II. TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan pustaka ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi tentang : teori-teori yang mendukung model sehingga akan membantu membangun kerangka berfikir logis, justifikasi terhadap alat analisis yang digunakan sehingga membantu dalam membangun kerangka metodologi, serta review dari penelitian terdahulu dalam aplikasi teori dan metodologi yang pernah digunakan. Dalam tinjauan pustaka terdiri dari : 1. Konsepsi umum tentang lahan ; berisikan pengertian dan definisi tentang lahan. hal ini karena isu utama dalam penelitian ini berkaitan dengan masalah lahan. 2. Pengelolaan lahan ; berisikan tentang aspek campur tangan manusia dalam pemanfaatan lahan, penggunaan berbagai input untuk tujuan-tujuan ekonomi, adanya peranan ganda dari lahan sehingga dalam pengelolaannya sering terjadi benturan-benturan.
Acapkali karena desakan ekonomi, sosial dan
kependudukan sehingga menimbulkan tekanan dan perubahan peruntukan lahan. 3. Alokasi sumberdaya lahan ; berisikan tentang pilihan alokasi sumberdaya lahan untuk tujuan pembangunan ekonomi atau lingkungan, serta konsekuensi terjadinya eksternalitas akibat kita memilih salah satu alternatif tujuan pembangunan tersebut.
Dalam sub bab ini juga disajikan berbagai
kemungkinan alat-alat (tools) yang digunakan baik dalam kaitannya dengan kreasi data dan analisis data, serta penggunaan model goal programming dalam berbagai keperluan analisis pada beberapa tulisan terdahulu.
11 4. Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Lahan ; berisikan tentang dasar teori organisasi dan kelembagaan yang relevan untuk suatu tujuan implementasi penggunaan lahan.
2.1. Konsepsi Umum Tentang Lahan Istilah lahan digunakan berkenaan dengan permukaan bumi beserta segenap karakteristik yang ada padanya dan penting bagi peri kehidupan manusia (Cristian dan Stewart, 1968). Secara lebih rinci, istilah lahan atau land dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah dipermukaan bumi, mencakup semua komponen biosfer yang dapat dianggap tetap atau bersifat siklis yang berada di atas dan dibawah wilayah tersebut, termasuk atmosfer, tanah, batuan induk, relief hidrologi, tumbuhan dan hewan, serta segala akibat yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia di masa lalu dan sekarang yang kesemuanya itu berpengaruh terhadap penggunaan lahan oleh manusia pada saat sekarang dan dimasa mendatang (Brikman dan Smyth 1973; Vink 1975). Berdasarkan pengertian di atas, lahan dapat dipandang sebagai suatu sistem yang tersusun atas berbagai komponen. Komponen-komponen itu dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu : komponen struktural yang sering disebut karakteristik lahan, dan komponen fungsional yang sering disebut kualitas lahan. Lahan sebagai sistem mempunyai komponen-komponen yang terorganisir secara spesifik dan perilakunya menuju kepada sasaran-sasaran tertentu. Komponenkomponen lahan ini dapat dipandang sebagai sumberdaya dalam hubungannya dengan aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dengan
demikian ada dua kategori utama sumberdaya lahan, yaitu : sumberdaya la han
12 yang bersifat alamiah dan sumberdaya lahan buatan yang merupakan hasil aktivitas budidaya manusia.
Berdasarkan konsepsi tersebut maka pengertian
sumberdaya lahan mencakup semua karakteristik lahan dan proses-proses yang terjadi di dalamnya, yang dengan cara-cara tertentu dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia.
2.2. Pengelolaan Sumberdaya Lahan Menurut Soerianegara (1977) ada tiga aspek kepentingan pokok dalam pengelolaan dan penggunaan sumberdaya lahan, yaitu : lahan diperlukan manusia untuk tempat tinggal, tempat bercocok tanam, memelihara ternak, memelihara ikan dan lainnya, lahan mendukung kehidupan berbagai jenis vegetasi dan satwa, dan lahan mengandung bahan tambang yang bermanfaat bagi manusia. Dengan peranan ganda tersebut, maka dalam upaya pengelolaannya, sering terjadi benturan diantara sektor-sektor pembangunan yang memerlukan lahan. Fenomena seperti ini sering kali mengakibatkan penggunaan lahan kurang sesuai dengan kapabilitasnya. Beberapa faktor yang mempengaruhi kapabilitas lahan ini adalah : jenis tanah dan kesuburannya, keadaan lapangan, relief, topografi dan ketinggian tempat, aksesibilitas, kemampuan dan kesesuaian lahan, dan besarnya tekanan penduduk (Soerianegara 1977). Di tinjau dari sudut pandang penguasaan dan pengalokasiannya, maka sebagian lahan di suatu daerah aliran sungai khususnya di kawasan pesisir adalah merupakan public land dan sebagian lainnya merupakan private land. Dalam kenyataannya public land tersebut merupakan kawasan hutan lindung (mangrove) serta daerah sempadan pantai dan sempadan sungai yang dikuasai oleh negara.
13 Sedangkan private land merupakan lahan usaha pertanian dan permukiman yang dikuasai dan dikelola oleh penduduk. Bertambahnya jumlah penduduk, secara langsung atau tidak langsung akan mengakibatkan meningkatnya tekanan penduduk terhadap lahan, dan hal ini pada kenyataannya dapat menimbulkan berbagai masalah degradasi sumberdaya lahan dan lingkungan hidup serta berbagai konsekuensi sosial ekonominya. Pentingnya pengelolaan sumberdaya lahan karena dia mempunyai peranan sangat penting bagi kehidupan manusia.
Program-program pengelolaan lahan
(pesisir) merupakan suatu usaha besar yang amat pelik; sesuatu yang dirancang untuk melestarikan atau memperbaiki kondisi wilayah pesisir dengan cara mengatur penggunaan dan kegia tan pada tanah dan perairan.
Koordinasi
kegiatan-kegiatan pengelolaan oleh berbagai dinas dan instansi pemerintah, mendorong munculnya aturan mandiri melalui pendekatan dan pendidikan serta beragam kegiatan lainnya. Pemilihan jenis dan skala intenvensi serta mitra kerja dan permasalahan pengelolaan secara tepat sesungguhnya merupakan suatu seni, namun sangat menentukan sekali pada keberhasilan program (Tobey, 2000). Nikijuluw (1998) dalam penelitiannya di desa Jemluk Bali menemukan bahwa pengelolaan sumberdaya (pesisir) melalui suatu skema tertentu yang diinisiasi oleh masyarakat ternyata membawa dampak positif terhadap perbaikan hasil dan distribusi, sehingga secara individual masyarakat pesisir merasakan adanya suatu peningkatan kesejahteraan. Analisis sosial ekonomi dalam suatu sistem kawasan pesisir dapat diarahkan untuk identifikasi subsistem sosial ekonomi dan sekaligus mengkaji permasalahan sosial ekonomi yang ada. Masalah- masalah ini diduga berkaitan
14 erat antara perubahan penggunaan laha n dengan beberapa perubahan sosial ekonomi dan kependudukan. Hubungan hipotetik antara perubahan-perubahan ini disajikan pada Gambar 1. Pertambahan jumlah penduduk di suatu wilayah yang menghadapi pilihan mata pencaharian yang terbatas akan dapat mengakib atkan peningkatan usaha intensifikasi dan ekstensifikasi usahatani.
Kebutuhan akan pemukiman dan
sumber energi juga meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan taraf kebudayaannya. Pertambahan jumlah penduduk tersebut ada hubungannya dengan beberapa peubah penting seperti mobilitas (migrasi masuk dan kaluar), fertilitas, struktur umur, faktor lingkungan dan sosial-budaya.
Mobilitas
penduduk mempunyai hubungan yang sangat erat dengan daya tarik dan daya dorong ekonomis.
Kelompok Perubahan Ekonomi:
-
Produktivitas lahan Pendapatan Penggunaan teknologi Kesempatan kerja Harga lahan tingkat upah
Kelompok Perubahan Sosial: - Pelayanan pranata sosial - Sarana dan prasarana sosial - Status lahan - Partisipasi masyarakat
Perubahan Tataguna Lahan
LINGKUNGAN
Kel. Perubahan Kependudukan : - Laju pertambahan penduduk - Mobilitas penduduk - Kepadatan penduduk - Struktur umur
Gambar 1.
Hubungan Hipotetik Antara Peubah-Peubah Sosial Ekonomi Masyarakat Terhadap Tataguna Lahan
15 Di suatu daerah yang sumberdaya lahannya secara agroekologis mempunyai kapabilitas dan tingkat kesesuaian lahan yang tinggi biasanya pola usahataninya melibatkan jenis-jenis tanaman (komoditi) komersial.
2.3. Alokasi Sumberdaya Lahan Dalam proses produksi pertanian masukan yang berupa lahan dapat digunakan untuk menghasilkan berbagai produk barang dan jasa. Acapkali terjadi trade off terhadap berbagai tujuan penggunaan lahan tersebut. Ketika kita telah memutuskan untuk suatu tujuan produksi barang atau jasa tertentu maka kita harus rela kehilangan kesempatan untuk memperoleh hasil produksi barang dan jasa lainnya. Fenomena ini dapat dijelaskan melalui gambar kurva kemungkinan produksi (KKP) sebagaimana disajikan pada Gambar 2. Barang Lingkungan (B)
MRSBA = MRPTBA QL
Barang Ekonomi (A) QE Gambar 2. Kurva Kemungkinan Produksi Kondisi pareto me nyatakan bahwa tingkat marjinal dari transformasi produk barang lingkungan (B) bagi barang ekonomi (A) – atau (MRPTBA : kemiringan dari KKP) akan sama dengan MRS BA. Jika MRS BA = PA / PB ; selanjutnya PA= Pa/MPaA dimana MPaA adalah produk marjinal dalam
16 memproduksi A. Jadi kita dapat menyatakan bahwa PB = Pa / MPaB. Dengan mensubstitusikan untuk PA dan PB kita dapatkan : MRSBA =
Pa / MPaA MC A = = MRPTBA Pa / MPaB MC B
Pada kondisi ini tingkat produksi barang ekonomi yang optimal adalah QE sementara tingkat produksi barang lingkungan yang optimal adalah QL.
Jika
karena sesuatu dan lain hal tingkat produksi barang ekonomi melebihi QE, sehingga harus menurunkan tingkat produksi barang lingkungan QL menjadi lebih kecil maka hal tersebut akan menimbulkan konsekuensi ya itu turunnya kualitas lingkungan.
Kelebihan produksi barang ekonomi tersebut akan menghasilkan
produk-produk sampingan dan limbah dalam bentuk misalnya : sedimentasi, hasil air, dan bahan-bahan kimia yang dapat menjadi pencemar lingkungan. Limbah ini biasanya diangkut keluar dari sistem produksi dan menimbulkan biaya eksternal dan efek eksternalitas. Eksternalitas terjadi karena individu yang tidak ikut menikmati harus menanggung biaya atau individu ikut menikmati tetapi tidak menanggung biaya, tanpa adanya kompensasi yang diterima atau dibayar. Eksternalitas negatif mengakibatkan jumlah produk yang dihasilkan tidak berada tepat pada kondisi yang optimal. Dalam kondisi demikian, sebagaimana pada Gambar 3, pemerintah dapat mengatasi masalah eksternalitas dengan memaksa perusahaan menurunkan produksinya, yaitu melalui internalisasi efek samping yang diderita masyarakat ke dalam MC perusahaan (private). Internalisasi tersebut dapat dilakukan melalui pembebanan pajak atau membuat aturan-aturan tertentu sehingga MC private bergeser kekiri kearah MC social ; MC social = MC private + EC ; dimana EC adalah biaya eksternal.
17 Harga (P) MC Social
MCprivate
P*
0
Q*Social Q*private
Q
Gambar 3. Eksternalitas Negatif
Pada kasus eksternalitas positif sebagaimana pada Gambar 4, jumlah produk terlalu sedikit dihasilkan.
Untuk mengatasi hal ini, pemerintah harus
merangsang perusahaan meningkatkan produksinya dengan memberikan subsidi kepada perusahaan sebesar “external benefit” akibatnya perusahaan akan menggeser anggaran perusahaannya yang tercermin dari pergeseran MC private ke MC social sehingga output meningkat dari Q private ke Qsocial. Harga (P) MC private
MC social
P*
0
Q*private Q*social
Q
Gambar 4. Eksternalitas Positif Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengendalikan efek eksternalitas tersebut, namun hasilnya masih belum memadai.
Hal ini disebabkan karena
mekanisme pasar tidak dapat bekerja untuk mengalokasikan eksternalitas tersebut.
18 Dalam kondisi seperti ini diperlukan campur tangan pemerintah.
Davies dan
Kamin (1972) dalam Anwar (1995) mengemukakan beberapa campur tangan pemerintah untuk mengendalikan efek eksternalitas, yaitu berupa : larangan, pengarahan, kegiatan percontohan, pengenaan pajak atau subsidi, pengaturan (regulasi), hukuman atau denda, dan tindakan pengamanan. Efek eksternalitas dalam batas-batas tertentu juga berhubungan dengan degradasi sumberdaya lahan yang pengaruhnya dapat terjadi terhadap proses produksi. Pada lahan pertanian di daerah hulu sungai proses degradasi lahan dan efek eksternalitas tersebut biasanya berkaitan erat dengan intensitas pengusahaan lahan. Beberapa metode untuk mengalokasikan jenis-jenis penggunaan lahan telah dikembangkan diantaranya adalah : (1) alokasi berdasarkan klasifikasi kemampuan lahan, (2) alokasi berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi, (3) alokasi berdasarkan analisis sistem, dan (4) alokasi berdasarkan pemrograman matematik (Riset Operasi). Alokasi penggunaan lahan berdasarkan klasifikasi kemampuan lahan adalah cara yang paling praktis karena penentuan kelas-kelas kemampuan lahan hanya didasarkan pada kondisi faktor- faktor biofisik suatu kawasan. Metode ini sangat sedikit atau kurang sekali mempertimbangkan faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi penggunaan lahan (Vink, 1975). Pendekatan alokasi lahan dengan menggunakan prinsip-prinsip ekonomi pernah dikemukakan oleh Gregory (1955) dan Valdepenas (1969) seperti telah dilaporkan oleh Balangue (1988). Melalui penggunaan teori produksi gabungan (joint production) dalam model grafik dua dimensi, dapat ditentukan satu pilihan antara hutan untuk single-use atau multiple-use.
Menurut Gregory, masalah
19 alokasi
terletak pada posisi expantion path
yang digambar melalui satu
kumpulan grafik isocost dan isorevenue. Jika expantion path letaknya dekat dengan axis penggunaan lahan single use, keputusannya adalah lahan hutan single-use lebih dominan dari multiple-use. Sebaliknya jika expantion path lebih dekat dengan axis lahan multiple-use, maka penggunaan lahan yang dominan adalah jenis penggunaan hutan multiple-use. Jika expantion path lokasinya tepat ditengah-tengah kedua axis, keputusannya adalah penggunaan lahan hutan sama baiknya. Balangue (1988) menggunakan kriteria ekonomi (total net return) untuk memecahkan kombinasi alokasi lahan untuk menghasilkan kayu dengan lahan untuk menghasilkan ternak. Secara grafik digambarkan sekumpulan isocost dan isorevenue untuk beberapa tingkat biaya dan kombinasi optimum produknya (penerimaan maksimum). Pendapatan total bersih dicari dengan mengurangkan biaya dari pendapatan kotor.
Akhirnya tingkat biaya yang menghasilkan
pendapatan bersih tertinggi dikatakan sebagai tingkat biaya dan aktivitas produksi paling efisien secara ekonomi. Alokasi lahan hutan dengan prinsip ekonomi ini mempunyai kelemahan karena tidak semua hasil dari hutan dapat dihitung secara ekonomi dengan nilai uang. Net return yang hanya didasarkan pada kuantifikasi tujuan (target), output dan input secara moneter belum tentu mencerminkan net benefit yang sebenarnya (Balangue, 1988). Pendekatan analisis sistem untuk alokasi penggunaan lahan dimulai dengan mengidentifikasi sistem dan subsistem yang ada di daerah studi. Setiap elemen dari sistem yang ada dianalisis sesuai dengan fungsinya dan
20 keterkaitannya dengan unsur lainnya.
Pendekatan ini biasanya memerlukan
masukan dari berbagai disiplin ilmu sehingga tim perencanan biasanya terdiri dari latar belakang yang berbeda.
Setiap alternatif penggunaan lahan dievaluasi
dengan menggunakan kriteria-kriteria ekologis, ekonomis, sosial budaya dan mungkin juga politik.
Jenis penggunaan lahan yang mempunyai nilai positif
tertinggi dalam hal kualitas hidup akan dialokasikan di daerah studi (Soerianegara, 1977). Pendekatan analisis sistem ini juga dapat dikombinasikan dengan metode lainnya seperti dengan metode pemrograman matematik (Soemarno, 1991). Penggunaan pemrograman matematik seperti linear programming, goal programming, STEP method sangat berguna dalam memecahkan permasalahan alokasi jenis-jenis penggunaan lahan.
Problem alokasi sumberdaya muncul
apabila terdapat sejumlah aktivitas yang harus dilakukan dan terdapat keterbatasan (kendala), baik dalam jumlah ketersediaan sumberdaya maupun dalam cara dan waktu penggunaannya. Dalam kondisi seperti ini maka tujuan yang ingin dicapai adalah mengalokasikan sumberdaya yang tersedia kepada aktivitas-aktivitas yang ada secara optimal. Permasalahan pengalokasian sumberdaya untuk mencapai kondisi
optimal
ini
dicakup
dalam
teknik-teknik
optimalisasi
dengan
menggunakan beberapa model matematika dan simulasi (Jeffers 1978; Soemarno 1991). Optimalisasi mengisyaratkan upaya penemuan nilai maksimal atau minimal dari beberapa fungsi matematis dengan jalan menetapkan harga bagi paubah-peubah
yang
dapat
dikendalikan
hingga
batas-batas
tertentu.
Maksimalisasi merupakan proses penemuan nilai maksimal dari suatu fungsi tujuan, sedangkan minimalisasi merupakan proses penemuan nilai minimalnya
21 (Mize dan Cock, 1968). Kedua proses ini sering digunakan dalam pengalokasian sumberdaya lahan pertanian yang menghadapi beberapa kendala. Seringkali kita juga ingin mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan yang mampu meningkatkan keluaran yang diinginkan dari suatu sistem dengan jalan memodifikasi struktur sistem atau mengubah cara pengelolaan sistem yang ada.
Hal ini merupakan alasan utama bagi penggunaan model- model yang
memungkinkan
kita
untuk
mengungkapkan
dan
menelaah
konsekuensi-
konsekuensi dari perubahan tersebut. Salah satu model yang sering digunakan untuk menyelesaikan masalah optimalisasi berkendala adalah pemrograman matematika (Agrawal dan Heady, 1972). Suatu bentuk yang sederhana dari model ini adalah pemrograman linear atau linear programming. Keuntungan dari model- model optimalisasi adalah bahwa mereka mampu mengungkapkan dua hal penting dari permasalahan yang dihadapi, yaitu : (1) penyelesaiannya memberikan nilai- nilai bagi alternatif aktivitas yang diperlukan untuk mencapai nilai maksimal atau minimal dari fungsi tujuan, dan (2) menunjukkan kendala-kendala yang perlu untuk dilonggarkan guna memperbaiki nilai optimal dari fungsi tujuan (Dantzig, 1963). Penggunaan model program linear untuk menyelesaikan permasalahan menghendaki beberapa persyaratan dan asumsi.
Lima macam persyaratannya
adalah : adanya tujuan yang ingin dicapai, adanya alternatif kombinasi aktivitas yang dapat saling diperbandingkan, rumusan kuantitatif (model matematik), sumberdaya yang terbatas, dan
keterkaitan peubah (hubungan fungsional).
Sedangkan lima macam asumsi yang harus dipenuhi adalah : linearitas,
22 proporsionalitas, aditivitas, kontinuitas (divisibilitas), dan deterministik (Nasendi dan Anwar 1985). Apabila suatu permasalahan mempunyai tujuan lebih dari satu (bertujuan ganda) dan tidak saling menenggang, maka model program linear harus dimodifikasi. Hasil modifikasi ini disebut Program Tujuan Ganda (PTG) atau Goal Programming atau Multiple Objective Goal Programming (Ignizio, 1978). Pada dasarnya analisis PTG ini bertujuan untuk meminimalkan simpangan (deviasi) terhadap berbagai tujuan, sasaran atau target yang telah ditetapkan dengan usaha yang dapat ditempuh untuk mencapai target atau tujuan tersebut secara memuaskan sesuai dengan kendala yang ada. Sehingga dengan prosedur analisis ini dapat dicoba untuk mendeteksi sedekat mungkin target-target tersebut sesuai dengan skala prioritasnya (Keeney dan Raiffah, 1976).
2.3.1. Goal Programming Dalam keadaan dimana seseorang pengambil keputusan dihadapkan pada persoalan yang mengandung beberapa tujuan didalamnya, maka program linier tidak dapat membantunya untuk memberikan pertimbangan ya ng rasional karena program linier hanya terbatas pada analisis tujuan tunggal.
Berangkat dari
kelemahan ini maka dikembangkan Program Tujuan Ganda (multi objectives goal programming). Salah satuya adalah Goal Programming yang dikembangkan oleh Charnes dan Cooper tahun 1961. Menurut Bottoms (1975) Satu dari kelemahan utama penggunaan Linear Programming dalam pengelolaan sumberdaya adalah bahwa hanya satu kriteria untuk menentukan strategi optimal yang digunakan. Model Goal Programming disediakan untuk banyak
tujuan yang saling ber-
23 konflik. Trade off antar tujuan didemonstrasikan oleh perbandingan hasil- hasil dari banyak target yang diperkirakan dari pilihan-pilihan tujuan adalah bervariasi. Goal Programming merupakan alat pengambilan keputusan yang sangat fleksible yang dapat mengnyelesaikan banyak masalah keputusan secara lebih efektif. Sebagai ilustrasi masalah tersebut dicontohkan oleh Charnes dan Cooper dalam Balangue (1979) sebagai berikut : Maksimumkan :
Z = X1 + X2 ………………………………….…. (1)
Dengan syarat ikatan (kendala) : 3X1 + 2X2 < 12 ……..………………………………………………….. (2) 5X1 < 10 …..……………………………………………………………. (3) X1 + X2 < 8 ……………….…………………….……………………… (4) - X1 + X2 < 4 ………………………………….….…………..………… (5) X1 , X2 > 0 …………………………………….….………………….…. (6) Pemecahan masalah secara grafis menggambarkan adanya dua daerah kemungkinan solusi yang memenuhi persyaratan kendala akan tetapi tidak saling overlap (Gambar 5). Kondisi demikian tidak menghasilkan daerah penyelesaian yang layak (infeasibele) sehingga permasalahan tidak dapat dipecahkan dengan program linier biasa. Pemecahannya adalah mempertimbangkan persamaan (1), (4), dan (5) untuk dijadikan tujuan, sedang persamaan (2) dan (3) sebagai kendala. Tujuan diubah menjadi ; Meminimumkan Z = (X1 + X2 – 8 ) + (-X1 +X2 – 4). Inilah ide dasar dari konsep goal programming. Goal programming mencoba meminimisasi jumlah deviasi dari tujuan-tujuan atau target-target yang ingin dicapai daripada memaksimisasi atau meminimisasi satu fungsi tujuan sebagaimana pada kasus
24 linear programming. Yang dimaksud dengan deviasi pada goal programming terdiri dari deviasi positif dan negatif adalah tidak lain dari peubah surplus dan slack pada linear programming. Cara memformulasikan program tujuan ganda hampir sama dengan program linier, dimana pada tahap pertama dispesifikasikan permasalahan yang dihadapi yang ingin dianalisis, kemudian ditetapkan peubah-peubah keputusan, identifikasi kendala-kendala yang ada baik kendala-kendala sumberdaya maupun kendala-kendala tujuan dan tentukan fungsi tujuannya.
Asumsi-asumsi dasar
yang berlaku pada program linier juga berlaku pada program tujuan ganda seperti additivitas, linearitas, proporsionalitas, deterministik, divisibilitas dan nonnegativity. Model umum goal programming menurut Nasendi dan Anwar (1985), adalah : 1. Fungsi Tujuan : m
Minimumkan
Z=
∑ (Py Wi,ydi- + Py Wi,ydi+) ………………………… (7) i=1
2. Syarat Ikatan : n
∑a j =1
−
ij
+
X j + d i − d i = bi …..………..……......…………..………….............(8)
Untuk i = 1,2,3, … , m Tujuan. n
∑g
kj
X j ≤ atau ≥ C k …………………....…..……………………...............(9)
i =1
Untuk k = 1,2,3, … , p kendala fungsional. J = 1,2,3, … , n peub ah pengambilan keputusan. Xj, di-, di+ > 0.................................................................................................(10) dimana :
25 di-, di+
: jumlah unit deviasi yang kekurangan (underachievement) dan deviasi kelebihan (overachievement) terhadap target (bi) Wi,y : bobot yang diberikan terhadap deviasi kekurangan pada urutan ke- y Wi,s : bobot yang diberikan terhadap deviasi kelebihan dalam urutan ke-s Py & Ps : faktor- faktor prioritas ke- y dan ke-s aij : koefisien teknologi dari fungsi kendala tujuan, yang berhubungan dengan peubah pengambilan keputusan (Xj) (Xj) : peubah pengambilan keputusan atau kegiatan yang dinamakan sebagai sub tujuan (bi) : target yang ingin dicapai gjk : koefisien teknologi untuk fungsi kendala fungsional Ck : jumlah sumberdaya k yang tersedia
Dalam model goal programming diatas terdapat m tujuan, p kendala fungsional dan n peubah pengambilan keputusan. Pendekatan dengan model goal programming ini solusinya tidak menjamin kondisi pareto optimal akan tetapi berupa compromise solution atau satisfying solution, yaitu meminimalkan ketidak puasan dan konflik antara pihak-pihak yang terkait sehingga hasilnya bersifat second best solution.
Jika dalam solusinya tercapai kondisi pareto optimal
hanyalah suatu kebetulan saja. X2 5X1 = 10 X1+X2 = 4
8 6 X1+X2 = 8
4 2 3X1+2X2 = 12
0 2
4
6
8
Gambar 5. Pemecahan Masalah Optimasi Secara Grafis
26 Program tujuan ganda telah banyak dipakai di berbagai disiplin ilmu dan bidang pembangunan dalam rangka memecahkan permasalahan yang menyangkut pengambilan keputusan pengelolaan dan administrasi secara tepat guna dan berdaya guna.
Nasendi dan Anwar (1985) menyatakan metode ini telah
menyusupi kehampir setiap bidang pembangunan seperti bidang pemasaran, keuangan, pendidikan dan latihan kerja, kesehatan, militer, pertanian, kehutanan, perencanaan wilayah dan tataguna lahan. Bidang kehutanan, aplikasi mathematical programming telah dicoba oleh Nasendi (1982) yang mengkombinasikan linear programming, transportasi dengan goal programming yang kemudian disebut MOSKAYUINDO singkatan dari Model Optimasi Sektor Perkayuan Indonesia (Nasend i dan Anwar, 1985). MOSKAYUINDO merupakan model ekonomi untuk melakukan analisis dan penilaian atau evaluasi tentang berbagai alternatif pengembangan dibidang ekonomi dan perencanaan kehutanan, khususnya pengembangan perkayuan Indonesia baik secara nasional, regional maupun local. Tujuan MOSKAYUINDO antara lain : 1. Menganalisis dan mengidentifikasi pola suplai kayu paling efisien untuk memenuhi berbagai permintaan pasar baik tingkat lokal, nasional maupun internasional. 2. Menyusun suatu strategi yang optimal dalam sistem angkutan kayu antar pulau dan distribusi kayu dari wilayah produsen ke wilayah konsumen. 3. Menentukan lokasi- lokasi yang optimal untuk kegiatan pembalakan dan pembukaan wilayah, pembangunan industri, serta analisis kapasitas dan pengembangan pelabuhan kayu baik untuk ekspor maupun domestik.
27 Model
ini
berhasil
memperlihatkan
proses
perencanaan
hutan
yang
memperhatikan aspek ekonomi dan lingkungan dalam kerangka politik yang interaktif, partisipatif, dan kompromistik.
Kelemahan studi ini adalah
digunakannya data hipotetik sehingga proses tawar- menawar dalam studi ini masih diragukan. Balangue (1979) menerapkan goal programming untuk memecahkan masalah pengelolaan hutan secara terpadu di kawasan hutan Makiling seluas 4 244 ha di Los Banos Philipina. Hutan ini diperuntukkan bagi berbagai tujuan diantaranya : rekreasi (kenyamanan), keanekaragaman hayati dan suplai air. Karena itu harus ada pengaturan alokasi penggunaan areal hutan secara tepat yang memuaskan permintaan tersebut tanpa mengorbankan kualitas lingkungan dan menurunkan produktivitas hutan itu sendiri. Model goal programming dikembangkan dengan kendala tujuan berupa produksi 26 jenis barang dan jasa, net present value (NPV) pengelolaan hutan. Sedangkan kendala fungsionalnya adala h biaya pengelolaan, sedimentasi, erosi, unsur nitrogen dan phosfor, jatah tebangan tahunan dan luas areal tiap unit lahan (luas DAS, daerah rekreasi, agroforestry, dan hutan tanaman). Balteiro (2003) melakukan perbandingan dua model pendekatan analisis yaitu model program tujuan ganda dengan model tujuan tunggal untuk menyelesaikan masalah ekosistem hutan di
kebutuhan karbon ditangkap dalam pengelolaan
Pinar de Navafria yang berlokasi di gunung “Sierra de
Guadarrama” dekat Madrid Spanyol. Hasilnya, solusi dengan pendekatan GP menunjukan keunggulan-keunggulan dalam hal volume, area inventori dari hutan.
dan nilai akhir
Biaya oportunitas untuk pengembangan memerlukan
28 pengurangan sekitar 11% dari NPV dan peningkatan sekitar 24% dalam total keseimbangan karbon. Selanjutnya, volume kayu yang dipanen dan umur rotasi hutan untuk delapan solusi yang didapat adalah agak mirip. Ringkasnya, solusi yang diperoleh sungguh dapat diterima dari sudut pandang manajerial. Bidang Pertanian, Pal (1996) mendemonstrasikan model perencanaan penggunaan lahan di sektor pertanian melalui model GP yang berbasis pada prioritas, analisis sensitivitas dengan variasi struktur prioritas dilakukan untuk menunjukan bagaimana solusi sensitif terhadap perubahan struktur prioritas. Dan fungsi “Euclidean Distance”
ditunjukan untuk mengukur ketepatan struktur
prioritas dalam suatu perencanaan. Struktur prioritas mana yang terbaik untuk solusi ideal yang disetujui teridentifikasi sebagai struktur prioritas yang tepat untuk menghasilkan solusi yang sangat memuaskan. Bidang
Pengelolaan
Anggaran
Pembangunan,
model
goal
programming telah digunakan oleh Masduki (2005), untuk menentukan alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Indramayu.
Target
maksimisasi Output, maksimisasi tenaga kerja, dan maksimisasi pajak diperoleh dengan melakukan analisis optimasi dengan model program linier dengan kendala-kendala yang dipertimbangkan antara lain : input antara, input primer, kapasitas produksi dan anggaran.
Model ini merupakan kombinasi goal
programming dengan model input-output. Bidang Pengelolaan Lahan, Ruslan (1989) menerapkan model goal programming untuk studi penggunaan lahan di daerah aliran sungai (DAS) Peusangan Aceh. Model serupa juga dilakukan oleh Soemarno (1991) di DAS Konto Hulu Kabupaten Malang Jawa Timur. Model goal programming dibuat
29 didasarkan pada hasil analisis secara parsial dari model- model erosi, hidrologi, agroekologi (kesesuaian lahan), produksi pertanian dan model kependudukan. Widaningsih (1991) menga nalisis penggunaan lahan kering yang dikelola dengan sistem agroforestry di bagian DAS Cimanuk Jawa Barat dan Rachman (2000) menggunakan model goal programming untuk menyusun strategi pengalokasian lahan di Pulau Siberut Sumatera Barat. Menurut Rachman (2000) pemodelan memerlukan tahapan dan ruang lingkup guna memperoleh data yang diinginkan yaitu meliputi tahap-tahap: penilaian situasi, stratifikasi/klasifikasi lahan, analisis kesesuaian lahan, evaluasi penggunaan lahan dan alokasi penggunaan lahan.
Tahapan-tahapan tersebut
diarahkan untuk mengidentifikasi tujuan penggunaan lahan, alternatif kegiatan penggunaan lahan dan kendala-kendala sumberdaya untuk mencapai tujuan penggunaan lahan. Penilaian situasi yang ada ditujukan untuk mengetahui potensi ekosistem, sistem sosial ekonomi, kebijakan pembangunan, isu- isu dan permasalahan yang ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan masa lalu dan masa kini yang berkaitan dengan penggunaan lahan.
Survei dan inventarisasi faktor-faktor biofisik
ekosisitem mencakup luas dan distribusi satuan lahan, jenis-jenis tanah, air, topografi, iklim, vegetasi dan satwa serta hubungan ekologis diantara faktorfaktor tersebut.
Kondisi tanah yang dihubungkan dengan faktor biofisik lain
sangat berguna dalam analisis berikutnya, yaitu analisis kemampuan lahan dan penentuan kelas-kelas lahan yang lebih homogen.
Data luas satuan lahan
merupakan salah satu data penting karena merupakan kendala fungsional dalam model penggunaan lahan yang disusun.
30 Situasi sosial secara spesifik dilihat melalui data kependudukan, pengetahuan tentang bentuk-bentuk kelembagaan sosial yang terkait dengan pengelolaan lahan, kehidupan keluarga, budaya, adat istiadat, mata pencaharian, dan isu-isu sosial akibat adanya perubahan kondisi biofisik dan ekosistem. Sedangkan situasi ekonomi dapat dilihat dari aspek-aspek pola penggunaan dan pemilikan lahan, produktivitas lahan, pendapatan dan konsumsi keluarga, harga faktor produksi lain, harga dan perdagangan hasil- hasil produksi pertanian, tindakan-tindakan konserva si sumberdaya alam dan fasilitas perekonomian. Pemahaman
yang
komprehensif
terhadap
hal- hal
tersebut
diatas
memberikan inspirasi dalam perhitungan demand (permintaan) akan barang dan jasa yang dihasilkan oleh lahan baik pada saat penelitian maupun perkiraan permintaan dimasa yang akan datang. Permintaan dan kebutuhan tersebut bisa dibedakan dalam permintaan lokal, regional dan nasional.
Permintaan lokal
mencerminkan kebutuhan masyarakat lokal, sedangkan permintaan regional dan nasional bisa berupa targe t produksi kabupaten maupun provinsi dan kebijakan pemerintah tentang prioritas penggunaan lahan yang terkait dengan pembangunan regional dan nasional.
Berdasarkan pada perhitungan permintaan akan lahan,
barang dan jasa dari lahan dan data hasil inventarisasi kebijakan pemerintah, maka diketahui tujuan penggunaan lahan atau pengelolaan kawasan, yang dapat dikuantifikasi menjadi target dalam penyusunan model penggunaan lahan. Target ini bukan hanya dalam bentuk jumlah permintaan barang yang dihasilkan dari lahan, tetapi juga menyangkut ekonomi lingkungan yang dicerminkan dengan Net Present Value
(NPV)
dan
tingkat
erosi
yang
diinginkan
dari
usaha
pemanfaatan/penggunaan lahan. Sedangkan pengetahuan tentang potensi jumlah
31 tenaga kerja dan modal petani merupakan parameter yang penting karena menjadi kendala fungsional dalam model yang disusun. Stratifikasi atau klasifikasi lahan diarahkan pada penilaian sifat-sifat lahan seperti topografi, sifat fisik dan kimia tanah dibandingkan dengan kriteria yang biasa dipakai di Indonesia. Keluaran dari analisis ini adalah peta kelas-kelas satuan lahan yang dianggap mempunyai keseragaman sifat-sifat dan diskripsi kemampuan lahan untuk arahan pemanfaatannya dalam kelompok penggunaan lahan. Analisis kesesuaian lahan berhubungan dengan evaluasi alternatif penggunaan lahan yang lebih spesifik dari arahan penggunaan lahan yang telah ditetapkan dalam stratifikasi satuan lahan. Kombinasi satuan lahan dan alternatif penggunaannya untuk menghasilkan komoditas tertentu menjadi variabel keputusan dalam model yang disusun. Evaluasi Penggunaan Lahan : alternatif strategi pengelolaan lahan tersebut perlu dievaluasi dampaknya secara sosial (acceptability), secara ekonomi (produktivitas, biaya dan keuntungan) dan secara lingkungan. Alokasi Penggunaan Lahan : tahap ini meliputi perumusan model operasional penggunaan lahan, simulasi model dengan berbagai skenario dan interpretasi hasil.
2.3.2. Konservasi Sumberdaya Alam Untuk Pembangunan Berkelanjutan Menurut Western Cape Education Depertment/WECD (1987) dalam Siregar (2004) pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi
32 mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Secara garis besar konsep
pembangunan berkelanjutan memiliki empat dimensi yaitu ekologis, sosialekonomi-budaya, sosial politik dan hukum kelembagaan.
Secara ekologis
terdapat tiga persyaratan yang dapat menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan, yaitu : keharmonisan spasial, kapasitas asimilasi dan pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan bagi zona pemanfaatan tetapi harus dialokasikan juga untuk zona preservasi dan konservasi. Konservasi dimaksudkan sebagai penggunaan sumberdaya yang bijaksana sepanjang waktu, hal ini berbeda-beda untuk masing- masing tipe sumberdaya (Barlow, 1972).
Konservasi sumberdaya lahan merupakan suatu sistem
penggunaan dan pengelolaan lahan yang didasarkan atas pembawaan atau keadaan lahan itu sendiri, yang meliputi penerapan cara-cara atau praktek-praktek terbaik yang ditujukan untuk memperoleh produksi tertinggi tanpa merusak lahan yang bersangkutan.
Oleh karena itu konservasi lahan dapat diartikan sebagai
penggunaan lahan yang tepat, melindungi lahan dari kerusakan dan memperbaiki lahan yang mutunya buruk.
Dengan definisi tersebut, maka konservasi lahan
hendaknya merupakan suatu alat untuk penataan penggunaan lahan yang baik. Dalam usaha pengelolaan sumberdaya lahan yang bijaksana sepanjang waktu di kawasan pesisir Kabupaten Sidoarjo, yang perlu diperhatikan adalah menyangkut keberadaan kawasan lindung mangrove. Suatu kebijakan untuk tetap mempertahankan kawasan lindung mangrove sampai dengan luasan tertentu (hutan mangrove lestari), jelas hal ini akan bisa menjamin kelangsungan bagi manfaat ekonomi untuk masa- masa yang akan datang. Konsep hutan mangrove
33 lestari lebih dikaitkan dengan luasan tertentu dari kawasan lindung mangrove sehingga keberadaannya mampu menjaga stabilitas ekosistem lain disekitarnya. Luas hutan mangrove lestari sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal yang berpotensi menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan, misalnya polusi atau senyawa biokimia tertentu yang berpotensi menurunkan kualitas ekosistem. Semakin tinggi kadar polusi yang ditimbulkan oleh lingkungan sekitar, maka diperlukan tegakan hutan mangrove yang lebih luas untuk berfungsi sebagai biofilter, sehingga keberadaan ekosistem sekitarnya (misal: ekosistem tambak) tetap berfungsi secara normal. Karena itu konsep luas hutan mangrove lestari sangat bersifat spesifik lokasi.
Kesulitan untuk menentukan batasan hutan
mangrove lestari disebabkan oleh tidak tersedianya informasi tentang besar kecilnya kemampuan biomassa mangrove dalam menguraikan polusi logam berat dan atau senyawa kimia tertentu, menyediakan bahan organik dan lain- lain. Namun begitu konsep hutan mangrove lestari bisa didekati dari sisi ketebalan green belt (jalur hijau) mangrove yang ada di sempadan pantai. Menurut JICA (1994) dalam laporan PT. Intermulti Planindo (2004) bahwa pada ketebalan hutan mangrove 200 m, kerapatan pohon 30 pohon/100 m2 , diameter pohon 15 cm dapat meredam 50 persen gelombang tsunami dengan ketinggian 10 m.
Informasi inilah yang umumnya dipakai sebagai rujukan
pemerintah daerah dalam menentukan batasan sabuk hijau kawasan pesisir. Pendekatan lebar belt didasarkan pada suatu fungsi yang menurun dari kadar polutan menurut jaraknya dari garis pantai. tertentu, kadar senyawa biokimia tertentu
Sampai tingkat ketebalan
yang berpotensi merusak ekosistem
sekitar mangrove dapat dinetralisir oleh hutan mangrove.
Karena itu dengan
34 mengetahui pengaruh hutan mangrove terhadap perilaku kadar senyawa biokimia tertentu, kita bisa menentukan batas hutan mangrove lestari. Sukardjo (1982) melaporkan hasil penelitiannya di muara Cimanuk sebagaimana disajikan pada Tabel 1 bahwa semakin masuk ke dalam hutan mangrove – semakin jauh dari garis pantai, kadar senyawa biokimia tertentu semakin menurun. Dalam menentukan batasan ketebalan hutan mangrove lestari, tentunya tidak akan dilakukan analisis terhadap keseluruhan unsur- unsur senyawa biokimia, karena itu dapat dipilih unsur- unsur utama yang sangat besar pengaruhnya terhadap keseimbangan ekosistem seperti phospat, nitrogen, kebutuhan oksigen biokimia (BOD), serta kebutuhan oksigen kimia (COD) (Nur, 2002). Pertambahan bahan organik dalam air dapat meningkatkan kemasaman akibat pelepasan gas CO2 melalui penguraian bahan organik. Boyd (1989) telah mengga mbarkan kondisi kemasaman perairan untuk kehidupan dan pertumbuhan ikan seperti diperlihatkan pada Gambar 6. Di dalam air, pH dipengaruhi oleh kapasitas penyangga yaitu adanya garam- garam karbonat dan bikarbonat. pH sering pula dipakai sebagai petunjuk untuk menyatakan baik buruknya suatu perairan.
Air yang agak basa dapat mendorong proses pembongkaran bahan
organik yang ada dalam air menjadi mineral- mineral yang dapat diasimilasikan oleh tumbuh-tumbuhan, sehingga pH ikut berperanan dalam menentukan produktivitas primer perairan. Salinitas ; kehidupan berbagai jenis fitoplankton dan juga zooplankton bergantung pada salinitas. Dikenal jenis-jenis yang bersifat stenohaline (dapat hidup pada kisaran salinitas yang sangat sempit) dan euryhaline (dapat hidup pada kisaran salinitas yang lebar). Menurut Nontji (2002), peranan salinitas di perairan
35 Tabel 1. pH dan Kandungan Hara Tanah di Hutan Mangrove Cimanuk Jarak Dari Laut 0
PH H2O
NH4 (ppm)
NO3 (ppm)
C (%)
N (%)
C/N
P2O5 (ppm)
K2O (mg/100 g)
7.30
35.00
18.00
4.03
0.27
18.47
23
5.47
20
6.80
39.00
8.00
5.56
0.23
24.30
31
5.56
40
6.30
53.00
10.00
5.64
0.26
21.52
40
5.05
60
6.10
67.00
32.00
5.74
0.40
14.92
52
5.71
100
6.10
60.00
26.00
8.79
0.38
23.34
37
6.75
140
6.20
56.00
16.00
6.38
0.33
19.27
39
5.18
260
6.10
68.00
13.00
5.19
0.35
15.20
57
6.06
Sumber : Sukardjo (1982)
Tidak ada reproduksi Kematian
4
Tidak ada reproduksi
Pertumbuhan Lambat 5
6
Pertumbuhan yang baik 7
8
Pertumbuhan Lambat 9
10
Kematian
11
Gambar 6. Pengaruh pH Terhadap Perikanan Kolam mungkin lebih menentukan terjadinya suksesi dari pada produktivitas secara keseluruhan. Salinitas merupakan salah satu parameter perairan yang berpengaruh pada fitoplankton. Variasi salinitas mempengaruhi laju fotosintesis, terutama di daerah estuaria khususnya pada fitoplankton yang hanya bisa bertahan pada batasan salinitas yang sempit. Menurut Kinne (1964), keragaman dan jumlah spesies organisme di perairan samudera akan mencapai maksimum pada kisaran salinitas 31 – 40 0 /oo. Keanekaragaman dan jumlah spesies kemudian berturutturut menurun pada perairan tawar (salinitas kurang dari 0.50 /oo), perairan payau (salinitas 0.5 – 300 /oo), hypersaline (salinitas 30 – 80
0
/oo) dan brain water
(salinitas lebih dari 80 0 /oo). Nitrogen (N), merupakan unsur penting dalam proses pembentukan protoplasma. Di dalam air, nitrogen biasanya berada dalam bentuk gas N2 yang
36 segera berubah menjadi senyawa lain yaitu nitrit, nitrat, ammonium dan ammonia. Menurut Mackentum (1969), kadar nitrat yang optimal bagi pertumbuhan fitoplankton berkisar antara 3.9 – 15.5 ppm, sedangkan nitrat kurang dari 0.114 ppm akan menyebabkan nitrat menjadi faktor pembatas.
Menurut Welch and
Lindell (1980), rasio unsur N dan P dapat menentukan tingkat kesuburan suatu perairan. Perairan eutrofik dicirikan oleh rasio N/P lebih kecil atau sama dengan 16/1, sedangkan perairan oligotrofik memiliki rasio N/P lebih besar atau sama dengan 16/1. Reynolds (1984) mengemukakan jika rasio N/P lebih besar dari 15/1, maka perairan dibatasi oleh unsur P, sedangkan rasio N/P lebih kecil dari 15/1 maka perairan dibatasi oleh unsur N. Unsur hara phospat yang efektif bagi pertumbuhan fitoplankton adalah dalam bentuk senyawa phosphor inorganik (ion ortophospat), meskipun dalam keadaan tertentu dapat pula diperoleh dari phosphor organik tertentu. Di perairan alami phospat biasanya menjadi faktor pembatas utama bagi pertumbuhan produktivitas primer perairan.
Tinggi rendahnya kandungan phospat dalam
perairan merupakan pendorong terjadinya dominasi fitoplankton tertentu, seperti yang dikemukakan oleh Prowse (1962) yaitu perairan dengan kandungan phospat rendah (0.00 – 0.02 ppm) akan didominasi oleh Chlorophyta dan pada kadar tinggi lebih dari 0.10 ppm didominasi oleh jenis Cyanophyta. Oksigen terlarut di perairan berasal dari difusi udara, fotosintesis fitoplankton, tanaman air dan aliran yang masuk. Oksigen merupakan salah satu unsur yang penting di perairan alami yaitu sebagai pengatur proses-proses metabolisme komunitas serta sebagai indikator kualitas perairan.
Selain itu
kandungan oksigen terlarut di perairan dapat memberikan petunjuk tentang
37 tingginya produktivitas primer suatu perairan (Nielsen, 1979). Clark (1977) menambahkan, bahwa peningkatan produktivitas primer hasil proses fotosintesis sebanding dengan jumlah oksigen yang dihasilkannya.
Kebutuhan oksigen
biokimiawi atau Biological Oxygen Demand (BOD) menunjukkan jumlah oksigen yang dipergunakan dalam proses oksidasi.
Bahan yang dapat diuraikan oleh
kegiatan organisme pembongkar (bakteri)
secara tidak langsung merupakan
indikasi jumlah bahan organik. Laju pertambahan BOD di dalam air merupakan indikasi jumlah bahan organik yang telah diuraikan sesuai dengan keseimbangan kecepatan pemakaian oksigen dalam menguraikan limbah organik dan kecepatan oksigen dalam air atau reoksigenasi. Nilai standar pasti ukuran kualitas air yang didasarkan BOD sulit diterapkan, karena berkaitan dengan reoksigenasi. Namun berdasarkan reoksigenasi, batas minimum BOD untuk kepentingan biota air adalah 5 mg/l pada air tergena ng dan batas maksimum mencapai 15 mg/l. Kebutuhan oksigen kimiawi atau Chemical Oxygen Demand (COD) merupakan total oksigen yang dibutuhkan untuk me ngoksidasi sempurna semua bahan organik menjadi karbondioksida dan air (Boyd, 1982). Nilai COD dapat digunakan untuk mengukur jumlah oksigen yang setara dengan kandungan bahan organik suatu contoh air yang mudah dioksidasi oleh oksigen kimia (APHA, 1989). Hutan mangrove sebagai biofilter
akan mampu menetralisir polusi dan
atau mempengaruhi perilaku kadar senyawa biokimia tertentu
menurut suatu
fungsi yang menurun tergantung jaraknya dari garis pantai.
Sampai tingkat
ketebalan tertentu, polutan dan kadar senyawa biokimia yang berpotensi untuk mengganggu ekosistem sekitar mangrove dapat dinetralisir sehingga aman untuk melakukan aktivitas ekonomi seperti budidaya udang dan bandeng.
Pada batas
38 inilah dikatakan bahwa hutan mangrove tersebut mencapai ambang batas lestari. Fenomena ini digambarkan dalam sebuah grafik fungsi produksi sebagaimana disajikan pada Gambar 7. Unsur-unsur yang berpotensi menggangu ekosistem tambak diantaranya adalah : phospat, nitrogen, BOD. Untuk melakukan pendugaan parameter digunakan analisis regresi linier berganda dengan metode OLS. Setelah diperoleh fungsi dugaannya, selanjutnya nilai rataan kandungan polutan dan atau senyawa biokimia yang ada dalam tambak disubstitusikan ke persamaan model. Dengan begitu akan diketahui batas ketebalan hutan mangrove lestari. Data yang diperlukan adalah kadar polutan dan atau senyawa biokimia yang terkandung dalam air tanah disekitar kawasan pesisir pantai – untuk itu diperlukan analisis laboratorium untuk air tanah contoh. Tingkat Polusi (P) Kadar Polutan P = a . J-b
P0
Toleransi Kadar Polutan Dalam Tambak
0 J0 Ketebalan Minimal Ambang Batas Hutan Mangrove Lestari
J ( Jarak Dari Garis Pantai)
Gambar 7. Hubungan antara Kadar Polutan dengan Jarak dari Garis Pantai
2.3.3. Nilai Ekonomi Hutan Mangrove Ekosistem mangrove di Indonesia mempunyai keragaman hayati yang tertinggi di dunia dengan jumlah total lebih kurang 89 spesies, yang terdiri dari 35 spesies tanaman, 9 spesies perdu, 9 spesies liana, 29 spesies epifit dan dua spesies
39 parasitic (Nontji, 2002). Beberapa jenis yang umum dijumpai di wilayah pesisir Indonesia adalah jenis bakau (Rhizophora), api-api (Avicennia), Pedada (Sonneratia), Tanjang (Bruguiera), Nyirih (Xylocarpus), Tengar (Ceriops) dan buta-buta (Excoecaria). Oleh sebab itu di dalam perencanaan pembangunan ekosistem mangrove harus dianut pula azas kelestarian fungsi dan manfaat yang optimal. Ekosistem mangrove secara garis besar mempunyai dua fungsi utama yaitu fungsi ekologis dan fungsi ekonomis. 1. Fungsi Ekologi Hutan Mangrove Menurut Snedaker et al. (1984), dilihat dari segi ekosistem perairan, hutan mangrove mempunyai arti penting karena mempunyai fungsi ekologis. Fungsi ekologis ekosistem mangrove dapat dilihat dari beberapa aspek antara lain aspek fisika, kimia dan biologi. Fungsi ekologis ditinjau dari aspek fisika adalah : (1) terjadinya mekanisme hubungan antara ekosistem mangrove dengan jenis-jenis ekosistem lainnya seperti padang lamun dan terumbu karang, (2) dengan sistem perakaran yang kuat dan kokoh ekosistem mangrove mempunyai kemamp uan meredam gelombang, menahan lumpur dan melindungi pantai dari erosi, gelombang pasang dan angin topan, dan (3) sebagai pengendali banjir. Hutan mangrove yang banyak tumbuh di daerah estuaria juga dapat berfungsi untuk mengurangi bencana banjir. Dilihat dari aspek kimia, maka hutan mangrove dengan kemampuannya melakukan proses kimia dan pemulihan (self purification) memiliki beberapa fungsi yaitu : (1) sebagai penyerap bahan pencemar (environmental service), khususnya bahan-bahan organik, (2) sebagai sumber energi bagi lingkungan perairan sekitarnya, dan (3) pensuplai bahan organik bagi lingkungan perairan.
40 Pada ekosistem hutan mangrove terjadi mekanisme hubungan memberikan sumbangan berupa bahan organik bagi perairan sekitarnya. Daun mangrove yang gugur melalui proses penguraian oleh mikroorganisme diuraikan menjadi pertikelpertikel detritus, yang menjadi sumber makanan bagi berbagai proses penguraian (dekomposisi) di hutan mangrove juga memasuki lingkungan perairan pesisir yang dihuni oleh berbagai macam filter feeder (organisme yang cara makannya dengan menyaring) lautan dan estuaria serta berbagai macam he wan dasar (Snedaker et al., 1984). Tabel 2. Produk Langsung dari Ekosistem Mangrove Kegunaan
Produk
Pertanian
Kayu bakar untuk memasak, untuk memanggang ikan, untuk memanaskan lembaran karet, untuk membakar batu bara, arang dan alkohol Kayu untuk kontruksi berat (contoh : jembatan), untuk penjepit jalan kereta api, untuk tiang penyanggah terowongan pertambangan, untuk tiang pancang geladak, bahan untuk lantai, papan bingkai, bahan untuk membuat kapal, pagar, serpihan kayu. Pancing ikan untuk memangkap ikan, sebagai pelampung pancing, racun ikan, bahan untuk pemelihara jarring dan sebagai tempat berlindung bagi ikan-ikan unik. Sebagai makanan ternak dan pupuk hijau
Produksi kertas, makanan, minuman dan obat-obatan
Berbagai jenis kertas, gula, alcohol, minyak goring, cuka, minuman fermentasi, pelapis permukaan kulit, rempah-rempah dari kulit kayu, daging dari propagules, sayur-sayuran, buah atau daun dari propagules.
Peralatan rumah tangga Produksi tekstil dan kulit
Perabot, perekat, minyak rambut, peralatan pangan, penumbuk padi, mainan, batang korek api
Lain-lain
Pengepakan
Bahan bakar
Kontruksi
Memancing
Serat sintetik, bahan pencelup pakaian, bahan untuk penyamakan kulit
Sumber : Saenger et al., (1983)
Selain fungsi yang disajikan pada Tabel 2, menurut Snedaker et al. (1984) ekosistem mangrove juga memiliki fungsi- fungsi fisik yaitu : mencegah terjadinya intrusi air laut kedaratan, dan sebagai pelindung pantai dari abrasi.
Hutan
mangrove dari aspek biologis sangat penting untuk menjaga kestabilan produktivitas dan ketersediaan sumberdaya hayati wilayah pesisir. Hal ini
41 mengingat hutan mangrove juga merupakan daerah asuhan (nursery ground) dan daerah pemijahan (spawning ground), beberapa biota perairan seperti udang, ikan dan kerang-kerangan. Mementingkan fungsi ekologis bukan berarti meniadakan fungsi ekonomis, tetapi yang terpenting adalah bagaimana menempatkan kepentingan ekonomis tidak merusak fungsi ekologis hutan mangrove itu sendiri. 2. Fungsi Ekonomis Hutan Mangrove Ekosistem hutan mangrove merupakan hutan tropika yang khas tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang sangat produktif dengan berbagai fungsi ekonomi, sosia l dan lingkungan yang penting. Snedaker et al. (1984), telah mengidentifikasi lebih dari 70 nilai pakai dari ekosistem mangrove.
Masyarakat Indonesia memanfaatkan nilai pakai
langsung dari tanaman bakau adalah untuk kayu bakar, arang, penyamak kulit, bahan-bahan bangunan, peralatan rumah tangga, obat-obatan dan bahan baku pulp untuk industri kertas. Tabel 3. Produk Tidak Langsung Dari Ekosistem Mangrove Sumber Ikan blodok (beberapa jenis) Crustacea (udang dan kepiting) Molusca (kerang, remis, tiram) Lebah Burung
Produk Makanan Makanan Makanan Madu, Lilin Makanan, Bulu, Rekreasi (mengamati dan berburu)
Reptil Fauna lainnya (amphiibi dan serangga) Sumber : Saenger et al., (1983)
Kulit, Makanan, Rekreasi Makanan, Rekreasi
3. Manfaat Langsung Hutan Mangrove (1) Arang Mangrove, produksi arang mangrove berkisar 330 000 ton/tahun, sebagian diekspor ke Jepang dan Taiwan melalui Malaysia dan Singapura. Harga FOB ekspor arang yaitu US $ 1000/10 ton, sedangkan harga pasar
42 lokal tahun 2004 cukup bervariasi antara Rp 700/kg sampai Rp 800/kg di Batu Ampar Kalimantan Barat. Jenis-jenis tumbuhan mangrove biasanya dimanfaatkan untuk arang dan kayu bakar karena menghasilkan panas yang tinggi dan awet. Tahun 1998 harga jual kayu bakar di pasar desa Rp 13 000/m3 (Jawa Timur), sedangkan di Segara Anakan Cilacap harganya Rp 8 000/m3 . Setiap meter kubik kayu bakar mangrove cukup untuk memasak selama 1 bulan untuk keperluan satu keluarga yang terdiri dari 5 anggota keluarga.
Satu batang kayu bakar mangrove dengan
diameter 8 cm dan panjang 50 cm cukup untuk satu kali masak nasi bagi 5 anggota keluarga (Santoso dan Alikodra, 1998). (2) Chip, pada umumnya hutan mangrove yang dialokasikan untuk produksi chip dikelola dalam bentuk konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Sistem silvikultur yang dipergunakan dalam melakukan pengusahaan hutan mangrove untuk produksi chip adalah berdasarkan SK Dirjen Kehutanan Nomor 60/Kpts/DJ/I/1978 dengan sistem tebang pilih, rotasi 30 tahun, pohon yang ditebang berdiameter > 10 cm, ditinggalkan jumlah pohon induk 40 batang/ ha (diameter > 20 cm), melakukan penanaman pada bekas tebangan, mempertahankan green belt atau sempadan pantai, sungai atau anak sungai (Dephut, 1994). Pada tahun 1998, jumlah chip yang diproduksi lebih kurang 250 000 ton yang sebagian besar diekspor ke Korea dan Jepang. Areal produksi tersebar di propinsi Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Irian Jaya. Harga chip di pasar internasional mencapai US $ 40/ton. Chip mangrove mampu bersaing dengan chip lainnya (Accasia mangium), karena harganya lebih murah.
43 (3) Nipah, tanaman nipah (Nypa fruticans) adalah jenis tanaman dalam gugusan ekosistem mangrove, banyak dimanfaatkan masyarakat setempat. Daunnya untuk atap rumah yang dapat bertahan sampai 5 tahun. Buah yang masih muda dapat diolah untuk es buah nipah, manisan buah nipah atau dimakan langsung. Buah yang tua dipergunakan sebagai bahan baku kue wajik sedangkan malainya dapat dimanfaatkan sebagai penghasil nira atau gula nipah. Harga atap daun nipah di Samarinda Kalimantan Timur adalah Rp 600/lembar, di Cilacap Jawa Tengah adalah Rp 300/lembar (Santoso dan Alikodra, 1998). (4) Obyek Wisata Alam, hutan mangrove memiliki potensi sebagai obyek wisata alam. Beberapa lokasi telah dikembangkan antara lain di hutan Wisata Tritih, Cilacap. Jumlah pengunjung yang datang ke obyek wisata Tritih tiap tahun sekitar 20 000 orang yang memberikan pendapatan dari penjualan karcis se kitar Rp 9 000 000 / tahun. Beberapa lokasi sedang direncanakan akan di kembangkan untuk obyek wisata mangrove, seperti hutan wisata mangrove Kamal Muara Jakarta, hutan mangrove Taman Nasional Bali Barat dan hutan mangrove Pantai Utara. (5) Obat Tradisional, beberapa jenis tumbuhan mangrove dapat digunakan sebagai obat tradisional. Air rebusan Rhizophora apiculata dapat digunakan sebagai astringent, kulit R. mucronata untuk menghentikan pendarahan, air rebusan Ceriops tagal dapat digunakan sebagai anti septic untuk luka, air rebusan Acanthus illicifolius digunakan untuk obat diabetes, buah Xylocarpus granatum dicampur dengan tepung beras sebagai bedak muka dan anti gatal.
44 4. Manfaat Tidak Langsung Hutan Mangrove Selain manfaat tidak langsung sebagaimana disajikan pada Tabel 3, hutan mangrove juga berperan sebagai penahan angin dan pencegah abrasi sehingga melindungi lahan pertanian dan pemukiman.
Seringkali ditemui masalah dan
kegagalan dalam konversi hutan mangrove menjadi sawah, karena salinitas tanah tinggi dan mengandung sulfat. Hasil penelitian Sediadi (1991) di teluk Jakarta menunjukan erosi di pantai Marunda yang tidak berbakau dalam waktu 2 bulan mencapai lebih kurang 2 m, sedangkan di daerah Segara Makmur yang relatif berbakau laju erosi hanya 1 m. Berkurangnya laju erosi tersebut disebabkan oleh perakaran hutan bakau.
Hernanto (1999) melaporkan di daerah Sadang,
Kecamatan Pedes, jalur tanah pesisir selebar kurang lebih 75 m akan hilang dan kembali terbentuk di musim timur. Di desa Sungai Buntu, kecamatan Pedes, tanah seluas 120 ha telah hilang dalam 30 tahun terakhir. Di desa Pasir Rukem dan desa Ciparagi pada beberapa tahun terakhir ini tanah yang hilang akibat erosi diduga masing- masing mencapai 7 dan 10 ha. Disamping terjadi erosi, di Kabupaten Karawang terjadi penambahan lahan. Beberapa daerah di kecamatan Cilamaya, terutama disekitar muara Cilamaya terjadi penambahan lahan baru selebar setengah kilometer. Konsep dan metode valuasi ekonomi ekosistem mangrove : 1. Konsep Valuasi Ekonomi. Dalam ilmu ekonomi suatu barang atau jasa dikatakan mempunyai nilai apabila dapat meningkatkan kesejahteraan manusia (Kreger, 2001). Penilaian (valuasi) adalah proses mengkuantifikasi nilai menurut persepsi individu. Panayoutou (1997), mengatakan bahwa penilaian atau valuasi adalah proses
45 mengenakan nilai atau harga kepada barang-barang atau jasa yang tidak diperjual belikan dipasar atau tidak dihargai secara benar. Valuasi diperlukan karena harga relatif menentukan alokasi sumberdaya. Nilai ekonomi sistem sumberdaya lingkungan merupakan penjumlahan dari nilai sekarang yang telah didiskon (discounted present value) dari aliran semua jasa. Manfaat setiap kebijakan publik yang meningkatkan aliran suatu jenis jasa lingkungan merupakan peningkatan nilai sekarang jasa tersebut. Tetapi kebijakan itu dapat pula menimbulkan biaya dalam bentuk penurunan aliran jasa yang lain (Freeman III, 1992). Pada prinsipnya valuasi ekonomi bertujuan untuk memberikan nilai ekonomi kepada sumberdaya yang digunakan sesuai dengan nilai riil dari sudut pandang masyarakat. Menurut Thampapillai (1993) dalam Sanim (2003), tujuan utama dari valuasi ekonomi barang-barang dan jasa lingkungan (environmental goods and services) adalah untuk dapat menempatkan lingkungan sebagai komponen integral dari setiap sistem ekonomi. Sanim (2003), menyatakan hal- hal yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan dalam memilih suatu metode valuasi ekonomi dampak lingkungan adalah sebagai berikut : (1) Banyaknya tujuan atau perkiraan yang ingin diukur. (2) Konsep dan aspek yang ingin dinilai. Metode valuasi yang saling berbeda satu sama lain bersifat saling melengkapi bukan berkompetisi, karena mengukur aspek atau konsep yang berbeda. (3) Kebutuhan atau kepentingan pemakai hasil valuasi. (4) Kepentingan umum atau masyarakat secara keseluruhan harus mampu ditangkap secara maksimal dan setepat mungkin.
46 (5) Perbandingan atau bobot antara biaya dengan nilai ekonomi penggunaan hasil valuasi ekonomi. 2. Metode Valuasi. Menurut Senn (1971), metode merupakan suatu prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah sistematis. Pendekatan berkaitan dengan beberapa alternatif yang dapat digunakan dalam mencapai tujuan. Mitchell dan Carson (1989) merupakan salah satu dari sejumlah ahli yang menyusun metode valuasi sumberdaya secara jelas sebagaimana disajikan pada Tabel 4. Ia menawarkan klasifikasi metode untuk mengestimasi nilai ekonomi sumberdaya berdasarkan dua karakteristik metode. Karakteristik yang pertama dilihat dari sumber data, apakah berasal dari observasi langsung terhadap kenyataan yang dialami oleh individu atau berasal dari respon individu terhadap pertanyaan hipotetik, misalnya: “apakah yang akan kamu lakukan jika …?” atau “apakah kamu mau membayar jika…?”. Karakteristik yang kedua didasarkan kepada apakah metode yang digunakan untuk mengukur nilai moneter harus diperoleh dari beberapa teknik tidak langsung berdasarkan model perilaku dan pilihan individu. Tabel 4. Metode Estimasi Nilai Sumberdaya Lingkungan Observed Behavior Direct Indirect
Competitive market price, Simulated market Travel cost, Hedonic property value, Avoidanceexpenditure, Referendum using
Hypothetical Bidding games, Willingness to pay question Contingent ranking, Contigent activity, Contigent referendum
Sumber: Mitchell dan Carson (1989)
Berdasarkan kedua karakteristik ini, beberapa metode untuk mengestimasi sumberdaya dan lingkungan dapat ditempatkan dalam empat kategori yaitu: Observasi langsung (direct observation), observasi tidak langsung (indirect
47 observation), hipotetik tidak langsung (indirect hypothetical), dan hipotetik langsung (direct hypothetical). Kegiatan valuasi ekonomi terdiri dari tiga tahap yaitu, tahap identifikasi manfaat dan fungsi sumberdaya, tahap kuantifikasi manfaat dan fungsi sumberdaya, dan tahap memilih alternatif pengelolaan sumberdaya (Dahuri et al, 2001). 1. Identifikasi manfaat dan fungsi ekosistem. Manfaat ekosistem hutan mangrove yang dikonsumsi masyarakat dapat dikategorikan kedalam dua komponen utama yaitu manfaat langsung (use value) dan manfaat tidak langsung (non use value). Manfaat langsung dikategorikan kembali kedalam nilai kegunaan langsung (direct use value) dan nilai kegunaan tidak langsung (indirect use value).
Nilai kegunaan langsung merujuk pada
kegunaan langsung dari pemanfaatan hutan mangrove baik secara komersial maupun non komersial. Sedangkan nilai kegunaan tidak langsung merujuk pada nilai yang dirasakan secara tidak langsung terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Komponen manfaat tidak langsung adalah nilai yang diberikan kepada hutan mangrove atas keberadaannya meskipun tidak dikonsumsi secara langsung dan lebih bersifat sulit diukur (less tangible) karena lebih didasarkan pada preferensi terhadap lingkungan ketimbang pemanfaatan langsung.
Komponen
manfaat tidak langsung dibagi lagi kedalam sub klas yaitu nilai keberadaan (existence value), nilai pewarisan (bequest value), dan nilai pilihan (option value). Nilai keberadaan pada dasarnya adalah penilaian yang diberikan dengan terpeliharanya sumberdaya.
Nilai pewarisan diartikan sebagai nilai yang
48 diberikan oleh generasi kini dengan menyediakan atau mewariskan sumberdaya untuk generasi mendatang.
Nilai pilihan diartikan sebagai nilai pemeliharaan
sumberdaya sehingga manfaatnya masih tersedia untuk masa yang akan datang. 2. Kuantifikasi manfaat dan fungsi ekosistem hutan mangrove. Tipologi metode valuasi ekonomi dapat digolongkan dalam tiga bagian besar, tergantung pada derajat atau kemudahan aplikasinya yaitu : umum diaplikasikan, potensial untuk diaplikasikan, dan didasarkan atas survey. Secara garis besar metode valuasi ekonomi dapat dibagi dalam dua kelompok besar yaitu pendekatan manfaat (benefit based valuation) dan pendekatan biaya (cost based valuation). Metode valuasi dengan pendekatan manfaat dapat dikelompokkan kedalam dua kategori umum berdasarkan nilai pasar aktual (actual market based methods) dan yang kedua berdasarkan pada nilai pasar pengganti. Metode- metode valuasi ekonomi yang termasuk ke dalam pengukuran nilai pasar aktual adalah : perubahan nilai hasil produksi, dan metode kehilangan penghasilan (loss of earning methods).
Sedangkan metode pasar pengganti terdiri dari : biaya
perjalanan (travel cost methods), pendekatan perbedaan upah (wage differential methods), pendekatan nilai pemilikan (property value), dan pendekatan nilai barang yang dapat di pasarkan (hedonic pricing). Metode valuasi dengan pendekatan biaya terdiri dari : 1. pengeluaran pencegahan (averted defensive expenditure methods) 2. proyek bayangan (shadow project methods) 3. biaya penggantian (replacement cost methods) 4. biaya perpindahan (relocation cost methods)
49
NILAI EKONOMI TOTAL ( Total Economic Value)
NILAI TANPA PEMANFAATAN ( Non Use Value)
NILAI PEMANFAATAN (Use Value)
NILAI PEWARISAN
NILAI MANFAAT LANGSUNG
( Direct Use Value)
(Bequest Value)
Pangan, Biomasa, Rekreasi, Kesehatan
Habitat, Spesies Langka
NILAI MANFAAT TAK LANGSUNG
NILAI KEBERADAAN (Existence Value)
(Indirect Use Value) Fungsi ekologis, Pengendalian banjir, Menetralisir polusi air laut.
Habitat, Perubahan tetap
NILAI MANFAAT PILIHAN (Option Value) Biodiversity, Konservasi Habitat
METODE PENILAIAN (Valuation Method)
PENDEKATAN MANFAAT (Benefit Based Method)
NILAI PASAR AKTUAL
NILAI PASAR PENGGANTI
1.
1. 2. 3. 4.
2.
Perubahan nilai hasil produksi Kehilangan Penghasilan
Gambar 8.
Nilai perjalanan Perbedaan upah Nilai pemilikan Nilai pengganti
PENDEKATAN BIAYA (Cost Based Method)
1. 2. 3. 4.
Nilai pencegahan Proyek bayangan Biaya pengganti Biaya perpindahan
Nilai Ekonomi Lingkungan dan Hubungannya dengan Metode Valuasi
50 Secara ringkas, hubungan antara nilai ekonomi lingkungan dan metode valuasinya dapat dilihat pada Gambar 8.
Hufscmidt et al. (1996),
mengelompokan metode valuasi ekonomi berdasarkan pendekatan harga pasar (actual market based methods) dan pendekatan berdasarkan survey atau penilaian hipotesis. Pendekatan berorientasi pasar telah mencakup berbagai metode valuasi yang dikemukakan oleh Dixon dan Hodgson (1988). Pendekatan berdasarkan survey (survey based methods), terdiri dari metode pendekatan berdasarkan kondisi lapangan (contingent valuation methods) dan metode kesesuaian manfaat (benefit transfer methods).
2.4. Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Lahan Untuk menganalisis kinerja penggunaan lahan sesuai konsep RTRW dapat diterapkan atau tidak, pendekatan teori ekonomi kelembagaan yang bisa digunakan adalah pendekatan teori agensi (Principal-agent Theory) – yang menjelaskan bentuk hubungan agensi antara petambak pemilik lahan dengan pemerintah yang melakukan pengelolaan lahan.
Berdasarkan teori ini bisa
dijelaskan masalah insentif yang seringkali menjadi faktor penghambat bagi pelaksanaan suatu program yang melibatkan pihak principal dengan pihak agent. Teori agensi dalam bentuk yang paling sederhana menyangkut hubungan antara dua orang yang satu dinamai induk semang (principal) dan yang lainnya yang membuat keputusan atas nama dan mempengaruhi induk semang tersebut dinamai anak buah (agent). Salah satu pihak misalnya principal, mempengaruhi pihak agent dengan mengambil tindakan yang akan merugikan agent.
Pihak
principal mungkin tidak dapat mengamati secara langsung tindakan atau reaksi
51 dari agent, tetapi principal dapat mengamati dari beberapa indikator antara lain tingkat output sebagai reaksi yang dihasilkan oleh agent. Jadi persoalan yang dihadapi oleh principal adalah bagaimana mendesain mekanisme insentif untuk agent sehingga mempengaruhi agent agar mengambil tindakan terbaik bagi principal. Pelaksanaan rencana penggunaan lahan akan efektif jika masing- masing pihak (principal – agent) dapat memperoleh insentif atau keuntungan dari padanya. Masyarakat petambak disatu sisi sebagai pemilik lahan (principal) dan disisi lain pemerintah (agent) sebagai perencana dan pengelola penggunaan lahan milik petambak.
Masyarakat menginginkan agar pejabat mau dan mampu
melakukan perencanaan dan pengelolaan lahan secara lebih baik (optimal) sehingga produktivitas total dari lahan suatu kawasan akan meningkat yang pada gilirannya keuntungan petambak juga akan peningkatan. Mekanisme apa yang dapat memberikan insentif kepada pemerintah (agent) untuk dapat dan mau bekerja demi kepentingan principal (masyarakat pemilik tambak)? Pertanyaan ini berperanan penting bagi setiap analisis principalagent. Menurut Pindyck (2001), kerangka principal-agent dapat membantu kita memahami perilaku para manajer organisasi pemerintah.
Agar para manajer
organisasi pemerintah mau melakukan fungsinya untuk memaksimalkan kepuasan principal (masyarakat pemilik tambak), maka diperlukan suatu mekanisme pengaturan sistem insentif dalam sebuah set kelembagaan atau sistem organisasi pembangunan. Menurut Niskanen dan Weber dalam Pindyck (2001), insentif bagi pemerintah adalah apabila dari suatu tindakan (pengelolaan lahan) birokrat
52 dapat mengembangkan anggaran belanjanya (lazim disebut PAD). Selama hal itu tidak terjadi, maka jangan harap ada implementasi rencana pengelolaan lahan. Proses pengelolaan atau implementasi rencana penggunaan lahan adalah proses ekonomi dan proses ekonomi adalah proses transaksi yang mengandung suatu korbanan (biaya transaksi).
Ketidakjelasan informasi tentang biaya
transaksi dalam sebuah kontrak ekonomi antara principal dan agent seringkali menghambat implementasi dari kontrak tersebut. Niat untuk memperoleh insentif atau manfaat ekonomi dari suatu pelaksanaan kontrak jelas akan terkendala jika masing- masing pihak masih meragukan tentang besaran dari potensi biaya transaksi yang timbul. Implementasi rencana penggunaan lahan oleh agent
memerlukan
koordinasi dari berbagai pihak terkait. Koordinasi tersebut akan afektif jika tersedia organisasi dan kelembagaan yang memadai. Sebuah organisasi dimana didalamnya mengandung sistem kontrak yang mengatur mekanis me pengambilan keputusan bagi terselenggaranya suatu proses transaksi, ada dua jenis biaya yang mendasarinya yaitu : biaya membuat keputusan, dan biaya eksternal yang ditanggung oleh seseorang atau sebuah organisasi sebagai akibat keputusan orang atau orga nisasi lain. Aturan representasi akan mempengaruhi struktur dan biaya tersebut. Aturan pengambilann keputusan yang sederhana akan meminimumkan kedua jenis biaya tersebut.
Aturan representasi mengatur siapa yang berhak
berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Menurut Pakpahan (1990), biaya transaksi dapat dibedakan kedalam : biaya membuat informasi, biaya negosiasi atau biaya membuat konttrak, dan biaya pelaksanaan dan pengawasan.
Biaya informasi adalah biaya untuk
53 mengumpulkan informasi mengenai produk atau input baik berupa harga, kualitas dan jumlah. Biaya negosiasi adalah biaya yang diperlukan dalam upaya untuk mencapai suatu kesepakatan. Sedangkan biaya pelaksanaan dan pengawasan adalah biaya yang diperlukan untuk menjamin pelaksanaan kesepakatan tidak melenceng dari aturan yang telah disepakati. Secara lebih rinci komponen biaya transaksi dapat dilihat pada Gambar 9. BIAYA TOTAL
BIAYA INFORMASI
1. 2. 3. 4. 5.
Biaya investigasi Biaya penyusunan masterplan Biaya sosialisasi Biaya penyuluhan Biaya fasilitasi
BIAYA NEGOSIASI
1. 2. 3. 4. 5.
Biaya pembuatan perundangundangan Biaya pertemuan-pertemuan Penegasan batas-batas kawasan kelola (pemasangan pal batas) Biaya penyelesaian konflik Biaya fasilitasi dan advokasi
BIAYA PELAKSANAAN
1.
2. 3. 4. 5.
Biaya pelaksanaan pengelolaan secara rutin Biaya pengawasan Penetapan sangsi Biaya ekslusif Biaya fasilitasi dan advokasi
Gambar 9. Komponen-Komponen Biaya Transaksi Semakin besar biaya transaksi yang timbul akibat pelaksanaan suatu kontrak (konsep tataguna lahan) maka hal tersebut akan berpotensi untuk mengurangi besarnya insentif yang akan diterima kedua belah pihak. Jika potensi keuntungan tidak dapat menutup seluruh biaya transaksi yang timbul, maka dapat dipastikan pelaksanaan kontrak atau implementasi rencana penggunaan lahan tidak akan efektif. Falconer (2002) mencoba membandingkan biaya transaksi untuk kasus dua skema model pengelolaan barang agri-environmental di Negara Inggris bagian utara. Hasilnya menunjukan bahwa kesepakatan dibawah skema Wildlife
54 Enhancement Scheme (WES) jauh lebih mahal dibandingkan dengan kesepakatan negosiasi individual persatuan unit lahan.
Besarnya biaya transaksi ini lebih
banyak dikontribusi oleh komponen biaya perawatan (penegakan/enforcement) kesepakatan yang sudah dibangun antara pengelola dengan masyarakat pemilik lahan.
2.4.1. Pilihan Bentuk Organisasi Menurut Hodgson (2006) Organisasi adalah institusi khusus yang mengandung : (1) kriteria untuk membangun batas-batas yuridis dan membedakan anggota dan bukan anggota, (2) dasar-dasar dari kekuasaan mengenai siapa yang dikenakan dan tidak dikenakan charge, dan (3) rantai komando tanggung jawab masing- masing anggota partisipan. Pilihan-pilihan bentuk organisasi kelembagaan pengelolaan lahan akan mempengaruhi besaran biaya transaksi. Bentuk organisasi yang paling sesuai tentunya akan memberikan konsekuensi bagi biaya transaksi yang minimal. Dalam pengelolaan suatu sumberdaya milik bersama, apabila seorang individu harus menentukan pilihan dalam mengambil suatu tindakan pada setiap situasi, tergantung pada bagaimana dia mempertimbangkan manfaat dan biayabiaya dari berbagai alternatif strategi yang dihadapinya. Tetapi dalam mencoba untuk memperoleh ma nfaat tersebut, individu dihadapkan pada kendala keterbatasan dalam memperoleh informasi dan keterbatasan kemampuan mengolah informasi.
Dalam keadaan ketidakpastian ini individu cenderung
berperilaku dan bersifat oportunistik.
Menurut Simon (1961) dalam Anwar
(1997), suatu organisasi dapat mengimbangi kekurangan individu tersebut yaitu
55 dengan cara menugaskan kepada tiap individu suatu tugas yang terbatas sehingga jelas dalam lingkungan dan prosedur pelaksanaan yang sudah dibakukan (standardized procedures). Institusi yang mengatur cara-cara pelaksanaan yang diperlukan
tersebut dapat juga dipandang sebagai cadangan (stock) sebagai
wadah untuk memperoleh sumber pengetahuan (informasi) yang dibutuhkan. Oleh karenanya institusi itu mempunyai fungsi sebagai wadah koordinasi yang menyediakan sumber pengetahuan (informasi) dalam melakukan hubungan interpersonal. Oportunisme merupakan faktor lain yang penting yang memberi ciri kepada individual yang akan mempengaruhi keragaan dari tindakan kolektif (collective action) karena dapat membuat kesulitan dalam membuat negosiasi dan pelaksanaan bagi hal-hal yang disetujui bersama sebagai kesepakatan. Seorang individu sebenarnya dapat menjadi penghalang kepada terjadinya proses negosiasi dengan cara mencoba menyembunyikan maksud-maksud yang sebenarnya kepada orang lain agar memperoleh sebagian besar keuntungan kepadanya.
Setelah
mereka masuk dalam suatu bentuk persetujuan kontrak yang sudah disepakati namun masih ada kemungkinan terjadinya pertentangan (conflict) yang muncul dikemudian hari – khususnya yang berkaitan dengan kesalahan interpretasi. Sumber pertentangan seperti ini besar kemungkinannya terjadi karena sangat sulit untuk merancang pengaturan yang dapat memperhitungkan semua kejadian dimasa yang akan datang. Selanjutnya individual yang terlibat dalam persetujuan kontrak masih dapat menarik keuntungan melalui tindakan terselubung (hidden action) jika keadaan mengijinkan untuk itu.
56 Williamson (1985),
berpendapat bahwa pemecahan masalah dari
pertentangan tersebut membutuhkan suatu pelerai eksternal dengan cara membangun suatu struktur organisasi yang berkemampuan (governance structure). Struktur governance yang demikian mencerminkan pengaturan institusional yang dapat diadopsi oleh para pesertanya secara sukarela sehingga dapat menjunjung komitmen guna melaksanakan transaksi (proses pengelolaan) secara berulang-ulang diantara semua anggota partisipan.
Williamson (1985),
melukiskan berbagai kemungkinan bentuk organisasi yang dapat dikreasikan tergantung pada dua dimensi utama yaitu human asset specificity dan frekuensi transaksi. Kemungkinan bentuk-bentuk organisasi tersebut berada dalam kisaran spektrum mulai dari spot market sampai hierarki yang kompleks sebagaimana disajikan pada Gambar 10. Aset Spesifik Rendah
Frekuensi
Tinggi
Rendah
Quasi Market
Hierarki Yang Sederhana
Tinggi
Kelompok Otonom
Hierarki Yang Kompleks
Gambar 10. Modalitas dari Hubungan Organisasi Internal Pengelolaan sumberdaya lahan memiliki ciri asset specificity yang rendah dengan frekuensi transaksi antar anggota yang tinggi.
Karena itu bentuk
organisasi yang dapat dikreasikan adalah merupakan ”Kelompok Otonom”. Bentuk organisasi yang sesuai akan dapat mengurangi tindakan oportunisme individual dan akan dapat mendukung terjadinya tindakan kolektif (collective action). Adanya organisasi dalam bentuk ”Kelompok Otonom”, memungkinkan terjadinya suatu komunimkasi yang intens if, information sharing sehingga
57 partisipasi seluruh stakholders dalam menjunjung komitmen bersama dapat terwujud.
2.4.2. Pengelolaan Sumberdaya Lahan Secara Pertisipatif Agar mencapai hasil pembangunan yang berkelanjutan, banyak kalangan sepakat bahwa suatu pendekatan partisipatoris perlu diambil. Pretty dan Guijt (1992), menjelaskan implikasi praktis dari pendekatan ini yaitu : “pendekatan pembangunan partisipatoris harus mulai dengan orang-orang yang paling mengetahui tentang sistem kehidupan mereka sendiri”. Sumberdaya pesisir merupakan barang publik yang dicirikan oleh suatu kondisi open acces. Karena itu pengelolaan sumberdaya pesisir tidak bisa ekslusif, harus melibatkan banyak komponen masyarakat. Belajar dari pengalaman Negara Meksiko dalam mengelola terumbu karang disepanjang garis pantai yang melibatkan sedikitnya enam Negara dalam suatu skema Integrated Coastal Zone Management (ICZM) yang berbasis masyarakat. Creel (1999) melaporkan dari implementasi ICZM di Negara bagian Quintana Roo, Meksiko. Menurut Creel ICZM terbukti efektif sebagai suatu instrument perlindungan terhadap terumbu karang tanpa mengurangi kesempatan masyarakat sekitar pesisir untuk menarik manfaat ekonomi daripadanya. Munculnya paradigma pembangunan partisipatoris mengindikasikan adanya pelibatan masyarakat setempat dalam pemilihan, perencanaan, dan pelaksanaan program atau proyek yang akan mewarnai hidup mereka, sehingga dapat dijamin bahwa persepsi setempat, pola sikap dan pola berfikir serta nilainilai dan pengetahuannya ikut dipertimbangkan secara penuh (Jamieson, 1989).
58 Sebagai sebuah tujuan, partisipasi menghasilkan pemberdayaan, yakni setiap orang berhak menyatakan pendapat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupannya.
Dengan demikian partisipasi adalah alat dalam
memajukan ideologi atau tujuan-tujuan pembangunan yang normatif seperti keadilan sosial, persamaan dan demokrasi. Karena itu dalam melakukan kajian dan menangkap aspirasi stakholders harus pula dilakukan dengan pendekatan partisipatif. Sebutan lain untuk teknik partisipatif adalah riset ideologi, penilaian pedesaan secara cepat (RRA), yang akhir-akhir ini ditambahi lagi dengan kata “santai” (Chambers, 1992). Ada lebih dari 20 singkatan yang berkaitan dengan konsep ini dalam IIED Source. Dari beberapa singkatan tersebut yang paling popular dikenal adalah PRA dan RRA. Suatu implikasi dari prinsip utama PRA yaitu “gunakan penilaian terbaik setiap waktu”. Penilaian partisipatoris adalah metode untuk menciptakan suatu dialog dalam usaha mengumpulkan informasi. Dalam perumusan model unsur partisipatif dari stakholders dapat ditangkap dari mekanisme penetapan skala prioritas terhadap berbagai bentuk kegiatan dan tujuan penggunaan lahan.
Untuk itu dapat menggunakan alat
analisis yang disebut dengan AHP (Analitical Hierarchy Process).
Menurut
Saaty (1991), proses hirarkhi analisis adalah suatu model ya ng luwes yang memberikan kesempatan bagi perorangan atau kelompok untuk membangun gagasan-gagasan dan mendefinisikan persoalan dengan cara membuat asumsi mereka masing- masing dan memperoleh pemecahan yang diinginkan darinya. AHP dirancang untuk lebih mena mpung sifat alamiah manusia daripada memaksa cara berfikir yang justru berlawanan dengan hati nurani.
59 Prinsip konsistensi logis pada AHP menggambarkan dua hal yaitu : bahwa pemikiran atau obyek yang serupa dikelompokkan menurut homogenitas dan relevansinya, bahwa intensitas relasi antar gagasan atau obyek yang didasarkan pada aspek kualitatif maupun kuantitatif pemikiran manusia. Aspek kualitatif digunakan untuk mendefinisikan persoalan, sedangkan aspek kuantitatif digunakan untuk mengekspresikan penilaian dan preferensi secara ringkas dan padat. Menurut Fewidarto (1991) dalam Aldrianto (1999), hirarkhi adalah abstraksi struktur suatu sistem, dimana fungsi komponen dan dampaknya pada sistem secara keseluruhan dapat dipelajari. Abstraksi ini mempunyai bentuk yang saling berkaitan, semuanya tersusun ke bawah dari suatu puncak (tujuan akhir), turun ke suatu sub tujuan. Analisis ini dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : identifikasi sistem, penyusunan hirarkhi, penyusunan kuesioner dan pengujian, penilaian, uji konsistensi, jika memenuhi maka susun matriks gabungan, hitung vektor prioritas, pengolahan vertikal, dan vektor prioritas sistem. Analisis ini dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
identifikasi
sistem, penyusunan hirarkhi, penyusunan kuesioner dan pengujian, penilaian, uji konsistensi,
jika memenuhi maka susun matriks gabungan, hitung vektor
prioritas, pengolahan vertikal, vektor prioritas sistem.
Identifikasi sistem dan
penyusunan hirarkhi dilakukan peneliti setelah terlebih dahulu melakukan studi orientasi guna memperoleh gambaran tentang fenomena obyek yang diteliti. Tahap paling penting dari AHP ini adalah tahap penilaian pasangan (judgement) antar elemen pada suatu tingkat hirarkhi. judgement, prosesnya adalah :
Menyusun kuesioner sebagai alat
60 1. Membentuk
matriks;
terdapat
dua
tingkat
matriks,
masing- masing
sebagaimana contoh dibawah ini : Tingkat 1. Matriks membandingkan berbagai faktor (=fungsi/tugas pelayanan) Faktor
1
1
1
2
2
…
n
1
…
1
N
1
Tingkat 2. Matriks membandingkan beberapa pelaku pada masing- masing faktor Pelaku
1
1
1
2
2
…
n
1
…
1
N
1
2. Melakukan perbandingan berpasangan, yaitu dengan memberikan angka komparasi sesuai dengan judgement sehingga membentuk suatu matriks (n x n). Skala angka komparasi menurut Saaty (1991), yaitu : A dan B sama penting
:1
A sedikit lebih penting dari pada B
:3
A jelas lebih penting dari pada B
:5
A sangat jelas lebih penting dari pada B
:7
A mutlak lebih penting dari B
:9
Keterangan : -
Nilai 2,4,6 dan 8 diberikan pada penilaian antara dua nilai diatas Nilai kebalikan 1/3, 1/5, 1/7 dst diberikan pada penilaian kondisi sebaliknya