27
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Otonomi Daerah 2.1.1. Pengertian Otonomi Daerah Menurut Ketentuan Umum Undang-Undang No.32 tahun 2004 Pasal 1 yang dimaksud dengan Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan. Daerah otonomi yang dimaksud adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilyah yang berwenang
mengatur
dan
mengurus
urusan
pemerintahan
dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem negara Kesatuan republik Indonesia. Menurut Wayang yang dikutip Syafrudin (1984) otonomi daerah adalah kebebasan untuk memelihara dan menjalankan kepentingan khusus sedaerah, dengan keuangan sendiri, menentukan hukum sendiri, dan berpemerintahan sendiri. Syafrudin (1984) berpendapat bahwa istilah otonomi mempunyai makna
kebebasan
atau
kemandirian
tetapi
bukan
kemerdekaan.
Kebebasan yang terbatas atas kemandirian adalah wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan. Pengertian otonomi daerah yang melekat dalam keberadaan pemerintah daerah juga sangat berkaitan dengan desentralisasi. Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat (nasional) kepada pemerintah lokal atau daerah sedangkan kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingannya sesuai dengan aspirasi dan keputusannya dikenal sebagai otonomi daerah. Dengan pemahaman ini maka otonomi daerah merupakan inti dari desentralisasi. Jadi yang dimaksud otonomi daerah pada pokoknya selalu melihat otonomi itu sebagai hal, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.1.2. Keuangan Daerah
28 Keuangan daerah mempunyai arti yang sangat penting dalam rangka pelaksanaan pemerintahan dan kegiatan pembangunan oleh pelayanan kemasyarakatan di daerah. Oleh karena itu keuangan daerah diupayakan untuk berjalan secara berdaya guna dan berhasil guna. Secara
konseptual
munculnya
otonomi
daerah
telah
memberikan
keleluasaan daerah untuk mengatur dan mengurus sumber-sumber penerimaan daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah dan Sumber-sumber Penerimaan lainnya. Sehingga kebijakan keuangan daerah diarahkan pada upaya penyesuaian secara
terarah
dan
sistematis
untuk
menggali
sumber-sumber
pendapatan daerah bagi pembiayaan pembangunan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kebijakan ini juga diarahkan pada penerapan prinsip-prinsip, norma, asas, dan standar akuntansi dalam penyusunan APBD agar mampu menjadi dasar bagi kegiatan pengelolaan, pengendalian, pemeriksaan dan pengawasan keuangan daerah. Tujuan keuangan daerah pada masa otonomi adalah menjamin tersedianya keuangan daerah untuk pembiayaan pembangunan daerah, pengembangan pengelolaan keuangan daerah yang memenuhi prinsip, norma, asas, dan standar akuntansi serta meningkatkan PAD secara kreatif melalui penggalian potensi, intensifikasi dan ekstensifikasi. Tujuan ini diupayakan agar tidak berbenturan dengan upaya menarik investasi baik dari dalam negeri atau yang dikenal dengan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun investasi dari luar yang disebut juga sebagai Penanaman Modal Asing (PMA). Sedangkan sasaran yang ingin dicapai keuangan daerah adalah kemandirian keuangan daerah melalui upaya yang terencana, sistematis dan berkelanjutan, efektif dan efisien. Penyelenggaraan tugas pemerintahan di suatu negara memerlukan sumber-sumber pembiayaan untuk menunjang kegiatan yang dijalankan oleh pemerintah daerah. Hal ini berarti bahwa penyediaan sumber keuangan
tersebut
sebanding
dengan
kegiatan-kegiatan
yang
dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Undang Undang No.32/2004 dan UU No.33/2004 memberikan peluang lebih banyak bagi daerah untuk menggali
potensi
sumber-sumber
penerimaan
daerah
dibanding
29 peraturan-peraturan sebelumnya. Peraturan-peraturan sebelumnya lebih banyak memberikan keleluasaan pemerintah di atasnya untuk menggali sumber-sumber penerimaan. Penerimaan daerah sesuai dengan Pasal 5 UU No.32 Tahun 2004 terdiri dari: 1. Pendapatan asli daerah yang meliputi:
a) Hasil pajak daerah b) Hasil retribusi daerah c) Laba perusahaan daerah (BUMD) d) Lain-lain hasil usaha daerah yang sah 2. Pendapatan yang berasal dari pusat meliputi: a) Sumbangan dari pemerintah b) Sumbangan-sumbangan
lain
yang
diatur
dengan
peraturan
perundangundangan 3. Lain-lain pendapatan daerah yang sah Berdasarkan uraian tersebut PAD terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan daerah, dan lain-lain hasil usaha daerah yang sah. Di bawah ini akan dijelaskan dari 2 komponen PAD, yaitu pajak daerah dan retribusi daerah.
1. Hasil Pajak Daerah Menurut Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah, yang dimaksud dengan pajak daerah adalah iuran yang wajib dilakukan oleh orang pribadi atau badan pada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan daerah. Penggolongan pajak daerah mencakup: a. Pajak propinsi terdiri dari : 1) Pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air 2) Bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air 3) Pajak bahan bakar kendaraan bermotor
30 4) Pajak pengembalian dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan b. Pajak kabupaten /kota terdiri dari : 1) Pajak parkir Objek pajak parkir antara lain tempat penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan, baik yang disediakan sebagai suatu usaha, tempat penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor dan garasi kendaraan bermotor yang memungut bayaran. Yang tidak termasuk objek pajak adalah penyelenggaraan tempat parkir oleh pemerintah pusat
dan
daerah,
kedutaan
dan
perwakilan
negara
asing.
Penyelenggaraan tempat parkir diatur oleh pemerintah daerah. Subjek parkir antara lain orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran atas tempat parkir, maupun orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan tempat parkir. Tarif pajak parkir paling tinggi sebesar 20 persen yang diatur oleh pemerintah daerah. Dasar pengenaan pajak parkir adalah orang pribadi atau badan yang seharusnya dibayar untuk pemakaian tempat parkir. 2) Pajak hotel 3) Pajak restoran 4) Pajak hiburan 5) Pajak reklame 6) Pajak penerangan jalan 7) Pajak pengambilan bahan galian golongan C Selain jenis pajak yang telah ditetapkan tersebut, pemerintah daerah juga memiliki wewenang untuk menetapkan jenis pajak yang lain dengan mengeluarkan peraturan daerah. Jenis pajak tersebut harus memenuhi kriteria sebagai berikut: 1) Bersifat pajak dan bukan retribusi
31 2) Objek pajak terletak/terdapat di wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta harus melayani masyarakat di wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan. 3) Objek dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum 4) Objek bukan merupakan pajak propinsi atau objek pajak pusat 5) Potensinya memadai 6) Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif 7) Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat 8) Menjaga kelestarian lingkungan 2. Hasil retribusi daerah Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 menyebutkan bahwa retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atau jasa atau pemberian izin yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan pribadi atau badan. Menurut Kunarjo (1993) retribusi adalah pungutan uang sebagai pembayaran pemakaian atau karena memperoleh pekerjaan, atau usaha milik pemerintah baik yang berkepentingan atau jasa yang diberikan oleh pemerintah dan berdasarkan peraturan umum yang dibuat oleh pemerintah. Kaho (1997) menyatakan pungutan daerah sebagai
pembayaran pemakaian atau karena mernperoleh jasa
pekerjaan. Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa
retribusi
daerah
merupakan
pungutan
daerah
sebagai
pembayaran atas pemakaian jasa atau karena mendapatkan jasa pekerjaan, usaha atau milik daerah bagi yang berkepntingan atau karena jasa yang diberikan oleh pemerintah daerah. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang retribusi daerah, dapat digolongkan menjadi:
a. Retribusi Jasa Umum Adalah retribusi jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan kemanfaatan umum
32 serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Jenis retribusi jasa umum antara lain retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum yaitu penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh pemerintah daerah. Karena jalan menyangkut kepentingan umum, penetapan jalan umum sebagai tempat parkir mengacu kepada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, retribusi
pelayanan kesehatan, retribusi pelayanan
persampahan/kebersihan, retribusi penggantian biaya cetak kartu tanda penduduk dan akte catatan sipil, retribusi pelayanan pemakaman bermotor,
dan retribusi
penguburan
mayat,
pemeriksaan
alat
retribusi
kendaraan
pemadam
kebakaran,
retribusi biaya cetak peta, retribusi pengujian kapal perikanan, dan retribusi pelayanan pasar.
b. Retribusi Jasa Usaha Adalah retribusi yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. Jenis-jenis retribusi jasa usaha antara lain retribusi tempat parkir khusus yaitu penyediaan tempat parkir yang khusus disediakan. Retribusi ini dimiliki dan atau dikelola oleh pemerintah daerah, tidak termasuk dikelola oleh badan usaha milik daerah dan pihak swasta. Retribusi pemakaian kekayaan daerah, retribusi pasar grosir /pertokoan, retribusi tempat pelelangan, retribusi terminal, retribusi tempat penginapan, retribusi penyedotan kakus, retribusi pelabuhan kapal, retribusi potong hewan, retribusi tempat rekreasi dan olahraga, retribusi tempat penyeberangan di atas air, retribusi pengolahan limbah cair, dan retribusi penjualan produksi usaha daerah. c. Retribusi perizinan tertentu Adalah retribusi atas kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumberdaya alam, barang, prasarana, sarana atau faslitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan
33 menjaga kelestarian lingkungan. Jenis retribusi perizinan tertentu antara lain retribusi mendirikan bangunan, retribusi izin menjual tempat minuman alkohol, retribusi izin gangguan, retribusi izin trayek, hasil perusahaan daerah (BUMD), serta lain-lain hasil usaha daerah yang sah. 2.2 Rasio Keuangan Pemerintah daerah sebagai pihak yang diserahi tugas menjalankan roda pemerintahan, pembangunan, dan layanan sosial masyarakat wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan daerahnya untuk dinilai apakah pemerintah daerah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak. Dalam instansi pemerintahan pengukuran kinerja tidak dapat diukur dengan rasio-rasio yang biasa didapatkan dari sebuah laporan keuangan dalam suatu perusahaan seperti, Return on Investment. Hal ini disebabkan karena sebenarnya dalam kinerja pemerintah tidak ada “Net Profit”. Kewajiban pemerintah untuk mempertanggungjawabkan kinerjanya dengan sendirinya dipenuhi dengan menyampaikan informasi yang relevan sehubungan dengan hasil program yang dilaksanakan kepada wakil rakyat dan juga kelompok-kelompok masyarakat yang memang ingin menilai kinerja pemerintah. Pelaporan
keuangan
pemerintah
pada
umumnya
hanya
menekankan pada pertanggungjawaban apakah sumber yang diperoleh sudah digunakan sesuai dengan anggaran atau perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian pelaporan keuangan yang ada hanya memaparkan informasi yang berkaitan dengan sumber pendapatan pemerintah, bagaimana penggunaannya dan posisi pemerintah saat itu. Salah satu alat untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melaksanakan analisis rasio terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya. Hasil analisis rasio keuangan ini selanjutnya digunakan untuk: a. Menilai
kemandirian
keuangan
daerah
dalam
membiayai
penyelengggaraan otonomi daerah b. Mengukur efektivitas dan efisiensi dalam merealisasikan pendapatan daerah
34 c. Mengukur
sejauhmana
aktivitas
pemerintah
daerah
dalam
membelanjakan pendapatan daerahnya d. Mengukur kontribusi masing-masing sumber pendapatan dalam pembentukan pendapatan daerah e. Melihat pertumbuhan atau perkembangan perolehan pendapatan dan pengeluaran yang dilakukan selama periode waktu tertentu Penggunaan analisis rasio pada sektor publik khususnya terhadap APBD belum banyak dilakukan, sehinggga secara teori belum ada kesepakatan secara utuh mengenai nama dan kaidah pengukurannya. Meskipun demikian dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang transparan, jujur, demokratis, efektif, efisien dan akuntabel, analisis rasio terhadap APBD perlu dilaksanakan meskipun kaidah pengakuntansian dalam APBD berbeda dengan keuangan yang dimiliki oleh perusahaan swasta (Halim, 2002). Suprapto (2007) menilai bahwa analisis rasio keuangan pada APBD dapat dilakukan dengan membandingkan hasil yang dicapai dari satu periode dibandingkan dengan periode sebelumnya sehinggga dapat diketahui bagaimana kecenderungan yang terjadi. Selain itu dapat pula dilakukan
dengan
cara
membandingkan
dengan
rasio
keuangan
pemerintah daerah tertentu dengan rasio keuangan daerah lain yang terdekat ataupun potensi daerahnya relatif sama untuk dilihat bagaimana posisi keuangan pemerintah daerah tersebut terhadap pemerintah daerah lainnya. Ia menilai bahwa terdapat beberapa pihak yang berkepentingan dengan rasio keuangan pada APBD, yaitu: 1. DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) DPRD adalah badan yang memberikan otorisasi kepada pemerintah daerah untuk mengelola laporan keuangan daerah. 2. Badan eksekutif Badan eksekutif merupakan badan penyelenggara pemerintahan yang menerima otorisasi pengelolaan keuangan daerah dari DPRD, seperti Gubernur, Bupati, Walikota, serta pimpinan unit Pemerintah Daerah linnya.
35
3. Badan pengawas keuangan Badan Pengawas Keuangan adalah badan yang melakukan pengawasan atas pengelolaan keuangan daerah yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Yang termasuk dalam badan ini adalah Inspektorat Jendral, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan Badan Pemeriksa Keuangan. 4. Investor, kreditor dan donatur Badan atau organisasi baik pemerintah, lembaga keuangan, maupun lainnya baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang menyediakan sumber keuangan bagi pemerintah daerah. 5. Analisis ekonomi dan pemerhati pemerintah daerah Yaitu pihak-pihak yang menaruh perhatian atas aktivitas yang dilakukan Pemerintah Daerah, seperti lembaga pendidikan, ilmuwan, peneliti dan lain-lain. 6. Rakyat Rakyat dalam konteks ini adalah kelompok masyarakat yang menaruh perhatian kepada aktivitas pemerintah khususnya yang menerima pelayanan pemerintah daerah atau yang menerima produk dan jasa dari pemerintah daerah 7. Pemerintah Pusat Pemerintah pusat memerlukan laporan keuangan pemerintah daerah untuk menilai pertanggungjawaban Gubernur sebagai wakil pemerintah (Pasal 2 PP No. 108/2000). Suprapto (2007) menyatakan ada beberapa jenis rasio yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja keungan pemerintah daerah, yaitu:
2.2.1. Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Halim
(2002)
menyatakan
bahwa
tingkat
kemandirian
menggambarkan citra kemandirian daerah dalam berotonomi yang dapat diketahui melalui seberapa besar kemampuan sumberdaya keuangan daerah tersebut agar mampu membangun daerahnya di samping mampu
36 pula untuk bersaing secara sehat dengan kabupaten lainnya dalam mencapai otonomi yang sesungguhnya. Tingkat kemandirian keuangan daerah menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerahnya. Upaya untuk mengukur tingkat kemandirian yaitu dengan membandingkan besarnya realisasi PAD dengan total pendapatan daerah yang ditunjukkan dengan rumus sebagai berikut:
TK =
∑ PAD x 100% ∑ PD
Keterangan : TK
= Tingkat Kemandirian
ΣPAD = Penerimaan Asli Daerah ΣPD
= Total Penerimaan Daerah
Berdasarkan formula di atas dapat diketahui bahwa tingkat kemandirian keuangan daerah merupakan gambaran sejauhmana ketergantungan daerah terhadap sumber dana dari luar (eksternal). Semakin tinggi rasio ini berarti tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak luar (terutama pemerintah pusat dan propinsi) semakin rendah, demikian pula sebaliknya. Pola hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dapat dilihat dalam pola hubungan sebagai berikut: a. Pola hubungan instruktif Pada pola hubungan ini peranan pemerintah pusat lebih dominan dari pada kemandirian pemerintah daerah (daerah yang tidak mampu melaksanakan otonomi daerah) b. Pola hubungan konsultatif Karakteristik dari pola hubungan ini ditandai oleh berkurangnya campur tangan pemerintah pusat, karena daerah dianggap sedikit lebih mampu melaksanakan otonomi. c. Pola hubungan partisipatif
37 Pola hubungan partisipatif memiliki ciri adanya peranan pemerintah pusat yang semakin berkurang mengingat daerah yang bersangkutan tingkat kemandiriannya mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi daerah. d. Pola hubungan delegatif Pada pola hubungan ini ditandai sudah tidak adanya campur tangan pemerintah pusat karena daerah telah benar-benar mampu mandiri dalam melaksanakan urusan otonomi daerah. Nadeak (2003) menghubungkan pola hubungan tersebut dengan perhitungan tingkat kemandirian sehingga memunculkan empat kategori kemampuan daerah dari sisi keuangan. Uraian dari empat kategori tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Pola Hubungan dan Tingkat Kemandirian Daerah Pola Hubungan
Tingkat Kemandirian (%)
Kemampuan Keuangan
Instruktif
0 - 25
Rendah Sekali
Konsultatif
25 - 50
Rendah
Partisipatif
50 - 75
Sedang
Delegatif
75 - 100
Tinggi
Sumber: Nadeak, 2003 Tingkat kemandirian juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio ini berarti semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen dari PAD.
2.2.2. Tingkat Efektivitas Keuangan Daerah Rasio efektivitas menurut Halim (2002) adalah kemampuan pemerintahan daerah dalam merealisasikan pendapatan asli daerah (PAD) yang
direncanakan
dibandingkan
dengan
target
yang
ditetapkan
38 berdasarkan potensi riil daerah. Perhitungan tingkat efektivitas keuangan daerah dapat ditunjukkan dengan rumus sebagai berikut:
T .Efe =
∑ PAD x100% TPPAD
Keterangan : T.Efe
= Tingkat Efektivitas
Σ PAD
= Realisasi penerimaan PAD
TPPAD
= Target penerimaan PAD berdasarkan potensi daerah
Kemampuan daerah dalam menjalankan tugas dikategorikan efektif apabila rasio yang dicapai minimal 100 persen. Semakin tinggi nilai efektivitas
menggambarkan
kemampuan
daerah
dalam
hal
upaya
mengumpulkan PAD semakin baik.
2.2.3. Tingkat Efisiensi Keuangan Daerah Rasio
efesiensi
merupakan
rasio
yang
menggambarkan
perbandingan antara besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan
dengan
realisasi
pendapatan
yang
diterima.
Untuk
memperoleh tingkat efisiensi dapat digunakan rumus sebagai berikut:
T.Efi =
∑ BPPAD ∑ PAD
Keterangan : T. Efi
= Tingkat efisiensi
ΣBPPAD
= Biaya pungut PAD
ΣPAD
= Realisasi Penerimaan PAD Pemerintah daerah perlu menghitung secara cermat berapa
besarnya
biaya
yang
dikeluarkan
untuk
merealisasikan
seluruh
pendapatan yang diterimanya sehingga dapat diketahui apakah kegiatan pemungutan pendapatannya tersebut efisien atau tidak. Hal itu perlu dilakukan karena meskipun Pemerintah Daerah berhasil merealisasikan pendapatan sesuai dengan target yang ditetapkan, namun keberhasilan itu kurang memiliki arti apabila ternyata biaya yang dikeluarkan untuk
39 merealisasikan target penerimaan pendapatannya itu lebih besar dari pada realisasi pendapatan yang diterimanya. Pemungutan pendapatan dikategorikan efisien, apabila rasio yang dicapai kurang dari 1 (satu) atau di bawah 100 persen. Semakin kecil rasio efisien berarti kinerja pemerintah semakin baik. 2.3. Analytical Hierarchy Process (AHP) Perancangan suatu program yang bertujuan untuk meninmgkatkan PAD dapat dilakukan dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). AHP merupakan suatu model pendukung keputusan yang dikembangkan oleh
Saaty
(1993).
AHP
menguraikan
masalah
multifaktor
atau
multikriteria yang kompleks menjadi suatu hirarki. Menurut Saaty (1993), hirarki
didefinisikan
sebagai
suatu
representasi
dari
sebuah
permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multilevel dimana level pertama adalah tujuan, yang diikuti level faktor, kriteria, sub kriteria, dan seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari alternatif. Dengan hirarki, suatu masalah yang kompleks dapat diuraikan ke dalam kelompokkelompoknya yang kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki sehingga permasalahan akan tampak lebih terstruktur dan sistematis. Sebagai sebuah metode analisis, AHP pun memiliki kelebihan dan kelemahan dalam system analisisnya. Kelebihan-kelebihan analsis ini adalah : 1. Kesatuan (Unity) AHP membuat permasalahan yang luas dan tidak terstruktur menjadi suatu model yang fleksibel dan mudah dipahami. 2. Kompleksitas (Complexity) AHP memecahkan permasalahan yang kompleks melalui pendekatan sistem dan pengintegrasian secara deduktif. 3. Saling ketergantungan (Inter Dependence) AHP dapat digunakan pada elemen-elemen sistem yang saling bebas dan tidak memerlukan hubungan linier. 4. Struktur Hirarki (Hierarchy Structuring)
40 AHP mewakili pemikiran alamiah yang cenderung mengelompokkan elemen sistem ke level-level yang berbeda dari masing-masing level berisi elemen yang serupa. 5. Pengukuran (Measurement) AHP menyediakan skala pengukuran dan metode untuk mendapatkan prioritas. 6. Konsistensi (Consistency) AHP mempertimbangkan konsistensi logis dalam penilaian yang digunakan untuk menentukan prioritas. 7. Sintesis (Synthesis) AHP mengarah pada perkiraan keseluruhan mengenai seberapa diinginkannya masing-masing alternatif. 8. Trade Off AHP mempertimbangkan prioritas relatif faktor-faktor pada sistem sehingga orang mampu memilih altenatif terbaik berdasarkan tujuan mereka. 9. Penilaian dan Konsensus (Judgement and Consensus) AHP
tidak
mengharuskan
adanya
suatu
konsensus,
tapi
menggabungkan hasil penilaian yang berbeda. 10. Pengulangan Proses (Process Repetition) AHP
mampu
permasalahan
membuat dan
orang
menyaring
mengembangkan
definisi
penilaian
serta
dari
suatu
pengertian
mereka melalui proses pengulangan. Sedangkan kelemahan metode AHP adalah sebagai berikut: 1. Ketergantungan model AHP pada input utamanya. Input utama ini berupa persepsi seorang ahli sehingga dalam hal ini melibatkan subyektifitas sang ahli selain itu juga model menjadi tidak berarti jika ahli tersebut memberikan penilaian yang keliru. 2. Metode AHP ini hanya metode matematis tanpa ada pengujian secara statistik sehingga tidak ada batas kepercayaan dari model yang terbentuk.
41 Dalam memecahkan persoalan dengan analisis logis eksplisit, ada tiga prinsip menurut Falatehan (2007), yaitu: a. Menyusun Hirarki Menyusun hirarki ialah menggambarkan dan menguraikan secara hirarki, yaitu dengan memecah persoalan menjadi unsur-unsur yang terpisah. Menurut Saaty (1993) sasaran keseluruhan yang sifatnya luas disebut sebagai fokus dan merupakan tingkat puncak hirarki yang terdiri dari satu elemen. Tingkat berikutnya dapat terdiri dari beberapa elemen menurut hubungan esensial yang sama dan berada dalam tingkat hirarki yang sama. Hirarki antara beberapa elemen dalam level yang sama disebut sebagai hirarki fungsional. Sedangkan hubungan setiap elemen dalam suatu tingkat yang dibandingkan satu dengan lainnya terhadap kriteria yang berada di atasnya disebut sebagai hirarki struktural. Hirarki ini memiliki karakteristik sistem yang kompleks dalam urutan menurun berdasarkan sifat strukturalnya. Jumlah tingkat dalam suatu hirarki tidak dibatasi. Bila elemen-elemen dalam suatu tingkat tidak dapat dibandingkan dengan mudah, maka suatu tingkat baru dapat dibuat lagi, karena hirarki bersifat luas. b. Menentukan Prioritas Penentuan prioritas ini berdasarkan atas perbedaan prioritas dan sintesis, yaitu menentukan peringkat elemen-elemen menurut relatif tingkat kepentingannya. Langkah pertama dalam menentukan prioritas yaitu dengan membuat perbandingan berpasangan dari setiap elemen yang berpasangan.
Bentuk dari perbandingan ini biasanya dalam
bentuk matriks. Langkah ini dapat dimulai pada puncak hirarki untuk memilih kriteria atau sifat yang akan digunakan untuk melakukan perbandingan yang pertama (C). Lalu elemen tingkat bawahnya dibandingkan,
misalnya
A1,
A2,
A3,
dan
seterusnya.
perbandingan berpasangan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Contoh Matriks untuk Perbandingan Berpasangan C
A1
A2
A3
...
An
Proses
42 A1 A2 A3 ...
1 1 1 ...
An
1
Matriks dalam Tabel 4 dapat diisi dengan menggunakan angka yang berdasarkan skala nilai antara nilai 1 hingga 9. Tabel 5 menguraikan tentang definisi dari nilai 1 hingga 9 tersebut. Tabel 5. Skala Banding secara Berpasangan Intensitas
Keterangan
1
Kedua elemen sama pentingnya
3
Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang lainnya
5
Elemen yang satu lebih penting daripada elemen yang lain
7
Elemen sang satu jelas lebih penting daripada elemen yang lain.
9
Elemen yang satu mutlak lebih penting daripada elemen yang lain
2, 4, 6, 8
•
Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan • Jika untuk aktivitas ke-I mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas ke-j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i. Sumber : Saaty (1993) dalam Falatehan (2007) Langkah selanjutnya adalah sintesis, yaitu proses menyatukan atau mensintesis pertimbangan yang telah dibuat dalam perbandingan berpasangan, dengan cara pembobotan dan penjumlahan untuk menghasilkan satu bilangan tunggal yang menunjukkan prioritas
43 setiap elemen. Semakin tinggi nilai suatu pilihan, semakin tinggi prioritasnya. Langkah dalam melakukan sintesis adalah sebagai berikut setelah matriks terisi dilakukan sintesis pertimbangan dengan cara membagi nilai perbandingan dengan jumlah setiap kolom untuk memperoleh matriks yang dinormalisasi. Sebagai contoh adalah pemilihan prioritas alokasi anggaran dengan kriteria ketersediaan dana, prioritas anggaran, dan dukungan kelembagaan. Misalnya ketersediaan dana (Dana) setengah kali lebih penting dibanding prioritas
anggaran
(PA)
dan
seperempat
kali
dari
dukungan
kelembagaan (DK). Dari Tabel 6 terlihat bahwa prioritas anggaran dua kali lebih penting dari ketersediaan dana dan dukungan kelembagaan empat kali lebih penting dari ketersediaan dana. Tabel 6. Mensintesis Pertimbangan Alokasi
Dana
PA
DK
Dana
1
½
¼
PA
2
1
½
DK
4
2
1
Jumlah
7
3,5
1,75
Setelah dimasukkan matriks tersebut dinormalisasi dengan cara membagi setiap entri kolom dengan jumlah pada kolom tersebut sehingga diperoleh matriks yang dinormalisasi dan disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Matriks yang dinormalisasi Alokasi
Dana
PA
DK
Dana
1/7
1/7
1/7
PA
2/7
2/7
2/7
44 DK Jumlah
4/7
4/7
4/7
7
3,5
1,75
Setelah mendapatkan nilai matriks yang dinormalisasi kemudian dirata-ratakan dengan cara
menjumlahkan nilai dalam setiap baris
dari matriks yang dinormalisasi tersebut, lalu membaginya dengan banyaknya entri dari setiap baris.
1 1 1 + + 7 7 7 = 1 = 0,14 3 7
: Ketersediaan Dana
2 2 2 + + 7 7 7 = 2 = 0,29 3 7
: Prioritas Anggaran
4 4 4 + + 7 7 7 = 4 = 0,57 3 7
: Dukungan Kelembagaan
Sintesis ini menghasilkan persentase prioritas relatif menyeluruh. Dari contoh di atas maka prioritasnya adalah dukungan kelembagaan dengan
bobot
57,
prioritas
anggaran
ketersediaan dana dengan bobot 14. diartikan
bahwa
dalam
dengan
bobot
29
dan
Dari hasil tersebut dapat
pengalokasian
anggaran
dukungan
kelembagaan empat kali lebih penting dibanding ketersediaan dana. Semakin tinggi bobot suatu pilihan, semakin tinggi prioritasnya. c. Konsistensi Logis Konsistensi logis yaitu menjamin bahwa semua elemen dikelompokkan secara logis dab diperingkat secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis. Dalam pengambilan keputusan, perlu diketahui tingkat konsistensinya. Konsistensi sampai pada tingkatan tertentu diperlukan untuk memperoleh hasil yang optimal dengan keadaan di dunia nyata. AHP mengukur konsistensi menyeluruh dari berbagai
45 pertimbangan melalui suatu rasio konsistensi. Nilai rasio konsistensi paling tinggi 10 persen, jika lebih maka pertimbangan yang telah dilakukan
perlu
diperbaiki.
Contoh
di
atas
jika
terjadi
ketidakkonsistenan misalkan untuk prioritas alokasi anggaran diatas, prioritas dukungan kelembagaan 4 kali lebih pening dibanding prioritas anggaran maka cara perhitungannya adalah sebagai berikut (Falatehan, 2007): 1) Melakukan sintesis pertimbangan, setelah diolah maka didapatlah persentase prioritas relatif menyeluruh, yaitu 13, 21 dan 66 persen. Tabel 8 akan menyajikan contoh dalam mensisntesis pertimbangan sedangkan Tabel 9 menunjukkan matriks yang dinormalisasi, jumlah baris, dan prioritas menyeluruh. Tabel 8. Contoh Mensintesis Pertimbangan Alokasi
Dana
PA
DK
Dana
1
½
¼
PA
2
1
¼
DK
4
4
1
Jumlah
7
5,5
1,5
Tabel 9. Matriks yang Dinormalisasi, Jumlah Baris, dan Prioritas Menyeluruh PA
DK
Jumlah Baris
Rataan
Alokasi
Dana
Dana
1/7
1/11
1/6
0,40
0,40/3= 0,13
PA
2/7
2/11
1/6
0,63
0,63/3= 0,21
DK
4/7
8/11
4/6
1,97
1,97/3= 0,66
Jumlah
7
5,5
1,5
46 2)
Menghitung besarnya ketidakkonsistenan tersebut dengan cara mengalikan kolom pertama pada matriks yang baru (tidak konsisten) dengan prioritas relatif dari Dana (0,13), kolom kedua dengan Prioritas Anggaran (0,21) dan kolom ketiga dengan Dukungan Kelembagaan (0,66). Lalu entri dalam baris-baris tersebut dijumlahkan. Tabel 10. Menjumlahkan Entri Dana
PA
DK
(0,13)
(0,21)
(0,66)
Alokasi
Dana
1
½
¼
PA
2
1
¼
DK
4
4
1
Alokasi
Dana
PA
DK
Jumlah
Dana
0,13
0,11
0,17
0,41
PA
0,26
0,21
0,17
0,64
DK
0,52
0,84
0,66
2,02
3) Untuk menghitung indeks konsistensi, dicari nilai maks:
⎡ 0,41⎤ ⎡ 0,13 ⎤ ⎡ 3,15 ⎤ ⎢0,64⎥ : ⎢ 0,21⎥ = ⎢3,05⎥ ⎥ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎢ ⎢⎣2,02⎥⎦ ⎢⎣0,66⎥⎦ ⎢⎣3,06⎥⎦ 4) Dari nilai-nilai tersebut diambil rata-ratanya:
3,15 + 3,05 + 3,06 9,26 = = 3,09 3 3 5) Selanjutnya dicari Indeks Konsistensi (Consistency Index/CI) :
47
CI =
CI =
λmaks − n n −1 3,09 − 3 0,09 = = 0,045 3 −1 2
6) Kemudian dicari nilai Consistency Ratio menggunakan persamaan:
CR =
CI RI
Nilai RI (Random Indeks) didapat dari:
Tabel 11. Nilai Random Indeks Ukuran Matriks
Indeks Random
1 dan 2
0.00
3
0.58
4
0.90
5
1.12
6
1.24
7
1.32
8
1.41
7) Karena ukuran matriksnya adalah 3 maka indeks randomnya adalah 0.58, sehingga nilai Consistency Ratio-nya adalah:
CR =
0,045 = 0,08 0,58
Nilai CR sebesar 0,08, berarti dibawah nilai 0,1, sehingga menunjukkan konsistensinya baik. Setelah memperoleh nilai sintesis, maka yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah konsistensi. Hal ini dapat terjadi karena dalam
48 kehidupan
sehari-hari
berbagai
keadaan
khusus
sering
mempengaruhi preferensi, sehingga keadaan dapat berubah dan membuat keadaan menjadi tidak konsisten. Di sisi yang lain konsistensi
sempurna
pun
sukar
dicapai.
AHP
mengukur
konsistensi menyeluruh dari berbagai penilaian yang dilakukan melalaui suatu Rasio Konsistensi (RK). Nilai rasio konsistensi harus 10 persen atau kurang dimana jika rasio ini lebih dari 10 persen memungkinkan penilaian yang sudah diperoleh terlihat agak acak dan mungkin perlu diperbaiki. 2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Penelitian-penelitian yang berkaitan dengan efektivitas dan kemandirian Pendapatan Asli Daerah telah banyak dilakukan sebelumnya. Salah satu di antaranya adalah Saragih (1996) yang menyatakan bahwa peran PAD sebagai sumber pembiayaan pembangunan masih rendah meskipun perolehannya setiap tahun mengalami peningkatan. Lains (1995) meneliti tentang keuangan dan pembangunan daerah di Sumatera Barat. Menurut Lains kemampuan pembiayaan dengan PAD dalam pelaksanaan pembangunan daerah sangat kecil atau dengan kata lain sebagian besar pembiayaan dasar dibiayai oleh Pemerintah Pusat. Kecilnya proporsi PAD terhadap total penerimaan daerah disebabkan antara lain karena jenis-jenis pajak yang menjadi hak daerah kurang potensial. Lains menyarankan
perlu
adanya
desentralisasi
perencanaan
dan
pelaksanaan
pembiayaan serta sistem pajak dengan pemberian wewenang yang lebih besar kepada Pemerintah Daerah. Hasil penelitian Suprapto (2007) terhadap kinerja keuangan Kabupaten Sleman menunjukkan tingkat kemandirian Kabupaten Sleman pada periode 2000 – 2004 pada kategori instruktif yang berarti kemandirian Kabupaten Sleman sangat rendah dan belum mampu untuk melaksanakan otonomi keuangan daerah. Rasio Efektivitas cenderung efektif, karena kontribusi yang diberikan terhadap target yang ingin dicapai lebih dari 100 persen. Selanjutnya Lee dan Snow (1997) mengungkapkan bahwa apabila Pemerintah Daerah akan menaikkan penerimaan pajak, maka sebaiknya Pemerintah Daerah memperhitungkan kemampuan
49 membayar dari masyarakat di daerah tersebut dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan politik. Radianto (1997) melakukan penelitian di Daerah Tingkat II Maluku bahwa peranan PAD dalam membiayai pembangunan Daerah Tingkat II Maluku masih sangat rendah. Hal ini tercermin dari Indeks Kemampuan Rutin (IKR) Daerah Tingkat II Maluku yang masih berada jauh di bawah rata-rata IKR Daerah Tingkat II secara nasional. Misalnya selama kurun waktu Pelita V (1991/19921993/1994) IKR Daerah Tingkat II Maluku berturut-turut adalah sebesar 8,1 persen, 7,3 persen, dan 6,5 persen. Kuncoro (1995) memfokuskan pengamatannya pada kenyataan rendahnya PAD, sehingga ketergantungan keuangan Pemerintah Daerah sangat tinggi kepada Pemerintah Pusat. Upaya mengurangi beban subsidi Pemerintah Pusat, Kuncoro menganjurkan diberikannya otonomi keuangan daerah yang relatif luas, sehingga daerah mampu menggali sumber-sumber keuangan sendiri dan memanfaatkannya secara optimal. Lebih lanjut Kuncoro (1995) mengungkapkan bahwa PAD menunjukkan kontribusi yang sangat rendah terhadap total penerimaan daerah di propinsi di Indonesia rata-rata hanya 15,4 persen selama tahun 1984/1985 – 1990/1991. Artinya dibanding dengan PAD, subsidi dari Pemerintah Pusat lebih banyak dalam membiayai pengeluaran daerah. PAD hanya 30 persen mampu membiayai pengeluaran rutin. Pemerintah Daerah Tingkat II, PAD hanya mampu membiayai pengeluaran rutinnya sebesar kurang dari 22 persen. Sebagian besar Daerah Tingkat II di Indonesia prosentase PAD terhadap total belanja daerah kurang dari 15 persen. PAU-SE UGM (2000) yang melakukan penelitian di Kabupaten Magelang menyimpulkan bahwa ketergantungan daerah terhadap sumber penerimaan dari sumbangan dan bantuan Pemerintah Pusat dan dari Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Tengah masih sangat tinggi. Dalam era otonomi daerah akan semakin sulit mendapatkan sumbangan dan bantuan sehingga perlu biaya untuk meningkatkan pendapatan daerah sendiri, terutama dari pajak daerah dan retribusi daerah. Sementara Miller dan Russek (1997) meneliti semua negara bagian di Amerika Serikat mengenai struktur pajak dan pertumbuhan ekonomi, dan menemukan bahwa pajak dapat berpengaruh positif dan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Implikasinya adalah Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah
50 harus dapat mendorong penerimaan melalui pajak dan menggunakannya secara tepat untuk membiayai pengeluaran yang bersifat strategis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Efektivitas dan kemandirian keuangan daerah kabupaten/kota di Bali periode 2002 – 2006 dalam periode dua tahun terakhir masuk dalam kategori kemandirian keuangan yang sedang (rasio KKD lebih dari 50 persen sampai dengan 75 persen) dan rendah (rasio KKD lebih dari 25 persen sampai dengan 50 persen) masing-masing hanya satu kabupaten/kota, sedangkan sisanya (tujuh kabupaten) masuk kategori kemandirian keuangan yang sangat rendah (rasio KKD 1 persen sampai dengan 25 persen). Dua tahun awal, Kabupaten Badung masuk kategori kemandirian keuangan tinggi (rasio KKD lebih dari 75 persen sampai dengan 100 persen), tetapi menurun pada dua tahun terakhir (Dwirandra, 2007). Ada tiga sektor perekonomian di Kabupaten Indragiri Hilir selama periode (2000-2003) yang pungutan PAD-nya memiliki elastisitas negatif yaitu sektor pertanian, sektor bangunan dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Sedangkan yang memiliki nilai elastisitas PAD positif tertinggi adalah sektor jasajasa dan terendah adalah sektor pertanian. Kendala utama adalah lemahnya SDM aparat, lemahnya akurasi data subyek dan obyek pungutan, kurangnya kesadaran masyarakat dan minimnya sarana dan prasarana, (Syamsurizal, 2004). Selanjutnya penelitian Rahman (2005) mengungkapkan efektivitas PAD Kabupaten Pelalawan selama periode (2000-2003) berfluktuasi dan relatif tinggi. Efisiensi PAD cenderung mengalami peningkatan. Elastisitas PAD terhadap PDRB memiliki nilai negatif. Rasio kemandirian cenderung menunjukkan peningkatan. Penelitian yang dilakuakn oleh Nadaek (2003) bertujuan untuk melihat perkembangan rasio kemandirian, rasio efektivitas dan rasio efisiensi pada Keuangan Daerah Kabupaten Maluku Tenggara. Hasil penelitian adalah bahwa tingkat kemandirian daerah Kabupaten Maluku Tenggara yang diukur melalui PAD, hanya mencapai rata-rata sebesar 2,93 persen untuk setiap tahun anggaran dengan peningkatan tiap tahun sebesar 0,46 persen. Kondisi ini menunjukan bahwa kemandirian daerah masih sengat jauh dari yang diharapkan. Pendapatan daerah masyarakat Maluku Tenggara sebagian besar masih diprioritaskan untuk
51 mencukupi belanja rutin yaitu rata-rata 56 persen dari total pendapatan yang diterima. Kondisi ini menunjukan bahwa jika menggunakan indikator PAD, maka Kabupaten Maluku Tenggara dalam rangka melaksanakan otonomi daerah masih belum mampu ditinjau dari aspek kemampuan keuangan daerahnya sebab masih sangat tergantung dengan pemerintah pusat. Rasio efektivitas pemungutan PAD Kabupaten Maluku Tenggara dari tahun anggaran 1998/1999 sampai tahun anggaran 2002 rata-rata 89,59 dengan peningkatan setiap tahunnya sebesar 7,22 persen. Dengan demikian pemungutan PAD di Kabupaten Maluku Tenggara cenderung tidak efektif karena kontribusi yang diberikan terhadap target yang ingin dicapai kurang dari 100 persen. Rasio efisiensi pemungutan PAD Kab. Maluku Tenggara selama lima tahun anggaran yaitu dari tahun anggaran 1998/1999 sampai dengan 2002 rata-rata sebesar 3,27 persen dan setiap tahun anggaran mengalami penurunan sebesar 0,1 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pemungutan PAD Kabupaten. Maluku Tenggara dari tahun ke tahun semakin efisien karena biaya yang dikeluarkan untuk memungut PAD semakin rendah dengan realisasi PAD yang didapatkan. Hal ini menunujukkan kinerja pemerintah daerah yang semakin baik.