4
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
KITOSAN Kitosan merupakan produk hasil deasetilasi kitin, senyawa kitin banyak
terdapat pada eksoskeleton dari crustacea seperti udang (Gambar 1). Eksoskeleton dari crustacea mengandung senyawa kitin sebesar 10-55% (berat basis kering) (Muzzarelli et al. 1994).
Gambar 1 Limbah kulit udang Kitin merupakan biopolimer dari β-(1,4)-N-asetil-D-glukosamin (GlcNAc) (Gambar 2). Polimer kitin berbentuk miofibril berdiameter sekitar 3 nm yang distabilkan oleh ikatan hidrogen antara gugus amina dan karboksil (Gooday1990).
(a)
(b)
Gambar 2 Struktur kimia kitin (a) struktur kimia kitosan (b) Proses deasetilasi yaitu proses penghilangan gugus asetil dari kitin menjadi kitosan dengan proses kimiawi dan enzimatis. Proses deasetilasi secara kimiawi dilakukan dengan penambahan NaOH sedangkan deasetilasi secara enzimatis menggunakan enzim kitin deasetilase ( Chang et al. 1997). Deasetilasi kitin akan menyisakan gugus amino yang bermuatan positif dan menghilangkan gugus asetil sehingga kitosan bersifat polikationik. Adanya gugus reaktif amino pada C-2 dan gugus hidroksil pada C-3 dan C-6 pada kitosan
5
menyebabkab kitosan memiliki kemampuan sebagai pengawet, penstabil warna, flokulan, dan pengawet benih (Shahidi et al. 1999). Konversi senyawa kitin menjadi kitosan dapat dilihat pada Gambar 3. Proses dan bahan utama yang digunakan untuk menghasilkan kitosan akan berpengaruh pada sifat kimia, fisik dan fungsional yang berbeda (Rhazi et al. 2004). Proses pembuatan kitosan dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 3 Konversi senyawa kitin menjadi kitosan (Nadarajah et al. 2002) 2.2
KARAKTERISTIK KITOSAN Kitosan memiliki sifat tidak larut dalam air tetapi larut dalam larutan
asam dengan pH kurang dari 6 dan asam organik seperti asam asetat, asam format, asam laktat. Kitosan larut dalam 1% asam hidroklorit tetapi sukar larut dalam asam sulfur dan asam fospat. Kitosan dapat dikarakterisasi berdasarkan pada kualitasnya, sifat instrinsik seperti kejernihan atau kemurnian, berat molekul, viskositas, dan derajat deasetilasi (Sanford 1989). Sifat dan kateristik kitosan dapat dilihat pada Tabel 1.
6
Tabel 1 Sifat dan karakteristik kitosan Sifat Ukuran partikel Kadar air (% berat kering) Kadar abu (% berat kering) Warna Larutan Derajat deasetilasi Viskositas: - Rendah - Medium - Tinggi - Ekstra tinggi
Nilai Serpihan sampai bubuk ≤ 10% ≤ 2% Jernih ≥ 70% < 200 cP 200 – 790 cP 800 – 2000 cP > 2000 cP
Sumber : Suptijah et al. (1992) Mutu kitosan dipengaruhi oleh derajat deasetilasi. Derajat deasetilasi merupakan suatu parameter mutu kitosan yang menunjukan persentase gugus asetil yang dapat dihilangkan dari rendemen kitin. Pelepasan gugus asetil kitosan menyebabkan kitosan bermuatan positif yang mampu mengikat senyawa yang bermuatan negatif seperti protein, anion dari polisakarida yang kemudian membentuk ion netral (Suhartono, 1989). Parameter mutu kitosan khususnya derajat deasetilasi dapat digunakan untuk menentukan pemakaiannya di industri, untuk industri pengolahan kitosan menggunakan kitosan dengan DD ≥ 70%, sedangkan untuk industri kosmetik kitosan yang digunakan memiliki DD ≥ 80% dan bidang biomedis dibutuhkan kitosan yang memiliki DD ≥ 90% (Tsugita 1997). Derajat deasetilasi sangat penting untuk menentukan karakteristik dari kitosan yang akan mempengaruhi untuk aplikasi produk. Waktu dan suhu selama proses deasetilasi juga berpengaruh terhadap hasil akhir. Waktu deasetilasi yang lama dengan suhu yang tinggi menyebabkan terjadinya penurunan rendemen kitosan, berat molekul kitosan, viskositas dan kemampuan mekanik film kitosan (Bastaman 1989). Derajat deasetilisasi kitosan dipengaruhi oleh konsentrasi NaOH dan suhu proses (Benjakul dan Sophanodora 1993). Perendaman dalam larutan NaOH bertujuan mengubah konfirmasi kristalin kitin yang rapat sehingga enzim mudah berpenetrasi untuk mendeasetilasi polimer kitin (Martinou et al. 1995). Menurut Suptijah et al. (1992) untuk menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi
7
sebesar 84% dibutuhkan pemanasan pada suhu 130°C selama 4 jam atau suhu 120°C selama 6 – 7 jam. Perendamanan dengan NaOH selain dapat meningkatkan derajat deasetilasi dapat juga mengakibatkan terjadinya depolimerisasi, oleh karena itu perendaman dilakukan pada suhu yang tidak terlalu tinggi dan waktu yang singkat. Chang et al. (1997) menemukan bahwa laju deasetilasi yang optimum diperoleh dengan konsentrasi NaOH sebesar 60% sedangkan Rochima (2005)
menjelaskan
perendaman
kitosan
dengan
larutan
NaOH
50%
menghasilkan derajat deasetilasi mencapai 99%. Beberapa metode digunakan untuk menentukan derajat deasetilisasi diantaranya adalah linear potentiometric titration (Ke dan Chen, 1990), infrared spectroscopy (Baxter et al. 1992), nuclear magnetic resonance spectroscopy (Hirai et al.1991), pyrolysis-mass spectrometry (Nieto et al.1991), first derivative UV-spectrophotometry (Muzzarelli dan Rocchetti, 1985) dan titrimetry (Raymond et al. 1993). Berat molekul dan viskositas kitosan dipengaruhi oleh bahan baku utama pembuatan
kitosan.
Berat
molekul
kitosan
ditentukan
dengan
metode
kromatografi (Bough and others 1978), light scattering (Muzzarelli, 1977) dan visikometri, (Maghami and Roberts, 1988). Kitosan memiliki berat molekul antara 100.000 Da dan 12.000.000 kDa (Li et al. 1992). Viskositas kitosan tergantung dari berat molekul kitosan, konsentrasi larutan, tingkat deasetilasi, pH dan suhu. Tinggi rendahnya viskositas dari kitosan dapat terjadi selama proses ekstraksi kitosan. Viskositas kitosan akan meningkat dengan meningkatnya waktu demineralisasi. No et al. (1999) menyebutkan viskositas kitosan dipengaruhi oleh perlakuan fisik seperti (penggilingan, pemanasan, autoklaf, ultrasonik) dan perlakuan kimia (ozon) yang diiringi dengan peningkatan waktu perlakuan dan suhu.
8
Cangkang crustacea
Pencucian dan pengeringan
Penggilingan dan penyaringan
Deproteinasi
3.5% NaOH 1:10 (w/v) Selama 2 jam 65°C,
Pencucian
Demineralisasi
1 N HCl 1:15 (w/v) selama 30 menit pada suhu ruang
Pencucian
Decolorasi
Bleanching dengan 0.315% NaOCl 1:10 (w/v) selama 5 menit pada suhu ruang,
Pencucian dan Pengeringan
Deasetilasi
50% NaOH 1:10 (w/v) suhu 121°C selama 30 menit,
Pencucian dan Pengeringan
KITOSAN Gambar 4 Tahapan pembuatan kitosan ( No dan Meyers, 1995)
9
2.3
SIFAT ANTIMIKROBA KITOSAN Kitosan
memiliki
sifat
biodegradable
dan
biokompetibel,
tidak
mengandung racun dan banyak digunakan dalam industri. Kitosan dan turunannya merupakan antimikroba alami dan beberapa studi telah membuktikan kemampuan kitosan sebagai antimikroba. Secara umum mekanisme penghambatan senyawa antimikroba diklasifikasikan menjadi 3 yaitu: (1) Interaksi dengan menghambat membran sel, (2) inaktifasi enzim- enzim (3) perusakan bahan-bahan genetik mikroba (Coma, 2002) Menurut Thatte (2004) sifat kitosan sebagai antimikroba dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya yaitu sumber kitosan, derajat deasetilasi (DD) kitosan, unit monomer kitosan, mikroba uji, pH media tumbuh mikroba dan kondisi lingkungan ( kadar air, nutrisi yang dibutuhkan mikroba). Sifat antibakteri kitosan dengan berat molekul 479 kDa efektif untuk bakteri gram positif kecuali pada Lactobacillus sp, sedangkan kitosan dengan berat molekul 1106 kDa lebih efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri gram negatif. Kitosan dengan berat molekul yang lebih besar dari 500 kDa memiliki aktivitas antibakteri yang kurang efektif dibandingkan dengan kitosan yang memiliki berat molekul yang rendah, hal ini dikarenakan kitosan dengan berat molekul tinggi memiliki viskositas yang lebih besar menyebabkan kitosan sulit untuk berdifusi dalam bahan. Umumnya kitosan memiliki efek bakterisidal lebih kuat untuk bakteri gram positif seperti (Listeria monocytogenes, Bacillus megaterium, B. cereus, Staphylococcus aureus, Lactobacillus plantarum, L. brevis, and L. bulgaris) dibandingkan bakteri gram negatif seperti (E.coli, Pseudomonas fluorescens, Salmonella typhymurium, dan Vibrio parahaemolyticus) dengan konsentrasi kitosan yang dibutuhkan sebesar 0,1% (No et al. 2002). Mekanisme penghambatan pertumbuhan Gram negatif oleh kitosan diperlihatkan menggunakan Transmission Electron Micrography (TEM), dimana permukaan sel bakteri yang memiliki muatan negatif lebih banyak akan menghasilkan interaksi dengan kitosan, semakin banyak muatan negatif pada permukaan sel, maka semakin banyak kitosan yang diserap sehingga akan menyebabkan kebocoran sel karena meningkatnya permeabilitas sel.
10
Menurut Helander et al. (2001) yang mengamati mekanisme kitosan pada bakteri menggunakan mikroskop elektron memperlihatkan bahwa kitosan merusak pelindung membran luar bakteri gram negatif, sehingga menyebabkan terjadinya perubahan sel dan menutupi membran luar bakteri dan struktur vesikular. Kitosan yang berikatan dengan membran luar yang menyebabkan kehilangan fungsi barrier dan membran sel bakteri. Sifat ini memungkinkan kitosan diaplikasikan sebagai pelindung atau pengawet makanan.
2.4
EKSTRAK BAWANG PUTIH Bawang putih berfungsi sebagai penambah aroma dan meningkatkan cita
rasa produk. Bawang putih menghasilkan minyak yang mengandung dialliiyl sulfide. Kata allyl berasal dari allium bawang putih. Identifikasi basis utama minyak bawang putih yaitu mengandung diallyl sulfide sebanyak 60% dan 20% diallyil trisulfida serta bagian sulfur lain. Bawang putih memiliki minyak volatil tidak lebih dari 0,2% dari berat bawang putih segar (Farrell, 1990). Minyak bawang putih dihasilkan dihasilkan dengan cara destilasi uap. Minyak bawang putih berwarna bening sampai kuning muda. Komponen utama minyak bawang putih adalah diallil disulfide (15%) dan diallil trisulfida (30%). Bawang putih mengandung senyawa kimia yang disebut dengan allisin. Kandungan allisin pada umumnya ditemukan sekitar 50% lebih besar dari pada kandungan minyak. Alisin memiliki sifat bakterisidal dan cenderung tidak stabil. Hanya beberapa hari saja dapat berubah menjadi senyawa sulfur yang berminyak dan berbau tajam, seperti diallyl disulfida. Diallyl disulfida merupakan kandungan utama pada bawang putih. Senyawa ini menghambat pertumbuhan bakteri Stapyllococcus aureus pada konsentrasi ekstrak bawang putih sebesar 2% dan diinaktifkan pada konsentrasi 5% (Wilson dan Droby, 2001). Ekstrak bawang putih dapat juga menghambat pertumbuhan E. coli (Elsom et al. 2003).
11
2.5
EDIBLE COATING Edible film dan edible coating terdiri dari tiga komponen penyusun yaitu
hidrokoloid, lemak dan komposit (gabungan antara hidrokoloid dan lemak). Hidrokoloid banyak diperoleh dari polimer polisakarida seperti pati, alginat, pektin, gum arabik, sedangkan hidrokoloid yang berbasis protein atau turunannya diantaranya gelatin, casein, protein kedelai, whey, gluten gandum dan zein jagung (Krochta et al. 1994). Komponen lemak yang sering digunakan diantaranya lilin asilgliserol dan asam lemak lain seperti asam palmitat, asam laurat, asam oleat, asam stearet dan asam oktanoat. Edible coating adalah lapisan tipis bahan yang dibentuk secara langsung dengan mencelupkan (dipping), penyemprotan (spraying) pada permukaan produk makanan yang bertujuan melindungi serta meningkatkan nilai tambah dari produk. Selain itu tujuan pengggunaan edible film atau edible coating adalah untuk mencegah migrasi uap air, gas, aroma dan lipid yang membawa ingredient makanan seperti antioksidan, antimikroba dan flavor (Krochta, 1997). Gannadios (2002) mendefenisikan edible coating merupakan lapisan tipis yang dapat dimakan yang digunakan pada makanan dengan cara pengukusan, pencelupan atau penyemprotan untuk memberikan penahan yang selektif terhadap pemindahan gas, uap air dan perlindungan terhadap kerusakan mekanik. Edible coating biasanya langsung digunakan dan dibentuk diatas permukaan produk seperti buah- buahan dan sayuran untuk meningkatkan mutu produk hal yang sama juga disampaikan oleh McHugh dan Senesi (2000) yang menyebutkan bahwa Edible coating berfungsi sebagai penahan (barrier) dalam pemindahan panas, uap air, O2 dan CO2 atau dengan adanya penambahan bahan tambahan seperti bahan pengawet dan zat antioksidan maka dapat dikatakan kemasan tersebut memiliki kemampuan antimikroba dan antioksidan. Beberapa teknik aplikasi dalam edible coating diantaranya adalah: 1.
Pencelupan (dipping) Proses ini biasanya digunakan dalam produk yang memiliki permukaan kurang rata. Setelah pencelupan kelebihan bahan setelah coating biasanya dibiarkan terbuang. Produk kemudian dibiarkan dingin hingga edible
12
coating menempel. Teknik ini telah diaplikasikan pada daging, ikan, produk ternak buah dan sayuran. 2.
Penyemprotan (sprying) Teknik ini menghasilkan produk dengan lapisan tipis dan biasa digunakan untuk produk yang mempunyai dua sisi, seperti pada produk pizza.
3.
Pembungkusan Teknik ini digunakan untuk pembentukan film yang berdiri sendiri atau terpisah dari produk. Teknik ini diabsobsi dari teknik yang dikembangkan untuk yang bukan pelapisan
4.
Pemolesan (brushing). Teknik ini digunakan untuk memoleskan edible coating pada produk Wong et al. (1994) menyatakan bahwa secara teoritis, bahan edible coating harus memiliki sifat (1) menahan kehilangan kelembaban produk (2) Memiliki permeabilitas selektif terhadap gas tertentu (3) Mengendalikan perpindahan padatan terlarut untuk mempertahankan warna pigmen alami dan gizi (4) berfungsi sebagai pengawet, mempertahankan warna sehingga menjaga mutu produk Kemasan dengan sifat antimikroba diharapkan dapat mencegah kontaminasi
patogen dan mencegah pertumbuhan mikroorganisme pembusuk yang terdapat dalam permukaan bahan pangan. Substansi antimikroba yang diformulasikan dalam bahan pangan atau pada permukaan bahan pangan tidak cukup untuk mencegah pertumbuhan bakteri patogen dan mikroorganisme pembusuk dalam bahan pangan (Ouattara et al. 2000).
2.6
APLIKASI EDIBLE COATING PADA PRODUK PANGAN Aplikasi edible film dalam bentuk coating sebagai pengemas telah banyak
dilakukan. Hilangnya uap air bahan dapat diminimalkan dengan menggunakan pengemas yang bersifat sebagai penahan. Tingkat hilangnya uap air tergantung pada permeabilitas uap air pengemas yang digunakan. Edible film/coating merupakan kemasan yang cocok digunakan karena dapat mengatur transfer kelembaban, O2 dan CO2, uap air dan aroma serta senyawa-senyawa campuran rasa dalam sistem pangan. Menurut Baldwin (1994) menyebutkan keberhasilan
13
edible film dan coating untuk menghambat kerusakan produk-produk terolah minimal dipengaruhi oleh jenis dan varietas komoditi, jenis dan ketebalan film serta suhu penyimpanan. Film dari kitosan mempunyai sifat barrier terhadap gas yang baik, maka dapat digunakan sebagai bahan pengemas, terlebih lagi kitosan mempunyai kapasitas sebagai antimikroba sehingga dapat digunakan sebagai bahan pengawet. Beberapa penelitian yang menggunakan kitosan sebagai edible film atau coating banyak dilakukan sebagai kemasan bahan pangan. Kitosan film dapat digunakan untuk menjaga umur simpan dari precooked pizza. Rodriguez et al. (2003) melaporkan kitosan yang dilarutkan dalam larutan asam asetat untuk pembuatan edible coating (0.079 g/100 g pizza) dapat menghambat pertumbuhan Alternaria sp, Penicillium sp, dan Cladosporium sp (Deuteromycetes) pada precooked pizza. Perlakuan ini memberikan pengaruh yang sama dengan penggunaan pengawet lain seperti kalsium propionat dan potassium sorbat. Kitosan film banyak digunakan untuk mengemas buah dan sayuran seperti apel, pir, strawberry, tomat, kelengkeng, mangga, pisang, jamur, lada, ketimun, wortel dan alpukat (El Ghouth et al. 1991, Zhang dan Quantick, 1998). Hasil penelitian tersebut menunjukan adanya penurunan respirasi pada produk dan mengahambat pematangan. Durango (2006) menyebutkan penggunaan kitosan 1.5% dengan penambahan yam starch pada pembuatan edible coating untuk produk wortel yang diolah dengan proses minimal menjadi alternatif dalam menghambat pertumbuhan bakteri asam laktat, total koliform, kamir dan kapang selama penyimpanan. Edible coating kitosan dengan konsentrasi 1% (b/v) dan 2% (b/v) pada buah tomat dapat menurunkan tingkat produksi CO2 sebesar 20% dan 25% dibandingkan dengan kontrol. Disamping itu kitosan dengan konsentrasi 2% (b/v) dan 1% (b/v) tidak memberikan pengaruh terhadap respirasi tetapi dapat menunda klimakterik. Konsentrasi kitosan 1% (b/v) dan 2% (b/v) dapat mempertahankan kekerasan buah tomat (El- Ghaouth et al. 1992). Menurut Zhang dan Quantrick (1997). Konsentrasi kitosan 1% (b/v) dan 2% (b/v) untuk melapisi buah leci mengakibatkan suplai oksigen menurun dan menghambat degradasi pektin.
14
Coma et al. (2002), menyebutkan bahwa edible film kitosan kemampuan penghambatan pada film berbahan dasar kitosan menghambat pertumbuhan dua bakteri pathogen pada makanan diantaranya Staphylococcus aureus, Listeria monocytogenes dan Pseudomonas aeruginosa pada medium agar. Pranoto et al. (2005)a menyebutkan bahwa kitosan yang diinkoporasi dengan garlic oil pada pembuatan film dapat meningkatkan kemampuan antimikroba dan tidak berpengaruh terhadap sifat mekanik dan fisik film kitosan. Penggunaan garlic oil tergantung pada jenis bahan pangan dan tidak mempengaruhi flavor, Pranoto et al. (2005)b menyebutkan penambahan garlic oil 0.2% pada pembuatan edible film dengan alginate memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan
Staphylococcus aureus dan B. cereus, dan tidak
berpengaruh terhadap sifat mekanik dan fisik dari edible film alginat.
2.7
APLIKASI PADA BAKSO Bakso merupakan makanan yang sangat pupuler di Indonesia dan menjadi
bisnis dalam industri makanan. Beberapa industri makanan di Indonesia sangat tertarik untuk memproduksi bakso dalam skala industri dengan memperhatikan keamananya untuk dikomsumsi. Bakso yang dihasilkan dalam skala industri juga memperhatikan kondisi penyimpanan seperti kemasan vakum dan penyimpanan pada suhu beku. Bakso merupakan salah satu produk olahan daging yang dihaluskan, kemudian dicampur dengan tepung yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi, dengan bentuk bulat kemudian dimasak dalam air panas (Tarwotjo et al. 1992). Berdasarkan SNI 01-3818-1995, bakso didefenisikan sebagai produk makanan dengan bentuk bulatan yang diperoleh dari campuran daging ternak (dengan kadar daging 50%), pati atau serealia dengan atau tanpa bahan tambahan makanan (BTM) yang diizinkan. Standar bakso daging berdasarkan SNI 01-3818-1995 dapat dilihat pada Tabel 2. Prinsip pengolahan bakso terdiri dari 4 tahapan diantarannya (1) penghancuran daging dengan mencincang (chopping) atau menggiling (grinding), (2) pembuatan adonan dengan penambahan bahan seperti daging, tepung, bumbu,
15
dan es sehingga membentuk adonan (3) pencetakan adonan dalam bentuk bulat dan (4) pemasakan dengan cara merebus dalam air mendidih (Pandisurya, 1983). Menurut Pandisurya (1983) pemasakan bakso umumnya dilakukan dalam dua fase yang bertujuan agar permukaan bakso yang dihasilkan tidak keriput atau kasar akibat perubahan suhu yang terlalu cepat. Perendaman bakso pada suhu 50 – 60°C selama 10 menit bertujuan untuk pembentukan bakso kemudian bakso kembali direbus dalam air dengan suhu 100°C untuk mematangkan. Pada suhu 4050°C, miosin kehilangan kelarutannya yang diindikasi terjadinya denaturasi protein. Sedangkan pada suhu 65 - 75°C serabut otot mengalami penyusutan sebanyak 25-30% dan juga terbentuk gel yang optimum terutama pada pH 6. Tabel 2 Standar bakso daging berdasarkan SNI 01-3818-1995 NO Kreteria uji Keadaan 1 1.1 Bau 1.2 Rasa 1.3 Warna 1.4 Tekstur Air 2 Abu 3 Protein 4 Lemak 5 Boraks 6 Bahan Tambahan Makanan 7 8
9 10
Cemaran logam 8.1 Timbal (Pb) 8.2 Tembaga (Cu) 8.3 Seng (Zn) 8.4 Timah (Sn) 8.5 Raksa (Hg) Cemaran Arsen Cemaran mikroba 10.1 Angka lempeng total 10.2 Bakteri pembentuk koli 10.3 Escherichia coli 10.4 Enterococci 10.5 Clostridium perfringens 10.6 Salmonella 10.7 Stapylococcus aureus
Satuan
Persyaratan
% b/b % b/b % b/b % b/b -
Normal khas daging Gurih Normal Kenyal Maks 70.0 Maks 3.0 Min 9.0 Maks 2.0 Tidak boleh ada Sesuai SNI 01-02221995
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maks 2.0 Maks 20.0 Maks 40.0 Maks 40.0 Maks 0.03 Maks 1.0
koloni/g AMP/g AMP/g koloni/g koloni/g koloni/g
Maks 1 x 103 Maks 10 <3 Maks 1 x 103 Maks 1 x102 Negatif Maks 1 x102
16
Bahan- bahan yang digunakan dalam pembuatan bakso terdiri dari bahan baku, bahan pembantu dan bahan tambahan makanan. Bahan baku bakso diantaranya sebagai berikut : 2.7.1
Daging Daging didefenisikan sebagai urat daging (otot) yang melekat pada
kerangka. Daging terdiri dari tiga komponen utama yaitu jaringan otot, (Muscle tissue), jaringan lemak (adipose tissue) dan jaringan ikat (connective tissue). Mutu dari bakso ditentukan oleh kualitas daging yang digunakan. Bakso dengan mutu yang baik dihasilkan dari daging segar (pre- rigor) yaitu daging yang diperoleh
segera
setelah
pemotongan
hewan
tanpa
mengalami
proses
penyimpanan (Sunarlim, 1992). Fase pre-rigor pada suhu ruang berlangsung 5 sampai 8 jam setelah pemotongan hewan (post mortem), tergantung dari besar kecilnya hewan yang dipotong. Pada mamalia besar seperti sapi fase pre- rigor berlangsung kurang lebih 8 jam setelah pemotongan (Forrest et al. 1975). Menurut (Forrest et al. 1975), pada fase pre- rigor jumlah protein yang dapat terekstrak dari daging dengan adanya perlakuan fisik dan kimia lebih besar dibandingkan fase rigor mortis. Wilson et al. (1981) menyebutkan bahwa daging pre-rigor memiliki daya ikat air yang lebih tinggi, sehingga permukaan produk yang dihasilkan tidak basah dan pada kondisi ini pH daging relatif tinggi yaitu 6.5 –6.8 menyebabkan protein sarkoplasma tidak mudah rusak dan tidak mudah kehilangan daya ikat air. Protein sarkoplasma mulai mengalami kerusakan pada pH kurang dari 6,2. Daging sapi memiliki daya ikat air minimum pada pH 5,4 – 5,5 dimana pH tersebut merupakan titik isoelektrik protein sarkoplasma. Daging yang telah melewati fase pre-rigor menyebabkan mutu bakso menurun terutama pada sifat kekenyalan dan kekompakannya. 2.7.2 Bahan pengisi dan pengikat Bahan pengisi dan bahan pengikat yang ditambahkan dalam bakso berfungsi untuk stabilitas emulsi, mengurangi penyusutan selama pemasakan, memperbaiki sifat irisan, meningkatkan citarasa dan mengurangi biaya produksi (Kramlich, 1971). Perbedaan antara bahan pengisi dan bahan pengikat terletak adalah kemampuannya dalam mengemulsi lemak. Bahan pengikat memiliki kandungan
17
proteinnya yang tinggi, sedangkan pada bahan pengisi kandungan tertinggi yaitu karbohidrat, sedangkan kadar proteinnya rendah. Bahan pengikat memiliki kemampuan mengikat air dan mengemulsi lemak, sedangkan bahan pengisi memiliki kemampuan dalam mengikat air tetapi tidak mengemulsikan lemak. Bahan pengikat yang biasa digunakan adalah tepung berprotein tinggi seperti tepung kedelai, konsentrat kedelai dan susu skim. Di Indonesia penggunaan bahan pengikat dalam bakso tidaklah umum, bahan pengikat ini biasa digunakan pada pembuatan sosis. Bahan pengisi yang digunakan untuk bakso diantaranya tapioka dan pati sagu. Bahan ini dapat mengabsobsi air sampai tiga kali lipat dari berat semula, sehingga adonan bakso menjadi lebih besar. Berdasarkan SII 01-3818-1995 penggunaan bahan pengisi untuk bakso maksimum 50% dari berat daging. Fadlan (2001) menyatakan bahwa penggunaan bahan pengisi untuk bakso yang optimum sebaiknya ditambahkan sebanyak 25% dari berat daging. Sedangkan menurut Winarno (1997) menyatakan bahwa bakso yang bermutu baik mempunyai kadar pati rendah yaitu sekitar 15%, semakin tinggi kandungan pati maka mutu bakso akan rendah. 2.7.3
Garam dan MSG Garam yang ditambahkan pada pembuatan bakso selain bertujuan pemberi
rasa, juga digunakan sebagai pelarut protein dan pengawet karena dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Garam dapat memperbaiki sifat- sifat fungsional produk daging dengan cara (1) mengekstrak protein miofibril dari selsel otot selama perlakuan mekanik, misalnya penghancuran daging, (2) Garam berinteraksi dengan protein otot selama pemanasan sehingga protein membentuk matriks yang kuat, dan mampu menahan air bebas serta membentuk tekstur produk. Penambahan MSG pada bakso hanyalah sebagai pembentukan cita rasa gurih. Sunarlim (1992) menyatakan penambahan garam dengan konsentrasi 3-5% akan menghasilkan mutu yang tinggi dibandingkan dengan penambahan konsentrasi garam diatas 5%.
18
2.7.4 Es atau air es Penambahan air es pada pembentukan emulsi daging bertujuan untuk melarutkan garam dan mendistribusikannya secara merata ke seluruh bagian daging, (2) es memudahkan ekstraksi protein serabut otot, (3) es membantu pembentukan emulsi, (4) mempertahankan suhu adonan tetap rendah akibat pemanasan mekanik. Jumlah es yang ditambahkan (30 %) ke dalam adonan memberikan pengaruh terhadap kadar air, WHC (Water Holding Capacity), kekenyalan dan kekompakan bakso. Makin banyak es yang ditambahkan menyebabkan kenaikan kadar air dan penurunan WHC, kekenyalan dan kekompakan bakso yang dihasilkan. Air es yang ditambahkan pada adonan untuk menghasilkan sifat fisik dan organoleptik yang baik sebesar 20% dari berat daging (Indrarmono, 1987) 2.7.5 Sodium Tripolifosfat (STPP) STPP yang disebut juga sebagai natrium tripolipospat memiliki fungsi untuk meningkatkan pH daging, stabilitas emulsi dan kemampuan emulsi. STPP dapat juga berfungsi menurunkan susut masak karena dapat mengurangi air yang hilang selama pemasakan. STPP dan garam dapur mempunyai sifat sinergisme sehingga meningkatkan WHC (Water Holding Capacity), memudahkan pengirisan, menstabilkan warna, menghambat ketengikan karena fosfat sebagai antioksidan dan meningkatkan mutu produk daging. Penambahan STTP dan natrium propionat, dapat mengawetkan bakso selama 4 hari. Tandiyono (1996) melaporkan bahwa bakso yang dibuat dengan penambahan 0.3% STPP dan 0.2% natrium propionat pada jam ke- 24 dalam suhu kamar telah mengandung sekitar 5.8 x106 koloni mikroba/gram. Penggunaan STPP memiliki pembatas (self limiting) yang disebabkan karena STPP memiliki rasa yang agak pahit, karena kandungan basa yang tinggi. Penggunaan keseimbangan
STPP
dalam
ion–ion
dosis
terutama
tinggi Ca2+,
dapat Mg2+dan
menyebabkan K+.
Pada
gangguan umumnya
penggunaannya STPP berkisar 0.3 – 0.5% (Ranken 1976). Pengaturan mengenai penggunaan STPP yang diizinkan penggunaannya adalah 3 gram untuk setiap satu kilo daging (0.3%) atau 300 ppm.