II.
2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Pelayanan Publik Pelayanan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia secara etimologis
diartikan sebagai usaha melayani kebutuhan orang lain atau kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antara seseorang dengan orang lain yang menyediakan kepuasan pelanggan. Sedangkan ”publik” merupakan sejumlah orang (tidak mesti berada dalam satu tempat) yang dipersatukan oleh beberapa faktor kepentingan yang sama, yang berbeda dengan kelompok lain. Pedoman Standar Umum Pelayanan Publik merupakan segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik dalam rangka memenuhi kebutuhan penerima layanan yang operasionalnya dilakukan oleh instansi-instansi pemerintah atau badan umum milik pemerintah sesuai kewenangan yang dimiliki berupa layanan yang bersifat langsung dan tidak langsung melalui kebijakan-kebijakan tertentu. Dalam kegiatan operasional pemerintahan konsep pelayanan publik diterjemahkan kedalam Keputusan Menteri Penertiban Aparatur Negara (KepMenPAN) Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 yang berbunyi : Segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik (negara) sebagai upaya pemenuhan penerima pelayanan maupun pelaksana ketentuan peraturan perundang-undangan. Kegiatan pelayanan publik berpedoman atas 10 (sepuluh) prinsip : 1. Kesederhanaan, Prosedur pelayanan publik tidak berbelit- belit, mudah dipahami, dan mudah dilaksanakan. 2. Kejelasan, a. Persyaratan teknis dan administratif pelayanan publik; b. Unit kerja / pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan dan
penyelesaian keluhan/ persoalan/ sengketa
dalam pelaksanaan pelayanan publik. c. Rincian biaya pelayanan publik dan tatacara pembayaran.
3. Kepastian Waktu, Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan. 4. Akurasi, Produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat, dan sah. 5. Keamanan, Proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan kepastian hukum. 6. Tanggung jawab, Pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian keluhan/ persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik. 7. Kelengkapan Sarana dan Prasarana, Tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika (telematika). 8. Tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informatika. 9. Kedisiplinan, Kesopanan dan Keramahan Pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah, serta memberikan pelayanan dengan ihklas. 10. Kenyamanan, Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah dan sehat serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan. Makna yang terkandung dari konsepsi diatas bahwa sifat dari pelayanan publik menyangkut pelayanan yang mendahulukan kepentingan masyarakat umum, mempermudah urusan publik, dengan mempersingkat waktu pelaksanaan sehingga dapat memberikan kepuasan kepada publik. Keputusan MenPAN Nomor 63
tahun
2003
menyebutkan
bahwa
berdasarkan
organisasi
yang
menyelenggarakannya, pelayanan publik dibedakan menjadi tiga (3) yaitu : 1.
Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh organisasi publik (private atau swasta), yakni menyediakan barang dan jasa publik yang
diselenggarakan oleh swasta seperti rumah sakit swasta, sekolah swasta, angkutan kota dan lain-lain 2.
Pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah yang bersifat primer, yakni semua penyediaan barang atau jasa publik yang diselenggarakan oleh
pemerintah
dan
pemerintah
merupakan
satu-satunya
penyelenggaranya, sehingga pengguna atau masyarakat masu tidak mau harus memanfaatkannya, seperti pelayanan kantor imigrasi (paspor), kelurahan (Kartu Tanda Penduduk (KTP)), pelayanan perijinan (Ijin Mendirikan Bangunan (IMB)) dan lain-lain. 3.
Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah yang bersifat sekunder, yakni semua bentuk penyediaan barang atau jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah tetapi pengguna atau masyarakat tidak harus memanfaatkannya karena ada penyelenggara pelayanan lain, misalnya program asuransi tenaga kerja, pendidikan, kesehatan, dan lainlain.
Sedang berdasarkan bentuk atau jenis pelayanan yang diberikan, pelayanan publik dikelompokan menjadi : 1.
Kelompok Pelayanan Administratif yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik, misalnya status kewarganegaraan, kepemilikan atau penguasaan atas barang dan jasa. Dokumen tersebut antara lain Kartu Tanda Penduduk (KTP), Akte Nikah, Surat Ijin Mengemudi (SIM), Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), sertipikat, dan lain-lain.
2.
Kelompok Pelayanan Barang, yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk atau jenis barang yang digunakan publik, misalnya jaringan telepon, lisrtik, air bersih, dan sebagainya.
3.
Kelompok Pelayanan Jasa, yakni pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk jasa yang dibutuhkan oleh publik, misalnya pendidikan, pemeliharaan sebagainya.
kesehatan,
penyelenggaraan
transportasi,
pos,
dan
2.2.
Konsep Manajemen Pelayanan Prima Manajemen pelayanan adalah siklus kegiatan strategis (startegic activity)
yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan penyempurnaan secara terus menerus terhadap proses pelayanan, yang bertujuan untuk memberikan kepuasan dan loyalitas pelanggan secara jangka panjang. Lingkup manajemen pelayanan mencakup pengelolaan seluruh sumber daya pelayanaan internal yang ada yakni produk, manusia, proses dan biaya, dan sumber daya eksternal yakni pelanggan dan lingkungan. Pelayanan yang prima (service excellence) pada
dasarnya merupakan
pengelolaan pelayanan berdasarkan harapan pelanggan (cutomer expectation). Secara konsep, agar menghasilkan kepuasan pelanggan maka diperlukan pengelolaan harapan pelanggan yang sangat di pengaruhi oleh perasaan (emosional). Contoh implementasi pengelolaan harapan pelanggan adalah dengan menginformasikan kepada pelanggan standar pelayanan yang ditetapkan suatu perusahaan,
dengan informasi tersebut harapan pelanggan dan kepuasan
pelanggan yang sangat individual dapat di kelola dan arahkan sesuai dengan koridor standar yang telah di tetapkan oleh perusahaan. Untuk tecapainya pelayanan prima, ada 3 (tiga) pilar pendukung yang harus dikembangkan oleh sebuah perusahaan yakni ; upaya untuk terus menerus melakukan peningkatan kualitas proses
produk (poduct excellence), penyempurnaan
(process excellence) dan peningkatan profesionalisme sumberdaya
manusia (people excellence). Treacy Michael dan Wiersema Fred, (1996), dalam bukunya Dicipline of Market Leaders mengatakan untuk menang dalam persaingan
dan
menjadi
pemimpin
pasar,
sebuah
perusahaan
harus
mengembangkan 3 (tiga) disiplin atau kewajiban dalam pelayanannya, yakni keunggulan produk (product leadership) yaitu produk yang dihasilkan selalu memberikan nilai lebih kepada pelanggan baik kualitas, fitur, dan harga, keunggulan dalam operasional (operational leadership) berupa cerminan perusahan yang efektif dan efisien, terus berinovasi, berkreasi yang berorientasi pada hasil produk yang unggul, dan kedekatan dengan pelanggan (customer intimacy) merupakan kegiatan perusahaan yang untuk menjaga loyalitas pelanggan melalui pelayanan prima, ketiga kewajiban tersebut harus dilakukan secara berkesinambungan dan terpadu.
2.3.
Persepsi Terhadap Layanan Kualitas layanan diartikan sebagai ukuran seberapa bagus tingkat layanan
yang mampu diberikan oleh penyedia layanan dapat memenuhi ekspektasi dan harapan pelanggan, dengan demikian factor yang mempengaruhi Kualitas layanan adalah kesesuaian kualitas layanan yang diharapkan (expected service) dan persepsi terhadap layanan (perceived service) (Parasuraman, et al. 1990). Sehingga bila perceived service sama atau sesuai dengan expected service maka Kualitas layanan akan dinilai baik dan positif, jika perceived service lebih besar dari expected service maka kualitas layanan dipersepsikan ideal, namun bila perceived service lebih jelek dari expected service maka kualitas layanan dipersepsikan negative atau buruk. Ekspektasi pelanggan bersifat dinamis dan berubah dari waktu ke waktu, seiring dengan banyaknya informasi yang diterima pelanggan atau masyarakat dan semakin bertambahnya pengalamannya, faktor-faktor spesifik yang mempengaruhi terbentuknya ekspektasi pelanggan terlihat pada Gambar 1.
Dimensi Kualitas Pelayanan :
Getok Tular
Tampilan Kehandalan Kecepatan Kompentensi Keramahan / Sopan Kredibilitas Keamanan Kemudahan Komunikasi
Memahami pelanggan
Kebutuhn
Personal
Pengala man masa lalu
Metode Komunikasi
Pelayanan yg diharapkan
Perceived Service Quality Pelayanan yang dipersepsi
Source : Parasuraman, et al. (1990) Gambar 1. Asesmen Persepsi Pelanggan Terhadap Kualitas Pelayanan
Model Kualitas layanan yang banyak dipakai sebagai acuan dalam riset manajemen dan pemasaran jasa adalah model ServQual (Service Quality) yang dikembangkan oleh Parasuraman, Zeithaml, dan Barry (1990) pada Gambar 1. di atas, lima komponen yang berkaitan erat dengan model kepuasan pelanggan yaitu: Reliability, Achúrate, Assurance, Emphaty, dan Tangible, semua komponen ini tidak saling terpisahkan tapi saling mendukung untuk memberikan pelayanan yang sesuai dengan harapan atau ekspektasi pelanggan. Kunci utama kepuasan pelanggan adalah kemampuan memahami dan mengelola ekspektasi pelanggan, artinya dalam menetapkan tolok ukur pelayanan yang akan kita berikan harus memahami terlebih dahulu keinginan dan harapan pelanggan yang akan kita tetapkan sebagai target. Kepuasan pelanggan atau customer satisfy merupakan ukuran atas kinerja organisasi dalam hal layanan produk/jasa dibandingkan dengan serangkaian keperluan pelanggan (customer requirements). Kepuasan pelanggan bukanlah konsep absolut melainkan relatif dan tergantung pada apa yang diharapkan pelanggan, dan factor-faktor utama tidak terpenuhinya harapan pelanggan meliputi : pelanggan keliru menafsirkan program pemasaran; kurangnya sosialisasi; kinerja karyawan; infrastruktur tidak mendukung; dan lain-lain. Prinsip dasar yang melandasi pentingnya pengukuran kepuasan pelanggan adalah melakukan yang terbaik sisi-sisi yang diharapkan pelanggan, dimana secara garis besar ada 4 (empat) metode yang sering digunakan untuk mengukur kepuasan pelanggan yaitu : 1) Sistem keluhan dan saran; 2) belanja oleh pihak netral; 3) Analisa pelanggan yang hilang; 4) Survei Kepuasan Pelanggan.
2.4.
Tatakelola Pelayanan Publik Tatakelola yang baik (good governance) dalam pelayanan Publik
difokuskan pada proses-proses pemberdayaan masyarakat oleh instansi atau kelembagaan pemerintah dalam bentuk pelayanan berdasarkan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, desentralisasi, dan demokrasi. Oleh karena itu tatakelola pelayanan Publik perlu dibangun dengan memperkuat kelembagaan dan sumberdaya manusia pada kelembagaan pelayanan Publik yang arahnya adalah
perbesaran kapasitas kelembagaan pelayanan Publik agar mampu memberikan pelayanan secara optimal. Tatakelola pelayanan Publik yang berdasarkan transparansi, akuntabilitas, desentralisasi, dan demokrasi tersebut diharapkan mampu memberikan dan menciptakan bentuk inovasi pelayanan publik satu atap atau secara One Stop Service (OSS) , dimana konsep tersebut berorientasi memutus birokrasi pelayanan yang panjang dan rumit selama ini. Masyarakat akan dapat mengakses layanan dengan konsep OSS bila tingkat aksesibilitas didukung oleh prasarana transportasi, komunikasi, informasi, dan manajemen pelayanan yang handal dan memadai. Oleh karena itu, jika pelayanan Publik berhasil dikembangkan akan dapat dan mampu memudahkan segala urusan Publik dan Sangat mendukung program kinerja otonomi daerah kabupaten / kota mencapai Good Corporate Governance (GCG).
Pelayanan publik dengan tatakelola yang baik dari suatu
institusi pemerintah harus mampu memotong rantai birokrasi, mendekatkan jarak pelayanan, serta efisiensi biaya pelayanan bagi publik. Dengan kata lain kerangka governance system pelayanan publik sebagai dampak kebijakan desentralisasi juga diarahkan sebagai instrumen yang mampu menekan praktek korupsi di daerah otonom.
2.5.
Nilai Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) adalah tingkat kepuasan masyarakat
dalam memperoleh pelayanan yang diperoleh dari penyelenggara atau pemberi pelayanan sesuai harapan dan kebutuhan masyarakat (KepMen PAN, 2003) Nilai IKM dihitung dengan menggunakan ’nilai rata-rata terimbang’ masing-masing unsur pelayanan, terdapat 14 (empat Belas) unsur pelayanan berdasarkan pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Pemerintah adalah : 1.
Prosedur Pelayanan
2.
Persyaratan Pelayanan
3.
Kejelasan Petugas Pelayanan
4.
Kedisiplinan Petugas Pelayanan
5.
Tanggung Jawab Petugas Pelayanan
6.
Kemampuan Petugas Pelayanan
7.
Kecepatan Pelayanan
8.
Keadilan mendapatkan Pelayanan
9.
Kesopanan dan keramahan Petugas
10.
Kewajaran biaya Pelayanan
11.
Kepastian biaya Pelayanan
12.
Kepastian jadwal Pelayanan
13.
Kenyamanan Lingkungan
14.
Keamanan Pelayanan
Setiap unsur diatas dalam proses penghitungan IKM mempunyai penimbang yang sama dengan rumus sebagai berikut :
Bobot nilai rata-rata tertimbang = Jumlah Bobot / Jumlah Unsur = 1/14 = 0.071
Sedangkan untuk memperoleh nilai IKM digunakan pendekatan nilai ratarata tertimbang :
IKM = (total nilai persepsi per unsur / Total Unsur Terisi) x nilai penimbang Dalam rangka memudahkan interpretasi terhadap penilaian IKM antara 25 – 100 maka hasil penilaian tersebut dikonversikan dengan nilai dasar 25 sehingga dapat ditulis dengan rumus : IKM Unit Pelayanan x 25 Tabel 3. Nilai Persepsi, Interval IKM, dan Kinerja Unit pelayanan
Nilai Persepsi
Interval IKM
1 2 3 4
1,00 – 1,75 1,76 – 2,50 2,51 – 3,25 3,26 – 4,00
Sumber : KepMenPAN 63/2003
Interval Konversi Mutu Pelayanan IKM 25,00 – 43,75 D 43,76 – 62,50 C 62,51 – 81,25 B 81,26 – 100,00 A
Kinerja Unit Pelayanan Tidak Baik KurangBaik Baik Sangat Baik
2.6.
Analytical Hierarchy Process ( AHP ) Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan model keputusan
individual dengan menggunakan pendekatan kolektif dari proses pengambilan keputusannya. Peralatan utama AHP adalah sebuah hirarki fungsional dengan input utamanya manusia, dengan hirarki suatu masalah kompleks dan tidak terstruktur dipecahkan kelompok-kelompoknya, selanjutnya kelompok-kelompok tersebut diatur menjadi suatu bentuk hirarki (Daryanto dan Hafizrianda, 2010). Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) pertama diperkenalkan oleh Prof. Thomas Saaty guru besar Wharton School pada tahun 1971 dan 1975 (dikutip dari Falatehan, 2010). Hirarki didefinisikan sebagai representasi dari sebuah permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multilevel dimana level pertama berisikan tujuan, yang diikuti level faktor, kriteria, dan sub kriteria hingga pada level terakhir sebuah alternatif sehingga sebuah permasalahan menjadi lebih terstruktur dan sistematis dalam menetapkan alternatif solusinya. Membuat hirarki adalah menguraikan realitas menjadi kelompokkelompok yang homogen, dan menguraikannya lagi menjadi bagian yang lebih kecil. Menurut Daryanto dan Hafiszrianda, 2010, menjelaskan bahwa keunggulan hirarki antara lain: a.
Menggambarkan sistem yang dapat digunakan untuk melihat bagaimana
perubahan prioritas pada tingkat diatas akan mempengaruhi tingkat dibawahnya. b.
Memberikan informasi yang sangat mendetail tentang struktur dan fungsi
sistem pada tingkat yang rendah dan memberikan gambaran mengenai pelaku dan tujuan pada tingkat atasnya. Perbedaan mencolok antara Analytical Hierarchy Process (AHP) dengan model pengambilan keputusan lainnya terletak pada input yang digunakan. Model-model yang sudah ada umumnya menggunakan data sekunder yang kuantitatif sebagai input, dan pada model Analytical Hierarchy Process (AHP) menggunakan persepsi manusia yang dianggap ahli atau ekspert sebagai input. Karena menggunakan input yang kualitatif (persepsi) maka model inipun dapat mengelola hal-hal yang kualitatif disamping data kuantitatif. Pengukuran kualitatif menjadi sangat penting mengingat makin kompleks nya permasalahan
yang ada dengan ketidakpastian tinggi. Kelebihan lain dari Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah kemampuannya dalam memecahkan maslah yang multiobjektif dan multi-kriteria, hal ini disebabkan oleh fleksibilitasnya yang tinggi terutama dalam pembuatan hirarkinya sehingga dengan fleksibilitas tersebut AHP dapat menangkap beberapa tujuan dan beberapa kriteria sekaligus dalam sebuah model atau hirarki. Disamping
kelebihan-kelebihan
yang
dimiliki,
model
Analytical
Hierarchy Process (AHP) juga mempunyai kelemahan-kelemahan yang dapat menyebabkan
kekeliruan
dalam
penetapan
pengambilan
keputusan.
Ketergantungan pada input berupa persepsi seorang ekspert memberikan penilaian yang keliru bila yang bersangkutan memberikan penilaian yang keliru, untuk itu penetapan pemiliham kriteria ekspert harus dengan batasan yang jelas sehingga input yang diberikan dapat mewakili sebagaian besar masyarakat. Kelemahan lain adalah bentuknya yang sederhana, para pengambil keputusan yang terbiasa dengan model kuantitatif yang rumit akan menganggap bahwa model Analytical Hierarchy Process (AHP) bukanlah model yang cocok untuk proses pengambilan keputusan, bagi para pengambil keputusan tingkat tinggi maka ini merupakan model yang cepat dapat dimengerti dan bila ingin melakukan perubahan pada satu elemen dapat dengan mudah dapat dilakukan analisa sensitifitas. Falatehan (2010), menjelaskan bahwa dalam memecahkan persoalan dengan analisis logis eksplisit, ada 3 (tiga) prinsip yaitu : 2.6.1. Menyusun Hirarki, Merupakan proses menggambarkan dan menguraikan secara hirarki, yaitu memecahkan persoalan menjadi unsur-unsur yang terpisah, sasaran keseluruhan yang sifatnya luas disebut sebagai fokus dan merupakan tingkat puncak hirarki yang terdiri satu elemen, tingkat berikutnya dapat terdiri atas beberapa elemen menurut hubungan esensial yang sama dan berada dalam tingkat hirarki yang sama. Hirarki antara beberapa elemen dalam level yang sama disebut sebagai hirarki fungsional, sedangkan hubungan setiap elemen dalam suatu tingkat yang dibandingkan dengan satu dengan lainnya terhadap kriteria yang berada diatasnya disebut hirarki struktural. Hirarki ini memiliki karakteristik sistem yang kompleks dalam
urutan menurun berdasarkan sifat strukturalnya, dimana jumlah tingkat dalam suatu hirarki tidak dibatasi dan bila elemen-elemen dalm suatu tingkat tidak dapat dibandingkan dengan mudah maka dapat dibuat suatu tingkat baru lagi.
Tujuan
Elemen 1
Elemen 2
Alternatif 1
Elemen 3
Alternatif 2
Alternatif 3
Gambar 2. Struktur Hirarki AHP
2.6.2 Menentukan Prioritas, Penentuan prioritas ini berdasarkan atas perbedaan prioritas dan sintesis, yaitu menentukan elemen-elemen menurut relatif tingkat kepentingannya. Langkah
pertama
dalam
menentukan
prioritas
dengan
membuat
perbandingan berpasangan, yaitu perbandingan dari setiap elemen yang berpasangan, bentuk dari perbandingan ini biasanya dalam matriks. Langkah ini dapat dimulai pada puncak hirarki untuk memilih kriteria atau sifat yang akan digunakan dalam melakukan perbandingan yang pertama (C). Lalu elemen dibawahnya dibandingkan, misalnya A1, A2, A3, dan seterusnya (lihat Tabel 4.) Tabel 4. Contoh Matriks untuk Perbandingan Berpasangan C
A1
A1
1
A2 A3 ... An
A2
A3
...
An
1 1 ... 1
Untuk mengisi matriks pada Tabel 4, langkah berikutnya adalah diisi berdasarkan skala nilai dengan angka 1 hingga 9, Falatehan (2010) menyatakan bahwa pembatasan ini didasarkan pada beberapa alasan, yaitu: Pertama, perbedaan hal-hal yang kualitatif akan mempunyai arti dan dapat dijamin keakuratannya apabila dibandingkan dalam besaran yang sama dan jelas. Kedua, secara umum seseorang dapat menyatakan perbedaan kualitatif dalam lima istilah yaitu, sama, lemah, kuat, sangat kuat, dan absolut. Ketiga, berdasarkan atas suatu penelitian psikologi oleh G.A. Miller pada tahun 1956 yang menyimpulkan bahwa manusia tidak dapat secara simultan membandingkan lebih dari tujuh objek. Pada kondisi tersebut manusia akan mulai kehilangan konsistensinya dalam melakukan perbandingan dan bahkan cenderung bingung. Skala perbandingan secara berpasangan terlihat pada Tabel 5. Tabel 5. Skala Perbandingan secara Berpasangan Intensitas
Keterangan
1
•
3
•
Kedua elemen sama pentingnya
Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen lainnya 5 • Elemen yang satu lebih penting daripada elemen yang lain 7 • Elemen yang satu jelas lebih penting daripada elemen yang lain 9 • Elemen yang satu mutlak lebih penting daripada elemen yang lain 2,4,6,8 • Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan • Jika untuk aktifitas ke-î mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktifitas ke-ĵ, maka ĵ mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan î. Sumber : Saaty, 1975 (dalam Falatehan 2010)
Untuk memperoleh peringkat prioritas menyeluruh bagi suatu persoalan pengambilan keputusan, kita harus menyatukan atau mensitesis pertimbangan yang telah dibuat dalam perbandingan berpasangan dengan cara pembobotan dan penjumlahan untuk satu bilangan tunggal yang menunjukkan prioritas setiap
elemen. Makin tinggi nilai suatu pilihan semakin tinggi prioritasnya. Langkah dalam melakukan sintesis adalah sebagai berikut setelah matriks terisi dilakukan sintesis pertimbangan dengan cara membagi nilai perbandingan dengan setiap kolom untuk memperoleh matriks yang dinormalisasi. Sebagai contoh dalam proses pengambilan keputusan untuk pembelian rumah setara dan dilihat dari tingkat kenyamanan dengan membandingkan 3 komplek perumahan, yaitu Komplek A, B, dan C. Matriks ini mempunyai 9 entri data untuk diisi, dimana tiga bilangan ditengah harus diisi dengan nilai 1 (sesuai Tabel 4), tiga lainnya berisi kebalikannya. Dalam menentukan prioritas atas ketiga komplek tersebut dilakukan berdasarkan pengalaman dan preferensi kita,
misalnya Dinas A
mempunyai tingkat kenyamanan setengah kali dari Dinas B, dan seperempat kali dari Dinas C, artinya Dinas B lebih nyaman 2 kali dari Dinas A dan Dinas C empat kali lebih nyaman dari Dinas A. Tabel 6. Mensintesis Pertimbangan Kenyamanan
Dinas A
Dinas B
Dinas C
Dinas A
1
1/2
1/4
Dinas B
2
1
1/2
Dinas C
4
2
1
jumlah
7
3,5
1,75
Setelah mensintesis pertimbangan kemudian dibagi setiap entri kolom dengan jumlah nilai pada kolom tersebut untuk memperoleh matriks yang dinormalisasi, seperti terlihat pada Tabel 7. Tabel 7. Matriks yang Dinormalisasi Kenyamanan
Dinas A
Dinas B
Dinas C
Dinas A
1/7
1/7
1/7
Dinas B
2/7
2/7
2/7
Dinas C
4/7
4/7
4/7
jumlah
7
3,5
1,75
Setelah mendapatkan nilai matriks yang dinormalisasi kemudian dirataratakan dengan cara menjumlahkan nilai dalam setiap baris dari matriks yang dinormalisasi tersebut, kemudian membagi dengan banyaknya entri dari setiap baris. ((1/7)+(1/7)+(1/7))/3 = 1/7 = 0,14
Dinas A
((2/7)+(2/7)+(2/7))/3 = 2/7 = 0,29
Dinas B
((4/7)+(4/7)+(4/7))/3 = 4/7 = 0,57
Dinas C
Sintesis ini menghasilkan prosentase prioritas yang relatif menyeluruh, atau preferensi untuk Dinas A, B, dan C dengan nilai atau bobot prioritas masingmasing 14, 29, dan 57, hal berarti Dinas C lebih nyaman empat kali dibandingkan dengan Dinas A dan dua kali Dinas B.
2.6.3 Konsistensi Hasil Konsistensi sampai pada level tertentu dapat menetapkan prioritas untuk elemen-elemen yang berkenaan dengan beberapa kriteria diperlukan untuk memperoleh hasil yang optimal dengan kondisi dunia nyata. AHP mengukur konsistensi menyeluruh dari berbagai aspek atau pertimbangan melalui rasio konsistensi. Nilai rasio konsistensi paling tinggi 10 persen,
jika lebih maka
pertimbangan yang telah dilakukan perlu diperbaiki. Sebagai contoh untuk melihat tingkat konsistensi dari hasil diatas, dilakukan dengan merubah kenyamanan Dinas C menjadi empat kali Dinas B, sehingga setelah diolah maka diperoleh prosentase prioritas relatif menyeluruh yaitu 13 persen, 21 persen, dan 66 persen. Tabel 8. Contoh Mensintesis Pertimbangan Kenyamanan
Dinas A
Dinas B
Dinas C
Dinas A
1
1/2
1/4
Dinas B
2
1
1/4
Dinas C
4
4
1
jumlah
7
5,5
1,5
Dengan perubahan tersebut (ketidakkonsistenan) maka semua nilai berubah, disini akan dihitung besarnya ketidakkonsistenan tersebut. Untuk itu kolom pertama pada matriks yang baru (tidak konsisten) dikalikan dengan prioritas relatif dari Dinas A (0,13), kolom kedua dengan Dinas B (0,21), dan kolom ketiga dengan Dinas C (0,66) kemudian entri dalam baris-baris tersebut dijumlahkan. Tabel 9. Contoh Matriks yang Dinormalisasi, Jumlah Baris, dan Prioritas Menyeluruh Jumlah Rataan Kenyamanan Dinas A Dinas B Dinas C Baris baris Dinas A 1/7 1/11 1/6 0,40 0,13 Dinas B
2/7
2/11
1/6
0,63
0,21
Dinas C
4/7
8/11
4/6
1,97
0,66
Jumlah
7
5,5
1,5
Kemudian jumlahkan entri dalam baris-baris dalam Tabel 10. Tabel 10. Menjumlahkan Entri Kenyamanan
Dinas A (0,13)
Dinas B (0,21)
Dinas A
(1x0,13) = 0,13
(1/2)x(0,21) = 0,11
(1/4)x(0,66) = 0,17
0,41
Dinas B
(2x0,13) = 0,26
( 1 x 0,21) = 0,21
(1/4)x (0,66) = 0,17
0,64
Dinas C
(4x0,13) = 0,52
(4 x 0,21 ) = 0,84
2.7.
Dinas C (0,66)
(1 x 0,66)
= 0,66
Jumlah
2,02
Penelitian Terdahulu Redioka dkk. (2009), melakukan penelitian tentang Pelayanan Publik Pada
Unit Pelayanan Terpadu Pemerintah Kota Denpasar yang dimuat dalam Jurnal Wacana, Vol. 12 No. 3, Juli 2009, ISSN. 1411-0199. Penelitian menggunakan metode pendekatan kualitatif yang berlandaskan phenomenologi, dengan pendekatan dilakukan pengamatan yang bersifat holistik dan naturalistik dan fokus pada penelitian meliputi : 1) Kondisi Desentralisasi UPT Kota Denpasar, 2) Kondisi Internal UPT Kota Denpasar, 3) Kondisi Eksternal UPT Kota Denpasar, 4) Kualitas Pelayanan publik di UPT Kota Denpasar. Metode Penelitian ini menggunakan 8 kriteria standar yang dinilai sebagai ukuran adanya kualitas pelayanan yang baik, yaitu terdiri atas : 1) Kesederhanaan,
2) Kejelasan dan Kepastian, 3) Keamanan, 4) Keterbukaan, 5) Efisien, 6) Ekonomis, 7) Keadilan dan Pemerataan, dan 8) Ketepatan waktu. Hasil dari penelitian menyebutkan bahwa baru pelayanan akta-akta Catatan Sipil dan pelayanan ijin eklame yang sudah memenuhi ukuran 8 kriteria tersebut, dan dapat dikatakan memberikan kualitas pelayanan yang baik di UPT Pelayanan terpadu Kota Denpasar. Pada penelitian ini tidak menggunakan data Indeks Kepuasaan Masyarakat (IKM) sebagai data penelitian.