6
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai perkembangan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat menjadi meningkat. Kemampuan suatu Negara untuk
menghasilkan barang dan jasa akan
meningkat dari suatu periode ke periode berikut lainnya. Kemampuan yang meningkat
ini
disebabkan
oleh
faktor-faktor
produksi
yang
mengalami
pertambahan dalam jumlah dan kualitasnya. Perkembangan atau pertambahan barang modal dan teknologi diperoleh dari adanya investasi. Di samping itu pertambahan tenaga kerja diakibatkan perkembangan penduduk seiring pengalaman kerja dan pendidikan yang menambah keterampilan mereka. Untuk mengukur pertumbuhan ekonomi, para ekonom menggunakan data Produk Domestik Bruto (PDB). Komponen-komponen dalam PDB dikelompokkan menjadi konsumsi (C), investasi (I), pengeluaran pemerintah (G), dan ekspor neto (NX) (Mankiw, 2003). Terdapat dua cara dalam melihat statistik PDB, yaitu: PDB sebagai pendapatan
total dari setiap orang dalam
perekonomian, dan PDB sebagai pengeluaran total atas output barang dan jasa dalam perekonomian. Studi teori pertumbuhan dapat dicatat dalam dua periode studi yang dilakukan secara intensif. Periode pertama pada akhir tahun 1950-an sampai 1960-an yang menghasilkan teori pertumbuhan neoklasik. Periode kedua dilakukan ada akhir tahun 1980-an sampai 1990-an yang menghasilkan teori pertumbuhan
endogen
atau
teori
pertumbuhan
baru
yang
merupakan
pengembangan dari teori pertumbuhan klasik. Teori pertumbuhan ini menolak asumsi model klasik tentang perubahan teknologi yang berasal dari luar (eksogen). Teori pertumbuhan endogen memberikan penjelasan yang lebih lengkap tentang proses inovasi teknologi dan memiliki bidang yang luas (Mankiw, 2003). Menurut Todaro (2003) terdapat tiga komponen pertumbuhan ekonomi, yaitu: akumulasi modal, pertumbuhan penduduk, dan kemajuan teknologi. Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau perkembangan, apabila
7 tingkat kegiatan ekonominya lebih tinggi daripada apa yang dicapai pada masa sebelumnya. Ekonom Perroux dengan teori kutub pertumbuhannya menekankan bahwa berapa lokasi yang merupakan pusat perekonomian terjadi pertumbuhan dengan intensitas yang berbeda-beda (Perroux, 1988). 2.2 Pertumbuhan Ekonomi dan Masalah Kemiskinan Masalah kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan sampai sekarang tetap menjadi pembahasan terutama di negara-negara berkembang. Dampak dari
pembangunan
ekonomi
terhadap
golongan
miskin
masih
menjadi
perdebatan. Sebagian berasumsi bahwa meningkatnya pendapatan per kapita akibat pembangunan akan menjadikan setiap orang lebih sejahtera. Apabila sekelompok masyarakat belum memperoleh manfaat, hal itu hanya masalah waktu sampai manfaat pembangunan tersebut betul-betul menetes kepada mereka. Namun sebaliknya pihak lain tetap meragukan apakah dampak pembangunan betul-betul dapat dinikmati oleh kelompok miskin. Aliran ekonomi klasik
yang berpegang pada konsep keseimbangan
alokasi sumberdaya dan konsep pasar bebas, dimana harga menjadi acuan dalam proses pertukaran. Perbedaan kondisi antarsektor akan menyebabkan pertukaran dan alokasi sumberdaya secara efisien tanpa ada campur tangan pemerintah (konsep pasar bebas) hingga mencapai kondisi pareto optimal. Pertukaran tersebut pada hakekatnya merupakan proses pembangunan (Djojohadikusumo, 1994). Ketidakmerataan pendapatan akan muncul pada awalnya dan akan menghilang setelah dicapai hasil pembangunan. Ada dua alasan meningkatnya ketidakmerataan pendapatan pada awal pertumbuhan. Pertama, kontribusi pemilik kapital meningkat pada saat peran sektor modern meningkat sehingga meningkatkan kesenjangan pendapatan antara pemilik modal dan buruh. Kedua, kesenjangan distribusi buruh sendiri juga meningkat dengan bertambahnya tenaga kerja (namun masih dalam jumlah yang masih sedikit) yang pindah dari tingkat upah sektor subsisten ke tingkat upah sektor modern yang lebih tinggi. Namun, ketidakmerataan tersebut berubah manakala seluruh surplus tenaga kerja diserap oleh sektor modern yang menyebabkan tenaga kerja berubah menjadi faktor produksi yang langka. Tingkat upah kemudian
meningkat
yang
pada
akhirnya
akan
menurunkan
tingkat
ketidakmerataan sekaligus mengurangi tingkat kemiskinan. Setiap orang akan memperoleh manfaat apabila mereka menunggu proses pembangunan tersebut
8 berlangsung sampai selesai. Peningkatan sementara dalam ketidakmerataan pendapatan hanya merupakan biaya untuk memperoleh manfaat proses pembangunan tersebut. Tanpa adanya campur tangan pemerintah pemerataan akan terjadi dengan sendirinya pada saat negara telah mencapai tingkat pembangunan dan pendapatan per kapita yang tinggi. Aliran Strukturalis memandang pembangunan ekonomi sebagai transisi yang ditandai oleh suatu transformasi yang mengandung perubahan mendasar pada ekonomi yang disebut sebagai perubahan struktural. Perubahan struktural tersebut merupakan masa ketidakseimbangan yang dapat menyebabkan kesenjangan penyesuaian yang panjang (Djojohadikusumo, 1994). Aliran Strukturalis skeptis terhadap efektifitas mekanisme kekuatan harga dan meyakini bahwa perencanaan dan kontrol pemerintah dapat menanggulangi kegagalan pasar. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi negara-negara kurang maju tidak dapat diserahkan kepada mekanisme kekuatan pasar, tetapi pemerintah harus mengambil peranan aktif dengan menjalankan kebijakan untuk menanggulangi ketimpangan yang melekat pada keadaan ketidakseimbangan tersebut agar sistem pasar dan perkembangan harga dapat berjalan secara memadai Berbeda dengan aliran Klasik yang percaya bahwa pemerataan pendapatan akan terjadi dengan sendirinya dengan meningkatnya pendapatan per kapita, aliran Strukturalis menganggap bahwa masalah distribusi pendapatan dan pemerataan harus dilakukan melalui intervensi pemerintah. Dalam hal ini terdapat dua pendekatan ekstrim dalam mencapai pertumbuhan dan pemerataan, yaitu Aliran Ekstrim (radikal) Kanan atau aliran yang menganut faham Kapitalis yang memfokuskan pada pertumbuhan (“grow first, then redistribute”) dan Aliran Ekstrim Kiri atau aliran yang menganut faham Sosialis, yang memfokuskan pada masalah pemerataan (“redistribute first, then grow”). Sebagai alternatif dari dua aliran ekstrim tersebut, terdapat satu strategi yang beraliran moderat untuk mencapai pertumbuhan dan pemerataan secara bersama, yaitu redistribusi dengan pertumbuhan (“redistribution with growth/RWG”) yang dikembangkan oleh Bank Dunia (Djojohadikusumo, 1994) . Sasaran pembangunan ekonomi bagi Aliran Ekstrim Kanan bukan mengarah pada pemerataan yang lebih besar melalui mekanisme trickle-down, tetapi melalui pemusatan pendapatan pada masyarakat yang telah kaya. Produksi diatur secara efisien, kemudian baru diredistribusi untuk memperoleh distribusi pendapatan yang diinginkan melalui transfer atau pajak yang diyakini tidak akan mendistorsi ekonomi. Namun, aliran
9 ini
telah
gagal.
Contoh
empiris
kegagalan
tersebut
adalah
kebijakan
pembangunan ekonomi di Brazil, dimana pertumbuhan ekonomi meningkat sangat cepat namun disertai dengan tingkat ketidakmerataan sangat tinggi dan perkembangan pengurangan tingkat kemiskinan yang sangat lambat. Pemilikan aset sangat terkonsentrasi, akses terhadap pendidikan sangat tidak merata, pembangunan industri maupun pertanian diutamakan pada skala usaha besar dan teknologi padat kapital. Sebaliknya Aliran Ekstrim Kiri memiliki kebijakan “redistribute first, then grow”. Pemerintah mengambil alih pemilik modal dan pemilik tanah dengan membagikan aset mereka ke produsen skala kecil, yang seringkali melalui sistem pemilikan bersama. Kebijakan tersebut membawa dua dampak terhadap distribusi pendapatan. Pertama, dampak secara langsung, yaitu tingkat kemerataan pendapatan akan segera meningkat secara nyata. Kedua adalah dampak dalam jangka panjang. Apabila usaha-usaha berskala lebih kecil dan melalui pemilikan bersama tersebut dapat menghasilkan keuntungan besar dan dikelola secara efisien dan produktif, maka efek redistribusi tersebut akan meningkat. Namun apabila tidak dikelola secara produktif, pemilik awal akan kehilangan aset mereka dan pemilik baru tidak akan memperoleh manfaat secara proporsional. Negara yang termasuk dalam aliran ini adalah negara-negara Uni Soviet dan Republik Rakyat China (RRC). Kebijakan pembangunan berbasis industri yang dilakukan Uni Soviet adalah mengambil alih kekayaan yang seharusnya menjadi hak masyarakat secara umum, terutama petani, dan menekan konsumsi yang hasilnya diinvestasikan kembali ke sektor produktif. Dengan kebijakan tersebut, ketidakmerataan pendapatan masyarakat memang mengecil karena hasil pendapatan diambil oleh pemerintah. Strategi mencapai pertumbuhan dan pemerataan pendapatan dewasa ini mengalami pergeseran paradigma, karena dua aliran ekstrim yang telah diuraikan diatas kurang disukai. Di banyak negara penganut Aliran Ekstrim Kanan, meskipun terjadi pertumbuhan pesat, masalah kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan juga masih menjadi masalah besar. Argumen bahwa ketimpangan pendapatan merupakan kondisi sementara yang tak terelakkan
guna
mencapai
akumulasi
kapital,
memang
memungkinkan
terakumulasinya tabungan dan investasi yang lebih besar sehingga menciptakan laju pertumbuhan yang lebih cepat dan pada akhirnya menciptakan pendapatan nasional dan pendapatan per kapita tinggi untuk diredistribusikan ke masyarakat melalui program-program perpajakan dan subsidi. Namun bila waktu distribusi
10 tiba, setiap usaha pendistribusian kembali pendapatan akan menurunkan laju pertumbuhan secara tajam. Karena perlambatan dianggap negatif, maka saat pendistribusian terpaksa ditunda dan terjadi penundaan secara terus menerus. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi akan terus melaju sementara ketimpangan pendapatan tidak membaik. Sementara negara-negara penganut aliran ekstrim kiri pada umumnya mengalami tingkat pertumbuhan yang rendah, karena setiap usaha redistribusi akan menurunkan stok modal yang pada akhirnya menurunkan laju pertumbuhan. Oleh karena itu, harus ada cara bagaimana manfaat pertumbuhan ekonomi dapat didistribusikan, sehingga distribusi pendapatan meningkat sepanjang waktu dengan meningkatnya pertumbuhan. Konsep tersebut dikembangkan oleh World Bank, dinamakan redistribusi dengan pertumbuhan atau “redistribution with growth/ RWG” (Chenery, 1974). Hanya melalui peningkatan GNP akan ada sesuatu yang berarti untuk bisa didistribusikan. Distribusi tidak dapat diharapkan sebagai produk sampingan dari pertumbuhan, melainkan harus diciptakan dari unsur kebijakan. Ide dasar dari RWG adalah kebijakan pemerintah harus mempengaruhi pola pembangunan sedemikian rupa sehingga produsen berpendapatan rendah (yang pada umumnya berlokasi terutama di sektor pertanian dan industri pedesaan berskala kecil) akan melihat peluang untuk meningkatkan pendapatan. 2.3 Konvergensi Pertumbuhan Ekonomi Ekonomika regional berusaha untuk manjawab pertanyaan terjadinya aktivitas ekonomi yang cenderung terkonsentrasi secara geografis di beberapa tempat saja. Minimalisasi biaya transpor atau biaya produksi menjadi suatu sebab munculnya pengelompokan atau kluster (Isard, 1956). Pendekatan interdependensi lokal (location interdependence) merupakan jawaban atas keterbatasan mekanisme persaingan sempurna. Pendekatan ini mencoba menerangkan bahwa pilihan lokasi adalah upaya perusahaan untuk menguasai pasar melalui maksimisasi penjualan dan penerimaan (Ohta dan Thisse, 1993). Selanjutnya, menurut Greenhut bahwa faktor lokasi dikelompokkan menjadi: permintaan,
biaya,
dan
murni
pertimbangan
pribadi
(Greenhut,
1955).
Konsentrasi ekonomi akan membawa pertumbuhan ekonomi yang berbeda-beda bagi lokasi tertentu. Pertumbuhan regional merupakan studi yang dianggap menarik karena merupakan unit yang sudah mempunyai bentuk perekonomian terbuka yang
11 dipengaruhi pula oleh faktor non ekonomi, misalnya: keragaman suku, budaya, dan sistem politik. Pertumbuhan ekonomi regional merupakan upaya untuk memacu perkembangan ekonomi dengan arah mengurangi kesenjangan antar wilayah dan menjaga kelestarian hidup suatu wilayah. Dengan menciptakan pertumbuhan
ekonomi
regional
dapat
menyerasikan
berbagai
kegiatan
pembangunan sektor dan wilayah, sehingga pemanfaatan sumber daya yang ada dapat optimal mendukung peningkatan kehidupan masyarakat. Optimalisasi berarti tercapainya tingkat kemakmuran yang sesuai dan selaras dengan aspek dan kondisi wilayah. Dalam konsep pertumbuhan ekonomi regional dibutuhkan strategi kebijakan pemerintah agar mekanisme pasar tidak menimbulkan dampak yang merugikan lingkungan dan masyarakat miskin. Kebijakan tersebut meliputi upaya pengembangan kegiatan yang disesuaikan dengan kondisi infrastruktur, potensi kawasan dan daya dukung lainnya. Pertumbuhan
ekonomi
regional
yang
didekati
dengan
hipotesa
konvergensi dapat dibagi dalam dua pendekatan, yaitu konvergensi absolut (absolute
convergence)
berdasarkan
teori
pertumbuhan
neoklasik
dan
konvergensi kondisional (conditional convergence) yang berdasarkan pada teori pertumbuhan endogenous (Wibisono,2003). Konvergensi kondisional diartikan sebagai konvergensi yang terjadi pada daerah dalam satu negara, yang walaupun terjadi perbedaan dalam teknologi, preferensi dan intuisi antar daerah, namun perbedaan tersebut relatif lebih kecil dibanding dengan perbedaan antar negara (bersifat lebih homogenitas daerah-daerah dalam satu negara). Konvergensi kondisional adalah konvergensi yang melihat perilaku dan karakteristik antar negara atau antar daerah dalam satu negara. Menurut Wibisono (2003) bahwa dengan melakukan tes hipotesis konvergensi kondisional maka akan mendapatkan manfaat yang lebih besar, yaitu dalam jangka panjang dapat diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi regional dengan cara memasukkan variable-variabel terpilih yang dianggap mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi regional ke dalam suatu model persamaan. Konvergensi dikatakan sebagai suatu cara dari daerah yang memiliki perekonomian rendah untuk mengejar ketertinggalannya dari daerah yang sudah maju/tinggi.
12 2.4 Disparitas Pendapatan Menurut Williamson (1965) di dalam Kuncoro (2004) menyebutkan bahwa proses konvergensi regional terkait dengan proses pembangunan dengan memandang bahwa disparitas pendapatan regional akan memudar setelah melalui tiga fase pembangunan, tahap awal pembangunan hingga tahap kematangan (maturity). Hal ini didukung dengan pendapat Akita dan Lukman (1995) yang menemukan bahwa disparitas Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita mengalami penurunan yang berkesinambungan antara tahun 1975-1992. Namun, Garcia dan Soelistianingsih (1998) mengemukaan bahwa antara 1975-1993 terdapat tendensi penurunan disparitas walaupun sempat terhenti pada tahun 1983. Wibisono (2003) menemukan bahwa pada tahun 1975 hingga 1980-an kesenjangan antar propinsi di Indonesia terlihat menurun dengan cepat. Tren penurunan disparitas mengalami stagnasi pada periode 1985-1997, dan indeks kembali naik pada tahun 1997-1998. Nampak bahwa pada dekade 1970-an hingga 1980-an terjadi penurunan disparitas yang cepat. Pada pertengahan tahun 1980-an hingga tahun 1990-an terjadi perlambatan penurunan disparitas. Indeks kesenjangan antar daerah mengalami kenaikan pada saat perekonomian mengalami gunjangan eksternal. 2.5 Inflasi Inflasi adalah kenaikan tingkat harga secara umum dan merupakan fenomena ekonomi yang mempunyai dampak luas terhadap perekonomian, termasuk pertumbuhan ekonomi. Mankiw (2003) menyatakan bahwa tingkat inflasi adalah perubahan persentase dalam tingkat harga. Melihat bahwa faktorfaktor produksi dan fungsi produksi telah menentukan PDB riil, maka perubahan PDB nominal mencerminkan perubahan tingkat harga. Sehingga muncul apa yang disebut dengan Deflator PDB yang mencerminkan apa yang terjadi pada seluruh tingkat harga dalam perekonomian. Penggolongan inflasi, menurut Boediono (1985) berdasarkan lajunya per tahun dibagi menjadi: (1) inflasi ringan (dibawah 10% setahun), (2) inflasi sedang (10%-30% setahun), (3) inflasi berat (30%-100% setahun), dan (4) hiperinflasi (lebih 100% setahun). Sukirno (1994) menggolongkan inflasi berdasarkan penyebabnya menjadi 2 macam, yaitu inflasi tarikan permintaan (demand pull inflation) dan inflasi desakan biaya (cost push inflation). Inflasi tarikan permintaan
13 yaitu inflasi yang timbul karena adanya permintaan masyarakat akan berbagai barang terlalu kuat dimana permintaan masyarakat ini tidak bisa diimbangi dengan tersedianya barang yang disediakan oleh perekonomian, sehingga mendorong kenaikan harga-harga. Pada Kondisi seperti ini, perusahaanperusahaan
akan beroperasi
pada kapasitas
yang maksimal sehingga
berdampak positif dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya inflasi desakan biaya adalah inflasi yang timbul karena adanya kenaikan biaya produksi. Pertambahan biaya produksi akan mendorong perusahaan-perusahaan untuk menaikkan harga atas barang yang diproduksi walaupun mereka menghadapi ancaman resiko pengurangan permintaan atas barang-barang yang diproduksi tersebut. Tindakan ini akan mengakibatkan perpindahan kurva penawaran agregat ke atas sehingga mengakibatkan harga-harga naik tetapi outputnya justru menurun dan berdampak negatif. Menurut laporan Bank Indonesia Tahun 2001, faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi di Indonesia antara lain: 1. Meningkatnya Kegiatan Ekonomi Meningkatnya kegiatan ekonomi mendorong peningkatan permintaan agregat tetapi tidak diimbangi dengan meningkatnya penawaran agregat. 2. Kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan Kebijakan pemerintah menaikkan harga barang dan jasa seperti BBM, listrik, air minum dan rokok serta menaikkan upah minimum tenaga kerja swasta dan gaji pegawai negeri akan memberikan tambahan inflasi IHK (Indeks Harga Konsumen). 3. Melemahnya Nilai Tukar Rupiah Pengaruh kuat depresiasi nilai tukar rupiah dari hasil penelitian Bank Indonesia, antara lain: a) perilaku
harga
cenderung
mudah
meningkat
karena
pengaruh
melemahnya nilai tukar rupiah. b) perilaku harga cenderung sulit untuk turun apabila nilai tukar rupiah menguat. 4. Tingginya ekspektasi inflasi masyarakat Tingginya inflasi IHK tidak lepas dari pengaruh ekspektasi inflasi oleh produsen dan pedagang serta konsumen. Tingginya ekspektasi inflasi pada produsen dan pedagang terutama dipengaruhi oleh tingginya inflasi tahun sebelumnya. Sedangkan ekspektasi para konsumen terutama dipengaruhi
14 oleh ekspektasi kenaikan harga barang-barang yang dikendalikan pemerintah dan ekspektasi nilai tukar rupiah. Tingkat inflasi diukur dengan menghitung perubahan tingkat persentase sebuah indeks harga. Indeks harga tersebut diantaranya: 1. Deflator PDB menunjukkan besarnya perubahan harga dari semua barang baru, barang produksi lokal, barang jadi, dan jasa. 2. Indeks harga konsumen (IHK) atau consumer price index (CPI), adalah indeks yang mengukur harga rata-rata dari barang tertentu yang dibeli oleh konsumen. Menurut Mankiw (2003) terdapat beberapa perbedaan di antara dua ukuran tersebut. Deflator PDB mengukur harga seluruh barang dan jasa yang diproduksi, meliputi barang dan jasa yang diproduksi secara domestik, dan mengagregatkan berbagai tingkat harga (memungkinkan kelompok barang berubah setiap saat bila komposisi PDB berubah). Sedangkan, CPI hanya mengukur harga barang dan jasa yang dibeli konsumen, dan menggunakan timbangan tetap terhadap harga barang-barang yang berbeda (dihitung dengan menggunakan sekelompok barang tetap). 2.6 Pengeluaran Pembangunan Pemerintah Pemerintah tidak hanya berperan menyusun regulasi untuk mengatur kehidupan bernegara namun juga melaksanakan kegiatan ekonomi melalui instrumen belanja pemerintah. Dewasa ini peran pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakat masih sangat dibutuhkan seperti penyelenggaran pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi masyarakat, dan penyediaan infrastruktur. Kegiatan tersebut tertuang dalam APBD yang digunakan untuk keperluan belanja rutin pegawai dan keperluan pembiayaan pembangunan. Pengeluaran pembangunan adalah semua pengeluaran untuk membiayai proyek-proyek pembangunan. Peran yang dimiliki oleh pemerintah ini digunakan terutama untuk membiayai kegiatan-kegiatan pelayanan yang tidak dapat dilakukan oleh pihak swasta. Jumlah pengeluaran pemerintah ini merupakan salah satu komponen penting dari PDRB. Anaman (2004) menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah yang terlalu kecil akan merugikan pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah yang proporsional akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan sebaliknya bila terlalu boros akan menghambat pertumbuhan ekonomi secara mandiri. Tetapi
15 pada umumnya pengeluaran pemerintah membawa dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi. Belanja pembangunan
pemerintah meliputi seluruh
pengeluaran yang dialokasikan untuk pembelian barang-barang kebutuhan investasi (dalam bentuk aset tetap dan aset lainnya). Belanja Pembangunan dirinci atas belanja modal aset tetap/fisik, dan belanja modal aset lainnya/nonfisik. 2.7 Investasi Pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal dapat berupa tabungan domestik, tenaga kerja, teknologi, dan sebagainya. Faktor eksternal bisa berupa investasi dari luar daerah dan ekspor ke luar daerah. Investasi merupakan prasyarat bagi peningkatan produksi. Investasi merupakan unsur PDB yang paling sering berubah. Bila selama resesi
pengeluaran atas barang dan jasa turun, maka
penurunan tersebut terkait dengan turunnya pengeluaran investasi (Mankiw, 2003). Investasi atau dikenal juga dengan penanaman modal merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam suatu kegiatan pembangunan, sebab dengan penanaman modal dapat mengubah sumber daya manusia menjadi kekuatan ekonomi yang nyata. Melalui penanaman modal akan dihasilkan barang dan jasa, memperluas kesempatan berusaha, melaksanakan alih teknologi yang bermuara pada pengentasan kemiskinan dan memperkecil kesenjangan pendapatan antar daerah. Otonomi daerah telah ditanggapi oleh pemerintah daerah dengan berbagai cara. Berdasarkan alasan untuk meningkatkan pendapatan daerah (PAD), Pemda menerapkan beberapa pungutan, pajak, sumbangan sukarela, dan pembatasan-pembatasan yang ditujukan kepada investor dan kegiatan bisnisnya. Penerapan tersebut mengakibatkan distorsi perdagangan dan tidak sesuai dengan semangat UU No.32/2004, dan menyebabkan
kekhawatiran
pihak investor. Dalam menetapkan peraturan terdapat lemahnya perencanaan dan koordinasi peraturan perundangan, baik pada tingkat vertikal (antara pemerintah pusat-provinsi-kabupaten/kota) maupun pada tingkat horizontal (antar kementerian dan badan/instansi lainnya). Akibatnya, muncul peraturan dan kebijakan daerah yang dibuat berdasarkan fanatisme kedaerahan yang dapat mempengaruhi kinerja dan produktifitas kegiatan investasi.
16 2.8 Tinjauan Penelitian Terdahulu 2.8.1 Penelitian Mengenai Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional Dalam penelitiannya, Kuncoro (2004) mengambil judul “Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan antar Kecamatan: Kasus Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah”. Penelitian ini menggunakan alat analisis indeks ketimpangan regional yaitu tipologi daerah, indeks Williamson, indeks entropi Theil, hipotesis Kuznets dan korelasi Pearson. Dalam penelitiannya dapat ditarik sebuah kesimpulan
bahwa
dalam
periode
pengamatan
1993-2000,
terjadi
kecenderungan peningkatan ketimpangan, baik di analisis dengan indeks Williamson maupun dengan indeks entropy Theil. Ketimpangan antar kecamatan yang terjadi di Kabupaten Banyumas dari tahun 1993 sampai dengan tahun 2000 cenderung meningkat. Dimana yang menyebabkan ketimpangan ini salah satunya adalah disebabkan oleh aktivitas ekonomi secara spasial. Berdasarkan tipologi daerah menurut pertumbuhan dan pendapatan per kapita, daerah/kecamatan di Kabupaten Banyumas dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok: 1. Daerah/kecamatan yang cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and high income): Kecamatan Kalibagor, Banyumas, Ajibarang, Sokaraja, Purwokerto Selatan, Purwokerto Barat, Purwokerto Timur. 2. Daerah/kecamatan maju tapi tertekan (high income but low growth): Kecamatan Wangon, Somagede, dan Baturaden. 3. Daerah/kecamatan yang berkembang cepat (high growth but low income): Kecamatan Kebasen, Purwojati, Cilongok, Karanglewas, dan Purwokerto Utara. 4. Daerah/kecamatan yang relatif tertinggal (low growth and low income): Kecamatan Lumbir, Jatilawang, Ralawon, Kemranjen, Sumpih, Tambak, Patikraja, Gumelar, Pekuncen, Kedungbanten, dan Sumbang. Dalam penelitian ini hipotesis kurva U-terbaliknya Kuznets dapat dikatakan berlaku di Kabupaten Banyumas. Hal ini berarti bahwa, pada masa awal pertumbuhan ketimpangan memburuk dan pada tahap-tahap berikutnya ketimpangan menurun.
17 2.8.2 Penelitian Mengenai Ketimpangan Regional dan Krisis Ekonomi Dalam penelitiannya yang berjudul “Regional of Inequality in Indonesia and The Initial Impact of The Economic Crisis”, Akita dan Alisyahbana (2002) mengukur ketimpangan dengan menggunakan indeks entropi Theil berdasarkan pada district-level GDP dan data populasi pada periode 1993-1998. Total kesenjangan pendapatan regional meningkat secara signifikan pada periode 1993-1997 yaitu dari 0,262-0,287. Selama itu pula Indonesia mencapai angka pertumbuhan rata-rata pertahun lebih dari 7%. Sehingga, kesenjangan dalam propinsi memainkan peran yang semakin penting di dalam penentuan total kesenjangan pendapatan regional, atau mencapai kira-kira setengah dari seluruh kesenjangan pendapatan regional pada tahun 1997. Kesenjangan antar propinsi dan antar daerah memberi konstribusi secara berturut-turut sebesar 43,1% dan 7,2%. Akan
tetapi
akan sangat menyesatkan jika meningkatnya atau
berkurangnya kesenjangan regional hanya didasarkan pada data propinsi, khususnya pada saat ekonomi berkembang dengan sangat cepat dan mengalami perubahan struktural yang signifikan. Dilihat dari segi GDP per kapita, krisis ekonomi menyebabkan ekonomi Indonesia kembali ke level di tahun 1995. Tetapi dampaknya sangat berbeda antara propinsi dan kabupaten, namun demikian total kesenjangan pendapatan regional, seperti diukur menggunakan data tingkat kabupaten, turun ke 0,266 pada tahun 1998 yang sesuai dengan level pada tahun 1993-1994. Daerah Jawa-Bali memainkan peran yang menyolok dalam penurunan ini. DKI Jakarta merupakan provinsi yang terkena implikasi terparah di Indonesia. Dikarenakan adanya ketergantungan pada sektor-sektor penghasil non-migas, keuangan dan konstruksi, yang berdampak tidak menguntungkan terhadap adanya krisis. GDP per kapita DKI Jakarta turun sampai hampir 20%, kembali pada tingkat terendah pada tahun 1993. Ekonomi propinsi-propinsi Jawa lainnya juga menyusut secara signifikan, tetapi dampaknya tidak separah di Jakarta. Sebagai akibatnya, jurang pemisah GDP per kapita antara DKI Jakarta dan provinsi-provinsi Jawa-Bali lainnya menjadi menyempit. Selain pulau Jawa-Bali, Sumatra juga mengalami penurunan GDP per kapita sebesar 7% sebagai akibat adanya krisis. Akan tetapi krisis ekonomi tidak begitu berpengaruh yang sangat kuat terhadap Kalimantan dan Sulawesi. Dampak krisis ekonomi muncul secara tidak proposional dalam area-area
18 perkotaan di Jawa-Bali. Di DKI Jakarta dan Jawa Barat, serta kabupatenkabupaten Jabotabek sangat terpengaruh, dengan pengecualian Jakarta Pusat, semuanya mencatat penurunan 20% atau lebih dalam GDP per kapita. Akibatnya kesenjangan dalam propinsi untuk propinsi Jawa Barat mengalami penurunan. Begitu juga di Jawa Tengah dan di Jawa Timur, hal ini disebabkan karena penurunan yang sangat tinggi GDP per kapita di kota-kota utama propinsi.