3
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Superovulasi Superovulasi merupakan suatu teknologi reproduksi yang mampu meningkatkan jumlah korpus luteum yang dihasilkan (Manalu et al. 1996). Jumlah korpus luteum ini memiliki kaitan erat dengan tingkat sekresi hormon kebuntingan dan hormon mamogenik seperti estradiol dan progesteron selama kebuntingan (Dzuik 1992; Kleeman et al. 1994; Manalu et al. 2000). Hormonhormon tersebut selain berperan dalam memantapkan proses kebuntingan juga berfungsi dalam modulasi ekspresi sejumlah protein (Wheeler et al. 1987). Selain itu, hormon-hormon ini berperan sebagai faktor penentu pertumbuhan yang selanjutnya akan memelihara komunikasi antara embrio dan uterus serta memandu pertumbuhan embrio untuk menjadi fetus dengan pertumbuhan yang baik, bobot lahir anak menjadi meningkat dan tingkat mortalitas menjadi menurun (Schultz et al. 1993). Gonadotrophin seperti FSH atau PMSG sering digunakan dalam metode superovulasi. Banyak penelitian yang bertujuan merangsang pertumbuhan folikel dan mengendalikan ovulasi pada hewan piara menggunakan sediaan hormon gonadotrophin hipofisis, akan tetapi kebanyakan perlakuan selama 20 tahun terakhir ini menggunakan sedian hormon gonadotrophin asal plasenta, terutama pregnant mare serum gonadotrophin (PMSG) yang kaya akan aktivitas FSH dan human chorionic gonadotrophin (hCG) yang kaya aktivitas LH (Hunter 1981). Hormon PMSG memiliki aktivitas ganda yang mirip dengan FSH dan LH yang dapat merangsang pertumbuhan folikel, menunjang sintesis estradiol, merangsang proses ovulasi, dan luteinisasi (Armstrong et al. 1982; Piper dan Bidon 1984; Gonzalez et al. 1994). Superovulasi merupakan teknik reproduksi dalam meningkatkan jumlah sel telur yang diovulasikan. Jumlah sel telur yang dilontarkan dari ovarium dalam satu periode ovulasi bergantung pada jenis hewannya. Pada ternak monotokous biasanya hanya sebuah sel telur yang dilontarkan, sedangkan pada ternak politokous sel telur yang dilontarkan lebih dari satu (Hafez 1980). Superovulasi sebelum perkawinan dapat meningkatkan jumlah korpus luteum sehingga terjadi
4
peningkatan konsentrasi estradiol dan progesteron, yang dapat memacu pertumbuhan prenatal anak dalam kandungan (Adriani et al. 2007). Peningkatan progesteron ini terjadi karena meningkatnya jumlah korpus luteum yang dihasilkan pada induk yang disuperovulasi sebelum perkawinan baik pada induk beranak tunggal maupun induk yang beranak kembar. Semakin banyak korpus luteum dan sel-sel lutein yang matang pada korpus luteum maka aktivitas progesteron dan sekresi progesteron akan meningkat (Adriani et al. 2007). Korpus luteum pada kambing merupakan organ utama penghasil progesteron (Nalbandov 1976; Reeves 1987). Hormon progesteron memiliki fungsi merangsang uterus mempersiapkan implantasi zigot untuk memelihara fetus selama kebuntingan (McDonald 1980; Stabendfelt dan Edqvist 1993; Manalu et al. 1996). Peningkatan sekresi estradiol dan progesteron juga dapat meningkatkan jumlah sel-sel sekretoris kelenjar ambing yang terbentuk dan aktivitas sintesisnya. Hal ini dapat meningkatkan produksi susu baik pada induk kambing beranak tunggal maupun pada induk kambing beranak kembar (Adriani et al. 2007). Hal ini bermanfaat untuk menunjang kebutuhan susu anak sebelum disapih. Superovulasi pada domba dapat meningkatkan produksi susu sampai 59% (Manalu et al. 2000). Pemberian progesteron pada awal kebuntingan pada domba menghasilkan perbaikan pertumbuhan fetus (Kleeman et al. 1994), sementara penambahan estradiol pada babi dapat meningkatkan sistem pembuluh darah kapiler uterus (Keys dan King 1995). Perangsangan sekresi endogen hormon kebuntingan (estradiol dan progesteron) melalui superovulasi dapat meningkatkan jumlah korpus luteum, sehingga merangsang peningkatan sekresi endogen hormon kebuntingan dalam darah induk (Manalu et al. 1998, Manalu et al. 2000), yang berperan dalam meningkatkan pertumbuhan uterus, embrio dan fetus, perkembangan plasenta, dan kelenjar ambing (Manalu et al. 2000). Perlakuan superovulasi mampu menurunkan tingkat mortalitas anak kambing sebesar 79% (Adriani et al. 2004a). Kejadian ini disebabkan karena induk kambing yang disuperovulasi melahirkan anak dengan bobot lahir dan bobot sapih yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang dilahirkan oleh induk kambing yang tidak disuperovulasi, sehingga anak kambing memiliki daya hidup yang lebih tinggi pula (Adriani et al. 2004a). Namun, potensi tersebut tidak
5
selamanya berjalan dengan baik, kecenderungan tingkat kematian anak yang tinggi pada jumlah kelahiran yang lebih dari tiga ekor (Andriyanto dan Manalu 2010). Salah satu penyebab tingginya mortalitas anak yang dilahirkan adalah rendahnya bobot lahir, semakin banyak jumlah anak per kelahiran semakin tinggi pula tingkat mortalitasnya (Sutama et al. 1993). Kematian anak yang baru dilahirkan untuk induk ternak yang beranak 1, 2, 3, dan 4 masing-masing adalah 17, 18, 26, dan 43% (Sutama et al. 1999). Hal ini dikarenakan pada saat terjadinya implantasi, sel-sel blastosis akan membelah (mitosis) dengan cepat sehingga terjadi pertambahan jumlah dan massa sel yang pesat (Albert et al. 1994). Keadaan ini menyebabkan cadangan makanan dalam ovum sudah tidak mencukupi lagi, sehingga perkembangan dan daya tahan hidup embrio akan sangat bergantung pada sekresi zat-zat makanan yang dihasilkan oleh kelenjar uterus, selain pada lingkungan fisik dan kimia uterus secara keseluruhan (McDonald 1980; Miller dan Zhang 1984; Yamashita et al. 1990). Pada domba yang disuperovulasi, aktivitas ovarium kiri lebih aktif dibandingkan dengan ovarium kanan berdasarkan jumlah korpus luteum, sementara pada domba yang tidak disuperovulasi tidak terlihat perbedaan aktivitas antara ovarium kanan dan ovarium kiri (Manalu dan Sumaryadi 1997). Hal ini yang menyebabkan hubungan antara jumlah korpus luteum dan konsentrasi hormon progesteron dan estrodiol dalam serum induk tidak linear. Semakin banyak jumlah korpus luteum pada satu sisi ovarium semakin sedikit aliran darah per individu korpus luteum (Manalu dan Sumaryadi 1997). Akibatnya, semakin sedikit perolehan zat-zat makanan dan substrat sehingga ukuran dan aktivitas sintetik per individu korpus luteum menjadi turun (Manalu dan Sumaryadi 1995).
2.2. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Menurut Purgeslove et al. (1981), klasifikasi tumbuhan temulawak ialah temulawak berasal dari divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, Kelas Monocotyledonae, Ordo Zingiberales, Keluarga Zingiberaceae, Genus Curcuma, dan Spesies Curcuma xanthorrhiza Roxb. Tanaman ini merupakan tanaman monokotil yang tidak memiliki akar tunggang melainkan rimpang (rhizoma),
6
berbatang semu dengan tinggi kurang dari 2 m, berwarna hijau atau cokelat gelap. Akar rimpang terbentuk dengan sempurna dan bercabang kuat, berwarna hijau gelap. Setiap batang mempunyai daun antara 2-9 helai dengan bentuk bundar memanjang sampai bangun lanset, warna daun hijau atau cokelat keunguan terang sampai gelap, panjang daun antara 31-84 cm dan lebar antara 10-18 cm dengan panjang tangkai daun antara 43-80 cm,. perbungaan lateral, tangkai ramping dan sisik berbentuk garis, panjang tangkai antara 9-23 cm dan lebar antara 4-6 cm, berdaun pelindung banyak yang panjangnya melebihi atau sebanding dengan mahkota bunga, mahkota bunga berwarna putih berbulu, panjang antara 8-13 mm, mahkota bunga berbentuk tabung dengan panjang keseluruhan antara 4-5 cm, helai bunga berbentuk bundar memanjang berwarna putih dengan ujung yang berwarna merah dadu atau merah, panjang antara 1,25-2 cm dan lebar 1 cm (Sidik dan Muhtadi 1997). Karena penyebarannya yang cukup luas di beberapa daerah, tanaman ini mempunyai nama tersendiri, masyarakat Jawa Barat menyebut tanaman ini “koneng gede” dan di Sumatera disebut “tetemulawak” (Affifah 2003). Masyarakat memanfaatkan tanaman rempah ini dalam pemeliharaan, peningkatan derajat kesehatan, pengobatan penyakit, maupun dalam industri obat tradisional dan komestika (Hernani 2001). Selain itu, tanaman temulawak ini bermanfaat sebagai antiinflamasi, antioksidan, antimikroba, pencegah kanker, antitumor, dan menurunkan kadar lemak di dalam darah (Sudewo 2004). Rimpang temulawak memiliki kemampuan aktivitas kolagoga, yaitu meningkatkan produksi dan sekresi empedu (Hendrawati 1999). Antiinflamasi ekstrak temulawak dengan dosis
3
g/kg bobot
badan menunjukkan aktivitas
penghambatan pembengkakan yang disebabkan oleh induksi karagenan (Ozaki 1988). Rimpang temulawak mengandung zat kuning kurkumin, minyak atsiri, pati, protein, lemak, selulosa, dan mineral. Di antara komponen yang dikandung oleh temulawak, yang paling banyak kegunaannya adalah pati, kurkuminoid, dan minyak atsiri (Husein 2008). Minyak atsiri dalam temulawak mengandung phelandren, kamfer, borneol, xanthorrizol, turmerol, turunan lisabolen, bisakuron A, bisakuron B, turmeron, germakron, seskuiterpen, dan sineal. Kandungan
7
kurkumin dalam rimpang temulawak sekitar 1,6%-2,22% (Sidik dan Muhtadi 2004). Kandungan utama dalam minyak atsiri temulawak adalah xanthorriza 21%, germaken, isofuranogermaken, trisiklin, dan alfa-aromadenren. Xanthorriza merupakan komponen volatile yang merupakan senyawa aktif yang terdapat dalam minyak atsiri temulawak (Nur 2006). Curcumin dan xanthorrhizol adalah komponen minyak atsiri khas temulawak (Sidik dan Muhtadi 1997).