II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Gajah Sumatera
termasuk salah satu gajah Asia yang terancam punah
(Glastra 2003). Menurut Altevogt dan Kurt (1975) dan Huffman (1999), gajah Sumatera merupakan sub-spesies dari gajah Asia yang pertama kali diperkenalkan oleh Temminck dengan nama ilmiah Elephas maximus sumatranus Temminck, 1847. Sistematika hewan ini adalah sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Sub-Phylum
:Vertebrata
Class
: Mammalia
Sub-Class
: Eutheria
Ordo
: Proboscidea
Family
: Elephantidae
Genus
: Elephas
Spesies
: Elephas maximus Linnaeus, 1768
Sub-Spesies
: Elephas maximus sumatranus Temminck, 1847
2.2. Morfologi dan Anatomi Gajah Ukuran tubuh gajah Sumatera dan ga jah Asia adalah panjang kepala dan badan 550-640 cm, panjang ekor 120-150 cm, tinggi bahu 250-300 cm dan beratnya mencapai 5000 kg untuk gajah jantan (Lekagul dan McNeely
1977;
Medway 1978). Ukuran tubuh gajah Asia lebih kecil bila dibandingkan dengan ukuran tubuh gajah Afrika. Telapak kaki gajah bagian depan berbentuk bulat, telapak kaki belakang berbentuk bulat telur (Eltringham 1982). Jejak kaki gajah Sumatera dewasa berkisar 35-44 cm, sedangkan gajah muda berkisar 18-22 cm (Poniran 1974). Tinggi gajah pada waktu lahir kira-kira 90-95 cm dan meningkat sampai 130 cm setelah berusia dua tahun. Pada usia tiga tahun, tinggi gajah adalah 150-160 cm. Pada umur empat tahun sekitar 175-190 cm, dan pada umur enam tahun tinggi badan bervariasi antara 180-200 cm.
Gajah Asia umumnya memiliki punggung cembung, telinga lebih kecil, kulit berkerut dan belalai dengan satu “jari” pada ujung nya. Sedangkan gajah Afrika memiliki punggung cekung, telinga lebih
besar, kulit relatif halus dan
belalai dengan 2 “jari” pada ujungnya (Seidensticker 1984). Perbedaan antara kedua spesies juga terdapat dalam jumlah tulang rusuk dan tulang belakang, gigi molar dan jumlah kuku kakinya. Gading merupakan perkembangan dari sepasang gigi seri, umumnya dijumpai baik pada gajah Afrika jantan dan betina, sedangkan untuk gajah Asia umumnya hanya dijumpai pada gajah jantan. Gajah Asia betina umumnya hanya memiliki tonjolan gigi seri (Eltringham 1982; Lekagul dan Mc Neely 1977). Rumus gigi gajah adalah: I 1/0, C 0/0, PM 3/3, M 3/3 X 2=26 buah (Lekagul dan Mc Neely 1977). Tiga pasang gigi pre molarnya adalah gigi susu, sehingga untuk seumur hidupnya seekor gajah dewasa memiliki 14 buah gigi seluruhnya. Belalai berfungsi sebagai tangan, alat pembau, alat bernafas, sebagai senjata dan alat berkomunikasi. Belalai dilengkapi dengan otot berjumlah ± 40 000 buah, sehingga sangat elastis (Harthoorn dalam Murray 1976). Daun telinga berupa tulang rawan berkulit tipis dan dilengkapi dengan jaringan pembuluh darah yang rapat dan dekat permukaan. Kibasan daun telinga akan mendinginkan darah yang mengalir dengan kecepatan tinggi, sehingga selain sebagai alat komunikasi dan alat pendengar daun telinga juga berfungsi sebagai alat pengatur suhu tubuh (Harthoorn dalam Murray 1976). Kulit gajah berwarna coklat gelap sampai abu-abu hitam dan sangat sensitif, ketebalan kulit punggung dan samping tubuh mencapai 2 – 3 cm. Kulit tidak mengandung kelenjar keringat, hanya ada kelenjar susu (mammary glands) dan dua buah kelenjar temporal pada setiap bagian samping kepala (Eltringham 1982). Setelah dewasa rambut rontok, meninggalkan
rambut jarang-jarang di
punggung dan kepala, di sekitar mata berupa bulu mata, di lubang telinga dan di ujung ekor (Lekagul dan Mc Neely 1977). Gajah berjalan seolah-olah secara plantigrade, padahal sebenarnya secara digitigrade (berjalan pada ujung jari kaki). Gajah memiliki lima jari pada tiap kaki, terbenam dalam daging tebal dan tidak semua jari kakinya berkuku, umumnya ada
lima kuku pada kaki depan dan empat kuku pada kaki belakang (Eltringham 1982). Determinasi seks selain dari gading dapat dilakukan dengan melihat bentuk tengkoraknya. Gajah betina memberi penampakan persegi, sedang gajah jantan memiliki dahi bulat telur (Eltringham 1982 dan Sukumar 2003). Sistem pencernaan gajah terdiri atas mulut yang berukuran relatif kecil dan tidak dapat membuka lebar, kelenjar ludah (salivary glands) berkembang baik, oesophagus pendek penuh dengan kelenjar mucus, perut berupa kantung sederhana berbentuk silindris, caecumnya berbuku-buku dan terletak pada pertemuan antara usus besar dan usus kecil. Feces berbentuk silinder pendek (bolusis) dengan dimensi yang ada mencerminkan dimensi rectum. Sistem reproduksi gajah jantan terdiri atas
testes yang tetap berada di
rongga perut, penis berbentuk seperti bandul, mirip penis kuda. Apabila keluar dapat menyentuh tanah, tetapi umumnya ditarik
ke dalam kantong kulit yang
mengarah ke bawah menyerupai vulva gajah betina. Karena itu sukar membedakan jenis kelamin gajah di lapangan berdasarkan penampakan genetalia luarnya (Eltringham 1982). Pada gajah betina vagina dan uretranya berupa saluran urino genetal yang panjang, mengarah ke bawah dan ke depan serta membuka di vulva di depan kaki belakang. Clitoris gajah betina dapat ditarik panjang-pendek seperti halnya penis pada gajah jantan meskipun tidak sama panjangnya (Eltringham 1982). Indra penciuman gajah merupakan indra terpenting (Eltringham 1982). Indra penglihatan disebut buruk, meskipun gajah dapat melihat jelas dalam jarak pendek serta percobaan di laboratorium menunjukkan bahwa penglihatan gajah sebagus penglihatan kuda (Altevogt dan Kurt 1975; Eltringham 1982). Indra pendengarannya sangat baik dan indra peraba berkembang sangat baik terutama di ujung belalainya (Eltringham 1982). 2.3.Penyebaran dan Populasi Gajah Sumatera(Elephas maximus sumatranus) Gajah Sumatera tersebar di Pulau Sumatera meliputi 8 propinsi dan terbagi dalam 44 populasi (Blouch dan Haryanto 1984), meliputi Lampung (11 populasi), Sumatera Selatan (8 populasi), Bengkulu (3 populasi), Jambi (5 populasi),
Sumatera Barat (1 populasi), Riau (8 populasi), Sumatera Utara (1 populasi) dan Nangroe Aceh Darussalam (4 populasi). Populasi gajah Sumatera menurut Blouch dan Simbolon (1985) memperkirakan antara 2800 sampai 4800 ekor. Dari 44 populasi yang ada 30% mempunyai populasi kurang dari 50 ekor, 36% mempunyai populasi 50-100 ekor, 25% individu 100-200 ekor, dan hanya 9% yang mempunyai ukuran populasi lebih dari 200 ekor (Santiapillai dan Jackson 1990), dari jumlah tersebut 14 kelompok berada di dalam kawasan konservasi dengan jumlah perkiraan 1.030 ekor dan sisanya di luar kawasan konservasi. Populasi gajah yang terdapat di wilayah-wilayah kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), menurut Suprahman dan Sutantohadi (2000) adalah di sekitar Sipurak-Sula (Wilayah Jambi), Rupit-Bukit Kelam (wilayah Sumatera Selatan) dan Air Retak – Air Ipuh-Air Seblat (wilayah Bengkulu), dengan perkiraan ukuran populasi masing- masing 40-50 ekor, < 30 ekor dan 80 –100 ekor. Dari ketiga populasi tersebut, kecuali populasi Rupit – Bukit Kelam, dua populasi yang lain lebih sering dijumpai di luar kawasan TNKS. Pergerakan dan mencari makanan lebih banyak daerah sekitar di luar batas kawasan TNKS, yang berupa areal HPH, perkebunan atau perladangan. Hasil penelitian Rizwar et al. (2001) di sekitar kawasan TNKS menunjukkan kepadatan populasi gajah di Air Seblat – Air Rami 50 ekor/ 70 km2 (0,72 ekor/km2 ). 2.4. Punahnya Keanekaragaman Spesies Manusia melakukan konversi habitat alami menjadi lahan perkebunan, perladangan/pertanian, pemukiman,
transmigrasi, pertambangan dan untuk
kegiatan industri. Pertambahan penduduk yang terus meningkat akan semakin meningkatkan
penggunaan sumberdaya alam dan dapat berdampak terhadap
kerusakan lingkungan yang berarti ancaman terhadap punahnya keanekaragaman spesies akan semakin cepat. Menurut WRI, IUCN dan UNEP (1992) dalam Iqbal (2004) punahnya keanekaragaman spesies diakibatkan oleh
enam penyebab yaitu: 1) laju
peningkatan populasi manusia dan konsumsi sumberdaya alam yang tidak berkelanjutan; 2) rendahnya keanekaragaman produk yang diperdagangkan dalam bidang pertanian, kehutanan dan perikanan; 3) sistem dan kebijaksanaan ekonomi
yang gagal dalam memberi penghargaan kepada lingkungan dan sumberdayanya; 4) ketidakadilan dalam kepemilikan, pengelolaan, dan penyaluran keuntungan dari penggunaan dan pelestarian sumberdaya hayati; 5) kurangnya pengetahuan dan penerapannya; dan 6) sistem hukum dan kelembagaan yang mendorong eksploitasi. 2.5. Habitat Gajah Sumatera Habitat merupakan tempat organisme untuk dapat hidup dan berkembang biak secara alami serta manusia dapat menemukan organisme tersebut (Suwasono dan Kurniati 1994). Gajah Sumatera dapat ditemukan di berbagai tipe ekosistem. Mulai dari pantai sampai ketinggian di atas 1.750 meter seperti di Gunung Kerinci. Habitat yang paling disenangi adalah hutan dataran rendah (Haryanto 1984; WWF 2005). Walaupun habitat gajah Sumatera telah ditetapkan sebagai kawasan perlindungan, dan gajah Sumatera sebagai satwa yang dilindungi, namun demikian tidak menjamin akan kelestarian gajah tersebut, menurunnya kualitas dan berkurangnya luas habitat gajah oleh karena rusaknya daerah aliran sungai, vegetasi hutan khususnya pohon-pohon peneduh dan sumber pakan menyebabkan daya dukung habitat menjadi kecil. Terpecahnya populasi gajah menjadi sub-sub populasi kecil-kecil yang satu sama lain tidak terjadi komunikasi, menyebabkan keberadaan populasi minimum gajah tidak dapat dipenuhi sehingga kelestarian satwa gajah pada masa yang akan tidak dapat dijamin. Habitat gajah Sumatera yang dahulu berupa satu kesatuan ekosistem luas, telah terfragmentasi menjadi habitat- habitat kecil dan sempit. Satu sama lain tidak berhubungan. Daerah jelajah (home range) gajah menjadi sempit, akhirnya kecenderungan gajah untuk keluar dari habitat alaminya. Konflik dengan pengguna lahan lain tidak terelakkan. Persaingan yang tinggi diantara anggota kelompok gajah dalam penggunaan ruang dan makanan, mempercepat penurunan populasi gajah. Penjagaan yang kurang intensif terhadap wildlife corridor ini akan berakibat terganggunya proses penyebaran satwa liar untuk melakukan migrasi dari suatu tempat ke tempat lainnya (menuju habitat aslinya), oleh karena itu pengelolaan tersebut sangat penting untuk keberlangsungan hidup satwa dan kelestarian lingkungan.
Konversi hutan untuk areal perkebunan dan transmigrasi juga menjadi awal tekanan-tekanan terhadap habitat gajah. Selain itu produksi kayu utama di Sumatera
berasal dari hutan alam dengan jenis andalan adalah
Dipterocarpaceae. Namun
famili
pembalakan (logging) yang dilakukan sering tidak
memenuhi prosedur yang berlaku bahkan melebihi target panen, sehingga banyak areal bekas tebangan yang rusak. Menurut Alikodra (1997b) bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan atau kerusakan
habitat, yaitu:
karena bencana alam, kegiatan manusia (eksploitasi hutan). Menurut Oliver (1978), diperkirakan kepadatan gajah di logged over forest mungkin dua kali lipat daripada di hutan primer. Banyak hutan yang rusak menyebabkan gajah tidak mempunyai jalan ke luar untuk bergerak dari areal yang terganggu ke hutan tua, yang jaraknya cukup jauh. Hal ini yang menyebabkan fragmentasi habitat gajah, dan populasi yang semula besar menjadi kelompokkelompok kecil (Santiapillai dan Jackson 1990). Suatu populasi manusia yang besar dan konversi hutan menjadi kebun kelapa sawit dan perkebunan karet menyebabkan gajah ke luar dari Sumatera Utara dan Sumatera Barat (Kemf dan Santiapillai populasi telah dipercaya terdiri dari lebih
Provinsi
2000). Hanya 15
100 ekor gajah. Pertengahan tahun
1990an, total populasi diperkirakan antara 2.800 dan 4.800 (Tilson et al. 1994). Pemerintah Indonesia telah menetapkan 131 unit kawasan konservasi di Pulau Sumatera dengan luas 5.634.348,48 ha (Departemen Kehutanan 2005). Mengingat wilayah jelajah (home range) gajah sangat luas, maka sering terjadi populasi gajah keluar dari habitatnya di hutan, ke daerah sekitarnya yang berupa perkebunan, lahan pertanian maupun pemukiman penduduk, hal ini sering menimbulkan konflik antara manusia dengan gajah. Suprahman dan Sutantohadi (2000) menyatakan bahwa gajah di dalam kawasan TNKS ditaksir hanya sekitar 20% untuk populasi Sipurak-Sula dan sekitar 30% untuk populasi Air Retak-Air Ipuh-Air Seblat. Dari kenyataan ini dapat diduga bahwa habitat di kedua wilayah itu lebih merupakan tempat berlindung atau tempat tidur (istirahat). Sedangkan untuk pergerakan dan mencari makanan lebih banyak daerah sekitar di luar batas kawasan TNKS.
Sampai saat ini, Pemerintah Indonesia telah menetapkan 131 unit kawasan konservasi di Pulau Sumatera (Tabel 1). Namun, kawasan lindung saat ini pun masih belum aman dan banyak bahkan sebagian besar telah kehilangan hutan mereka akibat tekanan yang terus- menerus. Tabel 1 Sebaran kawasan konservasi di Pulau Sumatera No
Status Kawasan
Unit Kawasan
Luas Kawasan (Ha)
1.
Taman Nasional
11
3.892.028,61
2.
Taman Buru
5
129.650,00
3.
Cagar Alam
62
357.497,05
4.
Cagar Alam Laut
1
13.735,10
5.
Suaka Margasatwa
23
828.224,95
6.
Taman Hutan Raya
7
115.369,00
7.
Taman Wisata Alam
19
27.443,77
8
Taman Wisata Alam Laut
3
270.400,00
Jumlah
131
5.634.348,48
Sumber: Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (2005)
2.6. Pola Penggunaan Ruang -Habitat Pola penggunaan ruang merupakan keseluruhan interaksi antara satwa dengan habitatnya (Lindsay 1993). Wiersum (1973) menyatakan bahwa habitat merupakan kawasan yang terdiri atas berbagai komponen dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang biak satwa liar. Selanjutnya Alikodra (1997a) menyatakan bahwa komponen fisik penyusunan habitat tersebut terdiri atas air, udara, iklim, topografi, tanah dan ruang, sedangkan komponen biotiknya meliputi ve getasi, mikro fauna dan makro fauna serta manusia yang merupakan satu kesatuan dan berinteraksi satu dengan lainnya membentuk suatu habitat tertentu. Keadaan habitat tergantung pada faktor atau komponen penyusunnya serta interaksi antara komponen tersebut. Pada umumnya tipe habitat satwa liar digambarkan berdasarkan komunitas vegetasi, walaupun keberadaan komunitas vegetasi tersebut sangat ditentukan oleh komponen abiotik. Kawasan yang merupakan habitat dari suatu satwa dan mendukung kelangsungan hidupnya akan
ditemukan berbagai komponen yang dibutuhkan seperti pakan, tempat yang cocok untuk berkembang biak, berlindung, beristirahat, maupun kesesuaian dalam melakukan aktivitas sosial. Kesesuaian habitat tersebut berlainan antara spesies, dan suatu habitat yang baik bagi spesies tertentu belum tentu juga baik bagi spesies yang lain, karena setiap jenis satwa liar menghendaki kondisi habitat yang berbeda-beda Alikodra (1997a). Satwa liar menempati habitat tertentu yang sesuai dengan kondisi lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya. Walaupun kondisi habitat yang dibutuhkan berbeda antara jenis satwa liar namun demikian menurut Alikodra (1979) dan Bailey (1984) hal yang penting adalah habitat tersebut mampu menyediakan makanan, air, dan tempat berlindung. Selain ketiga komponen tersebut dibutuhkan oleh satwa liar untuk dapat hidup dan berkembang biak secara alami (Wiersum 1973 dan WWF 2005). Makanan dan air merupakan faktor pembatas bagi kehidupan margasatwa, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya artinya pertumbuhan populasi
sangat
ditentukan oleh jumlah
minimum dari faktor tersebut (Alikodra 1979). Habitat mempunyai peranan yang sangat
penting terhadap kelestarian
keanekaragaman hayati, oleh karena itu habitat dan ekosistemnya mendapat perhatian atau sasaran utama dalam konsentrasi spesies baik flora maupun fauna. Menurut Alikodra (1997a), habitat dipergunakan sebagai tempat
hidup
dan
berkembang biak oleh mahluk hidup termasuk satwa liar. Oleh karena itu untuk konservasi spesies baik flora maupun fauna, diperlukan satu kesatuan kawasan yang dapat menjamin segala keperluan hidupnya baik makanan, air, udara bersih, garam mineral, tempat berlindung, berkembang biak, maupun tempat untuk mengasuh anak-anaknya. Konservasi pada tingkat komunitas dalam habitat akan memungkinkan pelestarian sejumlah besar spesies, dalam kesatuan-kesatuan yang besar biasanya sulit dilaksanakan, mahal dan seringkali tidak berhasil. Secara tidak langsung, konservasi habitat akan memainkan peranannya dalam fungsi ekologis khususnya dalam mengatur perilaku sistem drainase air, terutama dalam menyekap air hujan dan air itu ditahan oleh hutan dan padang rumput sehingga mengalir ke luar lebih lambat dan merata ke dalam sistem sungai, mengurangi kecenderungan banjir pada
periode hujan lebat dan melepaskan air terus menerus
selama periode musim
kemarau (MacKinon et al. 1993). Dilihat dari peranan habitat, maka pelestarian habitat secara utuh merupakan cara yang paling efektif untuk melestarikan seluruh keanekaragaman hayati. Bahkan dapat dikatakan bahwa pelestarian habitat merupakan satu-satunya cara yang efektif untuk melestarikan spesies, terutama mengingat dalam situasi penangkaran, pengetahuan yang kita miliki hanya dapat menyelamatkan sebagian kecil saja spesies
yang ada di bumi. Menurut Primack et al. (1998), upaya
pelestarian keanekaragaman hayati tumbuhan dan satwa di kawasan konservasi dan zona inti taman nasional merupakan perlindungan percontohan perwakilan semua habitat utama termasuk perairan laut, bersama-sama dengan flora dan faunanya. Oleh karena itu peranan yang begitu besar terhadap konservasi tumbuhan, satwa beserta ekosistemnya, keutuhan dan keaslian dari suatu kawasan perlu dijaga dari gangguan agar prosesnya berjalan secara alami. Semua organisme memerlukan makanan sebagai sumber energi untuk dapat hidup dan berkembang biak dengan baik. Satwa liar
menggunakan perantara
organisme lain sesuai dengan posisinya dalam rantai makanan. Organisme yang makanannya beranekaragam akan lebih mudah menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya. Demikian pula sebaliknya, organisme yang makanan yang terbatas, akan sulit
mempunyai jenis
beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan
lingkungannya (Alikodra 1980). Padang pengge mbalaan (grazing area) merupakan salah satu komponen lingkungan yang mempunyai peranan sangat penting karena dapat menyediakan makanan bagi satwa liar dan juga sebagai tempat untuk melakukan aktivitas sosialnya (Alikodra 1979). Menurut Schroder (1976),
padang rumput
yang
merupakan padang pengembalaan atau grazing area, disamping sebagai tempat sumber makanan, juga merupakan sumber air bagi satwa liar. Air merupakan komponen habitat yang sangat dibutuhkan oleh satwa liar. Satwa liar memerlukan air untuk berbagai spesies, diantaranya digunakan untuk pencernaan makanan dan metabolisme, mengangkut bahan-bahan sisa, dan untuk mendinginkan dalam proses evaporasi. Demikian juga untuk mendapatkan air, jenis-jenis vertebrata liar memperoleh dari berbagai sumber, yaitu melalui air
bebas yang tersedia di danau, kolam, ataupun sungai, dan air yang terdapat pada parit-parit irigasi, bagian tanaman yang mengandung air, embun, dan air yang dihasilkan dari proses-proses metabolisme lemak maupun karbohidrat di dalam tubuh (Alikodra 1997a). Bila dikaji dari aspek ketergantungannya terhadap air, maka gajah termasuk golongan satwa water dependent spesies yaitu binatang yang memerlukan air untuk proses penghancuran makanan dan
memperlancar
proses pencernaannya. Pelindung atau cover juga merupakan salah satu komponen lingkungan yang
dapat
menjamin
berlangsungnya
berbagai
kegiatan,
dan
untuk
mempertahankan kehidupannya. Keberadaan pelindung sangat diperlukan karena peranannya sangat penting untuk melindungi kegiatan reproduksi dan berbagai kegiatan satwa liar lainnya (Alikodra 1997a). Struktur vegetasi hutan merupakan salah satu bentuk pelindung, yang menurut peranannya bagi kehidupan satwa liar merupakan tempat persembunyian (hiding cover) dan tempat penyesuaian terhadap perubahan temperatur (thermal cover). Di samping hal tersebut, menurut Alikodra (1979), pada umumnya pelindung atau cover mempunyai 2 fungsi utama yaitu sebagai tempat untuk hidup dan berkembang biak bagi margasatwa, dan juga sebagai tempat berlindung dari serangan predator. Pelindung dapat berupa pegunungan, hutan mangrove, padang rumput atau savana. 2.7. Daya Dukung Habitat Daya dukung lingkungan memiliki pengertian menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain (Sekretaris Negara 1997). Menurut Alikodra (2002), konsep daya dukung
sudah lama dikenal oleh para ahli biologi, peternak sapi, dan
pengelola satwa liar. Wiersum (1973) mendefinisikan daya dukung adalah banyaknya satwa yang dapat ditampung di suatu areal pada situasi dan kondisi tertentu. Menurut Dasman (1981), habitat hanya dapat menampung jumlah satwa pada suatu batas tertentu, sehingga daya dukung menya takan fungsi dari habitat. Jadi dalam hal ini penambahan dan penurunan populasi ditentukan oleh faktor habitat (makanan, air dan tempat berlindung)
Konsep daya dukung menurut Soemarwoto (1997), juga berarti besarnya kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan, hewan, yang dinyatakan dalam jumlah ekor per satuan luas lahan. Selanjutnya dikatakan bahwa jumlah hewan yang dapat didukung tergantung pada biomassa (bahan organik tumbuhan) yang tersedia untuk makanan hewan, sehingga
daya
dukung ditentukan oleh
banyaknya bahan organik tumbuhan yang terbentuk dalam proses fotosintesis per satuan luas dan waktu. Berdasarkan ukuran jumlah
individu
dari suatu spesies yang dapat
didukung oleh lingkungan tertentu, Dasman et al. (1977) mengelompokkan daya dukung menjadi 3 tingkatan, yaitu: 1. Daya dukung absolut atau maksimum, yaitu jumlah maksimum individu yang dapat didukung oleh sumberdaya pada tingkat sekedar hidup (disebut juga kepadatan subsistem) 2. Daya dukung pada saat jumlah individu berada dalam keadaan kepadatan keamanan
atau ambang
keamanan. Kepadatan keamanan lebih rendah
daripada kepadatan subsistem. Pada kepadatan tersebut, tingkatan populasi suatu spesies ditentukan oleh pengaruh populasi spesies lainnya yang hidup di lingkungan yang sama. 3. Daya dukung optimum, yaitu daya dukung yang menunjukkan bahwa jumlah individu berada dalam keadaan
kepadatan optimum. Pada
kepadatan tersebut, individu- individu dalam populasi mendapatkan segala keperluan
hidupnya
serta
menunjukkan
pertumbuhan
dan
perkembangbiakan yang baik. Besarnya daya dukung suatu habitat dapat dihitung melalui pengukuran salah satu komponen penyusun habitat. Susetyo (1980) mengemukakan bahwa pendugaan daya dukung suatu habitat dapat dilakukan dengan mengukur jumlah hijauan per hektar yang tersedia bagi satwa yang memerlukan. Menurut McIlroy (1964), untuk menghitung produktivitas hijauan pada padang rumput
dapat
dilakukan dengan cara pemotongan hijauan dari suatu luasan padang rumput sebagai sampel, menimbangnya dan dihitung produksi per luas per unit waktu. Menurut Susetyo (1980), hijauan yang ada di lapangan tidak seluruhnya tersedia bagi satwa, tetapi harus ada sebagian yang ditinggalkan untuk menjamin
pertumbuhan selanjutnya dan pemeliharaan tempat tumbuh. Bagian tanaman yang dapat dimakan satwa tersebut
disebut
berpengaruh terhadap proper use adalah
proper use dan faktor yang paling keadaan tofografi lapangan karena
sangat membatasi ruang gerak satwa. Selanjutnya dikatakan bahwa proper use lapangan datar dan bergelombang (kemiringan 0-5o ) adalah 60-70 persen, pada lapangan bergelombang dan berbukit (kemiringan 5-23o ) adalah 40-45 persen, dan pada lapangan berbukit sampai curam (kemiringan lebih dari 23o ) proper use adalah 25-30 persen. Alikodra
(2002) mengemukakan bahwa populasi, produktivitas, dan
penyebaran satwa liar sangat ditentukan oleh kuantitas dan kualitas habitatnya. Dasar-dasar konsep daya dukung dapat dipergunakan untuk melakukan analisis dan evaluasi habitat. Salah satu cara untuk menilai daya dukung, adalah perhitungan berdasarkan pola makan, yaitu: A= B x C D Dimana : A = jumlah satwa liar/hari yang dapat ditampung B = jumlah makanan yang tersedia (g) C = jumlah kandungan energi yang dapat dimanfaatkan untuk proses metabolisme yang terdapat di dalam makanan (kcal) D = jumlah energi yang diperlukan satwa liar per hari (kcal). Menurut Susetyo (1980), apabila daya dukung suatu kawasan dihitung per hari, maka dapat menggunakan rumus sebagai berikut: Daya dukung = A x B x C D Dimana : A = produksi hijauan/hari (g/hari) B = proper use (%) C = luas permukaan yang ditumbuhi pakan satwa (m2 ) D = kebutuhan makanan satwa/ekor/hari (kg/ekor/hari)
2.8. Penentuan Kepadatan Gajah Pengamatan
terhadap kepadatan populasi gajah di lapangan dilakukan
dengan menggunakan dua metode, yaitu: 2.8.1.Peng hitungan Langsung Penghitungan langsung menggunakan metode sensus seperti metode concentration count cara penghalauan, sistem alur, sensus dengan menggunakan pesawat udara, perahu, dan mobil (Alikodra 2002; Anonim 1994) untuk menghitung kepadatan populasi gajah yang ditemukan di lapangan. Penghitungan seluruh individu gajah juga dilakukan dengan bantuan teropong dan radio–tracking (Galanti et al. 2000). 2.8.2.Peng hitungan Tidak Langsung Penghitungan secara langsung dilapangan sering sulit dilakukan karena terdapat beberapa kendala yang acapkali ditemukan, antara lain: 1. Kerapatan vegetasi dan tutupan tajuk yang tinggi, sehingga akan berpengaruh terhadap hasil sensus 2. Pertemua n dengan kelompok gajah di lapangan sulit terjadi kecuali bila beruntung 3. Faktor lain seperti cuaca, kemiringan dan medan yang berat sering ditemukan Sehubungan dengan itu, dalam penghitungan kepadatan populasi gajah dilakukan pula pengamatan tidak langsung. Metode ini terdiri dari: a. Metode estimasi jumlah total kotoran yang ditinggalkan dalam satuan luas tertentu (Yanuar 2000; Obot et al. 2005) b. Metode estimasi kepadatan gajah dari hasil perkalian jumlah total kotoran dengan laju urai kotoran dibagi dengan laju produksi kotoran (Dekker et al. 1991; Dawson 1993) c. Estimasi jumlah kotoran atau kepadatan kotoran per km2 (Barnes 1996). Kepadatan populasi gajah baru dapat dihitung setelah laju urai kotoran diketahui, sedangkan laju produksi kotoran gajah Sumatera menurut Santiapillai dan Suprahman (1986), berkisar antara 16 – 18 kali per hari. Dengan demikian
jumlah gajah dalam satuan kilometer persegi dapat diketahui dengan menghitung dari rumus (Dekker et al. 1991; Dawson 1993; Barnes 1996; Laing et al. 2003). E = (N x LUK) / LPK Dimana: E
= jumlah gajah per km2
N
= jumlah kotoran per km2
LUK
= laju urai kotoran (hari)
LPK
= laju produksi kotoran (kali/hari)
2.9. Perilaku Gajah Sumatera 2.9.1. Perilaku Makan dan Minum Dalam sehari gajah dewasa menghabiskan waktu 18-24 jam untuk mencari makan (Altevogt dan Kurt 1975). Jenis makanan gajah meliputi: berbagai tumbuhan herba liar, daun muda, akar dan liana, rotan muda dan pucuk rotan, kulit kayu jenis-jenis pohon pada tingkat sapling, tunas bambu dan rebungnya serta daun muda, rumput buluh dan seluruh bagian pisang liar. Bila menjumpai sawah atau ladang, maka gajah akan memakan batang tebu, padi, buah-buahan di ladang, daun kelapa muda dan umbutnya, pisang, pepaya dan lain- lain tanaman muda. Seekor gajah Aceh dewasa ditaksir menghabiskan lebih dari 300 kg tumbuhan segar setiap harinya (Poniran 1974). Sumber pakan merupakan kebutuhan pokok atau komponen utama dalam suatu habitat untuk memenuhi kebutuhan hidup satwa (Ananthasubramaniam 1992). Ketersediaan pakan dipengaruhi oleh faktor lingkungan fisik habitat, seperti iklim dan tanah sebagai media pertumbuhan. Ketersediaan pakan yang cukup berpengaruh pada tingkat kesejahteraan satwa, sehingga dihasilkan satwa-satwa yang mempunyai daya reproduksi tinggi dan ketahanan terhadap penyakit yang juga tinggi. Menurut Alikodra (1979), tumbuh-tumbuhan yang dimakan gajah dapat dikenali dengan melihat patahan batang, patahan cabang, rengkuhan cabang, kupasan kulit, dorongan dan tusukan gading. Dalam hubungan dengan reproduksi, ketersediaan pakan dengan kualitas dan kuantitas yang cukup akan mempengaruhi fertilitas dan fekunditas satwa. Gajah Sumatera termasuk satwa herbivora sehingga membutuhkan ketersediaan
makanan hijauan
yang cukup di habitatnya (Barnes 1982). Gajah juga
membutuhkan habitat yang bervegetasi pohon untuk makanan pelengkap dalam memenuhi kebutuhan mineral kalsium guna memperkuat tulang, gigi, dan gading. Karena pencernaannya kurang sempurna, gajah dewasa dengan berat 3000-4000 kg, pada kondisi alami membutuhkan makanan yang sangat banyak, yaitu 200-300 kg hijauan segar per hari untuk setiap ekor gajah dewasa atau 5-10% dari berat badannya (WWF 2005; Altevogt dan Kurt 1975; Lekagul dan McNeely 1977). Dalam satu hari aktivitas gajah sekitar 16-18 jam, sebagian besar waktunya untuk makan (70-90%). Kebutuhan pakan gajah dapat di estimasi
berdasarkan biomassa dari
vegetasi. Dengan mengatahui jumlah biomassa di suatu habitat maka dapat diketahui berapa ekor gajah yang bisa ditampung. Menurut Sukumar (2003), kebutuhan gajah 1,5% bahan kering dari bobot badan per hari. Menurut taksiran Poniran (1974) seekor gajah Sumatera membutuhkan air minum sebanyak 20-50 liter/hari, tetapi menurut Lekagul dan McNeely (1977) kebutuhan minum gajah Thailand tidak kurang dari 200 liter per hari. Air termasuk komponen pakan, yang berfungsi dalam proses kimia dan fisik pencernaan makanan. Air dibutuhkan untuk menyejukkan tubuh karena adanya proses evaporasi di lingkungan yang panas. Sebagian besar satwa hidupnya sangat tergantung pada air dalam jumlah dan bentuk
ketersediaan sangat
bervariasi, tergantung kebutuhan satwa. Bahkan satwa liar utuk mendapatkan air di musim kering, punya bermacam- macam cara. Satwa-satwa yang mobilitasnya tinggi akan melakukan migrasi untuk mendapatkan air di musim kering, dan gajah yang kebutuhan airnya banyak, akan menggali dasar sungai kering, menyediakan air untuk kebutuhannya (Bailey 1984; Sukumar 1989). Sumber air merupakan komponen pendukung kehidupan di habitat gajah. Biasanya sumber air tersebut dalam bentuk air mengalir maupun air yang tergenang. Sumber-sumber air yang mengalir berupa sungai besar dan kecil, baik yang mengalir sepanjang tahun maupun yang mengalir hanya pada musim hujan. Sedangkan air yang tergenang, biasanya berupa rawa-rawa yang umumnya tidak pernah kering di musim kering. Sumber air tersebut digunakan oleh gajah sebagai air minum, mandi, berkubang dan berlumpur, serta media untuk membina
hubungan antar anggota kelompok (sosialisasi). Ketersediaan air ditentukan oleh faktor biotik dan faktor fisik lainnya. Ketika sumber-sumber air mengalami kekeringan, gajah dapat melakukan penggalian air sedalam 50-100 cm di dasardasar sungai yang kering dengan menggunakan kaki depan dan belalainya (WWF 2005). Gajah seperti herbivora lainnya, membutuhkan garam- garam mineral yang diperlukan dalam proses metabolisme tubuhnya dan melancarkan proses pencernaan makanan. Untuk memperoleh garam-garam mineral seperti; calcium, magnesium, dan kalium, gajah mengunjungi tempat-tempat tertentu yang disebut sebagai salt licks terutama pada saat atau sesudah hujan, dimana air tanah meluap menjadi keruh seperti susu. Jika tidak hujan, salt lick menjadi lebih keras dan untuk mendapatkan garam, gajah yang bergading akan menusuk /menggali dinding salt lick dengan gadingnya, atau bagi yang tidak bergading dengan cara menggaruk-garuk
tanah
dengan
kaki
dan
belalainya
atau
dengan
menumbuk/mendobraknya (Leckagul dan McNeely 1977). Ketersediaan salt lick di daerah jelajah gajah sangat menentukan tingkat kesejahteraan satwa ini. 2.9.2. Istirahat dan Pemeliharaan Tubuh Gajah tidak tahan panas terik matahari, bila siang hari umumnya dijumpai ditempat yang teduh (Lekagul dan McNeely 1977). Gajah dapat tidur sambil berdiri dengan telinga berkibas-kibas, kepala mengangguk-angguk dan
badan
bergoyang pelan-pelan, sedemikian sehingga berat badannya tidak menumpu pada satu pasang kaki dalam saat yang sama (Lekagul dan Mc Neely 1977). Tetapi gajah dapat juga tidur sambil berbaring pada satu sisi serta mengeluarkan bunyi dengkuran (Altevogt dan Kurt 1975). Gajah sering melakukan aktivitas berkubang pada kolam-kolam sampai air menjadi keruh (Lekagul dan McNeely 1977; Altevogt dan Kurt 1975). Berkubang merupakan cara mend inginkan suhu
tubuh dan melindungi kulit dari gigitan
serangga dan ekto parasit (Lekagul dan McNeely 1977). Selain itu gajah biasa menaburkan tanah ke punggungnya sendiri untuk menyembunyikan warna asli dan pemeliharaan kulit, sedangkan gading ditajamkan pada tebing sungai atau pada garam mineral yang keras (Lekagul dan Mc Neely 1977).
Pelindung (cover) didefinisikan sebagai struktur sumberdaya lingkungan yang
menyediakan fungsi- fungsi alami spesies yang dapat meningkatan daya
reproduksi dan/atau kelangsungan hidup satwa (Bailey 1984). Dengan demikian pelindung merupakan hal yang diperhitungkn dalam pemilihan habitat oleh satwa liar. Gajah Sumatera termasuk binatang berdarah panas sehingga jika kondisi cuaca panas pada siang hari setelah aktivitas makan biasanya
gajah akan
beristirahat. Untuk menghindari sengatan matahari langsung mereka mencari tempat-tempat yang rindang/naungan (thermal cover), yang bertajuk rapat untuk menstabilkan suhu tubuhnya agar sesuai dengan lingkungannya (WWF 2005). Selain itu untuk mengurangi panas di tubuhnya biasanya dia berkubang dan berlumpur. Setelah berkubang, aktivitas berikutnya adalah menggosok- gosokkan badannya di batang pohon untuk mengurangi rasa gatal di tubuhnya. Pohon-pohon yang dipakai untuk menggosok badannya (rubbing trees) akan terlihat jelas karena ada bekas lumpur yang menempel di tempat tertentu, yang biasanya cukup tinggi sesuai dengan tinggi gajah. 2.9.3.Perilaku Sosial Gajah 2.9.3.1. Organisasi Sosial Menurut Douglas Hamilton (1960) dalam Murray (1976) dasar organisasi sosial pada gajah Afrika di Lake Manyara National Park adalah unit keluarga yang terdiri dari induk dan anak-anaknya dengan dasar ikatan yang mutlak. Beberapa unit keluarga membentuk suatu kelompok dibawah pimpinan seekor betina (matriach). Asosiasi ini disebut dengan
kinship group, sifat ikatannya adalah
temporer. Gajah jantan muda yang mencapai dewasa kelamin dipaksa meninggalkan kelompok atau pergi dengan sukarela dan bergabung dengan kelompok jantan lain yang umumnya bersifat sangat tidak stabil (Sinaga 2000). Gajah betina muda tetap menjadi anggota kelompok unit keluarga dan bertindak sebagai “bibi pengasuh” pada
kelompok “taman kanak-kanak” atau
kindergartens (Altevogt dan Kurt 1975). Rata-rata kelompok gajah di hutan
hujan Malaysia dan Sumatera adalah: 5-6 ekor. Ukuran kelompok yang paling sering diamati adalah 3-5 ekor (Olivier 1978). 2.9.3.2. Perilaku Kawin Oestrus pada gajah betina dideteksi oleh gajah jantan dengan cara berkalikali memasukkan belalainya ke mulut setelah disentuhkan pada alat genetalia luar gajah betina. Kopulasi terjadi dalam waktu pendek, dengan cara gajah jantan menaiki betina dan meletakkan belalai dan gadingnya pada punggung betina (Altevogt dan Kurt 1975). Beberapa gajah jantan dewasa secara periodik mengalami perangai buruk yang disebut musth, sebagai akibat dari sekresi kelenjar temporal yang meleleh di pipi dengan warna hitam dan berbau merangsang. Kondisi ini sering dihubungkan dengan musim birahi (Altevogt dan Kurt 1975; Lekagul dan McNeely 1977). Masa kopulasi dan konsepsi dapat terjadi sepanjang tahun, namun ada bulan-bulan tertentu saat frekuensi perkawinan mencapai puncaknya, umumnya terjadi bersamaan dengan puncak musim hujan di daerah tersebut (Eltringham 1982). 2.9.3.3. Home Range, Teritori dan Agresifitas Daerah jelajah atau home range adalah wilayah yang secara teratur digunakan
oleh
kelompok
populasi
satwa
liar
untuk
melakukan
penjelajahan/perjalanan dalam upaya memenuhi kebutuhan pakan/minum dan pemenuhan kebutuhan lainnya. Satwa liar hidup pada suatu daerah jelajah dengan relung ekologi tertentu. Daerah jelajah suatu jenis satwa liar, tergantung dari karakteristik perilakunya (termasuk dengan kelompoknya), dan sifat kimia maupun fisik habitat (Moen 1973). Gajah Sumatera adalah mamalia besar yang mempunyai kebutuhan pakan dan air lebih banyak dibandingkan dengan mamalia herbivora lainnya. Untuk itu gajah membutuhkan daerah jelajah yang sangat luas. Daerah jelajah ini biasanya mencakup beberapa tipe vegetasi. Menurut perkiraan Santiapillai (1987), seekor gajah membutuhkan ruang seluas 680 hektar. Daerah jelajah (home range) sekaligus menyediakan pelindung (cover) bagi satwa liar yang berfungsi sebagai tempat mencari makan, bersembunyi, berlindung, menyediakan tempat untuk
aktivitas sosial, tidur, tempat kawin, dan tempat memelihara anak. Ukuran jelajah gajah Asia di hutan hujan Malaysia bervariasi antara 32,4-166,9 km2 (Olivier 1978). Wilayah jelajah unit-unit kelompok gajah di hutan- hutan primer mempunyai ukuran dua kali lebih besar dibanding dengan wilayah jelajah di hutan-hutan sekunder (WWF 2005). Wilayah jelajah (home range) gajah Sumatera
yang
dipertahankan minimum seluas 165 km2 pada hutan primer dan 60 km2 di hutan sekunder (Sinaga 2000). Teritori adalah wilayah tempat tinggal yang dipertahankan dari masuknya individu atau spesies lain (Alikodra 1997a). Gajah Asia dikenal sebagai satwa cinta damai. Apabila benar ada teritori, maka tampaknya lebih bersifat teritori kelompok (Eltringham 1982). Agresifitas antar gajah jantan sering terjadi untuk memperebutkan peck order dalam kelompok, perkelahian dilakukan dengan saling melilitkan belalai dan beradu gading, namun sering kali tidak mudah membedakan antara perkelahian sebenarnya dengan play fighting (Eltringham 1982). 2.9.3.4. Komunikasi dan Suara Komunikasi dilakukan dengan alat-alat: kibasan daun telinga, belalai, ekor, posisi dari kepala dan bau-bauan yang dikeluarkan oleh kelenjar temporal (Eltringham 1982).Apabila merasa marah gajah akan menarik telinganya tegang ke samping dan seperti menakut-nakuti. Gajah yang gembira akan mengangkat kepalanya tinggi-tinggi dan gajah yang takut akan menundukkan kepala pada gajah yang ditakuti (Lekagul dan McNeely 1977; Eltringham 1982). Gajah- gajah yang saling bertemu akan
saling menyentuh dengan
menggunakan belalainya pada punggung, ujung belalai atau mulut dan daerah sekitar alat genetalia individu lainnya. Suara terkeras yang dihasilkan oleh tiupan udara melalui belalainya adalah suara mirip suara terompet. Suara ini tampaknya lebih ditunjukkan pada spesies lain, saat gajah merasa senang, marah, terkejut, tersesat dari kelompok (Eltringham 1982). Suara gemuruh dari perut (tummy rumble) pada saat gajah makan mungkin merupakan upaya memelihara keutuhan kelompok. Suara erangan dan raungan pelan (growl and soft roar) biasa dikeluarkan saat dalam keadaan aman untuk
berkomunikasi dengan gajah lain yang tidak terlihat atau saat gajah merasa terganggu atau saat menjadi marah (Eltringham 1982). Menurut McKay (1973) dalam (Eltringham, 1982) gajah Asia biasa mengeluarkan 3 suara dasar, yaitu: mencicit dan memekik (squeak dan squeel), mengeram (growl) dan mendengus (snort). 2.10. Biomassa Pakan Gajah Biomassa atau standing stock adalah berat bahan organik per unit area yang ada dalam komponen ekosistem pada waktu tertentu. Biomassa umumnya dinyatakan dalam satuan berat kering (dry weight) dan kadang dinyatakan dalam ash free dry weight (Chapman 1986). Sedangkan menurut Brown (1997), biomassa didefinisikan sebagai jumlah total bahan organik hidup pada pohon yang dinyatakan dalam berat kering oven (BKO) ton per unit area. Biomassa adalah jumlah bahan hidup yang terdapat di dalam suatu atau beberapa jenis organisme yang berada di dalam habitat tertentu, biasanya dinyatakan dalam berat organisme per satuan luas habitat, yang dinyatakan dalam kg/m2 (Sukumar 2003). Berat bahan organik ini dinyatakan dalan satuan berat kering bebas abu (ash free dry weight). Biomassa dapat dibedakan menjadi dua yaitu biomassa di atas permukaan tanah (above ground biomass) dan biomassa di bawah permuakaan tanah (below ground biomass). Whitmore (1985) menyatakan
bahwa berat
kering
total dari suatu
komunitas tumbuhan, termasuk daun, cabang, batang dan akar disebut biomassa tumbuhan. Berat kering tersebut meningkat oleh proses
fiksasi karbon dari
atmosfir dalam fotosintesis. Biomassa hutan menyediakan penaksiran gudang karbon dalam tumbuhan hutan karena sekitar 50%-nya adalah karbon. Karena itu, biomassa menunjukkan jumlah potensial karbon yang dapat dilepas ke atmosfir sebagai karbondioksida ketika hutan ditebang dan/atau dibakar. Sebaliknya, melalui penaksiran biomassa dapat dilakukan perhitungan jumlah karbondioksida yang dapat dipindahkan dari atmosfer dengan cara melakukan reboisasi atau dengan penanaman (Brown 1997). Pengaruh pengelolaan hutan yang tidak bijaksana seperti pembukaan hutan dan perubahan penggunaan lahan akan mengakibatkan pengurangan biomassa
dalam jumlah yang sangat besar, yaitu ± 100 ton/ha di hutan dataran rendah dan 2 ton/ha di padang alang-alang. Kesuburan tanah dan zat-zat hara yang semakin menurun akibat eksploitasi biomassa tumbuhan secara berlebihan merupakan ancaman bagi kelestarian ekosistem hutan (Whitten et al. 1984). Biomassa tumbuhan yang semakin menurun akan mempengaruhi perubahan iklim. Perubahan iklim ini disebabkan karena hutan yang berfungsi untuk mengikat karbondioksida, berkurang jumlahnya. Peningkatan kadar CO2 akan menimbukan perubahan iklim secara nyata, terutama ik lim regional, yaitu dengan terjadinya peningkatan suhu sekitar 1 – 2 o C dan sebesar 10 % (Whitten et al.
menyebabkan penurunan curah hujan
1984). Pada
pohon
yang sudah dewasa,
pertumbuhan pohon dapat terhenti atau bahkan kehilangan biomassanya (Brown 1997). Biomassa bagian atas permukaan tanah dapat ditentukan secara langsung dengan cara mengukur berat basah dari bagian-bagian yang berbeda (batang pohon, dahan, ranting dan daun), kemudian menghitung berat kering oven dari sub sampel di laboratorium (Whitmore 1985). Berat kering oven pohon-pohon di atas permukaan tanah dapat diukur langsung dengan cara menebang pohon tersebut, mengoven seluruh bagiannya hingga kering dan kemudian menimbangnya. Tetapi, tidak realistis untuk mengerjakannya untuk semua data inventarisasi pohon. Oleh karena itu, solusi praktisnya adalah dengan menyusun suatu persamaan regresi berdasarkan data dari pohon-pohon yang ditebang. Fungsi yang digunakan seharusnya menggunakan dimensi pohon yang dapat diukur dengan mudah seperti diameter, dan tinggi pohon (Brown 1997). Brown dan Lugo (1982,1984) dalam Brown, Gillespie dan Lugo (1989) telah membuat dua cara penaksiran biomassa total (bagian atas dan bawah permukaan tanah) untuk hutan tropis dari dua sumber data yang berbeda. Untuk penaksiran pertama, Brown dan Lugo memperoleh data dari literatur untuk biomassa total hutan tropis yang ditaksir dengan pengukuran langsung pada plotplot percobaan (dengan teknik destruktif atau dengan persamaan diperoleh dari pohon-pohon yang
regresi yang
ditebang). Dalam analisis kedua, mereka
menggunakan data yang dilaporkan oleh berbagai negara untuk semua tipe hutan.
Volume kayu komersial dikonversi
ke dalam total above-ground
biomass
(TAGB) yang menggunakan kerapatan kayu rata-rata dan faktor ekspansi. Nilai biomassa bagian atas permukaan tanah pada negara-negara tropis Asia (Tabel
2). Setelah persamaan dibangun, dapat dilakukan perhitungan berat
biomassa dengan menggunakan berbagai dimensi pohon yang diperlukan dari tegakan yang ada dalam wilayah contoh (Chapman 1986). Tabel 2 Nilai biomassa bagian atas permukaan tanah pada negara-negara tropis Asia Negara Tipe Hutan Iklim Secara Biomassa Bagian Umum Atas Permukaan Tanah (ton/ha) Bangladesh Closed-large Lembab 210 crowns Closed-small Lembab 150 crowns Disturbed closed Lembab 190 Disturbed open Lembab 85 Bangladesh Closed-large Lembab 206 crowns Closed-small Lembab 162 crowns Cambodia Dense Lembab 295 Semi-dense Lembab 370 Secondary Lembab 190 Open Lembab 160 Open Kering 70 Cambodia Well to poorly Lembab 100-155 stocked evergreen Deciduous Lembab 120 India High to low Kering 44-81 volume closed Forest fallow Kering 16 Philippines Old growth Lembab 370-520 dipterocarp Logged Lembab 300-370 dipterocarp
Tabel 2 (Lanjutan). Negara
Srilanka
MalaysiaPeninsular (National)
MalaysiaSerawak
Tipe Hutan
Iklim Secara Umum
Evergreen-high yield Evergreenmedium yield Evergreen-low yield Evergreen- logged Secondary Superior to moderate hill Poor hill Upper hill Disturbed hill Logged hill Forest fallow Freshwater swamp Disturbed freshwater swam Logged freshwater swam Mixed dipterocarpsdense Stocking, flat to undulating terrain Mixed dipterocarpsdense Stocking, mountainous Mixed dipterocarpsmedium Stocking, flat to mountainous
Lembab
Biomassa Bagian Atas Permukaan Tanah (ton/ha) 435-530
Lembab
365-470
Lembab
190-400
Lembab Lembab Lembab
255 280 245-310
Lembab Lembab Lembab Lembab Lembab Lembab
275 200 180 140 220 285
Lembab
185
Lembab Lembab
325-385
Lembab
330-405
Lembab
280-330
Sumber: Brown (1997)
Persamaan empiris untuk menduga biomassa total diperoleh dari bentuk polynom Y = a + b D + c D2 + d D3 , atau dengan fungsi pangkat: Y = a Db. Persamaan yang dikembangkan oleh Brown (1997) did asarkan pada diameter (D) setinggi dada (1,3 m); tinggi pohon (H); dan specific gravity/s (g cm-3 ) (Tabel 3) digunakan dalam pendugaan biomassa ini. Fungsi allometrik untuk perhitungan
biomassa
pohon dan tiang menurut Kira et al. (1989) dalam Prasetyo et al.
(2000) disajikan pada Tabel 4. Beberapa persamaan terpisah tersebut dibuat untuk hutan tropika berdasarkan perbedaan rezim curah hujan, yaitu: kering dengan curah hujan < 1500 mm per tahun, lembab dengan curah hujan antara 1500 – 4000 mm per tahun, dan basah dengan curah hujan > 4000 mm per tahun. Tabel 3 Hubungan allometrik untuk pendugaan biomassa berdasarkan diameter pohon (D > 5 cm) dan tinggi Zona Wilayah Persamaan Kisaran Diameter Jumlah (Curah Hujan, (Y=biomassa (cm) Pohon mm/tahun) pohon, kg/pohon, D = DBH; H = height, m) Kering (< 1500 Y=0,139 D 2,.32 5-40 28 mm) Lembab (1500Y=42,69 – 12,8D 5-148 170 2 4000 mm) + 1,24 D Alternatif Y= 0,118D2,53 5-148 170 2,60 Y=0,092D 5-148 170 Basah (> 4000 Y=21,34-112 169 2 mm) 6,95D+0,74D Y=0,037D1,89H 4-112 169 Sumber:Hairiah et al. (1999)
Tabel 4 Fungsi allometrik untuk perhitungan biomassa pohon dan tiang Bagian-bagian pohon Berat batang (BB)
Persamaan 0,0396 (D2 H)0,9326
Berat cabang
0,006002 (D2 H)1,027
Berat cabang untuk tiang
0,003487 (D2 H) BB
Berat daun Berat daun untuk tiang Berat akar
13,75 + 0,025 BB 2,5 + 0,025 BB 0,0264 (D2 H)0,775
Sumber: Kira et al. (1989) dalam Prasetyo et al. (2000) Keterangan: Berat= kg, D=diameter (cm), H= tinggi (m), BB=berat batang
Berdasarkan jenis-jenis vegetasi yang di makan gajah, Zahrah (2002) menemukan jenis-jenis pakan gajah Sumatera termasuk dalam lebih dari 20 suku antara lain:
Poaceae dan Cyperaceae. Jenis rumput pakan gajah yang ditemukan di lokasi penelitian adalah suku
Cyperaceae adalah
rumput
kerisan (Carex
fragrans), sedangkan lainnya adalah dari suku Poaceae, yaitu Cynodon dactylon, Sporobulus
diander,
Pennisetum
purpureum,
Eleusine
indica,
axonopus
compressus, Setaria palmifolia, Imperata cylindrica, polytrias praemorsa, Brachiaria mutica, Brachiaria reptans, dan Saccharum spontaneum. Meskipun gajah memakan hampir semua jenis rumput, namun jenis rumput yang paling disukai gajah adalah jenis rumput yang besar seperti gelagah (Saccharum spontaneum). Palmae. Seperti halnya kelapa sawit (jenis tanaman perkebunan), gajah juga sangat menyukai tumbuhan sejenisnya. Palem Sang Datuk (Jonnesteijsmannia altifrons) dan Palem Sang Minyak (Jonnesteijsmannia sp.) adalah pakan yang disukai gajah terutama bagian daun dan batangnya. Jonnesteijsmannia altifrons berdaun lebar dan berbentuk lipatan-lipatan (seperti halnya Palem payung) termasuk tumbuhan yang dilindungi mengingat kisaran penyebarannya sempit. Daunnya dapat digunakan sebagai atap rumah, karena lebar dan cukup kuat. Jenis lain dari suku Palem yang juga disukai gajah adalah Aren (Arenga sp) yang bagian umbutnya menjadi santapan gajah. Arecaceae. Jenis pohon
dari suku ini bagian batangnya merupakan
makanan yang paling disukai gajah. Jenis tumbuhan ini batangnya berduri seperti: rotan (Callamus sp.), salak hutan (Salacca affinis), Kumbar dan palas duri (Licuala spinosa). Moraceae. Tumbuhan dan suku ini ditemukan sebagai pakan gajah diantaranya adalah jenis Ficus lepicarpa dan Ficus asperiuscula yang oleh gajah tumbuhan ini di pilih bagian buah dan kulit batangnya. Suku yang sama, yaitu Arthocarpus elasticus dan Arthocarpus komendo, buahnya sangat disukai gajah. Euphorbiaceae. Kulit batang suku ini, yaitu jenis Mallotus paniculatus dan Macaranga sp sering dijumpai terkupas dari batangnya. Diduga gajah hanya memakan kulit batang dari jenis-jenis ini. Mimosaceae. Batang dari tumbuhan Mimosa pudica dan Mimosa pigra yang berduri dipilih oleh gajah untuk menjadi santapannya. Jenis lain dari suku ini
adalah
Pithecellobium ellipticum (jengkol utan) dan
Pithecellobium jeringa
(jering), menurut informasi akar dan kulit batangnya dimakan oleh gajah. Zingiberaceae. Jenis-jenis tumbuhan dari bagian umbinya untuk dimakan diantaranya
suku ini dipilih oleh gajah
adalah
Amomum foetus (bili),
Elasteriospermum tapos (tepos), dan Nicolaia speciosa (kecombrang). Jenis-jenis ini membentuk rumpun yang cukup padat, sehingga di beberapa tempat kadang menjadi dominan. Dilleniaceae.Buah dari Dellenia sp (mampre) yang berasa asam dan kelat (sepat) sangat disukai gajah. Buah berbentuk bulat, berwarna hijau muda sampai hijau kekuningan, kulitnya tebal dan berserat. Tumbuhan jenis ini dijumpai pada tingkat pohon dengan batang yang coklat kemerahan menyerupai warna batu bata. Musaceae. Beragam jenis pisang hutan (Musa spp). Buah dan pelepah pisang hutan merupakan pakan kesukaan gajah. Jenis-jenis Liana. Ada beberapa jenis liana yang sangat disukai bagian batangnya oleh gajah, antara lain akar daging dan Phaneara finlaysoniana. Jenisjenis ini banyak ditemukan ditipe vegetasi hutan sekunder tua dan hutan primer. 2.11. Tekanan Penduduk dan Persepsi Masyarakat Manusia dalam lingkungan hidup alami, merupakan unsur lingkungan yang mempunyai kedudukan yang sama dengan makhluk lainnya, baik terhadap unsur biotik maupun abiotik. Semua unsur-unsur lingkungan hidup alami, bersama-sama bertanggungjawab dan berfungsi menopang kehidupan yang ada di bumi. Manusia yang merupakan bagian integral dari ekosistem perlu menjalin hubungan yang selaras, serasi dan seimbang dengan unsur-unsur lingkungan hidup lainnya agar tercapai kesejahteraan dalam hidupnya (Soerjani et al. 1987). Hubungan manusia dengan lingkungannya selalu dilakukan secara timbal balik dalam arti bahwa semakin baik sikap manusia dan perlakuannya terhadap lingkungan, maka semakin meningkat pula lingkungan tersebut dalam mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Zen (1980) menyatakan bahwa agar manusia dapat hidup selaras dan serasi dengan alam, maka manusia harus belajar menghormati alam. Sebenarnya manusia dengan lingkungannya berada dalam satu sistem dan masing- masing unsur saling
tergantung untuk melaksanakan fungsinya. Kedua tidak dapat berdiri sendiri, namun merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan. Demikian pula interaksi antara masyarakat dengan kawasan hutan telah berlangsung cukup lama, karena hutan merupakan sumberdaya yang telah memberikan banyak manfaat untuk menopang kehidupan masyarakat. Hutan dan masyarakat sejak awal peradaban ditandai oleh adanya hubungan saling ketergantungan karena hutan merupakan sumber bahan kehidupan dasar manusia seperti kebutuhan akan air, energi, makanan (karbohidrat, protein, vitamin, mineral), udara bersih dan perlindungan. Sejak dahulu hutan merupakan salah satu sumberdaya tumpuan hidup manusia, dan hutan juga merupakan sumber bahan bangunan dan sekaligus sebagai tempat tinggal, sehingga hutan memiliki fungsi yang penting dalam kehidupan. Menurut Mubiyarto (1993), masyarakat yang tinggal di sekitar hutan memandang hutan yang ada di sekitarnya selain sebagai sumber kehidupan, juga hutan dapat dimanfaatkan sebagai lahan atau cadangan lahan dalam berladang/berkebun. Semakin besarnya jumlah manusia, maka akan menyebabkan semakin bertambah pula eksploitasi akan sumberdaya alam khususnya sumberdaya hutan sehingga
terhadap
persediaan sumberdaya lahan hutan semakin
berkurang. Menurut Seymour dan Fisher (1987), aspek kelangkaan luas lahan hutan sebagai akibat tekanan penduduk terhadap sumberdaya hutan baik secara ekonomi, sosial, dan ekologi, nampaknya masih terkait erat dengan tingginya permintaan akan sumberdaya lahan di pedesaan. Kondisi tersebut, selain menyebabkan berkurangnya sejumlah hasil hutan yang merupakan sumber pendapatan bagi masyarakat, juga akan menyebabkan terjadinya kerusakan pada hutan sebagai akibat pembukaan hutan oleh masyarakat. Bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan yang memiliki tingkat ketergantungan terhadap hasil hutan, berkurangnya hasil hutan dan kerusakan
hutan
dapat
menimbulkan
perubahan
yang
mendasar
dalam
kehidupannya, seperti perubahan dalam kehidupan sosial ekonominya. Menurut Hadi (1994), perubahan sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan yang kurang baik akan menyebabkan kemiskinan sehingga akan menyebabkan berbagai masalah terhadap hutan, yaitu di antaranya menyempitnya luas kawasan
hutan sebagai akibat penyerobotan areal hutan untuk keperluan pertanian atau perladangan, dan hutan menjadi rusak atau gundul karena terjadinya perambahan hutan dan penebangan liar guna keperluan untuk mendapatkan kayu bakar atau hasil hutan lainnya guna dijual untuk menambah penghasilan. Lebih lanjut Hadi (1994) menjelaskan bahwa masyarakat yang tinggal di kawasan hutan yang memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap hutan, kerusakan hutan
akan memberikan dampak dalam kehidupan sosial ekonomi
mereka seperti perubahan mata pencaharian, pendapatan,
dan pola hidupnya.
Adapun dampak langsung maupun tidak langsung yang ditimbulkannya adalah hilangnya sumber kehidupan atau mata pencaharian penduduk di sekitar hutan; terjadinya perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat terutama dalam sikap dan pola kehidupan; lapangan pekerjaan akan semakin sempit; produksi dan pendapatan industri perkayuan menurun; dan terganggunya fungsi hidrologis hutan. Menurut Soekmadi (1987), ada beberapa
faktor
yang
menyebabkan
terganggunya interaksi antara masyarakat dengan kawasan hutan, yaitu tingkat pendapatan masyarakat di sekitar hutan yang rendah; tingkat pendidikan masyarakat yang rendah; dan laju pertambahan penduduk yang tinggi. Yuadji (1981) menyatakan bahwa faktor
jumlah penduduk
dan sosial
ekonomi masyarakat berpengaruh langsung terhadap kemampuan daya dukung suatu kawasan. Demikian pula dinamika sistem sosial ekonomi dan budaya suatu masyarakat ditentukan oleh kondisi ekosistem atau lingkungan tempat masyarakat tersebut berinteraksi serta masukan dari sistem lain di luar sistem sosial-ekonomi dan budayanya. Keterkaitan atau interaksi antara masyarakat dengan kawasan hutan telah berlangsung lama, maka dalam pertimbangan kemanfaatan sumberdaya hutan, baik untuk kepentingan pelestarian maupun untuk kebutuhan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang bermukim di sekitar hutan, karakterisasi sistem sosial serta tipe-tipe ekonomi yang mendasari dan yang timbul dari aktivitas interaksinya sangat diperlukan sebagai pertimbangan mendasar dalam kebijakan pengelolaan (Tatuh 1988). Dengan adanya pertumbuhan penduduk, luas lahan pertanian makin lama makin kecil sehingga akhirnya tidak cukup lagi untuk keperluan hidupnya. Untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya para petani dan anggota keluarganya
mencari pendapatan tambahan dengan berburuh, berdagang dan lain usaha. Cara lain lagi ialah dengan memperluas lahan garapannya, seiring dengan merambah lahan kehutanan atau lahan negara. Alternatif lain ialah bermigrasi ke kota. Gaya yang mendorong penduduk desa untuk memperluas lahan garapannya atau untuk bermigrasi guna mencari
sumber
pendapatan baru merupakan kriteria dari
tekanan penduduk (Soemarwoto 1992). Meningkatnya jumlah penduduk menjadi tantangan bagi kelestarian Taman Nasional
Kerinci
Seblat
(TNKS)
karena
bertambahnya
penduduk
akan
mengakibatkan bertambahnya lahan yang akan digarap guna mencukupi kebutuhan pangan serta meningkatnya kebutuhan lahan untuk pemukiman. Semuanya itu membawa dampak pada lingkungan di sekitar TNKS (Barlian 2000). Dalam upaya pelestarian lingkungan TNKS diperlukan peranserta masyarakat. Murray (1967) dalam Barlian 2000) menyatakan
peranserta masyarakat dipengaruhi oleh
beberapa hal, antara lain:tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan penghasilan. Menurut Harun (1995), peranserta masyarakat dipengaruhi banyak faktor, antara lain: pengembangan organisasi sosial, pendidikan dan tingkat pengetahuan, serta tingkat kesadaran masyarakat terhadap lingkungan. Peran serta mengandung arti ”keikutsertaan” (Westra 1980). Khairuddin (1992) mengartikan peran serta sebagai “ ambil bagian dalam suatu tahap atau suatu proses”. Davis (1989) dalam Barlian (2000), menyatakan bahwa peranserta adalah keterlibatan mental, fisik, dan emosional orang dalam mencapai tujuan. Dengan demikian perenserta adalah keterlibatan fisik, pikiran dan perasaan dari masyarakat untuk memberikan kontribusinya dalam
hal perencanaan dan pelaksanaan
pengelolaan pelestarian lingkungan. 2.12. Sistem Pemodelan Pendekatan sistem didefinisikan sebagai suatu metodologi penyelesaian masalah yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif. Permasalahan tersebut dapat dalam bentuk perbedaan kepentingan (conflict of interest)
atau
keterbatasan sumberdaya (limited of
resources). Dalam pendekatan sistem umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu: (1)
mencari semua faktor penting yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah, dan (2) dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional (Eriyatno 2003). Sistem
merupakan suatu kumpulan dari berbagai bagian-bagian yang
berinterkasi menurut proses (Odum 1983). Analisis sistem adalah studi mengenai sistem atau organisasi dengan menggunakan metoda ilmiah sehingga dapat dibentuk konsepsi dan model yang dapat digunakan sebagai dasar pengelolaan untuk mengadakan perubahan-perubahan, serta menentukan kebijakan, strategi dan taktik (Soerianegara 1978). Analisis sistem mencoba mengindentifikasi sifat-sifat makro dari suatu sistem yang merupakan perwujudan adanya interaksi di dalam dan di antara subsistemnya, menjelaskan interaksi atau proses-proses yang berpengaruh pada sistem secara keseluruhan yang diakibatkan adanya berbagai masukan, serta menduga apa yang mungkin terjadi pada sistem jika beberapa faktor berubah. Kendall dan Kendall (1992) menyatakan bahwa analisis sistem dilakukan melalui beberapa tahap, yaiu: 1) mengidentifikasi masalah, peluang dan tujuan; 2) menentukan informasi yang dibutuhkan; 3) menganalisis kebutuhan sistem; 4) merancang
sistem
yang
direkomendasikan;
5)
membangun
dan
mendokumentasikan sotfware; 6) menguji dan membangun sistem; dan 7) menerapkan dan mengevalusi sistem. Menurut Rouse dan Boff (1987), sistem adalah suatu gugus atau sekumpulan dari elemen yang terintegrasi dan terorganisir untuk mencapai tujuan, sedangkan Eriyatno (2003), mendefinisikan sistem sebagai suatu bentuk atau struktur yang memiliki lebih dari dua komponen yang saling berinteraksi secara fungsional. Pemodelan merupakan suatu rangkaian aktivitas pembuatan model, sedangkan model adalah suatu penggambaran abstrak dari sistem dunia nyata (riil), yang akan bertindak seperti dunia nyata untuk aspek-aspek tertentu. Model dikelompokkan menjadi 3 jenis yaitu model kuantitatif, kualitatif dan ekonik (Aminullah 2003). Model yang baik akan memberikan gambaran perilaku dunia nyata sesuai dengan permasalahan dan akan meminimalkan perilaku yang tidak signifikan dari sistem yang dimodelkan.
Model merupakan suatu abstraksi atau penyederhanaan dari suatu sistem Winardi (1989). Menurut Eriyatno et al. (1990) suatu sistem pada umumnnya dapat dimodelkan. Model- model suatu sistem umumnya lebih sederhana dari arti sesungguhnya, sedangkan pemodelan adalah bentuk pengembangan dari analisis keilmuan dengan berbagai alat dan cara. Melalui pemodelan akan dapat disederhanakan permasalahan
yang dihadapi dalam dunia nyata dengan cara
mengambil fungsi- fungsi yang penting dari suatu sistem yang dimodelkan. Soerianegara (1978), mengemukakan bahwa dalam pembuatan model simulasi suatu sistem, maka pengelolaan sumberdaya alam suatu wilayah dapat digambarkan dalam bentuk masukan-luaran (input-output). Sebagai masukan adalah faktor lingkungan fisik, biologi, sosial ekonomi, budaya, kebijakan pemerintah, cara pengolahan lahan (teknologi), sarana produksi, modal dan tenaga kerja, yang kemudian melalui suatu proses tertentu (black box) yang menghasilkan luaran berupa barang dan jasa. Hasil dari proses pengelolaan yang berupa luaran tersebut dapat merupakan umpan balik bagi pengambil keputusan dan pelaku pengelolaan sumberdaya alam untuk mengendalikan sistem sesuai dengan tujuan tertentu. Suatu model yang baik akan menggambarkan dengan baik segi tertentu yang penting dari perilaku dunia nyata, dan untuk membantu dalam mengenali struktur dan perilaku sistem, digunakan model grafik yang terdiri atas diagram sebab akibat (causal loop,) diagram kotak hitam (black box), dan diagram alir (flow chart). Simulasi adalah suatu pendekatan masalah dengan menggunakan modelmodel. Eriyatno (2003) menyatakan simulasi adalah suatu aktivitas
dimana
pengkaji dapat menarik kesimpulan-kesimpulan tentang perilaku dari suatu sistem, malalui
penelaahan perilaku model yang selaras, dimana hubungan sebab-
akibatnya sama dengan atau seperti yang ada pada sistem yang sebenarnya. Melalui model simulasi dapat dilakukan eksperimentasi terhadap suatu sistem
atau ekosistem tanpa harus mengganggu atau mengadakan perlakuan
terhadap sistem yang diteliti, dan kegagalan yang sering dialami pada eksperimen tidak akan dialami. Analisis simulasi diperlukan pengetahuan tentang nilai numerik dari aliran input, output dan parameter (Soerianegara 1978). Eriyatno (2003)
mengemukakan bahwa dengan berkembangnya penggunaan komputer maka penerapan simulasi dengan sistem-sistem yang rumit lebih memungkinkan. Seringkali kita tak mungkin melakukan eksperimentasi terhadap sistem yang sebenarnya, sehingga harus menggunakan simulasi. Misalnya
kehutanan
memang dapat disurvei dan diselidiki tetapi tak dapat dimanipulasi untuk penelitian biasa, sehingga harus digunakan simulasi. Dengan analisis sistem kita dapat melakukan penelitian yang bersifat multi atau interdisiplin dan terintegrasi yang seringkali tak mungkin dilakukan dalam keadaan sebenarnya (Eriyatno 2003). Dari segi efisiensi dan fisibilitas, analisis sistem dapat dilakukan dalam waktu yang singkat, biaya yang relatif murah dengan hasil yang meyakinkan. Walaupun
analisis sistem dan simulasi sudah jelas
berguna, tetapi
kegunaannya tergantung pada persyaratan berikut (Soerianegara 1978): 1. Model harus merupakan gambaran yang ”sah” tentang sistem sebenarnya yang diteliti, jadi harus realistik dan informatif. 2. Model harus cukup sederhana agar dapat mudah di ”kelola”. 3. Bagaimanapun bagusnya model, ia tetap merupakan distorsi dari sistem yang sebenarnya. Oleh karena itu harus digunakan dengan cukup waspada dan seksama. Untuk melakukan simulasi dari sebuah model, diperlukan perangkat lunak (software) yang secara cepat dapat melihat perilaku (behavior) dari model yang telah dibuat. Ada beberapa macam perangkat lunak yang dapat digunakan untuk keperluan ini, salah satu nya adalah
perangkat lunak
berupa program yang
dinamakan Powersim (Muhammadi et al. 2001). Powersim digunakan untuk membangun dan melakukan simulasi suatu model dinamik (Powersim 2003 dan Moxnes 2003). Suatu model dinamik adalah kumpulan dari variabel- variabel yang saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya dalam suatu kurun waktu. Model yang dibangun berbentuk simbol-simbol dan simulasinya
mengikuti suatu
metode yang dinamakan dinamika sistem
(system dynamics) yang telah dikembangkan pada sekitar awal 1960an. Setiap variabel berkorespondensi dengan suatu besaran yang nyata atau besaran yang dibuat sendiri. Semua
variabel tersebut memiliki nilai numerik
dan
sudah
merupakan bagian dari dirinya (Muhammadi et al. 2001). System dynamics adalah suatu metodologi untuk mempelajari permasalahan di sekitar kita. Tidak seperti metodologi lain, yang mengkaji permasalahan dengan memilahnya menjadi bagianbagian yang lebih kecil, system dynamics melihat permasalahan
secara
keseluruhan. Konsep utama system dynamics adalah pemahaman tentang bagaimana semua objek dalam suatu sistem saling berinteraksi satu sama lain (Rouse dan Boff 1987). Uji ketelitian dan nilai parameter dugaan komponen sistem, digunakan teknik analisis kepakaan (sensitivity analysis). Perubahan pada setiap parameter akan di respon oleh sistem tersebut. Apabila responnya kecil, dikatakan sistem tidak sensitif terhadap nilai parameter tersebut dan sebaliknya. Odum (1983) menjabarkan bahwa analisis sistem merupakan suatu cara mengorganisasikan data dan informasi secara teratur dan logik menjadi model- model yang kemudian diikuti dengan berbagai uji dan eksplorasi dari
model- model tersebut untuk
meningkatkan validasi model. Tujuan utama dalam analisis sensitivitas adalah untuk menentukan peubah keputusan mana yang cukup penting untuk ditelaah lebih lanjut pada aplikasi model (Eriyatno 2003). Peubah keputusan ini dapat berupa parameter rancang bangun atau input peubah keputusan. Sensitivitas model diperoleh dengan melakukan simulasi pada model yang telah dibuat secara berkali-kali. Simulasi dilakukan dengan mengubah nilai pada beberapa parameter yang dinilai mempengaruhi model (Eriyatno 2003). Dalam hal ini parameter dapat dikelompokkan kedalam dua kelompok, yaitu
parameter
penentu (decision parameter) dan parameter indikasi (indicator parameter). Parameter penentu adalah parameter yang memiliki peranan dalam menentukan hasil simulasi model (dalam hal ini dapat berupa konstanta maupun auxiliary) sedangkan parameter indikator adalah nilai yang dapat dilihat dan dinilai dari hasil simulasi dengan mengadakan perubahan pada beberapa parameter penentu. Untuk melihat hasil pengujian parameter tersebut yang telah disimulasikan dilakukan dengan melihat hasil dalam bentuk tabel maupun grafik (Eriyatno 2003). Hasil dalam bentuk grafik akan lebih mudah melihat hasil simulasi. Suatu parameter dikatakan tidak sensitif (ts) jika perubahan pada nilai parameter penentu
tidak jauh berbeda dengan peningkatan dari hasil simulasi terhadap parameter indikator. Sedangkan jika perubahan parameter penentu mengakibatkan perubahan yang sangat besar pada parameter indikator, maka parameter penentu tersebut dikatakan sensitif (s). Ukuran untuk menilai apakah perubahan nilai tersebut sensitif atau tidak sensitif, maka dapat didasarkan pada perubahan pada parameter indikator berdasarkan perubahan nilai parameter penentu. Jika parameter penentu dinaikan sebanyak 50% dan perubahan nilai pada indikator parameter meningkat jauh melebihi 50% maka dikatakan bahwa parameter penentu tersebut sensitif pada parameter indikator tertentu. Sedangkan jika perubahan dilakukan pada parameter penentu dinaikkan dan diturunkan tidak memberikan perubahan yang sangat besar terhadap parameter indikator, dikatakan bahwa parameter penentu tersebut tidak sensitif pada parameter indikator tertentu. 2.13. Teknik Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan sistem berdasarkan komputer yang terorganisir dari perangkat keras (hardware), perangkat lunak (soft ware) data geografi dan pengguna yang dirancang untuk menangani data yang bereferensi geografi atau tempat dipermukaan bumi. Data geografis tersebut disimpan, diperbaiki, dimanipulasi, dianalisa, disajikan dan dijelaskan untuk keperluan pengambilan keputusan (Prahasta 2001). Secara definisi Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat dipandang dari berbagai segi pendekatan, meliputi; Pendekatan proses (process oriented approach), pendekatan kegunaan alat (toolbox approach), pendekatan data base (data base approach) dan pendekatan aplikasi (application approach). Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu teknik yang mempunyai kemampuan sebagai pangkalan data yang selalu dapat diperbaharui dan ditambah isinya sedemikian rupa sehingga data tersebut bisa dipilih untuk dipergunakan
bagi
berbagai
kepentingan
dalam
suatu
perencanaan
atau
pengambilan keputusan. Di dalam SIG data disimpan dalam dua bentuk yaitu data spasial dan data atribut. Apabila dilakukan analisis maka data spasial dan data
atribut yang
tersimpan
secara terpisah ini diintegrasikan (MacGuire dan
Goodchild 1991). Berdasarkan kemampuan SIG yang dapat diandalkan tersebut, sehingga SIG banyak digunakan untuk pengambilan keputusan dalam suatu perencanaan. Menurut Rusli (1998), apabila menggunakan penginderaan jauh
data yang diperoleh dari analisa
yang menghasilkan citra satelit dan foto udara yang dapat
dihubungkan secara langsung, maka data diperoleh dari periode tertentu yang pada area yang sama, dipakai untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada suatu roman permukaan bumi. Data
yang direkam adalah keadaan nyata, sehingga
proses pengolahan input data menjadi output data adalah suatu rangkaian yang dimulai dari keadaan nyata, direkam dalam bentuk citra, foto udara dan peta kemudian dengan fasilitas SIG data disimpan dan diolah untuk menghasilkan output berupa informasi yang digunakan dalam
pengambilan keputusan bagi
pengguna untuk melakukan kegiatan pada keadaan yang nyata. Prahasta (2001) menguraikan SIG berdasarkan definisi-definisi yang telah berkembang menjadi beberapa subsistem berikut : 1. Data
Input.
Subsistem
ini
bertugas
untuk
mengumpulkan
dan
mempersiapkan data spasial dan atribut dari berbagai sumber. Subsistem ini pula yang bertanggungjawab dalam mengkonversi atau mentransformasi format-format data aslinya kedalam format yang dapat digunakan SIG 2. Data Output.
Subsistem ini menampilkan atau menghasilkan keluaran
seluruh atau sebagian basis data baik dalam bentuk softcopy maupun hardcopy seperti: table, grafik, peta dan lain- lain. 3. Data Management. Subsistem ini mengorganisasikan baik data spasial maupun atribut kedalam sebuah data sedemikian rupa sehingga mudah dipanggil, di-update, dan di -edit. 4. Data Manipulation dan Analysis. Subsistem ini menentukan informasiinformasi yang dapat dihasilkan oleh SIG. Selain itu subsistem ini juga melakukan manipulasi dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan. Sistem penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) telah banyak diaplikasikan untuk berbagai bidang kehidupan (sumberdaya alam, biologi,
kependudukan, lingkungan, dan lain- lain). Sebagian contoh aplikasi tersebut adalah dalam
penentuan karakteristik spasial habitat beberapa jenis burung
rangkong
Taman
di
Nasional Danau Sentarum (Kumara 2006). Dengan
penginderaan jauh dan SIG dapat diketahui tipe penutupan lahan di tiap vegetasi yang mempengaruhi keberadaan burung rangkong. Muntasib (2002) menyatakan bahwa penggunaan ruang habitat oleh badak Jawa (Rhinoceros sondaicus, Desm 1822) di Taman Nasional Ujung Kulon dapat ditentukan berdasarkan analisis data melalui
analisis spasial dan statistik
menggunakan SIG, berdasarkan metode tumpang susun (overlay), pembobotan (weighting), dan menggunakan SIG.
pengharkatan (scoring). Proses pemasukan data spasial