II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Batasan Wilayah Pesisir Wilayah pesisir secara ekologis adalah suatu wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, ke arah darat mencakup daratan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses kelautan sedangkan ke arah laut meliputi perairan laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alamiah dan kegiatan manusia di daratan (Dahuri et al. 1996). Di wilayah pesisir terdapat ekosistem yang terkait satu dengan lainnya. Ekosistem pesisir merupakan suatu unit tatanan interaksi antara organisme dengan lingkungannya dan secara bersama-sama menjalankan fungsinya masing-masing pada suatu tempat atau habitat (Odum, 1971). Selanjutnya dikatakan bahwa komponen hayati dan nirhayati secara fungsional hubungan satu sama lain dan saling berinteraksi membentuk suatu sistem. Apabila terjadi perubahan pada salah satu sistem dari kedua komponen tersebut, maka dapat mempengaruhi keseluruhan sistem yang ada, baik dalam kesatuan struktur fungsional maupun dalam keseimbangannya (Bengen 2002). Salah satu bentuk keterkaitan antara ekosistem di wilayah pesisir dapat dilihat dari pergerakan air sungai, aliran limpasan (run-off), aliran air tanah (ground water) dengan berbagai materi yang terkandung di dalamnya (nutrient, sedimentasi dan bahan pencemar) yang kesemuanya akan bermuara ke perairan pesisir. Selain itu, pola pergerakan massa air ini juga akan berperan dalam perpindahan biota perairan (plankton, ikan, udang) dan bahan pencemar dari satu lokasi ke lokasi lainnya (Bengen, 2002). Secara prinsip, ekosistem pesisir mempunyai 4 (empat) fungsi pokok bagi kehidupan manusia, yaitu sebagai penyedia sumberdaya alam, penerima limbah, penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan, dan penyedia jasa-jasa kenyamanan (Bengen, 2002). Sedangkan menurut ( Dahuri et al., 1996), wilayah pesisir secara keseluruhan memiliki berbagai fungsi dan manfaat bagi manusia sebagai berikut: 1.
Penyedia sumberdaya alam hayati, seperti sumber pangan (protein) dan sebagai obat-obatan untuk kesehatan.
14
2.
Penyedia sumberdaya alam non hayati, yakni dapat menyediakan lapangan pekerjaan seperti kegiatan industri, pertambangan dan sebagainya.
3.
Penyedia energi, dengan menggunakan gelombang pasang-surut dapat membangkitkan tenaga listrik.
4.
Sarana transportasi, untuk membangun pelabuhan atau dermaga sebagai bongkar muat barang.
5.
Rekreasi dan pariwisata, yakni didukung oleh pasir putih, terumbu karang dan sebagainya.
6.
Pengatur iklim dan lingkungan hidup, laut berperan mengatur suhu udara dan iklim laut, menyerap CO 2 , menjaga lingkungan laut agar sirkulasi air dunia terjamin sehingga daerah tropis air laut tidak terlalu panas dan sebaliknya daerah subtropis.
7.
Penampung limbah, bentuk apapun limbah yang dibuang ketempat terakhirnya adalah muara sungai di laut.
8.
Sumber plasma nutfah, yakni tempat hidupnya beraneka ragam biota dan plasma nutfah sehingga merupakan bagian kepentingan manusia.
9.
Pemukiman, yaitu menyediakan tempat tinggal bagi masyarakat yang mempunyai kegiatan di pesisir.
10. Kawasan industri, yakni digunakan untuk pembangunan industri sehingga memudahkan kegiatan ekspor dan impor barang. 11. Pertahanan dan keamanan, wilayah pesisir mengelilingi pulau sehingga pulau merupakan wilayah pengaman dan pendukung kekuatan hankam. Sebagai wilayah yang mempunyai karakteristik tersendiri, maka faktorfaktor lingkungan yang berpengaruh di wilayah pesisir seperti angin, gelombang, pasang surut, arus, serta faktor fisik dan kimia lainnya lebih bervariasi dibandingkan dengan ekosistem yang terdapat di laut lepas maupun yang terdapat di perairan darat. Karakteristik hidro-oseanografi yang sangat dinamis ini menjadikan pengelolaan wilayah pesisir baik untuk kepentingan perikanan budidaya, konstruksi, pariwisata, serta kegiatan lainnya harus dikerjakan secara bijak dan hati-hati.
15
2.2. Ekosistem Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang pada hakekatnya mempunyai multi fungsi. Selain sebagai habitat berbagai jenis biota, ekosistem ini berfungsi sebagai sumberdaya hayati, sumber keindahan dan perlindungan pantai. Sebagai habitat, ekosistem terumbu karang merupakan tempat untuk tinggal, berlindung, mencari makan dan berkambang biaknya biota, baik yang hidup di dalam ekosistem terumbu karang maupun dari perairan di sekitarnya ( Nybakken, 1992: Mumby and Steneck, 2008). Di dalam ekosistem ini terdapat kumpulan kelompok biota dari berbagai tingkatan tropik yang mempunyai sifat saling ketergantungan. Biota tersebut meliputi berbagai jenis ikan karang, teripang, rumput laut, dan beberapa jenis moluska yang bernilai ekonomi. Sebagai sumber keindahan, ekosistem terumbu karang dengan keanakeragaman jenis, bentuk biota dan keindahan warna, serta jernihnya perairan mampu membentuk perpaduan harmonis dan estetis, ideal untuk tempat rekreasi bawah laut. 2.2.1. Aspek Biologi dan Ekologi Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang adalah ekosistem dasar laut tropis yang komunitasnya didominasi oleh biota laut penghasil kapur, terutama karang batu (stony coral) dan alga berkapur (calareous algae).
Terumbu karang berupa
gugusan karang yang terbentuk dari endapan masif kristal kalsium karbonat (CaCO 3 ), berasal dari epidermis pada setengah bagian bawah kolom dan binatang karang (polip menetap), alga dan organisme lain penghasil kalsium karbonat tersebut. Terumbu karang mempunyai respon spesifik terhadap lingkungan sekitarnya. Pertumbuhan yang pesat pada kedalaman rata-rata 2 – 15 meter, dan cahaya merupakan faktor utama yang mempengaruhi distribusi vertikalnya (Nybakken, 1992). Karang pembentuk terumbu hanya dapat tumbuh dengan baik pada daerahdaerah tertentu, seperti pulau-pulau yang sedikit mengalami proses sedimentasi atau di sebelah timur dari benua yang umumnya tidak terpengaruh oleh adanya arus dingin (Suharsono, 1996). Keberadaan terumbu karang ditandai oleh menonjolnya jenis biota yang hidup di dalamnya, diperkirakan menempati sekitar 0,2% dari luas samudera dunia sekitar 362.059.000 km2 atau 70,8% permukaan
16
bumi. Sebagian besar terumbu karang (coral reef) tumbuh di perairan tropis yang jernih dan agak dangkal pada rentang isothermal 20oC dengan ketersediaan nutrisi rendah, dan pada kedalaman kurang dari 40 meter (Allister, 1989; Hardianto et al., 1998). Jutaan hektar terumbu karang terdapat di daerah pantai tropis dunia. Di daerah Mediterania Asiatik yaitu kawasan laut dalam dan sekitar Kepulauan Indonesia mulai dari Australia bagian utara sampai China bagian selatan, total luas terumbu karang adalah 18,2 juta ha (30% dari total luas terumbu karang dunia), yang merupakan kawasan terumbu karang terluas di dunia (Smith, 1978 dalam Schroder, 1986). Sementara itu, di Kepulauan Philipina luas terumbu karang adalah 4,41 juta ha (Dizon, 1986). Menurut Suharsono (1996) sebaran terumbu karang di Indonesia lebih banyak terdapat di sekitar pulau Sulawesi, laut Flores dan Banda. Sebaran karang di pantai timur Sumatera, sepanjang pantai utara Pulau Jawa, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan dibatasi oleh tingginya sedimentasi. Tumbuh dan berkembangnya karang dengan baik di Sulawesi (utara) adalah karena adanya arus lintas Indonesia yang mengalir sepanjang tahun dari Laut Pasifik dan Laut Hindia. Sebagai suatu ekosistem yang sangat produktif, terumbu karang memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi, sehingga menampakkan panorama dasar laut yang sangat indah. Ekosistem ini terdiri atas jaringan mata rantai yang menumbuhkan siklus fauna, siklus flora, siklus air dan berbagai siklus lainnya yang saling berkaitan. Karena itu, menurut Salim (1992), ekosistem terumbu karang memiliki lima fungsi penting, yaitu : (a) fungsi keterkaitan, (2) fungsi keanekaragaman, (c) fungsi keserasian antar komponen satu dengan yang lain, (d) fungsi efisien, dan (e) fungsi keberlanjutan. 2.2.2. Faktor Pembatas Pertumbuhan Terumbu Karang Menurut Nybakken (1992) faktor-faktor lingkungan yang membatasi pertumbuhan serta kelangsungan hidup terumbu karang adalah sebagai berikut: 1. Suhu. Suhu optimum untuk pertumbuhan terumbu karang di perairan adalah berkisar 23 -30 oC dengan suhu minimum 18oC. Namun hewan ini masih bisa hidup sampai suhu 15 oC, tetapi akan terjadi penurunan
17
pertumbuhan, reproduksi, metabolisme serta produktivitas kalsium karbonat. 2. Tingkat Pencahayaan. Intensitas cahaya matahari sangat mempengaruhi kelangsungan hidup karang. Dalam proses kehidupannya, hewan ini bersimbiosis dengan mikro alga (zooxanthellae) yang dalam hidupnya mutlak memerlukan cahaya matahari sebagai energi utama untuk pembentukan zat hijau daun (Chlorophyl). Faktor kedalaman dan intensitas cahaya matahari sangat mempengaruhi kehidupan binatang karang, sehingga pada daerah yang keruh serta daerah dalam tidak ditemukan terumbu karang. Kedalaman air untuk terumbu karang tidak lebih dari 50 meter. 3. Salinitas. Hewan karang peka terhadap perubahan salinitas (kadar garam), sehingga pada perairan yang tidak banyak mengalami perubahan salinitas atau relatif stabil saja karang bisa hidup normal. Salinitas optimal untuk kehidupan terumbu karang antara 32 – 35 o/ oo , sehingga jarang ditemukan pada daerah muara sungai besar, bercurah hujan tinggi atau perairan dengan kadar garam tinggi (hipersalin). 4. Kejernihan air. Kejernihan air ini sangat erat kaitannya dengan intensitas cahaya matahari, agar cahaya dapat mencapai dasar perairan, syarat kejernihan air diperlukan. Bila terdapat benda-benda yang larut atau melayang di laut akan mengganggu masuknya cahaya matahari. Pasir dan lumpur bisa menutupi polip dan akhirnya mematikan hewan karang ini. 5. Pergerakan Air. Ombak dan arus turut berperan dalam pertumbuhan karang. Ombak dan arus membawa oksigen dan bahan makanan; oleh karena karang batu yang hidup menetap di dasar dan tidak berpindah tempat maka karang batu ini hanya dapat mengandalkan bahan makanan yang dibawa oleh arus. Di samping itu arus atau ombak dapat membersihkan polip dari kotoran-kotoran yang menempel atau masuk kedalamnya. Kedalaman 3 – 10 meter merupakan lingkungan yang menguntungkan bagi hewan karang untuk hidup.
18
2.2.3. Fungsi dan Manfaat Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang sebagai ekosistem kawasan pesisir, berperan besar sebagai: (a) tempat tumbuh biota lain karena fungsinya sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah asuhan berbagai biota laut, (b) sumber plasma nutfah, (c) mencegah erosi dan mendukung terbentuknya pantai berpasir, dan (d) melindungi pantai dari hempasan ombak dan keganasan badai, disamping melindungi berbagai macam bangunan fisik (Nybakken, 1992; Dahuri, 1996). Selain itu terumbu karang merupakan sumber baku untuk berbagai macam kegiatan, seperti karang batu dan pasir sebagai bahan bangunan, karang hitam (black coral) sebagai bahan perhiasan, dan kerang atau moluska yang dapat untuk bahan penghias rumah (Sukarno, 1995). Di negara-negara berkembang, terumbu karang secara tidak langsung sebagai penghasil protein bagi penduduk, disamping sebagai obyek wisata, penangkal ombak atau pelindung usaha perikanan laguna, pelindung pelabuhan-pelabuhan kecil dari badai dan hempasan air laut, serta kegunaan lainnya. Supriharyono (2007) mengatakan bahwa ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas primer yang tinggi, terutama karena adanya simbiosis antara koloni karang dan zooxanthellae, yakni sel-sel alga renik pada jaringan terluar dari karang yang membangun terumbu karang. Selanjutnya Purnomo et al. (2010) mengatakan bahwa zooxanthellae merupakan salah satu biota dalam kelompok dinoflagellata fototrofik. Organisme ini selalu hidup bersimbiosis dengena beberapa invertebrata laut. Hubungan antara zooxanthellae dengan karang bersifat mutualistik yang dicirikan dengan adanya ciri transfer nutritif dan fisiologis. Dengan karakter ini, maka hampir tidak ditemukan karang dapat hidup tanpa zooxanthellae. Terumbu karang di Indonesia tergolong yang terkaya di dunia dengan kandungan keanekaragaman tumbuhan dan hewan laut yang luar biasa. Saat ini, lebih 480 jenis karang batu telah didata di wilayah timur Indonesia dan merupakan 60% jenis karang batu di dunia yang telah berhasil dideskripsikan (Suharsono, 1998).
Hasil temuan terdahulu diketahui bahwa pada ekosistem
terumbu karang yang sehat menghasilkan 35 ton ikan/km2/tahun, sedangkan dalam ekosistem terumbu karang rusak menghasilkan kurang dari lima ton ikan (Allister, 1989). Dalam kondisi fisik yang baik, terumbu karang dapat berfungsi
19
secara optimal sebagai sumber penghidupan masyarakat pesisir, khususnya nelayan. 2.2.4. Ancaman Terhadap Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang saat ini telah mendapat tekanan akibat berbagai kegiatan manusia. Burke et al. (2002) melaporkan bahwa penyebab kerusakan ekosistem terumbu karang di Asia Tenggara termasuk di Indonesia adalah : (a) pembangunan di wilayah pesisir yang menyebabkan sedimentasi dan pencemaran laut, seperti pengerukan, reklamasi, penambangan pasir, pembuangan limbah padat dan cair; (b)
pencemaran laut akibat aktivitas di laut, seperti
pencemaran dari pelabuhan, tumpahan minyak, pembuangan sampah dari atas kapal, dan akibat langsung dari pelemparan jangkar kapal; (c) sedimentasi dan pencemaran dari daratan, seperti penebangan hutan, perubahan tataguna lahan dan praktek pertanian yang tidak konservatif; (d) penangkapan ikan secara berlebihan; (e) penangkapan ikan dengan cara merusak, seperti penangkapan ikan dengan menggunakan bom, racun dan alat tangkap lainnya; dan (f) pemutihan karang akibat perubahan iklim global. Selanjutnya Supriharyono (2007) mengatakan bahwa kesehatan terumbu karang sangat ditentukan oleh baik buruknya aktivitas di daratan. Aktivitas pembangunan yang tidak direncanakan dengan baik di daerah pantai akan dapat menimbulkan dampak terhadap kerusakan ekosistem terumbu karang. Beberapa aktivitas seperti pembukaan hutan mangrove, penebangan hutan, intensifikasi pertanian, pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) yang kurang baik pada umumnya akan meningkatkan kekeruhan dan sedimentasi di daerah terumbu karang. Kekeruhan dapat menurunkan penetrasi cahaya matahari, sehingga menurunkan efisiensi fotosintesis alga, zooxanthellae yang hidup bersimbiose dengan karang, sedangkan sedimentasi dapat langsung mengganggu kehidupan karang bahkan dapat menyebabkan kematian karang. Intensifikasi pertanian umumnya dapat meningkatkan run off pupuk dan pestisida ke perairan terumbu karang, walaupun kemungkinan dampak bahan-bahan kimia tersebut terhadap terumbu karang belum banyak diketahui. Disamping itu, ekosistem terumbu karang juga menerima dampak dari aktivitas daratan, yaitu berupa limbah penduduk dan limbah industri.
20
Sedimentasi yang terjadi di ekosistem terumbu karang akan memberikan pengaruh semakin menurunnya kemampuan karang untuk tumbuh dan berkembang. Menurut Tomascik (1991), beberapa kegiatan manusia yang berhubungan erat dengan sedimentasi adalah semakin tingginya pemanfaatan hutan dan lahan pertanian, kegiatan pengerukan, pertambangan dan pembangunan konstruksi. Pengaruh sedimentasi yang terjadi pada terumbu karang telah disimpulkan oleh beberapa peneliti, terdiri atas: 1) menyebabkan kematian karang apabila menutupi atau meliputi seluruh permukaan karang dengan sedimen ; 2) mengurangi pertumbuhan karang secara langsung; 3) menghambat planula karang untuk melekatkan diri dan berkembang di substrat; 4) meningkatkan kemampuan adaptasi karang terhadap sedimen (Fabricius, 2005). Dari sekian banyak komponen limbah antara lain surfaktan, logam berat, bahan organik beracun dan bahan kimia, unsur hara nitrogen dan fosfor merupakan faktor yang paling menentukan kerusakan terumbu karang (Tomascik, 1991). Peningkatan konsentrasi unsur hara akan memacu produktivitas fitoplankton dan alga bentik. Hal ini diindikasikan dengan peningkatan klorofil a dan kekeruhan, pada akhirnya memacu populasi hewan filter dan detritus feeder. Pengaruh peningkatan populasi fitoplankton dan kekeruhan, kompetisi alga bentik serta toksisitas fosfat secara bersamaan dapat menurunkan jumlah karang (Connel dan Hawker, 1992). Wilayah pesisir yang mempunyai pantai pasir putih dan ekosistem terumbu karang merupakan salah satu obyek wisata bahari yang sangat menarik. Menurut Mardani (1995), selama dua dekade perkembangan pariwisata di wilayah Asia-Pasifik, khususnya perkembangan pariwisata pesisir dan wisata bahari menunjukkan pertumbuhan yang cukup hebat. Hal ini mengakibatkan pula semakin banyaknya masyarakat yang terlibat dalam kegiatan pariwisata ini. Peningkatan fasilitas dan aksesibilitas di sekitar kawasan pariwisata ikut pula mempercepat pertumbuhan industri pariwisata di wilayah pesisir. Menurut De Silva (1985), perkembangan pariwisata juga mendorong kerusakan terumbu karang. Misalnya kerusakan terumbu karang di Malaysia terutama di Pulau Paya, Pulau Lembu, Pulau Songsong dan Pulau Telor telah mengalami rusak berat karena seringnya perahu-perahu wisata menancapkan
21
jangkarnya. Selanjutnya Salm dan Clark (1989) merinci lebih lanjut dampak aktivitas pariwisata komersil terhadap terumbu karang sebagai berikut : 1. Pembangunan fasilitas wisata, dampaknya dapat merubah aliran air sekitar terumbu karang dan akhirnya merubah faktor ekologi utama terumbu karang, dapat menimbulkan kekeruhan
sehingga mengurangi fotosintesis, dapat
menjadi sumber pencemaran tetap. 2. Kerusakan oleh jangkar, dampaknya memecah dan merusak karang. 3. Kerusakan oleh penyelam, sering kali aktivitas penyelaman (diving) secara tidak sengaja dapat menimbulkan kerusakan pada karang dan biota lainnya. 4. Kerusakan oleh perahu kecil, seringkali dasar perahu dan kapal pesiar dapat menambrak terumbu dan menimbulkan kerusakan fisik pada daerah yang dangkal, terutama pada saat surut. 5. Berjalan pada terumbu, seringkali para wisatawan berjalan-jalan pada terumbu karang saat air surut, dan cara ini sangat potensial menimbulkan kerusakan fisik karang karena terinjak. 2.2.5. Nilai Ekologi-Ekonomi Terumbu Karang Terumbu karang sebagai salah satu ekosistem pesisir mempunyai nilai guna yang sangat penting, baik ditinjau dari aspek ekologi maupun ekonomi. Terumbu karang menyumbang hasil perikanan laut kurang lebih 10-15% dari total produksi. Hasil penelitian Husni (2001) tentang nilai ekonomi terumbu karang untuk perikanan di kawasan Gili Indah Kabupaten Lombok Barat – NTB adalah sekitar 611,34 kg/ha/tahun dengan nilai Rp. 48.731.275/ha/tahun, sedangkan nilai ekonomi pariwisata bahari sekitar Rp. 69.117.180,36. Selanjutnya Wawo (2000) melaporkan bahwa nilai ekonomi total terumbu karang di Pulau Nusa Laut Maluku adalah Rp. 4.265.174/ha/tahun. Selanjutnya Dahuri (1999) melaporkan bahwa nilai ekonomi terumbu karang di Kawasan Barelang dan Bintan mencapai Rp. 1.614.637.864,-/ha/tahun. Fringing reef juga merupakan pelindung pantai yang sangat penting dari terpaan gelombang, sehingga stabilitas pantai bisa tetap terjaga. Hiew dan Lim (1998) dalam Kusumastanto (2000), menyatakan bahwa nilai manfaat terumbu karang per hektar per tahun sebagai pencegah erosi pantai adalah sebesar US$ 34.871,75 atau dengan asumsi US$ 1 setara dengan Rp. 9.500,- maka nilai fungsi
22
tidak langsung terumbu karang sebagai pencegah erosi adalah sebesar Rp. 331.281.625/ha/tahun. Di samping itu nilai keindahan, kekayaan biologi sebagai bagian dari suksesi alam dalam menjaga kelangsungan kehidupan dalam perannya sebagai sumber plasma nutfah, membuat terumbu karang menjadi kawasan ekosistem pesisir yang sangat penting dari berbagai aspek (Garces, 1992). Sementara itu, Ruitenbeek (2001), menyatakan bahwa nilai fungsi tidak langsung terumbu karang sebagai penyedia biodiversity adalah sebesar US$ 15/ha/tahun atau sekitar Rp. 142.500,-. Terumbu karang juga berperan dalam proses transpor nutrien baik organik maupun anorganik diantara ekosistem mangrove dan padang lamun (Dahuri et al. 1996). Menurut Baker dan Kaeoniam (1986) fungsi fisik terumbu karang antara lain adalah sebagai filter air untuk menjaga kualitas air di kawasan pantai. Selain itu juga sebagai peredam gelombang, pelindung alamiah terhadap daratan yang berhadapan dengannya, meminimalkan abrasi, serta penghasil pasir putih bagi kawasan pantai yang berhadapan. Pemanfaatan terumbu karang dapat digolongkan ke dalam dua bagian, yaitu a) pemanfaatan ekstraktif meliputi kegunaan konsumtif, seperti penangkapan biota laut yang dijadikan konsumsi pangan maupun kegunaan ornamental, seperti penangkapan ikan hias, kerang dan sebagainya, dan b) pemanfaatan non ekstraktif meliputi pendayagunaan ekosistem terumbu karang untuk tujuan pariwisata, penelitian, pendidikan, dan sebagainya (Baker dan Kaeoniam, 1986). Nilai ekonomi pemanfaatan ekstraktif dan non ekstraktif pada terumbu karang di Selat Lembeh dilaporkan oleh Parwinia (2007), yaitu nilai ekonomi ekstraktif di kawasan Selat Lembeh dengan indikator total revenue dari perikanan berkisar antara Rp. 27 juta per vessel per tahun (Kelurahan Aertembaga) sampai Rp. 238 juta per vessel per tahun (Kelurahan Makawidey). Nilai ekonomi non ekstraktif merupakan nilai wisata dan ekosistem, meliputi kegiatan diving, transportasi taxi air. Kegiatan diving memberikan manfaat ekonomi tertinggi sekitar Rp. 300 juta per tahun, taxi air Rp. 90 juta per tahun dan nilai ekonomi dari sewa kapal sebesar Rp. 25 juta per tahun.
23
2.3. Pembangunan Berkelanjutan Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) pada beberapa dekade terakhir, semakin sering digunakan oleh banyak negara di dunia untuk mengimplementasikan kebijakan pembangunan baik pada level nasional maupun internasional. Saat ini keberlanjutan (sustainability) telah menjadi elemen inti (core element) bagi banyak kebijakan pemerintah di negara-negara di dunia dan lembaga-lembaga strategis lainnya (Ekins dan Simon, 2001). Konsep
pertama
pembangunan
berkelanjutan
dirumuskan
dalam
Brundtland Report yang merupakan hasil kongres Komisi Dunia Mengenai Lingkungan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa: “Pembangunan berkelanjutan ialah pembangunan yang mewujudkan kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk mewujudkan kebutuhan mereka” (WCED, 1987). Selain berorientasi masa depan, secara etis definisi ini juga memberi jaminan pemenuhan kebutuhan hidup antar generasi. Menurut Khanna et al. (1999), pembangunan berkelanjutan berimplikasi pada keseimbangan dinamis antara fungsi maintenance (sustainability) dan transformasi (Development) dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup. Walau banyak variasi definisi pembangunan berkelanjutan, termasuk pemanfaatan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan, yang diterima secara luas ialah yang bertumpu pada tiga pilar: ekonomi, sosial, dan ekologi (Munasinghe, 1993). Dengan perkataan lain, konsep pembangunan berkelanjutan berorientasi pada tiga dimensi keberlanjutan, yaitu: keberlanjutan usaha ekonomi (profit), keberlanjutan kehidupan sosial manusia (people), keberlanjutan ekologi alam (planet), atau pilar Triple-P. Ketiga dimensi tersebut saling mempengaruhi sehingga ketiganya harus diperhatikan secara berimbang. Sistem sosial yang stabil dan sehat serta sumberdaya alam dan lingkungan merupakan basis untuk kegiatan ekonomi, sementara kesejahteraan ekonomi merupakan prasyarat untuk terpeliharanya stabilitas sosial budaya maupun kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Sistem sosial yang tidak stabil akan cenderung menimbulkan tindakan yang merusak kelestarian sumberdaya alam dan merusak kesehatan lingkungan, sementara ancaman kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan (misalnya
24
kelangkaan tanah dan air) dapat mendorong terjadinya kekacauan dan penyakit sosial (Suryana, 2005). Bond et al. (2001) menyatakan bahwa istilah keberlanjutan (sustainability) didefinisikan sebagai pembangunan dari kesepakatan multidimensional untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik untuk semua orang. Selanjutnya Roderic et al. (1997) menyatakan bahwa keberlanjutan memerlukan pengelolaan tentang skala keberlanjutan ekonomi terhadap dukungan sistem ekologi, pembagian distribusi sumberdaya dan kesempatan antara generasi sekarang dan yang akan datang secara berimbang dan adil, serta efisien dalam pengalokasian sumberdaya. Menurut Supriharyono (2007) bahwa dalam mengelola sumberdaya pesisir, termasuk ekosistem terumbu karang perlu melakukan beberapa pertimbangan. Pertimbangan tersebut mencakup aspek ekonomis, ekologis dan aspek sosial budaya. Menurut Cincin-Sain dan Knecht (1998), pembangunan berkelanjutan mempunyai tiga aspek utama, yaitu: (1) pembangunan ekonomi untuk memperbaiki kualitas hidup manusia, yaitu pembangunan yang menekankan manusia sebagai pusat perhatian; (2) pembangunan yang memperhatikan lingkungan, baik dalam pemanfaatan sumberdaya, perlindungan proses ekologi, sistem pendukung kehidupan maupun keanekaragaman hayati; (3) pembangunan sosial secara adil dalam distribusi keuntungan pembangunan yang meliputi keadilan antar masyarakat, antar generasi, antar negara. Ketiga ide utama ini biasanya diterjemahkan dalam bentuk pertanyaan oleh pengambil keputusan yang berkaitan dengan pembangunan dan lingkungan, yaitu: Bagaimana pembangunan tersebut akan memperbaiki kualitas hidup manusia? Bagaimana hal tersebut akan mempengaruhi sumberdaya alam dan lingkungannya? Adakah keadilan sosial dalam distribusi keuntungan dari pembangunan? Perencanaan pembangunan berkelanjutan membutuhkan informasi yang tepat tentang opsi penggunaan sumberdaya, pilihan teknologi yang digunakan, perubahan struktur sistem, pola konsumsi, tingkat kualitas hidup yang diinginkan dan status lingkungan yang menjamin tereduksinya tekanan ekologis oleh berbagai proses ekonomi. Pada level wilayah, operasionalisasi skema tersebut membutuhkan proses identifikasi keterkaitan antara kapasitas sumberdaya,
25
aktivitas pembangunan, kapasitas asimilasi, status lingkungan, pertumbuhan ekonomi dan tingkat kualitas hidup yang diinginkan. Chang et al. (2008) mengatakan bahwa sebagai analisis skenario untuk mengambil kebijakan dalam pemecahan permasalahan wilayah pesisir yang kompleks dapat dibangun model sistem dinamik didasarkan DSS (decision suport system). Selanjutnya dikatakan bahwa strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan yang dibangun berdasarkan DSS ini diharapkan dapat diimplementasikan dimasa depan di wilayah pesisir Kenting Taiwan. 2.4. Daya Dukung Menurut Rogers et al. (2008) konsep pembangunan berkelanjutan didasari oleh konsep ekologi yaitu menyangkut tentang daya dukung. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Kanna et al. (1999) bahwa daya dukung merupakan basis dalam pembangunan berkelanjutan. Sedangkan Inglis et al. (2000) menjelaskan bahwa konsep secara mendasar tentang daya dukung ialah hubungan antara populasi dengan perubahan sumberdaya alam yang menopangnya. Asumsinya ialah ukuran populasi optimal adalah yang dapat ditopang oleh sumberdaya alamnya. Artinya jika populasi tidak lagi dapat ditopang oleh sumberdaya alamnya maka telah melampaui daya dukungnya. Scone (1993) membedakan daya dukung mencakup dua jenis yaitu; (1) daya dukung ekologis ialah jumlah maksimum hewan-hewan pada suatu lahan yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena kepadatan dan kerusakan lingkungan permanen; (2) daya dukung ekonomi ialah tingkat produksi skala usaha yang memberikan keuntungan maksimum yang ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi. Krom (1986) menyatakan daya dukung lingkungan pesisir diartikan sebagai kemampuan suatu ekosistem pesisir untuk menerima jumlah limbah tertentu sebelum ada indikasi terjadinya kerusakan lingkungan. Selanjutnya menurut UNEP (1993) daya dukung lingkungan sangat erat kaitannya dengan kapasitas asimilasi dari lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang ke dalam lingkungan tanpa menyebabkan pencemaran. Sedangkan Pearce dan Kirk (1986) mendefinisikan daya dukung sebagai intensitas penggunaan maksimum terhadap sumberdaya alam yang berlangsung secara terus menerus tanpa merusak alam. Undang-Undang No. 32
26
Tahun 2009 mendefinisikan daya dukung ialah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung kelangsungan hidup manusia, mahluk hidup lainnya dan keseimbangan diantara keduanya. 2.5. Dimensi Keberlanjutan Pengelolaan Terumbu Karang Nikijuluw (2002) menyatakan bahwa terdapat enam variabel atau himpunan variabel kontekstual yang memberi pengaruh pada keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan, termasuk sumberdaya ikan di terumbu karang yaitu : 1. Sifat biofisik/ekologi sumberdaya serta teknologi yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut. 2. Atribut pasar terutama komoditas yang dihasilkan dari sumberdaya alam yang tersedia serta komoditas barang dan jasa yang digunakan dalam proses pemanfaatan sumberdaya. 3. Atribu pemegang kepentingan, yaitu nelayan serta kelompok masyarakat lainnya yang menempatkan sumberdaya sebagai panggung atau arena (stake) yang bersangkutan dengan mengekspresikan eksistensinya. 4. Atribut kelembagaan dan organisasi yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat yang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut, serta organisasi yang visi dan misinya tidak berkaitan sama sekali dengan pemanfatan sumberdaya pesisir dan laut, namun hadir di tengah masyarakat. 5. Atribut kelembagaan dan organisasi ekternal yang terdapat di luar masyarakat atau di luar area pengelolaan sumberdaya perikanan. 6. Atribut eksogen yaitu kekuatan eksternal yang terjadi di luar sistem pengelolaan sumberdaya perikanan, tetapi pada kenyataannya sangat berpengaruh atau berdampak pada sumberdaya perikanan. 2.5.1. Dimensi Ekologi Dimensi ekologi merupakan dimensi kunci karena arahan pembangunan berkelanjutan mensyaratkan kesinambungan pemanfaatan sumberaya alam dan jasa lingkungan bagi generasi mendatang. Status atau kondisi pembangunan berkelanjutan dapat tercermin dari kondisi dimensi ekologis tersebut. Dimensi
27
ekologi dipilih untuk mencerminkan bagaimana pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut berdampak secara ekologis terhadap keberlanjutan sumberdaya dan lingkungan serta ekosistem tersebut sehingga kegiatan pemanfaatannya dapat berlangsung secara berkelanjutan juga. Tingkat eksploitasi atau tekanan eksploitasi akan membatasi peluang pengembangan pemanfaatan sumberdaya perikanan (Aziz et al. 1998). Tingkat eksploitasi yang melebihi MSY (maximum sustainable yield) atau terjadinya penangkapan berlebih (overfishing) akan membahayakan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya perikanan (Gulland, 1983). Keanekaragaman spesies telah lama digunakan sebagai indikator stabilitas lingkungan (De Santo, 2000). Selain itu, spesies itu sendiri penting karena fungsi bertindak di dalam menimbulkan atau memunculkan jasa ekologis yang memang bernilai ekonomis bagi manusia (Perrings et al., 2003). Keanekaragaman spesies secara fungsional menentukan ketahanan (resilience) ekosistem atau sensitivitas ekosistem (Holling et al. 2002). Jumlah spesies dan kombinasi spesies ikan merupakan dua dari beberapa indikator integritas biotik ekosistem perairan (Karr, 2002). Integritas biotik adalah suatu ekosistem yang berubah baik secara struktur maupun secara fungsional akibat aktivitas manusia (Hocutt, 2001). 2.5.2. Dimensi Sosial Ekonomi Dimensi sosial ekonomi yang elemen utamanya meliputi aspek permintaan (demand) dan penawaran (supply) komoditas yang dihasilkan dari sumberdaya yang dikelola. Dimensi sosial ekonomi seperti harga dan struktur pasar merupakan insentif atau disinsentif bagi terbentuknya suatu tatanan kelembagaan pengelolaan terumbu karang serta derajat kepatuhan masyarakat (nelayan) terhadap tatanan tersebut. Dimensi sosial ekonomi juga menggambarkan kejadian-kejadian yang berpengaruh pada permintaan dan penawaran serta hubungan antara pelaku ekonomi (Arifin, 2008). Memahami dimensi sosial ekonomi adalah sesuatu yang sangat penting dalam kaitannya dengan pengelolaan terumbu karang. Hal ini karena disamping sebagai kegiatan yang berbasis sumberdaya alam (natural resource based activity), terumbu karang merupakan kegiatan ekonomi yang berbasis pasar (marked – based activity). Oleh karena itu, perumusan suatu tatanan pengelolaan
28
terumbu karang patut pula memperhatikan dimensi sosial ekonomi yang berkaitan atau yang merupakan ciri sumberdaya tersebut. 2.5.3. Dimensi Kelembagaan Dimensi kelembagaan sangat bergantung pada cara tatanan kelembagaan, hak-hak masyarakat, serta aturan dibuat atau dirumuskan. Nikijuluw (2002), menyatakan bahwa tiga aspek penting yang patut diperhatikan dalam pengambilan keputusan, yaitu: 1. Keterwakilan (representation) yang didefinisikan sebagai tingkat nelayan dan pemegang kepentingan lainnya berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. 2. Kecocokan (relevanse) adalah tingkat peraturan yang berlaku dinilai cocok dengan masalah-masalah yang dihadapi. 3.
Penegakan hukum (enforceability) adalah tingkat aturan-aturan dapat ditegakkan. Christie et al. (2003) mengatakan bahwa dukungan seluruh pemangku
kepentingan wilayah pesisir merupakan faktor penting terhadap keberlanjutan program. Konflik kepentingan, atau bahkan hanya konflik persepsi di antara konstituen (seperti nelayan, penyelenggara wisata bahari, ilmuwan, pejabat pemerintah, LSM, dan konservasionis) akan memelihara ketidakpuasan di antara mereka apabila tidak diambil langkah-langkah proaktif. Ketidakpuasan di antara satu konstituen atau lebih, apabila tidak diselesaikan dengan cara yang bijak, bisa mengakibatkan terancamnya keberlanjutan kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir karena mereka akan melanggar kesepakatan atau peraturan yang ada dan disepakati. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peranserta para pemangku kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir termasuk terumbu karang, baik secara individu atau secara bersama-sama cenderung berakibat pada kesesuaian kegiatan proyek dengan keinginan mereka daripada proyek yang dipaksakan dari luar. Peranserta ini menumbuhkan rasa memiliki di kalangan pihak-pihak yang berkepentingan dan meningkatkan keberdayaan masyarakat pesisir. Perasaan memiliki digabungkan dengan peningkatan keberdayaan masyarakat pesisir dan kesesuaian pengelolaan sumberdaya pesisir dengan kondisi
29
lokal tampak lebih berdampak pada keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir oleh masyarakat sendiri setelah proyek selesai. 2.5.4. Dimensi Teknologi Aspek teknologi yang digunakan dalam pemanfaatan sumberdaya sangat bergantung pada jenis dan potensi terumbu karang yang tersedia. Teknologi yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan diatur serta ditentukan dalam hak-hak pemanfaatan sumberdaya. Kehadiran suatu teknologi membentuk pola interaksi antara pengguna. Jika suatu teknologi mensyaratkan adanya kerjsama antar pengguna, kerjasama itu akan terwujud karena kebutuhan. Sebaliknya, penggunaan teknologi tertentu dapat juga menjadi disinsentif bagi pengguna untuk bekerjasama yang seterusnya menentukan pola interaksi yang khas di antara mereka bukan saja pada saat pemanfaatan sumberdaya, tetapi juga pada saat perencanaan, perumusan cara-cara pemanfaatan, dan pengelolaan. Oakerson (1992), mengajukan dua alasan penting melakukan kajian hubungan antara atribut-atribut tersebut dengan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Alasan tersebut adalah sebagai berikut: (1)
Sumberdaya perikanan termasuk terumbu karang memiliki kapasitas relatif dalam mendukung usaha nelayan secara simultan tanpa adanya benturanbenturan di antara mereka atau adanya dampak yang merugikan bagi nelayan tertentu yang timbul karena nelayan lain menangkap ikan dalam jumlah yang lebih banyak. Analisis sifat ekologi harus diarahkan untuk menentukan secara akurat faktor-faktor pembatas sumberdaya. Faktor-faktor pembatas yang utama adalah potensi dan jenis serta mobilitasnya di dalam kawasan yang dikelola.
(2)
Derajat aksesibilitas terhadap sumberdaya. Keterbatasan potensi sumberdaya berarti bahwa akses terhadap sumberdaya sulit dan mahal. Oleh karena itu tindakan seseorang untuk berhenti memanfaatkan sumberdaya merupakan sesuatu yang jarang terjadi. Begitu sesorang sudah memiliki akses dan berada dalam proses pemanfaatan sumberdaya, akan sulit baginya untuk berhenti melakukannya. Oleh karena itu, sumberdaya terumbu karang dimanfaatkan secara bersama-sama dalam suatu bentuk kompetisi di antara
30
pengguna. Aksi seseorang akan memberi dampak kepada yang lain dan selanjutnya membuat orang lain melakukan aksi serupa. Jadi interaksi di antara pengguna cenderung menjurus kepada pertentangan atau konflik di antara mereka. 2.6. Kawasan Konservasi Laut Kawasan Konservasi Laut (KKL) adalah suatu daerah di laut yang ditetapkan untuk melestarikan sumberdaya laut. Di daerah tersebut diatur zonazona untuk mengatur kegiatan yang dapat dan tidak dapat dilakukan, misalnya pelarangan kegiatan seperti penambangan minyak dan gas bumi, perlindungan ikan, biota laut lain dan ekologinya untuk menjamin perlindungan yang lebih baik (National Research Council, 2001). Sedangkan menurut IUCN (1994) kawasan konservasi perairan adalah suatu wilayah perairan pasang surut bersama badan air di bawahnya dan terkait dengan flora, fauna, dan penampakan sejarah serta budaya, dilindungi secara hukum atau cara lain yang efektif untuk melindungi sebagian atau seluruh lingkungan di sekitarnya. Beberapa ahli berpendapat bahwa KKL bukanlah jawaban universal untuk mengatasi masalah-masalah pelestarian perikanan, tetapi telah disepakati bahwa pengelolaan perikanan karang sangat sesuai dilakukan melalui penetapan KKL. Ekosistem laut wilayahnya bisa didefinisikan secara spatial, seperti terumbu karang dan baik untuk perlindungan sumber daya perikanan (Williams, 1998). Pengembangan kawasan konservasi laut dalam luasan yang kecil pada suatu wilayah menunjukkan peningkatan yang cukup berarti pada produktivitas perikanan di sekitarnya
(Williamson et al. 2004; Francini-Filho dan Moura,
2008). White (1988) melaporkan bahwa sebelum ada KKL di Pulau Sumilon Philipina hasil produksi perikanan sebesar 14 – 24 mt/km2/tahun, setelah dibangun KKL hasil tangkapan meningkat menjadi 36 mt/km2/tahun. Produksi KKL kembali menurun menjadi 20 mt/km2/tahun
ketika pengelolaan KKL
mengalami masalah. Selanjutnya dikatakaan bahwa KKL merupakan area recruitment bagi ikan karang yang bergerak pada kawasan terumbu karang di dalam dan di luar KKL. Kawasan konservasi laut bisa digunakan sebagai alat yang efektif sebagai bagian untuk pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu (National
31
Research Council, 2001). Selanjutnya Roberts & Hawkins (2000) menyatakan bahwa di seluruh dunia luasan daerah perairan laut dilindungi sangat kecil. Saat ini seluruh wilayah KKL hanya meliputi kurang dari setengah persen lautan di dunia, sedikit yang sangat dilindungi dan 71% tidak ada pengelolaan yang aktif. Li (2000) merinci manfaat kawasan konservasi laut sebagai berikut, yaitu manfaat biogeografi, keanekaragaman hayati, perlindungan terhadap spesies endemik dan spesies langka, perlindungan terhadap spesies yang rentan dalam masa pertumbuhan, pengurangan mortalitas akibat penangkapan, peningkatan produksi pada wilayah yang berdekatan, perlindungan pemijahan, manfaat penelitian, ekoturisme, pembatasan hasil samping ikan-ikan juvenile (juvenile by catch), dan peningkatan produktivitas perairan (productivity enchancement). Selanjutnya Roberts & Hawkins (2000) mengatakan bahwa terdapat bukti yang kuat dan meyakinkan bahwa melindungi daerah dari penangkapan ikan membuat bertambahnya jumlah, besarnya ukuran, dan biomasa dari jenis organisme yang dieksploitasi. Wilayah penyimpanan dan perlindungan laut sering dikatakan hanya berlaku untuk lingkungan terumbu karang. Kenyataannya, metode ini sudah berhasil diterapkan pada berbagai habitat di daerah tropis dan sub-tropis. Penyimpanan dan perlindungan laut adalah suatu alat yang bersifat global. Kebijakan pengelolaan Kawasan Konservasi Laut atau Marine Protected Area (MPA) mulai dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 90-an. Sampai saat ini telah terbangun kawasan KKL lebih kurang seluas 6,87 juta ha. Diharapkan sampai dengan tahun 2010 dapat terbangun 10 juta ha dan tahun 2020 sekitar 20 juta ha di seluruh Indonesia. Sifat pengelolaannya yang lebih kepada perlindungan (konservasi) dirasa cukup tepat pada kondisi beberapa perairan pesisir di Indonesia yang mengalami kerusakan cukup parah akibat adanya praktek penangkapan ikan yang merusak seperti pengunaan bahan peledak, racun, dan lain-lain, yang akan mengancam keberlanjutan kehidupan ekosistem laut kedepan (Hutabarat et al. 2009). 2.7. Sistem, Pendekatan Sistem 2.7. 1. Sistem Sistem
adalah
kumpulan
dari
komponen-komponen
yang
saling
berinteraksi, interrelasi atau interdependensi dalam rangka mencapai tujuan yang
32
telah ditetapkan (Anderson dan Johnson, 1997). Menurut Kirkwood (1998) komponen sebuah sistem dapat berupa obyek fisik yang dapat disentuh dengan indera, dan dapat juga bersifat intangible seperti aliran informasi, kebijakan perusahaan, interaksi interpersonal, bahkan apa yang menjadi state of minds dalam diri seseorang seperti feeling, values, dan belief. Anderson dan Johnson (1997) mengatakan, bahwa sistem memiliki ciri khas yaitu tujuannya spesifik; bagian-bagian penyusunnya lengkap, utuh, dan tersusun secara spesifik; mampu memelihara stabilitas diri melalui fluktuasi dan pengaturan; serta memiliki mekanisme umpan balik (feedback mechanism). Menurut Chechland (1981), ada beberapa persyaratan dalam berfikir sistem (system thinking), di antaranya adalah (1) holistik tidak parsial; system thinkers harus berfikir holistik tidak reduksionis; (2) Sibernitik (goal oriented); system thinkers harus mulai dengan berorientasi tujuan (goal oriented) tidak mulai dengan orientasi masalah (problem oriented); (3) efektif; dalam ilmu sistem erat kaitannya dengan prinsip dasar manajemen, dimana suatu aktivitas yang mentransformasikan input menjadi output yang dikehendaki secara sistematis dan terorganisasi guna mencapai tingkat efektif dan efisien. Jadi dalam ilmu sistem, hasil harus efektif dibanding efisien; ukurannya adalah cost effective bukan cost efficient. Akan tetapi akan lebih baik lagi apabila hasilnya efektif dan sekaligus juga efisien. 2.7.2. Pendekatan Sistem Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis. (Marimin, 2004). Menurut Eriyatno (1998) dalam Marimin (2004), karena disebabkan pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antarbagian melalui pemahaman yang utuh, maka diperlukan suatu kerangka fikir baru yang terkenal sebagai pendekatan sistem (system approach). Pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif. Pendekatan sistem dapat memberi landasan untuk pengertian yang lebih luas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku
33
sistem dan memberikan dasar untuk memahami penyebab ganda dari suatu masalah dalam kerangka sistem. Keunggulan pendekatan sistem antara lain: (1) pendekatan sistem diperlukan karena makin lama makin dirasakan interdependensinya dari berbagai bagian dalam mencapai tujuan sistem, (2) sangat penting untuk menonjolkan tujuan yang hendak dicapai, dan tidak terikat pada prosedur koordinasi atau pengawasan dan pengendalian itu sendiri, (3) dalam banyak hal pendekatan manajemen tradisional seringkali mengarahkan pandangan pada cara-cara koordinasi dan kontrol yang tepat, seolah-olah inilah yang menjadi tujuan manajemen, padahal tindakan-tindakan koordinasi dan kontrol ini hanyalah suatu cara untuk mencapai tujuan, dan harus disesuaikan dengan lingkungan yang dihadapi, (4) konsep sistem terutama berguna sebagai cara berfikir dalam suatu kerangka analisa, yang dapat memberi pengertian yang lebih mendasar mengenai perilaku dari suatu sistem dalam mencapai tujuannya.
2.8. Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian terdahulu yang hasilnya terkait adalah sebagai berikut : Maryunani (1999) melakukan penelitian tentang “Model Pemberdayaan Penduduk Lokal Dalam Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Secara Berkelanjutan (Studi Kasus Kawasan Pesisir Barat Pulau Lombok, Propinsi Dati I Nusa Tenggara Barat). Penelitian mempunyai tujuan utama untuk memperoleh pemahaman faktor-faktor sistem internal penduduk lokal yang dominan berpengaruh terhadap kondisi wilayah berdasarkan kerusakan terumbu karang, sebagai dasar untuk menyusun model pemberdayaan penduduk lokal dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan. Penelitian dengan menggunakan model empirik peubah ganda (multivariate análysis) dan model kuantifikasi
Hayashi
I
menyimpulkan
bahwa
operasionalisasi
Model
Pemberdayaan Penduduk Lokal (MPPL) dalam Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang tidak dapat diperlakukan secara seragam (homogen), tergantung keragaan spasial karakteristik sosial ekonomi penduduk lokal, serta pola dan intensitas pemanfaatan terumbu karang yang berbeda di setiap wilayah. Kemampuan institusi lokal dalam mengendalikan pengelolaan ekosistem terumbu karang di
34
setiap wilayah studi sangat diutamakan, dan sangat tergantung pada pengalaman dan kemampuan penduduk lokal menjadi penggerak dalam mengendalikan (diri dan pihak lain) eksploitasi ekosistem terumbu karang secara besar-besaran. Pekuwali (2000) melakukan kajian ”Analisis Kebijakan Pengelolaan Terumbu Karang Pulau Kera Taman Wisata Alam Teluk Kupang Nusa Tenggara Timur”. Penelitian bertujuan untuk menganalisis skenario pemanfaatan yang optimal di dalam pengelolaan terumbu karang Pulau Kera dan memperkirakan daya dukung fisik Pulau Kera dalam menunjang kegiatan pariwisata bahari. Kajian ini menggunakan pendekatan AHP (Analytical Hierarchy Proces). Hasil kajian menyimpulkan bahwa prioritas kebijakan pengelolaan terumbu karang di Pulau Kera adalah pengelolaan kawasan wisata yang memperhatikan konservasi. Selanjutnya dijelaskan bahwa pemasalahan yang paling dominan adalah kurangnya koordinasi dengan sektor terkait, pelestarian fungsi lingkungan, masalah ekonomi, sosial dan budaya. Selanjutnya Priyono (2004) melakukan penelitian dengan judul ”Kebijakan Pengelolaan Terumbu Karang di Perairan Kelurahan Pulau Panggang Kepulauan Seribu Daerah Khusus Ibukota Jakarta”. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan dan faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan terumbu karang di perairan Kelurahan Pulau Panggang serta menentukan kebijakan pengelolaan terumbu karang yang berkelanjutan. Penelitian menggunakan metode A’WOT, yaitu penggabungan antara AHP (Analytical Hierarchy Process) dengan Analisis SWOT (Strenghts, Weaknesess, Opportunities, and Threats) menyimpulkan bahwa komponen kekuatan (S) menempati urutan teratas dalam menentukan kebijakan pengelolaan terumbu karang di perairan Pulau Panggang, kemudian berturut-turut diikuti oleh komponen kelemahan (W), peluang (O) dan ancaman (T). Adapun prioritas kebijakan pengelolaan terumbu karang di Pulau Panggang berturut-turut adalah konservasi, wisata bahari, dan budidaya perikanan. Husni (2001) melakukan penelitian dengan judul
”Kajian Ekonomi
Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang (Studi Kasus di Kawasan Taman Wisata Alam Laut Gili Indah Kabupaten Lombok Barat, Propinsi Nusa Tenggara Barat), bertujuan menganalisis nilai ekonomi total dari manfaat ekosistem terumbu karang mengkaji alternatif pengelolaan ekosistem terumbu karang yang optimal dan berkelanjutan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa nilai ekonomi total
35
terumbu karang seluas 448,76 ha adalah Rp. 25.897.263.024,-/tahun atau Rp. 57.708.046,65,-/ha/tahun.
Pengelolaan
ekosistem
terumbu
karang
harus
memperhatikan aspek biofisik dan lingkungan, aspek ekonomi, aspek sosial budaya dan aspek kelembagaan. Manengkey (2003) melakukan penelitian dengan judul ”Tingkat Sedimentasi dan Pengaruhnya pada Ekosistem Terumbu Karang di Perairan Teluk Buyat dan Sekitarnya Provinsi Sulawesi Utara”, bertujuan mengukur dan menganalisis banyaknya material sedimen pada kawasan terumbu karang. Penelitian dengan menggunakan sediment traps yang dipasang di ekosistem terumbu karang selama 20 hari. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa tingkat sedimentasi di daerah studi cukup tinggi, yaitu mencapai 525. 250 mg/l terutama di muara sungai dan diduga berasal dari daratan. Di daerah terumbu karang ditemukan sedimentasi yang tinggi yaitu mencapai 141.800 mg/l. Kandungan bahan organik dalam sedimen diduga berasal dari limbah rumah tangga dan bahan organik dari daratan. Kerusakan terumbu karang di lokasi studi disebabkan karena adanya sedimentasi, dan pengeboman. Selanjutnya Partini (2009) dengan judul penelitian
”Efek Sedimentasi Terhadap Terumbu Karang di Pantai Timur
Kabupaten Bintan”. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung laju sedimentasi di ekosistem terumbu karang dan menganalisis hubungan dan pengaruh laju sedimentasi terhadap komunitas terumbu karang. Penelitian dengan menggunakan sediment traps
yang dipasang di ekosistem terumbu karang selama 20 hari,
menyimpulkan bahwa laju sedimentasi di lokasi penelitian kategori ringan – berat (4,00 – 78,24 mg/cm2/hari). Laju sedimentasi berkorelasi negatif terhadap tutupan karang dan berkorelasi positif terhadap indeks mortalitas. Arifin (2008) dengan judul penelitian “Akuntabilitas dan Keberlanjutan Pengelolalaan Kawasan Terumbu Karang di Selat Lembeh, Kota Bitung”, bertujuan menelaah akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang. Penelitian menggunakan pendekatan Rap–Insus COREMAG (Rapid Appraisal-Index Sustainability of Coral Reef Management). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa penyebab degradasi terumbu karang di Selat Lembeh diduga disebabkan oleh menurunnya kondisi perairan setempat akibat aktivitas industri, pelabuhan dan aktivitas manusia. Berdasarkan penilaian terhadap 4 dimensi
akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang (ekologi, teknologi, sosial ekonomi, dan kelembagaan), diperoleh bahwa dimensi kelembagaan dan
36
teknologi merupakan dimensi yang paling rendah indeks akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang di Selat Lembeh. Selanjutnya dikatakan bahwa indeks akuntabilitas terbukti dapat mempengaruhi perubahan pada sistem keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang. Sistem keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang saat ini di lokasi penelitian akan mengalami penurunan pada 5 tahun ke depan, karena itu diperlukan upaya perbaikan. Febrizal (2009) melakukan penelitian dengan judul ” Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Perairan Kabupaten Bintan dan Alternatif Pengelolaannya”. Penelitian dengan menggunakan metode transek kuadrat dan dianalisis dengan software Image-J serta untuk melihat hubungan antara parameter lingkungan perairan dengan penutupan substrat menggunakan PCA, menyimpulkan bahwa kondisi terumbu karang di kawasan yang dekat dengan permukiman nelayan dan daratan memiliki tutupan karang hidup relatif rendah dibandingkan dengan terumbu karang di kawasan yang jauh dari aktivitas daratan. Aktivitas di daratan mengakibatkan buruknya kualitas perairan yang berdampak pada terumbu karang. Dari penelitian-penelitian tersebut di atas belum ada penelitian yang dilakukan secara spesifik dan komprehensif dalam membangun desain pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau. Dengan demikian topik yang diambil sejauh ini masih dapat dianggap asli.