II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Wisata yang Berkelanjutan (Sustainable Tourism) Definisi wisata menurut Gunn (1994) adalah suatu pergerakan temporal manusia menuju tempat selain dari tempat biasa mereka tinggal dan bekerja, selama mereka tinggal di tujuan tersebut mereka melakukan kegiatan, dan diciptakan fasilitas untuk mengakomodasi kebutuhan mereka. Bentuk-bentuk
wisata
menurut
Gunn
(1994)
dikembangkan
dan
direncanakan berdasarkan hal berikut: 1. Kepemilikan (ownership) atau pengelola areal wisata tersebut yang dapat dikelompokkan ke tiga sektor yaitu badan pemerintah, organisasi nirlaba, dan perusahaan komersial. 2. Sumberdaya (resource), yaitu: alam (natural) atau budaya (cultural). 3. Perjalanan wisata/lama tinggal (touhng /longstay). 4. Tempat kegiatan yaitu di dalam ruangan (indoor) atau di luar ruangan (outdoor). 5. Wisata utama/wisata penunjang (primary/secondary). 6. Daya dukung (carrying capacity) tapak dengan tingkat penggunaan pengunjung (yaitu intensif, semi intensif, dan ekstensif).
Kelly (1998) mengutarakan klasifikasi bentuk wisata yang dikembangkan berdasarkan pada bentuk utama atraksi atau daya tariknya, yang kemudian ditekankan pada pemasarannya. Bentuk wisata tersebut antara lain berupa: ekowisata (ecotourism), wisata alam, wisata petualangan, wisata berdasarkan waktu (getaway and stay), dan wisata budaya (cultural tourism). Menurut Gunn (1994) bahwa suatu kawasan dikembangkan untuk tujuan wisata karena terdapat atraksi yang merupakan komponen dari suplai. Atraksi merupakan alasan terkuat untuk perjalanan wisata, bentuknya dapat berupa ekosistem, tanaman langka, landmark, atau satwa. Atraksi biasanya adalah hasil dari pengembangan dan pengelolaan. Atraksi terdapat di daerah pedesaan dan perkotaan, keadaan di kedua tempat tersebut sangat berbeda. Daerah pedesaan menyajikan suatu atraksi yang lebih tenang dan alami, sedangkan daerah
7
perkotaan menyediakan atraksi yang lebih berupa budaya dan hasilnya, seperti sungai kota, museum, dan sebagainya. Kawasan wisata tergantung pada sumberdaya alami dan budaya, dimana distribusi dan kualitas dari sumberdaya ini dengan kuat mendorong pengembangan wisata. Fennell (1999) sependapat dengan Gunn (1994), bahwa suatu atraksi merupakan alasan terkuat untuk adanya suatu kegiatan wisata, dan merupakan elemen dasar yang berkaitan dengan pengalaman (experience) wisatawan. Atraksi selain karena keunikan dari suatu tapak juga karena keberadaannya dalam suatu ruang spasial. Secara umum atraksi suatu wisata berupa kebudayaan dan sumberdaya alam. Atraksi budaya suatu kawasan wisata dapat menjadi atraksi utama ataupun atraksi penunjang. Kegiatan ekowisata dikatakan merupakan suatu bentuk wisata yang berdasarkan pada atraksi sumberdaya alam yang memfokuskan unsur pengalaman dan belajar serta mengkontribusikan suatu konservasi atau preservasi di kawasan tersebut. Menurut Gunn (1994) pengembangan sustainable tourism adalah perubahan yang positif dari sosial ekonomi yang tidak merusak sistem ekologi dan sosial dimana masyarakat dan kehidupan sosialnya berada. Suatu keberhasilan implementasi membutuhkan integrasi antara proses kebijakan, perencanaan dan sosial, kelangsungan hidup politik bergantung pada dukungan penuh masyarakat yang dipengaruhi oleh pemerintah, institusi sosial dan aktivitas pribadi mereka. Tujuan dari sustainable tourism (Inskeep, 1991) adalah: 1. Untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman bahwa wisata dapat memberikan kontribusi terhadap lingkungan dan ekonomi. 2. Untuk mempromosikan pembangunan yang ramah lingkungan. 3. Untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat lokal. 4. Untuk memberiakan pengalaman yang berkualitas kepada pengunjung. 5. Untuk mempertahankan kualitas lingkungan.
2.2. Wisata Pegunungan (Mountain Tourism) Wisata merupakan pertumbuhan industri yang sangat cepat di dunia. Berdasarkan data yang dikutip dari WTO, pada Tahun 2000 wisatawan mancanegara (wisman) internasional mencapai jumlah 698 juta orang yang
8
mampu menciptakan pendapatan sebesar USD 476 milyar. Pertumbuhan jumlah wisatawan pada dekade 90-an sebesar 4,2% sedangkan pertumbuhan penerimaan dari wisman sebesar 7,3%, bahkan di 28 negara pendapatan tumbuh 15% per tahun. Prospek pariwisata ke depan sangat menjanjikan bahkan sangat memberikan peluang besar, terutama apabila menyimak angka-angka perkiraan jumlah wisatawan internasional (inbound tourism) berdasarkan perkiraan WTO yakni 1,046 milyar orang (Tahun 2010) dan 1,602 milyar orang (Tahun 2020), diantaranya masing-masing 231 juta dan 438 juta orang berada di kawasan Asia Timur dan Pasifik. Akan mampu menciptakan pendapatan dunia sebesar USD 2 Triliun pada Tahun 2020. Wisata pegunungan menampilkan fraksi pada aktivitas ini, walaupun kemungkinan tidak lebih penting dari wisata pantai atau area perkotaan. Wisata pegunungan meliputi mass tourism menuju popular sites, the ski industry, petualangan (trekking, climbing, rafting), wisata budaya, ekowisata, dan berziarah (pilgrimage). Seperti yang ditampilkan pada Gambar 2, wisata pegunungan bergantung pada dan dipengaruhi oleh sejumlah bentuk spasial yang berhubungan dengan ketinggian dan relative isolation.
Gambar 2. Bentuk dan Wisata Pegunungan. Aset yang unik pada area pegunungan menimbulkan persaingan yang penting untuk penggunaan berkelanjutan (sustainable use). Fokus dalam hubungan konservasi dan komunitas sangat penting bila wisata pegunungan dapat hidup kembali dalam waktu yang panjang. Saat ini, wisata pegunungan
9
dinyatakan sebagai bagian terpenting dalam konservasi dan komunitas (Munthoo, 2002).
2.3. Interpretasi 2.3.1. Pengertian Interpretasi Interpretasi adalah suatu mata rantai komunikasi antara pengunjung dan sumberdaya yang ada (Sharpe, 1982). Istilah interpretasi, bermula dari pemikiran para pengelola “kawasan yang dilindungi” sebagai konsep dan program untuk memberikan pendidikan kepada pengunjung tentang sumberdaya alam dan ekosistemnya dengan maksud agar lebih memahami dan menghargai lingkungan alam. Berdasarkan pemahaman tersebut diharapkan pengunjung dapat mengambil bagian dalam usaha-usaha perlindungan dan pelestarian lingkungan alam di kawasannya. Seiring dengan pergeseran nilai di kalangan wisatawan, konsep pengertian interpretasi diadopsi oleh kalangan penyelenggara pariwisata dalam desain dan penawaran produk. Adapun pengertian interpretasi dalam produk pariwisata adalah suatu kemasan produk dengan muatan nilai-nilai substantif sumber-sumber (alam/budaya) untuk memenuhi harapan pengunjung mendapatkan pengetahuan dan pembelajaran tentang lingkungan setempat (Sekartjakrarini dan Legoh, 2003). Interpretasi adalah pelayanan kepada pengunjung yang merupakan mata rantai komunikasi antara pengunjung dengan sumberdaya alam dan membantu pengunjung untuk merasakan sesuatu yang dirasakan oleh interpreter tentang keindahan, keunikan alam, keanekaragaman dan berhubungan dengan lingkungan, keajaiban alam dan perasaan ingin tahu. Menurut Tilden (1957), dalam Interpreting Our Heritage menyatakan bahwa
interpretasi
adalah
kegiatan
pendidikan
yang
bertujuan
untuk
mengungkapkan arti dan keterkaitan suatu obyek, oleh mereka yang berpengalaman, dengan menggunakan berbagai media, bukan hanya sekedar melakukan
komunikasi
berdasarkan
informasi
yang
ada.
Menurut
Muntasib (2003), interpretasi merupakan suatu upaya untuk menjelaskan misteri alam, seni dan budaya kepada pengunjung baik secara langsung (melalui interpreter) maupun tidak langsung (melalui poster, slide, film, foto ataupun alat
10
peragaan lainnya), berupa seni yang menarik dan merupakan penggabungan berbagai pengetahuan yang terkait (flora, fauna, sejarah, geologi dan sebagainya). Pengunjung yang datang ke suatu kawasan wisata terutama bertujuan untuk menikmati alam dan seisinya baik keindahan, keunikan dan kekhasannya. Melalui interpretasi pengunjung dapat mengerti akan makna dari Objek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) yang ada, sehingga membangkitkan emosional pengunjung untuk mencintai dan melestarikan alam dan budaya.
2.3.2. Tujuan Interpretasi Tujuan dari pengembangan interpretasi secara umum, yaitu (1) sebagai produk, untuk memenuhi kebutuhan pengunjung akan pengetahuan, pembelajaran dan pengalaman baru, dan (2) sebagai proses untuk menumbuhkan pengertian, pemahaman dan penghargaan pengunjung terhadap nilai-nilai substantif sumbersumber suatu kawasan tujuan pariwisata dan pada gilirannya ikut melindungi dan melestarikan kawasan tersebut. Menurut Sharpe (1982), tujuan pokok interpretasi yaitu: 1. Membantu pengunjung membangun kesadaran, penghargaan dan pengertian tentang kawasan yang dikunjungi agar kunjungan kaya akan pengalaman dan kenyamanan. 2. Membantu pihak pengelola untuk mencapai tujuan pengelolaan karena interpretasi dapat mendorong pengunjung menggunakan sumber daya dengan baik serta memperkecil dampak manusia yang merusak lingkungan. 3. Meningkatkan pengertian masyarakat umum terhadap sasaran dan tujuan yang hendak dicapai oleh suatu institusi/instansi, dengan jalan memasukkan perasaan-perasaan dalam program interpretasinya.
Pengembangan interpretasi sebagai suatu produk (kegiatan dan fasilitas pelayanan) adalah diperlukannya suatu ruang/tapak untuk mewujudkannya. Interpretasi dapat dikembangkan di berbagai kawasan baik hutan (konservasi, lindung, dan produksi), peninggalan sejarah, pertanian kampung tradisional, bahkan perkotaan. Terkait dengan tujuan dan teknik penyajian interpretasi, program interpretasi yang dikembangkan harus mempertimbangkan: (1) potensi
11
dan daya tarik pariwisata kawasan, (2) teknik pengemasan, (3) ketersediaan sarana dan prasarana pendukung.
2.3.3. Prinsip Interpretasi Sejalan
dengan
pengertian
dan
tujuan
interpretasi,
keberhasilan
mengembangkan produk interpretasi tergantung pada prinsip-prinsip yang ditetapkan. Menurut Sekartjakrarini dan Legoh (2003), interpretasi merupakan suatu produk yang harus layak untuk dijual, untuk itu diperlukan suatu proses yang harus dipenuhi dengan memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. Keterkaitan Materi yang disajikan, ditujukan, dan dijelaskan harus ada keterkaitan dengan hal-hal yang ingin diketahui dan dialami oleh pengunjung. 2. Ketepatan Sesuatu yang ingin diketahui dan/atau dialami pengunjung harus berdasarkan informasi yang lengkap atau akurat. 3. Keutuhan Penyajian sesuatu yang ingin diketahui dan/atau dialami pengunjung harus secara utuh atau komprehensif. 4. Berseni Untuk
menarik
dan
mendorong
keingintahuan
pengunjung
perlu
menggabungkan berbagai seni dalam mengkomunikasikan sajian interpretasi, baik sajian tersebut dalam bentuk ilmiah, sejarah maupun yang berkaitan dengan arsitektur bangunan. 5. Ketertarikan Membangkitkan ketertarikan pengunjung untuk ingin tahu, belajar, mengalami dan selanjutnya menghargai kawasan tujuan bukan memerintah. 6. Pendekatan Pasar Berorientasi melayani dan pendekatan berbeda untuk ‘audience’ yang berbeda. 2.3.4. Perencanaan Interpretasi Proses perencanaan interpretasi menurut Sharpe (1982), dimulai dari penetapan tujuan perencanaan interpretasi, inventarisasi, analisis, sintesis dan
12
perencanaan, implementasi dan evaluasi. Seperti terlihat pada Gambar 3 prosesproses tersebut cenderung berurutan, interaktif dan berkelanjutan. Setiap tahap berlanjut ke tahap berikutnya dan membutuhkan masukan dan umpan balik sepanjang proses. Langkah-langkah pendekatan dalam proses perencanaan interpretasi yang meliputi: 1. Penentuan Arah Pada tahap ini harus dipastikan mengenai konteks perencanaan yang disusun. Pendekatan ini selalu mengawali kegiatan perencanaan dan yang mendasari kewenangan penyampaian interpretasi suatu kawasan. 2. Perencanaan Tahap
ini
dimaksudkan
untuk
memberikan
gambaran
bagaimana
mengemukakan suatu interpretasi dan kepada siapa hal tersebut ditujukan. Langkah ini meliputi pengumpulan informasi, analisis dan sintesis serta penggerak cara-cara pemecahan masalah yang timbul. 3. Implementasi Tahap ini mencakup kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pemilihan cara dan tempat pelaksanaan interpretasi, sebab sebenarnya langkah ini dimaksudkan untuk melaksanakan penyampaian cerita yang sekaligus memecahkan permasalahan yang timbul. 4. Evaluasi Tahap ini merupakan tahap untuk mengukur keberhasilan dari cara-cara yang digunakan untuk memberi reaksi terhadap masuknya tanggapan dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan. Masukan
Tujuan
Inventarisasi
Analisis
Sintesis
Perencanaan
Implementasi
Evaluasi
Umpan Balik
Gambar 3. Bagan Proses Perencanaan Interpretasi Menurut Sharpe (1982).
Secara rinci langkah-langkah yang diperlukan dalam menyusun sebuah perencanaan interpretasi adalah menyusun tindakan perencanaan, mempelajari
13
penggunaan kawasan oleh pengunjung, mengevaluasi interpretasi yang sudah ada, menyusun tujuan-tujuan, mengumpulkan informasi sumber daya dan tempattempat yang dikunjungi pengunjung, menganalisis informasi, mensintesis informasi dan memutuskan media yang digunakan, menyusun pendanaan, mengajukan perencanaan untuk mendapatkan persetujuan dan mengevaluasi interpretasi setelah dilaksanakan.
2.3.5. Cara-Cara Interpretasi Menurut Sharpe (1982) secara garis besar terdapat dua macam cara interpretasi, yaitu : 1. Teknik Secara Langsung (Attended Service) Kegiatan interpretasi yang melibatkan langsung antara pemandu dan pengunjung dengan obyeknya. Pengunjung dapat secara langsung melihat, mendengar atau mungkin mencium, meraba dan merasakan obyek-obyek interpretasi yang ada. Adanya kontak langsung antara pengunjung dengan pemandu, akan terjadi komunikasi langsung. Peran seorang pemandu sangat besar untuk dapat mengungkapkan secara menarik semua potensi yang ada dalam suatu kawasan. Seorang pemandu yang baik harus dapat membuat suasana menjadi santai sehingga pengunjung dapat bebas bertanya dan menyampaikan keluhan-keluhannya. 2. Teknik Secara Tidak Langsung (Unattended Service) Kegiatan interpretasi yang dilakukan dengan menggunakan alat bantu dalam memperkenalkan obyek interpretasi. Interpretasi dilakukan dalam bentuk slide, video, film, rangkaian gambar-gambar dan sebagainya. Program ini biasanya diselenggarakan terutama untuk kawasan yang sangat luas sehingga tidak semua potensi alam mudah dinikmati atau didatangi, daerahnya masih rawan, satwa liar yang besar masih banyak dan sebagainya. Melalui teknik ini diharapkan meskipun pengunjung tidak dapat mengunjungi semua lokasi yang ada tetapi dapat mengetahui dan menikmati kekayaan alam yang ada di lokasi tersebut. 3. Kedua interpretasi di atas sebenarnya tidak dapat dipisahkan karena biasanya pengunjung yang datang ke suatu kawasan yang mempunyai potensi besar dan
14
luas, ingin mengetahui keseluruhan potensi alam yang ada di tempat-tempat tersebut. Berikutnya yaitu memilih salah satu atau beberapa program interpretasi.
2.3.6. Unsur-Unsur Utama Interpretasi Unsur utama interpretasi ada tiga yaitu: 1. Pengunjung Pengunjung menginginkan dalam kunjungannya yang singkat dapat memanfaatkan
kesempatan
tersebut
untuk
melihat,
merasakan
dan
mempelajari keistimewaan kawasan sebagai pengalaman barunya. Beberapa hal yang berkaitan dengan pengunjung perlu dianalisis dan diperhitungkan dalam perencanaan dan pelaksanaan interpretasi antara lain: a. Tempat-tempat yang paling banyak mendapat perhatian pengunjung. b. Asal sebagian besar pengunjung. c. Distribusi musiman pengunjung dan sebagainya. 2. Pemandu Wisata a. Kualitas pemandu wisata sangat menentukan tingkat keberhasilan program interpretasi. Syarat pemandu wisata harus mempunyai kemampuan: b. Menguasai beberapa ilmu atau ahli dalam bidang ilmu tertentu (flora, fauna, sejarah, geologi atau budaya) yang berkaitan dengan obyek wisata. c. Menguasai pengetahuan dibidang pendidikan dan komunikasi masa dan mampu mempraktekkannya. d. Menguasai cara-cara melaksanakan interpretasi secara benar, tidak hanya sekedar informasi saja. 3. Obyek Interpretasi Obyek interpretasi adalah semua yang ada di kawasan yang bersangkutan yang digunakan sebagai obyek dalam menyelenggarakan interpretasi. Terdapat dua macam obyek interpretasi yaitu sumberdaya alam dan sejarah ataupun budaya. Dalam pemilihan obyek interpretasi harus memperhatikan sifat dan keadaan pengunjung serta sifat sumberdaya alam, sejarah dan budaya yang menjadi obyek interpretasi.
15
Menurut Sekartjakrarini dan Legoh (2003), potensi obyek dan daya tarik kawasan dapat berupa: 1) sumberdaya alam (kawasan hutan khususnya hutan konservasi), 2) fenomena-fenomena alam berkarakter kuat (geologi, tanah dan hidrologi), 3) fenomena budaya yang unik berikut legendanya, 4) kekhasan budaya dan kehidupan masyarakat setempat.
2.3.7. Tipe-Tipe Interpretasi Batasan tipe-tipe interpretasi (Muntasib, 2003) sebagai berikut: 1. Interpretasi Tempat Sejarah Adalah bidang ilmu yang mempelajari seni dalam menjelaskan tempat-tempat yang ada hubungannya dengan sejarah masa lampau atau berhubungan dengan keadaan budaya suatu masyarakat yang sudah turun temurun. Kegiatan ini dilakukan dengan membuat suatu program yang mempertunjukkan gambargambar, slide, dan media lainnya di sentra pengunjung dan bisa berbentuk cerita
atau
dengan
suatu
tema
tertentu.
Tujuannya
adalah
untuk
membangkitkan kesadaran pengunjung akan sejarah tempat yang dikunjungi, sehingga diharapkan dapat memahami sehingga turut melestarikan tempat tersebut. 2. Interpretasi Tempat Alami Adalah bidang ilmu yang mempelajari seni dalam menjelaskan atau mengungkapkan kondisi tempat-tempat alami seperti tanah, batuan, tumbuhan, binatang dan kehidupan manusia pada kondisi aslinya. Kegiatan ini bisa dilakukan secara langsung dengan menunjukkan tempat-tempat sebenarnya atau bisa didahului dengan suatu cerita dengan tema yang menarik. Program ini diharapkan juga dapat membangkitkan minat dan kesadaran pengunjung tentang keindahan alam dan potensi yang dikandungnya. 3. Interpretasi Lingkungan Hidup Adalah bidang ilmu yang mempelajari seni dalam mengungkapkan hubungan antara manusia dengan lingkungan. Dalam kegiatan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan menunjukkan langsung tempat-tempat manusia dan lingkungan berinteraksi positif atau sebaliknya berinteraksi negatif. Demikian pula kegiatan ini dilakukan baik secara tidak langsung
16
dengan membuat leaflet, booklet, slide, film yang berisi cerita tentang hasil interaksi manusia dengan lingkungannya baik akibat positif maupun negatif. Tujuan kegiatan ini untuk menunjukkan betapa pentingnya peran lingkungan ini bagi kelangsungan hidup manusia. 4. Pendidikan Pelestarian Suatu bidang ilmu yang mempelajari seni dalam memberikan pendidikan berhubungan dengan pelestarian lingkungan hidup. Kegiatan ini bukan hanya ditujukan bagi pelajar tetapi juga bagi orang-orang yang dianggap harus mengetahui dan ikut melestarikan lingkungan hidup, baik berupa kursuskursus maupun penyuluhan-penyuluhan. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memberikan kesadaran, meningkatkan pengertian tentang kondisi alam dan lingkungannya dan dapat ikut melestarikannya.
2.4. Sirkulasi Pada umumnya konstruksi memiliki fungsi yang diperuntukkan bagi manusia yang memperlihatkan garis atau sirkulasi yang mengarahkan kita kepada (to),
menembus
(through),
melewati
(over),
di
bawah
(under),
atau
mengelilinginya (around), dengan berjalan kaki atau berkuda, dengan pesawat, kereta, automobile, atau apapun yang dapat menggerakan dari satu tempat ke tempat lain atau kendaraan (conveyance). Pola sirkulasi merupakan fungsi utama dalam berbagai rencana pembangunan, karena dapat menimbulkan kecepatan (rate), rangkaian (sequence), dan kealamian (nature) yang dirasakan nyata atau bentangan visual (visual unfolding) (Simonds, 2006). Bentuk-bentuk garis dalam pendekatan titik, ruang atau area dapat dilihat pada Gambar 4. Setiap objek merupakan wujud yang dapat dilihat dalam waktu dan ruang. Hal ini menyatakan bahwa objek tidak dapat dipahami seluruhnya secara tepat atau dari beberapa titik tertentu dalam suatu observasi, sehingga dapat menimbulkan suatu kesan (flow of impression). Dalam motion (pergerakan), rangkaian penglihatan terhadap gambaran yang menyatu dengan perluasan visual suatu objek, ruang, atau pemandangan. Persepsi bukan merupakan suatu pandangan yang berdiri sendiri. Semua perasaan (senses) ikut terlibat, yaitu penglihatan (sight), pengecapan (taste), penciuman (smell), peraba (touch), dan
17
pendengaran (hearing). Kecepatan (rate), order, type, dan tingkatan (degree) persepsi merupakan suatu kontrol dalam desain. Pada umumnya kontrol ini dipengaruhi oleh pola perencanaan dalam sirkulasi (Simonds, 2006).
Gambar 4. Bentuk-Bentuk Garis dengan Pendekatan Titik, Area, atau Ruang (Simonds 2006). Pengalaman seseorang bersifat statis dan selalu dipengaruhi oleh motion. Struktur dapat dilihat dari titik tertentu suatu pemandangan atau ketinggian, tetapi biasanya dipengaruhi oleh orang yang sedang bergerak. Pola rencana suatu tapak juga ditentukan oleh sejumlah titik pemandangan seseorang yang bergerak melewatinya. Semakin fluid pola sirkulasi, semakin banyak titik yang dapat dilihat (point of view), sehingga semakin menarik dan menikmati pemandangan (Simonds, 2006). 1. Motion diwujudkan oleh bentuk dan konsep (motion impelled by form and concept). Melalui suara, ide, bentuk, dan garis arsitektural yang kuat, motion akan muncul. 2. Pergerakan motion (the kinematics of motion).
18
Melalui desain, garis atau jalannya suatu pergerakan dapat berbentuk berliku (meandering), menyimpang atau tidak saling berhubungan (discursive), memutar (circuitous), looping, zigzagging, mengambul (ricocheting), mendaki (ascending), menurun (descending), hyperbolic, atau sentripetal. Sedangkan dalam kecepatan, motion dimulai dari bergerak secara perlahan sampai dengan cepat. Motion pada daerah alami dapat bersifat menenangkan (soothing), mengejutkan (startling), shocking, mengagumkan (baffling), membingungkan (confusing), menjelajahi (exploratory), logical, berurutan (sequential), progresif, hieratic, bergelombang (wavelike), mengalir (flowing), bercabang (branching), memencar (diverging), timorous, menguatkan (forceful), meluaskan (expanding), contracting, dan sebagainya. 3. Jarak pergeseran (distance as friction). 4. Kualitas jarak yang baik (positive qualities of distance). Jarak merupakan fungsi dalam suatu area, dan area merupakan fungsi dalam suatu ruang. 5. Kesesuaian ruang (space modulation). Perencanaan yang baik memiliki kualitas keharmonisan (harmony), kesatuan (oneness) atau unity. 6. Kondisi persepsi (condition perception). Persepsi pengguna harus diprogramkan dalam suatu objek melalui rangkaian suatu perencanaan. 7. Rangkaian (sequence). Dalam perencanaan, sequence merupakan suatu persepsi yang berhubungan (continuity). Pada daerah alami, sequence bersifat casual dan bebas (free). 8. The ordered approach. Untuk mencapai tujuan yang diinginkan, diperlukan suatu persiapan melalui desain berdasarkan tujuan tersebut.
2.5. Kesesuaian Lahan Konsep ini digunakan sebagai dasar untuk perencanaan Tata Guna Tanah. Diharapkan
supaya
tanah
benar-benar
sesuai
dengan
kemampuannya.
Penggunaan. Pada prinsipnya ditujukan untuk mengontrol penggunaan tanah
19
sehubungan dengan pemberian hak atas tanah dan pemberian dan pemberian ijin perubahan penggunaan tanah. Kesesuaian lahan adalah kecocokan (adaptability) suatu lahan untuk tipe penggunaan lahan (jenis tanaman dan tingkat pengelolaan) tertentu. Kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian lahan saat ini dalam keadaan alami tanpa ada perbaikan lahan. Kesesuaian lahan potensial adalah kesesuaian lahan setelah dilakukan perbaikan pada lahan.
2.5.1. Penggunaan Lahan Evaluasi kesesuaian lahan dilakukan dengan cara membandingkan lahan masing-masing satuan peta lahan dengan persyaratan penggunaan lahan yang akan diterapkan. Penggunaan lahan secara umum (major kinds of land use) adalah penggolongan penggunaan lahan secara umum seperti pertanian tadah hujan, atau daerah rekreasi. Penggunaan lahan secara umum biasanya digunakan untuk evaluasi lahan secara kualitatif atau dalam survey tinjau (reconnaissance).
2.5.2. Karakteristik Lahan Karakteristik lahan (land characteristics) mencakup faktor-faktor lahan yang dapat diukur atau ditaksir besarnya, seperti lereng, curah hujan, tekstur tanah, air tersedia dan sebagainya. Satu jenis karakteristik lahan dapat berpengaruh terhadap lebih dari satu jenis kualitas lahan, misalnya tekstur tanah dapat berpengaruh terhadap tersedianya air, kepekaan erosi. Bahaya erosi tidak hanya disebabkan oleh curamnya lereng, panjang lereng, permeabilitas, struktur tanah, intensitas curah hujan dan sifat-sifat lain. Sifat-sifat penciri (diagnostic criterion) adalah variabel yang telah diketahui mempunyai pengaruh nyata terhadap hasil (output) dan masukan (input) yang diperlukan untuk kegunaan tertentu. Sifat ini digunakan sebagai dasar untuk menentukan kelas kesesuaian lahan untuk jenis penggunaan lahan tersebut.
2.5.3. Kesesuaian Lahan untuk Pariwisata Pariwisata adalah suatu kegiatan dimana orang melakukan perjalanan di dalam negerinya sendiri (pariwisata domestik) atau ke negara lain (pariwisata
20
mancanegara) untuk berkunjung ke tempat-tempat tertentu yang menarik dengan tujuan untuk bersantai atau tujuan lain. Pariwisata berkaitan dengan waktu untuk melakukan perjalanan yang lebih lama, penggunaan fasilitas wisata, adanya obyek-obyek wisata sesuai dengan maksud dan tujuan perjalanan, serta faktor kenikmatan berekreasi.
2.6. Evaluasi Sumberdaya Wisata Untuk dapat mengetahui potensi wisata di suatu daerah maka berbagai kemungkinan obyek wisata dan fasilitas-fasilitas penunjangnya di daerah tersebut perlu dievaluasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan wisata. Dalam evaluasi faktor-faktor tersebut, penilaian secara kuantitatif tampaknya sulit dilakukan karena penilaian secara kuantitatif tampaknya sulit dilakukan karena penilaian terhadap hal-hal yang mempengaruhi obyek sangat tergantung dari orang-perorang. Karena itu penilaian hanya dilakukan secara umum dengan memperhatikan adanya obyek-obyek wisata serta adanya atau kemungkinan dibangunnya fasilitas-fasilitas wisata. Obyek wisata yang dinilai adalah obyek wisata yang sudah ada di tempat tersebut.
2.7. Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sistem berbasis komputer yang terdiri atas perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak (software), data geografis dan sumberdaya manusia (brainware) yang mampu merekam, menyimpan, memperbaharui, menampilkan dan menganalisis dan menampilkan informasi yang bereferensi geografis. Menurut Surati (2002) bahwa buffer atau penyangga adalah suatu wilayah (zona) dari suatu jarak tertentu di sekitar entitas fisik seperti titik, garis atau poligon. Pembuatan wilayah penyangga (buffer) adalah suatu teknik yang dengan menggambarkan lebar batas di sekitar feature titik atau garis, buffer dapat dikelompokkan atas 3 (tiga) macam yaitu buffer titik (point buffer), buffer garis (line buffer), buffer poligon (polygon buffer) Gunn (1994) telah menggunakan teknologi SIG dalam perencanaan wisata berkelanjutan seperti pekerjaan di Upcountry South Carolina. Proses perencanaan
21
pada kawasan tersebut meliputi empat proses. Tahap pertama adalah penentuan sasaran dan tujuan (setting goals and objectives), tahap kedua riset (research) faktor dasar, tahap ketiga sintesis dari hasil riset (synthesizing research results), dan tahap.