II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kinerja Keuangan Menurut Sawir (2000), kinerja adalah kemampuan perusahaan untuk mendapatkan penghasilan atau meraih keuntungan (laba) dan kemampuan dalam mengelola perusahaan secara efisien. Kinerja keuangan merupakan suatu prestasi yang diperlihatkan oleh perusahaan dari hasil usahanya melalui analisa laporan keuangan perusahaan. Pengertian pengukuran kinerja dapat diartikan sebagai suatu usaha yang dilaksanakan oleh seseorang untuk mengevaluasi secara kuantitatif hasil dari aktivitas-aktivitas yang dilaksanakan oleh suatu perusahaan pada suatu periode tertentu. Pada prinsipnya kinerja dapat dilihat dari siapa yang melakukan penilaian itu sendiri. Pengukuran kinerja bagi manajemen dapat diartikan sebagai pengukuran atas kontribusi yang dapat diberikan oleh suatu bagian bagi pencapaian tujuan perusahaan secara keseluruhan. Pengukuran kinerja bagi pihak di luar manajemen dapat diartikan sebagai pengukuran atas suatu prestasi yang dicapai oleh suatu satuan organisasi dalam suatu periode tertentu yang mencerminkan tingkat hasil pelaksanaan kegiatannya. 2.2. Struktur Modal Struktur modal merupakan perimbangan jumlah hutang jangka panjang, saham preferen, dan saham biasa dalam perusahaan (Sartono, 1996). Sawir (2004), mengungkapkan bahwa struktur modal merupakan komposisi pendanaan jangka panjang perusahaan dan merupakan bagian dari struktur keuangan, sehingga hubungan struktur modal dan struktur keuangan adalah : [struktur keuangan] – [hutang lancar] = [struktur modal]
……….... (1)
Struktur modal terdiri dari semua komponen modal jangka panjang yang ada pada sisi pasiva neraca perusahaan kecuali hutang lancar. struktur modal merupakan penggunaan kombinasi modal hutang dan modal sendiri (Sundjaja dan Barlian, 2003).
Perubahan dalam penggunaan hutang akan mengakibatkan perubahan laba per saham (EPS = earnings per share), dan akan mengakibatkan perubahan harga saham pula. Menurut Brigham dan Houston (2006), EPS merupakan perbandingan antara laba bersih terhadap saham biasa yang beredar, sehingga EPS menggambarkan laba per lembar saham yang diperoleh para pemeang saham dari suatu perusahaan. 2.3. Laporan Keuangan Laporan keuangan adalah laporan akuntansi yang digunakan untuk mencatat dan mengikhtisarkan transaksi perusahaan (Niswonger, dkk., 1999). Menurut Myer dalam Munawir (2002), mengatakan bahwa yang dimaksud dengan laporan keuangan adalah dua daftar yang disusun oleh akuntansi pada akhir periode untuk suatu perusahaan. Kedua daftar itu adalah daftar neraca atau daftar posisi keuangan dan daftar pendapatan atau daftar rugi laba, dan pada waktu akhir-akhir ini sudah menjadi kebiasaan bagi perseroan-perseroan untuk menambahkan daftar ketiga yaitu daftar surplus atau daftar laba yang tidak dibagikan (laba yang ditahan). Menurut Rahardjo (2003), laporan keuangan adalah laporan pertanggungjawaban manajer atau pimpinan perusahaan atas pengelolaan perusahaan yang dipercayakan kepadanya kepada pihak-pihak yang mempunyai kepentingan (stakeholders) di luar perusahaan; pemilik, perusahaan, pemerintah, kreditor, dan pihak lainnya. Dari pengertian-pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa laporan keuangan adalah kertas yang bertuliskan angka-angka yang memberikan informasi sehubungan dengan posisi keuangan dan hasil-hasil yang telah dicapai oleh perusahaan yang bersangkutan. Laporan keuangan dipersiapkan atau dibuat dengan maksud untuk memberikan gambaran atau laporan kemajuan (progress report) secara periodic yang dilakukan pihak manajemen yang bersangkutan. Jadi laporan keuangan adalah bersifat historis serta menyeluruh dan sebagai suatu progress report, dan menurut Munawir (2002), laporan keuangan terdiri dari data-data yang merupakan hasil dari suatu kombinasi antara : 1. Fakta yang telah dicatat (recorded fact), berarti bahwa laporan keuangan ini dibuat atas dasar fakta dari catatan akuntansi, seperti jumlah uang kas
yang tersedia dalam perusahaan maupun yang disimpan di bank, jumlah piutang, persediaan barang dagangan, hutang, maupun aktiva tetap yang dimiliki perusahaan. Pencatatan dari pos-pos ini berdasarkan catatan historis dari peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di masa lampau dan jumlah-jumlah uang yang tercatat dalam pos-pos itu dinyatakan dalam harga-harga pada waktu terjadinya peristiwa tersebut. 2. Prinsip-prinsip dan kebiasaan-kebiasaan di dalam akuntansi (accounting convention and postulate), berarti data yang dicatat itu didasarkan pada prosedur maupun anggapan-anggapan tertentu yang merupakan prinsipprinsip akuntansi yang lazim. Hal ini dilakukan dengan tujuan memudahkan pencatatan dan untuk keseragaman. 3. Pendapat pribadi (personal judgement), dimaksudkan bahwa, walaupun pencatatan transaksi telah diatur oleh konvensi-konvensi atau dalil-dalil dasar yang sudah ditetapkan dan sudah menjadi standar praktek pembukuan, namun penggunaan dari konvensi-konvensi dan dalil dasar tersebut tergantung daripada akuntan atau manajemen perusahaan yang bersangkutan. Judgement atau
pendapat
ini
tergantung kepada
kemampuan atau integritas pembuatan yang dikombinasikan dengan fakta yang tercatat dan kebiasaan serta dalil-dalil dasar akuntansi yang telah disetujui akan digunakan dalam beberapa hal. Misalnya, cara-cara atau metode untuk menaksir piutang yang tidak akan dapat ditagih dan penentuan beban penyusutan serta penentuan umur dari suatu aktiva tetap akan sangat tergantung pada pendapat pribadi manajemennya dan berdasarkan pengalaman masa lalu. Suatu hal yang penting yaitu bahwa baik prosedur, anggapananggapan, kebiasaan-kebiasaan maupun pendapat pribadi yang telah digunakan harus dipertahankan secara terus menerus atau secara konsisten dari tahun ke tahun. Namun dalam hal ini tidak berarti bahwa prosedur, kebiasaan, maupun pendapat pribadi yang digunakan tidak boleh diubah. Jika suatu ketika manajemen ingin merubah prosedur, kebiasaan maupun pendapat pribadi yang telah dipakai, harus dijelaskan dalam laporan keuangannya sehingga mereka yang membaca laporan itu
dapat mengetahui dengan jelas dasar mana yang sesungguhnya digunakan dalam laporan keuangan yang bersangkutan. Laporan keuangan pada hakekatnya bersifat umum, dalam arti laporan tersebut ditujukan untuk berbagai pihak yang mempunyai kepentingan yang berbeda. Misalnya saja, investor atau pemilik atau penanam modal mempunyai kepentingan di dalam mengetahui potensi modal yang ditanamkannya untuk memberikan pendapatan. Kreditor atau pemberi pinjaman berkepentingan dalam pemberian pinjaman terhadap perusahaan dan jaminan kepastian pengembalian pinjaman atau kredit, sedangkan pemerintah (khususnya instansi pajak) berkepentingan di dalam penentuan beban pajak yang harus dibayar. Disamping ketiga pihak tersebut, ada pengguna lain dari laporan keuangan, yaitu karyawan atau serikat pekerja, pelanggan dan masyarakat. Karyawan atau serikat pekerja tertarik pada informasi stabilitas dan profitabilitas perusahaan. Pelanggan berkepentingan dengan kelangsungan hidup perusahaan. Masyarakat perlu informasi mengenai kecenderungan (trend) dan perkembangan terakhir kekayaan atau kemakmuran perusahaan serta rangkaian aktivitas bisnisnya (Rahardjo, 2003). Jadi, melalui laporan keuangan akan dapat dinilai kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya dalam jangka pendek, struktur modal perusahaan, distribusi daripada aktivanya, keefektifan penggunaan aktiva, hasil usaha atau pendapatan yang telah dicapai dan beban-beban tetap yang harus dibayar. Dalam Standar Akuntansi Keuangan tahun 1994 yang dikeluarkan Ikatan Akuntansi Indonesia, istilah laporan keuangan meliputi neraca, laporan rugi laba, laporan perubahan posisi keuangan (yang dapat disajikan dalam berbagai cara seperti, misalnya sebagai laporan arus kas atau laporan arus dana), catatan atas laporan keuangan, laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan. Dalam penelitian ini, laporan keuangan yang digunakan adalah neraca dan laporan rugi laba.
2.3.1. Laporan Neraca Menurut Brigham dan Houston (2001), neraca adalah laporan posisi keuangan perusahaan pada suatu waktu tertentu. Dan menurut Munawir (2002), neraca adalah laporan yang sistematis tentang aktiva, hutang serta modal dari suatu perusahaan pada saat tertentu. Jadi tujuan neraca adalah untuk menunjukkan posisi keuangan perusahaan pada suatu tanggal tertentu, biasanya pada waktu dimana buku-buku ditutup dan ditentukan sisanya pada suatu akhir tahun fiskal atau tahun kalender, sehingga neraca sering disebut sebagai balance sheet. Jadi, neraca merupakan laporan mengenai keadaan harta atau kekayaan perusahaan, atau keadaan posisi keuangan pada saat atau tanggal tertentu. Neraca akan memberikan informasi mengenai seberapa kuat posisi keuangan perusahaan dengan memperlihatkan bagian yang dimiliki perusahaan dan bagian yang dipinjam dari kreditor untuk suatu jangka tertentu. Dengan demikian, neraca terdiri dari tiga bagian utama, yaitu aktiva, hutang dan modal. Aktiva (assets) mencerminkan struktur kekayaan perusahaan yang menunjukkan dana perusahaan ditanamkan atau dialokasikan untuk pospos apa saja. Menurut Niswonger, dkk (1999), aktiva didefinisikan sebagai sumber daya yang dikuasai oleh entitas bisnis atau perusahaan. Sumber daya ini dapat berbentuk fisik ataupun hak yang mempunyai nilai ekonomis. Pada dasarnya, aktiva dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian utama, yaitu aktiva lancar dan aktiva tidak lancar. Menurut Rahardjo (2003), aktiva lancar adalah uang kas dan aktiva lainnya yang dalam jangka waktu singkat akan kembali lagi dalam bentuk kas. Jangka waktu biasanya tidak lebih dari satu tahun terhitung dari tanggal neraca atau satu tahun buku. Menurut Munawir (2002), yang termasuk kelompok aktiva lancar adalah : 1. Kas, atau uang tunai yang dapat digunakan untuk membiayai operasi perusahaan. Uang tunai yang dimiliki oleh perusahaan, tetapi sudah
ditentukan penggunaannya (misalnya uang kas yang disisihkan untuk tujuan pelunasan hutang obligasi, untuk pembelian aktiva tetap atau untuk tujuan-tujuan lain) tidak dapat dimasukkan dalam pos kas. Termasuk dalam pengertian kas adalah cek yang diterima dari para langganan dan simpanan perusahaan di bank dalam bentuk giro atau demand deposit, yaitu simpanan di bank yang dapat diambil kembali (dengan menggunakan cek atau bilyet) setiap saat diperlukan perusahaan. 2. Investasi jangka pendek (surat-surat berharga atau marketable securities), adalah investasi yang sifatnya sementara atau jangka pendek dengan maksud untuk memanfaatkan uang kas yang untuk sementara belum dibutuhkan dalam operasi. Syarat utama agar dapat dimasukkan dalam investasi jangka pendek adalah bahwa investasi itu harus bersifat marketable, artinya setiap saat perusahaan membutuhkan uang, investasi itu dapat segera dijual dengan harga yang pasti. Yang termasuk dalam investasi jangka pendek adalah deposito di bank, surat-surat berharga yang berwujud saham, obligasi, sertifikat bank dan investasi lain yang mudah diperjualbelikan. 3. Piutang wesel, adalah tagihan perusahaan kepada pihak lain yang dinyatakan dalam suatu wesel atau perjanjian yang diatur dalam Undang-Undang. 4. Piutang dagang, adalah tagihan kepada pihak lain (kepada kreditor atau langganan) sebagai akibat adanya penjualan barang dagangan secara kredit. Pada dasarnya piutang bisa timbul tidak hanya karena penjualan barang dagangan secara kredit, piutang karena adanya penjualan saham secara angsuran, atau adanya uang muka untuk pembelian atau kontrak kerja lainnya. 5. Persediaan, untuk perusahaan perdagangan yang dimaksud dengan persediaan adalah semua barang-barang yang diperdagangkan yang sampai tanggal neraca masih di gudang atau belum laku dijual. Untuk perusahaan manufaktur, maka persediaan yang dimiliki meliputi
persediaan barang mentah, persediaan barang dalam proses, dan persediaan barang jadi. 6. Piutang penghasilan atau penghasilan yang masih harus diterima, adalah penghasilan yang sudah menjadi hak perusahaan karena perusahaan telah memberikan jasa atau prestasinya, tetapi belum diterima pembayarannya sehingga merupakan tagihan. 7.
Persekot atau biaya yang dibayar dimuka, adalah pengeluaran untuk memperoleh jasa atau prestasi dari pihak lain, tetapi pengeluaran itu belum menjadi biaya karena jasa atau prestasi dari pihak lain itu belum dinikmati oleh perusahaan pada periode ini melainkan periode berikutnya. Menurut Munawir (2002), yang dimaksud dengan aktiva tidak lancar
adalah aktiva yang mempunyai umur kegunaan relatif permanen atau jangka panjang atau mempunyai umur ekonomis lebih dari satu tahun atau tidak akan habis dalam satu kali perputaran operasi perusahaan. Aktiva tidak lancar ini terdiri dari : 1. Investasi jangka panjang, investasi atau penyertaan ini biasanya merupakan bentuk penanaman dana perusahaan kepada perusahaan lain dalam jangka panjang. Penyertaan ini bisa dengan maksud untuk menguasainya. Penyertaan dapat dilakukan dalam bentuk saham, obligasi, atau surat berharga lain. Meskipun penyertaan ini biasanya dalam bentuk kepemilikan saham atau obligasi, tetapi berbeda dengan surat berharga (efek) pada kelompok aktiva lancar, dalam surat berharga (efek). Saham atau obligasi hanya dipegang untuk jangka pendek (satu tahun kurang), sedangkan investasi atau penyertaan untuk jangka panjang. 2. Aktiva tetap berwujud, adalah kekayaan yang dimiliki perusahaan yang fisiknya nampak atau konkrit. Syarat lain untuk dapat diklasifikasikan sebagai aktiva tetap selain aktiva itu dimiliki perusahaan juga harus digunakan dalam operasi yang bersifat permanent (aktiva tersebut mempunyai umur kegunaan jangka panjang atau tidak akan habis dipakai dalam satu periode kegiatan perusahaan).
Kelompok aktiva tetap ini meliputi tanah, bangunan, kendaraan dan perlengkapan atau alat-alat lainnya. 3. Aktiva tetap tidak berwujud, adalah kekayaan perusahaan yang secara fisik tidak nampak, tetapi merupakan suatu hak yang mempunyai nilai dan dimiliki oleh perusahaan untuk digunakan dalam kegiatan perusahaan. Yang termasuk aktiva tetap tidak berwujud ini meliputi hak cipta, merk dagang, lisensi dan sebagainya. 4. Beban yang ditangguhkan, adalah menunjukkan adanya pengeluaran atau biaya yang mempunyai manfaat jangka panjang (lebih dari satu tahun), atau suatu pengeluaran yang akan dibebankan juga pada periode-periode berikutnya. Yang termasuk kelompok ini, antara lain adalah biaya pemasaran, biaya pembukaan perusahaan, biaya penelitian dan sebagainya. 5. Aktiva lain-lain, adalah menunjukkan kekayaan atau aktiva perusahaan yang tidak dapat atau belum dapat dimasukkan dalam klasifikasiklasifikasi sebelumnya, misalnya gedung dalam proses, tanah dalam penyelesaian, piutang jangka panjang dan sebagainya. Komponen yang kedua dari neraca adalah hutang. Menurut Rahardjo (2003), hutang adalah semua kewajiban keuangan perusahaan kepada pihak lain yang belum terpenuhi, dimana hutang ini merupakan sumber dana atau modal perusahaan yang berasal dari kreditor. Hutang atau kewajiban perusahaan dapat dibedakan ke dalam hutang lancar (hutang jangka pendek) dan hutang jangka panjang. Menurut Munawir (2002), hutang lancar atau hutang jangka pendek adalah
kewajiban
keuangan
perusahaan
yang pelunasannya
atau
pembayaran akan dilakukan dalam jangka pendek (satu tahun sejak tanggal neraca) dengan menggunakan aktiva lancar yang dimliki perusahaaan. Hutang lancar meliputi antara lain : 1. Hutang dagang, adalah hutang yang timbul karena adanya pembelian barang dagangan secara kredit
2. Hutang wesel, adalah hutang yang disertai dengan janji tertulis (yang diatur dengan Undang-Undang) untuk melakukan pembayaran sejumlah tertentu pada waktu tertentu di masa yang akan datang. 3.
Hutang pajak, baik pajak untuk perusahaan yang bersangkutan maupun Pajak Pendapatan Karyawan yang belum disetorkan ke kas negara
4. Biaya yang masih harus dibayar, adalah biaya-biaya yang sudah terjadi tetapi belum dilakukan pembayarannya. 5. Hutang jangka panjang yang segera jatuh tempo, adalah sebagian atau seluruh hutang jangka panjang yang sudah menjadi hutang jangka pendek karena harus segera dilakukan pembayarannya. 6. Penghasilan yang diterima dimuka, adalah penerimaan uang untuk penjualan barang atau jasa yang belum direalisir. Sedangkan hutang jangka panjang adalah kewajiban keuangan yang jangka waktu pembayaran atau jatuh temponya masih panjang (atau lebih dari satu tahun tanggal neraca) yang meliputi hutang obligasi, hutang hipotik (hutang yang dijamin dengan aktiva tetap tertentu), dan pinjaman jangka panjang lain. Komponen dari neraca yang lain adalah modal. Menurut Munawir (2002), modal merupakan hak atau bagian yang dimiliki oleh pemilik perusahaan yang ditunjukkan dalam pos modal (modal saham), surplus dan laba yang ditahan. Dapat juga diartikan sebagai kelebihan nilai aktiva yang dimiliki oleh perusahaan terhadap seluruh hutang-hutangnya. 2.3.2. Laporan Rugi Laba Menurut Rahardjo (2003), laporan rugi laba (income statement) merupakan laporan mengenai kemajuan perusahaan. Pada dasarnya laporan rugi laba memberitahu apa yang diperoleh perusahaan tahun ini, apakah laba atau rugi, dan berapa banyak laba atau kerugiannya. Laporan ini menggambarkan kemajuan usaha perusahaan selama satu periode tertentu atau selama satu tahun buku. Sedangkan menurut Munawir (2002), laporan rugi laba merupakan suatu laporan yang sistematis tentang penghasilan, biaya, rugi laba yang diperoleh oleh suatu perusahaan selama
periode tertentu. Walaupun belum ada keseragaman tentang susunan laporan rugi laba bagi tiap-tiap perusahaan, namun prinsip-prinsip yang umumnya diterapkan adalah sebagai berikut : 1. Bagian pertama menunjukkan penghasilan yang diperoleh dari usaha poko perusahaan (penjualan barang dagangan atau memberikan service) diikuti dengan harga pokok dari barang atau service yang dijual sehingga diperoleh laba kotor. 2. Bagian kedua menunjukkan biaya-biaya operasional yang terdiri dari biaya penjualan dan biaya umum atau administrasi. 3. Bagian ketiga menunjukkan hasil-hasil yang diperoleh di luar operasi pokok perusahaan yang diikuti dengan biaya-biaya yang terjadi di luar usaha pokok perusahaan. 4. Bagian keempat menunjukkan laba atau rugi yang insidentil sehingga akhirnya diperoleh laba bersih sebelum pajak pendapatan. 2.4. Analisis Laporan Keuangan Analisis
laporan
keuangan
merupakan
suatu
kegiatan
untuk
menguraikan pos-pos laporan keuangan menjadi unit informasi yang lebih kecil dan melihat hubungannya yang bersifat signifikan atau yang mempunyai makna antara satu dengan yang lain baik antara data kuantitatif maupun data non kuantitatif dengan tujuan untuk mengetahui kondisi keuangan lebih dalam yang sangat penting dalam proses menghasilkan keputusan yang tepat (Harahap, 2001). Dengan begitu, analisis laporan keuangan berfungsi untuk mengkonversikan data yang berasal dari laporan sebagai bahan mentahnya menjadi informasi yang lebih berguna, lebih mendalam, dan lebih tajam dengan teknik tertentu. Dengan menganalisis laporan keuangan suatu perusahaan dapat diketahui kinerja keuangan dari perusahaan tersebut. Sehingga dapat diketahui kekurangan-kekurangan perusahaan dan kemudian menggunakan informasi ini untuk meningkatkan kinerja keuangan. Metode yang umum digunakan untuk menganalisa kinerja keuangan hingga saat ini adalah analisa rasio likuiditas, solvabilitas, profitabilitas dan aktivitas. Metode
inilah yang akan dipakai dalam penelitian sesuai dengan ketersediaan data yang ada di perusahaan. Menurut Munawir (2002), dalam menganalisa dan menilai posisi keuangan dan potensi-potensi kemajuan perusahaan, faktor utama yang perlu diperhatikan adalah : 1. Likuiditas, adalah menunjukkan kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangannya yang harus segera dipenuhi, atau kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangan pada saat
ditagih.
Perusahaan
yang
mampu
memenuhi
kewajiban
keuangannya tepat pada waktunya berarti perusahaan tersebut dalam keadaan “likuid”, dan perusahaan dikatakan mampu memenuhi kewajiban keuangan tepat pada waktunya apabila perusahaan tersebut mempunyai alat pembayaran ataupun aktiva lancar yang lebih besar daripada hutang lancarnya atau hutang jangka pendek. Sebaliknya kalau
perusahaan
tidak
dapat
segera
memenuhi
kewajiban
keuangannya pada saat ditagih (jatuh tempo), berarti perusahaan tersebut dalam keadaan “ilikuid”. Dengan demikian likuiditas, diartikan sebagai kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka pendek yang jatuh tempo. Kewajiban
keuangan
digolongkan menjadi
suatu
perusahaan
pada
dasarnya
dapat
dua, yaitu kewajiban keuangan yang
berhubungan dengan pihak luar perusahaan (kreditur) dan kewajiban keuangan
yang berhubungan
dengan
proses
produksi
(intern
perusahaan). Kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangan yang berhubungan dengan pihak luar atau kreditur dinamakan “likuiditas badan usaha”, sedangkan yang berhubungan dengan pihak intern atau proses produksi (seperti membayar upah buruh, membeli bahan baku) dinamakan “likuiditas perusahaan”. 2. Solvabilitas, menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangannya apabila perusahaan tersebut dilikuidasikan, baik keuangan jangka pendek maupun jangka panjang.
Suatu perusahaan dikatakan solvabel jika perusahaan tersebut mempunyai kekayaan atau aktiva yang cukup untuk membayar semua hutang-hutangnya, sebaliknya apabila jumlah aktiva tidak cukup atau lebih kecil daripada jumlah hutangnya, berarti perusahaan tersebut dalam keadaan insolvabel. Baik perusahaan yang insolvabel maupun yang likuid menunjukkan keadaan keuangan yang kurang baik karena kedua-duanya pada suatu waktu akan menghadapi kesulitan keuangan. Perusahaan yang ilikuid akan segera mengalami kesulitan keuangan walaupun perusahaan tersebut dalam keadaan solvabel, sebaliknya kalau perusahaan dalam keadaan insolvabel tetapi likuid tidak akan segera mengalami kesulitan keuangan dan kesulitan keuangan baru timbul kalau perusahaan itu dibubarkan. 3. Profitabilitas, adalah menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba selama periode tertentu. Profitabilitas suatu perusahaan diukur dengan kesuksesan perusahaan dan kemampuan menggunakan
aktivanya
profitabilitas
suatu
secara
perusahaan
produktif.
Dengan
dapat
diketahui
demikian dengan
memperbandingkan antara laba yang diperoleh dalam suatu periode dengan jumlah aktiva atau jumlah modal perusahaan tersebut. 4. Aktivitas usaha, adalah menunjukkan kemampuan perusahaan untuk melakukan
usahanya
dengan
stabil
yang
diukur
dengan
mempertimbangkan kemampuan perusahaan untuk membayar beban bunga atas hutang-hutangnya dan akhirnya membayar kembali hutanghutang tersebut tepat pada waktunya, serta kemampuan perusahaan untuk membayar deviden secara teratur kepada para pemegang saham tanpa mengalami hambatan atau krisis keuangan. Faktor-faktor tersebut dapat diketahui dengan cara menganalisa atau menginterpretasikan laporan keuangan perusahaan yang bersangkutan. Analisa laporan keuangan terdiri dari penelaahan atau mempelajari hubungan-hubungan dan tendensi atau kecenderungan (trend) untuk
menentukan posisi keuangan dan hasil operasi serta perkembangan perusahaan yang bersangkutan. 2.4.1. Analisis Trend ( Analisis Horizontal) Menurut Munawir (2002), analisis trend adalah analisis yang membandingkan pos-pos laporan keuangan untuk beberapa periode akuntansi dengan menggunakan tahun dasar. Analisis trend mempelajari pergerakan pos-pos tertentu dari suatu laporan keuangan perusahaan selama beberapa tahun atau periode akuntansi berturut-turut. Dari analisis ini akan tampak pos-pos yang mempunyai kecenderungan arah yang meningkat, menurun atau tetap. Analisis ini menggunakan angka indeks berupa persentase sehingga analisis ini sering juga disebut analisis indeks. Untuk dapat menghitung trend yang dinyatakan dalam persentase dibutuhkan satu tahun yang dijadikan sebagai tahun dasar. Tahun dasar ini diperlukan sebagai dasar perhitungan yang akan dibuat dalam bentuk persentase. Biasanya data laporan keuangan dari tahun yang paling awal dari deretan laporan keuangan yang dianalisa dianggap sebagai tahun dasar. Tiap-tiap pos yang terdapat dalam laporan keuangan yang dipilij sebagai tahun dasar diberikan angka indeks 100, sedangkan pos-pos yang sama dari periode yang dianalisa dihubungkan dengan pos yang sama dalam laporan keuangan tahun dasar dengan cara membagi jumlah rupiah tiap-tiap pos dalam periode yang dianalisis dengan jumlah rupiah dari pos yang sama dalam laporan keuangan tahun dasar. Jadi trend yang dimaksud adalah menunjukkan hubungan antara masing-masing pos suatu tahun dengan tahun dasarnya (Munawir, 2002). 2.4.2. Analisis Persentase Per Komponen (Common Size Percentage atau Analisis Vertikal) Menurut Munawir (2002), analisis persentase per komponen adalah suatu metode analisis untuk mengetahui persentase investasi pada masingmasing aktiva terhadap total aktivanya, juga untuk mengetahui struktur permodalannya dan komposisi perongkosan yang terjadi dihubungkan
dengan penjualannya. Analisis ini merupakan pelengkap bagi analisis rasio dan dapat memberikan gambaran tentang perubahan yang terjadi dalam masing-masing pos dari tahun ke tahun dalam hubungannya dengan total aktiva atau total hutang atau total penjualan dan analisis ini dilakukan secara vertikal dengan membandingkan pos-pos laporan keuangan dalam satu periode yang sama. Menurut Munawir (2002), metode untuk merubah jumlah-jumlah rupiah dalam suatu laporan keuangan menjadi persentase-persentase dapat dilakukan sebagai berikut : 1. Nyatakan total aktiva, total pasiva, serta total penjualan netto masingmasing dengan 100%. 2. Hitunglah rasio dari tiap-tiap pos atau komponen dalam laporan tersebut dengan cara membagi jumlah rupiah dari masing-masing pos aktiva dengan total aktivanya, jumlah rupiah masing-masing pos pasiva dengan total pasivanya dan masing-masing pos rugi laba dengan total penjualan nettonya dikalikan 100%. 2.4.3. Analisis Rasio Mengadakan analisa hubungan dari berbagai pos dalam suatu laporan keuangan adalah merupakan dasar untuk dapat menginterpretasikan kondisi
keuangan
dan
hasil
operasi
suatu
perusahaan.
Dengan
menggunakan laporan yang diperbandingkan, termasuk data tentang perubahan-perubahan yang terjadi dalam rupiah, persentase serta trendnya, analisis rasio akan membantu dalam menganalisis dan menginterpretasikan posisi keuangan suatu perusahaan. Menurut Riyanto (1995), pengertian rasio itu sebenarnya hanyalah alat yang dinyatakan dalam arithmetical terms yang dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan antara dua macam data finansial. Menurut Munawir (2002), rasio menggambarkan suatu hubungan atau perimbangan (mathematical relationship) antara suatu jumlah tertentu dengan jumlah yang lain, sementara itu analisis rasio merupakan suatu metode analisis untuk mengetahui hubungan dari pos-pos tertentu dalam
neraca atau laporan rugi laba secara individu atau kombinasi dari kedua laporan tersebut. Dalam melakukan analisis rasio, pada dasarnya dapat dilakukan dengan dua macam perbandingan, yaitu dengan membandingkan rasio sekarang perusahaan dengan rasio-rasio di waktu lalu (historical ratio), atau dengan membandingkan rasio suatu perusahaan dengan perusahaan lain yang sejenis untuk waktu yang sama (Riyanto, 1995). Dalam penelitian ini rasio yang digunakan adalah historical ratio. Menurut Riyanto (1995), angka-angka rasio keuangan dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1. Rasio likuiditas, adalah rasio-rasio yang dimaksudkan untuk mengukur likuiditas perusahaan yang terbagi dalam rasio lancar (current ratio) dan rasio cepat (quick ratio). Rasio lancar (current ratio) adalah rasio yang dihitung dengan membagi aktiva lancar dengan kewajiban lancar. Rasio ini merupakan ukuran yang paling umum digunakan untuk mengetahui kesanggupan perusahaan memenuhi kewajiban jangka pendeknya karena rasio ini menunjukkan seberapa jauh tuntutan atau tagihan dari pada kreditur segera dapat berubah menjadi tunai dalam periode yang sama dengan jatuh tempo hutang atau tagihan tersebut. Rasio cepat (quick ratio) adalah rasio yang dihitung dengan menggunakan aktiva lancar tanpa memperhitungkan persediaan dibagi dengan kewajiban lancar. Persediaan merupakan unsur aktiva lancar yang paling tidak likuid dan unsur tersebut seringkali merupakan kerugian jika terjadi likuiditas. Oleh karena itu rasio cepat merupakan ukuran penting untuk mengetahui kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban jangka pendeknya tanpa memperhitungkan penjualan persediaan. Nilai rasio cepat sebesar satu dinggap sudah menunjukkan kondisi keuangan jangka pendek yang cukup baik karena itu berarti adanya kepastian bahwa hutang lancarnya dapat dibayar dengan aktiva lancar yang adatanpa menunggu realisasi nilai persediaan menjadi kas.
2. Rasio solvabilitas (leverage), adalah rasio-rasio yang mengukur kemampuan
perusahaan
dalam
memenuhi
seluruh
kewajiban
keuangannya, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang atau memenuhi kewajiban-kewajibannya apabila perusahaan dilikuidasi dan dimaksudkan juga untuk mengukur sampai berapa jauh aktiva perusahaan dibiayai dengan hutang, yang terdiri rasio total hutang dengan total aktiva (debt ratio), rasio total hutang dengan modal sendiri (total debt to equity ratio), rasio modal sendiri dengan total aktiva (equity to total active ratio), rasio antara laba sebelum pajak dengan beban bunga (time interest earned ratio). Rasio total hutang dengan total aktiva (debt ratio) mengukur sejauh mana kewajiban perusahaan digunakan untuk mendanai pembelian atau investasi atas aktiva perusahaan. Semakin besar nilai rasio berarti semakin besar resiko yang ditanggung perusahaan. Semakin kecil nilainya berarti semakin baik, karena jumlah aktiva yang dibiayai dengan hutang semakin kecil. Rasio total hutang dengan modal sendiri (total debt to equity ratio) menunjukkan perbandingan antara jumlah seluruh hutang (baik jangka pendek maupun jangka panjang) dengan jumlah modal sendiri perusahaan. Bila nilai rasio lebih besar dari satu, maka kemampuan modal sendiri untuk menjamin hutang semakin rendah, demikian pula sebaliknya. Rasio modal sendiri dengan total aktiva (equity to total active ratio) menunjukkan
besarnya
modal sendiri
yang digunakan
untuk
membiayai aktiva. Standar yang baik untuk rasio ini adalah 50 persen. Rasio antara laba sebelum pajak dengan beban bunga (time interest earned ratio), rasio ini mengukur kemampuan perusahaan memenuhi beban tetapnya berupa bunga, atau mengukur seberapa jauh laba dapat berkurang tanpa perusahaan mengalami kesulitan keuangan. 3. Rasio aktivitas, yaitu rasio-rasio yang dimaksudkan untuk mengukur sampai barapa besar efektifitas perusahaan dalam mengerjakan sumber-sumber dananya, yang terdiri dari rasio perputaran total aktiva
(total assets turnover ratio), rasio perputaran aktiva tetap (fixed assets turnover ratio), rasio perputaran piutang (receivable turnover ratio), dan rasio perputaran persediaan (inventory turnover ratio). Rasio perputaran total aktiva (total assets turnover ratio) memberikan gambaran relatif mengenai efisiensi perusahaan dalam memanfaatkan aktiva yang ada dalam perusahaan untuk menghasikan penjualan. Dengan kata lain adalah kecepatan berputarnya total aktiva dalam satu periode tertentu. Semakin cepat perputarannya yang ditunjukkan dengan angka rasio yang lebih besar adalah semakin baik karena perusahaan dapat memanfaatkan total aktivanya dengan efisien untuk menghasilkan penjualan. Rasio perputaran aktiva tetap (fixed assets turnover ratio) berguna untuk mengukur efisiensi perusahaan dalam penggunaan aktiva tetapnya untuk menghasilkan penjualan. Rasio perputaran piutang (receivable turnover ratio) merupakan kemampuan dana yang tertanam dalam piutang untuk berputar dalam suatu periode tertentu. Semakin tinggi angka rasio berarti semakin cepat perputaran piutang dalam satu periode, maka modal kerja yang tertanam dalam piutang semakin turun karena semakin cepat pencairan piutang menjadi bentuk kas. Untuk mengetahui efektifitas dari pada penagihan piutang
dapat dilihat dari rata-rata periode penagihan
piutang (average collection period). Jika hari rata-rata lebih besar daripada batas waktu pembayaran yang telah ditentukan, berarti cara penagihannya kurang efektif. Rasio perputaran persediaan (inventory turnover ratio) menunjukkan kemampuan dana yang tertanam dalam persediaan untuk berputar dalam suatu periode terentu. Dengan kata lain merupakan likuiditas dari persediaan untuk mengukur tendensi kelebihan dalam persediaan atau over stock. 4. Rasio profitabilitas, yaitu rasio-rasio yang menunjukkan hasil akhir dari sejumlah kebijaksanaan dan keputusan-keputusan perusahaan, yang terdiri dari marjin laba kotor (gross profit margin), rasio operasi
(operating ratio), marjin laba bersih (net profit margin), ROI (return on investment), dan ROE (return on equity). Marjin laba kotor (gross profit margin) adalah rasio keuntungan yang menunjukkan kemampuan dari penjualan untuk mendapat laba kotor dan berguna untuk memberikan indikasi mengenai efisiensi operasi perusahaan dan penetapan harga jual. Dari rasio ini dapat diketahui bahwa semakin tinggi angka rasio berarti laba kotor yang diperoleh adalah lebih baik, begitu pula sebaliknya. Rasio operasi (operating ratio) adalah rasio yang menunjukkan besarnya bagian penjualan yang digunakan untuk beban pokok penjualan dan operasi. Rasio ini menunjukkan tingkat efisiensi perusahaan dalam operasi guna menghasilkan laba dalam setiap rupiah penjualannya. Nilai rasio yang tinggi menunjukkan keadaan yang kurang baik, karena setiap rupiah penjualan yang terserap dalam biaya juga tinggi dan yang tersedia untuk laba kecil. Marjin laba bersih (net profit margin) adalah rasio keuntungan yang memnujukkan kesanggupan perusahaan dalam melakukan penjualan untuk memperoleh laba bersih dan memberikan gambaran relatif mengenai
efisiensi
perusahaan
setelah
memperhatikan
semua
pengeluaran biaya maupun pajak. ROI (return on investment) adalah rasio yang menunjukkan kemampuan dari seluruh dana yang tertanam dalam keseluruhan aktiva untuk menghasilkan keuntungan bersih pada tahun berjalan, yaitu laba bersih setelah dikurangi bunga dan pajak. Rasio ini menunjukkan hasil yang diperoleh atas semua investasi yang ditanamkan pada suatu perusahaan sehingga dapat digunakan untuk mengukur efektivitas dari keseluruhan operasi perusahaan. ROE (return on equity) merupakan perbandingan antara laba bersih setelah pajak dengan modal sendiri. Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan bersih berdasarkan modal sendiri. Selain itu, rasio ini menunjukkan penghasilan yang tersedia bagi pemilik perusahaan atas modal yang
mereka investasikan dan tingkat produktivitas modal yang digunakan perusahaan. Semakin tinggi nilai rasio berarti semakin produktif tingkat pemakaian modal dalam menyumbangkan laba bersih bagi perusahaan yang berarti juga semakin tingginya kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan. Rasio ini merupakan salah satu determinan yang menentukan bagi pihak-pihak yang ingin menanamkan modal dalam bentuk pemilikan saham dari perusahaan yang bersangkutan. Dalam menggunakan analisis rasio, perlu juga diketahui adanya keterbatasan-keterbatasan
maupun
kendala-kendala
yang
dapat
mengakibatkan kekeliruan dalam penafsiran sehingga keputusan yang diambil juga akan keliru. Kendala yang dihadapi adalah sulitnya memperoleh data perusahaan lain yang sejenis maupun rasio industri yang dapat digunakan sebagai pembanding, penggunaan data perusahaan lain yang sejenis maupun rasio industri sebagai pembanding dapat mengakibatkan kekeliruan dalam penafsiran karena adanya perbedaan product lines
maupun kekhususan produk serta
perbedaan dalam penerapan metode akuntansi. Di samping itu rasio-rasio periode yang lalu bukan merupakan alat yang baik untuk meramalkan keadaan di masa mendatang (Wibisono, 1997). 2.4.4. Analisis Du Pont Analisis Du Pont merupakan pendekatan terpadu terhadap analisis rasio keuangan. Analisis Du Pont menggabungkan rasio rasio aktivitas dan profit
margin
dan
menunjukkan
bagaimana
rasio-rasio
tersebut
berinteraksi untuk menentukan profitabilitas aktiva-aktiva yang dimiliki perusahaan serta tingkat pengembalian ekuitas (ROE) yang dihasilkan. Analisis ini memfokuskan pada ROE perusahaan karena dalam analisis Du Pont menganggap bahwa keberhasilan perusahaan dapat dilihat dari perkembangan ROE yang dimiliki, semakin tinggi ROE suatu perusahaan maka semakin baik perusahaan dalam mengelola manajemennya (Sawir, 2000).
Analisis ini dikembangkan dalam suatu bagan Du Pont. Bagan Du Pont merupakan bagan yang dirancang untuk menunjukkan hubungan diantara tingkat pengembalian atas investasi, perputaran aktiva, marjin laba, dan hutang (Brigham dan Houstoun, 2001) Pada dasarnya persamaan dalam bagan Du Pont memperlihatkan interaksi antara marjin laba bersih, perputaran total aktiva dan penggunaan hutang yang digunakan untuk mendanai aktiva yang akibatnya menentukan tingkat pengembalian modal sendiri. Pada sisi kiri dari bagan Du Pont digunakan untuk menghitung profitabilitas perusahaan
yaitu
marjin laba bersih atas penjualan. Berbagai biaya didaftarkan dan dijumlahkan untuk mendapatkan total biaya dan kemudian dikurangkan dari penjualan untuk menghasilkan laba bersih perusahaan. Laba bersih dibagi dengan penjualan akan menghasilkan marjin laba bersih. Pada sisi kanan dari bagan Du Pont menyajikan aktivitas perusahaan yaitu dilihat dari berbagai aktiva dan kemudian membagi penjualan dengan total aktiva untuk memperoleh perputaran total aktiva yaitu berapa kali perusahaan memanfaatkan aktivanya setiap tahun. Apabila perputaran aktiva pada sisi kanan dikalikan dengan marjin laba bersih pada sebelah kiri akan menghasilkan tingkat pengembalian investasi.
Tingkat pengembalian ekuitas (ROE)
Tingkat pengembalian aktiva (ROA)
Marjin laba bersih
Laba bersih
Penjualan
Dibagi
Dikali
1- Rasio hutang
Dibagi
Perputaran total aktiva
Penjualan
Dibagi
Total aktiva
Penjualan Dikurangi Aktiva lancar
Total biaya
Aktiva tetap
Harga pokok penjualan
Kas dan surat berharga
Biaya operasi tunai
Piutang dagang
Depresiasi
Persediaan
Biaya bunga
Aktiva lancar lain
Pajak
Gambar 1. Kerangka Analisis Du Pont (Sawir, 2000)
Aktiva lain
2.5. Penelitian Terdahulu Nurhasanah (2005) melakukan penelitian terhadap kinerja keuangan PT. Biro Klasifikasi Indonesia (Persero) dengan menggunakan analisa rasio keuangan (likuiditas, solvabilitas, aktivitas, dan profitabilitas). Hasil analisis rasio keuangan menunjukkan bahwa likuiditas keuangan perusahaan cukup likuid, solvabilitas perusahaan telah mampu membayar kewajibannya, aktivitas perusahaan telah cukup baik dan profitabilitas perusahaan telah mampu menghasilkan keuntungan tinggi. Namun demikian, rasio keuangan tersebut dibandingkan dengan SK. Menteri Nomor KEP-100/MBU/2002 masih ditemui tujuh indikator rasio perusahaan yang nilainya masih di bawah standar, diantaranya rasio total hutang terhadap modal, rasio kas, modal kerja terhadap total aktiva, collecting period, perputaran total aktiva, tingkat pengembalian investasi, tingkat pengembalian modal dan rasio total terhadap aktiva. Setiati (2004) melakukan penelitian terhadap kinerja keuangan PT. Jaya Teknik Indonesia periode 1999-2003 dengan menggunakan analisa trend, analisa persentase per komponen, analisa rasio, dan analisa Du Pont. Analisa trend terhadap neraca menunjukkan bahwa jumlah aktiva lancar mengalami penurunan pada tahun 2000 dan peningkatan pada tahun 20012003. Peningkatan terbesar dicapai pada tahun 2003 berkaitan dengan meningkatnya jumlah kas dan bank serta uang muka. Analisa trend terhadap laporan rugi laba menunjukkan adanya trend yang meningkat pada pendapatan kontrak selama lima tahun pengamatan. Peningkatan terbesar dicapai pada tahun 2003, berkaitan dengan adanya kenaikan alat-alat listrik dan mekanik sehingga mengakibatkan naiknya harga jual dari jasa kontruksi dan perdagangan. Peningkatan pendapatan juga diikuti dengan trend yang meningkat pada biaya kontrak. Laba bersih perusahaan meningkat jika dibandingkan tahun dasar, kecuali tahun 2000, karena pada tahun tersebut kenaikan beban usaha melebihi kenaikan pendapatan kontrak. Analisa persentase per komponen terhadap neraca menunjukkan bahwa aktiva lancar memiliki proporsi yang lebih besar dibandingkan dengan aktiva tetap dan hutang lancar cenderung menurun. Proporsi hutang lancar lebih besar dari
hutang jangka panjangnya. Analisa persentase per komponen terhadap laporan rugi laba menunjukkan bahwa nilai proporsi faktor pengurang yang terbesar terhadap total pendapatan kontrak adalah biaya kontrak. Proporsi beban usaha berfluktuasi yang menyebabkan komponen laba usaha maupun laba bersih berfluktuasi. Berdasarkan analisa rasio menunjukkan bahwa kondisi keuangan perusahaan yang cukup likuid, kurang solvabel dan kurang aman posisi kemampuan perusahaan dalam membayar seluruh kewajiban keuangannya, aktivitas perusahaan yang sudah baik namun kebijakan kredit yang diberikan terlalu lunak, dan profitabilitas perusahaan yang mampu menghasilkan keuntungan yang cukup baik. Sedangkan analisa Du Pont menunjukkan bahwa kinerja perusahaan selama lima tahun cenderung berfluktuasi. Nilai ROE tertinggi terjadi pada tahun 2001 sebesar 49,25 persen, hal ini menunjukkan produktifitas modal sendiri untuk menghasilkan keuntungan meningkat.