjadi dominan dalam perekonomian Jawa. Sebaliknya, pada
periode yang sama, struktur ekonomi Sumatera berubah secara acak, dimana
peranan sektor pertambangan dan sektor industri melemah, sedangkan sektor jasa
dan sektor pertanian menguat. Hasil analisis yang didasarkan pada SAMIJASUM
2002 menunjukkan bahwa: (1) neraca perdagangan antara Jawa dan Sumatera
lebih menguntungkan Jawa, dimana perekonomian Sumatera mengalami difisit
neraca perdagangan, (2) keterkaitan sektor-sektor produksi di Sumatera terhadap
berbagai sektor produksi di Jawa sangat kuat, sedangkan sebaliknya memiliki
keterkaitan yang lemah, (3) spillover effect dari Sumatera ke Jawa lebih besar
daripada spillover effect dari Jawa ke Sumatera, sehingga setiap guncangan
(shock) ekonomi pada sektor manapun pada kedua wilayah akan mengakibatkan
ekonomi Jawa meningkat jauh lebih cepat daripada ekonomi Sumatera. Dalam
kondisi ini, apabila pembangunan ekonomi dikonsentrasikan ke Sumatera, maka
pertumbuhan ekonomi kedua wilayah akan lebih tinggi dan diilustrasikan secara
lebih berimbang, sehingga kesenjangan ekonomi antara kedua wilayah secara
bertahap akan menyempit.
Susilowati (2007) dalam studinya yang menggunakan model Sistem
Neraca Sosial Ekonomi (SNSE), bahwa Kemiskinan di Indonesia sebagian
besar berada di sektor pertanian dan perdesaan dan menjadi permasalahan
nasional yang serius. Masalah kemiskinan dan distribusi penda patan terkait erat
dengan
strategi
pembangunan
ekono mi
yang
dilakukan. Kebijakan
59
pengembangan agroindustri merupakan salah satu kebijakan pemerintah yang
diharapkan berdampak mengurangi kemiskinan dan memperbaiki distribus i
pendapatan.
Penelitian bertujuan untuk menganalisis peran sektor agroindustri dalam
perekonomian
nasional
dan da mpak kebijakan
ekono mi di sektor
agroindustri terhadap distribusi pe ndapatan da n ke miskinan. Kebijaka n eko nomi
yang dimaksud adalah kebijakan peningkatan pengeluaran pemerintah, ekspor,
investasi dan insentif pajak di sektor agroindustri dan redistribusi pendapatan.
Analisis menggunakan data Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) yang
didisagregasi ke dalam agroindustri makanan dan non makanan. Simulasi
kebijakan di sektor agroindustri dilanjutkan untuk menga nalisis distribusi
pendapatan dan kemiskinan menggunakan data SNSE dan SUSENAS.
Hasil analisis menunjukkan bahwa sektor agroindustri mempunyai peran
lebih besar dalam meningkatkan output, PDB dan penyerapan tenaga kerja.
Tetapi dalam hal pendapatan rumah tangga, strategi industrialisasi ADLI di
Indonesia be lum terlaksana dengan baik. Kebijakan peningkatan ekspor, investasi
dan insentif pajak di sektor agroindustri berdampak menurunkan tingkat
kemiskinan dan memperbaiki distribusi pendapatan rumahtangga sedangkan
kebijakan peningkatan pengeluaran pembangunan pemerintah di
sektor
agroindustri kurang memberikan dampak positif. Kebijakan ekonomi di sektor
agro ind ustr i maka nan berda mpak leb ih besar memperba iki distribus i
pendapatan rumah tangga. Sedangkan kebijakan ekonomi di sektor agroindustri
non makanan berdampak lebih besar dalam menurunkan tingkat kemiskinan.
Kebijakan ekonomi di sektor agroindustri prioritas (agroindustri makanan
60
sektor tanaman pangan, perikanan, perkebunan, industri karet remah dan karet
asap dan industri kayu lapis, bambu dan rotan) merupakan kebijakan yang
paling efektif memperbaiki distribusi pendapatan dan menurunkan kemiskinan.
Sejalan dengan hasil penelitia n, untuk mengatasi masalah kesenjangan
pendapatan dan kemiskinan maka kebijakan ekonomi perlu lebih difokuskan pada
agroindustri prioritas melalui kebijakan peningkatan investasi dan ekspor.