II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Intensifikasi Padi. Intensifikasi padi adalah merupakan salah satu program pemerintah dalam rangka meningkatkan produksi padi yang dicanangkan pada tahun 1958. Program ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dengan memanfaatkan potensi lahan, daya dan dana yang ada secara optimal serta kelestarian sumberdaya alam. Awalnya program ini dinamakan Padi Sentra dengan menerapkan teknologi Panca Usahatani (Badan Litbang Pertanian, 2004) Pada tahun 1963 program Padi Sentra diganti dengan program Swasembada Bahan Makanan (SBM) program ini pada tahun 1964/1965 diganti dengan program Demokrasi Massal (DEMAS) dan pada tahun 1965/1966 program Demas dimasyarakatkan dengan nama Bimbingan Massal (BIMAS). Mulai tahun 1980 program Bimas dikembangkan menjadi Pola Intensifikasi Khusus (INSUS) dengan menerapkan teknologi Sapta Usahatani yang merupakan penyempurnaan dari teknologi Panca Usahatani yaitu dengan menambahkan komponen penyuluhan, penanganan pascapanen dan pemasaran. Selanjutnya program ini dikembangkan menjadi SUPRA INSUS, dimana penyelengaraannya menggunakan metode pendekatan Operasi Khusus (OPSUS) Program-program intensifikasi tersebut bersifat top down dimana, teknologi yang dianjurkan bersifat paket dan berlaku umum untuk semua wilayah serta dilaksanakan sepenuhnya dengan inisiasi petugas, sehingga implementasinya di lapangan walaupun memberikan hasil yang meningkat dari sebelumnya tetapi banyak menimbulkan masalah dilapangan. Pada tahun 2002, Badan Litbang
Pertanian bekerjasama dengan Direktorat Jendral Bina Produksi Tanaman Pangan mengimplementasikan kegiatan percontohan Peningkatan Produksi Padi Terpadu di 14 Provinsi di Indonesia. Teknologi peningkatan produktivitas lahan sawah dilaksanakan melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT). 2.2. Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu merupakan suatu pendekatan inovatif dalam upaya meningkatkan efisiensi usahatani padi sawah melalui penerapan komponen teknologi yang memiliki efek sinergis, dan petani berpartisipasi mulai dari perencanaan sampai pengembangan (Balitbangtan, 2002). Dalam aplikasinya, PTT berbeda dengan Intensifikasi Khusus (INSUS) maupun SUPRA-INSUS yang pernah dilakukan secara massal di lingkungan petani. Perbedaannya adalah PTT menekankan pada prinsip partisipatori dengan menempatkan pengalaman, keinginan dan kemampuan petani pada posisi penting dalam menerapkan teknologi. Pendekatan PTT ini memperhatikan keberagaman lingkungan pertanaman dan kondisi petani, sehingga penerapan teknologi di suatu tempat mungkin sekali berbeda dengan lokasi lainnya. Dalam model PTT, pemecahan masalah setempat dengan penerapan teknologi inovatif merupakan prioritas utama. Oleh karena itu, paket teknologi yang dipilih dalam PTT tidak tetap, tetapi spesifik lokasi. Pemilihan komponen teknologinya disesuaikan dengan kondisi setempat. Penerapan PTT didasarkan pada empat prinsip : (1)
PTT bukan merupakan
teknologi maupun paket teknologi tetapi merupakan suatu pendekatan agar sumberdaya tanaman, lahan dan air dapat
dikelola sebaik-baiknya, (2) PTT
memanfaatkan teknologi pertanian yang sudah dikembangkan dan diterapkan dengan memperhatikan unsur keterkaitan/sinergis antar teknologi, (3) PTT memperhatikan kesesuaian teknologi dengan lingkungan fisik maupun sosialekonomi petani, dan (4) PTT bersifat partisipatif yang berarti petani turut serta menguji dan memilih teknologi yang sesuai dengan keadaan setempat dan kemampuan petani melalui proses pembelajaran. Konsep ini mengharuskan pengelolaan secara terpadu antara tanaman dan sumberdaya. Pada prinsipnya adalah melakukan pengelolaan dengan menyediakan lingkungan produksi yang kondusif bagi pertumbuhan tanaman sesuai dengan sumberdaya tersedia secara lokal spesifik (Badan Litbang Pertanian, 2004). Melalui pendekatan ini diupayakan menciptakan hubungan sinergi antara komponen-komponen produksi dan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya tersedia dengan lebih banyak memanfaatkan internal input tanpa merusak lingkungan. Prinsip
dasar
pengelolaan
tanaman
terpadu
adalah
pemanfaatan
sumberdaya pertanian secara optimal sehingga petani memperoleh keuntungan maksimum secara berkelanjutan dalam sistem produksi yang memadukan komponen teknologi sesuai kapasitas lahan. Kata kunci dari pengelolaan tanaman terpadu adalah sinergi. Setiap komponen teknologi sumberdaya alam, dan kondisi sosial ekonomi memiliki kemampuan untuk berinteraksi satu sama lain, dengan demikian akan tercipta suatu keseimbangan dan keserasian antara aspek lingkungan dan aspek ekonomi untuk keberlanjutan sistem produksi. Indikator keberhasilan
pengelolaan
tanaman
rendahnya
biaya produksi,
terpadu yang paling penting
adalah
penggunaan sumberdaya pertanian
secara
efisien dan pendapatan petani meningkat tanpa merusak lingkungan.
2.2.1. Komponen Teknologi dalam Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu Padi Sawah. Alternatif komponen teknologi yang dianjurkan dalam PTT padi sawah di Kabupaten Serang tepatnya di Kecamatan Carenang sesuai dengan permasalahan yang ditemui adalah : (1) penggunaan benih bermutu, (2) pengaturan jarak tanam jajar legowo, (3) penanaman bibit muda tunggal, (4) penggunaan bahan organik, (5) pemupukan sesuai kebutuhan tanaman, (6) pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman(OPT), dan (7) panen dan pasca panen. 2.2.1.1. Penggunaan Benih Bermutu Benih yang akan ditanam merupakan benih yang bermutu tinggi yaitu dengan tingkat kemurnian yang tinggi dan daya kecambahnya lebih besar dari 90 persen. Untuk itu pilih benih yang bersertifikat atau berlabel biru. Selain itu benih diseleksi, agar benih yang akan ditanam benar-benar memiliki daya tumbuh yang tinggi. Seleksi benih dilakukan dengan merendam benih di dalam air yang telah dicampur larutan air garam sebanyak 3 persen dengan tujuan : mencegah hama pada waktu perkecambahan, merangsang pertumbuhan akar, memperkecil resiko kehilangan hasil, memelihara dan memperbaiki kualitas benih. 2.2.1.2. Pengaturan Jarak Tanam dengan Jajar Legowo Jarak tanam jajar legowo yang dianjurkan adalah 50 x 25 x 12.5cm, 50 x 25 x 15cm dan 40 x 20 x 15cm atau sesuai dengan kesuburan tanah dan varietas padi yang ditanam. Manfaat tanam jajar legowo, selain dapat meningkatkan hasil dari pengaruh tanaman pinggiran (border effect), juga dapat meningkatkan populasi tanaman sampai 30 persen yaitu 213 000 rumpun/ha. Untuk varietas
unggul tipe baru (seperti Gilirang) jarak tanam harus lebih dirapatkan, karena varietas tersebut memiliki jumlah anakan sedikit (10-12 rumpun). Jumlah anakan pada semua varietas tipe baru adalah produktif. 2.2.1.3. Penanaman Bibit Muda Tunggal Penanaman bibit muda tunggal adalah bibit padi yang ditanam berumur 18 – 20 HSS dengan penanaman tunggal yaitu 1 - 2 bibit per rumpun. Bibit muda akan tumbuh dan berkembang dengan lebih baik, sistem perakaran akan lebih intensif, anakan lebih banyak dan lebih mampu beradaptasi dengan lingkungan dibandingkan dengan bibit yang lebih tua (>20 HSS). Penanaman satu bibit dapat mendorong tanaman untuk memperlihatkan potensi genetiknya, dapat mengurangi stress pada tanaman, recoveri bibit lebih cepat dan pembentukan anakan lebih banyak. 2.2.1.4. Penggunaan Bahan Organik Penggunaan bahan organik dilahan sawah bertujuan untuk memperbaiki kualitas tanah (tanah menjadi lebih gembur dan lebih subur). Selain itu juga dapat mengurangi
penggunaan
pupuk
an-organik
sehingga
dapat
mengurangi
pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh pupuk an-organik tersebut. Bahan organik yang dapat digunakan antara lain adalah kompos, pupuk kandang dan sisa tanaman seperti jerami. Jumlah bahan organik yang dianjurkan 2 – 3 ton/ha. 2.2.1.5. Pemupukan Sesuai Kebutuhan Tanaman Hal yang perlu dipertimbangkan dalam penetapan jumlah pupuk yang diberikan bagi tanaman padi adalah : (1) kebutuhan hara tanaman, (2) ketersediaan hara dalam tanah, (3) pH tanah, dan (4) adanya sumber hara lain
terutama kalium dan nitrogen dari bahan organik, air irigasi dan sebagainya. Bila sumber hara lain tersebut dapat diketahui jumlahnya maka takaran pupuk perlu dikurangi dengan demikian pemupukan yang dilakukan dapat lebih efisien. Berdasarkan hasil analisa tanah, maka pupuk anorganik yang dianjurkan adalah SP-36 100 kg/ha dan KCl 50 kg/ha sedangkan untuk urea berdasarkan penggunaan Bagan Warna Daun (BWD). Bagan Warna Daun adalah alat sederhana (bagan) untuk mengukur warna daun padi dengan skala 1 sampai 6. Masing-masing skala mengambarkan status hara N dalam padi. Skala 1 (kuning) mengambarkan tanaman sangat kekurangan N sedangkan skala 6 (hijau tua) mengambarkan tanaman kelebihan N. Dengan penggunaan BWD maka kebutuhan urea dapat ditambah atau dikurang sesuai dengan kebutuhan tanaman.
2.2.1.6. Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman Pengendalian gulma diperlukan untuk : (1) mengurangi persaingan antara gulma dengan tanaman padi dalam memperoleh hara, air, sinar matahari dan tempat, (2) memutus siklus gulma, (3) mencegah terbentuknya inang alternatif bagi organisme pengganggu tanaman, dan (4) mencegah terhambatnya saluran aliran air irigasi. Sedangkan untuk pengendalian hama dan penyakit disesuaikan dengan konsep Pengelolaan Hama Terpadu (PHT), misalnya pada musim kemarau langkah-langkah yang diperlukan untuk pengendalian hama tikus adalah : (1) tanam serentak pada hamparan yang luas (50-100ha), (2) pemberdayaan kelompok tani minimal kelompok tani sehamparan, (3) persiapan lahan dan bahan untuk pengendalian tikus dengan sistem perangkap bubu, dan (4) meningkatkan
koordinasi antara petani dan aparat terkait agar pengendalian tikus dapat terlaksana dengan baik. Pada musim hujan langkah-langkah yang dilakukan untuk mengendalikan hama dan penyakit adalah: (1) tidak melakukan penanaman padi diluar jadwal, (2) penggunaan varietas tahan sesuai dengan biotipe/ras patogen (3) memantau perkembangan hama wereng coklat, pengerek batang dan penyakit tungro, (4) apabila perkembangan hama dan penyakit telah melebihi ambang kendali perlu dilakukan pengendalian dengan pestisida yang tepat dan dengan cara dan waktu yang tepat pula, dan (5) untuk mendeteksi adanya serangan hama secara dini dilakukan pengamatan secara periodik dan terjadwal. Pengambilan keputusan untuk pengendalian dilakukan berdasarkan ambang kendali dari hama atau penyakit yang bersangkutan.
2.2.1.7. Panen dan Pasca Panen Panen dapat dilakukan secara beregu dan menggunakan alat perontok padi sistem gebot dan power thresher . Pengeringan gabah dilakukan setelah panen. Jika cuaca tidak mengizinkan, maka pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan pengering atau dryer. Faktor
yang
dapat
mempengaruhi
kehilangan hasil
diantaranya
adalah : (1) varietas padi, (2) umur panen padi, (3) alat panen, (4) sistem pemanenan padi, (5) prilaku pemanenan, dan (6) alat/cara perontok padi. Usahatani padi tidak akan menguntungkan atau hasil
tidak akan
memberikan
yang optimal jika panen dilakukan pada umur yang tidak tepat dan
cara yang kurang benar. Penyimpanan gabah dapat dilakukan dengan kadar air kurang dari 14 persen untuk konsumsi dan 13 persen untuk benih.
2.3. Penelitian Sebelumnya Penelitian-penelitian PTT telah banyak dilakukan dengan berbagai metode dan analisa. Pendekatan model yang dilakukan dalam penelitian-penelitian ini pun berbeda-beda diantaranya adalah : Toha (2005) meneliti tentang Peningkatan Produktivitas Padi Gogo melalui penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu dengan Introduksi Varietas Unggul, dimana hasil penelitiannya menunjukkan, dibandingkan dengan pertanaman petani yang tidak menerapkan PTT, hasil padi dari pertanaman PTT 20 persen lebih tinggi atau meningkat dari 3.37 menjadi 4.04 ton/ha GKG. Ratarata dari 10 petani yang menerapkan PTT dengan berbeda varietas mencapai 4.04 ton/ha dengan kisaran 1.92-4.69 ton/ha GKG. Hasil terendah dicapai oleh varietas Towuti dan tertinggi oleh varietas Batu Tegi. Rendahnya hasil varietas Towuti juga disebabkan oleh penularan penyakit blas. Hasil rata-rata selama tiga musim tanam adalah 5.69ton/ha, pendapatan rata-rata mencapai Rp 5 226 000 dengan kisaran Rp 4 807 000 – 5 957 100. Perhitungan pendapatan
tersebut
berdasarkan harga gabah saat panen, Rp 1 000/kg dan Rp 900. Biaya tetap Rp 2 783 000 dan biaya tidak tetap Rp 651 970 maka keuntungan rata-rata mencapai Rp 2 044 730. Biaya produksi berkisar antara Rp 3 245 000 – 3 650 710 dan kisaran keuntungan adalah Rp 1 506 300 – 2 320 500. Artinya dalam penelitian ini dapat disimpulkan introduksi varietas unggul yang sesuai sebagai komponen model PTT padi gogo dapat meningkatkan hasil dan pendapatan petani Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Pirngadi dan Makarim (2006) yang berjudul Peningkatan Produktivitas Padi pada Lahan Sawah Tadah Hujan Melalui
Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu
Usahatani
pada
Lahan Sawah Tadah Hujan dengan Pola Tanam Padi Gogorancah . Padi walik jerami masih diwarnai oleh penggunaan varietas lokal dan/atau hasil rendah, kualitas benih rendah, populasi tanaman tidak optimal (jarak tanam tidak teratur),dan pemupukan tidak tepat (terlalu rendah). Penelitian bertujuan untuk mendapatkan model usahatani berbasis padi yang optimal (hasil tinggi, menguntungkan, dan input sesuai kemampuan petani) pada lahan sawah tadah hujan di wilayah sumberdaya rendah. Penelitian yang dilaksanakan di Desa Bogem, Kecamatan Japah, Kabupaten Blora, Jawa Tengah pada Musim Hujan 2003/2004 dan Musim Kering 2004 menunjukkan
hasil tertinggi untuk padi
gogorancah dan Walik Jerami masing-masing 5.87 ton /ha dan 6.01 ton/ha GKG/ha. Perlakuan tersebut mendatangkan pendapatan total sebesar Rp 13 669 000/ha/tahun dengan hasil total 11.88 ton GKG/ha/tahun, keuntungan Rp 5 431 200 dan B/C ratio 0.66. Demikian juga dengan penelitian yang dilaksanakan di Jawa Barat yang merupakan hasil pengkajian yang dilaksanakan oleh Balai pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat (2002) memperlihatkan bahwa dengan pendekatan PTT produksi meningkat dari 4.17 ton/ha menjadi 4.89 ton/ha dengan produktivitas padi per hektar meningkat sebesar 19.3 persen – 24.5 persen . Sehingga petani yang menerapkan PTT Legowo ini dapat memperoleh keuntungan sebesar 35 – 50 persen dibandingkan cara yang telah biasa dilakukan oleh petani. Selain itu produktivitas lahan sawah meningkat secara berkelanjutan. Hal yang berbeda dapat dijumpai dari penelitian Adnyana dan Kariyasa (2002), dimana penelitian tersebut dilakukan di empat Provinsi (Sumatera Utara, Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara Barat) pada 480 petani contoh, dengan judul
”Dampak
dan Persepsi Petani terhadap
Penerapan
Sistem
Pengelolaan
Tanaman Terpadu Padi Sawah”, dimana fokus dari penelitian ini adalah untuk : (1) mengukur
dampak
penerapan
PTT
terhadap
produktivitas dan
pendapatan petani, (2) mengukur biaya adopsi penerapan PTT, dan (3) mengukur tingkat adopsi dan mengevaluasi persepsi petani terhadap PTT. Penelitian ini menunjukkan bahwa pendekatan PTT mampu meningkatkan produksi dan pendapatan petani. Biaya adopsi PTT masih di bawah harga gabah yang berlaku, sehingga petani tertarik menerapkannya. Petani umumnya mengatakan bahwa sebagian besar komponen PTT merupakan hal baru dan mudah diterapkan, karena sebagian besar sesuai kebutuhan. Tingkat adopsi PTT cukup baik walaupun belum sepenuhnya dilakukan akibat adanya beberapa permasalahan teknis dan kondisi sosial ekonomi petani. Peningkatan produksi padi nasional melalui penerapan PTT dalam skala luas dipandang sebagai langkah yang cukup strategis. Adanya dukungan yang kuat dari Pemda setempat dan kerja sama yang baik antar instansi terkait sangat menentukan keberhasilan pengembangan PTT. Dalam penelitian ini, penulis lebih menekankan pada aspek kelembagaan dibandingkan aspek teknis dalam keberhasilan PTT. Selain itu, Sumaryanto et al. (2003) di lahan sawah irigasi di DAS Brantas menunjukkan bahwa determinan utama dalam inefisiensi adalah peranan usahatani padi dalam ekonomi rumah tangga petani. Tingkat efisiensi yang lebih tinggi dicapai oleh petani yang sebagian besar pendapatannya berasal dari usahatani padi. Faktor lainnya adalah usahatani yang dijalankan oleh para petani sehamparan yang lebih berdiversifikasi, petani dengan kelompok usia muda, dan pendapatan per kapita tinggi. Hasil ini juga menunjukkan bahwa di persil – persil
garapan bukan milik ternyata lebih tinggi daripada di persil – persil garapan milik. Implikasi terpenting adalah perlunya kebijakan yang mampu mendorong konsolidasi diversifikasi usahatani berbasis hamparan agar upaya peningkatan pendapatan petani sinergis dengan peningkatan efisiensi usahatani padi. Jika pendekatan yang dilakukan adalah penyuluhan maka dengan nilai indeks efisiensi teknis yang secara rata – rata cukup tinggi sebaiknya materi penyuluhan bersifat inovatif dan imperatif. Disti (2006) dalam penelitiannya mengenai Efisiensi Produksi Usahatani Padi Program Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu di Kabupaten Subang. Penelitian yang dilakukannya adalah membandingkan beberapa model fungsi produksi yang baik untuk menentukan efesiensi dari penggunaan input (faktor-faktor produksi), dengan menggunakan tiga alat analisis untuk menjelaskan pengaruh dari faktor produksi yang digunakan oleh petani padi program PTT terhadap hasil produksi. Ketiga alat analisis tersebut adalah analisis regresi berganda, analisis Cobb-Douglas dan analisis transedental. Kelemahan dari penelitian ini adalah adanya nilai koefisien regresi yang negatif pada model fungsi produksi, dalam hal ini variabel SP-36, phonska di Desa Mulyasari sedangkan di Desa Cijengkol adalah benih, SP-36, dan tenaga kerja. Hal ini bertentangan dengan teori yang menerangkan fungsi produksi Cobb-Douglas harus dijelaskan dengan koefisien variabel-variabel yang positif. Analisa fungsi produksi telah banyak dilakukan demikian halnya dengan mengukur tingkat efisiensi kegiatan usahatani. Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian yang akan dilakukan adalah analisis tingkat efisiensi menggunakan metode Stochastic Production Frontier (SPF). Pemilihan fungsi
produksi Stochasic Frontier berdasarkan argumen bahwa dengan program PTT diasumsikan tingkat produktivitas yang telah dicapai oleh petani sudah mendekati kondisi maksimum (Frontier), sehingga apakah peningkatan produktivitasnya masih dapat dilakukan di lahan yang sama akan dapat terjawab. Melalui metode Stochasic Frontier faktor-faktor yang diduga akan mempengaruhi besarnya tingkat efisiensi teknis yang akan dicapai dapat ditangkap dan dijelaskan dengan bantuan model ekonometrika. Sementara faktor-faktor penyebab ketidakefisienan juga dapat ditangkap pada saat bersamaan. Selain itu dapat pula diestimasi apakah inefisiensi disebabkan oleh random error dalam proses pengumpulan data dan sifat dari beberapa variabel yang tidak dapat terukur atau disebabkan oleh faktorfaktor yang menyebabkan terjadinya inefisiensi dalam suatu proses produksi. Mengingat dalam penelitian ini nantinya akan menggunakan stochastic frontier sebagai alat analisis maka ada baiknya studi-studi tentang penelitian yang menggunakan alat analisis yang sama dipaparkan terlebih dahulu, diantaranya adalah Daryanto (2000),
Battese et al. (2001) dan Seyoum et al. (1996) sama-
sama menggunakan analisis stochastic frontier untuk menganalisis efisiensi dengan menggunakan fungsi produksi yang berbeda. Penelitian Daryanto (2000), menganalisis efisiensi teknis petani padi yang menggunakan beberapa sistem irigasi pada tiga musim tanam yang berbeda di Jawa Barat. Sistem Irigasi yang dibandingkan terdiri dari sistem irigasi teknis, setengah teknis, sederhana dan desa. Fungsi produksi dugaan yang digunakan adalah fungsi produksi translog stochastic frontier dengan model efek inefesiensi teknis terdiri dari : (1) logaritma luas lahan, (2) rasio tenaga kerja yang disewa terhadap total tenaga kerja, dan (3) partisipasi petani di dalam program
intensifikasi. Hasil penelitiannya menunjukkan : (1) model fungsi produksi stochastic frontier yang digunakan, secara signifikan dapat di terima dengan kata lain, fungsi produksi rata-rata tidak cukup menggambarkan efisiensi dan inefisiensi teknis yang terjadi di dalam proses produksi, (2) rata-rata nilai inefisiensi teknis dari petani sampel berada pada kisaran 59 persen hingga 87 persen dan terdapat pada setiap petani sampel di semua sistem irigasi dan musim tanam, dan (3) semua variabel penjelas di dalam model efek inefisiensi teknis fungsi produksi stochastic frontier, secara signifikan mempengaruhi inefisiensi teknis. Battese et al. (2001) menggunakan lima model fungsi produksi stochastic frontier yang berbeda untuk setiap wilayah dan satu model fungsi produksi metaproduction frontier yang merupakan fungsi produksi gabungan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa untuk daerah Jakarta dan batas gabungan (metaproduction frontier), infeisiensi teknis dugaan meningkat seiring waktu, namun untuk daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah, inefisiensi teknis dugaan menurun seiring waktu. Seyoum et al. (1998) melalui penelitiannya menggunakan fungsi produksi stochastic frontier Cobb-Douglas untuk melihat perbandingan efisiensi dan inefisiensi teknis antara dua kelompok petani jagung skala kecil yang mengikuti proyek Sasakawa-Global 2000 (SG 2000) dengan petani jagung yang tidak mengikuti proyek tersebut di beberapa district di negara Etiopia bagian Timur. Variabel bebas yang digunakan dalam model stochastic frontier mereka adalah jumlah hari kerja petani, jumlah hari kerja ternak (Bagi petani SG 2000) dan jumlah hari kerja traktor (bagi petani di luar SG 2000) serta variabel boneka kabupaten (district). Sementara itu untuk melihat efek inefisiensi teknis mereka
membentuk model efek inefisiensi teknis terpisah dengan memasukkan variabelvariabel berikut : umur, lamanya pendidikan dan keikutsertaan petani dalam pendidikan keterampilan lainnya sebagai variabel penjelas. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa hasil batas dari petani SG 2000 antara satu district dengan district yang lainnya tidak berbeda secara signifikan dibandingkan petani di luar SG 2000. Sedangkan dari sisi efek inefisiensi teknis, ditemukan bahwa umur petani mempengaruhi efisiensi teknis petani baik pada petani SG 2000 maupun petani diluarnya. Petani yang lebih muda secara teknis lebih efisien dibandingkan petani yang lebih tua. Sementara itu efek lama pendidikan berpengaruh positif terhadap efisiensi teknis pada petani SG 2000 dan tidak berpengaruh sama sekali pada petani di luarnya.Petani yang lebih muda secara teknis lebih efisien dibandingkan petani yang lebih tua Satria (2003) tentang Kajian Efisiensi Teknis Usahatani Padi Sawah pada Petani Peserta Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) di Sumatera Barat menggunakan fungsi produksi stochastic frontier Cobb-Douglas. Fungsi produksi ini dipilih dengan pertimbangan mampu menggambarkan kondisi usahatani padi sawah pada lokasi penelitian. Variabel nitrogen, tenaga kerja, insektisida, irigasi dan SLPHT memberikan pengaruh nyata dengan arah yang positif terhadap produksi. Rodentisida berpengaruh nyata dengan tanda negatif terhadap produksi. Peningkatan produksi padi di Propinsi Sumatera Barat dapat dilakukan dengan cara mengoptimumkan penggunaan input. Hasil perhitungan efisiensi teknis di antara petani anggota SLPHT sebesar 66 persen menunjukkan bahwa peluang untuk meningkatkan efisiensi teknis usahatani sebesar 34 persen jika dibandingkan dengan praktek dari petani terbaik (the best farmers practice).
Swastika (1996) menggunakan fungsi produksi frontier stochastic translog untuk mengukur perubahan teknologi dan perubahan efisiensi teknis serta kontribusinya terhadap pertumbuhan produktivitas faktor total pada padi sawah irigasi di Jawa Barat. Variabel penjelas yang disertakan dalam model ini adalah vektor input yang terdiri dari benih, pupuk, pestisida, tenaga kerja, dan penggunaan traktor, serta dummy waktu sebagai proxy dari perubahan teknologi tahun 1988 dan 1992. Pendugaan fungsi produksi frontier dilakukan dengan metode Maximum Likelihood Estimation (MLE). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan teknologi dari tahun 1980 sampai 1988 sebesar 42.72 persen. Dalam periode yang sama, efisiensi teknis turun sebesar 2 persen. Oleh karena itu, pertumbuhan produktivitas faktor totalnya adalah sebesar 40.74 persen. Sebaliknya, dari tahun 1988-1992 terjadi penurunan produksi frontier sebesar 51.57 persen dari kenaikan efisiensi teknis sebesar 2.06 persen. Pada periode tersebut, pertumbuhan produktivitas faktor total adalah sebesar 49.51 persen. Kenaikan produktivitas faktor total dari tahun 1980-1988 diduga disebabkan oleh perbaikan tingkat penerapan teknologi dari awal INSUS sampai SUPRA INSUS. Setelah SUPRA INSUS, tidak ada lagi terobosan teknologi baru, baik dari segi kultur teknis maupun varietas baru yang berpotensi hasil melebihi varietasvarietas sebelumnya. Selain stagnasi teknologi, juga disebabkan penurunan genetik varietas-varietas yang ada, penurunan kualitas dan kesuburan tanah dan serangan hama pada musim tanam 1992.