II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Definisi Hutan Tanaman Rakyat Hutan
Tanaman
Rakyat
merupakan
salah
satu
bentuk
kebijakan
Kementerian Kehutanan untuk memberikan hak akses bagi masyarakat dalam mengelola hutan negara.
Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
berdasarkan pada Peraturan Pemerintah No 6/2007 jo PP No.3/2008. Pasal 37 pada PP 6/2007 berbunyi ”Pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman pada hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf d dapat dilakukan pada : a. HTI (Hutan Tanaman Industri); b. HTR (Hutan Tanaman Rakyat); atau c. HTHR (Hutan Tanaman Hasil Reboisasi)”. Definisi Hutan Tanaman Rakyat menurut Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2007 adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumberdaya hutan (Bab 1 pasal 1 ayat 19). Hutan tanaman secara umum didefinisikan sebagai tegakan hutan yang dibangun melalui kegiatan penanaman dalam rangka proses penghijauan atau penghutanan kembali (FAO 2001; Carley & Holmgren 2003; Farrelly 2007; Schirmer 2007). Evans (1992) mendefinisikan hutan tanaman sebagai hutan yang dibangun dan dikelola melalui kegiatan permudaan buatan atau penaburan/penanaman bibit pohon dengan sengaja (artificial forest atau man-made forest).
Hutan
tanaman merupakan tegakan hutan dan pohon berkayu jenis tertentu yang ditanam secara khusus untuk keperluan penyediaan kayu bakar dan bahan baku untuk industri pengolahan kayu, atau menyediakan jasa untuk mencegah erosi, konservasi tanah dan sebagainya.
Hutan tanaman merupakan sumber daya
yang tumbuh (growing resources) yang tidak dapat dibiarkan tumbuh tanpa memeliharanya. Pemeliharaan yang sesuai dan pada saat yang tepat, dapat mengarahkan pertumbuhan tegakan agar mendapatkan hasil akhir yang diinginkan, baik dalam kualitas maupun kuantitasnya. Karenanya pertimbangan dalam pemilihan jenis pohon yang ditanam umumnya terbatas dan memiliki karakteristik khas, seperti cepat tumbuh, persyaratan pengelolaan yang tidak rumit dan produktivitas yang tinggi.
12
Hutan tanaman telah dijadikan cara untuk menghasilkan kayu bulat sekaligus mengurangi deforestrasi.
FAO (2001) menyatakan bahwa 48%
pembangunan hutan tanaman dilakukan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku bagi industri pengolahan kayu (industri pulp & paper dan industri penggergajian), 26% untuk keperluan non industri (bangunan rumah tangga, kayu bakar, konservasi air dan tanah, dan lainnya). Pengembangan hutan tanaman di Indonesia pada awalnya merupakan bagian kegiatan penghijauan dan rehabilitasi dengan tujuan utama memperbaiki keadaan areal kritis dalam daerah-daerah sumber air, serta menggunakan jenis cepat tumbuh seperti kalianda (Caliandra spp.), sengon (Paraserianthes falcataria), Eukaliptus (Eucalyptus deglupta; E.uropylla), akasia (Acacia spp), dan lainnya. Seiring dengan semakin menurunnya kemampuan hutan alam untuk memasok kebutuhan bahan baku untuk industri pengolahan kayu, maka pembangunan hutan tanaman semakin tumbuh dan berkembang, khususnya guna memasok kebutuhan industri pulp (Kartodihardjo & Supriono 2000; FAO 2001, Ngadiono 2004).
2.2 Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang mulai digulirkan tahun 2007 merupakan produk kebijakan Kementerian Kehutanan untuk memberikan akses kepada masyarakat dalam mengelola hutan produksi (milik negara). Pemerintah memberikan pengakuan kepada masyarakat yang menjadi peserta program HTR dengan aspek legal berupa Surat Keterangan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK HTR). Dalam tataran pembangunan nasional, kebijakan ini terkait dengan tiga agenda strategi ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu (2004-2009) yaitu agenda pertumbuhan ekonomi (pro-growth), penyediaan lapangan kerja (pro-job), dan pengentasan kemiskinan (pro-poor). Hutan Tanaman Rakyat merupakan bentuk kebijakan operasional dari revitalisasi industri kehutanan.
HTR dimaksudkan
untuk menambah sumber pemasok bahan baku kayu bagi industri kehutanan. Selain itu HTR juga ditujukan sebagai upaya pembangunan kehutanan yang berpihak pada masyarakat, dengan memberikan peluang usaha dan bekerja sebagai pengelola sumber daya hutan (Emila & Suwito 2007) Kawasan hutan yang dapat menjadi sasaran lokasi HTR adalah hutan produksi yang tidak produktif, tidak dibebani izin/hak lain, dan letaknya
13
diutamakan
dekat
dengan
industri
hasil
hutan
serta
telah
ditetapkan
pencadangannya sebagai lokasi HTR oleh Menteri Kehutanan. Luas lahan hutan produksi yang dicadangkan untuk HTR adalah 5,4 juta ha dengan kategori lahan hutan bekas tebangan (LOA=logged over area) dan lahan hutan terdegradasi (degraded forest land).
Lokasi HTR ditetapkan oleh KementerianKehutanan
dengan proses konsultasi bersama pemerintah daerah. Tabel 1 menyajikan data rencana pembangunan HTR melalui pencadangan alokasi lahan hutan untuk kegiatan HTR periode 2007 – 2010 yang bersumber dari Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan. Target penanaman HTR ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan mulai tahun 2007 seluas 200.000 ha setiap tahun dan diharapkan pada tahun 2016 seluruh areal pencadangan HTR dapat tertanami Tabel 1 Alokasi lahan untuk HTR periode 2007 – 2010 No
Tahun
Luas Lahan
Jumlah Kepala Keluarga
(Ha)
(KK)
1.
2007
1.400.000
93.333
2.
2008
1.400.000
93.333
3.
2009
1.400.000
93.333
4.
2010
1.200.000
80.000
Total
5.400.000
360.000
(sumber : Emila & Suwito 2007)
Untuk mengantisipasi masalah permodalan dalam pembangunan HTR, masyarakat diberi kesempatan untuk memperoleh pinjaman modal kepada Badan Layanan Umum (BLU) Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan. Bantuan modal yang diberikan kepada masyarakat sebesar Rp 8 juta per ha. Jumlah kepala Keluarga yang akan terlibat dalam program ini diperkirakan sebanyak 360.000 KK (Dephut 2007). Ada 3 pola yang dikembangkan dalam pelaksanaan program HTR, yaitu; pola kemitraan, pola mandiri, dan pola developer (Permenhut P.23/2007 pasal 5). 1. HTR Pola Mandiri dilakukan berdasarkan inisiatif masyarakat setempat dengan membentuk kelompok kemudian mengajukan izin.
Pemerintah
kemudian mengalokasikan areal dan SK IUPHHK-HTR untuk setiap individu dalam kelompok dan masing-masing ketua kelompok bertanggung jawab atas pelaksanaan HTR, pengajuan kredit, pasar, dan pendampingan dari pemerintah/Pemda.
14
Proses penyelenggaraan kegiatan HTR dengan pola mandiri, melalui 6 ketentuan sebagai berikut : 1) Pencadangan lokasi HTR oleh Menteri Kehutanan; 2) Penerbitan IUPHHK-HTR kepada perorangan atau koperasi, perorangan
diutamakan
membentuk
kelompok
untuk
memudahkan
pelayanan dalam proses permohonan izin dan pinjaman biaya pembangunan HTR; 3) Ketua kelompok mengkoordinir pelaksanaan HTR, pengajuan dan pengembalian pinjaman, pemasaran hasil hutan tanaman rakyat serta kegiatan lain termasuk pendampingan anggota kelompok dari Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Lembaga Swadaya Masyarakat; 4) Pembangunan HTR dilaksanakan sendiri oleh pemegang Izin (perorangan atau koperasi) dengan biaya sendiri baik yang berasal dari modal sendiri atau dana pinjaman; 5) Akad kredit untuk modal yang berasal dari pinjaman dilakukan atas nama perorangan atau koperasi; 6) Petani mengangsur pokok dan bunga sampai dengan lunas setelah panen. 2. HTR Pola Kemitraan: Masyarakat setempat membentuk kelompok diajukan oleh Bupati kepada Menteri Kehutanan. Pemerintah kemudian menerbitkan SK-IUPHHK-HTR dan menetapkan mitra.
Mitra bertanggung jawab atas
pendampingan, input/modal, pelatihan dan pasar. Beberapa tahapan yang dilalui dalam pelaksanaan HTR pola kemitraan adalah sebagai berikut : 1) Pencadangan lokasi HTR oleh Menteri Kehutanan; 2) Penerbitan IUPHHK-HTR kepada perorangan atau koperasi; 3) Penentuan mitra (BUMN, BUMS, BUMD, atau industri) dengan difasilitasi oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; 4) Pembuatan perjanjian kerja antara pemegang IUPHHK-HTR dengan mitra difasilitasi oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah; 5) Pembangunan HTR dilaksanakan oleh pemegang izin dengan biaya dari mitra; 6) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi kegiatan kemitraan HTR agar terselenggara kemitraan yang menguntungkan kedua belah pihak; 7) Perusahaan mitra bertanggung jawab atas saprodi, pelatihan, pendampingan dan pemasaran; 8) Perjanjian kerjasama kemitraan harus fleksibel agar bisa mengakomodir perubahan. 3. HTR pola developer; BUMN atau BUMS sebagai developer membangun hutan tanaman rakyat dan selanjutnya diserahkan oleh pemerintah kepada masyarakat sebagai pemegang IUPHHK-HTR yang selanjutnya biaya pembangunnannya diperhitungkan sebagai pinjaman pemegang IUPHHKHTR dan dikembalikan secara bertahap sesuai akad kredit.
15
Beberapa ketentuan dalam pembangunan HTR pola developer adalah : 1) Pencadangan lokasi HTR oleh Menteri Kehutanan; 2) Penerbitan IUPHHKHTR kepada perorangan atau koperasi; 3) Penunjukkan developer oleh pemegang izin dengan difasilitasi oleh Pemerintah; 4) Permohonan kredit kepada BLU Pusat P2H (kesepakatan dengan pemegang izin dan diketahui oleh Bupati); 5) Akad kredit dengan developer; 6) Pembangunan HTR oleh developer (sampai dengan akhir masa pembangunan sesuai daur atau hanya sampai tahun ketiga); 7) Penilaian tanaman dalam rangka konversi oleh tim penilai independen satu tahun sebelum pengalihan akad kredit; 8) Pengalihan akad kredit dari developer kepada petani pemegang izin difasilitasi oleh Pemerintah; 9) Petani mengangsur pokok dan bunga sampai dengan lunas setelah panen; 10) Petani melanjutkan sendiri pembangunan HTR pada rotasi II dan seterusnya.
2.3
Peraturan Perundangan Bidang Hutan Tanaman Rakyat Nugroho (2009) menyatakan bahwa paling tidak terdapat 6 peraturan dan
perundang-undangan yang secara langsung terkait dengan pembangunan HTR, yaitu: 1) Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; 2) Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan jo. Nomor 3 Tahun 2008; 3) Permenhut No P. 23/Menhut-II/2007 tentang Tata Cara Permohonan IUPHHK pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman diubah dengan Permenhut No. P.5/Menhut-II/2008; 4) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.62/MenhutII/2008 tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri dan Hutan Tanaman Rakyat (perubahan terakhir dari Permenhut P.9/Menhut-II/2007 dan P.41/Menhut-II/2007); 5) Permenhut No. P.9/Menhut-II/2008 tentang Persyaratan Kelompok Tani untuk Mendapatkan Pinjaman
Dana
Bergulir
Pembangunan
HTR;
dan
6)
Permenhut
No.
P.16/Menhut-II/2008 tentang Kriteria Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan Koperasi
yang
dapat
memperoleh
fasilitas
kredit/pembiayaan
dengan
penjaminan Peraturan perundangan tersebut pada umumnya menekankan kepada pengaturan mekanisme pencadangan areal, permohonan IUPHHK-HTR, hak dan kewajiban, dan sanksi-sanksi seperti diuraikan dalam bagian selanjutnya dari sub bab berikut ini.
16
2.3.1. Mekanisme pencadangan areal HTR Program HTR ditempuh melalui proses awal berupa pencadangan lokasi kegiatan. Mekanisme pencadangan lokasi diatur dalam Permenhut P.05/2008 yang merupakan perubahan atas Permenhut Nomor P.23/2007. Mekanisme pencadangan areal HTR dilakukan dengan tahapan sebagaimana disajikan pada Gambar 1 dan diuraikan pada Tabel 2.
Gambar 1 Mekanisme pencadangan areal HTR (P.05/2008) Tabel 2. Uraian mekanisme pencadangan areal HTR No. Uraian 1 dan 1A
Kepala Badan Planologi atas nama Menteri kehutanan menyiapkan dan menyampaikan peta arahan indikatif lokasi HTR kepada Bupati dengan tembusan kepada Dirjen BPK, Sekjen, Gubernur, Kadishut Provinsi, Kadishut Kabupaten/Kota, dan kepala BPKH (Balai Pemantapan Kawasan Hutan)
2
Kepala BPKH memberikan asistensi teknis perpetaan kepada Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten/Kota berdasarkan petunjuk teknis yang ditetapkan oleh Kepala Badan Planologi
3
Kadishut Kabupaten/Kota menyampaikan pertimbangan teknis kawasan areal tumpang tindih perizinan, tanaman reboisasi dan rehabilitasi, dan program pembangunan daerah Kabupaten/Kota kepada Bupati/Walikota, dilampiri peta alokasi HTR skala 1 : 50.000
4 dan 4A
Berdasarkan pertimbangan teknis Kadishut, Bupati/Walikota menyampaikan rencana pembangunan HTR kepada Menhut dilampiri peta usulan lokasi HTR skala 1 : 50.000 dtembuskan kepada Dirjen BPK dan Kepala Badan Planologi
5
Kepala Badan Planologi melakukan verifikasi peta usulan lokasi HTR yang disampaikan oleh Bupati/Walikota dan menyiapkan konsep peta pencadangan areal HTR , hasilnya disampaikan kepada Dirjen BPK
6
Dirjen BPK melakukan verifikasi rencana pembangunan HTR yang disampaikan oleh Bupati/Walikota dari aspek teknis dan menyiapkan konsep Keputusan Menhut tentang alokasi areal HTR dilampiri konsep peta pencadangan areal
7 dan 7A
Menhut menerbitkan SK pencadangan areal, disampaikan kepada Bupati/Walikota ditembuskan kepada Gubernur. Selanjutnya Bupati/walikota melakukan sosialisasi ke desa-desa
17
Proses
pencadangan
(Nugroho 2009).
areal
HTR
melibatkan
9
lembaga/organisasi
Berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat bahwa tahapan yang
dilakukan terdiri dari 7 langkah. Sementara itu, terhadap mekanisme yang sama Nugroho (2009) melakukan pendekatan berbeda sehingga menyatakan bahwa langkah yang harus ditempuh dalam proses pencadangan areal HTR ini terdiri dari 29 tahapan, sebagaimana digambarkan secara rinci dalam Lampiran 1. Analisis Nugroho (2009) terhadap proses mekanisme pencadangan areal HTR merinci secara detail tahapan kegiatan dan memperhitungkan proses tembusan surat sebagai aktivitas yang perlu dipertimbangkan.
Kegiatan tersebut pada
kenyataannya menjadi panjang dan membutuhkan waktu yang lama. Proses ini menjadi salah satu titik simpul penyebab keterlambatan proses pelaksanaan kegiatan HTR di lapangan (Gumilar 2010)
2.3.2
Permohonan IUPHHK HTR Tata cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu HTR
ditetapkan dengan Peraturan Menteri Kehutanan No.23/Menhut-II/2007 yang kemudian diperbaharui dengan Permenhut No. P.5 Menhut-II/2008. Mekanisme perizinan HTR melalui tahapan administrasi seperti disajikan pada Gambar 2, dan Tabel 3 menyajikan keterangan proses permohonan IUPHHK-HTR
Gambar 2 Tata cara permohonan IUPHHK-HTR berdasarkan Permenhut P.23/Menhut-II/2007 jo. Permenhut P 5/Menhut-II/2008
18
Tabel 3 Tata cara permohonan IUPHHK HTR Kegiatan
Uraian
1
Pemohon (perorangan atau kelompok atau koperasi) mengajukan permohonan IUPHHK HTR kepada Bupati melalui kepala Desa, pada areal yang telah dialokasikan dan ditetapkan oleh Menhut untuk pembangunan HTR
2
Berdasarkan permohonan IUPHHK-HTR Kepala Desa melakukan verifikasi keabsahan persyaratan permohonan dan membuat rekomendasi kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada camat dan kepala Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi (BP2HP)
3
Kepala BP2HP berdasarkan tembusan dari kepala Desa melakukan verifikasi administratif dan sketsa/peta areal yang dimohon dengan berkoordinasi dengan BPKH (Balai Pemantapan Kawasan Hutan) dan hasilnya disampaikan kepada Bupati sebagai pertimbangan teknis
4
Berdasarakan rekomendasi Kepala Desa dan pertimbangan teknis dari Kepala BP2HP Bupati/Walikota atas nama Menteri Kehutanan menerbitkan Keputusan IUPHHK HTR dilampiri peta areal kerja skala 1:50.000 kepada pemohon dengan tembusan kepada Menhut, Dirjen BPK, Kepala Baplan dan Gubernur
Analisis yang dilakukan oleh Nugroho (2009) terhadap proses tersebut memperlihatkan bahwa untuk permohonan IUPHHK-HTR melibatkan 10 lembaga/organisasi kehutanan dan non-kehutanan dengan 29 langkah/kegiatan yang harus ditempuh. Gambaran detail tentang hasil analisis tersebut disajikan pada Lampiran 2. Serupa dengan kegiatan pencadangan lahan HTR, proses pengajuan IUPHHK-HTR pun dinilai rumit. Oleh karenanya aspek tersebut dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Kementerian Kehutanan untuk melakukan penyederhanaan birokrasi perizinan (Gumilar 2010) 2.3.3
Hak, kewajiban dan sanksi peserta HTR Hak pemegang IUPHHK-HTR sebagaimana diatur dalam Permenhut
P.23/Menhut-II/2007 jo. P.5/Menhut-II/2008 pasal 19 terdiri dari 4 hal, yaitu : 1) dapat melakukan kegiatan penanaman hutan di areal hutan produksi sesuai izin, 2)
mendapatkan
kemudahan
fasilitas
pendanaan
untuk
pembiayaan
pembangunan HTR, 3) mendapatkan bimbingan dan penyuluhan teknis, serta 4) mendapatkan peluang ke pemasaran hasil hutan. Sementara itu kewajiban pemegang IUPHHK-HTR diuraikan dalam Permenhut tersebut pada pasal 20.
Pada dasarnya terdapat 2 kewajiban
19
pemegang yang dicantumkan dalam pasal tersebut, yaitu : 1) pemegang IUPHHK-HTR wajib menyusun RKU IUPHHK-HTR dan RKT yang dapat dilaksanakan oleh UPT, konsultan, atau LSM dengan biaya yang dibebankan kepada pemerintah; 2) dalam hal pemegang IUPHHK HTR-meminjam dana pembangunan HTR kepada BLU maka berkewajiban untuk melunasi pinjaman tersebut. Selain kewajiban yang tercantum dalam Permenhut P.23/2007, pemegang IUPHHK-HTR juga dikenai kewajiban sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 jo PP 23/2008 pasal 75 (Nugroho 2009). Terdapat 9 kewajiban yang harus dipatuhi pemegang IUPHHK-HTR, yaitu : 1) melaksanakan penatausahaan hasil hutan; 2) melakukan pengukuran atau pengujian hasil hutan; 3) melaksanakan sistem silvikultur sesuai lokasi dan jenis tanaman yang dikembangkan; 4) menyediakan dan memasok bahan baku kayu kepada industri hasil hutan; 5) melakukan penanaman paling rendah 50% (lima puluh perseratus) dari luas areal tanaman, bagi pemegang IUPHHK pada HTI dalam hutan tanaman berdasarkan daur dalam waktu paling lambat 5 (lima) tahun sejak diberikannya izin; 6) menyusun rencana kerja usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (RKUPHHK) jangka panjang untuk seluruh areal kerja paling lambat 1 (satu) tahun setelah izin diberikan untuk diajukan kepada bupati atau pejabat yang ditunjuk guna mendapatkan persetujuan; 7) menyusun rencana kerja tahunan (RKT) diajukan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum RKT tahun berjalan, 8) melaksanakan RKT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b yang menjadi wewenang dan tanggung jawabnya bila telah memenuhi kriteria dan indikator yang ditetapkan oleh Menteri, tanpa memerlukan pengesahan dari pejabat yang berwenang (self approval; 9) menyampaikan laporan kinerja secara periodik kepada Menteri. Jika pemegang IUPHHK-HTR tidak dapat melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan diatas, maka terdapat sanksi yang dapat diterapkan. Ketentuan mengenai sanksi - sanksi yang dapat diberlakukan kepada pemegang IUPHHKHTR dan jenis sanksinya disajikan pada Tabel 4.
20
Tabel 4. Ketentuan mengenai sanksi bagi pemegang IUPHHK-HTR Jenis sanksi Penghentian sementara pelayanan administrasi
Kewajiban yang dilanggar
Keterangan
Menyusun rencana kerja untuk seluruh areal kerja sesuai jangka waktu berlakunya izin berdasarkan rencana pengelolaan hutan yang disusun oleh KPH Melaksanakan perlindungan hutan di areal kerjanya
PP 6/2007 Pasal 71 (a)
Melaksanakan perlindungan hutan di areal kerjanya
Pasal 71 (d)
Menyusun rencana kerja usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (RKUPHHK) jangka panjang untuk seluruh areal kerja paling lambat 1 (satu) tahun setelah izin diberikan untuk diajukan kepada bupati atau pejabat yang ditunjuk guna mendapatkan persetujuan
Pasal 75 (a)
Penghentian sementara kegiatan
Menggunakan peralatan pemanfaatan hasil hutan yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku
PP 6/2007 Ps 71 (h)
Denda sebesar 15x PSDH
Menebang kayu untuk pembuatan koridor sebelum ada izin atau tidak sesuai dengan izin pembuatan koridor
PP 6/2007 Ps 75 (5 h)
Pengurangan jatah produksi
Menyusun rencana kerja tahunan (RKT) diajukan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum RKT tahun berjalan
PP 6/2007 Ps 75 (3 b)
Pencabutan izin
Izin pemanfaatan hutan dipindahtangankan tanpa mendapat persetujuan tertulis dari pemberi izin
PP 6/2007 Ps 20 (1)
Areal izin pemanfaatan hutan dijadikan jaminan, agunan, atau dijaminkan kepada pihak lain
Ps 20 (2)
Tidak melaksanakan kegiatan nyata di lapangan untuk paling lambat 1 (satu) tahun untuk IUPHHK dalam hutan alam, IUPHHK restorasi ekosistem dalam hutan alam maupun hutan tanaman
Ps 71 (b angka 3)
Tidak membayar iuran atau dana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
Ps 71 (i))
Meninggalkan areal kerja
Ps 75 (5b)
Melanggar ketentuan dimaksud dalam Pasal 78
pidana
sebagaimana
UU 41 1999
Dinyatakan pailit oleh pengadilan negeri Sumber : Nugroho (2009)
Berdasarkan uraian pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa sanksi yang dikenakan bagi pemegang IUPHHK HTR merujuk pada aturan setingkat Peraturan Pemerintah, yaitu PP 6/2007 jo PP 23/2008.
Peraturan Menteri
Kehutanan yang khusus mengatur HTR yaitu Permenhut P.23/Menhut-II/2007 jo P.05/2008 tidak secara implisit menyatakan ketentuan mengenai sanksi. Pasal
21
23 dan 24 pada Permenhut tentang HTR mengatur mengenai hapusnya Izin Usaha HTR.
Izin usaha HTR hapus karena beberapa sebab, yaitu :
1) dikembalikan oleh pemegang izin; b) dicabut oleh pemberi izin; c) berakhirnya masa berlaku izin, dan d) meninggalnya pemegang izin HTR perorangan.
2.4
Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan merupakan model pembangunan yang
berusaha mengintegrasikan tiga aspek yakni pertumbuhan ekonomi, kelestarian lingkungan dan kesejahteraan sosial.
Model pembangunan ini menjadi acuan
untuk penyusunan model konseptual kebijakan Hutan Tanaman Rakyat. Adham (2010) menyatakan bahwa kegagalan program pembangunan berkelanjutan di Indonesia disebabkan karena kurangnya integrasi dari ketiga aspek tersebut. Aspek ekonomi seringkali lebih mendominasi sementara aspek lingkungan dan sosial kemasyarakatan tidak jarang terabaikan. Pembangunan HTR diarahkan untuk dapat menyeimbangkan baik aspek ekonomi melalui pertumbuhan produktivitas lahan hutan, aspek ekologi lingkungan melalui terpeliharanya kondisi lahan hutan, maupun aspek sosial kemasyarakatan melalui pelibatan masyarakat sekitar hutan. Konsepsi tentang pembangunan berkelanjutan muncul sebagai perwujudan dari keprihatinan masyarakat dunia terhadap aktifitas manusia yang berdampak pada lingkungan. Keprihatinan tersebut berkembang menjadi kesepakatan politik internasional untuk mengarahkan pembangunan menjadi pembangunan yang berkelanjutan.
Definisi pembangunan berkelanjutan untuk pertama kalinya
didiskusikan dalam World Conservation Strategy (IUCN 1980). Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang mempertimbangkan faktor sosial, ekologi dan ekonomi, basis sumber daya biotik dan abiotik, keuntungan dan kerugian tindakan yang akan dilakukan dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Selanjutnya berkembang definisi pembangunan berkelanjutan yang lebih luas, WCED (1987) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai kemampuan
manusia
yang
memastikan
bahwa
pemenuhan
kebutuhan
masyarakat generasi sekarang dapat dipenuhi tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Barbier (1987) menekankan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan yang diaplikasikan di negara sedang berkembang seharusnya tidak secara
22
langsung terkait dengan pertumbuhan agregat ekonomi nasional, tetapi lebih diarahkan secara langsung untuk meningkatkan standar hidup penduduk miskin di akar rumput yang dapat diukur dengan pemenuhan kebutuhan pangan, peningkatan pendapatan, penyediaan akses terhadap pendidikan, kesehatan, sanitasi dan suplai air bersih. Goodland
&
Ledoc
(1987)
mendefinisikan
konsep
pembangunan
berkelanjutan sebagai pembangunan atau transformasi struktur ekonomi dan pola sosial yang mengoptimalkan manfaat ekonomi dan sosial bagi generasi sekarang tanpa mengurangi potensi manfaat serupa untuk generasi yang akan datang. Tujuan utama dari pembangunan berkelanjutan adalah untuk mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang terdistribusi secara adil dan dapat dipertahankan secara berkelanjutan untuk beberapa generasi mendatang. Sejak sekitar tahun 1990, perubahan kondisi objektif ekosistem global, seperti pemanasan iklim global, penipisan lapisan ozon, kerusakan sumber daya terbarukan
dan
kerusakan
komponen
lingkungan
lainnya
menyebabkan
masyarakat dunia semakin yakin untuk mengarahkan kegiatan ekonomi global menuju ke arah pembangunan berkelanjutan.
Isu lingkungan hidup dan
pembangunan diangkat pada KTT Bumi di Rio de Janeiro pada tahun 1992 (UNCED 1992). Kesepakatan
internasional
untuk
mempromosikan
pembangunan
berkelanjutan tertuang dalam Agenda 21 yang berisikan kesepakatan dan program kerja global yang intinya menyepakati bahwa pembangunan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dengan pembangunan lingkungan itu sendiri. Partisipasi aktif dari seluruh pihak dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan merupakan salah satu kunci keberhasilan dari pembangunan.
Evaluasi terhadap
pelaksanaan Agenda 21 dilakukan pada pertemuan dunia tentang pembangunan berkelanjutan diselenggarakan
(World di
Summit
Johannesberg
on
Sustainable
pada
tahun
Development)
2002.
yang
Pertemuan
ini
menghasilkan tiga dokumen penting, yaitu: 1) Deklarasi Johannesberg untuk pembangunan berkelanjutan, yang memuat tantangan dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan dan komitmen dunia internasional untuk menghadapinya. 2) Rencana implementasi (Plan of Implementation), yang memuat upaya-upaya yang harus dilakukan oleh masing-masing negara berdasarkan prinsip bahwa
23
setiap negara memiliki tanggung jawab yang sama dengan porsi yang berbeda. Millenium Development Goals (MDGs) merupakan dokumen acuan untuk rencana implementasi. 3) Dokumen kerjasama, yang dimaksudkan untuk mempercepat pembangunan berkelanjutan merata secara internasional melalui dukungan negara maju dan lembaga internasional. Prinsip keberkelanjutan menurut Schleicher-Tappeser et al. (1997) terdiri dari 3 dimensi, yaitu: 1) Dimensi pembangunan, yang mencakup tiga hal, yaitu: a) menghargai integritas ekologi dan warisan budaya lingkungan manusia (dimensi lingkungan),
b)
pemenuhan
kebutuhan
manusia
melalui
efisiensi
pemanfaatan sumber daya (dimensi ekonomi), dan c) konservasi dan pengembangan manusia dan potensi sosial (dimensi sosial budaya). 2) Dimensi keadilan, yang mencakup: a) kesetaraan sosial dan gender (kesetaraan antar manusia), b) kesetaraan antar wilayah dan negara (kesetaraan spasial), dan c) kesetaraan antar generasi sekarang dan yang akan datang. 3) Prinsip-prinsip sistemik, yang mencakup keanekaragaman, subsidiaritas, kemitraan dan partisipasi. Konsep keberlanjutan terbaru dinyatakan dalam Comhar (2007) yang menekankan
upaya
implementasi
keberlanjutan
pembangunan
dengan
memperhatikan tujuh tema, yaitu: 1)
Kepuasan pemenuhan kebutuhan manusia dengan efisiensi penggunaan sumber daya
2)
Keadilan antar generasi
3)
Menghargai integritas ekologi dan keanekaragaman hayati
4)
Keadilan antar negara dan daerah
5)
Keadilan sosial
6)
Menghormati warisan dan keanekaragaman budaya
7)
Pengambilan keputusan yang baik Konsepsi pembangunan berkelanjutan Comhar pada dasarnya melengkapi
model
pembangunan
berkelanjutan
yang
telah
ada
sebelumnya,
yaitu
mempertimbangkan aspek ekonomi, ekologi, dan sosial. Prinsip penting yang dikembangkan Comhar adalah adanya aspek pengambilan keputusan yang baik. Konsep tersebut sangat relevan dengan model pembangunan HTR, karena
24
model HTR terkait dengan pengambilan keputusan di tingkat pemerintah sebagai aktor utama dalam penentuan kebijakan publik. 2.5
Kebijakan publik Kebijakan publik yang dalam kepustakaan internasional disebut public
policy adalah peraturan yang dibuat untuk mengatur kehidupan bersama dalam suatu wilayah negara dan bersifat mengikat. Sebuah kehidupan bersama harus diatur dengan tujuan supaya satu dengan lainnya tidak saling merugikan (Nugroho 2008). Nugroho (2008) telah menginventarisir definisi kebijakan publik, dan mendapatkan 12 definisi tentang kebijakan publik sebagaimana dicantumkan pada Tabel 5. Tabel 5 Definisi kebijakan publik No
Sumber
Definisi
1.
James Anderson (2004)
Tindakan beraturan/sistematis yang dilakukan oleh pelaku kebijakan dalam rangka menyelesaikan suatu permasalahan atau kepentingan
2.
Steven AP (2003) James Lester & Robert Steward (2000,18)
Tindakan pemerintah untuk menyelesaikan suatu masalah
Serangkaian tindakan atau pernyataan tentang suatu tujuan
5.
Austin Ranney (2000) www.cdc.gov
6.
Lib.ucr.edu
7.
Thomas R Dye (1995,2) Willian Jenkins (1978)
3.
4.
8. 9.
Harold Laswell & Abraham Kaplan (1970)
10.
David Easton (1965) Carl I Friederick (1963)
11.
12.
Michael Howlett & M Rammesh (1957) Sumber : Nugroho (2008)
Serangkaian proses atau pola aktivitas pemerintah atau keputusan yang dirancang untuk memperbaiki permasalahan publik
Sejumlah tindakan atau aturan yang mengatur tindakan yang dihasilkan dari pemerintah Proses menuju tercapainya tujuan politik pemerintahan Segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah Keputusan yang diambil oleh pemerintah berupa sejumlah cara atau tindakan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu Kebijakan adalah suatu program yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan tertentu, nilai-nilai tertentu, dan praktik-praktik tertentu akibat dari aktivitas pemerintah Serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, dengan ancaman dan peluang yang ada ditujukan untuk memanfaatkan potensi sekaligus mengatasi hambatan yang ada dalam rangka mencapai tujuan tertentu Fenomena kompleks yang terdiri dari sejumlah keputusan yang dibuat oleh sejumlah individu atau organisasi
25
Definisi tentang kebijakan publik sangat beragam dan terdapat banyak ahli yang
merumuskannya
sesuai
dengan
sudut
pandang
masing-masing.
Keseluruhan definisi yang dikemukakan para ahli tersebut dapat melengkapi satu sama lain. Namun demikian, pengertian kebijakan publik yang sesuai dengan kondisi politik dan pemerintahan di Indonesia dapat dilihat dari definisi yang disampaikan oleh Nugroho (2008).
Kebijakan publik adalah keputusan yang
dibuat oleh pemerintah sebagai strategi untuk merelaisasikan tujuan. Dengan demikian kebijakan publik adalah fakta strategis daripada fakta politis ataupun teknis. Sebagai sebuah strategi, dalam kebijakan publik sudah terangkum preferensi politis dari para aktor yang terlibat dalam proses kebijakan, khususnya pada proses perumusan. Sebagai sebuah strategi, kebijakan publik tidak saja bersifat positif, namun juga negatif, dalam arti pilihan keputusan selalu bersifat menerima salah satu dan menolak yang lain. Meskipun terdapat ruang bagi win-win dan sebuah tuntutan dapat diakomodasi, pada akhirnya ruang bagi win-win sangat terbatas sehingga kebijakan publik lebih banyak pada ranah zero sum game, yaitu menerima alternatif yang satu dan menolak alternatif yang lainnya (Nugroho, 2008). Pendapat ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Sutton (1999) dan IDS (2006) bahwa proses perumusan kebijakan publik terkait dengan pertarungan argumentasi diantara para aktor yang memiliki kepentingan tertentu.
2.6
Analisis Kebijakan dan Riset Kebijakan Analisis kebijakan terkait erat dengan penggunaan beragam teknik untuk
meningkatkan atau merasionalkan proses pembuatan kebijakan. Quade (1982) menyatakan bahwa tujuan utama analisis kebijakan adalah membantu pembuat keputusan untuk membuat pilihan yang lebih baik.
Untuk melakukan hal ini
analisis harus melalui tiga tahap; pertama penemuan, yakni usaha untuk menemukan alternatif yang memuaskan dan terbaik di antara alternatif-alternatif yang tersedia; kedua, penerimaan, yakni membuat temuan itu agar bisa diterima dan dimasukan ke dalam kebijakan atau keputusan: ketiga, implementasi, yakni menerapkan keputusan kebijakan tanpa ada perubahan terlalu banyak yang bisa membuat alternative itu menjadi tidak memuaskan (Parson 2005). Dunn (2004) mengemukakan metodologi analisis kebijakan menyediakan informasi yang berguna untuk menjawab lima pertanyaan; apa hakekat permasalahan? Kebijakan apa yang pernah ada atau pernah dibuat untuk
26
mengatasi masalah dan apa hasilnya? Seberapa bermakna hasil tersebut dalam memecahkan masalah? Alternatif kebijakan apa yang tersedia untuk menjawab, dan hasil apa yang dapat diharapkan. Sering terjadi kerancuan antara analisis kebijakan dan riset atau penelitian kebijakan.
Riset atau penelitian kebijakan menjadi salah satu bidang kajian
penting dalam ilmu sosial.
Namun demikian, ternyata sangat langka
kepustakaan tentang penelitian kebijakan (Nugroho 2008). Pada umumnya antara penelitian kebijakan dan analisis kebijakan tidak dibedakan dengan jelas, bahkan penggunaan kedua istilah ini sering dipertukarkan karena menunjuk pada makna yang sama.
Damin 2005
menyatakan bahwa penelitian kebijakan dapat didefinisikan sebagai kegiatan penelitian yang dilakukan untuk mendukung kebijakan.
Selanjutnya Damin
menyatakan bahwaciri khas penelitian kebijakan terletak pada fokusnya, yaitu berorientasi pada tindakan untuk memecahkan masalah sosial yang unik. Muhadjir (2004) seperti dikutip dalam Nugroho (2008) menyatakan bahwa penelitian kebijakan sama dengan kegiatan analisis kebijakan. Desain penelitian kebijakan merentang dari policy research dan action research; evaluation research mencakup policy evaluation; dan research of program planning. Teknik analisis kebijakan meliputi beragam teknis pengamanan sampai ragam analisis kepentingan publik. Konsep yang cukup relevan untuk memasuki pemahaman tentang penelitian kebijakan, dan membedakan dengan yang lain, adalah konsep Hill dalam The Policy Process (2005). Menggunakan pemikiran Gordon, Lewis, dan Young dalam Perspective on Policy Analysis (1977) dan Hogwood dan Gunn dalam The Policy Orientation (1981), Hill mengemukakan ada dua jenis analisis kebijakan, yaitu analisis tentang suatu (atau beberapa) kebijakan (studies of policies), dan analisis untuk (merumuskan suatu atau beberapa) kebijakan (studies for policies). Hill menyatakan bahwa analisis tentang suatu kebijakan (analysis of policy) meliputi studies of policy contents, studies of policy outputs, dan studies of policy process, sedangkan analisis kebijakan (analysis for policy) meliputi policy evaluation, information for policy making, process advocacy dan policy advocacy. Dari uraian di atas, tampak ada perbedaan antara analisis untuk kebijakan dalam konteks ini adalah analisis kebijakan dengan analisis tentang kebijakan. Analisis tentang kebijakan sejajar atau bahkan dapat dipahami sebagai sinonim
27
dari penelitian atau studi kebijakan-penelitian tentang suatu kebijakan yang sudah ada (Nugroho 2008). Demikian pula, analisis kebijakan berlainan dengan monitoring dan evaluasi kebijakan.
Bahkan, penelitian kebijakan pun berlainan dengan evaluasi
kebijakan.
Perbedaan keempatnya disajikan dalam Tabel 6 dan ilustrasi
mengenai lokus dan ruang kebijakan disajikan pada Gambar 3. Tabel 6 Perbedaan analisis, monitoring, evaluasi, dan penelitian kebijakan Analisis Monitoring Evaluasi Penelitian kebijakan kebijakan Kebijakan kebijakan Pemahaman Penilaian Produk Nasihat, advice, Laporan yang mendalam terhadap perkembangan (output) dan/atau suatu sebagian atau akan (progress report) rekomendasi seluruh dimensi kebijakan kebijakan proses kebijakan Pendekatan Ilmu kebijakan Pragmatis/praktis strategis Metodologis Waktu pelaksanaan (timing)
Pra-kebijakan
Pada saat Pasca (implementasi) kebijakan diimplementasikan kebijakan
Pelaksana
Analis kebijakan
Pengawas program
Lama (durasi)
Sangat pendek Sepanjang hingga pendek implementasi
Pra, implementasi, atau pasca implementasi
Tim evaluasi Lembaga kebijakan keilmuan Menengah
Pendek panjang
hingga
Sumber : Nugroho (2008)
Analisis Kebijakan
Perumusan Kebijakan
Monitoring Kebijakan ImImplementasi Kebijakan
Lingkungan Kebijakan Evaluasi Kebijakan Penelitian Kebijakan
Gambar 3 Lokus dan ruang kebijakan (Nugroho 2008)
Kinerja Kebijakan
Dampak Kebijakan
28
2.7
Analisis Proses Kebijakan Terdapat arus utama dalam analisis proses kebijakan yaitu model linear
(Sutton 1999). Model linier adalah model yang selama ini menjadi arus utama atau banyak dianut dalam melakukan analisis proses perumusan kebijakan. Model linier menekankan bahwa penyusunan kebijakan merupakan sebuah upaya pemecahan masalah yang bersifat rasional, berimbang, obyektif dan analitik. Model Linear berasumsi bahwa pengambilan keputusan diambil sebagai sebuah rangkaian tindakan yang beraturan, dimulai dengan identifikasi masalah, dan diakhiri dengan penentuan tindakan untuk menyelesaikan permasalahan. Tahapan dalam model linear, meliputi: - pengenalan dan pendefinisian sifat/karakter masalah yang harus ditangani - mengidentifikasi tindakan yang memungkinkan untuk mengatasi masalah - mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari masing-masing alternatif - memilih alternatif yang merupakan pilihan terbaik - mengimplementasikan kebijakan - melakukan evaluasi dari pelaksanaan kebijakan
Gambar 4 Model linier kebijakan dari Grindle & Thomas (1990) Asumsi yang digunakan dalam model linear adalah bahwa pembuat kebijakan : melakukan pendekatan terhadap masalah secara rasional, melalui setiap tahapan proses dengan logis, dan mempertimbangkan dengan cermat dan hati-hati berbagai informasi yang relevan. Jika kebijakan tidak mencapai apa yang dimaksudkan untuk dicapai, maka kesalahan seringkali tidak diarahkan
29
pada kebijakan itu sendiri, melainkan pada aspek kegagalan politik atau pengelolaan dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut (Juma & Clark 1995). Kegagalan dapat ditimpakan pada kurangnya ”political will”, kelemahan management atau keterbatasan sumberdaya. Terdapat banyak bukti yang mendukung bahwa model liner sangat jauh dari realitas.
Berikut ini merupakan model-model alternatif sebagai bantahan
terhadap model linear dalam perumusan kebijakan (Sutton 1999) : 1) Model Incrementalis. Pengambil kebijakan mempertimbangkan sejumlah kecil alternatif untuk menyelesaikan masalah dan cenderung untuk memilih alternatif kebijakan yang sedikit berbeda dari kebijakan sebelumnya. Untuk setiap alternatif, hanya konsekuensi yang penting yang dipertimbangkan. 2) Model mixed-scanning. Model ini merupakan pertengahan antara model rasional (linear) dengan incrementalis (Walt 1994). Pada dasarnya model ini membagi kebijakan menjadi makro (fundamental) dan mikro (kecil). Hal ini melibatkan pengambil kebijakan untuk melihat secara lebih luas arena kebijakan. Model rasional/linear berimplikasi pada pertimbangan berbagai kemungkinan secara detail, dan pendekatan incerementalis menyarankan untuk melihat hanya pada pilihan dimana pengalaman sebelumnya telah lebih dulu diketahui. 3) Kebijakan sebagai argumen. Juma dan Clark (1995) menjelaskan pada pendekatan ini
kebijakan
dihasilkan
dari
proses
perdebatan
antara
pemerintah dengan organisasi sosial. Satu pihak mengemukakan gagasan, pihak lain mengkritisi. 4) Kebijakan sebagai eksperimen sosial. Pembaruan kebijakan memperhatikan perubahan sosial sebagai proses uji coba. Proses ini melibatkan hipotesis yang diuji dengan realitas.
Hal ini didasarkan pada pendekatan
eksperimental seperti dalam ilmu pasti (natural sciences) 5) Kebijakan sebagai sebuah proses belajar interaktif. Pendekatan ini berakar dari kritik terhadap kebijakan pembangunan top down yang tidak dihasilkan dari komunitas.
Ide ini digulirkan oleh Chambers (1983; 1994) dengan
metode participatory rural appraisal. IDS (2006) menyatakan bahwa proses kebijakan merupakan suatu proses yang kompleks dengan karakteristik sebagai berikut : 1) bertahap, pembuatan
kebijakan
merupakan
proses
yang
berulang,
berdasarkan
pengalaman, dan belajar dari kesalahan sebelumnya; 2) selalu diwarnai dengan
30
kepentingan yang overlap dan berkompetisi; ada pihak yang diakomodir ada juga yang diabaikan; 3) tidak hanya mempertimbangkan hal teknis, nilai dan fakta sangat berperan penting;
4) para ahi teknis dan pembuat kebijakan secara
bersama-sama terlibat dalam proses membangun kebijakan Berdasarkan karakteristik tersebut, IDS (2006) membangun sebuah kerangka sederhana yang menghubungkan tiga bagian penting dalam proses pembuatan kebijakan, yaitu : 1. Pengetahuan dan diskursus, menjelaskan apa yang menjadi policy naratif (perjalanan perubahan kebijakan secara keseluruhan dari awal hingga akhir) 2. Aktor dan jejaring kerja, menjelaskan siapa yang terlibat dan bagaimana mereka terhubung. 3. Politik dan interest, menjelaskan apa yang menjadi dinamika kekuatan dalam pengambilan keputusan Sutton (1999) mendefinisikan narasi sebagai
”cerita” yang menjelaskan
sebuah kejadian tertentu sehingga memiliki kaitan dengan pengetahuan dan kearifan yang telah dianut dalam pembangunan. Sebuah narasi yang terkenal adalah ”tragedy of the common” (Hardin 1968) yang menceritakan serangkaian kejadian over-eksploitasi pada sebuah padang rumput milik bersama.
Pola
penggunaan padang rumput secara bersama digambarkan akan berakibat pada penurunan kualitas padang rumput sehingga pada akhirnya berubah menjadi gurun tandus.
Berdasarkan keyakinan atas narasi tersebut, maka sistem
pengelolaan terhadap sumberdaya alam milik bersama ditetapkan dengan ketentuan sistem property right (hak kepemilikan) yang jelas.
Hal tersebut
dengan maksud untuk menghindari terjadinya fenomena tragedy of the common. Narasi kebijakan ditujukan untuk mengurutkan suatu interaksi dan proses kompleks yang dicirikan dalam situasi pembangunan. Narasi berfungsi untuk menyederhanakan
situasi,
memperjelas
masalah
dan
menghindarkan
kemenduaan (Roe 1991; 1994). Namun demikian penggunaan narasi kebijakan berdampak pada berkurangnya ruang untuk bermanuver atau ruang kebijakan dari para pembuat kebijakan, yaitu dibatasinya peluang untuk memikirkan alternatif-alternatif kebijakan yang pendekatannya berbeda. Narasi sering dikritisi karena diyakini dapat menyebabkan cetak biru pembangunan, yaitu sebuah resep dari solusi permasalahan yang digunakan pada waktu dan tempat dimana hal tersebut kurang dapat diaplikasikan. Narasi melayani kepentingan suatu kelompok tertentu, biasanya komunitas epistemik
31
atau jaringan kebijakan yang mengusungnya, dan membantu proses pemilikan dari proses pembangunan kepada anggota dari kelompok epistemic community tersebut.
Mereka seringkali mengurangi peran dan kepakaran dari kelompok
lokal (Leach & Mearn 1996; Clay & Schaffer 1984; Roe 1991,1995). Meskipun perdebatan mengenai narasi masih terus berkembang, namun pada kenyataannya narasi masih sangat sering digunakan dalam proses penyusunan kebijakan pembangunan. Leach & Mearns (1996) menjelaskan hal tersebut terjadi karena narasi dianggap sebagai resep atau ”wisdom” yang bersifat melekat kuat pada struktur kelembagaan tertentu dari kelompok jaringan aktor, dan memiliki akar budaya dan sejarah yang kuat. Dalam kaitannya dengan narasi yang digunakan, Sutton juga menyatakan terminologi diskursus (discourse) sebagai alat analisis terhadap kajian latar belakang dirumuskannya sebuah kebijakan.
Sutton (1999) mendefinisikan
diskursus (discource) sebagai ide dasar, konsep atau kategorisasi yang dihasilkan atau dihasilkan kembali, dan ditransformasikan kedalam segenap praktek-praktek dengan cara melalui pemaknaan yang diwujudkan dalam hubungan sosial.
Melalui pemaknaan baru dan tindakan, diskurus memegang
peran penting dalam perubahan kebijakan. Dengan demikian, pada analisis proses proses perumusan kebijakan dilakukan kajian guna mengetahui apa yang menjadi diskursus dalam pembentukan kebijakan HTR.
Informasi tersebut digali dari latar belakang ide
atau landasan pemikiran dirumuskannya kebijakan HTR serta latar belakang situasi dan perjalanan sejarah yang mempengaruhinya.
2.8 Teori Sistem dalam Riset Kebijakan Eriyatno & Sofyar (2007) menyatakan bahwa hasil riset kebijakan yang efektif harus mampu mewujudkan harapan normatif menjadi strategi tindakan yang diperlukan.
Guna mendapatkan strategi yang komprehensif diperlukan
analisis sistemik terhadap permasalahan kebijakan.
Untuk itu diperlukan
pemahaman tentang teori sistem dalam proses penelitian kebijakan. Teori sistem dipelopori oleh Bertalanffy (1968) yang memperkenalkan suatu kerangka konsep dan teori yang dapat ditetapkan pada berbagai bidang ilmu. Kerangka tersebut dikenal sebagai General System Theory yang didasari oleh pemikiran perlunya generalisasi dan pendekatan lintas disiplin dalam memahami dunia nyata secara efisien.
32
Kompleksitas suatu permasalahan yang ditandai dengan keragaman yang begitu besar tidak mungkin dikaji atau dikendalikan oleh satu atau dua metode spesifik saja. Oleh karena itu perlu dicari pemecahan melalui keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh, yang memerlukan suatu kerangka fikir baru yang dikenal dengan pendekatan sistem.
Sistem merupakan suatu
agregasi atau kumpulan objek-objek yang saling menerangkan dalam interaksi dan saling tergantung. Konsep sistem merupakan awal dari studi sistem yang selanjutnya akan didesain dan dievaluasi (Dubrowsky 2004; Eriyatno & Sofyar 2007; Drack 2009). Sistem didefinisikan sebagai sekumpulan komponen-komponen atau unsurunsur yang saling berinteraksi dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja untuk mencapai suatu tujuan atau beberapa tujuan. Pengertian komponen atau unsur adalah benda, baik kongkrit atau abstrak yang menyusun suatu sistem. Tujuan sistem merupakan unjuk kerja sistem yang teramati atau diinginkan. Unjuk kerja dari sistem ditentukan oleh fungsi unsur dan keseluruhan interaksi antar unsur dalam batas lingkungan sistem. Gangguan salah satu unsur akan mempengaruhi unsur lain sehingga mempengaruhi unjuk kerja sistem secara keseluruhan.
Interaksi antar komponen atau unsur merupakan ikatan atau
hubungan antar unsur yang memberi bentuk atau struktur kepada suatu sistem sehingga dapat dibedakan dari sistem lainnya dan interaksi ini mempengaruhi perilaku sistem secara keseluruhan. Dengan demikian, sistem memiliki dua sifat utama yang berkaitan dengan aspek struktur dan aspek perilaku. Struktur sistem berkaitan dengan susunan dan rangkaian diantara elemen-elemen penyusunnya dan perilaku sistem yang berkaitan dengan input dan output sistem (Eriyatno 2003; Muhammadi et al. 2001). Lebih lanjut Marimin (2005) menyebutkan bahwa sebuah sistem
pada
umumnya mempunyai beberapa sifat mendasar, antara lain: 1)
berorientasi kepada tujuan dan dalam proses pencapaian tujuan akan terjadi perubahan yang terus menerus sehingga bersifat dinamis,
2)
satu kesatuan usaha dimana hasil kerja sistem secara keseluruhan melebihi dari jumlah hasil kerja dari masing-masing bagian sistem secara sendirisendiri atau bersifat sinergis,
3)
terbuka terhadap lingkungan, yang berarti bahwa lingkungan merupakan sumber kesempatan ataupun hambatan unjuk kerja sistem,
33
4)
adanya transformasi, yang merupakan proses perubahan input menjadi output yang dilakukan oleh sistem,
5)
interaksi antara bagian maupun subsistem, dan
6)
adanya mekanisme pengendalian, yang menyangkut sistem umpan balik yang merupakan suatu bagian yang memberikan informasi kepada sistem mengenai efek dari perilaku sistem terhadap pencapaian tujuan atau pemecahan masalah yang dihadapi. Pendekatan sistem merupakan suatu pendekatan
cara penyelesaian
persoalan yang sangat berbeda dari pendekatan konvensional.
Pendekatan
konvensional menekankan pada aspek analisis elemen-elemen secara parsial atau tereduksi. Sedangkan pendekatan sistem menekankan pada aspek analisis interaksi elemen dan perilaku sistem secara keseluruhan atau holistik. Pendekatan sistem
dimulai dengan dilakukannya identifikasi kebutuhan-
kebutuhan pemangku kepentingan sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari suatu sistem yang dianggap efektif.
Pendekatan sistem memiliki dua hal
utama, yaitu pencarian semua faktor penting yang terdapat dalam sistem untuk mendapatkan solusi penyelesaian masalah yang baik serta pembuatan suatu model konseptual dan kuantitatif untuk membantu pengambilan keputusan secara rasional (Eriyatno 2003). Menurut Richardson & Pugh (1983) pendekatan sistem untuk formulasi kebijakan
dan
penyelesaian
persoalan
yang
kompleks
terfokus
pada
pemahaman proses interaksi yang terjadi dalam sistem. Hal ini dilandasi oleh filosofi bahwa struktur sistem bertanggung jawab terhadap terjadinya perubahan dalam sistem dengan berjalannya waktu. Premisnya adalah perilaku dinamik merupakan konsekuensi dari struktur sistem. Pendekatan sistem cenderung untuk melihat sebab dan konsekuensi dari perilaku di dalam sistem. Persoalan atau output yang tidak dikehendaki dari sistem tidak dipandang sebagai akibat dari agen atau komponen di luar sistem. Sedangkan tahapan pendekatan sistem dalam penyelesaian persoalan yang kompleks meliputi: 1) definisi dan identifikasi masalah, 2) konseptualisasi sistem, 3) formulasi model, 4) analisis perilaku model, 5) evaluasi model, 6) analisis kebijakan dan 7) implementasi atau penggunaan model. Secara skematis, proses pendekatan sistem untuk formulasi kebijakan atau penyelesaian persoalan ditunjukkan pada Gambar 5.
34
Implementasi kebijakan
Pemahaman sistem
Definisi masalah
Analisis kebijakan
Konseptualisasi sistem Simulasi
Formulasi model
Gambar 5 Overview pemodelan sistem untuk analisis kebijakan (Richardson & Pugh 1983) Menurut Jackson (2000) pendekatan sistem dalam aplikasi system thinking untuk penelitian dan intervensi kebijakan dapat dibedakan menjadi pendekatan sistem: 1) fungsionalis, 2) interpretasi, 3) emansipatori, dan 4) postmodern. Pengklasifikasian ini didasarkan atas metodologi yang digunakan.
Sedangkan
Checkland (2000) dengan berdasarkan atas keterkaitan antara systems thinking dan systems practice membedakan pendekatan sistem menjadi hard system dan soft system. Hard system thinking dengan landasan paradigma optimasi sangat tepat digunakan pada pemecahan masalah teknis yang tersturktur dan tujuannya telah diketahui sebelumnya, sedangkan soft system thinking dengan paradigma pembelajaran lebih tepat digunakan pada situasi pemecahan persoalan yang tidak terstruktur dan melibatkan aspek manusia dan sosial budaya. Pendekatan sistem lunak dapat dilakukan dengan menggunakan Soft System Methodology (SSM) yang bersifat interpretasi jika situasi permasalahan yang dihadapi bersifat kompleks dan messy atau ill-defined (Christis 2005). Metodologi SSM dikembangkan oleh Checkland (1999) dengan landasan pemikiran bahwa dalam rangka perbaikan sistem di dunia nyata, setiap tindakan oleh manusia pasti memiliki makna bagi dirinya sehingga pemodelan sistem aktifitas manusia akan menggambarkan karakteristik tujuan tertentu yang diinginkannya. Selanjutnya, dalam pemodelan sistem aktifitas manusia dalam rangka mengeksplorasi tindakan manusia di dunia nyata memungkinkan munculnya beragam interpretasi terhadap suatu tujuan tertentu sehingga dapat
35
dibangun banyak model. Oleh karena itu, sebelum melakukan pemodelan perlu dipilih pandangan (world view) yang paling relevan sebagai landasan dalam pemodelan untuk mengekplorasi situasi masalah sehingga dapat diperoleh konsep yang dapat digunakan (usable concept). SSM digunakan pada situasi dimana karena berbagai alasan merupakan situasi yang problematik bagi pihak yang berkepentingan dan melalui pemodelan konseptual yang relevan akan dapat teridentifikasi tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menyelesaikan situasi problematik tersebut. Metodologi SSM mencakup 7 langkah atau tahapan proses (Gambar 6) dimana dapat dibedakan antara aktifitas di dunia nyata yang melibatkan para pihak terkait situasi problematik dan aktifitas system thinking yang dapat berkaitan maupun tidak dengan situasi problematik. Tahapan proses tersebut meliputi: 1)
Situasi permasalahan tidak terstruktur.
2)
Situasi permasalahan terekspresikan.
3)
Definisi mendasar sistem yang relevan.
4)
Model konseptual.
5)
Perbandingan model dengan dunia nyata.
6)
Perubahan yang diharapkan dan layak.
7)
Tindakan untuk memperbaiki situasi problematik.
Tahapan 1 dan 2 merupakan fase pengungkapan situasi yang dipersepsikan sebagai masalah. Analisis yang dilakukan dalam fase ini menyangkut identifikasi elemen kunci dari struktur dan proses, serta interaksi antar elemen dan proses dari situasi masalah. Tahap 3 merupakan tahapan pendefinisian sistem yang relevan untuk memperbaiki situasi masalah.
Formulasi ini dapat dimodifikasi
kembali dalam proses iterasi dan pendalaman. Selanjutnya berdasarkan definisi sistem yang telah terbentuk maka dilakukan tahap 4, yaitu membangun model konseptual dari sistem aktifitas manusia yang memuat sekumpulan aktifitas minimal yang diperlukan. Jika dijumpai kekurangan dan diperlukan transformasi untuk pembentukan model konseptual maka dapat digunakan konsep sistem formal dan pemikiran sistem yang lain. Pada tahap 5 dilakukan pembandingan model konseptual dengan persepsi yang ada di dunia nyata. Pembandingan ini sebagai tahapan 6, dilakukan melalui perdebatan diantara para pihak yang berkepentingan
sehingga
dapat
diidentifikasi
kemungkinan-kemungkinan
perubahan yang memang diharapkan dan layak atau dapat diterima oleh semua
36
pihak. Tahap 7 menyangkut pengambilan tindakan untuk memperbaiki situasi masalah.
Gambar 6 Proses soft system methodology (Checkland 1999) Eriyatno (2003) menyatakan bahwa kesalahan terbesar dalam proses perencanaan jangka panjang yang bersifat strategis adalah menerapkan secara langsung teknik penelitian operasional dan atau aplikasi deskriptif.
Hal ini
umumnya disebabkan kebiasaan yang sulit diubah dari perencanaan jangka pendek yang konservatif atas keahlian yang dipunyai.
Kebiasaan tersebut
menjebak proses perencanaan strategis menjadi rencana operasional jangka pendek tanpa arahan (direktif yang terprogram). Menurut Eriyatno (2003) pendekatan sistem merupakan metodologi yang bersifat rasional sampai bersifat intuitif untuk memecahkan masalah guna mencapai tujuan tertentu. Pendekatan sistem digunakan ketika permasalahan yang dihadapi memiliki karakteristik: 1) kompleks, yaitu interaksi antar elemen cukup rumit, 2) dinamis, dalam arti faktornya ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan, dan 3) probabilistic, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi.
37
Tiga pola pikir yang menjadi pegangan pokok dalam menganalisis permasalahan
dengan
pendekatan
sistem,
yaitu
(1)
cybernetic
artinya
berorientasi pada tujuan (2) holistic yaitu cara pandang yang utuh terhadap keutuhan sistem, dan (3) efektif yaitu prinsip yang lebih mementingkan hasil guna yang operasional serta dapat dilaksanakan daripada pendalaman teoritis untuk mencapai efisiensi keputusan.
Telaahan permasalahan dengan pendekatan
sistem ditandai oleh ciri-ciri : (1) mencari semua faktor penting yang terkait dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah dan (2) adanya model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional (Eriyatno 2003) Berbagai teori kemudian dikembangkan untuk perencanaan strategis dimana informasi kualitatif mendominasi input kebijakan. Salah satu dari teori tersebut adalah Interpretative Structural Modelling (ISM).
Teknik ISM adalah
proses pengkajian kelompok (group learning process) dimana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem,
2.9 Permodelan Interpretasi Struktural Salah satu teknik permodelan yang dikembangkan untuk perencanaan kebijakan
strategis
adalah
Teknik
Permodelan
(Interpretative Structural Modelling – ISM).
Interpretasi
Struktural
Menurut Eriyatno (2003) ISM
merupakan proses pengkajian kelompok yang berguna untuk memberikan gambaran perihal yang kompleks dari suatu sistem dan melalui pola yang dirancang secara saksama dengan menggunakan grafis dan kalimat akan menghasilkan
model-model struktural.
Teknik ISM meskipun utamanya
ditujukan untuk pengkajian oleh sebuah kelompok, tetapi bisa juga digunakan oleh seorang peneliti dengan melibatkan pakar multi disiplin. Teknik ISM merupakan salah satu teknik permodelan sistem untuk menangani kebiasaan yang sulit diubah dari perencana jangka panjang yang sering menerapkan secara langsung teknik penelitian operasional dan atau aplikasi statistik deskriptif. Menurut Saxena et al. (1992), analisis sistematis dari suatu program atau objek
secara
holistik
sangat
bermanfaat
agar
tujuan
program
dapat
diimplementasikan dengan efektif dan memberikan manfaat bagi masyarakat karena memenuhi kebutuhannya saat ini maupun masa mendatang.
ISM
merupakan interpretasi dari suatu program atau objek yang utuh dan mentransformasikan model mental yang tidak terang dan lemah penjelasannya
38
menjadi
model
sistem
yang
terdefinisikan
secara
jelas
hingga
dapat
dimanfaatkan untuk perencanaan strategik dan formulasi kebijakan. ISM merupakan salah satu metode permodelan berbasis komputer yang dapat membantu kelompok untuk mengidentifikasi hubungan antara ide dan struktur tetap pada isu yang kompleks.
ISM dapat digunakan untuk
mengembangkan beberapa tipe struktur, termasuk struktur pengaruh, struktur prioritas, ataupun kategori ide. ISM merupakan sebuah metode yang interaktif dan diimplementasikan dalam sebuah wadah kelompok sehingga metode ini memberikan lingkungan yang sangat sempurna untuk memperkaya dan memperluas pandangan dalam konstruksi yang cukup kompleks.
ISM
menganalisis elemen-elemen sistem dan memecahkannya dalam bentuk grafis dari hubungan langsung antar elemen dan tingkat hierarki. Elemen-elemen dapat merupakan tujuan kebijakan, target organisasi, maupun faktor-faktor penilaian. Sedangkan hubungan langsung dapat dalam konteks yang beragam (Marimin 2005). Menurut Kanungo & Bhatnagar (2002), Eriyatno (2003) dan Marimin (2005), langkah-langkah permodelan dengan menggunakan ISM mencakup: 1) Identifikasi elemen: Elemen sistem diidentifikasi dan didaftar. Identifikasi elemen dapat diperoleh melalui penelitian atau diskusi curah pendapat. 2) Hubungan
kontekstual:
Sebuah hubungan kontekstual
antar elemen
dibangun berdasarkan pada tujuan dari permodelan. 3) Matriks interaksi tunggal terstruktur (Structural Self Interaction Matrix – SSIM). Matriks ini mewakili elemen persepsi responden terhadap hubungan elemen yang dituju.
Empat simbol yang digunakan untuk mewakili tipe
hubungan yang terdapat antar dua elemen dari sistem yang dikaji adalah: •
V ..... hubungan dari elemen Ei terhadap Ej, dan tidak sebaliknya
•
A ..... hubungan dari elemen Ej terhadap Ei, dan tidak sebaliknya
•
X ..... hubungan interrelasi antara Ei dan Ej, dan dapat sebaliknya
•
O ..... menunjukkan bahwa Ei dan Ej tidak berkaitan
4) Matriks Reachability (Reachability Matrix – RM):
Sebuah RM
yang
dipersiapkan kemudian mengubah simbol-simbol SSIM ke dalam sebuah matriks biner.
Konversi SSIM menjadi RM menggunakan aturan-aturan
berikut, •
Jika hubungan Ei terhadap Ej = V dalam SSIM maka elemen Eij = 1 dan Eji = 0 dalam RM.
39
•
Jika hubungan Ei terhadap Ej = A dalam SSIM maka elemen Eij = 0 dan Eji = 1 dalam RM.
•
Jika hubungan Ei terhadap Ej = X dalam SSIM maka elemen Eij = 1 dan Eji = 1 dalam RM.
•
Jika hubungan Ei terhadap Ej = O dalam SSIM maka elemen Eij = 0 dan Eji = 0 dalam RM.
RM awal dimodifikasi untuk menunjukkan seluruh direct dan indirect reachability, yaitu jika Eij = 1 dan Ejk = 1 maka Eik = 1. 5) Tingkat partisipasi dilakukan untuk mengklasifikasi elemen-elemen dalam level-level yang berbeda dari struktur ISM. Untuk tujuan ini, dua perangkat diasosiasikan dengan tiap elemen Ei dari sistem: Reachability set (Ri) adalah sebuah set dari seluruh elemen yang dapat dicapai dari elemen Ei, dan Antecedent Set (Ai) adalah sebuah set dari seluruh elemen dimana elemen Ei dapat dicapai. Pada iterasi pertama seluruh elemen, dimana Ri = Ri ∩ Ai adalah elemen-elemen level 1.
Pada iterasi-iterasi berikutnya elemen-
elemen diidentifikasi seperti elemen-elemen level dalam iterasi-iterasi sebelumnya dihilangkan, dan elemen-elemen baru diseleksi untuk level-level berikutnya dengan menggunakan aturan yang sama. Selanjutnya, seluruh elemen-elemen sistem dikelompokkan ke dalam level-level yang berbeda. 6) Matriks Canonnical: Pengelompokan elemen-elemen dalam level yang sama mengembangkan matriks ini. Matriks resultan memiliki sebagian besar dari elemen-elemen triangular yang lebih tinggi adalah 0 dan terendah 1. Matriks ini selanjutnya digunakan untuk mempersiapkan digraph. 7) Digraph adalah konsep yang berasal dari Directional Graph, yaitu sebuah grafik dari elemen-elemen yang saling berhubungan secara langsung dan level hierarki.
Digraph awal dipersiapkan dalam basis matriks canonical.
Graph awal tersebut selanjutnya dipotong dengan memindahkan semua komponen yang transitif untuk membentuk digraph akhir. 8) Interpretative Structural Model:
ISM dibangkitkan dengan memindahkan
seluruh jumlah elemen dengan deskripsi elemen aktual. Oleh sebab itu ISM memberikan gambaran yang sangat jelas dari elemen-elemen sistem dan alur hubungannya. Eriyatno (2003) menyatakan bahwa metode dan teknik ISM dibagi menjadi dua bagian, yaitu penyusunan hierarki dan klasifikasi sub elemen. Prinsip dasarnya adalah identifikasi dari struktur di dalam suatu sistem yang
40
memberikan nilai manfaat yang tinggi guna meramu sistem secara efektif dan untuk pengambilan keputusan yang lebih baik. Struktur dari suatu sistem yang berjenjang diperlukan untuk lebih menjelaskan pemahaman tentang perihal yang
dikaji.
Menentukan
jenjang
dapat
dilakukan
dengan
berbagai
pendekatan, namun harus memenuhi kriteria: a) kekuatan pengikat dalam dan antar kelompok atau tingkat, b) frekuensi relatif dari oksilasi dimana tingkat yang lebih rendah lebih cepat terguncang dari yang diatas, c) konteks dimana tingkat yang lebih tinggi beroperasi pada jangka waktu yang lebih lambat daripada ruang yang lebih luas, d) liputan dimana tingkat yang lebih tinggi mencakup tingkat yang lebih rendah, dan e) hubungan fungsional, dimana tingkat yang lebih tinggi mempunyai peubah lambat yang mempengaruhi peubah cepat tingkat dibawahnya.
Teknik ISM dapat memberikan basis
analisis program dimana informasi yang dihasilkan sangat berguna dalam formulasi kebijakan dan perencanaan strategis.
Selanjutnya, Saxena et al.
(1992) menyatakan bahwa penggunaan ISM dalam analisis, program dapat dibagi menjadi sembilan elemen utama: 1) Sektor masyarakat yang terpengaruh 2) Kebutuhan dari program 3) Kendala utama program 4) Perubahan yang diinginkan 5) Tujuan dari program 6) Tolok ukur untuk menilai setiap tujuan 7) Aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan 8) Ukuran aktivitas untuk mengevaluasi hasil yang dicapai setiap aktivitas 9) Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program Untuk setiap elemen dari program yang dikaji, selanjutnya dijabarkan menjadi sejumlah sub-elemen.
Kemudian ditetapkan hubungan kontekstual
antara sub-elemen yang mengandung adanya suatu pengarahan pada perbandingan berpasangan.
Hubungan kontekstual pada teknik ISM selalu
dinyatakan dalam terminologi sub-ordinat yang menuju pada perbandingan berpasangan antar sub-elemen yang mengandung suatu arahan pada hubungan tersebut. Menurut Eriyatno (2003) hubungan kontekstual dapat bersifat kualitatif atau kuantitatif. Keterkaitan antar sub-elemen dapat meliputi berbagai jenis hubungan seperti disajikan pada Tabel 7.
Berdasarkan hubungan kontekstual
41
tersebut, maka disusun Structural Self Interaction Matrix dengan menggunakan simbol: V jika eij = 1 dan eji = 0 A jika eij = 0 dan eji = 1 V jika eij = 1 dan eji = 1 V jika eij = 0 dan eji = 0 Tabel 7 Hubungan kontekstual antar sub-elemen pada teknik ISM No
Jenis Hubungan
Interpretasi
1
Pembandingan (comparative)
A lebih penting/besar/indah dari B A 20% lebih berat dari B
2
Pernyataan (definitive)
A adalah atribut B A termasuk di dalam B A mengartikan B
3
Pengaruh (influence)
A menyebabkan B A adalah sebagian penyebab B A mengembangkan B A menggerakkan B A meningkatkan B
4
Keruangan (spatial)
A adalah selatan/utara B A diatas B A sebelah kiri B
5
Kewaktuan (temporal/time scale)
A mendahului B A mengikuti B A mempunyai prioritas lebih dari B
Sumber: Eriyatno (2003) Nilai eij = 1 berarti ada hubungan kontekstual antara elemen ke-i dan elemen ke-j, sedangkan eij = 0 adalah tidak ada hubungan kontekstual antara elemen ke-i dan elemen ke-j.
Hasil penilaian ini kemudian dibuat dalam
Structural Self Interaction Matrix yang berbentuk tabel Reachability Matrix (RM) dengan mengganti V, A, X, dan O menjadi bilangan 1 dan 0.
Matriks RM
selanjutnya dikoreksi sampai menjadi matriks tertutup yang memenuhi kaidah transitivitas. Matriks RM yang telah memenuhi kaidah transitivitas kemudian diolah untuk mendapatkan nilai Driver-Power (DP) dan nilai Dependence (D) untuk menentukan klasifikasi sub elemen. Eriyatno (2003) menyebutkan bahwa untuk
42
mengetahui peran masing-masing sub elemen, sub elemen dikelompokkan ke dalam 4 sektor: Sektor 1: Weak driver-weak dependent variables (Autonomous), sub elemen yang berada pada sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem, mungkin mempunyai hubungan yang sedikit walaupun hubungan tersebut bisa saja kuat. Sektor 2: Weak driver-strongly dependent variables (Dependent), sub elemen yang berada pada sektor ini umumnya sub elemen yang tidak bebas atau dipengaruhi oleh sub elemen lain. Sektor 3: Strong driver-strongly dependent variables (Linkage), sub elemen yang berada pada sektor ini perlu dikaji secara hati-hati sebab hubungan antar sub elemen tidak stabil.
Setiap tindakan pada sub elemen
tersebut akan memberikan dampak terhadap peubah lain dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak. Sektor 4: Strong driver-weak dependent variables (Independent), sub elemen yang berada pada sektor ini umumnya merupakan sub elemen bebas yang memiliki kekuatan penggerak yang besar terhadap sub elemen lain dalam sistem. 2.10
Validasi Model Penggunaan model merupakan elemen penting dalam pemecahan
masalah dan pengambilan keputusan.
Model ini dapat berwujud mental model
yang berada di pikiran pengambil keputusan sampai model kompleks yang eksplisit untuk mengeksplorasi
dampak suatu keputusan.
Tingkat manfaat
penggunaan model sangat ditentukan oleh ketepatan hasil simulasi model. Untuk menjamin ketepatan hasil simulasi diperlukan proses verifikasi dan validasi model terlebih dahulu sebelum menggunakannya untuk pengambilan keputusan. Validasi model menurut Eriyatno (2003) merupakan usaha untuk menyimpulkan bahwa model sistem yang dibangun merupakan representasi yang sah dari realitas yang dikaji sehingga dapat dihasilkan kesimpulan yang meyakinkan dan valid.
Validasi juga merupakan suatu proses pengujian yang iteratif untuk
penyempurnaan model yang dibangun.Validasi dapat mulai dilakukan dengan pengujian sederhana, seperti pengamatan respon model terhadap beberapa hal, yaitu: 1) tanda aljabar (sign), 2)
tingkat kepangkatan dari besaran (order of
magnitude), 3) format respon (linier, eksponensial, logaritmik dan lainnya), 4)
43
arah perubahan peubah apabila input atau parameter diganti-ganti, dan 5) nilai batas peubah sesuai dengan nilai batas parameter sistem. Checkland (1995) membedakan verifikasi dan validasi dalam soft system (SST) dengan hard system thinking (HST).
Dalam SST model merupakan
representasi sistem kegiatan manusia yang terkait secara logis dan dimaksudkan sebagai sarana untuk mendebatkan kesesuaian antara model dengan dunia nyata bagi pihak-pihak yang terlibat dalam situasi problematik. Perdebatan ini akan menghasilkan akomodasi sehingga memungkinkan dilakukannya tindakantindakan yang diharapkan dan layak untuk memperbaiki situasi problematik. Dengan demikian validasi model dilakukan sebelum model digunakan untuk debat. Keabsahan model dinilai dari relevansinya dengan situasi permasalahan dan kecukupan model ditinjau dari karakteristik sistem formal atau tingkat kesesuaian antara root definition dengan model konseptual. Sedangkan pada HST, model digunakan sebagai abstraksi dunia nyata untuk melakukan eksperimentasi yang hasilnya digunakan sebagai dasar pemecahan masalah.
Menurut Muhammadi et al. (2001), validitas model
merupakan suatu hasil penilaian secara objektif terhadap model yang ditunjukkan sejauhmana hasil simulasi model dapat menirukan fakta. Dalam dunia nyata, fakta adalah kejadian yang teramati. Pengamatan tersebut dapat bersifat terukur secara kuantitatif maupun kuailitatif atau informasi aktual. Sedangkan hasil simulasi merupakan perilaku variabel yang diinteraksikan menggunakan bantuan komputer. Proses melihat keserupaan ini disebut validasi output atau kinerja model. Validasi kinerja model bersifat pelengkap karena yang utama adalah validasi struktur model.
Validasi struktur model merupakan penilaian
sejauhmana keserupaan struktur model mendekati struktur dunia nyata. Struktur model yang dibangun secara holistik, lintas disiplin dan perspektif diharapkan mampu menirukan interaksi kejadian nyata.
Dengan demikian, verifikasi dan
validasi model ditujukan untuk menguji keabsahan representasi tersebut agar hasil simulasinya akurat. Keabsahan suatu hasil simulasi, menurut Sargent (1998) dapat dilakukan melalui tiga pendekatan.
Setiap pendekatan memerlukan tim pengembangan
model yang melakukan verifikasi dan validasi sebagai bagian dari proses pengembangan model.
Pendekatan pertama dan paling umum digunakan
adalah pendekatan subjektif.
Dalam pendekatan ini, tim pengembangan model
memutuskan keabsahan model berdasarkan pada hasil berbagai pengujian dan
44
evaluasi dalam proses pengembangan model. Pendekatan kedua adalah melalui penggunaan pihak ketiga yang independen untuk memutuskan keabsahan suatu model. Pihak ketiga tidak memiliki ketergantungan dengan tim pengembangan model dan pengguna. Setelah model dikembangkan, pihak ketiga melakukan evaluasi untuk menentukan keabsahannya.
Penggunaan pendekatan ini
biasanya dilakukan untuk menjaga kredibilitas model. Pendekatan ketiga untuk menentukan keabsahan model dilakukan dengan penggunaan model penilaian. Nilai atau bobot ditentukan secara subjektif pada saat melakukan proses validasi dari berbagai aspek dan kemudian dikombinasikan untuk menentukan kategori nilai dan total nilai simulasi model. Suatu model dianggap valid jika kategori dan total nilai lebih besar dari suatu nilai yang telah ditetapkan. Beragam teknik dapat digunakan dalam validasi model. Menurut Sargent (1998), secara umum terdapat 16 teknik untuk melakukan validasi model, yaitu: 1) animation, 2) comparison to other models, 3) degenerate test, 4) event validity, 5) extreme condition test, 6) face validity, 7) fixed values, 8) historical data validation, 9)
historical
methods.
10)
internal
validity, 11)
multistage validity, 12) operational graphic, 13) parameter variability-sensitivity analysis, 14) predictive validation, 15) traces, dan 16) turing test.
Validasi
model konseptual yang merupakan representasi dari ide, situasi, fenomena atau kebijakan yang dimodelkan dalam bentuk persamaan matematika, hubungan logika maupun verbal dilakukan dengan face validation.
Validitas model
konseptual dinilai berdasarkan kebenaran teori dan asumsi yang mendasari dan tingkat representasinya.
2.11 Disertasi yang Relevan Beberapa disertasi relevan digunakan sebagai rujukan dalam penulisan disertasi ini, meliputi: penelitian dengan menggunakan metode pengembangan sistem (Didu 2001; Mulyadi 2001; Baka 2001); penelitian yang terkait dengan pengembangan hutan dan masyarakat (Wijayanto 2001; Yusran 2005); penelitian tentang kelembagaan menggunakan pendekatan analisis sistem (Karyana 2007); dan penelitian mengenai penerapan soft system methodology untuk perumusan model kebijakan (Wibisono 2008; Kurniawan 2009; Adiprasetyo 2010) Didu (2001) menggunakan analisa sistem untuk mengkaji pengembangan agroindustri kelapa sawit. Mulyadi (2001) mengaplikasikan pendekatan sistem untuk menganalisis pengembangan kelembagaan agroindustri rotan secara
45
terpadu. Baka (2001) menggunakan pendekatan ISM dalam mebangun kelembagaan perkebunan rakyat melalui rekayasa sistem di Sulawesi Tenggara. Ketiga hasil penelitian terkait pengembangan soft system methodology tersebut memberikan
informasi
pengembangan
kegiatan
dasar
tentang
metode
agroindustri.
analisis
Melalui
teknik
sistem ISM
untuk
dibangun
kelembagaan agroindustri yang didasarkan atas elemen lembaga yang terkait, elemen kebutuhan program, elemen kendala program dan tujuan program serta kebijakan pemerintah yang dibutuhkan.
Elemen-elemen yang dikaji untuk
pengembangan kelembagaan perkebunan dengan pendekatan wilayah antara lain lembaga pelaku program dan kebutuhan program. Disertasi yang secara substansi relevan karena mengkaji hubungan antara hutan dan masyarakat dirujuk dari hasil penelitian Wijayanto (2001). Penelitian tersebut menganalisis sistem pengelolaan Hutan Kemasyarkatan di kawasan Repong Damar Lampung.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan
pengelolaan repong damar dipengaruhi oleh (1) faktor-faktor ekologi; yaitu kesesuaian
tempat
tumbuh,
kemampuan
peran
dan
fungsi
ekosistem,
keberadaan komposisi yang beranekaragam (2) faktor ekonomi-bisnis; yaitu kemampuan
memberi
jaminan
bagi
ekonomi
ruamah
tangga,
kemapanan/berkembangnya sistem tata niaga dari produk yang dihasilkan, penggunaan input modal relatif rendah (3) faktor sosial budaya; yaitu kemampuan masyarakat memelihara institusi sistem pewarisan yang mendukung keberlanjutan, kemampuan masyarakat mendayagunakan pengetahuan asli, kemampuan kepemilikan untuk dijadikan simbol status sosial.
Selanjutnya
strategi pengembangan sistem repong damar sangat ditentukan oleh faktor organisasi yang kuat dan mandiri, ketersediaan infrastruktur jalan, dan kepastian jaminan hukum bagi masyarakat petani atas kawasan. repong
sebaiknya
bertujuan
kepada
terbentuknya
Pengembangan sistem industri,
terwujudnya
peningkatan produktivitas lahan, dan fungsi ekosistem, dan terbentuknya kemandirian dan kerjasama petani.
Pengembangan sistem repong damar
menuntut keterlibatan dan dukungan penuh dari lembaga yang bersifat lintas sektoral dan multi disiplin. Aktivitas penting yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan adalah pengembangan sistem insentif seperti perpajakan dan perkreditan. Kegiatan penelitian Yusran (2005) dalam analisis performasi dan pengembangan hutan kemiri rakyat di kawasan pegunungan Bulusaraung
46
Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa status penguasaan lahan mempengaruhi performansi hutan kemiri rakyat.
Semakin kuat status lahan yang dikelola
menunjukkan semakin intensif sistem pengelolaannya, semakin besar nilai ekonominya dan menjamin kelestarian nilai-nilai sosial budaya.
Namun
sebaliknya semakin kuat status lahan cenderung menurunkan nilai ekologinya. Pengakuan hak kelola masyarakat merupakan bentuk penguatan status lahan yang dapat menjamin keseimbangan aspek ekologi, ekonomi, sosial dan menghindari terjadinya fragmentasi lahan hutan.
Hasil analisis dengan
menggunakan SWOT, AHP dan skala Likert membuktikan bahwa ketidakpastian status penguasaan lahan merupakan kelemahan sekaligus menjadi ancaman utama dalam pengelolaan hutan kemiri di kawasan pegunungan Bulusaraung. Posisi usahtani kemiri rakyat yang berada pada sel 2 (support a diversification strategy) menunjukkan bahwa sistem pengelolaan hutan kemiri mempunyai kekuatan tetapi menghadapi ancaman yang tidak menguntungkan. Oleh karena itu strategi yang harus diterapkan adalah strategi ST (strength-threats) dengan menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman.
Strategi ST yang harus
diterapkan adalah (1) menjamin kepastian penguasaan lahan dengan mengakui hak
kelola
masyarakat
(2)
mengembangkan
pola
agroforestri
untuk
meningkatkan produktifitas lahan dan diversifikasi produk, dan (3) memperkuat kelembagaan dan kapasitas petani dalam sistem pemasaran. Kedua penelitian tersebut secara substansi memiliki relevansi yang kuat dengan kegiatan penelitian analisis kebijakan dan rancang bangun model konseptual
HTR.
Beberapa
faktor
sosial
budaya
masyarakat
dalam
hubungannya dengan kegiatan pengelolaan hutan dapat menjadi rujukan. Namun demikian, terdapat perbedaan yang cukup nyata jika membandingkan kedua penelitian tersebut dengan disertasi ini, karena sifat dari kebijakan HTR merupakan program dari pemerintah, sedangkan kegiatan repong damar di Lampung dan hutan kemiri rakyat di Sulawesi Selatan merupakan kegiatan yang tumbuh dari aspirasi masyarakat lokal. Karyana (2007) menggunakan teknik Interpretative Structural Modelling dalam penelitian analisis posisi dan peran lembaga di Daerah Aliran Sungai Ciliwung.
Analisis ISM dalam penelitian ini menghasilkan strukturisasi posisi
lembaga yang memiliki pengaruh besar dalam pengelolaan DAS Ciliwung. Analisis terhadap tiga aspek kelembagaan menunjukkan bahwa (1) masalah kelembagaan tidak terletak pada lembaganya sebagai organisasi tetapi pada
47
masalah yang menyangkut hubungan antar lembaga; (2) lembaga pemerintah yang terlibat dalam pengelolaan DAS Ciliwung belum memiliki program dan kegiatan yang berorientasi pada pemecahan masalah kelembagaan DAS; (3) kebijakan dan peran pemerintah pusat belum efektif untuk mengatasi masalah yang terjadi di DAS Ciliwung. Disertasi ini memberikan informasi tentang aspek hubungan antar lembaga yang terlibat dalam pengelolaan DAS.
Terdapat
berberapa faktor yang dapat dipersamakan antara pengelolaan DAS dan HTR, diantaranya karena melibatkan berbagai lembaga lintas sektoral. Untuk itu teori koordinasi yang dikembangkan dalam disertasi ini menjadi rujukan bagi pengembangan koordinasi pengelolaan HTR. Wibisono (2008) menggunakan teknik permodelan system dengan teknik Strategic Assumption Surfacing and Testing (SAST) serta teknik ISM untuk menyusun model kebijakan strategis pengelolaan pertambangan mineral yang berkelanjutan.
Model konseptual pengelolaan lingkungan terdiri atas model
pengendalian endapan pasir sisa tambang pada aliran sungai dan model Rehabilitasi lahan wilayah Mod-ADA.
Model konseptual pengelolaan tambang
merupakan model yang integratif menangani sektor hulu hingga hilir. Hal ini dapat menjadi teladan bagi perumusan model konseptual HTR agar terintegrasi mulai dari proses awal hingga akhir kegiatan bisnis hutan tanaman oleh rakyat. Kurniawan (2010) melakukan analisis sistem pengelolaan kawasan karst di Maros-Pangkep Sulawesi Selatan.
Model konseptual yang dirumuskan pada
penelitian ini, secara prinsip harus memenuhi aspek kepastian batas penentuan lembaga pengelola hasil kesepakatan, penentuan sistem pengelolaan dan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan karst.
Kebijakan yang disusun
meliputi status kawasan, konservasi lingkungan, stabilisasi sosial-budaya, dan peningkatan nilai ekonomis. Seluruh model konseptual ini menerapkan prinsipprinsip keberlanjutan COMHAR.
Model yang dikembangkan serupa dengan
model kebijakan strategi pengelolaan pertambanan mineral.
Disertasi ini
dilengkapi dengan analisis spasial tentang perubahan serial dari kawasan karst di Maros-Pangkep. Adiprasetyo (2010) menggunakan metode soft system management untuk melakukan rancang bangun kebijakan pengelolaan Taman Nasional secara berkelanjutan di era otonomi daerah. Sistem dijabarkan ke dalam 3 model, yaitu model manajemen, kelembagaan dan pendanaan. Ketiga model yang disusun Adiprasetyo menjadi referensi utama dalam melakukan kegiatan rancang bangun
48
model konseptual kebijakan HTR. Hal ini disebabkan karena terdapat banyak kesamaan elemen sistem yang mendukung. Pengelolaan tanaman nasional merupakan kebijakan nasional dalam hal ini program Kementerian Kehutanan yang pelaksanaannya berada di level daerah. Selain itu, pengelolaan taman nasional juga mengandung aspek sosial kemasyarakatan.
Pengelolaan
taman
nasional
harus
mempertimbangkan
keberadaan masyarakat sekitar guna menjalin hubungan yang harmonis antara sumberdaya hutan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Perbedaan
mendasar antara pengelolaan taman nasional dengan kebijakan pembangunan HTR adalah posisi masyarakat pada program HTR merupakan pelaku utama kegiatan.
Sementara itu pengelolaan taman nasional masih berada dalam
kewenangan pemerintah dan posisi masyarakat sekitar sebagai aktor yang berpartisipasi dalam pembangunan. Dengan demikian model konseptual pengelolaan HTR lebih menekankan pada peran masyarakat sebagai pelaku bisnis hutan tanaman. Strategi yang ditempuh adalah penguatan kapasitas masyarakat agar memiliki kemandirian dalam menjalankan bisnis hutan tanaman.