II. TINJAUAN PUSTAKA A. Buah Melon Buah melon (Cucumis melo L.) termasuk dalam suku labu-labuan atau Cucurbitaceae, bagian yang dimakan dari buah ini ialah bagian daging buahnya (mesokarp) teksturnya lunak, berwarna putih sampai merah. Buah melon merupakan tanaman semusim, merambat dan menjalar, daun berbentuk menjari dengan lekuk moderat sehingga seperti lingkaran bersudut. Tumbuhan ini berumah satu dengan bunga dua tipe yaitu bunga jantan dan hermafrodit. Prajnata (1999) mengklasifikasikan melon berdasarkan taksonominya sebagai berikut: Kingdom
Plantarum
Divisi
Spermatophyta
Sub Divisi
Angiospermae
Kelas
Dikotil
Sub kelas
Sympetalae
Ordo
Cucurbitales
Famili
Cucurbitaceae
Genus
Cucumis
Spesies
Cucumis melo L
Gambar.1 Buah melon siap dipanen
Tabel.1 Taksonomi buah melon Melon menurut ukuran lidah Indonesia, dianggap lebih mirip blewah karena aroma buahnya. Oleh karena itu, nama melon menurut beberapa referensi, disebut juga blewah. Orang Malaysia menyebut melon dengan bluwak. Sementara orang Inggris menamainya melon, cantaloupe, musk melon, atau casaba melon. Orang Perancis dan Papua New Guinea, sama seperti orang Indonesia, menamakannya melon juga. Adapun orang Kamboja menyebutnya trasak, sroo`w, orang Laos menyebutnya teen laay, teen suk, orang Thailand menamainya taeng-thai, taeng-lai, dan orang Vietnam menamainya d(uw)a b(owr), d(uw)a h(oof)ng. Buah melon merupakan salah satu komoditas pertanian yang memiliki nilai jual cukup tinggi, buah ini termasuk dalam keluarga labu-labuan (Cucurbitaceae) seperti
4
halnya dengan blewah (Cucumis melo L), semangka (Citrullus vulgaris), mentimun (Cucurbita moschata). Tanaman melon termasuk tanaman semusim berbentuk terna yang menjalar di atas tanah atau merambat pada sulurnya (Prajnanta, 1999), buah ini merupakan buah nonklimaterik dimana proses pemasakannya harus masih berada pada tanaman melon. Banyak yang menyebutkan buah melon berasal dari Lembah Panas Persia di daerah Mediterania yang merupakan perbatasan antara Asia Barat dengan Eropa dan Afrika. Tanaman ini akhirnya tersebar luas ke Timur Tengah dan Eropa. Pada abad ke14, melon dibawa ke Amerika oleh Columbus dan akhirnya ditanam secara luas di Colorado, California, dan Texas. Akhirnya melon tersebar ke seluruh penjuru dunia, terutama di daerah tropis dan subtropis, termasuk Indonesia. Setelah tahun 1990, melon berkembang cukup pesat di Indonesia, karena petani mulai yang banyak menanam melon. Sebelum tahun 1990, melon masih asing bagi penduduk Indonesia, tetapi kini sudah menjadi buah “pencuci mulut” yang disukai. Buah ini sering disuguhkan di tempat-tempat pesta secara terpisah atau bersama dengan semangka, 5nergy, dan nanas.Varietas yang disukai dan banyak ditanam petani adalah Sky Rocket, Honey Dew, Sun, Golden, Eagle, Emeral Jewel, Action dan F1 Hibrid Glamour (Prajnanta, 1999). Melon merupakan salah satu buah yang mengandung kalori, lemak, dan karbohidrat yang tinggi serta vitamin C yang dapat mencegah penyakit sariawan dan meningkatkan ketahanan tubuh oleh karena itu diperlukan penerapan suatu teknologi guna mempertahankan umur simpan buah melon yang telah terolah minimal sehingga dapat dikonsumsi oleh konsumen dengan rasa yang masih segar.
Gambar 2. Melon Cantaloupe
Gambar 3. Buah melon yang telah dipotong 5
Melon yang tumbuh di Indonesia memiliki banyak varietas yang dibedakan antara lain dari rasa, aroma, ukuran, bentuk dan warna. Karena rasa manis dan aroma yang khas, maka buah melon cantaloupe sangat digemari oleh para konsumen terutama untuk masyarakat luar negri. Berdasarkan penampilan kulit buah melon dapat digolongkan menjadi tiga kategori yaitu melon tipe berjaring (netted melon), melon tipe tanpa jaring (winter melon) dan melon tipe semi berjaring (semi-netted melon). Melon tipe berjaring (netted melon) mempunyai ciri-ciri kulit buah keras dan tebal, agak kasar, berurat dan terlihat seperti jaring, serta aromanya yang harum. Contoh dari tipe ini adalah sky rocket, action dan select rocket. Tipe tanpa jaring dengan ciri-ciri kulit buah halus, mengkilap dan aroma buahnya tidak harum. Contonya adalah honey world dan super salmon eksThailand. Sedangkan tipe semi berjaring misalnya jade dew yang penampilannya mirip winter melon (Prajnanta, 1999). Berdasarkan daging buahnya, melon dibedakan menjadi tiga, yaitu melonyang daging buahnya berwarna hijau kekuningan (sky rocket, action, aroma, sweet star, dan select rocket); melon dengan daging buah berwarna kuning keputihan (ten me); melon dengan daging buah berwarna jingga (halest best, new century, autumn favor dan glamour). Melon sangat baik tumbuh di dataran sedang yang suhunya agak dingin, yakni pada ketinggian 300-1.000 m dpl. Di dataran rendah yang ketinggiannya kurang dari 300 m dpl, buah melon berukuran lebih kecil dan dagingnya agak kering (kurang berair). Sedangkan tanah yang baik untuk budidaya melon adalah jenis tanah andoso atau tanah liat berpasir yang banyak mengandung bahan organik untuk memudahkan akar tanaman berkembang. Pada dasarnya, melon membutuhkan air yang cukup banyak. Suhu ideal bagi pertumbuhan melon berkisar 25-30° C. Melon tidak dapat tumbuh jika suhu kurang dari 18°C dan melon susah tumbuh di tempat yang kelembapan udara rendah (kering) dan ternaungi. Tanaman ini lebih senang di daerah terbuka, tetapi sinar matahari tidak terlalu terik cukup dengan penyinaran 70%. Buah melon harus dipanen setelah benar-benar matang karena buah ini tidak akan matang bila diperam. Pada melon berdaging putih, panen dilakukan pada umur 35 hari setelah pembungaan, sedangkan pada melon berdaging merah pada umur 40 hari
6
setelah pembungaan. Melon yang sudah matang ditandai dengan jaring di kulit buah telah terbentuk sempurna, tebal, dan rata; ada retakan di pangkal tangkai buah; warna kulit buah berubah, misalnya dari hijau tua menjadi kekuningan; kulit buah terasa halus atau tidak berbulu; muncul aroma yang khas; serta tungkai buah berwarna kekuningan. Jika dilakukan pemotongan secara melintang buah melon terdiri dari kulit buah, daging buah dan biji. Kulit buah melon tidak terlalu tebal (1-2 mm), tetapi keras dan liat. Daging buah berwarna hijau muda kekuningan atau jingga, dengan tingkat kemanisan daging buah melon berkisar antara 8-15 oBrix (Prajnanta, 1999). Di antara rongga buah terdapat kumpulan biji yang terbalut dalam plasenta berwarna putih. Plasenta ini berlendir dan apabila dimakan akan menyebabkan gatal ditenggorokan. Didalam buah melon terdapat banyak sekali kandungan berupa vitamin c, kalori serta karbohidrat yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Secara lengkap kandungan buah melon untuk 100 gram bahan yang dapat dimakan ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Kandungan gizi melon per 100 gram berat yang dapat dimakan Kandungan gizi
Nilai satuan
Kalori (energi)
23 kalori
Protein
0.5 gram
Lemak
0.1 gram
Karbohidrat
5.1 gram
Kalsium
15 miligram
Fosfor
25 miligram
Besi
0.5 miligram
Vitamin A
640 SI
Vitamin B1
0.03 miligram
Vitamin B2
0.02 miligram
Vitamin C
34 miligram
Niasin
0.8 gram
Serat
0.3 gram
Air
93.5 gram
Sumber: Wirakusumah (1995) didalam Prajnanta (1999)
7
B. Respirasi Buah-Buahan Dalam Penanganan Pasca Panen Secara umum buah yang telah masak akan mengalami perubahan fisik-kimia setelah panen. Sebagian besar perubahan fisik-kimia yang terjadi berhubungan dengan metabolisme oksidatif termasuk didalamnya proses respirasi. Respirasi merupakan suatu proses metabolisme dengan menggunakan oksigen dalam pembakaran senyawa makromolekul seperti karbohidrat, protein dan lemak yang akan menghasilkan karbondioksida, air dan sejumlah besar elektron-elektron (Ashari, 1995). Reaksi kimia sederhana untuk respirasi adalah seperti berikut : C6H12O6 + 6 02
6CO2 + 6 H2O + Energi
Menurut (Phan et al., 1986) kegiatan respirasi pada sayuran dan buah-buahan dapat diukur dengan cara menentukan jumlah substrat yang hilang, oksigen yang diserap, karbondioksida yang dikeluarkan, panas yang dihasilkan dan energi yang timbul. Cara yang umum digunakan untuk mengukur laju respirasi adalah dengan cara mengukur jumlah gas karbondioksida yang dihasilkan atau jumlah gas oksigen yang digunakan. Pengukuran laju respirasi dari suatu komoditas pertanian yang telah dipanen merupakan cara yang tepat untuk menentukan umur simpan. Laju respirasi dari suatu produk pertanian sendiri dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal antara lain suhu, etilen, ketersediaan O2, CO2, senyawa pengatur pertumbuhan, dan luka pada buah. Sedangkan yang termasuk kedalam faktor internal antara lain tingkat perkembangan, susunan kimiawi jaringan, ukuran produk, pelapis alami dan jenis jaringan. Berdasarkan pola respirasinya maka buah-buahan digolongkan kedalam dua kategori, yaitu klimaterik dan non klimaterik. Buah klimaterik ditandai dengan perubahan pola respirasi sebelum terjadi kelayuan yaitu pada saat kelayuan tiba-tiba produksi CO2 meningkat dan kemudian turun kembali. Sedangkan buah non klimaterik memiliki pola respirasi kenaikan produksi CO2 yang mencolok (Pantastico, 1986). Menurut (Phan et al., 1989) penentuan laju respirasi dengan mengukur jumlah CO2 yang diproduksi melalui pertambahan CO2 pada udara disekitar bahan adalah kurang tepat karena CO2 ini hanya sebagian kecil dari CO2 yang benar-benar ada dalam bahan sebagai hasil respirasi.
8
Kays (1991) melaporkan bahwa proses respirasi dapat dibedakan dalam tiga tingkat, yaitu (1) pemecahan karbohidrat menjadi glukosa, (2) oksidasi glukosa menjadi asam piruvat, serta (3) transformasi piruvat dan asam-asam organik lainnya menjadi CO2, air dan energi. Menurut Kays (1991), komposisi gas udara dengan nyata mempengaruhi laju respirasi maupun metabolisme buah dan sayuran. Jenis gas yang sangat mempengaruhi laju respirasi adalah O2, CO2 dan etilen. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa O2 yang lebih rendah dan CO2 yang lebih tinggi dibandingkan udara normal, dapat menghambat laju respirasi. Prinsip inilah yang digunakan dalam penyimpanan atmosfir termodifikasi untuk buah dan sayuran. C. Buah Terolah Minimal Penelitian mengenai pengolahan minimal buah-buah telah banyak dilakukan salah satunya ialah buah kiwi, pepaya, cantaloupe, apel dan lain-lain (O’Connor-Shaw et al., 1994; and Cameron et al., 1995). Pengolahan minimal atau sering disebut irisan buah segar merupakan penanganan pada produk hortikultura dengan membuang bagian yang tidak dapat dikonsumsi sehingga menjadi produk yang siap dikonsumsi atau diolah lebih lanjut. Produk terolah minimal memiliki resiko pembusukan lebih besar dengan waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan komoditi yang tidak diolah. Hal ini dikarenakan pelindung alami (kulit buah) pada produk irisan buah segar dibuang saat pengupasan. Menurut Cantwell (2002) pembusukan ditandai dengan perubahan warna, rasa, tekstur dan kandungan nutrisi. Kegiatan pada pengolahan minimal meliputi pembersihan, pengupasan, pencucian, pemotongan, dan pengirisan (Cantwell, 2002). Diterangkan juga bahwa semakin banyak kegiatan maka semakin besar resiko pembusukan. Penelitian pengolahan minimal buah-buahan sudah banyak dilakukan seperti hasil penelitian (Kim et al., 1993) pada beberapa kultivar apel dengan perlakuan dikupas dan dipotong kemudian disimpan pada suhu 2 oC dan RH 90% dibandingkan dengan buah utuh selama 12 hari menunjukkan bahwa laju respirasi buah utuh 1 ml CO2/kg.jam dan buah yang dipotong 3.5-7.6 ml CO2/kg.jam. Permasalahan mendasar yang ditimbulkan dari penerapan pengolahan minimal ialah perlakuan pengolahan minimal terhadap buah segar akan menyebabkan perubahan
9
fisiologi akibat kehilangan kulit sebagai lapisan pelindung. Hal ini akan menyebabkan terjadinya induksi sintesis etilen, degradasi membran lipid, reaksi pencoklatan, pembentukan metabolit sekunder, kehilangan air, dan terjadinya peningkatan laju respirasi. Untuk buah non klimaterik produksi etilen tidak berpengaruh pada tingkat kematangan (Brecht, 1995), sedangkan reaksi pencoklatan terjadi dikarenakan permukaan potongan buah mengalami kerusakan sebagai akibat rusaknya beberapa jaringan penyusun terutama pada saat sel-sel jaringan yang pecah kemudian mengalami kontak dengan udara dan terjadi oksidasi (Brecht, 1995). Pemotongan atau pengupasan buah-buahan mempengaruhi aktivitas jaringan dan meningkatkan laju penguapan air. Perbedaan laju kehilangan air antara permukaan buah-buahan yang belum terpotong dan sudah terpotong/teriris berkisar 5-10 kali (Brecht, 1995). Menurut Budaraga (1998), laju konsumsi O2 dan produksi CO2 buah siap hidang pada suhu penyimpanan 10 oC masing-masing 5.524 mol/kg.dt x 10
-5
dan 5.252
-5
mol/kg.dt x 10 , lebih besar dibanding pada buah utuh masing-masing 3.852 mol/kg.dt x 10 -5 dan 3.9471 mol/kg.dt x 10 -5. Selama proses respirasi dikeluarkan CO2 dan H2O serta dikonsumsi O2 disekitarnya dan diikuti oleh proses kerusakan yang cepat. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas produk hasil olahan minimal buahbuahan meliputi kondisi pertumbuhan kultivar dan tingkat kematangan pada saat dipanen, cara pemanenan dan lama penyimpanan serta kondisinya (Shewfelt, 1987). Terdapat beberapa perlakuan yang dapat dilakukan untuk meminimkan terjadinya kerusakan buah oleh minimal menurut (Cantwell, 1992) adalah penyimpanan pada suhu rendah, penggunaan bahan tambahan, penyimpanan pada kondisi termodifikasi, dan penggunaan lapisan edibel. (O’Connor-Shaw et al., 1994) merekomendasikan penyimpanan produk terolah minimal dari buah melon, pepaya, kiwi nenas dan blewah pada suhu 4 oC dapat memperpanjang umur simpan 3 hari dibandingkan disimpan pada suhu rekomendasi buah-buahan tersebut dalam keadaan utuh yang umumnya berada pada suhu lebih besar dari 8.5 oC. Menurut (Purwadaria, 1997), umur simpan buah mangga arumanis terolah minimal pada suhu 15 oC (6 hari) lebih pendek dibandingkan penyimpanan suhu 10 oC (8 hari), penyimpanan suhu 10 oC terhadap bentuk irisan tidak berpengaruh terhadap laju respirasi, susut bobot dan perubahan kekerasan.
10
D. Buah Terolah Minimal dengan Pelapis Edibel Terdapat beberapa perlakuan pasca yang dapat dilakukan untuk buah yang telah terolah minimal, yaitu berupa pencelupan segera ke dalam larutan inhibitor atau antioksidan setelah pengolahan minimum, pelapisan buah terolah minimal dengan lapisan edibel, penyimpanan suhu rendah, memodifikasi komposisi atmosfir, dan penggunaan film kemasan. Perlakuan-perlakuan tersebut dapat dilakukan secara sendiri-sendiri atau merupakan kombinasi dari perlakuan-perlakuan tersebut, selain itu film edibel dapat bersifat sebagai penghalang yang baik terhadap oksigen, karbon dioksida dan uap air sehingga dapat menekan pertumbuhan kapang, jamur, dan bakteri selama penyimpanan dan distribusi (Baldwin et al., 1995). (Setiasih et al., 1997) membuktikan bahwa pelapis edibel dengan bahan dasar Low Methoxy Pectins (LMP) dapat diaplikasikan pada buah segar terolah minimal. Mutu mangga arumanis terolah minimal dapat dipertahankan lebih lama dengan memberikan pelapis film edibel yang ditambah asam lemak (Zulfebriadi, 1998 dan Setiasih et al., 1998) Pelapis edibel didefinisikan sebagai lapisan tipis dan kontinyu yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk melapisi komponen makanan yang berfungsi sebagai barrier terhadap transfer massa (kelembaban, O2, cahaya, lipida, dan zat terlarut) atau sebagai bahan makanan aditif, serta meningkatkan penanganan suatu makanan. Dengan demikian produk segar termasuk buah dan sayuran yang dilapis dengan edibel yang sesuai dapat terlindungi dari kerusakan sehingga masa simpannya dapat diperpanjang (Krochta at al., 1992). Komponen pelapis edibel dapat dibagi menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu hidrokoloid, lipid dan campurannya. Hidrokoloid yang biasa digunakan adalah protein, deriat selulosa, alginat, pektin, pati, dan polisakarida lainnya. Lipid yang biasanya digunakan untuk lapisan edibel ialah lilin, asilgliserol dan asam lemak. Pelapis campuran dapat berbentuk bilayer, dimana lapisan yang satu adalah hidrokoloid bercampur dalam lapisan (Krochta at al., 1992). Pelapis edibel yang dibuat dari hidrokoloid mempunyai beberapa kelebihan, diantaranya baik untuk melindungi produk terhadap oksigen, karbondioksida dan lipid serta memiliki sifat mekanis yang diinginkan, selain itu meningkatkan kesatuan 11
struktural produk. Sedangkan kekurangannya yaitu bungkus dari karbohidrat kurang bagus digunakan untuk mengatur migrasi uap air dan bungkus dari protein biasanya sangat dipengaruhi oleh perubahan PH. Pelapis edibel dari lipid mempunyai kelebihan yaitu baik digunakan untuk melindungi produk dari penguapan air atau sebagai bahan pelapis untuk mengoles produk konfeksioneri. Sedangkan kekurangannya yaitu kegunaanya dalam bentuk murni sebagai pelapis terbatas, karena cukup banyak kekurangan dan ketahanannya. Pelapis edibel dari komposit (gabungan hidrokoloid dan lipid) dapat meningkatkan kelebihan dari lapisan hidrokoloid dan lipid, serta mengurangi kelemahannya (Krochta et al., 1992). Menurut (Wuryani et al., 1998), suhu penyimpanan untuk mangga arumanis terolah minimal berlapis film edibel terpilih 10 oC dengan ketebalan pelapis edibel 50 µm. Larutan edibel lainnya yang dapat digunakan selain dari isolat protein ialah glukomanan, dimana buah melon dicelupkan sebanyak dua kali kedalam larutan edibel (glukomanan) yang berasal dari tanaman iles-iles. Menurut Marchesault dan Sarko (1967) berdasarkan bentuk ikatannya dibedakan menjadi dua golongan manan, yaitu glukomanan dan galaktomanan. Glukomanan merupakan polisakarida yang tersusun oleh satuan D-glukosa dan D-mannosa dengan perbandingan dua banding satu (Smith dan Srivasta, 1956). Di dalam industri makanan tepung manan dapat digunakan sebagai zat pengental, misalnya dalam pembuatan sirup, sari buah dan sebagainya. Di Jepang, tepung manan telah secara luas digunakan untuk makanan tradisional dengan shirataki dan konyaku. Menurut Dekker (1979), jika manan dikonsumsi maka bahan makanan dapat menurunkan kadar kolesterol dalam darah. E. Buah Terolah Minimal dengan Pelapis Edibel dalam Kemasan Atmosfir Termodifikasi. Penyimpanan pada suhu rendah merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan kesegaran dari buah-buahan. Diketahui bahwa buah-buahan merupakan komoditas yang mudah sekali mengalami kerusakan setelah panen, baik kerusakan secara fisik, mekanis, maupun mikrobiologis. Penyimpanan dengan suhu
12
rendah dapat menghambat kelayuan, laju repirasi, dan kecepatan reaksi biokimia, serta laju pertumbuhan mikroba. Penurunan kecepatan tumbuh mikroba pada suhu rendah disebabkan oleh terjadinya denaturasi enzim atau penghambatan terhadap sintesa enzim-enzim yang dibutuhkan oleh mikroba. Menurut Sudibyo (1985), penyimpanan suhu rendah bertujuan menekan kecepatan respirasi sehingga berjalan lambat dan ketahanan simpan lebih lama dengan mutu yang masih baik. Penyimpanan dengan atmosfir termodifikasi dapat diartikan sebagai suatu teknik atau cara penyimpanan dimana tingkat konsentrasi O2 lebih rendah dan tingkat gas CO2 lebih tinggi bila dibandingkan dengan udara atmosfir. Kondisi tersebut dapat tercapai dengan pengaturan melalui kemasan (Pantastico, 1989). Menurut Budiastra dan Purwadaria (1993), Modified Atmosphere Packaging (MAP) diartikan sebagai suatu keadaan dimana komposisi udara sekitar bahan yang disimpan, berbeda dengan kondisi udara atmosfer. Perbedaan komposisi udara tersebut mungkin disengaja dengan menambah atau mengurangi konsentrasi gas didalam kemasan (MA aktif), atau terbentuk akibat kegiatan respirasi dan metabolisme bahan yang disimpan (MA pasif). Penurunan konsentrasi O2 atau peningkatan CO2 dalam penyimpanan Sistem atmosfir termodifikasi dapat menunda pemasakan buah, mengurangi laju respirasi dan produksi etilen, mengurangi sensitifitas etilen, memperlambat proses pelunakan buah, dan memperlambat perubahan komposisi kimia buah dalam proses pemasakan buah (Kader, 1990). Untuk memperlambat proses pematangan, buah dapat disimpan dalam ruang dingin yang dikombinasikan dengan pengaturan konsentrasi O2 dan CO2. Berkurangnya konsentrasi O2 dan bertambahnya konsentrasi CO2 dalam udara lingkungan buah akan memperlambat perubahan fisiologis yang berhubungan dengan proses pematangan buah. Untuk buah-buahan klimaterik penurunan konsentrasi O2 dibawah 8% atau meningkatnya konsentrasi CO2 diatas 1% akan memperlambat pematangan buah (Kader, 1990). Menurut (Sivertsvi et al., 2002), keefektifan MAP (Modified Atmosphere Packaging) dapat memperpanjang umur simpan, tetapi tergantung beberapa faktor: 13
jenis pangan, kualitas awal bahan, campuran gas, suhu penyimpanan, higinis selama penanganan dan pengemasan, jumlah gas yang diproduksi dan sifat permeabilitas kemasan. Berdasarkan penelitian (Wuryani et al., 1999) telah ditemukan model simulasi untuk penanganan bauh mangga terolah minimal berlapis edibel dalam kemasan atmosfir termodifikasi. Dengan menggunakan analisis deskripsi kuantitatif sehingga dapat diketahui bau dan rasa buah mangga terolah minimal berlapis edibel dengan penyimpanan suhu rendah. Buah mangga terolah minimal berlapis edibel yang dimasukkan kedalam kemasan MAP (Modified Atmosphere Packaging) yang ditutup dengan stretch film pada suhu 10 oC dapat dipertahankan umur simpannya hingga lima hari (Rusmono et al., 1999).
14