12
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Pengelolaan Sampah Dunn (1999) mengartikan kebijakan publik sebagai arahan otoritatif bagi penyelenggaraan tindakan pemerintah dalam wilayah negara, kabupaten dan kota yang dikukuhkan oleh legislatif, aturan main adminstrasi, dukungan publik yang mempunyai pengaruh terhadap warga masyarakat dalam suatu wilayah pemerintahan. Hoogerwerf (1978) berpendapat bahwa kebijakan merupakan usaha mencapai tujuan-tujuan tertentu dengan sarana tertentu dan dalam urutan waktu yang tertentu, sedangkan kebijakan pemerintah merupakan kebijakan yang dibuat oleh pejabat pemerintah dan instansi pemerintah. Kebijakan pemerintah secara umum dapat diartikan sebagai ketentuanketentuan yang dijadikan pedoman, pegangan atau petunjuk bagi setiap usaha dari aparatur pemerintah, sehingga tercapai kelancaran dan keterpaduan dalam mencapai tujuan tertentu dan golongan ke dalam ruangan lingkup nasional dan lingkup wilayah/daerah. Gladden (1968) yang dikutip Badri (1982) menyatakan bahwa dilihat dari tingkatannya kebijakan pemerintah dapat dibedakan menjadi political policy, executive policy, administrative policy, technical or operational policy. Siagian (1985) berpendapat bahwa tingkatan kebijakan pemerintah terdiri dari 3 (tiga) tingkatan kebijakan, yaitu 1. Kebijakan Umum, yang sifatnya mendasar dan prinsipil; 2. Kebijakan Pelaksanaan, yang kadang-kadang juga dikenal dengan istilah kebijakan operasional; dan 3. Kebijakan Tehnis. Suradinata (1993) membagi kebijakan menjadi 5 (lima) tingkat kebijakan pemerintah, yaitu: 1) Kebijakan Nasional; 2) Kebijakan Umum; 3) Kebijakan Pelaksanaan; 4) Kebijakan Teknis; dan 5) Kebijakan Wilayah atau daerah. Mustopadidjaja (1999) membedakan level kebijakan pemerintah di Indonesia kedalam:
13
1. Tahap Kebijakan puncak, bentuknya berupa ketetapan MPR sebagai GarisGaris Besar Haluan Negara, dekrit Kepala Negara, Peraturan Kepala negara. 2. Tahap Kebijakan umum, bentuknya berupa Undang-Undang, peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Penetapan Presiden, Keputusan Presiden dan Instruksi Presiden. 3. Tahap Kebijakan khusus, bentuknya berupa Peraturan Menteri, Keputusan Menteri, Instruksi menteri dan surat edaran Menteri. 4. Tahap Kebijakan tehnis, bentuknya berupa Peraturan Direktur Jenderal, Keputusan Direktur Jenderal dan Instruksi Jenderal. 5. Tahap Kebijakan kewilayahan Dati I (Provinsi) bentuknya berupa Peraturan daerah Provinsi dan Keputusan Gubernur serta Instruksi Gubernur. 6. Tahap Kebijakan kewilayahan Dati II (Kabupaten/Kota) bentuknya berupa Peraturan daerah Kabupaten/Kota dan Keputusan Bupati/Walikota serta Instruksi Bupati/Walikota. Kebijakan publik ini merupakan seperangkat aturan yang mengatur kepentingan publik dan pemerintahan untuk maksud dan tujuan yang saling menguntungkan atau demi ketertiban bersama. Untuk dapat mencapai maksud seperti ini maka proses pembuatan kebijakan harus mengaju pada masalahmasalah riil yang perlu diselesaikan dengan berbagai pengetahuan dan disiplin ilmu yang relevan dengan permasalahan yang dimaksud. Permasalahanpermasalahan berkaitan dengan persampahan yang ada di masyarakat perlu dianalisis dan diseleksi menurut prioritas tertentu sehingga dapat diupayakan proses penerapannya oleh lembaga yang berwenang yang melahirkan kebijakan publik. Oleh karena itu permasalahan persampahan yang beranekaragam mulai dari jenis, bobotnya dan urgensinya maka dalam proses pembuatan kebijakan pengelolaan sampah diperlukan berbagai macam disiplin ilmu dan kualitas dari para aktor pembuat kebijakan yang menguasai permasalahan pengelolaan sampah untuk dicarikan solusinya dengan tepat. Upaya mengatasi permasalahan sampah, pemerintah telah menetapkan kebijakan pengelolaan sampah yang tertuang dalam betuk peraturan perundangundangan tentang pengelolaan sampah dengan menetapkan Undang-Undang Nomor Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Pasal 1 Undangundang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah ini, menjelaskan bahwa:
14
Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Sampah spesifik adalah sampah yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau volumenya memerlukan pengelolaan khusus. Sumber sampah adalah asal timbulan sampah. Penghasil sampah adalah setiap orang dan/atau akibat proses alam yang menghasilkan timbulan sampah. Pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Tempat penampungan sementara adalah tempat sebelum sampah diangkut ke tempat pendauran ulang, pengolahan, dan/atau tempat pengolahan sampah terpadu. Tempat pengolahan sampah terpadu adalah tempat dilaksanakannya kegiatan pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang, pendauran ulang, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah. Tempat pemrosesan akhir adalah tempat untuk memroses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan lingkungan. Nilandari (2006) mengemukakan bahwa berdasarkan asalnya, sampah padat dapat digolongkan menjadi 2 (dua), yaitu sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organik terdiri dari bahan-bahan penyusun tumbuhan dan hewan yang diambil dari alam atau dihasilkan dari kegiatan pertanian, perikanan atau yang lain. Sampah ini dengan mudah diuraikan dalam proses alami. Sampah rumah tangga sebagian besar merupakan bahan organik. Termasuk sampah organik, misalnya sampah dari dapur, sisa tepung, sayuran, kulit buah, dan daun. Sedangkan sampah anorganik berasal dari sumberdaya alam tak terbarui seperti mineral dan minyak bumi, atau dari proses industri. Beberapa dari bahan ini tidak terdapat di alam seperti plastik dan aluminium. Sebagian zat anorganik secara keseluruhan tidak dapat diuraikan oleh alam, sedang sebagian lainnya hanya dapat diuraikan dalam waktu yang sangat lama. Sampah jenis ini pada tingkat rumah tangga, misalnya berupa botol, botol plastik, tas plastik, dan kaleng. Kertas, koran, dan karton merupakan perkecualian. Berdasarkan asalnya, kertas, koran, dan karton termasuk sampah organik. Tetapi karena kertas, koran, dan karton dapat didaur ulang seperti sampah anorganik lain (misalnya gelas, kaleng, dan plastik), maka jenis sampah ini dimasukkan ke dalam kelompok sampah anorganik. Sampah yang diproduksi di kehidupan liar diintegrasikan melalui proses daur ulang alami, seperti halnya daun-daun kering di hutan yang terurai menjadi tanah. Diluar kehidupan liar, sampah-sampah ini dapat menjadi masalah, misalnya
15
daun-daun kering di lingkungan pemukiman. Sampah manusia (Inggris: human waste) adalah istilah yang biasa digunakan terhadap hasil-hasil pencernaan manusia, seperti feses dan urin. Sampah manusia dapat menjadi bahaya serius bagi kesehatan karena dapat digunakan sebagai vektor (sarana perkembangan) penyakit yang disebabkan virus dan bakteri. Salah satu perkembangan utama pada dialektika manusia adalah pengurangan penularan penyakit melalui sampah manusia dengan cara hidup yang higienis dan sanitasi. Termasuk di dalamnya adalah perkembangan teori penyaluran pipa (plumbing). Sampah manusia dapat dikurangi dan dipakai ulang misalnya melalui sistem urinoir tanpa air. Sampah konsumsi merupakan sampah yang dihasilkan oleh (manusia) pengguna barang, dengan kata lain sampah merupakan sisa konsumsi yang dibuang ke tempat sampah. Ini merupakan sampah yang umum dipikirkan manusia. Meskipun demikian, jumlah sampah kategori ini relatif lebih kecil dibandingkan sampahsampah yang dihasilkan dari proses pertambangan dan industri (Wikipedia, 2009) Pengelolaan sampah yang dilakukan pemerintah umumnya masih menggunakan pendekatan end of pipe solution (Aditya, 2008). Pendekatan ini menitikberatkan pada pengelolaan sampah ketika sampah tersebut telah dihasilkan, yaitu berupa kegiatan pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah. Seyogyanya pengelolaan sampah perlu dirumuskan dan dirancang ke dalam suatu sistem dan mekanisme dalam bentuk peraturan/kebijakan pengelolaan sampah. Kebijakan pengelolaan sampah diberlakukan dengan pertimbangan bahwa; 1)
pertambahan
penduduk
dan
perubahan
pola
konsumsi
masyarakat
menimbulkan bertambahnya volume, jenis dan karakteristik sampah yang semakin beragam, 2) pengelolaan sampah selama ini belum sesuai dengan metode dan teknik pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan sehingga menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan, 3) sampah telah menjadi permasalahan nasional sehingga pengelolaannya perlu dilakukan secara komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir agar memberikan manfaat secara ekonomi, sehat bagi masyarakat, dan aman bagi lingkungan, serta dapat mengubah perilaku masyarakat, 4) dalam pengelolaan sampah diperlukan
16
kepastian hukum, kejelasan tanggung jawab dan kewenangan Pemerintah, pemerintahan daerah, serta peran masyarakat dan dunia usaha sehingga pengelolaan sampah dapat berjalan secara proporsional, efektif, dan efisien, maka ditetapkan Undang-Undang Tentang Pengelolaan Sampah. Peraturan/kebijakan yang ditetapkan berupa Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah berfungsi dalam aspek teknis untuk: 1) Mengatur ketentuan-ketentuan teknis yang didelegasikan peraturan di atasnya, dan 2) Mengatur posisi, hak dan kewajiban pengelola sampah sesuai dengan ketentuan yang diaturnya. Tujuan disusunnya kebijakan pengelolaan sampah adalah pengendalian terhadap sampah dengan melakukan kegiatan berupa: 1. Mengurangi kuantitas dan dampak yang ditimbulkan sampah 2. Meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat 3. Meningkatkan kualitas lingkungan hidup 4. Menyusun peraturan nasional untuk menjadi pedoman bagi Pemerintah Daerah dalam menyusun kebijaksanaan pengelolaan sampah Adapun sasaran disusunnya kebijakan pengelolaan sampah ini adalah: 1. Peningkatan pengelolaan sampah di daerah perkotaan dan pedesaan 2. Pencegahan terhadap dampak lingkungan 3. Peningkatan kesadaran dan kepedulian masyarakat dalam menjaga kebersihan 4. Peningkatan peran para pihak (pemerintah, Pelaku Usaha dan masyarakat) dalam pengelolaan sampah 5. Penerapan hierarki pengelolaan sampah yang meliputi: a. Pencegahan dan pengurangan sampah dari sumber b. Pemanfaatan kembali c. Tempat Pembuangan Akhir Pengelolaan sampah dengan paradigma baru bertujuan mengurangi volume sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir sampah melalui pengembangan
upaya
memperlakukan
sampah
dengan
cara
mengganti,
pengurangan, penggunaan-kembali dan daur-ulang. Pengelolaan sampah dengan paradigma baru itu juga menegaskan bahwa pengelolaan sampah merupakan
17
pelayanan publik yang bertujuan untuk mengendalikan sampah yang dihasilkan masyarakat. Untuk melaksanakan hal tersebut diperlukan penetapan kebijakan pengelolaan sampah yang mendorong akuntabilitas orang-seorang dan korporasi serta menetapkan dan mengembangkan instrumen yang diperlukan untuk mendukung terciptanya perilaku yang kondusif bagi pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan.
2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Kebijakan Aturan kebijakan yang telah ditetapkan pada pelaksanaannya perlu dilakukan evaluasi yang merupakan prosedur dalam analisis kebijakan untuk memberikan informasi tentang sebab dan akibat dari diberlakukannya kebijakan ini. Analisis kebijakan dapat mendeskripsikan adanya pengaruh pelaksanaan suatu kebijakan berdasarkan hasil yang dicapai, sehingga hasil evaluasi merupakan sumber informasi utama berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan. Dunn (1999) menyatakan bahwa evaluasi bermaksud untuk menetapkan premis faktual tentang kebijakan publik, sementara premis faktual dan nilai dapat diperoleh berdasarkan rekomendasi dan evaluasi dalam suatu analisis yang sistematis. Oleh karena itu evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan akan menghasilkan kesimpulan yang jelas selama dan setelah suatu kebijakan diadopsi serta dilaksanakan, atau ex post facto. Evaluasi setidaknya memainkan 4 (empat) fungsi dalam analisis kebijakan (Dunn, 1999) yaitu eksplanasi, akuntansi, pemeriksaan dan kepatuhan, dengan penjelasan sebagai berikut: 1. Kepatuhan (Compliance). Evaluasi bermanfaat untuk menentukan apakah tindakan dari para administrator program, staf, dan pelaku lain sesuai dengan standar dan prosedur yang dibuat oleh para legislator, instansi pemerintah, dan lembaga profesional. 2. Pemeriksaan (Auditing). Evaluasi membantu menentukan apakah sumberdaya dan pelayanan yang dimaksudkan untuk kelompok sasaran maupun konsumen tertentu (individu, keluarga, kota, negara bagian, wilayah) memang telah sampai kepada mereka.
18
3. Akuntansi. Evaluasi menghasilkan informasi yang bermanfaat untuk melakukan akuntansi atas perubahan sosial ekonomi yang terjadi setelah dilaksanakannya sejumlah kebijakan publik dari waktu ke waktu. 4. Eksplanasi. Evaluasi juga menghimpun informasi yang dapat menjelaskan mengapa hasil-hasil kebijakan publik dan program berbeda. Evaluasi dalam analisis kebijakan publik berkaitan dengan kebijakan pengelolaan sampah membutuhkan informasi yang relevan, reliabel dan valid. Informasi yang dihimpun melalui evaluasi dapat diperoleh dengan observasi berkaitan dengan pengelolaan sampah yang dilakukan secara cermat dan dapat diandalkan. Berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan, Webster (1990) yang dikutip Wahab (2000) mengemukakan: ”Pelaksanaan kebijakan adalah suatu proses melaksanakan keputusan kebijakan biasanya dalam bentuk Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Peradilan, Perintah Eksekutif atau Dekrit Presiden.” Wahab (2000) menyatakan bahwa pelaksanaan kebijakan adalah sebagai berikut : ”Pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk Undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusankeputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan.” Jadi yang perlu dalam pelaksanaan kebijakan merupakan bentuk tindakan-tindakan yang sah atau pelaksanaan suatu rencana dengan peruntukannya. Membuat atau merumuskan kebijakan bukanlah suatu yang sederhana, karena banyak faktor hambatan serta pengaruh dalam proses pembuatan kebijakan tersebut. Sementara itu, ada 4 (empat) faktor kritis yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan, seperti yang diungkapkan oleh Edward III (1980) yang menyatakan: Di manapun dan kapanpun faktor-faktor kritis mendasar yang sangat penting untuk penerapan kebijakan publik, baik di negara-negara berkembang maupun negara-negara maju, adalah masalah implementasi. Faktor-faktor kritis ini adalah komunikasi, sumberdaya, disposisi-disposisi atau sikap-sikap dan struktur birokrasi
19
Faktor-fator kritis ini terdiri dari komunikasi, sumberdaya, disposisi/sikap, dan birokrasi yang penjabarannya secara umum (Edward III, 1980) adalah sebagai berikut: 1.
Komunikasi Komunikasi menunjukkan peranan penting sebagai acuan agar pelaksana kebijakan mengetahui persis apa yang mereka kerjakan. Komunikasi juga dapat dinyatakan dengan perintah dari atasan terhadap pelaksana-pelaksana kebijakan sehingga penerapan kebijakan tidak keluar dari sasaran yang dikehendaki, oleh karena itu komunikasi harus dinyatakan dengan jelas, tepat dan konsisten.
2.
Sumberdaya Sumberdaya tidak hanya mencakup jumlah sumberdaya manusia/aparat semata melainkan mencakup kemampuannya untuk mendukung pelaksanaan kebijakan tersebut. Hal ini dapat menjelaskan bahwa tanpa sumberdaya yang memadai maka pelaksanaan kebijakan tidak akan berjalan dengan efektif.
3.
Disposisi/ sikap pelaksana Disposisi diartikan sebagai keinginan atau kesepakatan dikalangan pelaksana untuk menerapkan kebijakan. Jika penerapan kebijakan dilaksanakan secara efektif, pelaksana tidak hanya harus mengetahui apa yang akan mereka kerjakan namun harus memiliki kemampuan dan keinginan untuk menerapkannya.
4.
Struktur Birokrasi Struktur birokrasi merupakan variabel terkhir yang mempunyai dampak terhadap penerapan kebijakan dalam arti bahwa dalam penerapan kebijakan itu tidak akan berhasil jika terdapat kelemahan dalam struktur birokrasi tersebut. Setiap pihak yang terkait dalam pelaksanaan kebijakan perlu mengembangkan suatu prosedur standar pelaksanaan. Namun, agar kebijakan yang dikeluarkan dapat dilaksanakan dengan
efektif, menurut Jones (1996) terdapat 3 (tiga) aktivitas utama yang merupakan dimensi dari pelaksanaan program atau keputusan yaitu:
20
1.
Pengorganisasian. Hal utama dalam tahapan ini adalah pembentukan atau penataan kembali sumberdaya, unit-unit serta metode untuk menjadikan program berjalan. Titik tolak dari aktivitas pengorganisasian ini adalah kinerja birokrasi, yang akan berdampak pada ketetapan, kecepatan, kejelasan, pengaturan, pengetahuan, kesinambungan, serta pembagian tugas yang jelas.
2.
Penafsiran (interpretasi) Menafsirkan agar program (seringkali dalam hal status) menjadi rencana dan pengarahan yang tepat dan dapat diterima serta dilaksanakan oleh para implementor kebijakan. Oleh karena itu, dalam penafsiran diperlukan informasi proses kebijakan, standarisasi yang jelas, serta tingkat dukungan politik yang dilaksanakan oleh para implementator kebijakan.
3.
Penerapan (aplikasi) Pada tahap ini aktivitas yang dilakukan berhubungan dengan penyediaan barang dan jasa atau ketentuan rutin dari pelayanan, pembayaran atau lainnya yang disesuaikan dengan tujuan atau perlengkapan program. Ketiga dimensi tersebut merupakan faktor determinan keberhasilan
pelaksanaan kebijakan. Oleh karena itu akan lebih berarti jika dikaitkan dengan pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah, yang akan difokuskan pada penelitian ini. Keberhasilan suatu kebijakan dalam hal pengorganisasian merupakan hal yang penting karena organisasi merupakan wadah dan proses yang menentukan dalam rangka pencapaian tujuan. Selain itu tingginya kemampuan pelaksanaan sumberdaya organisasi akan memberi harapan besar untuk dapat melaksanakan rencana kebijakan secara efektif. Wibowo
dan Djajawinata (2007) menyebutkan bahwa kebijakan
pengelolaan sampah yang dikeluarkan dapat dilaksanakan dengan efektif, diantaranya: 1. Melakukan pengenalan karekteristik sampah dan metoda pembuangannya. 2. Merencanakan dan
menerapkan pengelolaan
sampah secara terpadu
(pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan akhir).
21
3. Memisahkan peran pengaturan dan
pengawasan dari lembaga yang ada
dengan fungsi operator pemberi layanan, agar lebih tegas dalam melaksanakan reward & punishment dalam pelayanan. 4. Menggalakkan program yang dapat mencapai program zero waste pada masa mendatang, yaitu: a. Mengurangi sampah (Reduce) b. Menggunakan kembali sampah (Reuse) c. Mendaur ulang sampah (Recycle) 5. Melakukan pembaharuan struktur tarif dengan menerapkan prinsip pemulihan biaya (full cost recovery) melalui kemungkinan penerapan tarif progresif, dan mengkaji kemungkinan penerapan struktur tarif yang berbeda bagi setiap tipe pelanggan. 6. Mengembangkan teknologi pengelolaan sampah yang lebih bersahabat dengan lingkungan dan memberikan nilai tambah ekonomi bagi bahan buangan. Tinjauan perspektif pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah dalam hasil penelitian ini, ditujukan pada pengoperasiannya berlandasan pada konsepsi aktivitas fungsional dalam pelaksanaannya. Berkaitan dengan pengembangan teknologi, hasil penelitian yang dilakukan Amurwaraharja (2003) menyatakan bahwa teknologi merupakan prioritas utama untuk kegiatan pengolahan sampah di Jakarta Timur berupa pengomposan dan incenerator. Selain itu hasil penelitian Virgota et al. (2001) menunjukkan pula kelayakan sistem pemisahan sampah rumah tangga pada pengelolaan sampah di Kota Pekanbaru, Provinsi Riau. Hasil
penelitian
Hendrasarie
(2005) berkaitan
dengan
Sistem
Pengelolaan Sampah Pasar swakelola sebagai alternatif pengelolaan sampah dalam upaya memperpanjang umur TPA serta pengendalian lingkungan hidup. Pengelolaan sampah bukan hanya merupakan tanggung pemerintah saja, namun menjadi tanggungjawab bersama dengan masyarakatnya, seperti ditunjukkan oleh hasil penelitian Mandailing et al. (2001) tentang partisipasi pedagang dalam program kebersihan dan pengelolaan sampah pasar yang mengambil studi kasus di Kota Bogor, yang memperlihatkan bahwa partisipasi pedagang dibutuhkan dalam
22
pengelolaan sampah pasar. Selain itu hasil penelitian Jumiono et al. (2000) menunjukkan prospek yang besar dalam pendirian industri vermikompos berbahan baku sampah kota yang memfokuskan kepada analisis finansial industri vermikompos yang berbahan baku sampah kota. Hal ini didukung pula oleh hasil penelitian Suhartiningsih et al. (1998) yang melakukan penelitian tentang sistem penunjang keputusan investasi usaha daur ulang sampah kota untuk produksi kompos, dan hasil penelitian Syamsuddin et al. (1985) yang menilai keberhasilan sistem pengelolaan sampah rumah tangga di Ujung Pandang berdasarkan partisipasi masyarakat, persepsi masyarakat, pengelolaan sampah oleh pemerintah kota, dan peraturan perundang-undangan. Konsep pelaksanaan kebijakan meliputi pengorganisasian, penafsiran dan penerapan dalam pengelolaan sampah di perkotaan, penelitian ini difokuskan pada pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah pada aspek kelembagaan pengelolaan sampah yang menjadi tanggungjawab PD Kebersihan Kota Bandung, sehingga teori pelaksanaan kebijakan yang berkesesuaian dengan penelitian ini adalah teori Edward III (1980) dengan mengacu pada faktor-fator kritis pelaksanaan kebijakan yaitu komunikasi, sumberdaya, disposisi/sikap, dan birokrasi.
2.2.1 Komunikasi dalam Pelaksanaan Kebijakan Manusia membutuhkan komunikasi dengan sesamanya dalam kehidupan sosialnya.
Pada
umumnya
dalam
berkomunikasi
terdapat
orang
yang
menyampaikan pesan (komunikator), orang yang menerima pesan (komunikan) dan pesan yang disampaikan. Proses komunikasi antara komunikator dengan komunikan akan berjalan dengan baik bila pesan yang disampaikan singkat, jelas dan tepat sasaran. Berkaitan dengan komunikasi, Edward III mengatakan bahwa agar pelaksanaan kebijakan publik dilaksanakan dengan efektif maka perlu para pelaksana kebijakan mengetahui apa yang harus mereka laksanakan. Komunikasi mempunyai peranan yang penting sebagai acuan agar pelaksana kebijakan mengetahui persis apa yang akan dikerjakan. Komunikasi juga dinyatakan dengan perintah dari atasan terhadap pelaksana kebijakan, sehingga komunikasi harus dinyatakan dengan jelas, cepat dan konsisten.
23
Sistem komunikasi dalam organisasi modern berkembang sebagai akibat dari semakin pentingnya pendekatan kesisteman dan penyelenggaraan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawab suatu organisasi (Siagian, 1997). Berkomunikasi dalam kehidupan berorganisasi, dibutuhkan untuk menyamakan persepsi atau pendapat yang berkaitan dengan tujuan yang akan dicapai. Komunikasi yang berlangsung dengan dinamis akan dapat menentukan keberhasilan tujuan organisasi. Halangan terbesar dalam berkomunikasi adalah terdapatnya
beraneka
komunikator
yang
ragam tidak
persepsi.
jelas
Pengiriman
membuat
pesan/informasi
komunikan
menerima
dari dan
menjalankannya tidak jelas dan bahkan dapat mengganggu jalannya organisasi. Pendekatan kesisteman menuntut interaksi yang tinggi dengan intensitas yang tinggi pula, terutama apabila dikaitkan dengan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi. Edward III mengatakan bahwa lancar atau tidaknya suatu interaksi tersebut bertumpu pada kemauan orang dalam organisasi untuk: 1) menerima, memproses dan menghasilkan bahan-bahan yang perlu dikomunikasikan kepada orang lain; 2) mengkomunikasikan informasi yang ada pada seseorang dengan orang lain atau kelompok dimana yang bersangkutan menjadi anggota; 3) memanfaatkan jalur komunikasi yang terdapat dalam organisasi seefektif mungkin, dan 4) mengembangkan sistem penanganan informasi dalam organisasi baik secara manual maupun dengan menggunakan peralatan yang lebih modern. Cafezio dan Morehouse (1998) mengartikan komunikasi sebagai pemahaman yang merupakan kunci dalam mempengaruhi individu atau kelompok-kelompok untuk mengambil tindakan positif dalam mencapai sasaran spesifik - inti yang riil dari apa yang para pemimpin lakukan. Komunikasi yang baik adalah kunci dalam pemahaman. Pengertian komunikasi tersebut merupakan kunci penting dalam memahami sesuatu, dengan berkomunikasi, pencapaian tujuan akan lebih mudah tercapai. Berkomunikasi dalam lingkungan organisasi, merupakan sesuatu yang penting untuk menyamakan langkah dalam pencapaian tujuan. Berkomunikasi dapat membuat sistem kerjasama dalam organisasi semakin dinamis dan meningkatkan partisipasi bawahan terhadap pencapaian
24
tujuan organisasi. Berkomunikasi dibutuhkan dalam setiap organisasi baik formal atau informal, dalam organisasi, berkomunikasi digunakan untuk menyamakan persepsi tujuan organisasi. Berkomunikasi dapat memberikan kejelasan informasi yang akan disampaikan. Berkaitan dengan fungsi atau tujuan komunikasi, Thayer (1968) dalam Winardi (1992) mengatakan ada lima fungsi atau tujuan berkomunikasi di dalam sebuah organisasi, yaitu: 1) Mendapatkan keterangan atau memberikan keterangan (informasi) kepada orang lain; 2) Mengevaluasi input-input kita sendiri atau output pihak lain atau skema ideologis tertentu; 3) Membina pihak lain atau dibina pihak lain atau memberikan instruksi; 4) Mempengaruhi pihak lain atau dipengaruhi, dan 5) Berbagai fungsi insidential dan netral. Berkomunikasi merupakan salah satu fungsi pokok manajemen. Setiap orang berkomunikasi dapat memperlancar orang bekerja dengan baik dalam mencapai tujuan organisasi. Komunikasi yang tidak baik dapat mengganggu keharmonisan hubungan kerja antar sesama orang dalam organisasi dan pada akhirnya dapat mengganggu tercapainya tujuan organisasi. Kebijakan yang telah diambil organisasi akan dilaksanakan atau dilaksanakan dalam bentuk kegiatan. Pencapaian tujuan organisasi dengan optimal akan lebih mudah tercapai bila semua anggota organisasi mempunyai persepsi yang sama akan tujuan itu. Menyamakan persepsi dilakukan dengan komunikasi antar sesama anggota organisasi secara baik dan benar. Mengkomunikasian tujuan organisasi secara baik dan benar akan mempercepat dan mempermudah pencapaian tujuan secara optimal. Sejalan dengan hal tersebut, faktor komunikasi juga sangat berpengaruh terhadap penerimaan kebijakan oleh kelompok sasaran sehingga tidak berjalannya komunikasi ini menjadi titik lemah dari tercapainya efektivitas pelaksanaan kebijakan. Dengan demikian penyebarluasan isi kebijakan melalui proses komunikasi yang baik akan mempengaruhi efektivitas kebijakan publik. Indikatorindikator berhubungan dengan pengkomunikasian dalam kebijakan yang dapat dijadikan ukuran keberhasilan pelaksanaan kebijakan (Edward III, 1980) terdiri dari:
25
1. Kejelasan Penerimaan Informasi Kebijakan 2. Pengetahuan Melaksanakan Tugas dalam Kebijakan 3. Kecepatan Menerima Informasi Pelaksanaan Kebijakan 4. Frekuensi Penerimaan Informasi Kebijakan 5. Kesesuaian Pelaksanaan dengan Pedoman Pelaksanaan Kebijakan 6. Kecepatan Pemecahan Masalah Pelaksanaan Kebijakan
2.2.2 Sumberdaya dalam Pelaksanaan Kebijakan Keberadaan sumberdaya memiliki arti dan peranan yang besar dalam kehidupan organisasi. Tercapainya tujuan organisasi dengan cepat dan mudah adalah sumbangan yang besar dari sumberdaya. van Meter dan van Horn (1975) mengatakan
bahwa
sumberdaya
memiliki
peranan
yang
besar
dalam
melaksanakan suatu kebijakan. Manusia sebagai sumberdaya memiliki peranan yang besar dalam mempengaruhi keberhasilan pencapaian suatu tujuan organisasi. Pelaksanakan suatu kegiatan baik dalam organisasi publik maupun privat, keberadaan sumberdaya manusia sangat diperhitungkan. Keberadaan sumberdaya manusia sebagai pelaksanan suatu kebijakan, sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan suatu kebijakan. van Meter dan van Horn (1975) mengatakan ada enam unsur yang berpengaruh terhadap pelaksanaan suatu kebijakan, yaitu: (1) Kompetensi dan ukuran dari perwakilan pegawai; (2) Tingkat hirarkis pengendalian dari keputusan sub unit dan proses-proses dalam perwakilan implementasi; (3) Sumber perwakilan politik (misalnya: dukungan antara pembuat undang-undang dengan para eksekutif); (4) Vitalitas dari suatu organisasi; (5) Tingkat komunikasi yang terbuka .... di dalam organisasi dan (6) Hubungan perwakilan formal dan informal dengan pembuat atau badan-badan pembuat kebijakan). Menurut van Meter dan van Horn (1975), setiap kebijakan mempunyai hubungan dengan sifat dan isu kebijakan yang akan dilaksanakan. Pelaksanaan kebijakan memberikan sumbangan yang besar kepada keberhasilan dari suatu Kebijakan secara keseluruhan. Proses pelaksanaan kebijakan menekankan prosedur yang mengutamakan perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak. Pelaksanaan kebijakan akan berhasil bila perubahan yang dikehendaki relatif
26
sedikit, sementara kesepakatan
terhadap tujuan
terutama dari mereka yang
mengoperasionalkan program di lapangan relatif tinggi. Keberhasilan suatu organisasi untuk mencapai tujuannya dapat dilihat dari berhasilnya kebijakan dilaksanakan, unsur turut mempengaruhinya adalah ukuran dan tujuan kebijakan sumber-sumber kebijakan, ciri-ciri atau sifat instansi pelaksana, komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan pelaksanaan, sikap para pelaksana serta lingkungan ekomoni, sosial dan politik. Berkaitan dengan sumberdaya, Edward III (1980) mengatakan bukan hanya sumberdaya manusia semata yang dapat mempengaruhi impelementasi kebijakan publik, melainkan juga mencakup kemampuan sumberdaya yang mendukung kebijakan tersebut berupa sarana, prasarana dan faktor dana. Menurut Edward III (1980), bahwa sumberdaya dapat dibagi menjadi 4 (empat) komponen, yaitu: 1) Staff yang mencukupi (jumlah dan mutu); 2) Informasi yang dibutuhkan lengkap guna proses pengambilan keputusan, kewenangan yang cukup guna melaksanakan tugas dan tanggung jawab; 3) Fasilitas pendukung; dan 4) Sarana dan prasarana serta tersedianya dana yang memadai. Semua kehidupan di dunia ini mempunyai sumberdaya, misalnya dalam manusia ada darah, ada pikiran, ada hati nurani, ada organ tubuh dan lainnya. Demikian juga dalam organisasi, sumberdaya mempunyai peran yang penting, karena tanpa sumberdaya yang cukup organisasi itu ibarat tubuh manusia kekurangan darah, karenanya agar suatu organisasi tetap bertahan hidup maka organisasi membutuhkan sumberdaya. Keberadaan
sumberdaya
diperlukan
dalam
organisasi,
seperti
dikemukakan oleh Sugandha (1991) yang mengatakan bahwa “Sumberdaya organisasi mencakup 1) Modal yang berupa uang, dan 2) Material atau bahan baku, informasi, mesin-mesin, peralatan, perlengkapan, gedung kantor, waktu dan personel.
Memperhatikan pernyataan
Sugandha
(1991)
tersebut,
bahwa
sumberdaya pertama adalah modal berupa uang, tentu sangat masuk akal karena tanpa uang maka organisasi sulit untuk hidup apalagi berkembang, karena sebagian besar kehidupan organisasi memerlukan pembiayaan dalam bentuk modal yang cukup untuk memenuhi kebutuhan operasional.
27
Keberadaan sumberdaya manusia dalam kehidupan organisasi, Gomes (1997) mengatakan bahwa: Unsur manusia di dalam organisasi, mempunyai kedudukan yang sangat strategis, karena manusialah yang bisa mengetahui input-input apa saja yang perlu diambil dari lingkungan dan bagaimana caranya untuk mendapatkan input-input tersebut, tehnologi dan cara yang dianggap tepat untuk mengolah atau mentranformasikan input-input tadi menjadi ouput yang memberikan keinginan publik (lingkungan). Berhubungan dengan sumberdaya manusia, Board (dalam Famularo, 1986) mengatakan bahwa ada 7 (tujuh) kriteria kebijakan sumberdaya manusia, yaitu 1. Suatu kebijakan merupakan suatu pernyataan yang berisi maksud dan tujuan perusahaan yang menjadi acuan bagi langkah kerja individual. 2. Kebijakan harus dituangkan dalam suatu tulisan. 3. Kebijakan harus dinyatakan dalam ruang lingkup badan tersebut dalam arti luas. 4. Kebijakan tidak dapat diganggu gugat karena merupakan salah satu kekuatan dalam manajemen. 5. Penyusunan kebijakan memerlukan tingkat pemikiran dan kontemplasi yang sangat dalam. 6. Kebijakan harus disyahkan oleh pemegang otoritas tertinggi dalam organisasi tersebut. 7. Kebijakan berlaku untuk jangka waktu yang lama. Kebijakan yang diberlakukan di suatu organisasi yang dibuat secara jelas akan mudah dapat dijadikan pedoman kerja pegawai dalam rangka melaksanakan pekerjaannya. Kemampuan pegawai sebagai sumber daya manusia dalam suatu organisasi sangat penting arti dan keberadaannya bagi peningkatan produktivitas kerja di lingkungan organisasi. Manusia merupakan salah satu unsur terpenting yang menentukan berhasil atau tidaknya organisasi dalam mencapai tujuan dan menggembangkan misinya. Pengelolaan seluruh kegiatan sumberdaya manusia perlu didasarkan pada suatu manajemen sehingga pemberdayaannya dapat optimal. Indikator-indikator berhubungan dengan keberadaan sumberdaya dalam
28
kebijakan yang dapat dijadikan ukuran keberhasilan pelaksanaan kebijakan (Edward III, 1980) terdiri dari: 1. Kemudahan Perolehan Informasi Pelaksanaan Kebijakan 2. Ketersediaan Peralatan Pendukung Pelaksanaan Kebijakan 3. Kemampuan Sumberdaya Pengelola
2.2.3 Disposisi atau Sikap Pelaksana Kebijakan Berkaitan dengan disposisi/sikap pelaksana, Edward III (1980) mengatakan bahwa disposisi/sikap pelaksana memiliki kegunaan di kalangan pelaksana untuk menerapkan kebijakan, jika penerapan kebijakan dilakukan secara efektif. Pelaksana bukan harus tahu apa yang harus mereka kerjakan tetapi harus memiliki kemampuan untuk menerapkan kebijakan itu. Disposisi adalah sikap dan komitmen dari pelaksana terhadap program atau kebijakan, khususnya para pelaksana yang menjadi impelementator dari program yang dalam hal ini terutama adalah aparatur birokrasi. Keberadaan aparat pelaksana memiliki peranan yang besar dalam menentukkan keberhasilan suatu kebijakan dalam pelaksanaannya. Keberadaan aparat pelaksana dalam suatu organisasi pelaksana kebijakan, Wahab (2000) mengatakan bahwa ada tiga kelompok yang mempengaruhi keberhasilan suatu kebijakan, yaitu 1) Pemrakarsa kebijakan atau the center, 2) Pelaksana di lapangan atau the periphery, dan 3) Aktor perorangan di luar badan pemerintah atau kelompok sasaran. Hasil kajian terhadap artikel Resosudarmo (2000), menunjukan bahwa tantangan yang dihadapi aparat pelaksana dalam menerapkan suatu kebijakan pengelolaan sampah adalah (1) merangsang digunakannya berbagai teknologi bersih lingkungan, (2) membantu agar biaya yang dikeluarkan dalam mengadopsi teknologi untuk mengurangi jumlah pencemaran sampah dapat ditekan serendah mungkin, (3) menjaga agar sektor produksi yang terkena peraturan pencemaran sampah tidak perlu mengurangi aktivitas produksinya dan (4) mengontrol dengan ketat hingga setiap individu maupun institusi agar mematuhi peraturan untuk mengurangi jumlah pencemaran sampah yang dilepaskan ke lingkungan. Dengan demikian, pelaksanaan kebijakan dapat memperbaiki lingkungan.
29
Hasil Kajian terhadap artikel Tiwow, Widjajanto, Darjamuni, Hartman, Mahajoeno, Irwansyah dan Nurhasanah (2003), menunjukkan bahwa pendekatan yang paling tepat untuk masa mendatang dalam penanganan sampah melalui sistem pengelolaan sampah terpadu yang dapat merubah paradigma dari cost center menjadi profit center dengan cara memaksimalkan peran serta masyarakat dan pemanfaatan sampah menjadi bahan yang mempuyai nilai. Hasil kajian terhadap artikel Wibowo dan Djajawinata (2007), menunjukan bahwa aparat pelaksana perlu untuk menggalakkan program yang dapat mencapai program zero waste pada masa mendatang, yaitu: 1. Mengurangi sampah (Reduce) 2. Menggunakan kembali sampah (Reuse) 3. Mendaurulang sampah (Recycle) Menurut Wahab (2000), suatu kebijakan merupakan produk dari pemrakarsa atau pemerintah yang bertujuan untuk melayani masyarakat. Kebijakan yang telah diformulasi akan dilksanakan agar dapat dirasakan masyarakat manfaatnya. Kegiatan dan program adalah bentuk nyata dari kebijakan dilapangan yang dapat diwujudkan dalam pelaksanaannya. Bila program ternyata tidak berjalan sebagaimana mestinya maka kemungkinan akan dilakukan upaya penyesuaian terhadap kegiatan dan program yang telah ada. Pelaksanaan kebijakan membutuhkan dukungan aparat pelaksana di lapangan sehingga dapat mencapai sasaran atau tujuan dengan optimal. Aparat pelaksana di lapangan mengetahui secara mendalam bagaimana suatu kebijakan itu dapat dilaksanakan dengan efektif, karena mereka lebih mengetahui apa yang menjadi kebutuhan dari masyarakat. Pemahaman situasi dan kondisi masyarakat membuat aparat pelaksana menjadi diperhitungkan dalam melaksanakan suatu kebijakan. Kelompok sasaran atau target group mengartikan pelaksanaan kebijakan sebagai jaminan untuk menerima dan menikmati hasil atau keuntungan dari kebijakan. Hasil yang dinikmati masyarakat atau kelompok sasaran akan menunjukkan sejauh mana keberhasilan yang dicapai dari pelaksanaan suatu
30
kebijakan. Keberhasilan pelaksanaan suatu kebijakan memerlukan penilaian dan evaluasi dari berbagai kelompok agar dengan demikian dapat memperbaiki prestasi kebijakan yang telah dicapai sebelumnya. Penilaian dan evaluasi menjadi tuntutan dari kelompok sasaran apabila kebijakan itu tidak menyentuh kebutuhan dan aspirasi masyarakat secara keseluruhan. Sekalipun demikian, kelompok sasaran itu kemungkinan akan lebih memusatkan perhatian pada permasalahan apakah pelayanan yang telah diberikan tersebut benar-benar mengubah pola hidupnya, benar-benar memberikan dampak positif dalam jangka panjang bagi peningkatan mutu hidup termasuk pendapatan mereka. Pemahaman konsep pelaksanaan kebijakan dari pemrakarsa atau pembuat, pelaksana lapangan dan target group di atas akan mampu menjamin tercapainya tujuan kebijakan secara optimal dan memuaskan berbagai pihak stakeholders yang terkati langsung dan tidak langsung dengan tujuan dan sasaran implementai kebijakan itu. Dengan demikian, proses pelaksanaan kebijakan sesungguhnya tidak menyangkut perilaku badan-badan adminstratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran tetapi juga menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang terlibat dan yang akhirnya berpengaruh terhadapa dampak yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan. Indikator-indikator berhubungan dengan disposisi atau sikap pelaksana dalam kebijakan yang dapat dijadikan ukuran keberhasilan pelaksanaan kebijakan (Edward III, 1980) terdiri dari: 1. Pemahaman Pengelola dalam Kebijakan 2. Pengetahuan Pengelola dalam Pekerjaannya 3. Penerapan Pengelola dalam Melaksanakan Kebijakan 4. Kesopanan dan Kejujuran Pengelola 5. Komitmen Pengelola dalam Menjalankan Tugas 6. Prioritas Keberhasilan Kebijakan
31
2.2.4 Struktur Birokrasi dalam Pelaksanaan Kebijakan Berkaitan dengan struktur birokrasi, Edward III (1980) mengatakan bahwa struktur birokrasi mempunyai dampak terhadap penerapan kebijakan dalam arti bahwa penerapan kebijakan tidak akan berhasil jika terdapat kelemahan dalam srtuktur. Karakteristik birokrasi yang umum dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu: 1) penggunaan sikap dan prosedur yang rutin dan 2) transformasi dalam pertanggungjawaban diantara unit organisasi. Standard Operating Prosedure (SOP) dalam struktur birokrasi, mengatur tata aliran pekerjaan dan pelaksanaan program. Jika hal ini tidak ada, maka akan sulit sekali mencapai hasil yang memuaskan karena penyelesaian masalahmasalah akan bersifat ad-hoc, memerlukan penanganan dan penyelesaian khusus tanpa pola baku, fragmentasi yang sering sekali terjadi harus dapat dihindari dan diatasi dengan cara sistem koordinasi yang baik. Struktur yang tepat memberikan dukungan yang kuat terhadap keberhasilan pelaksanaan kebijakan publik. Istilah birokrasi berasal dari dua akar kata, yaitu Bureau (burra, kain kasar penutup meja) dan – cracy, ruler. Keduanya membentuk kata bureaucracy. Ada 3 (tiga) macam arti birokrasi, yaitu: 1. Birokrasi diartikan sebagai “government by bureau” yaitu pemeritahan biro oleh aparat yang diangkat pemegang kekuasaan, pemerintah atau pihak atasan dalam sebuah organisasi formal baik publik maupun privat (pendapat Riggs yang dikutip oleh Ndraha, 2003). 2. Birokrasi diartikan sebagai sifat atau perilaku pemerintahan, yaitu sikap kaku, macet, berliku-liku dan segala tuduhan negatif terhadap instansi yang berkuasa (pendapat Kramer yand dikutip oleh Ndraha, 2003). 3. Birokrasi sebagai tipe ideal organisasi, biasanya birokrasi dalam arti ini dianggap bermula pada teori Max Weber tentang sosiologik rasionalisasi aktivitas kolektif (dikutip oleh Ndraha, 2003). Birokrasi terdapat di semua bidang kehidupan dan diperlukan oleh setiap organisasi formal yang memproduksi public goods, birokrasi seperti ini disebut birokrasi publik. Birokrasi dipengaruhi karakteristik birokrasi dan karakteristik
32
manusia. Birokrasi sebagai gejala kekuasaan diartikan kekuasaan untuk mengontrol kedua karakteristik birokrasi tadi dalam rangka efektivitas dan efesiensi penyelenggaraan pemerintahan. Sedangkan birokrasi sebagai gejala sosial mengandung arti dinamikia karakteristik manusia dalam kehidupan organisasi. Hasil kajian terhadap artikel Muhdhar dan Margono (2003), menunjukkan bahwa pengelolaan sampah masih belum terpadu dengan partisipasi masyarakat yang terbatas, peran pemerintah masih sangat besar dalam mengelola sampah kota. Sampah masih dianggap sebagai barang buangan yang berusaha dimusnahkan, tidak merupakan barang ekonomis yang masih bisa diolah dan diperjualbelikan. Kerjasama antar daerah masih belum ada dalam peraturan, begitu juga ketentuan tentang penyelesaian perselisihan antar daerah dan masyarakat masih belum diatur. Penegakan hukum masih menggunakan pendekatan penguatan negatif, belum ada peraturan yang mengarah pada pemberian penguatan positif berupa penghargaan. Keberadaan
birokrasi
dalam
sistem
administrasi
modern
sangat
dibutuhkan untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan organisasi. Suatu organisasi memiliki struktur organisasi yang membagi semua tugas dan fungsi kepada anggota organisasi. Kewenangan yang ada dalam struktur organisasi membuat organisasi bekerja dengan optimal untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Birokrasi suatu organisasi mempunyai peranan yang besar untuk mencapai tujuan organisasi secara optimal. Birokrasi sebagai organisasi mempunyai struktur yang membagi semua tugas dan fungsinya (Albrow, 1989). Pembagian tugas kepada semua anggota organisasi memberikan kemudahan mengadakan pencapaian tujuan seperti yang telah direncanakan sebelumnya. Struktur yang ada dalam birokrasi membuat adanya kesamaan persepsi terhadap misi dan visi organisasi. Adaya struktur birokrasi maka dapat diketahui siapa mengerjakan apa dan bagaimana prestasi yang dicapainya. Struktur birokrasi akan membawa adanya suatu kewenangan. Kewenangan sangat dibutuhkan dalam memberikan keleluasaan dalam bekerja secara optimal.
33
Pendapat Etzioni (1983) yang dikutip Kumorotomo (1992) mengatakan bahwa tujuan utama pembentukan struktur birokrasi adalah agar suatu organisasi dapat berjalan secara rasional, sistematis dan dapat diramalkan sehingga tercapai efektivitas dan efesiensi. Menurut Etzioni (1983) dalam Kumorotomo (1992), menyatakan bahwa: struktur birokrasi memberikan kewenangan kepada anggota organisasi bekerja sesuai tugas dan fungsinya seperti yang telah digariskan dalam struktur organisasi. Kejelasan wewenang yang dimiliki setiap anggota organisasi membuat mereka bekerja dengan optimal sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Perencanaan yang telah didasarkan kewenangan yang dimiliki anggota organisasi membuat kejelasan tujuan atau sasaran yang akan dicapai. Pencapaian tujuan yang rasional membuat organisasi semakin kredibel dan akuntabel dalam pelaksanaan operasionalnya. Struktur birokrasi adalah suatu standard operating prosedur yang menata hubungan kerja anggota organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan sesuai dengan rencana sebelumnya. Pembagian kerja termasuk didalamnya kejelasan kewenangan yang dimiliki memberikan kepastian bagi anggota organisasi dalam berprestasi dalam bekerja. Struktur birokrasi memberikan sumbangan yang besar dalam melaksanakan suatu kebijakan publik. Dukungan birokrasi yang telah ditata secara baik akan memperlancar keberhasilan pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan. Pelaksanaan kebijakan akan dilakukan dalam suatu organisasi. Dalam organisasi pemerintahan, keberadaan birokrasi yang sudah tertata dengan struktur yang baik memberikan sumbangan yang besar dalam memperlancar pelaksana dilapangan dalam bekerja dengan optimal. Indikator-indikator berhubungan dengan birokrasi dalam kebijakan yang dapat dijadikan ukuran keberhasilan pelaksanaan kebijakan (Edward III, 1980) terdiri dari: 1. Kejelasan Pembagian Tugas Pengelolaan 2. Tanggung Jawab Pelaksana 3. Kejelasan Wewenang Pelaksana 4. Kejelasan Koordinasi Pelaksana
34
2.3 Keterkaitan Pengelolaan Sampah dengan Kualitas Lingkungan Hidup Lingkungan hidup adalah suatu sistem komplek yang berada di luar individu yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan organisme (Pustekkom, 2005, http://www.e-dukasi.net). Lingkungan hidup itu terdiri dari dua komponen yaitu komponen abiotik dan biotik: 1. Komponen biotik adalah unsur yang terdapat dalam lingkungan hidup untuk media saling berhubungan, seperti; manusia, hewan, tumbuhan air, jasad renik dan sebagainya. Unsur biotik sangat berpengaruh bagi kehidupan manusia karena kalau tidak ada unsur biotik maka manusia tidak bisa berkembang biak secara sempurna. 2. Komponen abiotik adalah unsur yang terdapat dalam lingkungan hidup untuk media berlangsungnya kehidupan, seperti: tanah, air, udara, sinar matahari, dan lain-lain. Unsur abiotik juga berpengaruh bagi kehidupan karena unsur abiotiklah kebutuhan utama dalam berlangsungnya kehidupan (Pustekkom, 2005, http://www.e-dukasi.net). Komponen-komponen yang ada di dalam lingkungan hidup merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan membentuk suatu sistem kehidupan yang disebut ekosistem. Suatu ekosistem akan menjamin keberlangsungan kehidupan apabila lingkungan itu dapat mencukupi kebutuhan minimum dari kebutuhan organisme. Pengertian tentang kualitas lingkungan sangatlah penting, karena merupakan dasar dan pedoman untuk mencapai tujuan pengelolaan lingkungan. Perbincangan tentang lingkungan pada dasarnya adalah perbincangan tentang kualitas lingkungan, namun seringkali kualitas lingkungan hanyalah dikaitkan dengan masalah lingkungan, misalnya pencemaran, erosi dan banjir. Secara sederhana kualitas lingkungan hidup diartikan sebagai keadaan lingkungan yang dapat memberikan daya dukung yang optimal bagi kelangsungan hidup manusia di suatu wilayah. Kualitas lingkungan itu dicirikan, antara lain dari suasana yang membuat orang betah/kerasan tinggal di tempatnya sendiri. Berbagai keperluan hidup terpenuhi dari kebutuhan dasar/fisik seperti makan
35
minum, perumahan sampai kebutuhan rohani/spiritual seperti pendidikan, rasa aman, ibadah dan sebagainya (Pustekkom, 2005, http://www.e-dukasi.net). Kualitas lingkungan hidup dibedakan berdasarkan biofisik, sosial ekonomi dan budaya, yaitu: 1. Lingkungan biofisik adalah lingkungan yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik yang berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Komponen biotik merupakan makhluk hidup, seperti; hewan, tumbuhan dan manusia, sedangkan komponen abiotik, terdiri dari benda-benda mati, seperti; tanah, air, udara, cahaya matahari. Kualitas lingkungan biofisik dikatakan baik jika interaksi antar komponen berlangsung seimbang. 2. Lingkungan sosial ekonomi, adalah lingkungan manusia dalam hubungan dengan sesamanya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Standar kualitas lingkungan sosial ekonomi dikatakan baik jika kehidupan manusia cukup sandang, pangan, papan, pendidikan dan kebutuhan lainnya. 3. Lingkungan budaya adalah segala kondisi, baik berupa materi (benda) maupun nonmateri yang dihasilkan oleh manusia melalui aktifitas dan kreatifitasnya. Lingkungan budaya dapat berupa bangunan, peralatan, pakaian, senjata dan juga termasuk non materi seperti tata nilai, norma, adat istiadat, kesenian, sistem politik dan sebagainya. Standar kualitas lingkungan diartikan baik jika di lingkungan tersebut dapat memberikan rasa aman, sejahtera bagi semua anggota masyarakatnya dalam menjalankan dan mengembangkan sistem budayanya (Pustekkom, 2005, http://www.e-dukasi.net). Kegiatan yang dilakukan oleh umat manusia memiliki dampak pada lingkungan hidup. Kegiatan ekonomi dan pertumbuhan penduduk yang pesat telah memberikan tekanan pada keseimbangan alam berupa pencemaran hingga mengakibatkan kerusakan pada lingkungan hidup. Padahal tipologi pencemaran yang terdiri dari pencemaran air, udara, dan tanah berakibat pada menurunnya kualitas lingkungan hidup memiliki dampak pada kehidupan manusia. Berikut ini disajikan beberapa kasus berdasarkan tipologi pencemaran yang berakibat pada
36
penurunan kualitas lingkungan hidup yang menjadi soroton para ahli lingkungan hidup di seluruh dunia. 1. Kasus rendahnya kualitas air di negara berkembang. Menurut Bank Dunia (1992), sekurangnya 170 juta orang yang tinggal di kotakota dan sekurangnya 850 juta orang yang tinggal di desa-desa di negara berkembang tidak memiliki akses guna mendapatkan air bersih untuk minum, masak dan cuci. Sumber-sumber air telah terkontaminasi dengan berbagai penyakit yang disebabkan oleh kotoran manusia, bahan kimia beracun dan metal berat yang sudah sulit untuk dihilangkan dengan menggunakan teknik purifikasi biasa (standar). Dilaporkan juga bahwa penggunaan air yang tercemar tersebut telah menyebabkan jutaan orang meninggal dan lebih dari satu milyar orang sakit setiap tahun (World Bank, 1992). 2. Kasus tingginya tingkat pencemaran udara di kota-kota besar. Baru-baru ini dalam sebuah penelitian mengenai tingkat pencemaran udara di 20 kota besar di seluruh dunia, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa sekurangnya satu jenis polusi udara di kota-kota besar tersebut telah melebihi ambang batas pencemaran udara WHO (UNEP dan WHO, 1992). Penelitian lain memperkirakan bahwa kurang lebih 600 juta orang hidup di kota yang tingkat pencemaran sulfur dioksidanya melebihi ambang batas pencemaran udara WHO, dan sekitar 1,25 milyar orang tinggal di kota-kota yang tingkat pencemaran debunya sudah sangat tinggi. Lebih jauh lagi, tingkat pencemaran udara yang tinggi diperkirakan telah menyebabkan gangguan kesehatan pada masyarakat. Misalnya, di Jakarta, dengan penduduk sekitar sembilan juta orang, diperkirakan sekitar 1558 kasus kematian dini, 39 juta kasus gangguan tenggorokan, 558 ribu kasus serangan asma, 12 ribu kasus bronhitis kronis, dan 125 ribu kasus sakit tenggorokan pada anak-anak di tahun 1990 disebabkan oleh tingginya tingkat pencemaran udara di kota tersebut (Ostro, 1994). 3. Kasus menurunnya tingkat kesuburan tanah. Program Lingkungan Persatuan Bangsa-bangsa (UNEP) memperkirakan sekitar 11 persen dari tanah subur di dunia telah tererosi, berubah secara
37
kimiawi, atau secara fisik memadat yang mengakibatkan menurunnya kemampuan tanah tersebut untuk memproses nutrisi mencari bahan yang berguna bagi tanaman. Lebih jauh lagi, UNEP juga mengestimasi bahwa kurang lebih tiga percen dari tanah di dunia ini telah rusak hingga tidak lagi dapat menjalankan fungsi abiotiknya sama sekali (WRI in collaboration with the UNEP and the UNDP, 1992). Tentunya tingkat kesuburan tanah yang menurun menyebabkan menurunnya tingkat produktivitas pertanian. 4. Kasus menurunnya tingkat keragaman biota. Sebagai contoh, para peneliti memperkirakan bahwa empat sampai delapan persen dari species yang hidup di hutan tropis akan punah dalam 25 tahun mendatang (Reid, 1992). Kasus kerusakan batu karang juga semakin banyak. Kelestarian rawa-rawa (wetlands) juga semakin mengkuatirkan. Semakin menurunnya tingkat keragaman biota tentunya merupakan ancaman serius bagi keseimbangan dan kelestarian alam (WRI in collaboration with the UNEP and the UNDP, 1992). Peningkatan kualitas lingkungan hidup terutama perkotaan, diperlukan suatu kebijakan berkaitan dengan pengelolaan sampah terutama dalam upaya menanggulagi pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Untuk mewujudkan peningkatan kualitas lingkungan hidup berskaka rumah tangga perlu ditempuh dengan kegiatan diantaranya, yaitu: 1. Meningkatkan pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. 2. Meningkatkan peran serta masyarakat dan swasta dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. 3. Meningkatkan pengelolaan kebersihan dan pertamanan. Keberhasilan capaian sasaran tersebut antara lain pada pengembangan kualitas lingkungan hidup diupayakan untuk meningkat, yang dinilai berdasarkan tolok ukur standar kualitas lingkungan hidup. Faktor - faktor yang mempengaruhi keberhasilan pencapaian sasaran meningkatnya kualitas lingkungan hidup yaitu meningkatnya kesadaran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup.
38
Hambatan dan permasalahan yang dihadapi dalam upaya pengendalian lingkungan hidup di Kota Bandung antara lain: 1. Kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidup masih perlu ditingkatkan utamanya pada pelaku usaha kecil dan menengah. 2. Penegakan hukum lingkungan yang masih lemah. 3. Pemahaman konsep pembangunan berwawasan lingkungan belum sinkron bagi seluruh stakeholder 4. Masih banyaknya masyarakat yang memiliki kebiasaan membuang sampah di sembarang tempat, sehingga mengakibatkan kesulitan untuk pengelolaan sampah pada tahapan berikutnya. 5. Prasarana dan sarana pengelolaan sampah tidak seimbang dengan produksi sampah yang dihasilkan masyarakat. Strategi pemecahan masalah dapat dilakukan dengan: 1. Peningkatan Penegakan Hukum Lingkungan. 2. Mensosialiasikan konsep pembangunan berwawasan lingkungan bagi seluruh stakeholder 3. Menyediakan fasilitas pembuangan sampah di tempat-tempat umum 4. Peningkatan pengolahan sampah menjadi produk yang bermanfaat Hasil penelitian yang dilakukan Saribanon (2007) menunjukkan bahwa kondisi pengelolaan sampah saat ini memerlukan upaya penguatan kelembagaan dan pembatasan lingkup fungsi pemerintah daerah untuk mendukung partisipasi masyarakat secara optimal. Oleh karena itu, kebijakan pengelolaan sampah yang bersumber dari rumah tangga perlu bertumpu pada strategi pengembangan infrastruktur, strategi partisipasi komunitas dan strategi pengelolaan kelembagaan. Pelaksanaan ketiga strategi tersebut dapat mengakomodasikan heterogenitas dalam masyarakat serta meningkatkan penerimaan dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman berbasis masyarakat. Hasil penelitian yang dilakukan Saraswati (2007) menghasilkan 7 faktor dari rumah tangga yang berpengaruh nyata terhadap pengelolaan sampah yaitu 1) jumlah sampah, 2) yang menangani sampah di rumah sebelum di buang, 3)
39
pengetahuan tentang 3R, 4) pemilahan, 5) pelaksanaan reduce, 6) pelaksanaan reuse dan 7) kesediaan melakukan recycle. Ibu rumah tangga merupakan pihak yang paling berperan dalam pengelolaan sampah di rumah sebelum dibuang. Aspek terlemah dalam kapasitas organisasi adalah aspek pelayanan. Faktor kunci dalam pengembangan kelembagaan pada pengelolaan sampah kota berbasis partisipasi masyarakat adalah sosialisasi 3R, pemahaman 3R, peran ibu rumah tangga, kegiatan usaha kompos, pemasaran kompos, kegiatan usaha daur ulang, dan pemasaran produk daur ulang. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan Kholil (2005) membuktikan bahwa penanganan sampah kota tidak dapat didasarkan pada pendekatan cost recovery, waste to product yang bertujuan untuk mencari keuntungan peningkatan PAD, atau untuk tujuan menciptakan lapangan kerja baru; akan tetapi didasarkan pada pendekatan waste to clean dan clean to product, yaitu pendekatan dengan tujuan utama menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan kota. Salah satu faktor kunci yang menentukan keberhasilan penanganan sampah kota adalah keterlibatan masyarakat, khususnya para ibu rumah tangga yang menjadi sumber utama penghasil sampah. Hasil penelitian ini menunjukkan kebijakan penanganan sampah kota harus berlandaskan pada prinsip transparansi, akuntabilitas, dan profesionalisme
perlu
restruktunisasi
anggaran
kebersihan
kota
dengan
membentuk BLU Kebersihan (Badan Layanan Umum Kebersihan), dan restrukturisasi lembaga penanganan sampah kota dengan membentuk Komisi Penanganan Sampah Kota, yang anggotanya terdiri dari tokoh formal, tokoh agama, tokoh masyarakat, para ahli, LSM, pengusaha dan penegak hukum.