3
II.TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Terak Baja
2.1.1. Pengertian dan Pembentukan Terak Baja Terak baja merupakan hasil samping dari proses pemurnian besi cair dalam industri baja. Menurut Tisdale dan Nelson (1975), terdapat tiga jenis terak baja yang berpotensi dapat dimanfaatkan dalam bidang pertanian, yaitu blastfurnace slag, basic slag, dan electric-furnace slag. Perbedaan ketiga jenis terak baja ini didasarkan pada proses yang digunakan dalam pemurnian bijih besi. Blast-furnace slag (BF-slag) terbentuk pada tahap awal proses pemurnian bijih besi. Basic slag atau basic oxygen slag (BOF-slag) terbentuk dari industri baja yang menggunakan proses Basic Oxygen Furnaces (BOF), sedangkan electricfurnace slag (EF-slag) merupakan terak baja yang terbentuk pada industri yang menggunakan proses Electric Arc Furnace (EAF) (Proctor et al., 2000). Diagram alur proses pemurnian bijih besi dalam industri baja disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram Alur Proses Pemurnian Bijih Besi dalam Industri Baja (American Iron and Steel Institute dalam http://www. Steel.org//)
4
a.
Proses Basic Oxygen Furnaces (BOF) Pada industri baja, biasanya instalasi proses basic oxygen furnace selalu
berintegrasi dengan instalasi blast furnace. Besi cair yang berasal dari blast furnace dimasukkan ke dalam basic oxygen furnace untuk diproses lebih lanjut dikombinasikan dengan potongan baja (scrap). Besi cair yang ditambahkan berkisar antara 80-90%, sedangkan potongan baja sekitar 10-20%. Penambahan potongan baja berperan penting untuk menjaga keseimbangan suhu dalam pemanas pada kisaran 16000C-16500C. Skema proses basic oxygen furnace disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Skema Proses Basic Oxygen Furnace (American Iron and Steel Institute dalam http://www. Steel.org//) Pada tahap awal, potongan baja dimasukkan ke dalam tungku pemanas. Selanjutnya besi cair disiramkan di atas potongan baja, kemudian dialirkan oksigen dengan kemurnian diatas 90%. Pada proses pengaliran oksigen (selama 20-25 menit), terjadi reaksi oksidasi yang sangat intensif sehingga bahan pengotor pada baja dapat dikurangi. Karbon teroksidasi membentuk karbon monoksida, mengakibatkan peningkatan suhu mencapai 16000C-17000C. Pada suhu ini
5
potongan baja mencair dan kadar karbon pada baja menurun. Untuk menurunkan kadar bahan yang tidak diinginkan pada baja ditambahkan fluxing agent, yaitu CaO atau MgCa(CO3)2. Selama pengaliran oksigen, bahan yang tidak diinginkan teroksidasi, kemudian berikatan dengan bahan kapur membentuk BOF-slag yang mengapung diatas besi cair (Yildirim dan Prezzi, 2011). b.
Proses Electric Arc Furnace (EAF) Pada proses electric arc furnace sumber panas diperoleh dari percikan api
yang berasal dari listrik bertegangan tinggi. Tungku electric arc dilengkapi dengan elektroda grafit dan ketel besar dengan lubang pengeluaran di bagian atas ketel. Pada bagian atas ketel juga dilengkapi dengan poros yang digunakan untuk memutar ketel pada saat menuangkan besi cair. Proses electric arc furnace tidak tergantung dengan proses blast furnace, karena bahan yang digunakan adalah potongan baja yang berasal dari baja-baja bekas. Skema proses electric arc furnace disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Skema Proses Electric Arc Furnace (American Iron and Steel Institute dalam http://www. Steel.org//) Proses electric arc furnace dimulai dengan memasukkan potongan baja ke dalam tungku pemanas elektrik. Kemudian elektroda grafit diturunkan hingga masuk ke dalam tungku. Ketika dialirkan aliran listrik, pertemuan antara elektroda
6
dan potongan baja akan menghasilkan panas. Ketika potongan baja meleleh, elektroda ditekan lebih dalam. Ketika semua potongan baja telah meleleh, kemudian dilanjutkan proses pemurnian. Selama proses pemurnian dialirkan oksigen kemurnian tinggi. Beberapa besi (Fe) dan berbagai material yang tidak diinginkan termasuk Al, Si, Mn, P, dan C teroksidasi. Komponen yang teroksidasi ini berkombinasi dengan CaO maupun MgO membentuk terak (Yildirim dan Prezzi, 2011). 2.1.2. Pemanfaatan Terak Baja Terak baja telah dimanfaatkan untuk banyak keperluan di dunia dan disimpulkan pada Gambar 4 (Shen dan Forssberg, 2002). Secara umum, pemanfaatan terak baja dibagi kedalam dua kelompok besar. Pertama dimanfaatkan langsung dalam industri baja, dan kedua pemanfaatan di luar industri baja.
Gambar 4.
Pemanfaatan Terak Baja (Shen dan Forssberg, 2002) dengan Modifikasi
Terak baja mengandung 30-50% CaO dan 3-10% MgO. Dapat dilihat pada Tabel 2, converter slag mengandung 53,36% CaO dan 2,86% MgO. Kadar CaO dan MgO yang tinggi ini dapat dimanfaatkan langsung dalam proses pemurnian bijih besi sebagai bahan pengganti sebagian bahan kapur yang ditambahkan (Shen dan Forssberg, 2002). Pemanfaatan terak baja untuk keperluan di luar industri baja harus melalui proses pemurnian logam-logam terlebih dahulu yang meliputi proses mekanik dan
7
fisik (Durinck et al., 2008). Sekitar 85-100% terak baja telah banyak dimanfaatkan di berbagai negara untuk berbagai keperluan. Sebagai contoh pada Tabel 1 disajikan pemanfaatan converter slag di Jepang (Sasaki, 2010). Tabel 1. Pemanfaatan Converter Slag di Jepang Pemanfaatan x 103 t/tahun Reuse 01.661
% 12,19
Bangunan Jalan
03.202
23,49
Pembenah tanah
00716
05,25
Teknik sipil
06.046
44,35
Semen
00614
04,50
Bahan pengeras
00418
03,07
Lain-lain
00535
03,92
Landfill
00439
03,22
Total
13.631
100,00
2.1.3. Pemanfaatan Terak Baja dalam Bidang Pertanian Beberapa manfaat terak baja dalam bidang pertanian telah banyak ditunjukkan oleh penelitian-penelitian terdahulu, antara lain terak baja dapat berfungsi untuk meningkatkan pH tanah sama seperti kapur, penyedia unsur Ca, K, dan P, serta mampu menurunkan efek toksik dari Al pada tanah masam (Ali dan Sedaghat, 2007). Penambahan terak baja pada tanaman padi di lahan gambut mampu meningkatkan bobot kering gabah bernas sebesar 65-96% dan meningkatkan kandungan basa-basa yang dapat dipertukarkan seperti K, Ca, dan Mg (Hidayatulloh, 2006). Kristen dan Erstad (1996), menyatakan bahwa pemberian terak baja dapat meningkatkan P dalam tanah, hal ini disebabkan oleh kandungan SiO2 dalam terak baja. Unsur Si dapat mengurangi fiksasi P oleh Al dan Fe sehingga ketersedian P dalam tanah meningkat. SiO2 pada terak baja terhidrolisis membentuk anion SiO44- yang mampu mendorong anion P sehingga P dibebaskan kedalam larutan tanah. Menurut Suwarno (2010), penggunaan electric furnace Indonesia, converter slag Jepang, dan blast furnace Jepang sebagai pupuk Si untuk tanaman padi sawah yang ditanam pada tanah regosol menunjukkan peningkatan bobot gabah bernas yang signifikan. Akan tetapi, produksi pada penggunaan electric
8
furnace Indonesia cenderung lebih tinggi jika dibandingkan dengan converter slag Jepang, dan blast furnace Jepang. Hasil serupa juga terjadi pada penelitian pot rumah kaca pemberian terak baja sebagai pupuk Si untuk tanaman padi varietas IR 64 pada tanah gambut. Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa pemberian terak baja pada tanah gambut meningkatkan ketersediaan Si, Ca, serta meningkatkan pH tanah, tetapi menurunkan ketersediaan Fe, Cu, dan Zn. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Syihabuddin (2011), pemberian terak baja sebagai bahan amelioran pada tanah gambut dapat meningkatkan bobot biomasa tanaman dan produksi padi, berpengaruh nyata dapat meningkatkan pH tanah, basa-basa dapat dipertukarkan serta unsur mikro dalam tanah dan tanaman. Selain itu, pemberian terak baja juga dapat menurunkan kelarutan logam berat. Meskipun berdasarkan hasil penelitian yang telah dikembangkan menunjukkan bahwa terak baja dapat dimanfaatkan dalam bidang pertanian. Akan tetapi, sampai saat ini terak baja belum dimanfaatkan di Indonesia. Hal ini dikarenakan masih terhambat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 85 tahun 1999 yang menggolongkan terak baja ke dalam kategori limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). Limbah B3 adalah limbah sisa suatu usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya. 2.2.
Bahan Humat
2.2.1. Pengertian dan Ekstraksi Bahan Humat Menurut Kononova (1966) bahan organik tanah terbagi menjadi dua kelompok, yakni: bahan yang telah terhumifikasi, disebut humat (bahan humat) dan bahan yang tidak terhumifikasi, yang disebut sebagai bahan bukan humat. Humat sering dikenal sebagai humus, yang merupakan hasil akhir proses dekomposisi bahan organik, bersifat stabil dan tahan terhadap bio-degradasi (Aicken et al., 1985). Bahan humat dapat dibagi berdasarkan kelarutannya (Gambar 5). Asam humik dan asam fulvik merupakan bahan humat yang larut dalam kondisi alkali. Umumnya asam humik diekstrak menggunakan larutan basa dan akan diendapkan
9
oleh larutan asam, begitu juga dengan asam fulvik. Humin merupakan residu bahan humat yang tidak terlarut baik pada kondisi asam maupun basa (Schnifzer dan Khan, 1978). Asam humik merupakan komponen yang sangat penting dari bahan humat jika diaplikasikan ke dalam tanah. Peranannya antara lain dapat menggemburkan tanah, perantara transportasi nutrisi mikro dari tanah ke tanaman, meningkatkan kemampuan tanah menahan air, meningkatkan pertumbuhan kecambah, dan mampu menjadi bahan stimulan berkembangnya mikroflora dalam tanah. Asam humik juga mampu menjadi tempat kolonisasi mikroflora. Kemudian mikroflora mengeluarkan enzim yang dapat menjadi katalis terurainya besi dan fosfor pada komplek Fe-P yang tidak larut, serta kalsium dan fosfor pada komplek Ca-P yang tidak larut menjadi bentuk yang tersedia bagi tanaman (Mendez et al., 2004).
Gambar 5. Skema Pembagian Bahan Humat Berdasarkan Kelarutannya 2.2.2. Peranan Bahan Humat Sebagai bagian dari tanah, bahan humat sangat berperan dalam sejumlah reaksi di dalam tanah. Seperti dijelaskan oleh Soepardi (1983) bahwa proses yang terjadi di dalam tanah sebagian besar dilakukan oleh penyusun tanah yang jumlahnya relatif kecil, yaitu liat dan humus. Bentuk koloidal baik liat maupun
10
bahan organik merupakan pusat kegiatan dalam tanah dimana terjadi reaksi-reaksi kimia dan pertukaran kation. Bahan humat memegang peranan penting dipandang dari sudut pertanian, antara lain memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kualitas dan produksi tanah. Sebagai contoh bahan humat mampu memperbaiki sifat fisik tanah. Selain itu, bahan humat juga dapat meningkatkan KTK tanah, dimana KTK sangat berperan dalam kesuburan tanah (Zhang dan He, 2004). Menurut Tan (2003) bahan humat dapat memperbaiki pertumbuhan tanaman melalui peranannya dalam mempercepat respirasi, meningkatkan permeabilitas sel, serta meningkatkan penyerapan air dan hara, sehingga bahan humat dapat digunakan sebagai pupuk, bahan amelioran dan hormon perangsang pertumbuhan tanaman. Bahan humat juga bermanfaat untuk menjaga kualitas tanah dari cemaran logam. Hal ini didasarkan kemampuan bahan humat berikatan dengan kation logam polivalen. Menurut Schnifzer dan Khan (1978), urutan kekuatan komplek ikatan logam dengan bahan humat adalah sebagai berikut Pb2+ > Cu2+ > Ni2+ > Co2+ > Zn2+ > Cd2+ > Fe2+ > Mn2+ > Mg2+. Menurut Wijaya (2011), penambahan bahan humat dapat memperbaiki beberapa parameter sifat kimia tanah seperti C – organik, N – total, dan P tersedia dalam tanah. Mekanisme kerja bahan humat dalam meningkatkan produksi diduga terjadi melalui perbaikan beberapa sifat kimia tanah dan meningkatkan respon tanaman dalam menyerap beberapa unsur hara esensial. 2.3.
Logam Berat
2.3.1. Logam Berat dalam Tanah Berdasarkan pembentukan kompleks dan fungsi nutrisi untuk tanaman, Stevenson (1982) membagi logam–logam menjadi tiga bagian, yaitu: 1. Logam yang esensial bagi tanaman tetapi tidak berikatan dalam senyawa koordinat. Kation yang termasuk kelompok ini adalah kation monovalen Na+ dan K+ serta divalent Ca2+ dan Mg2+. 2. Logam esensial dan membentuk ikatan koordinat dengan ligan–ligan organik. Kelompok ini meliputi hampir semua logam dalam golongan transisi I, termasuk Cu2+ dan Zn2+, serta logam dalam golongan transisi II. 3. Logam yang tidak diketahui fungsinya bagi tanaman, tetapi diakumulasikan dalam lingkungan. Yang termasuk golongan ini adalah Cd2+, Pb2+, dan Hg2+.
11
Logam berat didefinisikan sebagai unsur logam yang memiliki kerapatan jenis lebih dari 6 kg/dm3 (Lepp, 1981). Berdasarkan kebutuhan hara tanaman, logam berat dibagi menjadi dua, yaitu yang bersifat esensial dan non esensial bagi tanaman. Logam berat yang bersifat esensial adalah unsur logam yang diperlukan oleh tanaman untuk proses fisiologisnya, misalnya Fe, Cu, dan Zn. Logam berat non esensial meliputi beberapa logam berat yang belum diketahui kegunaannya, maupun yang dalam jumlah relatif sedikit dapat menyebabkan keracunan, misalnya Hg, Pb, Cd, dan As (Darmono, 1995). Menurut Ross (1994a), sumber utama logam berat dalam tanah berasal dari pelapukan mineral dan kegiatan manusia (antropogenik). Secara alamiah logam berat terdapat dalam struktur kimia mineral, dan umumnya dalam bentuk yang tidak tersedia. Batuan beku memiliki kandungan logam seperti Mn, Cr, Co, Ni, Cu, dan Zn yang lebih tinggi dibandingkan batuan sedimen. Batuan beku dan batuan metamorfik merupakan penyumbang utama logam dalam tanah karena jumlahnya yang mencapai 95% kulit bumi, dan 5% sisa merupakan batuan sedimen. Akan tetapi, batuan sedimen lebih banyak dijumpai sebagai bahan induk tanah mineral karena menyelimuti batuan beku dan metamorfik. Ketersediaan logam bagi tanaman dan dalam siklus ekosistem tanah sangat tergantung dari tingkat kemudahan terlapuknya batuan. Batu pasir terdiri dari mineral tidak mudah lapuk, sehingga sangat sedikit menyumbangkan logam dalam tanah. Beberapa mineral dari batuan beku dan batuan metamorfik seperti olivine, hornblande dan augite lebih mudah terlapuk, sehingga dapat menyumbangkan logam dalam jumlah yang lebih signifikan. Banyak logam dijumpai pada sulfida, seperti galena (PbS), cinnabar (HgS), chalcopyrite (CuFeS2), sphalerite (ZnS), dan pentlandite ((NiFe)9S8). Dibandingkan dengan sumber yang berasal dari pelapukan mineral, kegiatan manusia (antropogenik) lebih berpotensi menyebabkan pencemaran logam berat. Sumber antropogenik utama logam berat dalam tanah dan lingkungan adalah: (1) pertambangan dan peleburan mineral logam; (2) industri; (3) endapan dari udara yang berasal dari pembakaran bahan bakar minyak; (4) bahan pertanian dan hortikultura; serta (5) pembuangan limbah.
12
2.3.2. Bentuk Logam Berat dalam Tanah Menurut Darmawan dan Wada (1999) logam berat dalam tanah terdapat dalam lima fraksi, yaitu: (1) fraksi terlarut; (2) fraksi yang dapat dipertukarkan; (3) fraksi yang terikat pada oksida dan hidroksida Fe dan Mn; (4) fraksi khelat bahan organik; dan (5) residu. Fraksionasi logam berat dipengaruhi oleh reaksi yang terjadi di dalam tanah, jenis mineral liat, serta kandungan bahan organik. Ross (1994b) menyatakan bahwa proses utama yang berkaitan dengan mobilitas logam dalam tanah antara lain: pelapukan mineral, pelarutan, pengendapan, serapan oleh tanaman, imobilisasi oleh mikro organisme, pertukaran kation dalam tanah, adsorpsi, pengkhelatan, dan pencucian. Pada prinsipnya, proses yang mempengaruhi terlarutnya logam berat dalam tanah adalah pH, kadar bahan organik terlarut, dan reaksi redoks tanah. Proses pengikatan logam dalam tanah lebih dominan terjadi jika dibandingkan dengan proses pencucian. 2.3.3. Serapan Logam Berat oleh Tanaman Jumlah logam yang diserap oleh tanaman dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait. Faktor-faktor tersebut antara lain: (1) konsentrasi dan jenis logam di larutan tanah; (2) pergerakan logam dari tanah ke permukaan akar; (3) pengangkutan logam dari permukaan akar ke dalam akar; dan (4) translokasi logam dari akar ke tajuk tanaman. Masuknya logam berat dapat terjadi melalui dua proses, yaitu secara pasif (non-metabolik) dan aktif (metabolik). Proses serapan pasif meliputi difusi ion di larutan tanah ke endodermis akar, sedangkan serapan aktif melibatkan agen untuk melawan perbedaan konsentrasi tetapi memerlukan energi metabolik (Alloway, 1995). Selain itu, serapan logam berat oleh tanaman sangat dipengaruhi oleh fraksionasi logam berat dalam tanah (Darmawan dan Wada, 1999). Tanaman memiliki suatu mekanisme untuk mengurangi bahaya logam berat. Mekanisme toleransi tanaman terhadap pencemaran logam berat, meliputi: (1) selektifitas serapan ion; (2) penurunan permeabilitas atau struktur dan fungsi membran; (3) imobilisasi ion logam berat pada akar; (4) deposisi atau penyimpanan ion logam berat dalam bentuk tak larut sehingga tidak terlibat dalam metabolisme; (5) perubahan pola metabolisme, yaitu peningkatan sistem enzim
13
yang menghambat atau meningkatkan metabolik antagonis atau memotong jalur metabolisme dengan tidak melalui tapak yang terhambat ion logam berat; (6) adaptasi terhadap pergantian ion logam fisiologis dalam enzim oleh logam berat; serta (7) pelepasan ion logam berat dari tanaman melalui pencucian lewat daun, gutasi, dan ekspresi lewat daun (Kabata dan Pendias, 2011). Dilihat dari sisi produksi tanaman budidaya, ukuran keberhasilan upaya pengendalian logam berat didasarkan pada terjadinya penurunan serapannya oleh tanaman. Penurunan serapan oleh tanaman terhadap logam berat berkaitan dengan tiga hal, yaitu: (a) akibat penurunan kadar fraksi aktif logam berat dalam tanah; atau (b) peningkatan selektifitas tanaman dalam menyerap unsur dari media tumbuhnya; atau (c) kombinasi keduanya (Alloway, 1995). 2.4.
Sifat Umum Latosol Tanah Latosol terbentuk dari bahan induk batu atau abu volkan, pada
topografi berombak hingga bergunung pada ketinggian 10–1000 m dpl dengan vegetasi utama hutan tropis. Menurut Dudal dan Supraptohardjo (1957), tanah Latosol terbentuk melalui proses latosolisasi. Proses latosolisasi terjadi di bawah pengaruh curah hujan dan suhu yang tinggi di daerah tropik dimana gaya-gaya hancuran bekerja lebih cepat dan pengaruhnya lebih ekstrim daripada daerah dengan curah hujan dan suhu sedang. Pelapukan dan pencucian sangat intensif dan mineral silikat cepat hancur. Di banyak tempat di daerah tropik, musim basah dan kering terjadi silih berganti. Hal ini berakibat semakin meningkatnya kegiatan kimia dalam tanah. Pada tanah Latosol proses hidrolisis dan oksidasi berlangsung sangat intensif, sehingga basa-basa seperti Ca, Mg, K, dan Na cepat dibebaskan oleh bahan organik. Oleh karena itu, tanah Latosol memiliki kejenuhan basa rendah (<35%) dan KTK yang sangat rendah (<24 me/100 g) (Supraptohardjo, 1961). Umumnya Latosol mempunyai sifat kimia yang kurang menguntungkan bagi tanaman, tetapi pada sifat fisik mempunyai drainase yang baik sehingga memungkinkan terjadinya proses oksidasi yang intensif dan menghasilkan bahanbahan berwarna merah dan kuning dengan kandungan seskuioksida tinggi serta kandungan silika rendah.
14
Seperti telah disebutkan bahwa kapasitas tukar kation tanah Latosol rendah. Hal ini sebagian diakibatkan oleh kadar bahan organik yang rendah dan sebagian oleh sifat liat hidro-oksida. Namun demikian, jika dibandingkan dengan tanah lain di Indonesia tanah Latosol masih tergolong tanah subur. Tanah ini menempati area seluas 9 persen daratan Indonesia (Soepardi, 1983). 2.5.
Tinjauan Umum Tanaman Padi Tanaman padi (Oryza sativa L.) termasuk ke dalam famili Graminae yang
ditandai dengan batang yang tersusun dari beberapa ruas (De Datta, 1981). Keseluruhan organ tanaman padi terdiri dari dua kelompok yaitu organ vegetatif dan organ generatif. Bagian-bagian vegetatif terdiri dari akar, batang, dan daun, sedangkan organ generatif terdiri dari malai, bunga, dan gabah. Yoshida (1981) membagi pertumbuhan padi menjadi 3 bagian yakni fase vegetatif, reproduktif, dan pemasakan. Fase vegetatif meliputi pertumbuhan tanaman dari mulai berkecambah sampai dengan inisiasi primordia malai. Fase reproduktif dimulai dari inisiasi primordia malai sampai berbunga (heading), sedangkan fase pemasakan dimulai dari berbunga sampai masak panen. Untuk suatu varietas berumur 120 hari yang ditanam di daerah tropik, maka fase vegetatif memerlukan 60 hari, fase reproduktif 30 hari, dan fase pemasakan 30 hari. Tanaman padi dapat tumbuh baik di daerah-daerah beriklim tropis/sub tropis dengan cuaca panas dan kelembaban udara tinggi, dengan curah hujan ratarata tahunan antara 1.500-2.000 mm (Moormann dan Breemen, 1978) . Suhu ratarata yang dibutuhkan sepanjang hidupnya adalah 200-380 C. Di Indonesia, tanaman padi banyak ditanam di daerah-daerah dengan ketinggian antara 0-1.300 m dpl. Padi dapat ditanam di musim kemarau dan hujan. Pada musim kemarau produksi meningkat asalkan air irigasi selalu tersedia. Di musim hujan, walaupun air melimpah, seringkali produksi justru menurun karena penyerbukan kurang intensif.